Anda di halaman 1dari 117

TINJAUAN WAKTU HAJI

(Telaah Interpretasi Masdar Farid Mas’udi terhadap Surat al-Baqarah: 197)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat


Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Abdul Hasan Mughni


NIM: 105034001162

Pembimbing:

Dr. Faizah Aly Syibromalisi, MA

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2010 M
BAB IV

PENAFSIRAN TERHADAP AYAT HAJI

A. Tafsiran QS. al-Baqarah/2: 197

Seperti telah disinggung pada bab pertama, bila diperhatikan lebih lanjut

perbedaan penafsiran Masdar dibanding para mufasir lainnya lebih tertekan pada

waktu pelaksanaan wuqûf Arafah yang menurut Masdar bisa dilakukan pada bulan

Syawwâl dan Dzû al-Qa‟dah. Wuqûf sendiri masih merupakan salah satu ritual

peribadatan dalam haji, sedangkan waktu pelaksanaan haji itu ialah tiga bulan

sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur‟an yang dijadikan dasar oleh Masdar

tersebut yaitu Q.S. al-Baqarah ayat 197 berikut:

 
           
  

  
             
    

 
      
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi1, barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak
boleh rafats2, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa3 dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
(Q.S. al-Baqarah/2: 197)

1
Ialah bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah.
2
Rafats artinya mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh
atau bersetubuh.
3
Maksud bekal takwa di sini ialah bekal yang cukup agar dapat memelihara diri dari
perbuatan hina atau meminta-minta selama perjalanan haji.

55
56

Ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang asbâb al-nuzûl yang

masih berkaitan dengan ayat di atas, disebutkan dalam hadis yang dikeluarkan

oleh „Abd ibn Hamîd, Bukhâri, Abû Dâwûd, Nasâ‟î, Ibn al-Mundzir, Ibn Hibbân,

dan Baihaqî (dalam sunannya), diriwayatkan dari Ibn „Abbâs, ia berkata: “Pernah

ada sekelompok penduduk Yaman yang berhaji sedangkan mereka tak membawa

bekal, dan mereka hanya berkata: “Kami adalah orang-orang yang tawakkal”.

Kemudian mereka dikenai ketiadaan (bekal), sehingga akhirnya mereka meminta-

minta, maka Allah menurunkan ayat: watazawwadû fa inna khair al-zâdi al-

taqwâ.4

Riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ibn Jarîr dan Ibn Abî Hâtim

menyebutkan, diriwayatkan oleh Ibn „Abbâs, ia berkata: “Ada seleompok manusia

yang keluar dari desanya sedang dalam diri mereka tidak ditemukan bekal,

mereka berkata: “Kami berhaji (menziarahi) Allah sedangkan Ia tak memberi kita

makan!. Maka kemudian Allah bersabda: “Berbekallah kalian dengan apa yang

dapat menutupi wajah-wajahmu dari manusia lain.”5 Dan juga beberapa riwayat

selainnya yang sohih dan hampir semisal. Sedangkan Ibn Abî Hâtim sendiri

menambahkan komentarnya bahwa mengenai riwayat di atas yang lebih sohih

adalah yang diriwayatkan oleh Ibn „Uyainah.6

Ayat di atas kurang lebih menerangkan tentang; waktu kebolehannya

berhaji; hal-hal yang tidak boleh dikerjakan saat telah niat berhaji; ke-Mahatahuan

4
Abû al-Fidâ‟ Ismâ‟îl Ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm (Kairo:
Maktabah Aulad al-Syaikh li al-Turats, 1421 H/2000M) cet. 1, j. II, h. 248. Lihat pula: Jalâl al-Dîn
al-Suyûti, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma‟tsûr, Tahqîq: Dr. „Abd Allah bin „Abd al-Muhsin
al-Turki (Kairo: Markaz Hijr li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-„Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, 1424
H/2003 M) cet. 1, j. II, h. 390
5
Al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma‟tsûr …, h. 390
6
Ibn Katsîr, Tafsir al-Qur‟an al-„Azim …, h. 247
57

Allah dengan perbuatan baik kita; dan anjuran berbekal dengan takwa, yang mana

korelasi antara ayat 197 dari surat al-Baqarah tersebut dengan ayat sebelumnya

masih menjelaskan perihal haji.

