SKRIPSI
Oleh:
Pembimbing:
Seperti telah disinggung pada bab pertama, bila diperhatikan lebih lanjut
perbedaan penafsiran Masdar dibanding para mufasir lainnya lebih tertekan pada
waktu pelaksanaan wuqûf Arafah yang menurut Masdar bisa dilakukan pada bulan
Syawwâl dan Dzû al-Qa‟dah. Wuqûf sendiri masih merupakan salah satu ritual
peribadatan dalam haji, sedangkan waktu pelaksanaan haji itu ialah tiga bulan
sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur‟an yang dijadikan dasar oleh Masdar
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi1, barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak
boleh rafats2, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa3 dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
(Q.S. al-Baqarah/2: 197)
1
Ialah bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah.
2
Rafats artinya mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh
atau bersetubuh.
3
Maksud bekal takwa di sini ialah bekal yang cukup agar dapat memelihara diri dari
perbuatan hina atau meminta-minta selama perjalanan haji.
55
56
masih berkaitan dengan ayat di atas, disebutkan dalam hadis yang dikeluarkan
oleh „Abd ibn Hamîd, Bukhâri, Abû Dâwûd, Nasâ‟î, Ibn al-Mundzir, Ibn Hibbân,
dan Baihaqî (dalam sunannya), diriwayatkan dari Ibn „Abbâs, ia berkata: “Pernah
ada sekelompok penduduk Yaman yang berhaji sedangkan mereka tak membawa
bekal, dan mereka hanya berkata: “Kami adalah orang-orang yang tawakkal”.
minta, maka Allah menurunkan ayat: watazawwadû fa inna khair al-zâdi al-
taqwâ.4
Riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ibn Jarîr dan Ibn Abî Hâtim
yang keluar dari desanya sedang dalam diri mereka tidak ditemukan bekal,
mereka berkata: “Kami berhaji (menziarahi) Allah sedangkan Ia tak memberi kita
makan!. Maka kemudian Allah bersabda: “Berbekallah kalian dengan apa yang
dapat menutupi wajah-wajahmu dari manusia lain.”5 Dan juga beberapa riwayat
selainnya yang sohih dan hampir semisal. Sedangkan Ibn Abî Hâtim sendiri
berhaji; hal-hal yang tidak boleh dikerjakan saat telah niat berhaji; ke-Mahatahuan
4
Abû al-Fidâ‟ Ismâ‟îl Ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm (Kairo:
Maktabah Aulad al-Syaikh li al-Turats, 1421 H/2000M) cet. 1, j. II, h. 248. Lihat pula: Jalâl al-Dîn
al-Suyûti, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma‟tsûr, Tahqîq: Dr. „Abd Allah bin „Abd al-Muhsin
al-Turki (Kairo: Markaz Hijr li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-„Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, 1424
H/2003 M) cet. 1, j. II, h. 390
5
Al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma‟tsûr …, h. 390
6
Ibn Katsîr, Tafsir al-Qur‟an al-„Azim …, h. 247
57
Allah dengan perbuatan baik kita; dan anjuran berbekal dengan takwa, yang mana
korelasi antara ayat 197 dari surat al-Baqarah tersebut dengan ayat sebelumnya
ketentuan ibadah haji buat selain penduduk Mekah sedangkan mengenai waktunya
belum disebutkan pada bulan apakah dalam setahun itu untuk menjalankan ibadah
haji, maka pada ayat 197 surat al-Baqarah ini dijelaskan bukan pada tempatnya
tapi menjelaskan bahwa waktu haji itu adalah pada bulan-bulan tertentu.7
Dari sini dapat diketahui bahwa melaksanakan haji tidaklah seperti umroh, kapan
saja dilaksanakan boleh. Ayat ini menetapkan batas waktu atau ketentuan waktu
haji, yaitu Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Inilah yang dinamakan
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,8 akan
tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu beruntung.” (QS. al-Baqarah/2: 189).
7
Burhân al-Dîn Abû al-Hasan Ibrâhîm Bin ‟Umar Al-Biqâ‟î, Nazm al-Durar fî Tanâsub
al-Âyât wa al-Suwar (Kairo: Dar al-Kutub al-Islâmi, 1389 H/1969 M) j. III, h. 137-138
8
Pada masa Jahiliyyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki
rumah dari belakang bukan dari depan. Hal ini ditanyakan pula oleh para sahabat kepada
Rasulullah Saw Maka diturunkanlah ayat ini.
58
ما
اَحل ّه ْهأ ُه ٌر َحل عل ٌر (“haji itu beberapa bulan yang ditentukan”). Tiga
bulan tersebut di atas ialah yang disebut dengan mîqât zamâniy (waktu). Tetapi,
para ulama berbeda pendapat tentang bulan Dzû al-Hijjahnya. Dan perbedaan ini,
tentunya akan menarik konsekuensi perbedaan dâm bagi jama‟ah yang di antara
Pertama, Imam Mâlik berpendapat bahwa bulan haji adalah Syawwâl, Dzû
al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah seluruhnya. Pendapat ini didasarkan pada pendapat
dan riwayat dari „Abdullah bin „Umar, „Abdullah bin Mas‟ûd, „Atâ‟, dan Mujâhid.
Ibn Hazm menguatkan pendapat ini, karena beberapa bulan tidak bisa diartikan
berpendapat bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah sampai dengan
tanggal sepuluhnya saja. Pendapat ini berdasarkan riwayat dari „Abdullah bin
“Terlihat hikmah perbedaan pendapat ini, yaitu bagi orang yang di antara amalan
hajinya jatuh setelah hari penyembelihan kurban, bagi yang berpendapat bahwa
Dzû al-Hijjah seluruhnya dalam bulan Haji, maka ia tidak terkena dam;
sedangkan bagi yang berpendapat bahwa bulan haji itu hanya 10 Dzû al-Hijjah,
9
Muchtar Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996 M/1416 H) cet. 5, h. 27
59
Ketiga, Imam Mâlik dalam satu riwayat berpendapat bahwa Syawwâl, Dzû
al-Qa‟dah, sampai dengan 13 Dzû al-Hijjah, yaitu hari Tasyrîq (menjemur daging
kurban).
Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab, untuk menyatukan pendapat ini, usaha
pertama ialah menyelesaikan haji dan hadyu tanggal 10 Dzû al-Hijjah. Tetapi,
kalau ada hal yang tidak memungkinkan karena kendaraan atau sebab lain, maka
diusahakan selesai tanggal 13 Dzû al-Hijjah. Namun, jika tidak dapat diselesaikan
juga karena situasi dan kondisi tidak mengizinkan maka tingkat terakhir adalah
asal dapat menyelesaikan dalam bulan Dzû al-Hijjah, meskipun sampai tanggal
30.10
Pada kalimat ف ِه ّه اَحل َّج َحل َحل َحلَفَحل (“barang siapa yang telah
menetapkan kefarduannya haji bagi dirinya”), yaitu dengan niat, diringi dengan
perbuatan ihram dan talbiyah yang diucapkan dan kedengaran. Talbiyah ini
dijadikan rukun oleh Ibn Habîb dan Abû Hanîfah, serta madzhab Zahiri (literal),
tetapi Imam Syâfi‟i tidak memasukkannya pada rukun, dan berpendapat bahwa
cukup niat pada ihram rukun yang pokok. Dalam talbiyah Rasulullah Saw dan
para jama‟ah pria sampai suaranya parau, sedang wanita asal terdengar oleh
dirinya sendiri.11
10
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 28
11
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 28
60
َحل َحلَحل َحل (“jangan rafats”) dalam ayat ini mengandung makna larangan
untuk jima‟ (senggama) karena hal ini dapat merusak haji. Para ulama telah ijmâ‟
(sepakat) bahwa senggama sebelum wuqûf di Arafah merusak haji dan wajib dia
Ibn „Umar, Tâwus, dan „Atâ serta ulama sahabat dan para tabi‟in
berpendapat bahwa termasuk rafats ialah berkata dengan perkataan yang cabul
atau porno yang mengarah atau membangkitkan nafsu seks. Mereka berpendapat
bahwa membicarakan wanita yang mengarah kepada seks termasuk rafats baik
wanita itu hadir atau pun tidak ada. Termasuk pula rafats, seorang laki-laki
cabul/jama‟”).
لو
َحل َحل ُه ُه َحل (“dan jangan berbuat fasik”). Fasik berarti segala bentuk
kemaksiatan. Inilah pendapat Ibn „Abbâs, Hasan Basri, dan Ibn „Umar. Sebagian
ulama berpendapat, fasik ialah berbuat maksiat sewaktu ihram haji seperti
lain. Ibn Zaid dan Imam Mâlik berkata bahwa fasik ialah menyembelih binatang
Imam al-Dahhâk berkata bahwa fisqun itu ialah apa yang disebut Allah:
Ibn „Umar dalam satu riwayat berkata bahwa fusûq adalah mencaci maki
عل ُه ٌر ِه
ما ا ِه ِه
لو َحل ماُه ُه ْه ٌر ُه ُه
“Cacian seorang muslim itu adalah fusûq, dan membunuhnya
adalah kafir.”14
12
Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena
orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
13
Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti
panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan
sebagainya.
14
Muhammad Ibn „Îsâ Abû „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi‟ al-Sahih Sunan al-Tirmidzî.
Pentahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, dkk. (Beirût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabî) j. IV, h. 353
62
Pendapat Ibn „Umar yang kedua ini lebih sempit dari pendapat yang
pertama. Oleh sebab itu, maka pendapat pertama yang lebih kuat dan benar karena
“Dan barangsiapa yang haji dan tidak rafats, dan tidak pula fusûq, dia
kembali seperti ketika dilahirkan oleh ibunya, dan haji mabrur itu
balasannya hanyalah surga.”15
اَحل ّه ِهجد ا (“dan tidak bertengkar selama haji”). Jidâl artinya
berbantah-bantahan, dan dalam kebiasaan umum berlaku, jidâl itu sering terjadi
antara pihak yang dilayani (pengguna jasa) dan yang melayani (penjual jasa) di
perjalanan, karena sempitnya tempat atau waktu dan lain-lain yang menimbulkan
(bertengkar) ialah:17
15
Muhammad Bin Ismâ‟îl Abû „Abdillah al-Bukhârî, al-Jâmi‟ al-Sahîh al-Bukhârî.
Pentahqîq Dr. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987) cet. 3, j. II, h. 553
16
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1417 H/1997
M) h. 104
17
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 29
63
dan waktu
م تَحلَف ْه َحلعُهل ِه َحلخ ْهٍْي يَحلَف ْه عَحل ْه هلل (“dan apa yang kamu kerjakan berupa
manusia, sehingga mendorongnya untuk beramal saleh setiap tempat dan zaman,
Qatâdah, dan Ibn Zaid berkata: “ayat ini turun mengenai serombongan orang Arab
sudah merupakan bekal yang cukup, karena 1750 real dikembalikan kepada
jama‟ah haji untuk living cost sudah cukup, bahkan ada lebihnya. Namun
jika kita bermaksud tanazzul (memisahkan) diri di Mina, tidak mabît di Haratul
Lisan, maka dibutuhkan biaya pemondokan dan konsumsi di Mina sesuai dengan
kemampuan.
Ada ulama yang berpendapat bahwa bekal yang paling baik bagi ibadah
haji ialah teman yang saleh. Memilih rombongan dengan pemimpin atau
pembimbing yang saleh-saleh adalah bekal yang utama di samping bekal uang.
64
kembali haji dengan amal-amal yang saleh. Hakikat bekal ialah untuk makan,
minum, karena hotel dan kendaraan sudah dipersiapkan oleh pemerintah dari
ONH.
harus disiapkan ialah biaya hidup. Tetapi di samping itu, bekal yang sangat
penting ialah takut jangan sampai terjatuh kepada yang dilarang oleh Allah.
Karena tanpa persiapan mental ini, betapa pun bekal harta cukup, tetapi kemudian
dalam haji terjatuh kepada yang dilarang oleh Allah maka akan sia-sialah seluruh
biaya, waktu, dan tenaga yang dikerahkan dalam menunaikan ibadah haji.
Persiapan biaya hidup adalah manifestasi dari takwa karena haji tanpa bekal bisa
mempunyai akal”). Perintah takwa ini dikhususkan kepada orang yang berakal,
walau takwa tertuju untuk umum. Karena, hanya orang-orang yang berakal yang
hari. Orang yang berakal itu yang mempunyai lubbun (otak) seperti orang Arab
berkata: ب
ُّ ت تَحلَفعُه
“ ا ْه َحلotakmu yang kamu gunakan untuk berakal (berpikir).”
65
mendorong agar individu-individu yang melakukan ibadah haji bisa menjadi insan
yang bertakwa dan terhindar dari segala yang menyebabkan siksaan Allah Swt
B. Penafsiran Masdar
terdahulu dalam bab III, terlebih pada sub bab problematika ibadah haji, memang
inilah Masdar banyak mengambil inti dari kaidah-kaidah Usûl dan yang tentunya
ia mengakui sendiri untuk berusaha tidak melenceng jauh dari teks-teks hukum
Islam.
kebijakan yang akan menimbulkan efek tak terduga. Misalnya, akan ada tindakan
suap-menyuap untuk mendapatkan tiket seperti yang sekarang ini terjadi. Dan
pembatasan kuota itu juga tidak mungkin, karena memang tidak dilarang secara
agama. Persoalan lain, mulai dari proses pemberangkatan saja sudah ada
mengomersilkan itu. Ini akan terjadi terus kalau tidak diadakan peninjauan
kembali secara radikal menyangkut tata cara pelaksanaan haji, khususnya soal
waktunya tadi.18
di luar kebiasaan yang saat ini dialami para hujjaj. Kesulitan itu dapat dilihat
indikasinya hampir setiap kali melakukan berbagai prosesi haji di tanah suci. Pada
sampai puluhan, dan itu terus terjadi dari tahun ke tahun. Lebih lanjut, menurut
Masdar: “… Tentu saja, hal tersebut seharusnya menggugah umat Islam dengan
berbagai pertanyaan, misalnya apakah ibadah haji itu sudah menjadi semacam
arena „pembantaian‟? dan itu bertentangan dengan prinsip Islam sendiri, yaitu
menganggapnya agar dapat diatasi dan agar tidak menyulitkan para jama‟ah.
