Anda di halaman 1dari 20

BERBUKA PUASA BAGI ORANG SAFAR PADA BULAN

RAMADHAN (STUDI KOMPARATIF ANTARA


IMAM ASY-SYAFI’I DAN IBNU HAZM)

JURNAL

Oleh:

MUHAMMAD FAUZAN BIN MOHD ROZALI


NIM.11423106229

PROGRAM SI
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
1440 H / 2018 M
ABSTRAK

Skripsi ini berjudul : “Berbuka Puasa Bagi Orang Safar Pada Bulan
Ramadhan (Studi Komparatif antara Imam asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm)”.

Dalam penulisan skripsi ini, dilatarbelakangi oleh dua orang tokoh yang
berpengaruh yaitu Imam asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm yang mempunyai pandangan
yang berbeda mengenai berbuka puasa bagi orang safar pada bulan Ramadhan.
Penulis mengambil pokok permasalahan sebagai berikut: Pertama, bagaimana
pendapat Imam asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm tentang berbuka puasa bagi orang
safar pada bulan Ramadhan serta dalil dan metode istinbath hukum yang
digunakan. Kedua, bagaimana analisa muqaranah terhadap Imam asy-Syafi’i dan
Ibnu Hazm tentang berbuka puasa bagi orang safar pada bulan Ramadhan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum Islam normatif yang
dilakukan dengan menggunakan metode library research, yaitu dengan
mengambil dan membaca serta menelaah literatur-literatur yang berhubungan
dengan penelitian ini karena semua data bersifat sekunder. Pendekatan yang
penulis gunakan dalam penulisan ini adalah dengan menelaah konsep-konsep atau
teori-teori yang dikemukakan oleh Imam asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm, seterusnya
menggunakan pendekatan perbandingan hukum, yaitu dengan membandingkan
pendapat Imam asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm mengenai hukum berbuka puasa bagi
orang safar pada bulan Ramadhan.
Hasil kajian mendapatkan bahwa dalam masalah hukum berbuka puasa
bagi orang safar ini kedua tokoh tersebut sama-sama teguh dengan argument
masing-masing. Mereka menggunakan dalil yang sama yaitu surah al-Baqarah
ayat 184 dan ayat 185, namun dalam memahami metode istinbāṭ yang berbeda
dan penggunaan hadits yang berbeda. Di sini, Imam asy-Syafi’i berpendapat
bahwa hukum berbuka puasa bagi orang safar pada bulan Ramadhan adalah
diperbolehkan padanya untuk berbuka atau tetap berpuasa pada saat itu, beliau
memahami dalil tersebut sebagai majaz, seakan-akan Firman ini berbunyi,“...lalu
dia berbuka (tidak berpuasa), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu pada hari-hari lain.” Cara penghapusan sebagian kata seperti
ini dikenal dengan istilah lahnul khithaab. Beliau juga berlandaskan pada Firman
Allah, “Dan berpuasa lebih baik bagimu” pada ayat 184 surah al-Baqarah.
Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat bahwa hukum berbuka puasa bagi orang safar
pada bulan Ramadhan adalah wajib berbuka bila telah melewati satu mil. Beliau
memahami pada ayat 185 surah al-Baqarah, ayat ini Muhkam (jelas hukumnya)
berdasarkan Ijma’ kaum muslimin. Benarlah bahwa Allah tidak mewajibkan
puasa Ramadhan kecuali terhadap orang yang hadir (di tempat tinggalnya) di
bulan ini. Setelah dikaji dan diteliti, maka penulis lebih cenderung memilih untuk
menggunakan pendapat Imam asy-Syafi’i karena berbuka puasa bagi orang safar
adalah pilihan dan bukannya wajib jika mereka mampu melakukannya dan beliau
lebih berhati-hati dalam menggunakan rukhshah (keringanan hukum yang
diberikan oleh Allah). Dalam penulisan skripsi ini, saya menggunakan kaidah
‫(االمر فى االصل للوجوب وال تدل على غيره اال بقرين‬Perintah pada asalnya
menunjukkan arti wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya).

A. Latar Belakang Masalah


Secara bahasa puasa berarti menahan diri dari segala sesuatu 1.
Pengertian lain menjelaskan bahwa puasa adalah menahan diri dari sesuatu
yang membatalkan , satu hari lamanya dari terbit fajar sampai terbenam
matahari dengan niat dan beberapa syarat2.
Orang yang berpuasa menjauhkan dirinya dari azab Allah Ta’ala, yang
akan menimpa akibat maksiat-maksiat yang kadang ia lakukan. Puasa
merupakan kafarat (penghapus) dosa dari tahun ke tahun. Dengan melakukan
ketaatan kepada Allah, seorang mukmin dapat beristiqamah di atas kebenaran
yang disyariatkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sebab puasa merealisasikan
taqwa yang esensinya adalah melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi
larangan Tuhan3. Allah Ta’ala berfirman pada surat al-Baqarah ayat 183:
  
  
    