Pada ayat sebelumnya, setelah Allah Swt menyebutkan ketentuan-

ketentuan ibadah haji buat selain penduduk Mekah sedangkan mengenai waktunya

belum disebutkan pada bulan apakah dalam setahun itu untuk menjalankan ibadah

haji, maka pada ayat 197 surat al-Baqarah ini dijelaskan bukan pada tempatnya

tapi menjelaskan bahwa waktu haji itu adalah pada bulan-bulan tertentu.7

Bulan-bulan tersebut yaitu, Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah.

Dari sini dapat diketahui bahwa melaksanakan haji tidaklah seperti umroh, kapan

saja dilaksanakan boleh. Ayat ini menetapkan batas waktu atau ketentuan waktu

haji, yaitu Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Inilah yang dinamakan

mîqât zamanî (waktu) sebagaimana telah difirmankan Allah Swt:

           
   

   
              

 
     
  
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,8 akan
tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu beruntung.” (QS. al-Baqarah/2: 189).

7
Burhân al-Dîn Abû al-Hasan Ibrâhîm Bin ‟Umar Al-Biqâ‟î, Nazm al-Durar fî Tanâsub
al-Âyât wa al-Suwar (Kairo: Dar al-Kutub al-Islâmi, 1389 H/1969 M) j. III, h. 137-138
8
Pada masa Jahiliyyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki
rumah dari belakang bukan dari depan. Hal ini ditanyakan pula oleh para sahabat kepada
Rasulullah Saw Maka diturunkanlah ayat ini.
58

‫ما‬
‫اَحل ّه ْهأ ُه ٌر َحل عل ٌر‬ (“haji itu beberapa bulan yang ditentukan”). Tiga

bulan tersebut di atas ialah yang disebut dengan mîqât zamâniy (waktu). Tetapi,

para ulama berbeda pendapat tentang bulan Dzû al-Hijjahnya. Dan perbedaan ini,

tentunya akan menarik konsekuensi perbedaan dâm bagi jama‟ah yang di antara

amalan hajinya jatuh setelah hari penyembelihan kurban (al-hadyu) merujuk

firman Allah QS. al-Baqarah/2: 196. Perbedaan-perbedaan tersebut yaitu:9

Pertama, Imam Mâlik berpendapat bahwa bulan haji adalah Syawwâl, Dzû

al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah seluruhnya. Pendapat ini didasarkan pada pendapat

dan riwayat dari „Abdullah bin „Umar, „Abdullah bin Mas‟ûd, „Atâ‟, dan Mujâhid.

Ibn Hazm menguatkan pendapat ini, karena beberapa bulan tidak bisa diartikan

dua setengah bulan.

Kedua, sedangkan jumhur ulama‟ (Abû Hanîfah, Syâfi‟î, dan Ahmad)

berpendapat bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah sampai dengan

tanggal sepuluhnya saja. Pendapat ini berdasarkan riwayat dari „Abdullah bin

„Abbâs, al-Suda, dan al-Nakhâ‟i. Imam al-Syaukâniy—seorang ulama Syi‟ah

Zaidiyyah yang pendapatnya banyak dipegang oleh ulama-ulama Sunni—berkata,

“Terlihat hikmah perbedaan pendapat ini, yaitu bagi orang yang di antara amalan

hajinya jatuh setelah hari penyembelihan kurban, bagi yang berpendapat bahwa

Dzû al-Hijjah seluruhnya dalam bulan Haji, maka ia tidak terkena dam;

sedangkan bagi yang berpendapat bahwa bulan haji itu hanya 10 Dzû al-Hijjah,

maka lebih dari itu harus dam.

9
Muchtar Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996 M/1416 H) cet. 5, h. 27
59

Ketiga, Imam Mâlik dalam satu riwayat berpendapat bahwa Syawwâl, Dzû

al-Qa‟dah, sampai dengan 13 Dzû al-Hijjah, yaitu hari Tasyrîq (menjemur daging

kurban).