Problems) dan Masalah Asasi (Ultimate Problems). Masalah Segera ialah masalah
18
Masdar Farid Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” dalam Abd
Moqsith Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis,
(Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005), h. 156
19
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 152
67
produksi, konsumsi, distribusi, dan lain-lain termasuk juga yang berkaitan dengan
hilangnya nyawa. Sedangkan Masalah Asasi ialah masalah seperti bagi manusia
yang memperhatikan hidup dengan serius dan bersifat pribadi, biasanya manusia
filosofis seperti, “Apakah aku ini?”, atau “Apakah alam semesta itu?” dan
manusia yang hidup di atas bumi ini yang dapat mengelakkan diri dari
dipecahkan dengan berhasil untuk menjadikan manusia ini suatu yang sukses,
ritual wuqûf; tempatnya yang spasial dan waktu yang temporal. Sebenarnya, yang
pertama dinapaktilasi adalah tempat, karena tidak mungkin merujuk pada waktu
yang sama. Tempat napaktilas itu pun telah mengalami perluasan karena
membludaknya jamaah haji dan mendapat justifikasi teologis dari fatwa ulama
Arab Saudi.
Saat Nabi Ibrahim melontar batu tidak diketahui titik pastinya. Tapi
kemudian didefinisikan sebagai daerah Mina. Proses napak tilas dalam haji ini
idealnya bisa menjangkau dimensi spasial dan temporal, atau deimensi waktu dan
20
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987) cet.
7, h. 35-36
68
tempat. Tapi dua dimensi itu kacau balau dan berantakan karena konsentrasi
Misalnya, mabît di Mina menurut fikih adalah bermalam di Mina atau bain
al-jabalain. Tapi beberapa tahun terakhir ini telah mengalami perluasan sampai ke
kerikil, tapi banyak yang gagal karena ketika tiba di Muzdalifah matahari sudah
terbit. Akhirnya, pelacakan napak tilas dari kedua dimensi tersebut lepas. Di
samping itu, kepadatan yang luar biasa menimbulkan korban jiwa, terutama
orang-orang tua, ibu-ibu dan anak anak. Padahal, sebagaimana kita tahu, Tuhan
Dalam Islam, salah satu pertanda kasih sayang Tuhan adalah ritual shalat.
Orang tak mampu berdiri boleh melaksanakannya dengan duduk dan seterusnya.
mempersulit yang terdapat dalam ajaran agama Islam. Allah Swt telah menjadikan
agama Islam sebagai sebuah ajaran yang sangat cocok dengan umat manusia yang
hidup kapan dan di mana saja sampai tiba saat berdirinya hari Kiamat. Dan, tidak
asing lagi bahwa agama yang memiliki karakter seperti ini tentunya adalah ajaran
21
Masdar Farid Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”, artikel
diakses tanggal 01 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/ironis-haji-menjadi-status-sosial-yang-dilembagakan/
69
yang sederhana dan mudah bagi orang yang menjalankannya serta bagi orang
...
...
“…Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu
Ibrahim. Dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim
dari dahulu,22 dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu
menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia…” (QS. al-Hajj/22: 78)
Adapun hikmah dari ringan dan mudahnya agama Islam adalah agar hati-
hati manusia tidak merasa berat menjalankan perintah yang dibebankan oleh
Islam pun bertambah banyak dan mereka tidak mendapatkan kesulitan dalam
seperti ini, yakni mudah dan sederhana, dapat menjamin kebaikan hidup di dunia
dan akhirat, cocok untuk setiap waktu dan tempat, maka Allah pun menjadikannya
ibadah haji itu tidak terlalu memberatkan para jama‟ah bahkan hingga
22
Maksudnya: Dalam kitab-kitab yang telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelum nabi
Muhammad Saw.
23
Syekh „Ali Ahmad al-Jarjawî, Hikmat al-Tasyrî‟ wa Falsafatuhû (Beirut: Dâr al-Fikri,
1997 M/1418 H) cet. 5, h. 299
70
dikerjakan dengan mudah pada zaman sekarang ini. Adapun dahulu nabi
melaksanankan haji hanya pada lima hari efektif, berarti karena dulu belum ada
sempat gagal dihadang oleh kafir Quraisy. Bagi Masdar, sejarah ini menimbulkan
satu tafsiran yang mempersempit cakrawala haji itu sendiri. Misalnya, waktu haji
sebenarnya 3 bulan, tapi karena Nabi hanya sekali berhaji pada jam-jam dan
waktu-waktu itu saja, maka disimpulkan bahwa tidak ada keabsahan wuqûf di luar
tanggal 9-13 Dzû al-Hijjah dengan mencontoh apa yang dilakukan Nabi.24
Selanjutnya, bagi Masdar sebenarnya prosesi haji managable dan bisa ada
penggiliran.
Saat ini haji tidak seperti itu. Kondisi di sana sangat penuh sesak, makanya
ada adu kekuatan untuk menyingkirkan orang lain yang bisa mengganggu
kekhusyu‟an ibadah. Ini lebih ironis lagi. Terlebih jika kita cerna melalui
kembali pada teks al-Qur‟an. Dalam hal ini, Masdar sampai pada pendapat bahwa
sesungguhnya waktu haji itu tidak sesempit yang dipahami khalayak umum.
Selama ini, haji dinilai banyak umat sebagai sekumpulan prosesi haji, mulai dari
24
Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”.
71
tawâf qudûm sampai tawâf ifâdah yang hanya berlangsung pada 9, 10, 11, dan 12
Dzû al-Hijjah. Atau dilonggarkan sampai tanggal 13 Dzû al-Hijjah selama 5 hari,
padahal dalam al-Qur‟an, terdapat satu ayat yang sangat sarîh, yaitu QS. al-
Masdar yang bercorakkan ilmu Fikih ini—selain melihat situasi dan kondisi
karena bagaimanapun Fikih itu berasal dari kaidah-kaidah Usûl. Dalam hal ini
Dalam bahasa Arab, dalil berarti penunjuk bagi segala sesuatu yang
bersifat konkrit maupun abstrak, yang baik maupun yang buruk. Menurut ahli
Usûl, dalil ialah sesuatu yang dipakai sebagai hujjah berdasar perundang-
undangan yang benar atas hukum syara‟ tentang tindakan manusia, baik secara
Bila dilihat lebih seksama, ilmu Usûl sendiri menurut penulis sebenarnya
kaidah yang harus dipergunakan dalam menafsirkan al-Qur‟an atau teks lainnya.
Dalam pada itulah, teks yang pertama kali digunakan Masdar sebagai landasan
berpikirnya yaitu apa yang terdapat pada al-Qur‟an terlebih dahulu sebelum
25
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 152. Ayatnya lihat
halaman 55 bab IV.
26
Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh. Penerjemah oleh Masdar Helmy
(Bandung: Gema Risalah Press, 1997) cet. 2, h. 35
72
selama ini, karena mengabaikan teks al-Quran yang begitu sarîh, begitu jelas.
Karena umat lebih tunduk kepada tradisi dan menganggap tradisi itu dogma, maka
berhaji dari tanggal 9-13 Dzû al-Hijjah itu tidak bisa ditinjau lagi. Padahal,
sekarang ini umat Islam dalam keadaan yang semakin luar biasa sulitnya dalam
berhaji. Masdar merasa bahwa ulama harus melakukan refleksi ulang terhadap
pemahaman umat selama ini, karena agama tidak mengajarkan untuk masuk pada
kondisi yang mempersulit diri sendiri. Dan dalam kenyataannya, al-Quran begitu
longgar. Dan ayat al-hajj asyhurun itu tadi dapat mengantisipasi lonjakan jumlah
tersurat, isyarat, dalalah, dan menurut tuntutan atau kehendak nass. Karena, setiap
pemahaman nass melalui salah satu cara dari keempat metode ini pada dasarnya
merupakan pengertian nass tersebut, dan nass itu merupakan hujjah atas
pengertian itu.28
maupun yang lainnya, memang haji itu secara waktunya ialah tiga bulan. Namun
demikian, ritual haji tersebut merentet panjang mulai niat ihrâm hingga tahallul.
Permasalahan inilah yang menurut penulis seharusnya perlu dikaitkan dengan ayat
lain yang masih berkenaan dengannya. Dalam hal inilah kiranya yang merupakan
27
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 155
28
Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, h. 257
73
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa salah satu manfa‟at haji ialah
menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah dipermaklumkan, menurut imam
Mâlik yaitu hari nahr. Bahkan madzhab Mâliki sendiri tidak membolehkan
penyembelihan pada malam hari karena dalam ayat tersebut disebutkan ayyâm
bukan layâliya. Akan tetapi, menurut Wahbah al-Zuhailî sebenarnya kata yaum itu
gelap.31
an‟âm, berkata Ibn Katsîr yakni dengan menyebut nama Allah di saat-saat
menyertakan sembelihan sebagai salah satu mata rantai dari manâsik haji seperti
bayar dam bagi orang yang melakukan haji bagi orang yang melakukan haji
tamattu‟ dan qiran, mencerminkan bahwa dzikir kepada Allah dengan tulus dan
29
Hari yang ditentukan ialah hari raya haji dan hari tasyrîq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan
13 Dzû al-Hijjah.
30
Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang termasuk
jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.
31
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fî al-„Aqîdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj
(Beirut: Dâr al-Fikr al-Ma‟âsir, 1411H/1991 M) j. XVII, h. 200
74
bersih dari percikan syirik, itu merupakan tujuan agung dari pensyari‟atan haji itu
Dalam hal menyebut nama Allah atas kurban pada hari nahr inilah kiranya
bagaimanakah solusi mengenainya bagi orang yang melakukan wuqûf tidak pada
hari Arafah.
menilai pula hadis-hadis yang sering dipandang sebagai dalil bahwa wuqûf Arafah
32
Suma, Tafsir Ahkam 1 …, h. 134
33
Masdar Farid Mas‟udi, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” dalam
Zuhairi Misrawi, ed., Menggugat Tradisi Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2004) cet. 1, h. 85
75
Menurut Masdar, hadis tersebut berarti bahwa haji itu intinya wuqûf di
padang Arafah. Sementara soal waktu, tidak masuk dalam kategori hadis itu. Dalil
ini berbicara mengenai aktivitas, inti dari haji adalah wuqûf Arafah, bukan
berbicara soal tempat. Adapun waktu haji sudah diterangkan dalam ayat al-Qur‟an
tadi. Jadi antara ayat dan hadis itu tidak saling menafikan.34
Secara umum, fungsi hadis sendiri dalam hukum Islam salah satunya
ayat yang bersifat umum. Dalam keadaan ayat serupa itu datang hadis
Takhsîs dapat dilakukan antara ayat dengan ayat yang lain. Dalam hal ini
semuanya adalah qat‟iy al-wurûd. Sedangkan hadis terhadap ayat, selain hadis
al-Qur‟an tadi, walaupun hadis bisa memberi penjelasan kepada ayat al-Qur‟an.
34
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153
35
Abuddin Nata, Al-Qur‟an dan Hadits (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) cet. 3,
h. 179
76
Tapi kalau kata asyhurun (beberapa bulan) diberi penjelasan sebagai ayyâmun
(beberapa hari) tentu tidak masuk akal. Kecuali kalau dijelaskan berapa jumlah
bulan dan atau bulan apa saja, maka itu baru masuk akal.36
ii. ُهخ ُهذ َحلع ّهّن َحل نم ِه َحلككل (“Contohlah tata cara hajimu dariku”)
Adapun hadis kedua yang sering dijadikan takhsîs terhadap ayat al-Qur‟an
surat al-Baqarah/2: 197, yaitu hadis tersebut di atas. Selama ini, memang
kebanyakan nass yang dijadikan referensi oleh para ulama maupun pelaksana haji
adalah hadis Nabi yang berbunyi: khudzû „annî manâsikakum. Hadis ini
waktu.37
Masdar mengakui bahwa kalau hujjah naqli (alasan tekstual), selain ayat
al-Quran surat al-Baqarah/2: 197 di atas, ia belum punya. Paling tidak, hujjahnya
negatif, yaitu ketika nabi mengatakan “khudzû „annî manâsikakum,” itu tidak
(mafhûm mukhalafah). Apabila ada nass yang menunjukkan suatu hukum pada
suatu masalah yang dibatasi dengan suatu batasan, misalnya jika masalah itu
mempunyai sebuah sifat, atau diberi syarat dengan suatu syarat, atau dibatasi
dengan suatu batasan atau bilangan, maka hukum nass atas masalah yang telah
36
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153
37
Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”.
38
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 156
77
jelas batasannya tersebut disebut mantûq al-nass. Sedangkan hukum atas masalah
Atas dasar pengertian balik ini, dalam memahami hadis tersebut, Masdar
merujuk pada tata cara haji saja, prosesi, syarat, dan rukunnya. Dan mengenai soal
menambahkan bahwa ayat tentang waktu dan hadis tentang tempat tadi tidak
dalam posisi saling menafikan. Jadi harus diamalkan dan dipakai kedua-duanya,
serius.40
baik yang terdapat dalam al-Qur‟an ataupun hadis tidak semuanya mengandung
pengertian balik, bahkan ada beberapa teks yang penulis anggap akan menyalahi
sebagaimana waktu untuk solat. Dalam al-Qur‟an ada perintah mendirikan solat,
mengeluarkan zakat, mengerjakan ibadah haji, berjuang di jalan Allah, qisâs, dan
tidak dijumpai dalam al-Qur‟an. Teknik tersebut dijelaskan dalam sunah, karena
di antara kedudukan sunah bagi al-Qur‟an juga adalah sebagai bayân tafsîl.
39
Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, h. 265
40
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 154
78
Yang dimaksud dengan bayân tafsîl di sini adalah bahwa sunah itu
mujmal (global), maka agar ia dapat berlaku sepanjang masa dan dalam keadaan
bayân, juga antara al-Qur‟an dan sunah secara lahiriah nampak ada
pertentangan.42
Salah satu contoh adalah perintah solat sebagaimana disebutkan pada ayat
ِهف ل اصعلة (dan dirikanlah solat), ataupun ayat اصعلة منَحلت ععى
إن ّه
ّه
اؤِه نني ِه مبم َحل ْهل لتم (sesungguhnya solat itu ). Ulama ahli usul menetapkan
bahwa dengan perintah dalam ayat tersebut, solat hukumnya wajib. Sedangkan
صعّهي
صعّهل َحل م َحل يْهَفُه لين َحل
َحل
Dikatakan bahwa solat itu wajib bagi setiap orang mukallaf. Namun,
kapan dan dalam keadaan bagaimanakah kewajiban itu dilaksnakan. Rasul dalam
41
Nata, Al-Qur‟an dan Hadits …, h. 178
42
Nata, Al-Qur‟an dan Hadits …, h. 179
79
hal ini menjelaskan syarat, rukun, serta praktek pelaksanaannya bagi setiap orang
sesuai dengan keadaannya. Cara solat orang yang mukim, tidak bepergian, dan
tidak dalam keadaan sedang perang berbeda dengan orang yang sedang bepergian
atau perang. Demikian pula orang yang keadaan fisiknya tidak memungkinkan
dapat melaksanakan solat dengan cara berdiri, boleh sambil duduk, atau berbaring.