   
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa”4.
B. Biografi Imam asy-Syafi’i
1. Riwayat Hidup Imam asy-Syafi’i
Imam Syafi’i dilahirkan pada 150 Hijriah, bertepatan dengan
wafatnya Imam Abu Hanifah, guru para ahli fikih Irak dan imam metode
qiyas5. Mayoritas riwayat mengatakan bahwa Syafi’i dilahirkan di Ghaza,
Palestina, seperti yang diriwayatkan oleh Hakim melalui Muhammad ibn

1
Jejen Musfah, Risalah Puasa, Menjadikan Bulan Ramadhan Sebagai Bulan Penuh
Pahala, (Yogyakarta: Hijrah, 2004), cet. ke-1, hlm. 22
2
H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954), cet. ke-1, hlm. 220
3
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu, jilid.3, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
cet. ke-1, hlm. 20
4
Department Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (CV Penerbit Deponegoro : 2010),
hlm. 28
5
Tariq Suwaidan, Biografi Imam Syafi’i, (Jakarta: Zaman, 2015), cet. ke-1, hlm. 14
al-Hakam. Ia berkata, “kudengar Syafi’i bertutur, ‘Aku dilahir di Ghaza,
kemudian ibuku memboyongku ke Asqalan.’6
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu abdillah Muhammad ibn
Idris ibn al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn Abd
Yazid ibn Hasyim ibn Muthallib ibn Abdi Manaf. Akar nasab Syafi’i
bertemu dengan akar nasab Nabi SAW. 7
C. Pengertian Puasa
Kata puasa berasal dari bahasa arab yaitu (‫ )صوم‬yang asal katanya
(‫ )صام‬menurut bahasa artinya menahan (dari makan, minum, dan lain
sebagainya)8. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam Firman Allah Ta’ala
berikut.
   

Artinya : “Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa
untuk Tuhan yang Maha pemurah”. (QS. Maryam: 26).

   



Artinya : “Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada
hari ini". (QS. Maryam: 26)9.

B. ayatDasar Hukum Puasa


Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun islam yang
dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Ulama telah sepakat
bahwa puasa di Bulan Ramadhan hukumnya wajib10. Berdasarkan dalil al-
Quran, sunnah, dan ijma’, puasa bulan Ramadhan merupakan salah satu
rukun dan fardhu (kewajiban) dalam islam11.
1. Dalil dari al-Quran adalah dalam Surah al-Baqarah ayat 183 dan ayat
185:
  
  
    

6
Ibid, hlm. 15
7
Ibid
8
Ahmad Warson Munawair, Kamus Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1977), cet. ke-II, hlm. 804
9
Department Agama RI, op.cit, hlm. 307
10
Akbarizan, Tafsir Ayat Ahkam, (Pekanbaru: Suska Press, 2008), cet. ke-I, hlm. 121
11
Wahbah al-Zuhaili, op.cit, hlm. 30
  

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa”12.

Di dalam ayat di atas, kewajiban berpuasa itu secara jelas dengan


menggunakan lafaz ‫كتب‬yang berarti kewajiban yang telah dituliskan di luh
mahfuzh13.

   


  
  
  
   
    
    
    
   
 
 
   
  


Artinya : “Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,


bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-
hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan

12
Department Agama RI, op.cit, hlm. 28
13
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet. ke-1,
hlm. 53
tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur”14.

2. Hadits, diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, dia berkata , Rasulullah SAW
bersabda:
‫صالَ ِة َو ِإ ْيتَا ُء‬ ُ ‫ش َهادَة ُ أ َ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هللاُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدا ً َر‬
َّ ‫س ْو ُل هللاِ َو ِإقَا ُم ال‬ َ : ‫ي اْ ِإل ْسالَ ُم َعلَى َخ ْم ٍس‬
َ ‫بُ ِن‬
َ‫ضان‬ َ ‫ص ْو ُم َر َم‬َ ‫ت َو‬ ِ ‫الزكَا ِة َو َح ُّج ْال َب ْي‬
َّ
Artinya : “Islam didirikan atas lima dasar , bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan berpuasa
Ramadhan”15.

Hadits yang sangat masyur dari Jibril , ia berkata, “Apakah itu


islam?”. Beliau menjawab:
« َ‫ضان‬ َّ ‫ َوتُؤْ تِي‬،َ ‫ص َالة‬
ُ َ‫ َوت‬،َ‫الز َكاة‬
َ ‫صو ُم َر َم‬ َّ ‫ َوت ُ ِقي ُم ال‬،‫» َال ت ُ ْش ِركُ ِباهللِ َش ْيئًا‬
Artinya : “Tidak menyekutukan sesuatu dengan Allah, mendirikan
shalat, menunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa
Ramadhan”16.
1. Syarat-Syarat Wajib Puasa
a. Berakal
b. Baligh
c. Memiliki kemampuan
d. Tidak dalam keadaan tidak sedar.
e. Tidak dalam perjalanan (musafir).
f. Tidak membahayakan pelaku puasa.
g. Tidak menyulitkan pelaku puasa17.
2. Syarat-Syarat Sah Puasa
a. Islam. Orang yang bukan Islam tidak sah puasa.
b. Mumayyiz. (dapat membedakan yang baik dengan yang tidak baik).
c. Suci dari darah haid (kotoran dan nifas (darah sehabis melahirkan),
orang yang haid atau yang nifas itu tidah sah berpuasa, tetapi