Sedang menurut Muchtar Adam, dalam bukunya Tafsir Ayat-ayat Haji:

Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab, untuk menyatukan pendapat ini, usaha

pertama ialah menyelesaikan haji dan hadyu tanggal 10 Dzû al-Hijjah. Tetapi,

kalau ada hal yang tidak memungkinkan karena kendaraan atau sebab lain, maka

diusahakan selesai tanggal 13 Dzû al-Hijjah. Namun, jika tidak dapat diselesaikan

juga karena situasi dan kondisi tidak mengizinkan maka tingkat terakhir adalah

asal dapat menyelesaikan dalam bulan Dzû al-Hijjah, meskipun sampai tanggal

30.10

Pada kalimat ‫ف ِه ّه اَحل َّج‬ ‫َحل َحل َحلَفَحل‬ (“barang siapa yang telah

menetapkan kefarduannya haji bagi dirinya”), yaitu dengan niat, diringi dengan

perbuatan ihram dan talbiyah yang diucapkan dan kedengaran. Talbiyah ini

dijadikan rukun oleh Ibn Habîb dan Abû Hanîfah, serta madzhab Zahiri (literal),

tetapi Imam Syâfi‟i tidak memasukkannya pada rukun, dan berpendapat bahwa

cukup niat pada ihram rukun yang pokok. Dalam talbiyah Rasulullah Saw dan

para jama‟ah pria sampai suaranya parau, sedang wanita asal terdengar oleh

dirinya sendiri.11

10
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 28
11
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 28
60

‫َحل َحلَحل َحل‬ (“jangan rafats”) dalam ayat ini mengandung makna larangan

untuk jima‟ (senggama) karena hal ini dapat merusak haji. Para ulama telah ijmâ‟

(sepakat) bahwa senggama sebelum wuqûf di Arafah merusak haji dan wajib dia

mengqadâ tahun depan, di samping wajib pula al-hadyu (menyembelih hewan).

Ibn „Umar, Tâwus, dan „Atâ serta ulama sahabat dan para tabi‟in

berpendapat bahwa termasuk rafats ialah berkata dengan perkataan yang cabul

atau porno yang mengarah atau membangkitkan nafsu seks. Mereka berpendapat

bahwa membicarakan wanita yang mengarah kepada seks termasuk rafats baik

wanita itu hadir atau pun tidak ada. Termasuk pula rafats, seorang laki-laki

membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan seks, walau dengan istrinya

sendiri. Ibn Mas‟ûd membaca ‫لو‬


‫َحل ُهُه َحل‬ (“jangan berkata-kata yang

cabul/jama‟”).

‫لو‬
‫َحل َحل ُه ُه َحل‬ (“dan jangan berbuat fasik”). Fasik berarti segala bentuk

kemaksiatan. Inilah pendapat Ibn „Abbâs, Hasan Basri, dan Ibn „Umar. Sebagian

ulama berpendapat, fasik ialah berbuat maksiat sewaktu ihram haji seperti

berburu, memotong kuku, mencukur rambut, dan larangan-larangan ihram yang

lain. Ibn Zaid dan Imam Mâlik berkata bahwa fasik ialah menyembelih binatang

untuk persembahan pada berhala, seperti firman Allah:

...       ...


61

“... atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah …”

Imam al-Dahhâk berkata bahwa fisqun itu ialah apa yang disebut Allah:

      


 
     
    

             
    

   
           

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki


merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri12 dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman13 dan barangsiapa yang tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zâlim.”

Ibn „Umar dalam satu riwayat berkata bahwa fusûq adalah mencaci maki

sebagaimana dalam hadis nabi:

‫عل ُه ٌر ِه‬
‫ما ا ِه‬ ‫ِه‬
‫لو َحل ماُه ُه ْه ٌر‬ ‫ُه‬ ‫ُه‬
“Cacian seorang muslim itu adalah fusûq, dan membunuhnya
adalah kafir.”14

12
Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena
orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
13
Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti
panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan
sebagainya.
14
Muhammad Ibn „Îsâ Abû „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi‟ al-Sahih Sunan al-Tirmidzî.
Pentahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, dkk. (Beirût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabî) j. IV, h. 353
62

Pendapat Ibn „Umar yang kedua ini lebih sempit dari pendapat yang

pertama. Oleh sebab itu, maka pendapat pertama yang lebih kuat dan benar karena

mencakup segala pendapat. Rasulullah Saw bersabda:

‫س اَحل‬ ‫ف‬ ‫ا‬


‫َحل‬ ‫ْب‬ ‫ا‬ ُّ ‫ا‬ ُّ ‫ُه‬ ‫ت‬ ‫د‬ ‫ا‬
‫َحل‬ ‫ح َّج َحلَل ي ُه ْه َحلَل يَف ْه ق جع َحل ف ِه‬
‫لم‬
‫َحل‬ ‫ْه‬ ‫ُه‬ ‫ْه‬ ‫َحل‬ ‫َحل‬ ‫ُه‬ ‫َحل‬ ‫َحل‬ ‫َحل ُه ْه َحل َحل َحل َحل‬ ‫َحل‬ ‫َحل َحل‬
‫َحل‬
‫َحلجزءٌر إّه جلَحلنَّجة‬

“Dan barangsiapa yang haji dan tidak rafats, dan tidak pula fusûq, dia
kembali seperti ketika dilahirkan oleh ibunya, dan haji mabrur itu
balasannya hanyalah surga.”15

‫اَحل ّه‬ ‫ِهجد ا‬ (“dan tidak bertengkar selama haji”). Jidâl artinya

berbantah-bantahan, dan dalam kebiasaan umum berlaku, jidâl itu sering terjadi

antara pihak yang dilayani (pengguna jasa) dan yang melayani (penjual jasa) di

perjalanan, karena sempitnya tempat atau waktu dan lain-lain yang menimbulkan

ketidaksukaan pada hati masing-masing pihak.16 Termasuk perbuatan jidâl

(bertengkar) ialah:17

 Mencaci maki sehingga menimbulkan kemarahan (Ibn „Abbâs, Ibn

Mas‟ûd, dan „Atâ‟)

 Memberi gelar dengan gelar yang tidak baik (Qatâdah)

 Berselisih atau bertengkar (Ibn Zaid dan Mâlik bin Anas)

15
Muhammad Bin Ismâ‟îl Abû „Abdillah al-Bukhârî, al-Jâmi‟ al-Sahîh al-Bukhârî.
Pentahqîq Dr. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987) cet. 3, j. II, h. 553
16
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1417 H/1997
M) h. 104
17
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 29
63

 Berselisih pendapat yang mengarah kepada permusuhan pada satu tempat

dan waktu

 Membangga-banggakan keturunan masing-masing

‫م تَحلَف ْه َحلعُهل ِه َحلخ ْهٍْي يَحلَف ْه عَحل ْه هلل‬ (“dan apa yang kamu kerjakan berupa

kebaikan niscaya Allah mengetahuinya”). Allah akan membalas setiap amal

manusia, sehingga mendorongnya untuk beramal saleh setiap tempat dan zaman,

menghindarkan diri dari segala kecabulan, dosa, dan pertengkaran.

‫َحل تَحلَفَحلزَّج ُهد‬ (“siapkanlah perbekalan”). Ibn „Umar, „Ikrîmah, Mujâhid,

Qatâdah, dan Ibn Zaid berkata: “ayat ini turun mengenai serombongan orang Arab

yang pergi haji tanpa persiapan bekal.”

Adapun pelaksanaan haji di Indonesia dengan Ongkos Naik Haji (ONH)

sudah merupakan bekal yang cukup, karena 1750 real dikembalikan kepada

jama‟ah haji untuk living cost sudah cukup, bahkan ada lebihnya. Namun

demikian, untuk sekadar oleh-oleh masih diperlukan tambahan biaya, lebih-lebih

jika kita bermaksud tanazzul (memisahkan) diri di Mina, tidak mabît di Haratul

Lisan, maka dibutuhkan biaya pemondokan dan konsumsi di Mina sesuai dengan

kemampuan.

Ada ulama yang berpendapat bahwa bekal yang paling baik bagi ibadah

haji ialah teman yang saleh. Memilih rombongan dengan pemimpin atau

pembimbing yang saleh-saleh adalah bekal yang utama di samping bekal uang.
64

Ada yang mengartikan persiapan bekal ialah persiapan bekal untuk

kembali haji dengan amal-amal yang saleh. Hakikat bekal ialah untuk makan,

minum, karena hotel dan kendaraan sudah dipersiapkan oleh pemerintah dari

ONH.