Menurut Masdar, waktu haji itu terdiri dari waqtu al-jawâz dan waqtu al-
afdaliyyah, sama dengan solat. Waktu haji adalah waktu yang muwassa‟, waktu
yang longgar. Artinya, persediaan waktu untuk pelaksanaannya lebih panjang dari
kebutuhan kita yang sebenarnya. Misalnya, kebutuhan haji hanya lima hari saja,
tapi waktunya lebih panjang dari itu. Solat juga begitu, waktunya paling lama 10
menit, tapi waktu yang tersedia atau diperbolehkan bisa berjam-jam. Berbeda
dengan puasa yang waktunya mudayyaq, agak ketat dan disediakan seperlunya
saja. Puasa Ramadan misalnya, waktunya hanya bulan itu saja, tak boleh kurang
atau lebih.44
Dalam waktu yang muwassa‟ inilah terdapat dua penggal waktu, waqtu al-
waktu itu bisa digunakan untuk ibadah. Dalam konteks haji, waktu yang boleh
tiga bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Tapi ada juga waqtu al-
afdaliyyah. Dalam waktu-waktu inilah nabi pernah menjalankan ibadah haji, yakni
tanggal 9-13 Dzû al-Hijjah. Tapi ini bukan berarti di luar tanggal 9-13 kita tidak
43
Nata, Al-Qur‟an dan Hadits …, h. 178
44
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153
80
dapat menjalankan haji. Ibadah haji sah dijalankan sejak tanggal 1 Syawwâl
sampai 13 Dzû al-Hijjah, atau bahkan ada yang mengatakan sampai akhir Dzû al-
Jadi, bila mengikuti pemahaman Masdar, waktu wuqûf itu bisa dilakukan
pada tanggal berapa saja, asal dalam tiga bulan yang ditentukan karena memang
itu waktu keabsahan haji, dan berarti keabsahan untuk wuqûf, karena inti dari haji
Hal yang tidak aneh memang, karena menurut Masdar, bahwa yang
pun, baik didukung dengan nass atau tidak, yang bisa menjamin kemaslahatan
kemanusiaan, dalam kaca mata Islam adalah sah, dan Islam terikat untuk
memperkirakan kalau dalam satu bulan ada empat minggu, satu prosesi haji
bulan bisa berlangsung tiga kali shift, atau tiga angkatan haji. Jadi, pada bulan
Syawwâl 3 shift, Dzû al-Qa‟dah 3 shift, dan bulan Dzû al-Hijjah 3 shift. Jadi
dalam tiga bulan itu akan ada 12 shift. Andai saja dalam 1 shift bisa dilakukan
oleh 1 juta orang, maka dalam setahun akan ada 12 juta orang yang berhaji. Dan
45
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153
46
Mas‟udi, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” ..., h. 61
81
itu akan dilakukan dengan aman, rileks, dan khusuk karena hanya ada 1 juta orang
Masdar ini dibenarkan oleh para ulama dan diberlakukannya perubahan ini oleh
semuanya memang merasa untung, baik itu dari jama‟ah yang mulai merasakan
yang selama ini dipegang pemerintah akan lebih efektif dan meraup untung lebih
banyak meskipun menetapkan tarif ONH lebih murah karena terbantu dengan
jumlah jama‟ah yang lebih banyak dalam tiap tahunnya; berkurangnya jumlah
korban meninggal atau sakit serta semakin tertata rapinya kebersihan dan
47
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 154
82
bawah; berkurangnya antrian jama‟ah yang harus antri beberapa tahun; dan lain
sebagainya.
kebijakan pelarangan haji kecuali untuk yang pertama kali saja, seperti yang
ditegakkan, karena secara hukum setiap muslim boleh melakukan haji seberapa
menjadikannya sebagai pilihan masa depan. Dan bentuk tourism yang terbaik
manusia dengan diri sendiri (karena di dalamnya ada prinsip kejujuran dan
48
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 155-156
49
Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”.
83
Itu bermakna: pertama, napak tilas asal-usul manusia secara biologis: yaitu
dari Nabi Adam dan Hawa sebagai nenek moyang kita. Kedua, juga
Nabi Ibrahim maupun Nabi Adam sendiri. Sebenarnya, seluruh prosesi haji itu
adalah napak tilas dari perjalanan spiritual Nabi Ibrahim. Itu disimpulkan
misalnya, dari ritual sa‟i antara Shafa dan Marwah yang dirujuk dari kisah Siti
Hajar. Ritual ini merefleksikan usaha keras untuk mencari anugerah Allah dengan
melontar jumrah di Mina, itu merupakan pengalaman spiritual dari Nabi Ibrahim.
Bahkan memakai baju ihram merupakan tanda perlucutan segala atribut sosial dan
mewujudkan—dengan manfaat dan hikmah haji yang termaktub dalam QS. Al-
Hajj/22: 28.
50
Mas‟udi, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” …, h. 55
84
Masdar agar pajak tidak boleh dicobasatukan dengan zakat, seperti yang sempat
Tanggapan dari ulama-ulama lain sesudahnya pun belum banyak karena mungkin
belum diwacanakan secara intens, itupun baru dari ulama-ulama Indonesia, baik
halus dan menusuk, dan ada pula yang cukup ilmiah dan „menengahi‟. Ada yang
apologi subyektif sehingga menilai negatif, ada juga yang berusaha menilai
Sosok setelah Masdar yang penulis nilai cukup representatif dan memang
Masdar yaitu Jamal Ma‟mur Asmani. Bila dilihat hasil telaahnya, peneliti CePDeS
(Center for Pesantren and Democracy Studies) dan staf pengajar PP Mahasiswa
51
Lebih jelasnya lihat Masdar Farid Mas‟udi, “Zakat Bukan Money Laundering”, artikel
diakses tanggal 01 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/zakat-bukan-money-laundering/
85
Yang dimaksud dengan adanya makhsûs di sini ialah tiga bulan (asyhurun)
setelahnya, yaitu ma‟lûmât yang berdasarkan tradisi waktu Arafah ialah pada
tanggal 9 Dzû al-Hijjah. Dalam pada itulah berdasar pemahaman Jamal, problem
Pengertian mujmal sendiri adalah teks global yang butuh penjelasan atau
merujuk pada pengertian tersebut, maka tidak hanya waktu haji, seluruh perilaku
haji, termasuk waktu wuqûf di Arafah juga sudah masuk dalam ayat tersebut.
52
Jamal Ma‟mur Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”, artikel diakses pada
tanggal 11 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/telaah-kritis-pemikiran-masdar/
53
Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, cet. 2, h. 304
86
melaksanakan wuqûf pada waktunya, yaitu tanggal 9 dari bulan ke terakhir yaitu
Dzû al-Hijjah. oleh karena itu, hadis nabi al-hajju „arafah hanya sekedar
menguatkan tradisi yang sudah ada. Jadi, mubayyannya adalah syar‟u man
diketahui oleh manusia tanpa kemusykilan suatu apapun.54 Oleh karena itu adanya
syari‟at tidak mungkin datang sebagai penentang terhadap adat, akan tetapi datang
studi sejarah dan kultur lokal arab dalam memahami proses turunnya wahyu
Arab sejak zaman nabi Ibrahim As. Di dalam bulan-bulan itulah Allah
Maka dari itu, jika mengikut tradisi yang telah ada, memang haji itu sudah
dianggap dan terhitung boleh berniat menjalankannya pada awal bulan Syawwâl
dan tetap mengikuti wuqûf pada hari Arafah. Sedangkan bila ada seseorang
54
Abû al-Qâsîm Mahmûd bin ‟Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‟an Haqâ‟iq
Ghawâmid al-Tanzîl wa ‟Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl (Riyâd: Maktabah al-‟Abîkân, 1998
M/1418 H) cet. 1, juz. I, h. 406
55
Hasbi al-Shiddieqy, Pedoman Haji (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) h. 28
87
memulai amalan-amalan haji di luar bulan-bulan itu, maka hajinya tidak sah.56
Adapun orang yang sampai mîqât di luar bulan-bulan haji, seperti bulan Ramadân
dan Sya‟ban, maka dalam hal ini disunahkan berihram umroh dengan
talbiyah.57
Waghal.58
ditemukan pada berbagai kitab hadis dan tafsir. Dalam hadis-hadis yang
Minâ dalam keadaan ihrâm pada tanggal 8 Dzû al-Hijjah, setelah itu singgah di
yang mana pada saat itulah rasul Saw menyampaikan khutbah Arafah.59
yang mensyaratkan adanya kewajiban wuqûf di Arafah pada hari Arafah (9 Dzû
al-Hijjah) tersebut, seperti M. Quraish Shihab, Muhammad „Ali al-Sabûnî, dan al-
56
Al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‟an Haqâ‟iq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‟Uyûn al-Aqâwîl fî
Wujûh al-Ta‟wîl ..., h. 406
57
„Abd al-„Azîz Ibn „Abdullah Ibn Bâz, al-Tahqîq wa al-„Iddah li Katsîrin min Masâ‟il
al-Hajji wa al-„Umrah wa al-Ziyârah „alâ Dau‟i al-Kitâb wa al-Sunnah. Penerjemah Nurul Ulum,
Ibadah Haji, Umroh, dan Ziarah Berdasarkan al-Qur‟an dan al-Sunnah (Bandung: Gema Risalah
Press, 1995) h. 33
58
Al-Shiddieqy, Pedoman Haji …, h. 30
59
Muhammad Nasîr al-Dîn al-Albânî, Hajjatun Nabî Saw. Kamâ Rawâhâ „Anhu Jâbir
Ra. Penerjemah Uthman Mahrus dan Endy Muhammad Astiwara, Haji dan Umroh seperti
Rasulullah (Jakarta: Gema Insani Press, 1994) h. 95
88
pendapatnya dengan adanya kewajiban wuqûf di padang Arafah pada hari Arafah.
tergelincirnya matahari, pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah, sampai terbit fajar pada
dinyatakan sah, apabila orang hadir di padang Arafah untuk sebagian waktu saja
dari jarak waktu tersebut di atas, baik pada waktu siang harinya, maupun pada
malam harinya, dengan ketentuan bahwa orang yang berwuqûf pada siang hari,
orang yang memulai wuqûfnya pada malam hari, tiadalah kewajiban sesuatu
atasnya.61
Lebih lanjut mengenai bunyi hadis yang menerangkan wuqûf rasul Saw
60
M. Quraish Shihab, M. Qurais Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut
Anda Ketahui (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 1430 H/2009 M) cet. 5, h. 239
61
M. „Ali al-Sâbûnî, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟an. Penerjemah Saleh
Mahfoed, (Bandung: al-Ma‟arif, 1994) cet. 10, j. I, h. 453
89
فمن َحلع ْه بَحلك ٍْي بْه ِه ما نْهَفَحلأنَحلم ِه ٌرع َحل
ما َحلح َّجدثَحلنم ُه ْه ُه َحل هفل
ْهخَحلَفَحلنم ْهع َحل ُهق بْه ُه إبْه َحل
ِه
لا هلل (ص) اَحل ُّ َحلعَحل َحلةُه َحل َحل ْه ا َحل َحل ما َحلأ ِه ْهد ُه َحل َحلعطمء َحلع ْه َحلعْهد اَحل ْهْحمن بْه ِه يَحلَف ْه َحل
ِه ِه ْهد َحل َحل اَحلْهفعةَحل َحلع َحلةَحل َحلَفْه ُه ْهعلِه ا َحل ْه ِه
ْه اَحلفعَحلة َحلْه ٍع َحلَف َحلق ْهد َحلَّج َحلح ُّ ُه َحل َحل
“…dari Abdurrahman bin Ya‟mar, dia berkata, “Saya melihat rasulullah
Saw. didatangi manusia ditanya soal Haji, rasulullah kemudian menjawab:
“Haji adalah wuquf di Arafah, barang siapa yang menemukan pada malam
Arafah sebelum terbitnya fajar dari malam jam‟in, maka sungguh hajinya
telah sempurna.”62
Râis „Âm Syuriyah PBNU, K.H. MA. Sahal Mahfudz dan K.H. A.
Musthofa Biysri (Rais Syuriyah PBNU) dalam terjemahan kitab Mausû‟at al-
“Waktu wuqûf di Arafah adalah antara saat lingsir matahari di hari Arafah
dan menyingsingnya fajar di malam nahr, menurut pendapat segenap
ulama kecuali Ahmad. Beliau mengatakan, waktu wuqûf adalah antara
menyingsingnya fajar di Hari Arafah dan menyingsingnya lagi di hari
nahr. Ulama juga telah sepakat bahwa wuqûf tidak sebelum duhur pada
hari ke sembilan (9 Dzû al-Hijjah dan tidak hari nahr, bagi mereka yang
tahu bahwa itu hari nahr, dan sesudahnya. Berdasar ini, ulama sepakat
bahwa orang yang berhenti di Arafah pada malam nahr, sekira dari
berhentinya itu sempat solat subuh dengan imam, ia dianggap telah wuqûf.
Barang siapa berhenti di siang hari dan bertolak sebelum tenggelamnya
matahari, dan tidak kembali ke Arafah waktu siangnya, itu telah
mencukupi sebagai wuqûfnya, dan hajinya sah menurut semua ulama,
kecuali Mâlik. Beliau berkata; “Yang mu‟tamâd dalam wuqûf di Arafah
adalah malam hari; kalau tidak mengalami sedikitpun dari malam, maka
tertinggalah haji (haji terlepas darinya).” Ini juga salah satu riwayat dari
Imam Ahmad. Juga telah disepakati bahwa orang yang wuqûf di Arafah
sebelum tergelincir matahari dan bertolak dari sana sebelum tergelincir
matahari, wuqûfnya tidak dianggap. Dan bila tidak kembali dan wuqûf
setelah tergelincir atau wuqûf pada sebagian malamnya, sebelum
menyingsingnya fajar, maka haji terlepas darinya.”63
62
Muhammad Ibn „Îsâ Abû „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi‟ al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî.
Pentahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, dkk. (Beirût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabî) j. IV, Juz III,
hlm. 237
63
Sa‟di Abu Habieb, Kesepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Ensiklopedi Ijma (Jakarta:
Pustaka Firdaus Jakarta, 1987) cet. 1, h. 159-160
90
Jamal Ma‟mur Asmani juga mengutip dari beberapa pendapat dalam kitab-
...
“…Maka apabila kamu Telah bertolak dari „Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy‟arilharam.65 dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu
sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (QS. al-
Baqarah/2: 198)
mengatakan م َحل انمءُه إإ ْه َحل َحل َحل (tumpah bejana itu apabila penuh). Jamaah
keluar dari Arafah setelah Maghrib tanggal 10 Dzû al-Hijjah, seperti air yang
ع ِه
ما
berkata inilah qira‟ah yang paling baik. Tetapi, Sibawaih membaca َحل
64
Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”.