14
Department Agama RI, op.cit, hlm. 28
15
Muslim bin al-hajjaj al-Naisaburi, op.cit, hlm. 36
16
Ibid., hlm. 40
17
Muhammad Ridha Musyafiqi, Daras Fiqih Ibadah, (Jakarta: Nur Al-Huda, 2013), cet.
ke-2, hlm. 310
keduanya wajib mengqadha (membayar) puasa yang tertinggal itu
dengan secukupnya18.
d. Dalam waktu yang diperbolehkan berpuasa padanya . dilarang puasa
pada dua hari raya dan hari Tasyri’ (tanggal 11-12-13 bulan haji).
A. Rukun Puasa
1. Niat pada malamnya , yaitu setiap malam selama bulan ramadhan. Yang
dimaksud dengan malam puasa ialah malam yang sebelumnya. Sabda
Rasulullah Saw :
"‫يام له‬
َ ‫ص‬ ِ ‫الفجر فال‬
ِ ‫يام قب َل‬
َ ‫ص‬ ّ ِ ‫"من لم يُجْ ّمعِ ال‬
Artinya : “Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malamnya sebelum
fajar terbit, maka tiada puasa baginya.”
Kecuali puasa sunat, boleh berniat pada siang hari , asal sebelum
zawal (matahari condong ke barat )19.
2. Menahan diri dari jima’ (berhubungan badan) merupakan salah satu rukun
puasa. Dasarnya adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 18720.
3. Menahan diri dari muntah dengan dengan sengaja juga merupakan salah
satu rukun puasa. Abu Dawud (2380) ,Tirmidzi (720) dan selain keduanya
meriwayatkan dari Abu Hurairah , dia berkata bahwa Rasulullah saw.
bersabda yang maksudnya :
“Barangsiapa muntah (tanpa disengaja) sedangkan dia dalam keadaan
berpuasa, maka tidak ada qadha’ baginya. Barangsiapa sengaja muntah,
maka hendaknya dia mengqadha’.21”
B. Jenis Puasa
Dari satu pendapat , puasa terbagi menjadi 4 jenis, yaitu :
1. Puasa wajib, terdiri dari tiga macam :
a. Puasa bulan Ramadhan itu merupakan salah satu dari rukun islam
yang lima, diwajibkan pada tahun kedua Hijriah22. Yaitu tahun kedua
sesudah Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah. Hukumnya fardu
‘ain atas tiap-tiap mukallaf (baligh dan berakal)23.
b. Puasa Kafarat, dalam buku FIQIH IBADAH, Depag RI Puasa
kafarat adalah puasa sebagai penebusan yang dikeranakan

18
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2016), cet. ke-74, hlm. 228
19
Ibid., hlm. 229
20
Musthafa Dib Al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, (Solo : Media Zikir, 2009), cet. ke-5,
hlm. 212
21
Ibid., hlm. 213
22
H. Sulaiman Rasjid, op.cit, hlm. 220
23
Ibid., hlm. 221
pelanggaran terhadap suatu hukum atau kelalaian dalam
melaksanakan suatu kewajiban, sehingga mengharuskan seorang
mukmin mengerjakannya supaya dosanya dihapuskan24.
c. Puasa Nazar, adalah puasa yang tidak diwajibkan oleh tuhan, begitu
juga tidak disunahkan oleh Rasulullah saw., melainkan manusia
sendiri yang telah menetapkannya bagi dirinya sendiri untuk
membersihkan (tazkiyatun nafs) atau mengadakan janji pada dirinya
sendiri bahwa apabila Tuhan telah menganugerahkan keberhasilan
dalam suaru pekerjaan , maka ia akan berpuasa sekian hari.
Mengerjakan puasa nazar ini sifatnya wajib. Hari-hari nazar yang
ditetapkan apabila tiba, maka berpuasa pada hari-hari tersebut jadi
wajib atasnya dan apabila dia pada hari-hari itu sakit atau
mengadakan perjalanan maka ia harus mengqadha pada hari-hari lain
dan apabila tengah berpuasa nazar batal puasanya maka ia
bertanggungjawab mengqadhanya25.
2. Puasa makruh , terdiri dari beberapa macam :
a. Puasa pada hari Jumat secara tersendi
b. Puasa sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan.
c. Puasa pada hari syak (meragukan)26.
3. Puasa Haram, terdiri dari beberapa macam :
a. Puasa pada Hari Raya , baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
b. Puasa pada tiga hari Tasyrik, karena Rasulullah saw. mengutus
seseorang untuk mengumumkan di Mina agar mereka tidak berpuasa
pada hari-hari ini27.
c. Puasa pada hari-hari ketika sedang haid atau nifas, karena terdapat
ijmak dari ulama tentang rusaknya puasa wanita yang haid atau
nifas.
d. Puasa orang sakit yang dikhawatirkan meninggal dunia karena
puasa28.
4. Puasa Sunat