‫َّجقلى‬ ‫ِه‬ ‫َحل َّج‬


‫إن َحلخ َحلْي ازد ا َحل‬ (“sebaik-baik bekal ialah takwa”). Perbekalan yang

harus disiapkan ialah biaya hidup. Tetapi di samping itu, bekal yang sangat

penting ialah takut jangan sampai terjatuh kepada yang dilarang oleh Allah.

Karena tanpa persiapan mental ini, betapa pun bekal harta cukup, tetapi kemudian

dalam haji terjatuh kepada yang dilarang oleh Allah maka akan sia-sialah seluruh

biaya, waktu, dan tenaga yang dikerahkan dalam menunaikan ibadah haji.

Persiapan biaya hidup adalah manifestasi dari takwa karena haji tanpa bekal bisa

terjatuh kepada kebinasaan, minta-minta, dan mengemis.

‫تَف ُهَّجق ِه‬


‫لن يم ُه ىل ألَحلاْه ما‬ ‫َحل‬ (“bertakwalah kepada Ku wahai orang-orang yang

mempunyai akal”). Perintah takwa ini dikhususkan kepada orang yang berakal,

walau takwa tertuju untuk umum. Karena, hanya orang-orang yang berakal yang

menggunakan otaknya, yang dapat melaksanakan perintah dan bangkit

menegakkan setiap perintah Allah serta menjabarkannya dalam kehidupan sehari-

hari. Orang yang berakal itu yang mempunyai lubbun (otak) seperti orang Arab

berkata: ‫ب‬
ُّ ‫ت تَحلَفعُه‬
‫“ ا ْه َحل‬otakmu yang kamu gunakan untuk berakal (berpikir).”
65

Adapun munâsabah dengan ayat setelahnya yaitu, apabila manusia telah

memahami ayat di atas—menjauhi beberapa perkara dalam berhaji, perintah

berbekal, dan pemberitahuan bahwa sebaik-baiknya bekal ialah takwa—maka

terbentuklah jiwa-jiwa suci. Hal-hal tersebut karena semuanya pada intinya

mendorong agar individu-individu yang melakukan ibadah haji bisa menjadi insan

yang bertakwa dan terhindar dari segala yang menyebabkan siksaan Allah Swt

sehingga dalam akhir ayat di atas disebutkan yâ uli al-albâb.

B. Penafsiran Masdar

1. Latar Belakang Dasar Penafsiran Masdar

Sebagaimana penulis telah kemukakan berbagai rincian permasalah haji

terdahulu dalam bab III, terlebih pada sub bab problematika ibadah haji, memang

menunjukkan berbagai polemik hingga menyebabkan kematian pula. Atas dasar

inilah Masdar banyak mengambil inti dari kaidah-kaidah Usûl dan yang tentunya

ia mengakui sendiri untuk berusaha tidak melenceng jauh dari teks-teks hukum

Islam.

Bagi Masdar, kebijakan dengan mengurangi jumlah kuota merupakan

kebijakan yang akan menimbulkan efek tak terduga. Misalnya, akan ada tindakan

suap-menyuap untuk mendapatkan tiket seperti yang sekarang ini terjadi. Dan

pembatasan kuota itu juga tidak mungkin, karena memang tidak dilarang secara

agama. Persoalan lain, mulai dari proses pemberangkatan saja sudah ada

permainan uang supaya mendapatkan shift. Kemudian pejabat hajinya juga


66

mengomersilkan itu. Ini akan terjadi terus kalau tidak diadakan peninjauan

kembali secara radikal menyangkut tata cara pelaksanaan haji, khususnya soal

waktunya tadi.18

Adapun latar belakang penafsiran Masdar, dalam kutipan wawancaranya

dengan Ulil Absor Abdalla, ia membaginya dalam beberapa poin:

Pertama, adalah karena masyaqqât atau kesulitan yang tingkatannya sudah

di luar kebiasaan yang saat ini dialami para hujjaj. Kesulitan itu dapat dilihat

indikasinya hampir setiap kali melakukan berbagai prosesi haji di tanah suci. Pada

saat jumrah, ada saja yang meninggal karena terinjak-injak, kadang-kadang

sampai puluhan, dan itu terus terjadi dari tahun ke tahun. Lebih lanjut, menurut

Masdar: “… Tentu saja, hal tersebut seharusnya menggugah umat Islam dengan

berbagai pertanyaan, misalnya apakah ibadah haji itu sudah menjadi semacam

arena „pembantaian‟? dan itu bertentangan dengan prinsip Islam sendiri, yaitu

prinsip al-dînu yusrun…”19

Berkaitan dengan permasalahan kesulitan diatas, agaknya Masdar

menganggapnya agar dapat diatasi dan agar tidak menyulitkan para jama‟ah.