65
Ialah bukit Quzah di Muzdalifah.
66
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 124
91
bertanya, ت م يُهك
ه ع َحل , “Apakah anda telah mengetahui
Belum lagi yang tidak terdaftar, masih terdapat lagi puluhan ribu.
67
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 125
68
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 125
92
Dahhâk).
ِه
خمأ م ف إإ من صمبِه
ُهج ٌر عم ٌر
Orang yang haji itu sabar terhadap qadâ Allah, khudû‟, dan merendahkan
diri kepada Allah serta sabar dalam berdo‟a, sabar dalam menghadapi bala dan
maka wuqûfnya tidak dianggap, atau batal. Dan ulama juga telah ijma, bahwa jika
seseorang wuqûf di Arafah sesudah tergelincir matahari (selesai zawâl) pada hari
dianggap sah, kecuali imam Mâlik bin Anas, wuqûf harus sampai Maghrib atau
malam. Adapun yang wuqûf di Arafah pada malam hari maka hajinya sah.69
69
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 126
93
Ayat ini tidak menjelaskan siang atau malam, yang terpenting telah
menjalankan wuqûf.
Kedua, hadis „Urwah bin Mudarris, “Barang siapa yang solat Duhur dan
Ashar dijama‟ bersama kami, sedang dia sudah datang di Arafah sebelumnya, baik
Adapun alasan Imam Mâlik ialah hadis panjang dari Jâbir yang
Jumhur ulama berbeda pendapat bagi yang selesai dari Arafah sebelum
Imam „Atâ, Sufyân al-Tsaurî, Imam Syâfi‟î, Ahmad, Abû Tsaur dan Ahl
Ra‟yi mengatakan wajib membayar dam. Sementara itu imam Hasan al-Basrî
berpendapat wajib al-hadyu (kurban). Adapun imam Mâlik berkata bahwa wajib
melaksanakan haji pada tahun berikutnya, dan al-hadyu disembelih tahun depan.
Seluruh Arafah adalah tempat wuqûf yang luasnya sekitar 2x4 km. Saat ini
Saat ini sudah berdiri masjid yang luasnya sekitar 1 hektar, terkenal dengan
masjid Namîrah.
tempat wuqûf. Hanya sayang sekali, saat ini sangat sulit untuk solat di sini, karena
penuh sesak dengan pengunjung dan kendaraan yang kadang-kadang tidak lewat
di sini.
daniqamah dua kali, yaitu Duhur dan Asar (jama‟ taqdîm), tanpa ada solat sunah
terbenam.
penilaian Jamal tentang adanya masyaqqah. Kalau argumen Masdar karena ada
dengan banyak cara, diantaranya, melaksanakan wuqûf tidak pada waktu fadilah
70
al-Tirmidzî, al-Jâmi‟ al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî …j. III, h. 232
71
Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Asybâh wa al-Nadâ‟ir (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga,
t.th) h. 58
95
dalam haji hanya wuqûf, walaupun begitu syara‟ memberi kelonggaran, karena
dalam wuqûf dimanapun sepanjang masih di tanah Arafah, baik siang maupun
malam, walaupun sebentar adalah sah.72 Jika tetap tidak mampu, sakit keras
syarat-syaratnya.
wuqûf, namun pada sabîl (jalan). Sehingga solusi dari tumpukan manusia bisa
menggunakan lift, atau aneka ragam teknologi modern sekarang ini, bukan dengan
Ibrahim as sendiri termasuk salah satu dari rasul ulû al-„azmi yang mempunyai
kesabaran lebih dari yang lainnya. Setelah dalam waktu yang lama ia tak
dikaruniai anak, ia diperintahkan untuk beristri dengan wanita budak. Tak lama
72
al-Ghazâli, al-Wâjiz (Beirut: Darul Fikri, tth) j. I , h. 73
73
Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”.
96
Alasan ketiga dalam membantah pendapat Masdar ialah bahwa haji itu
merupakan ritual ibadah mahdah, yang ditujukan secara vertikal kepada Allah,
haram kecuali kalau ada dalil yang memperbolehkannya, dan asal dari mu‟amalah
(hubungan sosial horizontal) adalah boleh kecuali kalau ada dalil yang
mengharamkannya. Oleh sebab itulah para ulama di berbagai kitab hadis, fikih,
tafsir, tajwid, nahwu, dan lain-lain banyak mengutip berbagai pendapat generasi
teks, murni hasil imaginasi dan kreasi rasio, jadi harus ada landasan teks atau
Di sini penulis belum hendak menilai tentang siapakah yang keluar sebagai
pemenang, karena proses sejarahlah yang nantinya akan menjawab. Namun, ujian
74
Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”.
97
yang paling menentukan dari setiap pemikiran, bukanlah dari sudut argumen
formal yang semata-mata bersifat teoritik, melainkan ujian dari sudut materialnya
yang bersifat empirik. Karena suatu pemikiran atau ide boleh cumlaude dari sudut
teoritik, tapi jika kandas dalam pembuktian empirik, dalam arti tidak jelas manfaat
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah penulis lakukan terhadap ayat-ayat yang masih
penafsiran salah satu tokoh generasi sekarang, yakni Masdar Farid Mas’udi, yang
didasarkan atas rumusan masalah yang telah penulis buat sebelumnya, yaitu inti
pemikiran Masdar adalah menjadikan haji menjadi tiga kloter, sehingga wuqûf di
Arafah) sebagaimana ketentuan yang berlaku. Hal ini selain sesuai dengan
Penulis sendiri memang mengakui eksistensi dari adanya dua hal di atas.
Secara kaidah penafsiran, jika dengan mendasarkan hal waktu haji tersebut pada
menganggap kurang pada penafsiran Masdar ini, terlebih dalam hal penawaran
solusi waktunya yang mana ia tidak memberikan lebih detail berkaitan dengan
waktu untuk menyebut nama Allah (takbîr) pada hari-hari tertentu yang telah
disebutkan dalam QS. al-Hajj/22: 28, demikian juga dengan kapan waktu kita
anggap penting karena nantinya dengan adanya perubahan waktu wuqûf akan
menyeret konsekuensi manfaat atau hikmah haji yang telah disebutkan pada ayat
98
99
lain. Dari sini, terlihat bahwa Masdar seakan kurang memperhatikan munâsabah
antara ayat satu dan yang lainnya yang masih termaktub dalam al-Qur’an.
lebih tertekan pada hal wuqûf saja. Hal tersebut maklum adanya karena memang
menghilangkan nyawa. Bisa jadi, bila salah seorang mufassir periode klasik ada
yang masih hidup pada zaman sekarang—yang mana tingkat peradaban manusia
sudah sebegitu njelimet dan serba instan—maka telah ada yang menafsirkan
seperti Masdar. Namun demikian, alasan bahwa adanya masyaqqât adalah hendak
tetap pada hari Arafah, karena memang suatu kaum dari masa satu ke masa
B. Saran
1. Adanya penelitian lebih lanjut terhadap tafsir Masdar Farid ini, karena
penelitian dan data yang dipaparkan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu penulis senantiasa mengharap saran dan kritik yang membangun,
generasi mereka adalah generasi yang memiliki cita rasa perubahan sosial,
Abdalla, Ulil Abshar, Membakar Rumah Tuhan, (Bandung: Rosda Karya, 1999)
Abu Habieb, Sa‟di, Kesepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Ensiklopedi Ijma,
(Jakarta: Pustaka Firdaus Jakarta, 1987) cet. 1, h. 159-160
Adam, Muchtar, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab,
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996 M/1416 H) cet. 5
Al-Albânî, Muhammad Nasîr al-Dîn, Hajjatun Nabi Saw. Kamâ Rawâhâ ‘Anhu Jâbir
Ra. Penerjemah Uthman Mahrus dan Endy Muhammad Astiwara, Haji dan
Umroh seperti Rasulullah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994)
Ali, Atabik dan Muhdor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999)
Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987)
cet. 7
Asmani, Jamal Ma‟mur, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”, artikel diakses pada
tanggal 11 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/telaah-kritis-pemikiran-masdar/
Bashier, Zakaria, Mekah Dalam Kemelut Sejarah. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus,
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994) cet. 1
Al-Biqâ‟î, Burhân al-Dîn Abû al-Hasan Ibrâhîm bin ‟Umar, Nazm al-Durar fî
Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, (Kairo: Dar al-Kutub al-Islâmi, 1389
H/1969 M) j. III
Al-Dimasyqî, abû al-Fidâ‟ Ismâ‟îl bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Kairo:
Maktabah Aulâd al-Syaikh li al-Turats, 1421 H/2000M) cet. 1.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren, (2006) j. II
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren DEPAG RI, “KH. Masdar
Farid Mas‟udi”, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2010 dari
http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content
&task=view&id=210
Farid, Ishak, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta
1999) cet. 1
Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007)
cet. 2
Ibn Bâz, „Abd al-„Azîz ibn „Abdullah, al-Tahqîq wa al-‘Iddah li Katsîrin min Masâ’il
al-Hajji wa al-‘Umrah wa al-Ziyârah ‘alâ Dau’i al-Kitâb wa al-Sunnah.
Penerjemah Nurul Ulum, Ibadah Haji, Umroh, dan Ziarah Berdasarkan al-
Qur’an dan al-Sunnah, (Bandung: Gema Risalah Press, 1995)
Ja‟far, Muhammmad, “‟jalan Lain‟ Berhaji dan Berqurban”, artikel diakses pada
tanggal 03 Maret 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/jalan-lain-berhaji-dan-berqurban/
Al-Jarjawî, Syekh „Ali Ahmad, Hikmat al-Tasyrî’ wa Falsafatuhû, (Beirut: Dâr al-
Fikri, 1997 M/1418 H) cet. 5
Khallâf, „Abd al-Wahhâb, Ilmu Ushulul Fiqh. Penerjemah Masdar Helmy, (Bandung:
Gema Risalah Press, 1997) cet. 2
Madjid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan,
1987)
Mas‟udi, Masdar Farid, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”,
artikel diakses tanggal 01 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/ironis-haji-menjadi-status-sosial-yang-
dilembagakan/
--------, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” dalam Abd Moqsith Ghazali,
Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis,
Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005
--------, “Zakat Bukan Money Laundering”, artikel diakses tanggal 01 Februari 2010
dari
http://islamlib.com/id/artikel/zakat-bukan-money-laundering/
Al-Misrî, Ibn Manzûr al-Afriqî, Lisân al-‘Arab, (Libanon: Dâr Sâdir, 1990) j. II
Nata, Abuddin, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) cet.
3
--------, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) cet. 7
Al-Nawâwî, Imam, Sahîh Muslim bi Syarh Imâm al-Nawâwî, (Libanon: Dâr al-Fikr)
j. I
Al-Qurtubî, Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Bakr ibn Fakhr, Tafsîr al-Qurtubi,
(Kairo: Dâr Syu‟ba, 1372 H) cet. 2, J. III
Rahardjo, M. Dawam, “Islam dan Modenisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi
Nurcholish Madjid”, dalam Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987)
Ramitha, Vina, “Politik Internasional: Penuhi Kebutuhan Haji”, diakses pada tanggal
05 Mei 2010 dari
http://inilah .com
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1997) cet. 30
Ringkasan Berita Terakhir “Jama‟ah Antre karena Toilet Tak Memadai”, diakses
pada tanggal 05 Mei 2010 dari
http://liputan6.com
Ringkasan Berita Terakhir “Kewajiban Haji Hanya Sekali”, diakses pada tanggal 05
Mei 2010 dari
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=145212&actmenu=39
Ringkasan Berita Terakhir “Naik Haji Tahun Depan Lebih Nyaman”, diakses pada
tanggal 05 Mei 2010 dari
http://www.antaranews.com/berita/1259608664/naik-haji-tahun-depan-
lebih-nyaman
Ringkasan Berita Terakhir “Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib”, diakses
pada tanggal 15 Februari 2010 dari
http://vivanews.com/117423-
santri_di_ponpes_tegalrejo_gelar_salat_goib.htm
Al-Shiddieqy, Hasbi, Pedoman Haji, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)
Shihab, M. Quraish, M. Qurais Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut
Anda Ketahui, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 1430 H/2009 M) cet. 5
Sitonga, A. Rahman dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1997)
Suma, Muhammad Amin, Tafsir Ahkam 1, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1417
H/1997 M)
Supiana dan M. Karman, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002) cet. 1
--------, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma’tsûr, Tahqîq: Dr. „Abd Allah bin „Abd
al-Muhsin al-Turkiy, (Kairo: Markaz Hijr li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-
„Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, 1424 H/2003 M) cet. 1, j. II
Al-Tabarî, Abû Ja‟far bin Muhammad bin Jarîr, Jâmi’u al-Bayân ‘an Ta’wîli Âyi al-
Qur’ân, di tahqiq oleh: Mahmûd Muhammad Syâkir (Kairo: Maktabah Ibn
Taimiyyah, 1374 H) cet. 2, j. IV
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
IKAPI, 1992)
Al-Tirmidzî, Muhammad Ibn „Îsâ Abû „Îsâ, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî.
Pentahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, dkk. (Beirût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-
„Arabî)
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990)
Al-Zamakhsyarî, Abû al-Qâsim Mahmûd bin ‟Umar, al-Kasysyâf ’an Haqâ’iq
Ghawâmid al-Tanzîl wa ’Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Riyâd:
Maktabah al-‟Abîkân, 1998 M/1418 H) cet. 1
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Pembimbing
Ketua, Sekretaris,
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Tuhan sekalian alam; Tuhan segala hal;
Tiada kekuatan pun kecuali atas kehendak-Nya; Yang telah memberikan taufiq-Nya
bagi penulis untuk merampungkan skripsi ribet ini; Yang mendorong Kajur seakan
ngerjain penulis dengan menolak proposal hingga harus keempat kalinya; Yang
mendorong mata penulis tertuju untuk membeli buku merah berjudul Ijtihad Islam
hampir satu bulan tidak bisa bertemu; Yang selalu ‘menguji’ hambanya dengan
‘masalah-masalah’ sakit, kurang dana, jauhnya jarak, dan sebagainya. Oh, sungguh
Solawat serta salam tetap tersanjungkan pada insan paling agung sepanjang
zaman, Muhammad Saw. Karena ia, dunia ini ada. Berkat dia, nikmat Islam dan
wahyu mampu dirasakan manusia setelahnya. Tak terbayangkan bila harus ada dunia
tanpamu karena tiada seorang pun yang akan mampu menyampai dan memberi
syafa’at tetapnya ajaran ini hingga hari akhir kecuali engkau, tanpamu, tanpa
iv
Penulis begitu berterima kasih pula bagi para guru yang telah sudi mendidik
dan mendoakanku. Mbah Muntaha Wonosobo, Abah Ilyas Bogor. Pengajaran kalian
Juga pada para dosen dan guru-guru di sekolah formalku, yang selama
wacana keislaman, keuniversalan, sosial, dan aqidah. Kepada Bu Faizah yang selalu
ini di sela-sela kesibukannya, Pak Eva yang sempat membuka secuil celah
permasalahan, bagi Pak Yusuf sebagai dosen yang menguji dan memberi tambahan
opini dan bagi para dosen lain, nama kalian tak bisa ku tuliskan satu-satu.
