Anda di halaman 1dari 16

Al-Asfar: Jurnal Studi Islam

e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

Penentuan Awal Bulan Bagi Sarana Ibadah Umat Islam

Ahmad Saifulhaq Almuhtadi


edihaq@gmail.com
UIN Mataram

Abstrak

Artikel ini membahas tentang bagaimana penentuan awal bulan qamariyah yang
berkaitan dengan ibadah-ibadah umat Islam ditinjau dari metode hisab rukyah. Dasar
pengetahuan tentang hisab rukyah, dalil dan hadits hisab rukyah, dan pendapat 4 imam
mazhab menjadi kajian penting agar pemahaman kita terbuka atas perbedaan dalam
pelaksanaan ibadah-ibadah penting dalam Islam seperti awal bulan Ramadhan dan Syawal,
serta bagaimana metode yang digunakan oleh ormas seperti NU dan Muhammadiyah dalam
menentukan awal bulan qamariyah.
Kata Kunci: Awal Bulan, Ibadah, Islam

Pendahuluan

Salah satu permasalahan umat Islam yang menjadi bahan perdebatan yang tidak tuntas
sampai saat ini adalah masalah cara penentuan awal bulan Ramadan, dan Syawal. Dalam hal
ini ada beberapa istilah yang sering disebutkan ketika menjelang datangnya bulan Ramadhan,
dan Syawal, yaitu istilah ru'yah dan hisab.1Memang banyak yang menyebutkan istilah
tersebut, tetapi tidak banyak yang menjelaskan seluk beluk istilah tersebut, padahal masih
banyak umat Islam yang belum mengetahuinya. Setiap menentukan bulan Ramadhan, dan
awal Syawal, selalu saja mengundang polemik. Polemik itu tidak hanya dalam wacana, tetapi
berimplikasi pada awal dimulainya pelaksanaan puasa dengan segala macam kegiatan ibadah
di dalamnya, penentuan puasa, idul fitri. Bahkan tidak jarang, berpengaruh pada harmonitas
sosial antara sesama pemeluk Islam.
Di Indonesia, yang penduduk muslimnya merupakan bagian terbesar negara bangsa
ini, hampir selalu terjadi perbedaan dalam memahami dan mengaplikasikan pesan hadits
Rasulullah saw tersebut dalam menetukan awal Bulan Qamariah, utamanya Ramadhan, dan
Syawal. Implikasi lebih jauh adalah munculnya tiga arus utama „madzhab”.Pertama,
Madzhab Rukyah yang di mempresentasikan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di

1
Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta: Erlangga, 2007, hal. xiv

22
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

Indonesia (NU). Kedua, Mazhab Hisab dengan sponsor utama Muhamadiyah, dan ketiga,
mazhab imkan al-ru‟yah yang dimunculkan oleh Pemerintah.2 Namun ketiga mazhab di atas
merupakan representasi dari empat mazhab besar ulama-ulama terdahulu.
Para ulama terdahulu telah memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil baik itu dari Al-
Qur‟an, hadits maupun dalil aqli (logika) dalam mengistinbatkan sebuah hukum yang disebut
fiqh. Begitu juga dalam hal penentuan awal bulan Qamariyah. Bahkan semenjak masa awal
Islam sudah mendapatkan perhatian dan pemikiran cukup serius dari pakar fuqaha‟ karena
terkait erat dengan berbagai ibadah. Namun sampai saat ini masih juga melahirkan pendapat
yang bervariasi.

Pembahasan
A. Dasar Penentuan Awal Bulan Qamariyah
1. Dalil Rukyah
‫اس َٔ ْان َحج‬ ُ ِ‫ َي َٕاق‬َٙ ِْ ْ‫ك َع ٍِ ْاْلَ ِْهَّ ِح قُم‬
ِ َُّ‫ت نِه‬ٛ َ ََُٕ‫َسْأَن‬ٚ
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; (Qs. Al-Baqarah
189)

Allah menjelaskan bahwa hilal adalah penanda waktu bagi manusia.Ini


berlaku umum pada segala urusan mereka. Kemudian Allah mengkhususkan
penyebutan ibadah haji sebagai pembeda 3 dengan waktu-waktu lain. Karena haji itu
dipersaksikan malaikat, dan ia jatuh pada bulan yang paling terakhir dalam rangkaian
tahun, sehingga bisa dijadikan sebagai penanda tahun tersebut. Dan ini segera disusul
pula dengan nampaknya hilal sebagai penanda datangnya bulan yang baru.
4
ُ َٛ‫ش ْٓ َس فَ ْه‬
ًُّْ ‫ص‬ َّ ‫فَ ًَ ٍْ َش ِٓ َد ِي ُْ ُك ُى ان‬
Artinya :Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,

Kata “šahida” dalam ayat ini ditafsirkan oleh sejumlah ulama, sebagai rukyat dan
“al-šahra” sebagai hilal, sehingga šuhûd al-šuhur dipahaminya sebagai "ru‟yaú al-

2
Ibid.
3
Ahmad Syakir dalam risalahnya Awa‟ilus Syuhur al Arabiyah, hal.21menyebutkan bahwa adanya
pengkhususan penyebutan haji dalam ayat ini setelah sesuatu yang bersifat umum yaitu sebagai petunjuk yang
spesifik terhadap penentuan waktu bagi satu tempat tertentu, tempat haji yaitu Mekah.
4
QS. Al-Baqarah [2]: 185.