24
Syafrida dan Nurhayati Zein, Fiqh Ibadah, ( Sumatra : CV. Mutiara, 2015), cet. ke-1,
hlm. 98
25
Ibid., hlm. 100
26
Ibid., hlm. 103
27
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim, cet. 1, (Jakarta: Ummul Qura, 2014), hlm.
581
28
Ibid., hlm. 582
Puasa ‘Arafah pada hari ‘Arafah disunnahkan puasa bagi orang yang
a.
tidak sedang melaksanakan ibadah haji, yaitu pada tanggal 9
Dzulhijjah.
b. Puasa ‘Asyura dan puasa Tasu’a, yaitu puasa pada tanggal 9 dan 10
bulan Muharram29.
c. Puasa enam hari pada bulan Syawal.
d. Puasa pertengahan pertama pada bulan Sya’ban, sesuai dengan
pernyataan Aisyah, “aku tidak pernah melihat rasulullah saw
berpuasa satu bulan penuh kecuali pada bulan ramadhan dan aku
tidak pernah melihat beliau melakukan puasa dalam suatu bulan
yang lebih banyak daripada (puasa) pada bulan Sya’ban.
e. Sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah.
f. Puasa pada bulan Muharram30.
g. Puasa pada hari Senin dan Kamis31.
F. Hal yang membatalkan Puasa
Ada beberapa hal yang dapat membatalkan puasa seseorang. Hal-hal
tersebut wajib diketahui oleh setiap muslim, karena dengan mengetahuinya
mereka dapat menghindarinya dan mengamankan puasanya dari hal-hal yang
merusaknya , di antara hal-hal tersebut adalah sebagai berikut.
1. Bersetubuh.
Jika seseorang bersetubuh di saat berpuasa , maka seketika itu
puasanya menjadi batal. Sehingga ia harus mengqadhanya dan harus
membayar kafarat .
2. Mengeluarkan mani karena mencium, menyentuh , berulang-ulang
melihat isteri atau wanita lain , atau juga melakukan onani.
Apabila hal itu terjadi kepada seseorang, maka puasanya menjadi
batal dan ia harus mengqadhanya tanpa harus membayar kafarat. Karena,
kafarat khusus dibayar oleh orang yang bersetubuh di siang hari.
Seseorang yang tidur lalu terkeluar mani, puasnya tetap sah dan
tidak batal. Ia juga tidak mempunyai tanggungan apa-apa, karena hal
tersebut terjadi di luar kehendaknya. Tetapi, ia tetap wajib mandi
janabah32.
3. Makan atau minum dengan sengaja.

29
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, ( Jakarta: Darul Haq, 2016), cet.
ke-14, hlm. 529
30
Ibid., hlm. 530
31
Ibid., hlm. 531
32
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta : Gema Insani, 2006), cet. ke-1, hlm. 297
‫ام إِلَى‬ ّ ِ ‫ض ِمنَ ۡٱلخ َۡي ِط ۡٱۡل َ ۡس َو ِد ِمنَ ۡٱلفَ ۡج ِۖ ِر ث ُ َّم أَتِ ُّمواْ ٱل‬
َ َ‫صي‬ ُ ‫ٱش َربُواْ َحت َّ ٰى يَتَبَيَّنَ لَ ُك ُم ۡٱلخ َۡي‬
ُ َ‫ط ۡٱۡل َ ۡبي‬ ۡ ‫َو ُكلُواْ َو‬
‫ٱلَّ ۡي ِل‬
Artinya: “Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam” (Qs. Al-Baqarah [2]: 187)33.
Jika orang yang sedang berpuasa makan atau minum dengan tidak
sengaja, maka hal itu tidak membatalkan puasanya, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits:
ُ‫َّللاِ ِإ ِني أَ َك ْلت‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سلَّ َم فَقَا َل َيا َر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫ع َْن أ َ ِبي ه َُري َْرةَ قَا َل جَا َء َر ُج ٌل ِإلَى النَّ ِبي‬
َ‫سقَاك‬َ ‫َّللاُ أ َ ْط َع َمكَ َو‬
َّ ‫س ًيا َوأَ َنا صَا ِئ ٌم فَ َقا َل‬ ِ ‫َوش َِربْتُ نَا‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata: ada seorang laki-laki
mendatangi Rasulullah, lalu berkata, "Wahai Rasul, aku telah
makan dan minum karena lupa saat sedang berpuasa." Beliau
bersabda, "(Itu berarti) Allah telah memberi makan dan minum
kepadamu”34.
4. memasukkan air atau sesuatu dari rongga hidung (seperti: memasukkan
obat ke dalam hidung, yang dalam istilah medis disebut Snuff)
Memasukkan sari makanan melalui urat nadi menyuntik darah
pada orang yang berpuasa (karena perbuatan itu bertujuan memberikan
makanan pada tubuh ), dan memasukkan cairan makanan melalui jarum
suntik (karena cairan itu digunakan sebagai pengganti makanan). Oleh
karena itu, orang yang sedang berpuasa sebaiknya menjauhkan diri dari
segala jenis suntikan, meskipun suntikan itu tidak mengandung cairan
pengganti makanan , supaya kesempurnaan puasanya terpelihara dan
dirinya terhindar dari segala keraguan .
5. Mengeluarkan darah dari tubuh dengan cara dibekam serta mendonorkan
darah untuk menolong atau menyembuhkan orang sakit.
Sedangkan mengeluarkan darah yang sedikit ( seperti orang yang
hendak bersumpah dengan mengeluarkan darah ) dan darah yang keluar
tanpa disengaja misalnya terluka atau gigi tanggal ) tidak membatalkan
puasa.
6. Muntah yang disengaja.
Yaitu mengeluarkan makanan atau minuman yang berada dalam
perut melalui mulut dengan sengaja . sedangkan muntah yang tidak