Terima kasih pula bagi kedua orang tua penulis. Meski dulu terkadang rasa
benci menyelimuti penulis, namun semuanya telah aku sesalkan. Kalian mendidikku
dengan pengajaran yang ternyata begitu aku kagumkan. Kerelaan kalianlah kerelaan
Terima kasih dan permintaan maaf penulis sampaikan pula bagi mbahku,
terkhusus Mbah Jidah, yang mana penulis sempat hidup bersamanya, dengan fakta
masa lalu yang kini telah banyak dianggap sebagai dongeng kuno; dengan cerita-
cerita Belandanya; dengan kisah Ratu Hernianya, kisah-kisah perjuangan dulu yang
juga telah membentukku. Maafku untukmu tak bisa melihat senyum merah mu—
v
wisuda pada semester kelima. Tapi di sisi-Nya ku yakin engkau sedang melirikku.
Terima kasih buat para teman-teman TH-A 2005 yang militant dan berdaya
mudamu sudah tak tertutupi lagi oleh wajahmu; Maksal… buruan kejar nilaimu!
Tidak kasihankah kau pada wanita setulus Susi yang senantiasa sabar
dermamu; Ummu… ah! Aku pun sudah tak tahu mesti bilang apa untuk
memotivasimu; Ratih… tak perlu lah! Jutaan perubahan menghadang di dunia luar;
Hendri! Makasih sudi menemaniku wisuda; Ismail! Salutku padamu yang tak peduli
nilai formal demi estetika keindahan; Aini! Semoga langgeng bersama Ipin, ia teman
baik bagiku juga; Apis! Entah kenapa ku teringat Raju Rastogi dalam 3 Idiots bila
melihatmu. Selamat! Kau telah menjadi juara MTQ nasional sekarang; Riski!
kenyataan; Izu! Aku sudah tak bisa berkata-kaa lagi bila berhadapan denganmu; Izi!
Maafkan aku bila punya salah ya!; Mbak Fai! Aku salut padamu; Vina! Pesan
vi
namamu tanpa ‘A’ ya! Teman-teman ku semua yang tak sanggup ku sebut satu per
satu.
Semuanya! Kuharap kalian terima rasa kasihku ini, semoga tulisan ini mampu
menjadi wasilah rasa banggaku pada kalian, yang telah membantuku sedemikian,
sebagai aku, Abdul Hasan Mughni. Sungguh, tak ada salah satu dari kalian, maka tak
ada aku seperti sekarang. Sekali lagi, maaf dan terima kasih pada semuanya, berkat
perantara kalian semua, insya Allah, diri ini masih diliputi cinta-Nya. Segala puji bagi
Tuhan Semesta, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang Merajai hari
pembalasan.
vii
DAFTAR ISI
viii
4. Hikmah Haji ..................................................................................... 46
C. Problematika Ritual Haji Zaman Sekarang .......................................... 48
1. Jumlah Jama’ah................................................................................ 48
2. Registrasi di Negeri Masing-masing ................................................ 51
DAFTAR PUSTAKA
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
أ =a ز =z ق =q
ب =b س =s ك =k
ت =t ش = sy ل =l
ث = ts ص =s م =m
ج =j ض =d ن =n
ح =h ط =t و =w
خ = kh ظ =z ه =h
د =d ع =' ي =y
ذ = dz غ = gh
ر =r ف =f
2. Vokal Panjang
Vokal (a) panjang = â, contoh: َق َقل = Qâla
Vokal (i) panjang = î, contoh: ِي َقْل = Qîla
Vokal (u) panjang = û, contoh: = ُددوْ نَقDûna
3. Diftong
ْو َق = au
ْي َق = ai
4. Syaddah
Tanda syaddah ditransliterasikan dengan mengulang huruf yang diberi tanda
tasydid. Misalnya madda
5. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, ال.
Transliterasinya dibedakan antara huruf syamsiyah dengan qomariyyah.
x
a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai
bunyinya, yaitu huruf "L" diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang
langsung mengikuti kata sandang itu. Misalnya al-Syamsu, al-Nûr.
b. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah ditransliterasikan sesuai
dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai bunyinya. Misalnya al-
Badru, al-Wathan.
6. Hamzah
Bila hamzah itu terletak di awal kata maka dilambangkan sesuai harakat yang
disandangkan pada huruf, karena dalam tulisan Arab berupa alif.
7. Pengecualian Transliterasi
Adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa
Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, kecuali menghadirkannya
dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan ke-konsisten-an dalam penulisan.
8. Foot note
Ziauddin Ahmad, al-Quran: Divine Book of Eternal Value (Karachi: Royal Book
Company, 1989) h. 100
Dalam pengulangan, cukup menyebutkan seperti berikut :
Ziauddin Ahmad, al-Quran: Divine Book of Eternal Value ..., h. 90
9. Singkatan-singkatan
Swt = Subhânahû wa ta’âlâ
As = ‘Alaihi al-salâm
xi
Ra = Radiya Allah ‘anhu
H = Tahun Hijriah
M = Tahun Masehi
W = Wafat
tt = Tanpa Tempat
tp = Tanpa Penerbit
ed = editor
xii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada majalah Tempo awal 1990-an, tertulis pendapat yang cukup aneh dari
solusi yang lebih radikal dari sekedar membatasi kuota dan memperluas tempat-
selain pelaksanaannya yang telah berlangsung sekitar 1400 tahunan, haji telah
dianggap muslim sebagai ibadah ritual yang bukan hanya bernilai sosial, tetapi
juga ibadah mahdah kepada Tuhan dan merupakan rukun dalam agama Islam
yang kelima.
Hampir setiap muslim yang berakal di seluruh dunia mungkin tahu, bahwa
yang namanya rukun sendiri merupakan hal yang wajib dipenuhi agar keislaman
seseorang menjadi sempurna. Bisa dikatakan, mana saja muslim yang telah
ibadah haji, maka muslim tersebut akan menanggung dosa selama hajinya tadi tak
dengan benar berdasarkan tuntunan nabi Saw, mulai dari syarat, rukun, hal yang
1
2
masyarakat bahkan terkesan adanya penolakan yang hingga saat ini pun belum
ada tindak lanjut dari pihak pemerintah, khususnya di Indonesia—dalam hal ini
memposisikan diri sebagai kontroler. Terlepas dari hal tersebut, di sini penulis
berkeinginan untuk menelaah penafsiran Masdar sendiri yang bisa terbilang masih
aneh.
intan ini1 begitu multitafsir, setiap lafadnya memancarkan berbagai makna, hingga
tak ayal perbedaan dan pertentangan pendapat pun terjadi. Penulis sendiri menilai
hal tersebut sebagai cobaan dan hikmah kehidupan yang seakan Tuhan
“Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S. al-Nisâ‟/4: 82)
itu menyebabkan perbedaan. Namun bila diperhatikan lebih lanjut, ayat tersebut
bagaikan kalimat retoris „seandainya saja al-Qur‟an bukan dari Allah, pastilah
pertentangan yang terjadi akan lebih banyak—baik itu dari segi keotentikan dan
keindahan bahasanya; kebenaran data dan sejarah perbuatan umat masa silam;
1
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994) h. 16
3
benar dari Tuhan masih juga diperdebatkan, paling tidak dalam upaya
interpretasinya juga pastilah ada perbedaan‟. Hal perbedaan tersebut bagi penulis
pada orientasi kita. Jika bertujuan untuk penelitian sejarah, maka kita perlu
menilainya dari tekstualis ayat. Sedangkan bila tujuannya adalah demi menarik
Jadi menurut Masdar, waktu pelaksanaan ibadah haji itu beberapa bulan,
yaitu bisa di bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, atapun pada bulan Dzû al-Hijjah.
Hal ini tentunya bila dipraktekkan akan memudahkan para jama‟ah haji yang
2
Masdar Farid Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” dalam Abd
Moqsith Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis
(Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005), h. 152
4
30.000 jama‟ah haji yang tentunya menjadikan penyesalan tersendiri bagi orang
mensyaratkan adanya wuqûf di Arafah pada hari Arafah merupakan adat yang
“Tapi akhirnya dipahami bahwa haji hanya sah pada hari itu-itu saja.
Lebih-lebih ada hadis yang mengatakan bahwa “al-hajju „arafah”, atau
haji itu adalah wuqûf di Arafah. Nah, hadis ini yang kemudian dipahami
bahwa haji itu intinya bukan hanya wuqûf di tempat bernama Arafah, tapi
juga wuqûf di hari Arafah. Inilah yang sebetulnya menjadi problem. Dan
menurut saya, problem ini harus dipecahkan.”3
bahwa yang dimaksudkan dengan lafad asyhurun ma‟lûmât adalah Syawwâl, Dzû
al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah.4 Pendapat senada juga tertulis dalam beberapa
kitab tafsir sesudahnya, seperti Ibn Katsîr (w. 774 H) yang mengutip dari hadis
3
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 152
4
Abû al-Qâsîm Mahmûd bin ‟Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‟an Haqâ‟iq Ghawâmid
al-Tanzîl wa ‟Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl (Riyâd: Maktabah al-‟Abîkân, 1998 M/1418 H)
cet. 1, juz. I, h. 405
5
riwayat Bukhâri5, al-Suyûti (911 H)6, dan sebagainya. Lebih-lebih, dalam kitab-
kitab tafsir tersebut tidak banyak—meskipun ada juga beberapa yang mencoba
lafad „arafah yang terdapat dalam hadis. Kebanyakan dari mereka justru banyak
memaparkan bahwa apakah kata asyhur tersebut hanya tiga bulan tadi, ataukah
sekarang yang mana kenapa hari pelaksanaan haji hanya lima hari efektif dan
Mengenai bunyi hadis yang menyebutkan bahwa waktu haji itu tiga bulan
،ُ َح َّدثَنا َوَر اء، َح َّدثَنا أبو نُ َعْيم،أْحَ ُد بْ ُن حا ِزم بْ ِن أيب غُْرَزة
ْ َح َّدثَنا:ارر
ّ َُاا الل
ِ ِ ِ
َأ ّو ٌراا َوذو:وماا} َاا َع ْن ابْ ِن َعمر َاا {ااَ ُّج أ ْأ ُ ٌرر َم ْع ٌر،َع ْن َعْلد اهلل بْ ِن ديْنا ٍر
7ِ ِ
َّ وع ْ ٌرر ِمن ذر اا ِ
َ ال َل ْع َدة
Adapun diantara mufassir yang menyebutkan ketentuan waktu haji seperti
tersebut di atas dan juga mensyaratkan adanya kewajiban wuqûf di Arafah pada
hari Arafah adalah M. Quraish Shihab, Muhammad „Alî al-Sabûni, dan al-
Umroh terambil dari akar kata yang sama dengan ma‟mûr. Dari segi bahasa,
5
Abu al-Fida‟ Ismail bin Katsir al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‟an al-„Azim (Kairo:
Maktabah Aulad al-Syaikh li al-Turats, 1421 H/2000M) cet. 1, j. II, h. 239
6
Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma‟tsûr, Tahqîq: Dr. „Abd
Allah bin Abd al-Muhsin al-Turki (Kairo: Markaz Hijr li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-„Arabiyyah
wa al-Islâmiyyah, 1424 H/2003 M) cet. 1, j. II, h. 374
7
Muhammad Bin Ismâ‟îl Abû „Abdillah al-Bukhârî, al-Jâmi‟ al-Sahîh al-Bukhârî.
Pentahqîq Dr. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987) cet. 3, j. II, h. 570
6
ketentuan yang digariskan oleh agama, yakni memakai pakaian ihram dari tempat
tertentu, bertawâf tujuh kali mengelilingi Ka‟bah, melakukan sa‟i antara bukit
Safâ dan Marwah, serta menggunting atau mencukur rambut (dalam rangka
memakmurkan jiwa). Ini harus dilakukan sesuai dengan urutan itu. Umroh tidak
mempunyai waktu tertentu, boleh dilakukan kapan saja sepanjang tahun. Bahkan
dalam setahun, Umroh dapat dilakukaan beberapa kali. Sementara itu, haji ada
waktunya, yakni bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Selain
aktivitas yang disebut di atas tentang Umroh, masih ada aktivitas lain yang harus
dilakukan oleh orang yang berhaji, yakni berada (wuqûf) di padang Arafah pada
pendapatnya dengan adanya kewajiban wuqûf di padang Arafah pada hari Arafah.
Pendapat ini disebutkan juga oleh al-Sâbûnî sebagai pendapat jumhur ulama,
matahari, pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah, sampai terbit fajar pada tanggal 10 Dzû
al-Hijjah, dan bahwasanya wuqûf di Arafah sudah dapat dinyatakan sah, apabila
orang hadir di padang Arafah untuk sebagian waktu saja dari jarak waktu tersebut
di atas, baik pada waktu siang harinya, maupun pada malam harinya, dengan
ketentuan bahwa orang yang berwuqûf pada siang hari, maka wajib baginya
8
M. Quraish Shihab, M. Qurais Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 1430 H/2009 M) cet. 5, h. 239
7
dari niat berihrâm, akan membawa konsekuensi tetap harus adanya wuqûf hingga
pada saat bulan Dzû al-Hijjah selama hampir tiga bulan di tanah haram. Hal
wuqûf yang diharuskan adanya pada hari Arafah inilah yang berbeda dengan
dinilai sah orang yang sedang berhaji untuk pulang pada bulan Syawwâl, dengan
agama itu dalam hakikat dan tujuannya adalah memudahkan dan memberikan
memang hampir bisa dipastikan bahwa ritual haji pada saat nabi dan ulama-ulama
fiqh masa lalu tidak didapatkan adanya masyaqqât. Bila sudah demikian, apakah
sekarang saatnya.
9
M. „Ali al-Sâbûnî, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟an. Penerjemah Saleh
Mahfoed (Bandung: al-Ma‟arif, 1994), cet. 10, j. I, h. 453
8
diketahui juga bahwa dalam menafsirkan sebuah teks ataupun ayat al-Qur‟an,
penafsiran, termasuk juga dalam hal ini yaitu kehidupan dari seorang mufassir.