23
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

hilâl” dan hisab tidak bisa dikategorikan ke dalam pengertian šuhûd al-šuhur.5
Kelanjutan ayat itu, berbicara tentang orang yang sakit atau orang yang sedang
bepergian, sehingga, “faman šahida minkum al-šahr” dapat juga ditafsirkan sebagai
“orang yang berada di tempat (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat”.
a. Hadis Riwayat Muslim dari Abu Hurairah

ٕ‫ّ ٔسهى أٔ قال قال أت‬ٛ‫ صهٗ هللا عه‬ٙ‫قٕل قال انُث‬ٚ ُّ‫ هللا ع‬ٙ‫سج زض‬ٚ‫ ْس‬ٙ‫عٍ أت‬
‫كى فأكًهٕا‬ٛ‫ عه‬ٙ‫تّ فإٌ غث‬ٚ‫تّ ٔأفطسٔا نسؤ‬ٚ‫ّ ٔسهى صٕيٕا نسؤ‬ٛ‫انقاسى صهٗ هللا عه‬
6
ٍٛ‫عدج شعثاٌ ثالث‬

Artinya : “Berpuasalah kamu semua karena terlihat hilal (Ramadan) dan


berbukalah kamu semua karena terlihat hilal (Syawal). Bila hilal tertutup
atasmu maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya‟ban tiga puluh”. (HR.
Muslim)

Inti hadis ini, bahwa penentuan puasa Ramadan harus didasarkan sistem

rukyat pada tanggal 29 Sya‟ban malam 30. Jika hilal terlihat, maka keesokan

harinya berpuasa; dan jika hilal tidak terlihat, maka umur bulan Sya‟ban harus

digenapkan 30 hari baru kemudian esoknya berpuasa atas dasar istikmal.7

b. Hadis Riwayat Bukhari

Artinya :” Dari Nafi‟ dari Abdillah bin Umar bahwasannya Rasulullah saw
menjelaskan bulan ramadhan kemudian beliau bersabda: janganlah kamu
berpuasa sampai kamu melihat hilal dan (kelak) janganlah kamu berbuka
hingga kamu melihatnya, jika tertutup awan maka perkirakanlah. (HR.
Bukhori).

Kata faqduru dalam kedua hadis tersebut masih harus diperjelas lagi
maksudnya. Kata faqduru adalah bentuk amr dari fi‟il madly qadara dan
memiliki banyak arti; sanggupilah, kuasailah, ukurlah, bandingkanlah,
pikirkanlah, pertimbangkanlah, sediakanlah, persiapkanlah, muliakanlah,

5
Lihat Ahmad Mustafa al-Maragî, Tafsîr al-Maragî, Juz II, hlm 72; Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, Juz
I, hlm. 435, Wahbah al-Zuhaylî, Al-Tafsîr al-Munîrfi al-„Aqîdah wa al-Syarî„ahwa al-Manhaj, Juz II, hlm. 142.
6
Muhammad ibn Ismâ‟il Abû „Abdullâh al-Bukhârî al-Ja„fi, al-Jâmi„ al-Èaòîò al-Mu‟tabar, (Bayrût:
Dâr Ibn Kaåir, al-Yamamah. 1407), Tahqîq Mustafa Dib al-Bigha, cet. III, Juz II. hlm. 674.
7
A. Ghozali Masroeri, Rukyatul Hilal, Pengertian dan Aplikasinya, Disampaikan dalam Musyawarah
Kerja dan Evaluasi Hisab Rukyat Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Badan Hisab Rukyat Departemen
Agama RI di Ciawi Bogor tanggal 27-29 Februari 2008, hlm 6.

24
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

bagilah, tentukanlah, takdirkanlah, persempitlah, tekanlah, dan masih banyak arti


lain.8
Menurut para ahli ushul kata faqduru disebut kata mujmal (banyak
artinya). Untuk memahaminya harus dijelaskan dengan mencarikan kata mufassar
(pasti artinya) dalam hadis lain, seperti kata fakmilu (sempurnakanlah)
sebagaimana terdapat pada hadis Muslim ٍٛ‫(فااااكًهٕا عااادج شاااعثاٌ ثالثااا‬maka
sempurnakanlah bilangan bulan Sya‟ban menjadi tiga puluh).9
Dengan demikian jelaslah, bahwa yang dimaksud dengan faqduru lahu
dalam kedua hadis tersebut harus dipahami dengan makna “sempurnakanlah
bilangan bulan Sya‟ban menjadi tiga puluh”.10
Berdasarkan hadis-hadis di atas, juga didukung oleh penafsir-anšuhûd al-
šuhur sebelumnya, Jumhur ulama menetapkan bahwa sekalipun awal bulan itu
dapat diketahui melalui proses perhitungan dan bantuan peralatan teknologi,
namun untuk menentukan waktu-waktu peribadatan (puasa dan haji) hanya boleh
dengan cara rukyat saja. harflam dalam matn hadis “sûmû li ru‟yatih" adalah “li
al-ta„lîl” sehingga dipahami menjadi berpuasalah kalian “karena” melihat hilal.
Keterlihatan hilal menjadi „illat (sabab al-hukmi) adanya keharusan berpuasa dan
berbuka („îd al-fiùri), sebagai yang ditegaskan oleh al-Mubarakfuri11

2. Dalil Hisab
Ayat-ayat Quran yang menyebutkan hisab dalam kaitannya dengan
keberadaan posisi bulan dan matahari adalah:

َ ‫ٍَ َٔ ْان ِح َس‬ُِٛ‫اش َل نِتَ ْعهَ ًُٕا َع َد َد انس‬


ِ َُ‫َا ًء َٔ ْانقَ ًَ َس َُٕزًا َٔقَ َّد َزُِ َي‬ٛ‫ض‬ َّ ‫ُْ َٕ انَّ ِر٘ َج َع َم ان‬
12
‫اب‬ ِ ‫س‬
َ ًْ ‫ش‬
Artinya :Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya
kamu mengetahui bilangan tahun danperhitungan (waktu).