Manusia sendiri sebenarnya memang hidup dalam masalah. Endang Saifuddin

Anshari membagi dua kategori atasnya, yaitu Masalah Segera (Immediate

Problems) dan Masalah Asasi (Ultimate Problems). Masalah Segera ialah masalah

praktis sehari-hari, masalah-masalah yang kembali kepada keperluan-keperluan

pribadi yang mendesak dan masalah-masalah seperti administrasi negara,

18
Masdar Farid Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” dalam Abd
Moqsith Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis,
(Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005), h. 156
19
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 152
67

produksi, konsumsi, distribusi, dan lain-lain termasuk juga yang berkaitan dengan

hilangnya nyawa. Sedangkan Masalah Asasi ialah masalah seperti bagi manusia

yang memperhatikan hidup dengan serius dan bersifat pribadi, biasanya manusia

yang mengalami masalah ini sering muncul dalam dirinya pertanyaan-pertanyaan

filosofis seperti, “Apakah aku ini?”, atau “Apakah alam semesta itu?” dan

sebagainya mengenai manusia, alam, dan Tuhan.20

Dari sini dapat dikategorikan bahwa hal-hal yang menimbulkan beberapa

masalah dalam ritual haji merupakan Immediate Problems. Meskipun tiada

manusia yang hidup di atas bumi ini yang dapat mengelakkan diri dari

menghadapi masalah-masalah tersebut, namun masalah termaksud harus

dipecahkan dengan berhasil untuk menjadikan manusia ini suatu yang sukses,

dengan menggunakan beragam cara, efisiensi, serta kesadaran praktis.

Bagi Masdar, sebenarnya ada 2 dimensi yang bisa dinapaktilasi dalam

ritual wuqûf; tempatnya yang spasial dan waktu yang temporal. Sebenarnya, yang

pertama dinapaktilasi adalah tempat, karena tidak mungkin merujuk pada waktu

yang sama. Tempat napaktilas itu pun telah mengalami perluasan karena

membludaknya jamaah haji dan mendapat justifikasi teologis dari fatwa ulama

Arab Saudi.

Saat Nabi Ibrahim melontar batu tidak diketahui titik pastinya. Tapi

kemudian didefinisikan sebagai daerah Mina. Proses napak tilas dalam haji ini

idealnya bisa menjangkau dimensi spasial dan temporal, atau deimensi waktu dan

20
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987) cet.
7, h. 35-36
68

tempat. Tapi dua dimensi itu kacau balau dan berantakan karena konsentrasi

jamaah yang sangat padat dalam proses pelaksanaan haji.21

Misalnya, mabît di Mina menurut fikih adalah bermalam di Mina atau bain

al-jabalain. Tapi beberapa tahun terakhir ini telah mengalami perluasan sampai ke

Muzdalifah. Sementara kekacauan di bidang waktu misalnya, terjadi dalam

perjalanan Arafah-Mina. Diperlukan singgah di Muzdalifah untuk mengambil

kerikil, tapi banyak yang gagal karena ketika tiba di Muzdalifah matahari sudah

terbit. Akhirnya, pelacakan napak tilas dari kedua dimensi tersebut lepas. Di

samping itu, kepadatan yang luar biasa menimbulkan korban jiwa, terutama

orang-orang tua, ibu-ibu dan anak anak. Padahal, sebagaimana kita tahu, Tuhan

itu Maha Pengasih pada hambanya.

Dalam Islam, salah satu pertanda kasih sayang Tuhan adalah ritual shalat.

Orang tak mampu berdiri boleh melaksanakannya dengan duduk dan seterusnya.

Jadi sebetulnya ada banyak dispensasi juga dalam ibadah.