Oleh karena itulah, pada bab-bab selanjutnya nanti, penulis perlu menjelaskan
biografi dan karakter pemikiran Masdar terlebih dahulu, agar dari situ dapat
mufassir lain dan konteks turun ayat beserta hadis yang melingkupinya—diantara
perbedaan konklusi.
cukup banyak ayat-ayat yang menjelaskan ritual-ritual haji. Namun tidak semua
ayat tersebut menjelaskan waktu satu per satu ritualnya secara langsung.
9
Penyebutan mengenainya berkisar mengenai tata cara, dam (denda), hal-hal yang
keutamaan rumah Allah, dan lain sebagainya. Penjelasan yang masih bersifat
global tersebut bisa kita dapati pada ayat-ayat, antara lain dalam surat al-
Baqarah/2: 124-129, 158, 196-203, Âlu „Imrân/3: 96-97, al-Taubah/9: 3, dan al-
selain yang disebutkan di atas, penulis juga mendapati dua ayat yang dirasa bila
mufassir klasik sendiri tidak banyak berbeda pendapatnya dengan Masdar karena
mereka tidak banyak menekankan waktu pelaksanaan satu per satu prosesi haji.
Masdar, terlebih dalam masalah wuqûf di Arafah. Hal ini bisa jadi disebabkan
karena prosesi haji pada saat itu belum sebegitu membludaknya seperti pada
zaman sekarang.
ke-197 dari surat al-Baqarah, karena ayat inilah yang dijadikan dalil dasar oleh
kembali pada ayat tersebut, yang mana memang waktu yang tersirat dari ayat
masih ada kaitannya dengan waktu haji, yaitu al-Baqarah/2: 203, al-Hajj/22: 28,
dan al-Baqarah/2: 203. Metode tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an ini juga dinilai
oleh beberapa pakar tafsir sebagai kaidah dasar tafsir yang utama dan mesti
didahulukan dari pada kaidah selainnya,10 seperti kaidah syar‟i, atau kaidah
kebahasaan.
Diantara kaidah dasar tafsir yang lain adalah penafsiran al-Qur‟an dengan
hadis nabi.11 Oleh karena itu, nantinya dalam menjelaskan ayat-ayat dari surat al-
Baqarah/2: 197 dan 203, serta al-Hajj/22: 28 akan dihadirkan beberapa hadis yang
memahami ayat? Dan penafsiran Masdar manakah yang berbeda dengan mufassir
C. Kajian Pustaka
tiga buah pembahasan yang mengangkat tema haji. Pertama, berjudul Perintah
Haji dalam al-Qur‟an, ditulis oleh Kustiana Arisanti yang membahas pengaruh
masyarakat pra-Islam terhadap haji dan objek perintah haji dalam ayat-ayat
tersebut. Kedua, judul skripsi Telaah Hadis Pelaksanaan Ibadah Haji Sebelum
10
Supiana dan M. Karman, Ulum al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), cet. 1, h.
283
11
Supiana dan Karman, Ulum al-Qur‟an …, h. 279
11
dan Sesudah Hijrah membahas jumlah pelaksanaan haji nabi ditulis oleh Deden
Muhammad. Sedangkan yang ketiga, baru-baru ini ditulis oleh Sopiyah yang lulus
tahun 2010 menitik beratkan pada takhrîj hadis dengan judul Pelaksanaan Ibadah
Haji Berulang-ulang.
penulis kemukakan pada latar belakang masalah betapa haji itu merupakan suatu
yang urgen bagi kebanyakan rata-rata muslim. Bisa jadi hal tersebut dikarenakan
pembahasan mengenainya telah mendekati sempurna dan tanpa celah lagi untuk
diberi ruang ijtihad, atau bisa juga karena ibadah haji begitu sakral yang memang
notabenenya ibadah tersebut merupakan rukun Islam yang terakhir hingga seakan
tabu bila ada orang yang hendak mengkritisinya. Dari segi inilah barangkali yang
Secara khusus, buku-buku atau bentuk tulisan lain yang mengambil tema
bulan haji tidak banyak penulis ketemukan. Buku-buku yang banyak penulis
hukum-hukum haji dalam fiqih, dan juga cerita-cerita seputar haji, baik itu yang
baik ataupun yang buruk. Namun demikian, ada juga buku-buku yang beredar
meski sedikit jumlahnya yang cukup kritis membahasnya, baik itu dari segi
pemaknaan ulang atau juga kritik sosial, seperti Haji Pengabdi Setan karya Ali
Mustofa Ya‟kub.
D. Tujuan Penelitian
E. Metodologi Penelitian
ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki maksud yang sama dan menyusunnya berdasar
bercorakkan linguistic dan dalam beberapa hal banyak menggunakan studi fiqhî
12
Abd Al-Hayy Al-Farmawî, Metode Tafsir Maudhu‟i. Penerjemah Suryan A. Jamrah
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. 2, h. 36
13
buku-buku terkait erat dengan judul yang penulis ambil, maka bisa dibilang
metode yang penulis gunakan dalam membuat karya tulis ini adalah penelitian
Adapun referensi primer yaitu tulisan dari Masdar dan juga kitab-kitab
tafsir mulai dari masa klasik hingga modern, seperti: Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm
karya Ibn Katsîr, al-Durr al-Mantsûr karya al-Suyûtî, Tafsîr al-Munîr karya
banyak tertuang dalam buku Ijtihad Islam Liberal dan juga alamat website
berbentuk artikel, makalah, ataupun dialog. Dan untuk mengetahui lebih lanjut
tersedia dalam referensi sekunder tadi dapat berkorelasi dengan data-data yang
F. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri atas beberapa sub-
Pada bab pertama, terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang
Masdar, penulis membahas tentang biografi dari Masdar Farid Mas‟udi, mulai
dari riwayat hidup, latar belakang sosial dan intelektual, corak dan karakter
Pada bab ketiga, akan dijelaskan tentang bagaimana praktek ritual haji pra-
Islam dan sesudah Islam datang. Selanjutnya, ditambah dengan pengertian, syarat,
rukun, hal yang membatalkan, dan hikmah haji itu sendiri serta ditutup dengan
Dalam bab keempat akan dipaparkan sekilas tafsiran surat al-Baqarah ayat
197 dilanjutkan dengan penafsiran Masdar mulai dari latar belakang hingga
Masdar.
1. Pertumbuhan
Sebagai salah satu kandidat Ketua Umum PBNU 2010, tentu bisa dibilang
serta mumpuni dalam berorganisasi. Kita tahu juga, ormas NU itu sendiri
Masdar sendiri sebenarnya sudah memiliki garis keturunan kyai yang bila
mendapatkannya tanpa harus bertemu dan meminta pada beberapa tokoh besar.
mengandalkan segi nasab tersebut, bahkan seperti kedekatannya dengan mbah Ali
untuk tidak langsung ke IAIN, melainkan untuk mengajar dan menjadi asisten
pribadi mbah Ali terutama dalam tugas-tugas beliau sebagai dosen luar biasa IAIN
Purwokerto dari pasangan Hj. Hasanah dan Mas‘udi bin Abdurrahman. Ayahnya
1
PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖, artikel diakses
tanggal 10 Februari 2010 dari
http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/12/19/sekilas-tentang-masdar-farid-masudi/
15
16
daerah Banyumas.2
Râis ‘Âm PBNU tahun 1988-1999. Meskipun dari Tegalrejo baru menyelesaikan
diterima di kelas III Aliyah. Tahun 1970, selesai Aliyah, Masdar dinasehati oleh
mbah Ali untuk tidak langsung ke IAIN seperti telah disebutkan di atas, akan
tetapi dinasihati untuk menjadi aspri dari mbah Ali. Masdar pernah menyatakan
―Saya sering ditugasi oleh beliau untuk membacakan skripsi calon-calon sarjana
perpustakaan pribadi mbah Ali yang berisi kitab-kitab pilihan baik yang salaf
2
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia (Jakarta: Hujjah Press, 2007) cet. 2,
h. 145
3
PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖.
4
PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖.
17
mahasiswa.
salah satu pendobrak pemikiran itu antara lain aktif di organisasi PMII—sebuah
organisasi terbesar dan tercatat berkali-kali presiden BEM adalah perwakilan dari
Krapyak, Yogyakarta, sampai dengan 1974. Selanjutnya pada tahun 1976 terpilih
dengan 1978.
Tengah, Semarang selama 5 bulan lebih. Penahanan tanpa peradilan itu dilakukan
karena ia sempat memimpin demo anti korupsi menjelang Sidang Umum MPR
1978. Tahun 1982, setalah hijrah di Jakarta, Masdar dipilih sebagai Ketua I
sebagai Ketua Umum. Selesai kuliah, tahun 1980 Masdar hijrah ke Jakarta dan
mass media ibu kota. Tahun 1985, sehabis muktamar Situbondo, bersama dengan
18
K. Irfan Zidni, Masdar ditunjuk sebagai asisten Ketua Umum—saat itu Gus
Yogyakarta, 1979.5
sudut pandang Islam, baik dalam maupun luar negeri. Antara lain, di Manila dan
dan satu-satunya jurnal ilmiah Islam yang terbit antara tahun 1984–1990. Di lain
pihak, didukung oleh Rabitah Ma‘ahid Islami (RMI) dibawah duet kepemimpinan
(alm) KH. Imran Hamzah dan (alm) KH. Wahid Zaini, Masdar merintis berbagai
Kitab Kuning secara Kontekstual‖, kegiatan itu terus bergulir di berbagai daerah
dengan keikutsertaan para kyai baik yang sepuh maupun yang muda-muda. Salah
5
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia …, h. 145
6
PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖.
7
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren DEPAG RI, ―KH. Masdar Farid
Mas‘udi‖, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2010 dari
http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task= view&id=210
19
Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta, Anggota Dewan Etik ICW (Indonesian
diluluskan dengan prestasi akademik yang unggul sesuai dengan namanya, yakni
acara haflah yang untuk semakin menambah semaraknya acara tersebut, panitia
Haflah ini sebenarnya ditujukan sebagai bentuk pemberian syahadah bagi para
8
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia …, h. 145
20
santrinya yang telah menyelesaikan studi atau hafalan kitab tertentu pada tiap
jenjangnya.
dunia yang semakin maju. Tercatat tokoh seperti Gus Dur, mantan ketua Tanfidz
dan mantan orang nomor satu di Indonesia ini juga pernah nyantri di pesantren
tersebut selama 2,5 tahun mulai dari 1957-1959 yang saat itu dipimpin oleh ulama
karismatis K.H. Chudlori.9 Kyai Chudlori sendiri masih merupakan guru dari
Pondok Pesantren (PP) salaf dengan nama Asrama Perguruan Islam (API)
didirikan oleh K.H. Chudlori bin H. Ichsan di desa Krajan, kecamatan Tegalrejo,
Tegalrejo lebih populer disebut sebagai nama PP tersebut daripada nama resminya
3.002 santri,10 sedangkan pada tahun ini jumlah total santri sudah sekitar 4000
orang.11
menghormati budaya bangsa, kita bisa melihatnya saat peringatan 7 hari wafatnya
acara peringatan tersebut yang antara lain dihadiri para santri, komunitas lintas
9
Ringkasan Berita Terakhir ―Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib‖, diakses pada
tanggal 15 Februari 2010 dari
http://vivanews.com/117423-santri_di_ponpes_tegalrejo_gelar_salat_goib.htm
10
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren (2006) j. II, h. 23
11
Ringkasan Berita Terakhir ―Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib‖.
21
Magelang yang hadir antara lain Pimpinan Perkumpulan Sinar Kasih Tau
Magelang, Tedy Hartanto Tamsil, pimpinan Kelenteng ―Liong Hok Bio‖ Kota
Magelang, Paul Candra Wesi Aji, Koordinator Badan Kerja Sama Gereja-Gereja
Katolik Santo Ignasius kota Magelang, masing-masing Suster Lidwina dan Suster
Verona. Pada kesempatan itu penyair kota Magelang, Es. Wibowo membacakan
mementaskan performa Massa Tanpa Ulang. Sebuah grup musik asal Wonosobo
Nisa‘ diasuh K.H. Madrik Chudlori; PP API Putri dengan pengsuhnya Kyai
Damanhuri, menantu Kyai Chudlori Ichsan. Tidak jauh dari desa Krajan, di desa
Tegalrejo sendiri ada dikenal istilah ahl al-bait, yaitu keluarga kyai.13
12
Ringkasan Berita Terakhir ―Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib‖.
13
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 24
22
pendidikannya sejak dahulu dengan sistem klasikal. Bentuk pendidikan yang ada
berupa madrasah yang terdiri dari 7 kelas. Kurikulum yang dipakai dari kelas 1
sampai kelas terakhir secara berjenjang mempelajari khusus ilmu agama, baik itu
fiqh, ‗aqîdah, akhlâq, tasawwuf, dan ilmu alat (nahwu dan saraf) yang semuanya
dihadiri para alumni PP. Pertemuan ini dikenal sebagai acara Seninan. Dan juga
membayar iuran perbulan sebesar harga beras atau jagung sekitar 10 kg atau
nasi. Adapun untuk sayur dan lauknya, para santri membeli sendiri di kantin-
kantin yang tersedia di dalam PP. Sedang untuk makan para ustad dan pegawai,
14
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 24
23
tentunya keberadaan pesantren yang didirikan K.H. Munawwir pada 1911 M15
Nama pesantren itu sendiri diberikan oleh para penerus K.H. Munawwir
dengan nama kampungnya yaitu Krapyak. Para penerus pondok juga merumuskan
ajaran Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut dalam segala segi
kehidupan.
tiga jaman. Mulai jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan masa
saksi hidup perjuangan bangsa, hingga seperti sekarang ini. Pasang surutnya
sejarah bangsa telah membuat pesantren ini makin matang, dan menunjukkan
15
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 102
16
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 102
24
maupun nasional.
bertumpu pada figur sentral, seorang kiai, yang mana lebih banyak menerapkan
‗manajemen keluarga‘. Mereka yang terlibat mengasuh pondok terdiri anak dan
Hal ini karena materi pokok yang diberikan kepada santri-santrinya adalah al-
Qur‘an dengan segala ilmunya. Pendirinya yang dikenal sebagai ulama al-Qur‘an
pesantren lainnya.