ٍْ ‫ص َسجً نِتَ ْثتَ ُغٕا فَْْ ًال ِي‬ ِ ََُّٓ‫َحَ ان‬َٚ‫ ِم َٔ َج َع ْهَُا آ‬ْٛ َّ‫َحَ انه‬َٚ‫ ٍِ فَ ًَ َح ََْٕا آ‬ْٛ َ‫َت‬َٚ‫ َم َٔانََُّٓا َز آ‬ْٛ َّ‫َٔ َج َع ْهَُا انه‬
ِ ‫از ُي ْث‬
13
َ ‫ٍَ َٔ ْان ِح َس‬ُِٛ‫َزت ُك ْى َٔنِتَ ْعهَ ًُٕا َع َد َد انس‬
‫اب‬

8
A. Ghozali Masruri, op.cit, hlm 8.
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Muhammad „Abd al-Rahmân ibn „Abd al-Rahîm al-Mubarakfuri. Tuhfah al-Ahwaíi bi ŠarhJâmi„ al-
Turmzíî. (Bayrût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah. t.th.) (10 Juz).
12
Q.S. Yunus: 5

25
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

“Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda
malam dan kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari
Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan.

Sebenarnya, apa yang dijadikan rujukan hisab, secara umum dapat dikatakansama
dengan yang dijadikan rujukan rukyat. Perbedaannya yang pokok terletak pada
pemahaman dan penafsiran terhadap sumber atau dalil hukum, yakni al-Quran dan al-
Sunnah.Akan tetapi dalam hal ini, terdapat sedikit perbedaan yang cukup menarik.Ru`yat
disebut-sebut secara eksplisit dalam al-Sunnah, tetapi tidak disebut-sebut dalam al-
Quran.Sebaliknyahisab secara eksplisit disebut-sebut dalam Quran tetapi tidak dalam
Sunnah.Namun keduanya dijembatani oleh konsep fiqh.Hisab maupun rukyah bisa
digunakan dalam penetapan awal bulan.Keduanya merupakan sarana bagi ibadah umat
Islam.

B. Pengertian Hisab dan Ru’yah


1. Rukyah
Dalam interpretasi pemaknaan rukyah itu berbeda-beda, maka timbullah banyak
makna yang mengiringinya. Rukyah ditinjau dari segi epistimologi terkelompokkan
menjadi dua pendapat,14yaitu :
 Kata rukyah adalah masdar dari kata ra‟a yang secara harfiah diartikan melihat
dengan mata telanjang
 Kata rukyah adalah masdar yang artinya penglihatan, dalam bahasa inggris
disebut vision yang artinya melihat, baik secara lahiriah maupun bathiniyah.
Adapun kata Rukyah jika dilihat dari segi terminologis mempunyai arti melihat
terbitnya bulan baru dengan cara apapun.15Kata rukyah berasal dari kata – ٖ‫س‬ٚ – ٖ‫زأ‬
‫ح‬ٚ‫ا ٔ زؤ‬ٚ‫ زأ‬yang berarti melihat,16 arti yang paling umum adalah melihat dengan mata
kepala.17Dalam kamus Al-Munawwir kata‫ح‬ٚ‫زؤ‬berarti penglihatan dan ‫ تسٖ انٓالل‬berarti
berusaha melihat hilal.18

13
Q.S al-Isrâ‟: 12
14
Burhanuddin Jusuf Habibie, Rukyah dengan Teknologi, Jakarta : Gema Insani Press, hlm. 14.
15
Ibid.
16
Achmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya : Pustaka
Progressif, 1997, cet 14, hlm. 460.
17
Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008, cet 2, hlm 183.
18
Achmad Warson Munawwir, op.cit, hlm. 461.

26
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

Rukyah yang berarti melihat secara visual (melihat dengan mata kepala), saat ini
masih banyak ulama yang menganggap segala macam perhitungan untuk menentukan
hilal dengan mengabaikan pengamatan secara visual adalah tidak memiliki dasar
hukum, bahkan dianggap merekayasa (bid‟ah).Hal ini, pernah dijadikan suatu fatwa
resmi di Mesir pada masa Fatimid, saat Jenderal Jawhar memerintah pada tahun 359
H atau 969 M.19
Namun sebaliknya, pendapat lain beranggapan memakai cara hisab sebagai
sebuah metode itu harus digunakan, dan cara rukyat itu dilarang. Hal ini juga terjadi
pada zaman Fatimid, namun terjadi di Libya pada tahun 953 M, dimana seorang qadhi
di Barqa harus dihukum mati karena melakukan pengamatan untuk penentuan awal
Ramadhan, padahal ketentuan yang ada dalam imperium saat itu adalah cara-cara
perhitungan hilal dengan hisab oleh imam yang ada pada masa tersebut.20
Ada pula yang berpendapat bahwa rukyah adalah observasi atau mengamati
benda-benda langit,21 yang dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan atau usaha untuk
melihat hilal atau bulan sabit di langit (ufuk) sebelah barat sesaat setelah matahari
terbenam menjelang awal bulan baru (khususnya menjelang bulan Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijjah) untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai.22
Dengan asal kata rukyah di atas, kata ro-a dapat berubah sesuai dengan
konteksnya menjadi arti ar-rokyun, yang sebetulnya dapat berarti melihat secara
visual, namun disisi lain, juga dapat berarti melihat bukan dengan cara visual, seperti
melihat dengan logika, pengetahuan, dan kognitif.23
2. Hisab
Kata hisab dalam kamus Al-Munawwir berarti hitung,‫عهى انحساب‬yang terdapat
dalam mufradat kamus tersebut bermakna ilmu hitung, sedangkan hisabiy ialah ahli
hitung24 yang menunjukkan subyek atau si pekerja.
Hisab itu maksudnya “perhitungan”25.Dalam pengertian yang luas ilmu
pengetahuan yang membahas seluk beluk perhitungan, yang dalam bahasa inggris

19
Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat & Hisab,Jakarta : Amythas Publicita, 2007, hlm. 84 – 85.
20
Ibid, hlm. 84 – 85.
21
Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta : Buana Pustaka, 2005. hlm. 69.
22
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak (Dalam Teori dan Praktik), Yogyakarta : Buana Pustaka, 2004, hlm.
173.
23
Tono Saksono, loc.cit.
24
Achmad Warson Munawwir, op., hlm. 262.
25
Muhyiddin Khazin, op.cit, hlm. 30, lihat juga Tono Saksono, op.cit , hlm. 120.