33
Department Agama RI, op.cit, hlm. 29
34
Shalaih Fauzan bin Abdullah Ali, Ringkasan Fikih Syaikh Fauzan, ( Jakarta : Pustaka
Azzam , 2006), cet. ke-1, hlm. 368
disengaja tidak membatalkan puasa35 , berdasarkan sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
"‫ض‬ِ ‫ وإن استقاء فَ ْليَ ْق‬،‫ضا ٌء‬
َ َ‫فليس علي ِه ق‬
َ َ ‫" َم ْن ذَ َر َعهُ قي ٌء وهو‬
،‫صائِ ٌم‬

Artinya : “Barangsiapa muntah dengan tidak disengaja sedangkan dia


dalam keadaan puasa, maka tidak wajib mengqadha,
sedangkan barangsiapa muntah dengan disengaja maka wajib
baginya membayar qadha36.”
7. Gila walaupun sebentar
8. Mabuk atau pengsan sepanjang hari.37
G. Orang-orang yang dibolehkan berbuka
Orang-orang yang dibolehkan berbuka pada bulan Ramadhan adalah
sebagai berikut:
1. Orang Sakit, jika seorang muslim menderita sakit pada bulan ramadhan,
hendaklah ia mempertimbangkan penyakitnya. Jika ia mampu berpuasa
tanpa kesulitan yang berarti , hendaknya ia berpuasa. Tetapi jika ia tidak
mampu berpuasa, maka ia dapat berbuka. Jika ia mempunyai harapan
untuk sembuh dari sakitnya , ia harus menunggu sampai sembuh dan
mengganti puasa yang ditinggalkannya38.
2. Orang yang bepergian jauh (musafir) yang tidak kurang dari 81km. tetapi
ia wajib mengganti puasanya pada hari yang lain sehabis Ramadhan39.
3. Orang tua yang sudah lemah, tidak kuat lagi berpuasa karena tuanya, atau
karena memang lemah fisiknya, bukan karena tua. Maka ia boleh
berbuka , dan ia wajib membayar fidyah (bersedekah) tiap hari ¾ liter
beras atau yang sama dengan itu (makanan yang mengenyangkan )
kepada fakir dan miskin40.
4. Orang hamil dan orang yang menyusui anak. Kedua perempuan tersebut,
kalau takut akan menjadi mudarat kepada dirinya sendiri atau beserta
anaknya, boleh berbuka , dan mereka wajib mengqadha sebagaimana
orang yang sakit. Kalau keduanya hanya takut akan menimbulkan
mudarat terhadap anaknya (takut keguguran, atau kurang susu yang dapat

35
Shalaih Fauzan bin Abdullah Ali, op.cit, hlm. 369
36
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, jilid 2, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006), cet. ke-2, hlm. 98
37
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, ( Semarang : PT Karya Toha Putra, 1978), cet. ke-
1, hlm. 322
38
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, op.cit., hlm. 542
39
S. Sa’adah, Materi Ibadah, (Surabaya: Amelia, 2006), hlm. 190
40
H. Sulaiman Rasjid, op.cit, hlm. 233
menyebabkan si anak kurus), maka keduanya boleh berbuka serta wajib
qada dan wajib fidyah (member makan fakir miskin, tiap-tiap hari ¾
liter)41.
D. Hikmah Puasa
Puasa adalah perisai terhadapt berbagai penyakit jiwa, hati dan tubuh.
Masih banyak khasiatnya, yang luar biasa. Puasa menjaga kesehatan,
membebaskan tubuh dari zat-zat bahaya , mencegah tubuh dari mengkosumsi
apa yang mungkin membahayaknnya, terutama jika seseorang berpuasa pada
waktu-waktu terbaik yang ditentukan atau ketika tubuh memerlukannya.
Puasa meringankan otot-otot dan seluruh tubuh serta menjamin stamina42.

C. Pengertian Puasa
Kata puasa berasal dari bahasa arab yaitu (‫ )صوم‬yang asal katanya
(‫ )صام‬menurut bahasa artinya menahan (dari makan, minum, dan lain
sebagainya)43. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam Firman Allah Ta’ala
berikut.
   

Artinya : “Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa
untuk Tuhan yang Maha pemurah”. (QS. Maryam: 26).

   



Artinya : “Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada
hari ini". (QS. Maryam: 26)44.