17
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 103
18
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 103
25
kuning ini adalah K.H. Ali Maksoem. Metode belajar yang digunakan dengan
periode ini, mulai dirintis sistem pendidikan klasikal, dengan mendirikan Taman
Madrasah Takhasus, dan Madrasah Huffaz. Pada masa kepemimpinan K.H. Zainal
Saat ini, santri yang belajar di madrasah dan Ma‘had Aly PP al-Munawwir
berjumlah 1.045 orang. Jumlah santri tersebut diasuh 126 orang kiai dan ustadz.21
Latar belakang pendidikan mereka antara lain Pendidikan Guru Agama 66 orang,
19
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 104
20
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 104
21
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 105
26
B. Karakter Pemikiran
1. Karakteristik Fikih
suatu teks tertentu, biasanya karakter tersebut selain muncul dari lingkungan
kajian-kajian fikih, baik itu upayanya yang mengkaji masalah ibadah maupun
perbuatan yang terdapat di dalam ibadah dan mu‘amalah, pidana atau perdata
yang terjadi di dalam akad dan transaksi menurut syari‘ah Islam seluruhnya
nas al-Qur‘an dan al-Sunnah. Sebagian yang lain belum terdapat penjelasan,
namun syari‘ah Islam telah menentukan dalil dan isyarat-isyarat tersebut sesuai
terhadap masalah tersebut. Di samping itu istinbât dalil-dalil syari‘ah Islam yang
dalam hubungan sosial juga karena memang obyek pembahasan ilmu tersebut
27
Farid.23
Alasan tersebut tentu menjadi penting lantaran saat itu eksistensi umat NU
yang ahli tahlil, qunut, salawatan dan sebagainya, mendapat ancaman dan serbuan
dari kaum Islam radikal, misalnya karena masjid-masjid NU yang akhir-akhir ini
Berbeda dengan situasi tahun 1984, yang menurut Masdar, NU saat itu
dengan segala bentuk intimidasi, jadi khittah waktu itu diartikan warga NU boleh
memilih Golkar.24
22
Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh. Penerjemah Masdar Helmy (Bandung:
Gema Risalah Press, 1997) cet. 2, h. 23
23
Ringkasan Berita Terakhir ―Selamatkan Ahli Tahlil‖, diakses pada tanggal 10 Februari
2010 dari
http://www.gp-ansor.org/berita/kh-masdar-farid-mas‘udi-ketua-pbnu-selamatkan-ahli-tahlil.html
24
Ringkasan Berita Terakhir ―Selamatkan Ahli Tahli‖.
28
dari dalil-dalil secara detail atau kodifikasi hukum-hukum syari‘ah Islam tentang
perbuatan manusia dikembalikan pada empat sumber yang mana yang dijadikan
dalil pokoknya dan sumber dari hukum syari‘ah pertama adalah al-Qur‘an
2. Karakteristik Kemodernan
sendiri. Masdar ingin memperlihatkan bahwa ajaran Islam, pada dirinya sendiri,
secara inheren dan aslinya adalah agama yang ‗selalu modern‘. Paling tidak upaya
25
Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, h. 22
29
tetapi tetap bertolak dan tetap mengacu kepada iman Islam.26 Percikan pemikiran
Masdar tentang proses modernisasi, tidak lepas dari upayanya mengadopsi nilai-
nilai yang inheren dengan zaman modern, seperti: rasionalisasi, sekularisasi, dan
maupun westernisme sebagai paham yang membentuk total way of life nya bangsa
sebagaimana yang dianut orang komunis, atau liberalisme sebagai ajaran sesat
yang memandang ajaran sesat kemerdekaan mutlak atau tak terbatas, bertentangan
disebut dengan proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak
hukum obyektif yang menguasai alam, ideal, material, sehingga alam bertindak
26
M. Dawam Rahardjo, ―Islam dan Modenisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi
Nurcholish Madjid‖, dalam Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 1987) h. 27
27
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987)
h. 171-203
28
Madjid, Islam Kemodernan dan keindonesiaan …, h. 172-173
30
Oleh karena itu, modernisasi tidak lain perintah Tuhan yang imperatif dan
seorang Muslim.
lokomotif pembaharu dalam tubuh NU yang dikenal kritis, analitis, progresif, dan
kadang kala mengagetkan. Dua bukunya, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak)
Dalam Islam, dan Reproduksi Wanita adalah salah satu bukti konsistensinya
dalam lapangan pembaharuan pemikiran. Pemikiran Masdar ini pun banyak yang
menular ke bawah.
Ulil Abshar, tokoh muda NU dan lokomotif JIL dalam bukunya Membakar
pelatihan bagi para kiai muda NU dari seluruh Jawa, ternyata, banyak dari mereka
dari Arjawinangun, Cirebon, dan K.H. Moh. Ishom Hadizq (alm) dari Tebuireng
Jombang. Mereka sudah terbiasa dengan pikiran-pikiran Moh. Arkoun dan Fazlur
menghindari ‗tabrakan‘ para kiai sepuh. Dalam istilah Ulil menirukan Aswab
modernism, modernisme yang diam-diam, tak gegap gempita.29 Ini juga sejalan
29
Ulil Abshar Abdalla, Membakar Rumah Tuhan (Bandung: Rosda Karya, 1999) h. 181
31
al-jadîd al-aslah, mempertahankan yang lama yang masih baik dan mengambil
pesantren tersebut, baik itu yang lokal maupun nasional, seperti yang terbaru
adalah kedatangan Jussuf Kalla dan Wiranto yang meminta dukungan dan doa
demi kemaslahatan masyarakat bagaikan pendahulu dan para kyainya seperti K.H.
Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), yang tercatat pernah mendirikan Pusat Latihan
(Puslat) Sepak Bola Tegalrejo untuk mengembangkan olah raga yang telah
digemari masyarakat. Puslat sepak bola dengan pelatih mantan pemain sepak bola
nasional, Siswanto itu diresmikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Magelang, Susilo
di Magelang. Alasan Gus Yusuf memilih mendirikan puslat sepak bola karena
cabang olah raga tersebut bisa memberikan ruang positif bagi generasi muda yang
para kyai ini sangat berbeda dengan gaya pembaruannya Masdar dan Ulil sendiri.
30
Ringkasan Berita Terakhir ―Wiranto Mengaku Dirinya Sebagai Guru yang Baik Bagi
SBY‖, diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari
http://www.hanura.com
31
Ringkasan Berita Terakhir ―Pengasuh Ponpes Tegalrejo Dirikan Puslat Sepakbola‖,
diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari
http://www.tvone.co.id/pengasuh_ponpes_tegalrejo_dirikan_puslat_sepak_bola.htm
32
Kedua orang ini tidak memakai silent modernism, tapi hard and clear modernism,
modernisme yang jelas dan keras. Artinya, pembaruan keduanya sangat jelas
dengan memakai media cetak dan elektronik, atau dengan statemen kontroversial
Pos.33 Banyak para kiai, santri dan umat Islam yang pasca pemuatan gagasan itu
menjadi berang. Mereka menilai Masdar sudah kelewat batas. Ada yang apologi
subyektif sehingga menilai negatif, ada juga yang berusaha menilai obyektif
C. Karya-karyanya
Sedikit jumlahnya dan yang cukup kritis membahasnya. Sebagai salah satu
tokoh yang dianggap senior dalam jajaran Jaringan Islam Liberal, nama Masdar
memang tak sementereng rekan senior lainnya yang duduk di kursi pemerintahan
atau yang banyak menghasilkan buku. Tercatat hanya ada empat buah buku yang
tak banyak, buku-buku tersebut cukup mendobrak kancah iklim tata negara
32
Jamal Ma‘mur Asmani, ―Telaaah Kritis Pemikiran Masdar‖, artikel diakses pada
tanggal 11 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/telaah-kritis-pemikiran-masdar/
33
Masdar Farid Mas‘udi, ―Meninjau Ulang Waktu Haji‖, Jawa Pos, 18 Januari 2009
33
Bukunya Agama dan Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam yang
diterbitkan Januari 1991 merupakan buku paling orisinil dan provokatif di antara
buku-buku yang ditulis orang NU dalam waktu yang lama. Buku lainnya adalah
Reproductive Rights dan terbit pada Januari, 2002. Tiga tahun kemudian, pada
tahun 2005, ia menulis Menggagas Ulang Zakat Sebagai Etika Pajak dan Belanja
formalisasi zakat demi mempererat korelasi antara Indonesia dan Islam. Yang
lingkungan pemerintahan.
Penggagas kajian kitab fikih kontekstual dan pemred jurnal ―Pesantren‖ ini
juga aktif menulis di berbagai media massa nasional dan sering menjadi
dalam bentuk wawancara yang diberi judul: Keadilan Dulu Baru Potong Tangan.
sumbangkan, antara lain: Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan,
tulisan berjudul Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang. Artikel terakhir
34
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia …, h. 145
34
Ibadah Haji dan juga dimuat di Media Indonesia, Islamlib.com, dan Koran Jawa
Pos—yang hendak penulis telaah dimana pendapat tersebut tentu saja menuai
protes dan kecaman berbagai kalangan karena orang menganggapnya janggal dan
aneh.
BAB III
padang pasir di jazirah yang dikenal sebagai Hijaz ini masih dapat disaksikan
pemukim, yang antara keduanya terjadi interaksi yang cukup tinggi. Suku Badui
pengembara menjelajahi daerah gurun pasir yang luas maupun daerah semi-gurun
pasir, dan membentuk jaringan kumpulan antara suku dan keluarga yang
mendiami kota Mekah, Madinah, dan Ta‟if, kota-kota yang berkembang selain
gurun pasir Badui. Kota-kota ini pada kenyataannya adalah tempat kedua jenis
pecan raya terkenal, yang menarik para penyair dari seluruh Arab.1
bahwa haji adalah bentuk penyembahan manusia sejak zaman purba, sebelum
praktek dari berbagai bangsa purba seperti orang-orang Mesir kuno, Yunani kuno,
1
Zakaria Bashier, Mekah Dalam Kemelut Sejarah. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994) cet. 1, h. 3-4
35
36
Jepang kuno, dan sebagainya. Keadaan ini berlangsung terus sampai Allah swt
Mekkah untuk tujuan penyatuan sistem haji manusia, dimana padanya dilakukan
Dari ayat di atas, jelas sekali bahwa Ka‟bah yang telah ditetapkan menjadi
kiblat manusia dibangun oleh Nabi Ibrahim As beserta putranya Nabi Ismail As.
Ketika Ibrahim As memasuki lembah Mekah dengan istrinya, Siti Hajar, bersama
anak mereka, yaitu Ismail As, Mekah masih merupakan tempat yang kosong dan
tidak diketahui dengan jelas. Para sejarawan hanya dapat menegaskan dengan
2
Ishak Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta 1999)
cet. 1, h. 33
37
Ka‟bah adalah para malaikat, 2000 tahun sebelum Adam diciptakan, sebagai
disuruh keluar dari surga dan menetap di bumi. Dengan bantuan para malaikat,
Ka‟bah dapat dibangun, lalu Allah memerintahkan untuk tawâf. Setelah nabi
Adam wafat, Ka‟bah dibangun lagi oleh salah seorang putranya yang bernama
Syîst dengan menggunakan tanah dan batu. Ka‟bah yang dibangun oleh Syîst itu
berjalan terus sampai zaman nabi Nuh, dimana bangunan itu runtuh akibat taufan
nabi Nuh. Setelah itu beritanya tidak terkisahkan lagi hingga muncul kisah
Mekkah. Beberapa nabi lainnya, seperti Nuh, Hud, Saleh, dan Syu‟aib dikabarkan
Haji merupakan ibadah pokok bagi para nabi. Tata cara pelaksanaan haji
antara satu nabi dengan nabi lainnya terdapat perbedaan. Hal itu disebabkan oleh
3
Zakaria Bashier, Mekah Dalam Kemelut Sejarah …, h. 25
4
Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam …, h. 35
5
M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2007) cet. 1, h.
21
38
keberagaman kondisi umat manusia dan lingkungan yang ada disekitar nabi yang
satu dengan yang lainnya. Kondisi dan lingkungan secara alamiah (sesuai dengan
perkembangan zaman melalui penyesuaian syariat suatu agama yang dibawa oleh
seorang nabi. Dengan demikian, syariat agama seorang nabi dapat berbeda dengan
aqidah pada semua agama samâwi adalah sama, yaitu tauhid, percaya kepada
Pada masa nabi Adam, pelaksanaan ibadah haji tentu masih sangat
sederhana, berbeda dengan haji yang dilaksanakan oleh nabi Ibrahim yang
mempunyai manâsik (tatacara dan pelaksanaan ibadah haji) yang terurai, terutama
terkait dengan tempat dan kegiatan, karena diantara manâsik tersebut berkaitan
Ka‟bah sebagai kiblat dan tempat haji mereka. Ibadah haji yang mereka lakukan
sesuai dengan tuntunan nabi Ibrahim dan perintah Allah Swt. Hanya saja, karena
perjalanan masa yang cukup lama, dari masa nabi Ibrahim As ke masa nabi
Muhammad, manusia telah mengubah sistem ibadah haji nabi Ibrahim As yang
berdasar tauhid. Mereka tidak lagi menyembah Allah, mereka mengubah dan
6
Putuhena, Historiografi Haji Indonesia …, h. 22
7
Salah satu contohnya adalah Sa‟i yang menjadi potret perjuangan Siti Hajar ketika
mencari air untuk putranya, nabi Ismail.
39
berbagai jamuan hidangan yang lezat di daerah sekitar Ka‟bah untuk menghibur
Hilanglah kesan spiritual, dan yang tertinggal adalah sebuah pengalihan nilai
spiritual ke material semata, dari ibadah ke perdagangan. Dari sinilah nabi sebagai
untuk kembali kepada Tuhan yang tunggal dan mutlak, yaitu sebuah seruan
monoteisme.9
kembali akidah dan ibadah manusia yang telah menyimpang jauh, termasuk
Ibrahim. Mulai dari saat itu, ibadah haji kembali murni, bersih dari syirik-syirik
8
Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam …, h. 37
9
Christian Snouck Hurgronje, Perayaan Mekkah (Jakarta: INIS, 1989), h. 7-10
10
Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam …,h. 37
40
oper ibadah haji itu, disempurnakan dan dimurnikannya, lalu Allah meresmikan
ke-7 H, dan ini yang mengakibatkan problematika perbedaan teks hadis Rukun
Islam.12 Sedangkan menurut Jumhûr, ibadah haji diwajibkan pada tahun ke-6 H,
yakni ketika turun firman Allah swt yang memerintahkan nabi Muhammad saw
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah …” (QS. Al-
Baqarah/2: 196)
Akan tetapi Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakr Ibn Fahr al-Qurtubî
berpendapat dalam tafsirnya bahwa haji diwajibkan pada tahun ke-3 Hijriyah.13
Sedangkan menurut Ibn Qayyim, haji diwajibkan pada tahun ke-9 atau ke-10 H
karena kaum muslimin pertama kali melaksanakan ibadah haji pada tahun ke-9 H
11
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:
IKAPI, 1992), h.278
12
Imam al-Nawâwî, Sahîh Muslim bi Syarhi Imâm an-Nawâwi (Libanon: Dar al-Fikr), j.