27
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

disebut arithmetic.26Dalam pengertiannya yang sempit, ilmu hisab adalah sebutan lain
dari ilmu falak, lebih tepatnya ialah ilmu pengetahuan yang membahas posisi dan
lintasan benda-benda langit, tentang matahari, bulan dan Bumi dari segi perhitungan
ruang dan waktu.27
Dalam Al-Qur‟an kata hisab banyak digunakan untuk menjelaskan hari
perhitungan (yaum al-hisab).Kata hisab muncul 37 kali yang semuanya berarti
perhitungan dan tidak memiliki ambiguitas arti.28 Sedangkan dalam referensi lain kata
hisab yang berakar dari kata h–s–b, sebagai kata benda, kata ini disebut sebanyak 25
kali dalam Al-Qur‟an.29Hisab yang menjadi fokus studi ini adalah metode untuk
mengetahui hilal, dimana dalam litertur-literatur klasik ilmu hisab sering disebut
dengan ilmu falak,30miqat, rasd dan haiah.Bahkan sering pula disamakan dengan
astronomi.31

C. Ru’yah bi alFi’li dan Ru’yah bi al ‘Ilmi


Perbedaan dalam penetapan awal Ramadan, Syawal pada dasarnya bermula dari
perbedaan dalam memahami hadis hisab rukyah :“Berpuasalah karena melihat hilal dan
berbukalah karena melihat hilal. Apabila tertutup awam maka sempurnakanlah”.Secara
garis besar, perbedaan pemahaman tersebut melahirkan dua aliran pemikiran yakni aliran
rukyah dan aliran hisab.32 Munculnya perbedaan tersebut karena hadis tersebut masih
mengandung (muhtamil) beberapa arti, di antaranya ru‟yah bil ilmi (yang melahirkan
aliran hisab) dan ru‟yah bil fi‟li(yang melahirkan aliran rukyah).Bahkan menurut
penelitian Syihabuddin al Qalyubi33hadis-hadis hisab ru‟yah mengandung sepuluh
interpretasi yang beragam.Sehingga dalam wacana pemikiran hisab rukyah di Indonesia

26
Lajnah Falakiah, Pedoman Rukyat Dan Hisab Nahdlatul Ulama, Lajnah Falakiah Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama, 2006, hlm. 4 – 5 dan hlm. 47. Aritmatik adalah tanggal yang dapat dihitung hanya dengan
cara aritmatika.Secara khusus, tidak perlu untuk membuat pengamatan astronomi atau mengacu pada
pengamatan astronomi, contoh dari perhitungan ini adalah kalender masehi. Lihat Shofiyullah, Mengenal
Kalender Lunisolar di Indonesia,Malang : PP. Miftahul Huda, 2006, hlm 04.
27
Ibid.
28
Tono Saksono, loc.cit.
29
Susiknan Azhari, Ilmu Falak (Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern), Yogyakarta : Suara
Muhammadiyah, 2007, cet 2, hlm. 98.
30
Susiknan Azhari, loc.cit.
31
Ibid.
32
Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Menyatukan Nu Dan Muhammadiyah Dalam Penentuan Awal
Ramadhan, Idul Fitri, Dan Idul Adha, Jakarta : Erlangga, hlm. 3
33
Syihabuddin al Qalyubi, Hasyiyah Minhaj al Thalibin, Kairo : Mustafa al Babi al Halabi, jilid II,
1956, hlm. 45.

28
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

terdapat banyak aliran yang juga dampak dari perbedaan pehamaman hadis hisab rukyah
tersebut.
Perbedaan kata rukyah sering dikaitkan dengan perbedaan antara madzhab hisab
dengan madzhab rukyah dalam memaknai hadis Nabi: Berpuasalah karena melihat hilal
(Ramadan), dan berhentilah berpuasa karena melihat hilal (Syawal). Sebagian memaknai
kata melihat (rukyah) dalam hadis tersebut dengan melihat secara langsung dengan mata
kepala (rukyah bil fi‟li) sedangkan sebagian yang lain memahami bahwa rukyah tidak
harus dilakukan secara faktual. Apabila sistem hisab menunjukkan bahwa hilal sudah di
atas ufuk, maka hal itu menunjukkan masuknya bulan baru hijriah. Artinya, secara faktual
memang mungkin saja hilal tidak nampak di atas ufuk, akan tetapi secara teoritis hilal
sebenarnya sudah wujud di atas ufuk. Inilah yang disebut dengan rukyah bil „ilmi.Akan
tetapi, pengertian kata rukyah dalam madzhab rukyah bil fi‟li pun pada dasarnya
mengalami perkembangan.
Di Indonesia dua ormas Islam inilah yang tercatat (mengklaim) memiliki umat
terbesar. Tapi mengenai ru‟yah dan hisab dua metode ini juga dipakai oleh berbagai
ormas yang lain selain kedua tersebut. seperti Persis (Persatuan Islam) juga memakai
metode hisab saja seperti yang dilakukan Muhammadiyah, demikian juga dengan yang
lain.
 Muhammadiyah
Melalui keputusan Majelis Tarjihnya Muhamadiyah berpendapat bahwa
berpegang pada wujud (adanya) bulan.Artinya, kalau menurut perhitungan hisab,
bulan sudah berwujud (beberapa derajat di atas ufuk) maka besoknya adalah
lebaran.Muhammadiyah tidak mempersoalkan apakah wujud bulan tersebut bisa
diru'yah atau tidak.
Kelompok tersebut mendasarkang hisab dengan menafsirkan "ru‟yah" dengan
ru'yah bil 'ilmi (melihat dengan ilmu). Pendapat kelompok ini didasarkan atas ayat
alQuran surat Yunus (10:5). Ayat inilah yang menjadi pijakan lahirnya Ilmu Hisab.Ilmu
ini digunakan secara sangat luas untuk menentukan waktu salat dan kalender Hijriyah,
awal akhir bulan, hari raya (Idul Fitri - Idul Adha), wukuf di Arafah dan ibadah
lainnya.Kelompok ru‟yah bil ilmi berpendapat awal dan akhir bulan tidak ditentukan oleh