D. Dasar Hukum Puasa


Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun islam yang
dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Ulama telah sepakat
bahwa puasa di Bulan Ramadhan hukumnya wajib45. Berdasarkan dalil al-

41
Ibid., hlm. 234
42
Al-Jauziyah Ibnu Qayyim, Praktek Kedokteran Nabi, (Jogjakarta: Hikam Pustaka,
2010), hlm. 410
43
Ahmad Warson Munawair, Kamus Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1977), cet. ke-II, hlm. 804
44
Department Agama RI, op.cit, hlm. 307
45
Akbarizan, Tafsir Ayat Ahkam, (Pekanbaru: Suska Press, 2008), cet. ke-I, hlm. 121
Quran, sunnah, dan ijma’, puasa bulan Ramadhan merupakan salah satu
rukun dan fardhu (kewajiban) dalam islam46.
3. Dalil dari al-Quran adalah dalam Surah al-Baqarah ayat 183 dan ayat
185:
  
  
    
  

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa”47.

Di dalam ayat di atas, kewajiban berpuasa itu secara jelas dengan


menggunakan lafaz ‫كتب‬yang berarti kewajiban yang telah dituliskan di luh
mahfuzh48.

   


  
  
  
   
    
    
    
   
 
 
   
  


Artinya : “Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,


bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan

46
Wahbah al-Zuhaili, op.cit, hlm. 30
47
Department Agama RI, op.cit, hlm. 28
48
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet. ke-1,
hlm. 53
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-
hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur”49.

4. Hadits, diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, dia berkata , Rasulullah SAW
bersabda:
‫صالَةِ َو ِإ ْيتَا ُء‬ ُ ‫ش َهادَة ُ أ َ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هللاُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدا ً َر‬
َّ ‫س ْو ُل هللاِ َو ِإقَا ُم ال‬ َ : ‫ي اْ ِإل ْسالَ ُم َعلَى َخ ْم ٍس‬
َ ِ‫بُن‬
َ‫ضان‬ َ ‫ص ْو ُم َر َم‬َ ‫ت َو‬ ْ َّ
ِ ‫الزكَاةِ َو َح ُّج البَ ْي‬
Artinya : “Islam didirikan atas lima dasar , bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan berpuasa
Ramadhan”50.

Hadits yang sangat masyur dari Jibril , ia berkata, “Apakah itu


islam?”. Beliau menjawab:
« َ‫ضان‬ َّ ‫ َوتُؤْ تِي‬،َ ‫ص َالة‬
ُ َ‫ َوت‬،َ‫الز َكاة‬
َ ‫صو ُم َر َم‬ َّ ‫ َوت ُ ِقي ُم ال‬،‫» َال ت ُ ْش ِركُ بِاهللِ َش ْيئًا‬
Artinya : “Tidak menyekutukan sesuatu dengan Allah, mendirikan
shalat, menunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa
Ramadhan”51.

Seluruh umat islam telah sepakat bahwa puasa adalah satu rukun
Islam dan merupakan perkara dalam agama yang harus diketahui secara
pasti, serta orang yang mengingkarinya dianggap telah kufur. Kewajiban
ini tidak dapat gugur dari seorang yang telah terbebani (mukallaf),
kecuali apaila ada halangan yang dibenarkan dan dapat diterima oleh
Agama (udzur syar’i)52.

49
Department Agama RI, op.cit, hlm. 28
50
Muslim bin al-hajjaj al-Naisaburi, op.cit, hlm. 36
51
Ibid., hlm. 40
52
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, op.cit, hlm. 143
Sungguh umat Islam telah berijma’ atas diwajibkannya Puasa
Ramadhan, bahwa ia termasuk salah satu rukun islam yang wajib
diketahui dalam islam secara pasti, dan barangsiapa mengingkarinya,
maka dia kafir, yaitu murtad dari islam.
Dengan demikian, maka kewajiban puasa Ramadhan menjadi tetap
berdasarkan al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’. Kaum Muslimin telah
sepakat menyatakan kafir atas orang yang mengingkarinya 53.

E. Syarat Wajib dan Sah Puasa


3. Syarat-Syarat Wajib Puasa
h. Berakal
i. Baligh
j. Memiliki kemampuan
k. Tidak dalam keadaan tidak sedar.
l. Tidak dalam perjalanan (musafir).
m. Tidak membahayakan pelaku puasa.
n. Tidak menyulitkan pelaku puasa54.
Penjelasan tentang Syarat-syarat wajib puasa adalah :
1. Berakal. Orang yang gila tidak wajib berpuasa.
2. Baligh ( umur 15 tahun ke atas ) atau ada tanda yang lain. Anak-anak
tidak wajib puasa. Sabda Rasulullah Saw yang artinya,“Tiga orang
terlepas dari hukum: orang yang sedang tidur hingga ia bangun, orang
gila sampai ia sembuh,dan kanak-kanak sampai ia baligh “. (riwayat
Abu Dawud dan Nasai ).
3. Kuat berpuasa. Orang yang tidak kuat, misalnya karena sudah tua atau
sakit, tidak wajib berpuasa55.
4. Mukim . tidak dalam musafir karena jika musafir . maka boleh
baginya untuk tidak berpuasa serta menggantikannya di hari yang lain,
hanya saja perjalanannya telah mencapai dua marhalah (sekitar 80.64
km. Menurut Habib Zain bin Smith sekitar 82 km)56.
Puasa diwajibkan atas orang-orang yang memenuhi pensyaratan di
atas. Karena itu, puasa tidak diwajibkan atas , anak yang belum mencapai