I, h. 223
13
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakr Ibn Fahr al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî (Kairo:
Dâr Syu‟ba, 1372 H) cet. 2, J. III, h. 139
41
yang dipimpin oleh Abû Bakar al-Siddîq,14 setelah turunnya firman Allah swt
)(
dengan ibadah-ibadah lainnya dalam Islam, haji merupakan ibadah yang berupa
perjalanan jauh, khususnya bagi selain bangsa Arab. Ibn Manzûr menyebut hajji
yang berasal dari kata hajja atau al-Hajj yang berarti secara luhgat (bahasa)
adalah “bermaksud”.16 Menurut Mahmud Yunus kata hajja atau hijjatan secara
atau berziarah ke Tanah Suci.18 Dan Hasbi al-Siddieqy menjelaskan haji menurut
bahasa ialah menuju ke suatu tempat berulang kali atau menuju kepada sesuatu
yang dibesarkan.19
(Rumah Suci) untuk melakukan beberapa amal ibadah, dengan syarat-syarat yang
14
Hasbi al-Siddieqy, Pedoman Haji (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) h. 23
15
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1997) cet. 30, h. 247
16
Ibnu Manzûr al-Afriqî al-Misrî, Lisân al-‘Arab (Libanon: Dar Sodir, 1990) j. II
17
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990) h. 97
18
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999) h. 378
19
Al-Siddieqy, Pedoman Haji …, h.16
42
diartikan berbeda-beda:
waktu tertentu. Maksud tertentu ialah tawâf, sa’i, dan wuqûf. Tempat
tertentu ialah Ka‟bah dan Arafah. Waktu tertentu ialah tanggal 10 Dzû
2. Menurut Imam Mâlik haji menurut syara‟ ialah wuqûf di padang Arafah
pada malam ke sepuluh dari bulan Dzû al-Hijjah, tawâf di Ka‟bah 7 kali,
tertentu.22
untuk satu perbuatan tertentu seperti tawâf, dan sa’i, termasuk wuqûf di
Arafah.24
20
Rasjid, Fiqh Islam …, h. 247
21
„Abd al-Rahmân al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat. Penerjemah Moh. Zuhri (Semarang:
as-Syifa, 1994) h. 537
22
al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat …, h. 538
23
al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat …, h. 539
24
al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat …, h. 539
43
untuk melakukan ibadah tawâf, sa’i, wuqûf, dan manâsik-manâsik lain untuk
Syarat Haji
3. Bâligh, sampai umur 15 tahun, atau bâligh dengan tanda-tanda lain. Tidak
4. Kuasa
sebagai berikut;
sendiri ataupun dengan jalan menyewa. Syarat ini bagi orang yang
jauh tempatnya dari Mekah adalah dua marhalah (80.640 km). Orang
yang jarak tempatnya dari Mekah kurang dari itu, sedangkan ia kuat
tidak menjadi syarat baginya. Bekal dan kendaraan itu sudah lebih
25
A. Rahman Sitonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997),
h. 209
44
c) Aman perjalanannya,
dipercayai.
Rukun Haji
Denda
berikut:
tersebut.
Melontar jumrah dan tawâf (mengitari Kabah tujuh kali) serta sa’i
(berjalan dan lari -lari kecil antara bukit Safâ dan Marwah) wajib hukumnya
dalam ibadah haji, jika tidak dikerjakan, harus membayar dam atau denda berupa
ternak kurban.
Adapun ibadah yang hampir sama dengan haji ialah umroh terambil dari
kata i’timâr yang secara etimologi berarti ziarah, demikian kata Sayyid Sâbiq.
Adapun yang dimaksud dengan umroh di sini ialah mengunjungi Ka‟bah untuk
melakukan tawâf di sekelilingnya, sa’i antara Safâ dan Marwah dan kemudian
mencukur rambut.26 Bedanya di sini, selain dalam umroh tidak ada ritual wuqûf di
26
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1417 H/1997
M) h. 102
46
padang Arafah juga umroh boleh dilakukan dalam bulan apapun sepanjang tahun.
Berbeda dengan haji yang waktunya hanya tiga bulan dan ada ibadah wuqûf
sebagai rukunnya.
Hikmah Haji
adalah dengan menyuruh solat berjama‟ah setiap waktu, menyuruh solat Jum‟at
seminggu sekali, dan sesudah itu disuruh pula solat hari raya dua kali setahun.
berdekatan.
Termasuk di antaranya juga adalah ibadah haji. Ibadah ini bisa dikatakan
sebagai sebuah forum permusyawaratan sedunia Islam, karena ibadah ini dihadiri
oleh segala utusan, baik dari barat, timur, selatan, dan utara, dengan tidak
berkumpul pada satu tempat dan satu waktu, yaitu di padang Arafah dan Mina.
Dalam pertemuan yang amat besar itu, dapatlah mereka berkenalan satu sama lain,
dan bertambah teguhlah persatuan dan perasaan saling memiliki antara mereka.
27
Rasjid, Fiqh Islam …, h. 277
28
Muchtar Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996 M/1416 H) cet. 5, h. 22
47
muslimmin.
yang pada waktu itu tidak seorang pun dapat memberikan pertolongan
Adapun hikmah peribadatan haji bila merujuk pada ayat 197 surat al-
Baqarah, maka penulis di sini menambahkannya lebih lanjut yaitu, segala bentuk
mendorong para jama‟ahnya agar setelah selesai berhaji nantinya terwujud insan-
insan mutawakkilûn seperti Ibrahim as, dan mampu mengingat bahwa dalam
tuhannya, baik saat jual beli, makan, mandi, berwudu, tidur, saat susah, senang,
dan sebagainya semua adalah dari Allah. Ia yang menunjukkan dan Ia pulalah
1. Jumlah Jama’ah
Sebagai salah satu rukun Islam yang terakhir, tentu ibadah haji merupakan
suatu ibadah yang menarik hati jutaan muslim agar melaksanakannya dengan
tulus ikhlas. Belum lagi begitu kuatnya image positif haji tersebut, yang seringkali
membuat golongan kaya dan terkenal dengan mudahnya mendaftarkan diri agar
jama‟ah yang berada di Mekah, tak terkecuali juga muslimin dari Indonesia, yang
ibadah haji selama hidup. Tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit yang
(OKI), setiap negara hanya memperoleh kuota sebesar satu per mil atau
Setiap tahun, Mekah dibanjiri dua hingga tiga juta calon jama‟ah haji.
Kota suci umat Islam ini pun dituntut untuk terus berkembang demi
mengakomodir ibadah rukun itu. Tak heran, pada tahun 2009, pemerintah Saudi
pun merencakan sebuah ekspansi dan proyek renovasi dan terbilang cukup
ambisius, dengan anggaran yang setara produk domestik bruto (PDB) sebuah
29
Ringkasan Berita Terakhir “Kewajiban Haji Hanya Sekali”, diakses pada tanggal 05
Mei 2010 dari
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=145212&actmenu=39
30
Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”, diakses pada tanggal
05 Mei 2010 dari
49
para jamaah haji selalu antre ke toilet. Mulai dari sekedar wudlu hingga
membersihkan diri. Namun untuk sekitar 2.000 jamaah hanya tersedia 10 toilet.
Alhasil jamaah musti antre lama. Bisa dibayangkan berapa waktu yang terbuang
untuk antrian selama itu. Sebagian jamaah pun jadi tak sabar. Ada yang menyikat
gigi di luar toilet, sampai ada yang buang air pun di luar toilet. Belum lagi fasilitas
yang tidak memadai, air toilet menetes terus menerus menjadikan lantai basah,
licin, dan tidak bersih.31 Kondisi ini juga semakin menambah tumpukan sampah
Masjid al-Haram di Mekah, diperlukan waktu dua sampai tiga jam untuk
menembus kemacetan lalu lintas di jalan akses yang harus dilewati. Namun, mulai
musim 1431 H (2010) ini, angkutan monorel yang menghubungkan kota suci
kota suci, Mekah dan Madinah, berjarak sekitar 420 kilometer. Proyek bernilai
miliaran Riyal—tahap pertama SR 6,7 miliar atau sekitar Rp. 167,5 triliun—yang
http://kliping.depag.go.id/downloads/355ae1c226c49408c1ace338ddb3c3a5.pdf
31
Ringkasan Berita Terakhir “Jama‟ah Antre karena Toilet Tak Memadai”, diakses pada
tanggal 05 Mei 2010 dari
http://liputan6.com
50
merupakan kerja sama antara Arab Saudi dan China ini dirancang untuk
atas, nantinya bermula dari ekspansi Masjid al-Haram yang akan diperluas hingga
400 ribu meter persegi. Tahap pertama adalah perluasan al-Massa yang
sebenarnya sudah dua kali lipat ukuran aslinya. Tempat ini akan ditambahkan
lantai lagi untuk mempermudah calon jama‟ah haji ketika melakukan ibadah sa’i
antara Safâ dan Marwah. Kapasitasnya saat ini 100 ribu jama‟ah per jam dan
area sipil, layanan publik, serta infrastruktur. Antara lain beberapa perbaikan di
ganda. Demikian pula dengan arus informasi dan teknologi yang terus meluas
selama satu dekade terakhir. Megaproyek ini pun sangat penting untuk
mengakomodasi umat muslim yang akan menunaikan ibadah haji dan umroh.34
direncanakan mengingat semuanya harus berjalan paralel, dalam artian, hal ini
akan memakan dana yang besar dan butuh kerjasama berbagai pihak. Belum lagi
ditambah topografi Mekah yang berada di atas lembah dan pegunungan tinggi
32
Ringkasan Berita Terakhir “Naik Haji Tahun Depan Lebih Nyaman”, diakses pada
tanggal 05 Mei 2010 dari
http://www.antaranews.com/berita/1259608664/naik-haji-tahun-depan-lebih-nyaman
33
Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”.
34
Vina Ramitha, “Politik Internasional: Penuhi Kebutuhan Haji”, diakses pada tanggal 05
Mei 2010 dari
http://inilah .com
51
“Ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima ini takkan bisa dilakukan
dengan jumlah muslim yang semakin banyak dan mereka harus
berdesakkan di jalanan kecil. Bagian terpenting seperti masjid dan gua-gua
suci takkan kami ubah. Tempat-tempat ini historis, akan kami pertahankan
hingga akhir jaman. Perubahan ini hanya permukaan saja. Seperti moda
transportasi, kenyamanan masyarakat yang akan meningkat, serta
lingkungan yang sangat mendukung bagi pelaksanaan ibadah ini.”35
Dari pernyataan ini, semoga esensi ibadah haji dimana umat Islam
melakukan napak tilas perjuangan nabi Ibrahim as. takkan berubah. Ka‟bah atau
rumah Allah akan tetap menjadi pusat ibadah di negara yang mampu mengeruk
keuntungan hingga miliaran dolar tiap tahunnya karena haji dan umroh itu.
banyak pula jama‟ah yang terkena berbagai penyakit saat melakukan ibadah haji,
bahkan tak sedikit di antara mereka yang harus kehilangan nyawa. Kepadatan dan
masyaqqât yang dirasakan oleh pemerintah Saudi ini serupa juga dengan yang
dirasakan Masdar yang melatar belakanginya untuk meninjau waktu haji dalam al-
Qur‟an.
35
Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”.
52
OKI, kuotanya mencapai 200 ribu. Sekitar 20 ribu dari jumlah tersebut mengikuti
keberangkatan dan kepulangan jama‟ah. Biaya formal untuk ONH Biasa dan Plus
masing-masing 2500 dollar AS dan 4000 dollar AS. Ini artinya, secara
keseluruhan, rata-rata setiap jama‟ah haji mengeluarkan biaya kurang lebih 23 juta
rupiah ONH Biasa, dan 35 juta rupiah untuk jama‟ah ONH Plus.
beberapa bagian: pertama, sekitar 20 persen (ONH plus sekitar 30 persen) dari
mereka melakukan ibadah haji bukan untuk pertama kalinya. Padahal ibadah haji
diwajibkan sekali seumur hidup, itupun bagi mereka yang secara ekonomi
mampu. Artinya, biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan ibadah haji relatif
kecil dibandingkan dengan keseluruhan aset harta yang dimiliki. Ini berarti bahwa
total biaya keseluruhan yang dikeluarkan jemaah haji kategori ini sebesar 578
milyar rupiah.37
Kedua, sekitar 30 persen dari jemaah haji ONH biasa adalah muslimin
yang secara ekonomi termasuk kategori menengah. Biasanya, biaya haji yang
mereka keluarkan didapatkan dari hasil menjual aset keluarga yang sebenarnya
36
“Jama‟ah ONH Plus”, Kompas, 31 Januari 2004, h. 1
37
Muhammmad Ja‟far, “‟jalan Lain‟ Berhaji dan Berqurban”, artikel diakses pada tanggal
03 Maret 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/jalan-lain-berhaji-dan-berqurban/
53
keluarga. Namun, karena motivasi dan sekian banyak tendensi (misalnya, prestise
menyediakan berbagai bentuk ritual lainnya, yang selain dapat dijalankan tanpa
biaya (gratis), juga tidak kalah efektifnya untuk menempa iman dan takwa jika
diaplikasikan secara serius dan konsisten. Inilah latar belakang mengapa haji
Ketiga, sekitar 10 persen dari jama‟ah haji kita adalah muslimin yang
gunakan untuk menunaikan ibadah haji didapatkan dari hasil pinjaman atau dari
hasil menjual aset keluarga satu-satunya dan paling berharga. Maka tak jarang
keputusan untuk menunaikan ibadah haji ini memberi pukulan telak pada
perekonomian mereka. Ditinjau dari hukum haji, pelaksanaan haji dalam kondisi
menafkahi keluarga jauh lebih wajib dari ibadah haji. Sehingga jika seorang
muslim yang tidak mampu secara ekonomi memaksakan untuk beribadah haji,
maka itu berarti ia telah meninggalkan sebuah kewajiban demi sesuatu yang tidak
diwajibkan baginya.38
Begitu juga ketika kita melihat masalah tradisi kurban pada Idul Adha.
Jumlah kaum muslimin 85 persen dari total populasi di Indonesia 220 juta jiwa.
Jika 20 persen kaum muslimin secara ekonomi menengah ke atas, dan 5 persen
38
Ja‟far, ““jalan Lain” Berhaji dan Berqurban”.
54
dari jumlah tersebut menjalankan tradisi kurban, maka jumlah hewan yang
dikurbankan setiap tahunnya bisa mencapai sekitar 1.870.000 juta ekor hewan
kurban—termasuk seorang muslim yang berkurban lebih dari satu hewan—. Jika
dan selebihnya 1.496.000 kambing atau domba, sementara harga seekor kambing
atau domba rata-rata 400 ribu rupiah, dan harga sapi 1,5 juta rupiah, maka total
biaya yang dibutuhkan sebesar 1,1594 trilyun rupiah. Sebuah jumlah yang