29
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

beberapa derajat ketinggian hilal.Jika berdasarkan penghitungan hisab hilal sudah


nampak, berapa pun ketinggiannya, maka hitungan bulan baru sudah masuk. 34
 Nahdlatul Ulama
Namun lain halnya dengan NU. Meskipun juga menggunakan hisab, tapi
kedudukannya hanya sebagai pembantu saja.Demikian pula terhadap rukyah bil fi‟li.
Ada sebagian mereka yang berpegangan pada laporan hasil rukyat semata, sehingga
bagaimana pun keadaan materi laporannya, asal orang yang melapor adalah orang
yang adil dan bersumpah telah melihat hilal, maka laporannya diterima yang
kemudian dijadikan dasar penetapan awal bulan. Sementara sebagian lainnya
berpandangan bahwa laporan hasil rukyat perlu dikontrol oleh ilmu pengetahuan
(hisab).
Kedua kelompok ini masing-masing memiliki landasan yang dipandang kuat
bahkan masing-masing merasa benar terhadap apa yang ditempuh oleh kelompoknya. Di
samping itu, masing-masing kelompok merasa memiliki otoritas hak dan kewajiban untuk
memberikan bimbingan serta arahan pelaksanaan ibadah terhadap anggota kelompoknya
sendiri-sendiri.Keadaan demikian inilah salah satu hambatan terciptanya penyatuan
kalender qamariyah di Indonesia, khusunya penentuan awal bulan Ramadlan, Syawal,
dan Dzulhijjah.
Oleh sebab itu, untuk kemaslahatan umat (bangsa Indonesia) serta menjaga
keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia maka berangkali di negeri ini perlu dibangun
madzhab tersendiri.Madzhab ini tentunya diusahakan dapat mengakomodir berbagai
pendapat yang ada, disamping tetap memperhatikan petunjuk Rasulullah saw dan
perkembangan iptek (hisab).

D. Debatable Qath’iy dan Dzanny, Istbat dan Nafyu Itsbat


Nuansa fiqh dari persoalan hisab ru‟yah ini dapat dilihat jelas dalam rentetan
sejarah perselisihan pemahaman yang terjadi antara para ulama, di mana munculnya
mazhab hisab dan mazhab ru‟yah secara makro adalah merupakan manifestasi dan
refleksi dari perbedaan pemahaman terhadap dasar hukum hisab ru‟yah.Secara intern,
baik hisab maupun ru‟yah juga terdapat perbedaan.Sehingga oleh para faqih, persoalan ini
termasuk masalah khilafiyah klasik, atau dengan kata lain, termasuk hukum Islam yang

34
Armahedi Mahzar dan Yuliani Liputo, 2002: 249

30
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

diperselisihkan di kalangan fuqahasebagai akibat dari perbedaan ijtihad yang


ditempuhnya.35 Lebih lanjut Mastuhu dan Simuh memasukkan persoalan hisab rukyah ke
dalam bidang fiqh dalam wacana islamic studies.36
Dalam beberapa kitab fiqh telah diterangkan adanya perbedaan pemahaman
terhadap term “ru‟yah”, yang akhirnya melahirkan mazhab besar, yakni mazhab hisab
dengan pemahaman ta‟aqqulisedangkan mazhab rukyah dengan pemahaman
ta‟abbudi.Selain itu juga terjadi perbedaan dalam memahami term faqduru
lahu.Mayoritas fuqaha memahami dengan harus disempurnakan tiga puluh hari (istikmal)
sedangkan sebagian yang lain mengartikan dengan „udhdhuhu bi al hisab yang berarti
hitunglah dengan hisab.37
Perbedaan juga terjadi dalam satu tubuh pemikiran yang notabenenya satu
mazhab, seperti dalam mazhab syafi‟i terdapat duan pemahaman yang berbeda. Yang
pertama dari kalangan mutaakkhirin mazhab syafi‟i seperti ibnu hajar al haitami, dalam
kitabnya tuhfah al muhtaj bahwa tidak wajib berpuasa disebabkan melihat hilal ramadhan
sebelum matahari terbenam, sekalipun terdapat awan dan hilal sudah tinggi, yang
seandainya tidak ada awan, niscaya ia tidak dapat dilihat secara pasti, artinya harus
istikmal. Hal ini menurutnya karena kewajiban puasa berkaitan dengan ru‟yah setelah
matahari terbenam sehingga yang menjadi pegangan ru‟yahnya bukan hilalnya. 38
Kemudian yang kedua adalah Imam Qalyubi, Imam Ramli, al Ibbadi, Syarwani,
dan al Subkhi.Mereka berpendapat bahwa kewajiban puasa adalah atas dasar hisab
walaupun dalam posisi hilal tidak mungkin bisa dilihat.39Dan masih banyak lagipersoalan
yang memunculkan perbedaan pemahaman tersebut.
Disamping itu, jika ditilik dari dasar hukumnya, para fuqahatelah berupaya untuk
menemukan kesimpulan hukum melalui ijtihad dari celah-celah dalil-dalil yang zhanni,
baik wurud maupun dilalahnya sebagaimana dalam persoalan hisab rukyah awal
Ramadhan dan Syawal.

35
Ahmad Izzuddin, op.cit, hal. 61
36
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, cet. II, Jakarta : Logos Wacana Ilmu dan
Pemikiran, 1999, hal. 223. Lihat juga Simuh, Pembandingan Ilmu Agama Islam Perguruan Tinggi Islam di
Indonesia, Yogyakarta : P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1995, hal. 3.
37
Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid, Jilid I, Kairo : Beirut, t.t, hal. 284.
38
Ibnu Hajar al Haitami, Tuhfah al Muhtaj, jilid III, Kairo : Beirut, t.t, hal. 374.
39
Al Syarwani, Hasyiyah Syarwani, Kairo : Beirut, t.t, hal. 373, lihat juga Ibnu al Qhasimy, Hasyiyah al
Ibbadi, Kairo : Beirut, t.t, hal. 78.