53
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu asy-Syaikh, Fikih Muyassar, (Jakarta: Darul Haq,
2016), cet. ke-2, hlm. 243
54
Muhammad Ridha Musyafiqi, Daras Fiqih Ibadah, (Jakarta: Nur Al-Huda, 2013), cet.
ke-2, hlm. 310
55
Al’ Alamah asy-Syaikh Salim terj. Yahya Abdul Wahid Dahlan, Fiqh Ibadah,
(Semarang: PT. Karya Toha Putra), hlm. 111
56
Ibid., hlm. 112
masa balighnya, orang gila, orang yang pingsan atau tak sedarkan diri, orang
yang memiliki kemampuan untuk berpuasa, musafir ( orang yang tengah
melakukan perjalanan ), wanita haid dan nifas, orang yang berpuasa akan
membahayakan atau menyulitkannya57.

4. Syarat-Syarat Sah Puasa


e. Islam. Orang yang bukan Islam tidak sah puasa.
f. Mumayyiz. (dapat membedakan yang baik dengan yang tidak baik).
g. Suci dari darah haid (kotoran dan nifas (darah sehabis melahirkan),
orang yang haid atau yang nifas itu tidah sah berpuasa, tetapi
keduanya wajib mengqadha (membayar) puasa yang tertinggal itu
dengan secukupnya58.
h. Dalam waktu yang diperbolehkan berpuasa padanya . dilarang puasa
pada dua hari raya dan hari Tasyri’ (tanggal 11-12-13 bulan haji).

A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan oleh penulis, maka penulis
dapat menyimpulkan tentang Berbuka Puasa bagi Orang Safar pada Bulan
Ramadhan, yang dibahaskan oleh Imam asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm yang
berbeda pendapat mengenai masalah tersebut:
1. Berbuka Puasa bagi Orang Safar pada bulan Ramadhan menurut Imam
asy-Syafi’i adalah diperbolehkan untuk memilih antara tetap berpuasa
atau berbuka. Jika ia mengalami bahaya dengan sebab puasa maka
berbuka lebih utama, tetapi jika tidak maka puasa lebih utama. Manakala
menurut Ibnu Hazm , orang yang bepergian pada bulan Ramadhan, baik
bepergian untuk ketaatan atau maksiat, atau bukan ketaatan dan bukan
pula maksiat. Wajib berbuka bila telah melewati satu Mil atau sampai
dalam jarak satu mil atau yang sebanding dengannya. Pada saat itu,
puasanya batal.
2. Menurut Imam asy-Syafi’i, sah puasa bagi orang yang bepergian pada
bulan Ramadhan. Akan tetapi Ibnu Hazm berpendapat batal puasanya
bagi orang yang menempuh perjalanan jauh. Mereka menggunakan ayat
184 dan ayat 185 dalam Surah al-Baqarah yang sama dan hadits yang
berbeda. Jadi pemahaman mereka terhadap nash dan dalil sangat berbeda