31
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

Fiqh telah mengatur bahwa persoalan yang bersifat kemasyarakatan perlu dan
dibenarkan adanya campurtangan Pemerintah (ulil amr) untuk mencapai kemaslahatan
umum. Oleh sebab itu, persoalan penetapan awal bulan Ramadlan, Syawal, dan
Dzulhijjah (di Indonesia) di pandang perlu adanya campurtangan Pemerintah, bahkan
dipandang perlu pula pendapat bahwa “Pemerintah-lah yang berhak menentukan awal-
awal bulan itu”.
Apalagi memperhatikan penetapan awal bulan Ramdalan pada masa Rasulullah
saw seperti yang terdapat pada hadis riwayat Abu Daud, an-nasa‟i, at-Tirmidzi, dan Ibnu
Majah dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas:
ّ‫ت انٓال ل قال أتشٓد أٌ ال إن‬ٚ‫ّ ٔسهى فقال إَٗ زأ‬ٛ‫ صهٗ هللا عه‬ٙ‫ إنٗ انُث‬ٙ‫جاء أعسات‬
ٌ‫ا تالل أذٌ فٗ انُاس أ‬ٚ ‫إال هللا قال َعى قال أتشٓد أٌ يحًدا زسٕل هللا قال َعى قال‬
40
‫صٕيٕا غدا‬ٚ
"Seorang Badui datang kepada Nabi SAW lalu ia berkata : "Saya telah melihat hilal".
Lalu Nabi bertanya : Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah ? Badui
menjawab “Ya”. Nabi bertanya ; Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah
?. Badui menjawab : Ya. Kamudian Rasulullah berkata : Ya Bilal, umumkan kepada
manusia untuk berpuasa besuk pagi"

Hadis di atas memberikan pengertian bahwa bukanlah rukyat A‟rabi itu yang
menetapkan awal bulan Ramadlan, melainkan ketetapan (itsbat) Rasulullah Saw itulah
yang merupakan putusan untuk memulai puasa Ramadhan.Oleh karenanya, rukyah
maupun hisab keduanya (secara umum) merupakan alat bukti yang dapat digunakan
sebagai dasar penetapan. Sementara yang berhak menetapkan adalah pimpinan
masyarakat (pemerintah) .
Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa penetapan awal-awal bulan tersebut harus
ditetapkan oleh ulil amr (Pemerintah).Apabila Pemerintah telah menetapkannya maka
seluruh masyarakat harus mematuhinya.41Sementara jumhur ulama (Hanafi, Maliki, dan
Hambali) tidak mengharuskan adanya penetapan oleh Pemerintah.Tetapi apabila
Pemerintah menetapkannya maka penetapan Pemerintah ini mengikat bagi seluruh
masyarakat.42
43
‫ساِ ٔجة انصٕو عهٗ انكافح‬ٚ ‫فإٌ حكى تّ حاكى‬

40
Asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz IV, hlm. 209
41Asy-Syarwani, Khasyiyah as-Syarwani, Juz III, hlm.376. Lihat pula Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj,
Juz III, hlm.149, Al-Jazari, Al-Fiqh „ala Madzahibil Arba‟ah (Mesir: At-Tijariyah Kubra, tth), Juz I, hlm.433
42 Al-Jazari, Al-Fiqh „ala Madzahibil Arba‟ah , Juz I, hlm.434
43 Asy-Syarwani, Khasyiyah asy-Syarwani „ala Tuhfatil Muhtaj, Juz I, hlm.376.

32
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

“Apabila hakim (Pemerintah) telah menetapkan terlihatnya hilal maka puasa wajib
dilaksanakan bagi seluruh penduduk di negeri itu”.

Dengan demikian apabila Pemerintah (ulil amr) telah menetapkan awal-awal


bulan tersebut maka seluruh umat Islam yang berada di wilayah pemerintahan itu harus
tunduk dan mengikuti apa yang telah ditentukan.

E. Fiqh Hisab Rukyah


Beberapa ayat Al-Qur‟an menyatakan, peredaran bulan dan matahari bisa dijadikan
pedoman untuk menentukan awal bulan Qamariah. Dalam
perkembangannya, fuqaha‟ (pakar fiqih) berbeda pendapat dalammenafsirkan ayat
tersebutdikaitkan dengan teks hadis, laju sains dan teknologi, serta kondisi riil masyarakat
di sekitarnya.
1. Rukyah
a. Imam Hanafi

َ ُ ْ ْٔ َ ‫ف َإ َِْ َس أ‬، ٌَ‫ش ْع ث َا‬


َٔ ،‫ص ا ُي ٕا‬ َ ُْ ًِ َ ُٚ ِ‫ َ ْٕ ِي ان ت َّا ِس ِع َٕ انْ ِع ْش س‬ٛ ْ‫ان‬ِٛ ‫ َهْ ت َ ًِ سُٕاانْ ِٓ َال ن َف‬ٛ ََْ ‫ ه ِ ه ُ َّا ِس أ‬ٛ ‫ َُْ ث َ ِغ‬ٚ َٔ
44
َ َ ‫ْ ِٓ ًْ أ َ ْك ًَ ه ُٕا ِع دَّ ج‬َٛ ‫إ َِْ ُغ ًَّ َع ه‬
‫ َ ْٕ ًي ا‬َٛ ُ ِٛ ‫ش ْع ث َا َ َث َ َال ث‬
Hendaklah berpegang kepada hilal pada har ke 29 dari bulan sya‟ban, mak jika
kamu melihat hilal berpuasalah, dan jika mendung genapkanlah jumlah bulan
sya‟ban menjadi 30 hari.

b. Imam Maliki
‫دشٓسزيْا‬ٚ‫تحد‬ٛ‫ٔعهىأَاالعتثازف‬،ٍٛ‫كَٕثالث‬ٚٔ،ٍٚ‫كَٕتسعأعشس‬ٛٛ‫أَانشٓسانعست‬
45
. ّ‫ت‬ٚ‫ٔأفطسٔانسؤ‬،ّ‫ت‬ٚ‫ٓانصالجٔانساليصٕيٕانسؤ‬ٛ‫نقٕنٓعه‬،‫ح‬ٚ‫إًَإْانسؤ‬،ٌ
Bahwasanya bulan arab itu terkadang 29 hari, dan terkadang 30 hari. Dan untuk
bulan ramadhan, yang menjadi pegangan adalah ru‟yah, hal ini berdasarkan hadis
nabi saw berpusalah kamu karena melihatnya, dan berbukalah karena melihatnya.

c. Imam Syafi‟i
‫ستكًهٕا‬ٚ ٌ‫ٓى ٔجة أ‬ٛ‫ح ان ٓالل فإٌ غى عه‬ٚ‫جة صٕو ا نسيْاٌ إال تسؤ‬ٚ ‫ٔ ال‬
46
ٌ‫شعثا‬
Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali karena ru‟yatul hilal.Maka apabila hilal
tertutup awan bagi mereka maka wajib bagi mereka mentyempurnakan bulan
sya‟ban (tiga puluh hari).

44
AsySyaukani, FathulQadir, Juz 4, Maktabah Syamilah, hlm. 289.
45
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, Maktabah Syamilah, hlm. 228.
46
An Nawawi, al Majmu‟, Jilid IV, Maktabah Syamilah, hlm. 269,

33
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

ٕ‫ح انٓالل تعد انغسٔب ال تٕسطح َح‬ٚ‫جة صٕو انسيْاٌ تإكًال شعثاٌ أٔ تسؤ‬ٚ
47
‫يسأج‬
"Wajib berpuasa Ramadhan karena kesempurnaan bulan sya‟ban atau rukyatul
hilal sesaat Matahari terbenam tanpa perantara (alat) seperti cermin".

d. Imam Hambali
‫ٕياثًصايٕا‬ُٛٛ‫سيعانصحٕأ كًهٕاعدجشعثاَثالث‬ًٛ‫حانٓالنفاَه‬ٚ‫جثصٕيسيْاَثسؤ‬ٚٔ
48
،
Diwajibkan berpuasa Ramadhan dengan menggunakan ru‟yah hilal jika belum
terlihat maka sempurnakanlah jumlah Sya‟ban 30 hari kemudian berpuasalah.

2. Hisab
Di kalangan imam yang empat juga menuai perbedaan mengenai hisab sebagai
penentu awal bulan qamariyah :
a. Imam Hanafi
Tidak bisa dijadikan pegangan berita yang diberitahukan oleh ahli hisab,
karena menyalahi syariat Nabi kita saw, karena sesungguhnya, sekalipun benar
hisab itu, maka kita tidak diperintahkan secara syara' kecuali dengan ru'yah yang
biasa.49
b. Imam Maliki
Hilal tidak bisa menjadi ketetapan dengan pendapat ahli hisab yaitu orang
yang menghitung perjalanan bulan.Baik bagi si ahli hisab maupun yang
lainnya.Karena Nabi mengaitkan puasa, Idul Fitri, haji dengan ru'yatul hilal.Bukan
dengan wujudul hilal sekalipun perhitungannya benar.Maka mengamalkan dengan
penelitian falaksekalipun benar, tidak boleh dan tidak dituntut secara syara' seperti
yang lain.50
c. Imam Syafi‟i

47
Ibnu Hajar, Tuhfatul Muhtaj, Juz 13, hlm. 178-179.
48
Ibnu Qudamah, Syarhul Kabir, Juz 3, Maktabah Syamilah, hlm. 4.
49
Baca selengkapnya Sarkhasiy, al Mabsuth, Juz 4 hlm. 61, Maktabah Syamilah, lihat juga di Raddul
Mukhta, Juz VII, hlm. 365.
50
Ad Dardiry, SyarhulKabir, Juz 1, ,Maktabah Syamilah, hlm.59.

34
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

Pendapat ahli hisab itu mu'tabar tetapi untuk dirinya sendiri dan untuk orang
yang mempercayai si ahli hisab.Maka tidak wajib berpuasa atas manusia secara
keseluruhan dengan menggunakan pendapat si ahli hisab, atas pendapat yang
kuat.Untuk yang mengetahui hisab boleh mengamalkan ilmunya, untuk diri
sendiri, tidak untuk disebarluaskan.51
d. Imam Hambali
Tidak wajib puasa dengan sebab hasil hisab, sekalipunkebanyakannya tepat,
karena tidak ada sandarannya terhadap apa yang dijadikan pegangan secara
syara'.52
Ayatmaupun hadis yang menjadi landasan penetapan awal dan akhir puasa pada
dasarnya tidak berisi perintah langsung melakukan hisab atau rukyah. Implikasinya adalah
yang terpenting bagi umat adalah melaksanakan puasa, bukan mempertentangkan• hisab
atau rukyah. Dengan kata lain, semangat yang diutamakan adalah kemasalahatan umat:
menjaga kesatuan dan kerukunan umat.
Kata-kata yang menjadi dasar melakukan hisab atau rukyah, yaitu syahida dan ru‟yah.
Keduanya tidak menunjukkan satu pilihan :merukyah atau menghisab saja. Karena kedua
kata itu mengandung makna melihat atau menyaksikan hilal bil fi‟li maupun bil ilmi.Idealnya
hisab dan rukyah dapat disinergikan dengan mempertimbangkan berbagai faktor karena ilmu
dan realitas (hasil rukyah) mestinya tidak bertentangan.Oleh sebab itu, kurang bijak
jika itsbat awal dan akhir Ramadhan hanya didasarkan pada satu metode dengan
mengesampingkan metode lainnya.
Praktek penentuan awal Ramadlan dan Syawal berdasarkan salah satu dari rukyat atau
istikmal berlaku sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan berlangsung terus sampai tiba
saatnya perkembangan ilmu hisab di kalangan muslimin mulai menampakkan kemajuan.
Sejak saat inilah muncul gagasan untuk menjadikan pertimbangan hisab sebagai cara baru
dalam menetapkan awal bulan. Tampaknya hal ini berlangsung sejak masa tabi‟in, seperti
terbukti dari munculnya pendapat dari kalangan mereka tentang penggunaan hisab itu.
Sebenarnya persoalan penetapan awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah
termasuk masalah fiqh yang dzanny atau fiqh ijtihadi infiradi yang dapat dilakukan oleh
setiap individu muslim. Oleh karena itu, bagi orang awam diberikan hak bebas memilih dan
51
An Nawawi, Majmu‟, Juz 6, Maktabah Ayamilah, hlm. 276, lihat juga Tuhfatul Muhtaj fi Syarh al
Minhaj, Juz 13, hlm. 201-202
52
Ibnu Qudamah, SyarhulKabir, Juz 3, hlm. 26