57
Muhammad Ridha Musyafiqi, op.cit, hlm. 311
58
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2016), cet. ke-74, hlm. 228
untuk menyatakan pendapat dengan mengaitkan kaedah usul fiqhiyyah
yang digunakan.
3. Analisa muqaranah dalam penelitian ini, penulis lebih cenderung memilih
pendapat Imam asy-Syafi’i dalam menetapkan hukum berbuka puasa bagi
musafir yang membolehkan mereka berbuka atau tetap berpuasa pada saat
itu. Alasannya karena ia merupakan pilihan dan bukan wajib berbuka
apabila mereka mampu. Penulis menggunakan kaedah Ushul Fiqh ‫للوجوب‬
‫االمرفى االصل وال تدل على غيره اال بقرين‬
Artinya : “Perintah pada asalnya menunjukkan arti wajib kecuali ada
dalil yang memalingkannya”.
Puasa Ramadhan pada dasarnya adalah wajib tetapi Allah memberi
keringanan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan untuk berbuka.
Jika mereka tetap berpuasa, juga diperbolehkan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim’Awais , Ibnu Hazm al Andalusi, (Mesir: Dar al I’tisham ) cet. ke-1
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim, (Jakarta: Ummul Qura, 2014), cet.
ke-1
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah lengkap, jilid 2,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2016), cet. ke-1
Abu Muhammad Ali Bin Ahmad bin Said Bin Hazm, Al Muhalla al atshar, jilid
IV, (Beirut: Darul Fikri)
Ahmad Warson Munawair, Kamus Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1977), cet. ke-II
Aidh al-Qarni, Madrasah Ramadhan, (Jakarta: Qisthi Press, 2006), cet. ke-1
Akbarizan, Tafsir Ayat Ahkam, (Pekanbaru: Suska Press, 2008), cet. ke-1
Al’ Alamah Asy-Syaikh Salim terj. Yahya Abdul Wahid Dahlan, Fiqh Ibadah,
(Semarang: PT. Karya Toha Putra), cet. ke-1
Al-Humaidi, Jazawatu al Maktabis fi Zikir Wulati al Andalus, (Cairo: Dar al
Misyriyah )
Ali Fikri, Kisah-kisah Para Imam Mazhab, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003),
cet. ke-1
Al-Jauziyah Ibnu Qayyim, Praktek Kedokteran Nabi, (Jogjakarta: Hikam Pustaka,
2010), cet. ke-1
Amin Rais, Mutiara Ramadhan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet. ke-2
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2003),
cet. ke-1
Amr Farrukh, Ibnu Hazm Al-Kabir, (Bairut: Dar Lubnah Al Tab’iyah wa Al
Nasyri, 1980)
An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 7, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2013), cet. ke-1
An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid 8, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011),
cet. ke-1
Azzam Abdul Aziz dan Hawwas Abdul Wahhab, Fiqh Ibadah (Jakarta: Amzah,
2013)
Department Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (CV Penerbit Deponegoro :
2010)
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2016), cet. ke-74
H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954), cet. ke-1
H. Syafi’I Karim, Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), cet. ke-1
H.M. Fakhri, 30 Mutiara Ramadhan, ( Riau : CV. Asa Riau, 2014), cet. ke-1
Harun Nasution . Ensklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeva, 1983)
Hasbi ash-Syaddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam
Membina Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos,
1997), cet. ke-1
Ibnu Hazm, Al Muhalla, jilid 6, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), cet. ke-1
Ibnu Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Mesir: Maktabah al Kinaji, 1347 H)
Ibnu Hazm, Tauq al Hamamah fil al Ulfa Wa al Alaf, (Kairo: Dar al Ma’arif,
1977)
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid 1, (Jakarta: Pustaka Amani,2007), cet. ke-1
Imam asy-Syafi’i, Al-Umm, jilid 3, (Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1989),
cet. ke-1
Jejen Musfah, Risalah Puasa, Menjadikan Bulan Ramadhan Sebagai Bulan
Penuh Pahala, (Yogyakarta: Hijrah, 2004), cet. ke-1
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, ( Semarang : PT Karya Toha Putra, 1978),
cet. ke-1
Muhammad Al-Khudray, Tarikh al-Tasyri’al-Islamy, (t.p: Dar Al-Fikr )
Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, terj. Abdullah
Zaki al Kaff, (Bandung: Hasyimi Press 2012), cet. ke-3
Muhammad bin Shalih, Sifat Puasa Nabi, (Jakarta: Darus Sunnah, 2014), cet. ke-2
Muhammad Misbah, Sejarah Ushul Fikih, (Jakarta Timur: Pustaka Al-
Kautsar,2014), cet. ke-1
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, jilid 2, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006), cet. ke-2
Muhammad Ridha Musyafiqi, Daras Fiqih Ibadah, (Jakarta: Nur Al-Huda, 2013),
cet. ke-2
Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab: Hanafi, Maliky,
Syafi’iy, Hambaly, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. ke- 8
Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, jilid 1, (Beirut : Dar ihya’ul
turas Al-Arabi)
Musthafa Dib al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, (Solo : Media Zikir, 2009), cet.
ke-5
Noer Yasin, Ibn Hazm: Revitalisasi Usul Fiqh Berparadigma Burhani, (Malang:
UIN-Maliki Press,2012), cet. ke-1
S. Sa’adah, Materi Ibadah, (Surabaya: Amelia, 2006)
Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta : Gema Insani, 2006), cet. ke-1
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia, 2014), cet. ke-2
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 2, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang), cet. ke-2
Shadq Ibn Hasan al-Qanwajy.Abjat al-Ulum al-Wasyiy al-Marqumfi Bayani
ahwali al-‘Ulum, Juz 3 (Baerut: Dar alKutub al-‘Almiyah)
Shalaih Fauzan bin Abdullah Ali, Ringkasan Fikih Syaikh Fauzan, ( Jakarta :
Pustaka Azzam , 2006), cet. ke-1
Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas, Al-Umm, jilid II, ( Beirut:
Darul Makrifat)
Syafrida dan Nurhayati Zein, Fiqh Ibadah, ( Sumatra : CV. Mutiara, 2015), cet.
ke-1
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, ( Jakarta: Darul Haq, 2016),
cet. ke-14
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2006), cet. ke-1
Syaikh Muhammad Abdul Athi Buhairi, Tafsir Ayat-ayat (ya Ayyuhal-Ladzina
Amanu), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012)
Syaikh Muhammad Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2005), cet. ke-1
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin terj. Amiruddin Djalil, Syarah
‘Umdatul Ahkam, (Jakarta: Griya Imu, 2015), cet. ke-2
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu asy-Syaikh, Fikih Muyassar, (Jakarta: Darul
Haq, 2016), cet. ke-2
Tariq Suwaidan, Biografi Imam Syafi’i, (Jakarta: Zaman, 2015), cet. ke-1
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu, jilid.3, (Jakarta: Gema Insani,
2011) cet. ke-1
Yaaquut, al Mu’jam al Adaba , jilid. 12, (Cairo: Dar al Makmum )

Anda mungkin juga menyukai