35
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

mengikuti pendapat mana yang dipandang sesuai dengan hati nuraninya.Atas dasar inilah,
maka hasil rukyat seseorang hanya berlaku bagi dirinya sendiri dan orang-orang yang
mempercayainya.Demikian pula hasil hisab hanya berlaku bagi yang menghitungnya sendiri
dan orang-orang yang meyakini kebenarannya.

Kesimpulan
Semua madzhab termasuk empat madzhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan
Hambali) sepakat bahwa awal masuk Ramadhan dan syawal, Dzulhijjah harus melalui
ru‟yah bukan dengan hisab. Meskipun keduanya dapat dijadikan panduan dalam penentuan
awal bulan qamariyah. Namun ada sebagian ulama zaman akhir ini yang membolehkan awal
masuknya bulan Ramadhan, syawal dengan hisab, tetapi mayoritas dari ulama madzhab
dengan jalan ru‟yah, karena hal ini yang lebih mendekati kebenaran dan sejalan dengan
sunnah Rasulallah saw. dan para sahabatnya. Dengan ini bukan berarti menafikan keberadaan
hisab. Hisab tetap dapat digunakan, keduanya bisa dipadukan untuk menetapkan awal bulan
qamariyah sebagai penentu ibadah umat Islam. Ru‟yah yang bersifat ta‟abbudi bisa
digunakan sebagai alat verifikasi terhadap hisab yang bersifat ta‟aqquli.
Penentuan awal Ramadhan dan hari Raya tidak lagi dikatakan mudah dan sulit
diterapkan di masyarakat karena terbentur perbedaan mazhab hukum (misalnya, ada yang
menganggap tidak sah cara hisab), dan kepercayaan kepada pemimpin umat yang tidak
tunggal. Untuk mewujudkan kesatuan pelaksanaan awal Ramadhan dan hari Raya di seluruh
dunia perlu adanya ijma‟ (konsensus) ulama.

Daftar Pustaka
 Sumber al Quran
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Semarang :
Kumudasmoro Grafindo, 1994.
 Sumber hadis
Al-Bukhory, Abu Abdillah Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim ibn al-Mughiroh bin
Bardazbah Shahih al-Bukhori, Jilid 1, Kairo: Dar al-Hadits, 2004.
Al-Naisaburi, Imam Abi Husain Muslim bin Hujja ibn Muslim al-Qusyairi, Shahih al
Muslim, Dar al Kutb al Ilmiyah.

 Sumber fiqh

36
Al-Asfar: Jurnal Studi Islam
e-ISSN: 2723-7354
Volume 3 No. 1 Juni 2022

Ad Dardiry, SyarhulKabir, Juz 1, ,Maktabah Syamilah.


Al Jaziri,Abdurrahman,Fiqh Ala Madzahibil Ar-Ba‟ah, Beirut : Darul Kutub Ilmiah.
al Qalyubi,Syihabuddin,Hasyiyah Minhaj al Thalibin, Kairo : Mustafa al Babi al Halabi,
jilid II, 1956.
An Nawawi, al Majmu‟, Jilid IV, Maktabah Syamilah.
Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, Juz III.
AsySyaukani, Fathul Qadir, Juz 4, Maktabah Syamilah.
Asy-Syarwani, Khasyiyah asy-Syarwani „ala Tuhfatil Muhtaj, Juz I.
Khhutaib,Syamsuddin Muhammad Bin Muhammad,Mughni Al Muhtaj Juz 2, Beirut :
Darul Kutub Ilmiah.
Qudamah, Ibnu,Syarhul Kabir, Juz 3, Maktabah Syamilah.
Rusyd,Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Juz I, Maktabah Syamilah.
Sarkhasiy, al Mabsuth, Juz 4, Maktabah Syamilah,

 Sumber buku dan lain-lain


Azhari,Susiknan,Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008.
, Ilmu Falak (Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern), Yogyakarta : Suara
Muhammadiyah, 2007, cet 2.
Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981.
Izzuddin,Ahmad,Fiqh Hisab Rukyah Menyatukan Nu Dan Muhammadiyah Dalam
Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri, Dan Idul Adha, Jakarta : Erlangga.
Jusuf Habibie,Burhanuddin,Rukyah dengan Teknologi, Jakarta : Gema Insani Press.
Khazin,Muhyiddin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta : Buana Pustaka, 2005.
,Ilmu Falak (Dalam Teori dan Praktik), Yogyakarta : Buana Pustaka, 2004.
Lajnah Falakiah, Pedoman Rukyat Dan Hisab Nahdlatul Ulama, Lajnah Falakiah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Munawwir, Achmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Surabaya : Pustaka Progressif, 1997, cet 14.
Saksono, Tono, Mengkompromikan Rukyat & Hisab,Jakarta : Amythas Publicita, 2007.
Shiddiqi,Nouruzzaman,Fiqh Indonesia : Penggagas Dan Gagasanya, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1997.
Shofiyullah, Mengenal Kalender Lunisolar di Indonesia,Malang : PP. Miftahul Huda,
2006.

37

Anda mungkin juga menyukai