Al-Qur‟an sendiri memang menyatakan agar manusia tidak boleh

mempersulit yang terdapat dalam ajaran agama Islam. Allah Swt telah menjadikan

agama Islam sebagai sebuah ajaran yang sangat cocok dengan umat manusia yang

hidup kapan dan di mana saja sampai tiba saat berdirinya hari Kiamat. Dan, tidak

asing lagi bahwa agama yang memiliki karakter seperti ini tentunya adalah ajaran

21
Masdar Farid Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”, artikel
diakses tanggal 01 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/ironis-haji-menjadi-status-sosial-yang-dilembagakan/
69

yang sederhana dan mudah bagi orang yang menjalankannya serta bagi orang

yang mempelajari sumber dan penjabarannya. Firman Allah Swt:

              ...
  

           
  
  

...
     

“…Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu
Ibrahim. Dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim
dari dahulu,22 dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu
menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia…” (QS. al-Hajj/22: 78)

Adapun hikmah dari ringan dan mudahnya agama Islam adalah agar hati-

hati manusia tidak merasa berat menjalankan perintah yang dibebankan oleh

agama, bahkan semua orang sangat mudah menjalankannya. Sehingga, umat

Islam pun bertambah banyak dan mereka tidak mendapatkan kesulitan dalam

menjalankan berbagai syariat-Nya. Dan, manakala agama Islam memiliki karakter

seperti ini, yakni mudah dan sederhana, dapat menjamin kebaikan hidup di dunia

dan akhirat, cocok untuk setiap waktu dan tempat, maka Allah pun menjadikannya

sebagai agama penutup.23

Dari sinilah, Masdar memunculkan gagasannya agar ritual-ritual dalam

ibadah haji itu tidak terlalu memberatkan para jama‟ah bahkan hingga

22
Maksudnya: Dalam kitab-kitab yang telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelum nabi
Muhammad Saw.
23
Syekh „Ali Ahmad al-Jarjawî, Hikmat al-Tasyrî‟ wa Falsafatuhû (Beirut: Dâr al-Fikri,
1997 M/1418 H) cet. 5, h. 299
70

menghilangkan nyawa dan sekaligus pula ajaran-ajaran dalam Islam dapat

dikerjakan dengan mudah pada zaman sekarang ini. Adapun dahulu nabi

melaksanankan haji hanya pada lima hari efektif, berarti karena dulu belum ada

masyaqqah seperti sekarang.

Nabi memang sekali saja berhaji, sebab pada kesempatan sebelumnya

sempat gagal dihadang oleh kafir Quraisy. Bagi Masdar, sejarah ini menimbulkan

satu tafsiran yang mempersempit cakrawala haji itu sendiri. Misalnya, waktu haji

sebenarnya 3 bulan, tapi karena Nabi hanya sekali berhaji pada jam-jam dan

waktu-waktu itu saja, maka disimpulkan bahwa tidak ada keabsahan wuqûf di luar

tanggal 9-13 Dzû al-Hijjah dengan mencontoh apa yang dilakukan Nabi.24

Selanjutnya, bagi Masdar sebenarnya prosesi haji managable dan bisa ada

penggiliran.

Saat ini haji tidak seperti itu. Kondisi di sana sangat penuh sesak, makanya

ada adu kekuatan untuk menyingkirkan orang lain yang bisa mengganggu

kekhusyu‟an ibadah. Ini lebih ironis lagi. Terlebih jika kita cerna melalui

penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Akibatnya, haji

dipahami sekadar ritualisme sebagaimana ibadah-ibadah lain.

Kedua, sebagai latar belakang pemikiran Masdar selanjutnya adalah

kembali pada teks al-Qur‟an. Dalam hal ini, Masdar sampai pada pendapat bahwa

sesungguhnya waktu haji itu tidak sesempit yang dipahami khalayak umum.

Selama ini, haji dinilai banyak umat sebagai sekumpulan prosesi haji, mulai dari

24
Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”.
71

tawâf qudûm sampai tawâf ifâdah yang hanya berlangsung pada 9, 10, 11, dan 12

Dzû al-Hijjah. Atau dilonggarkan sampai tanggal 13 Dzû al-Hijjah selama 5 hari,

padahal dalam al-Qur‟an, terdapat satu ayat yang sangat sarîh, yaitu QS. al-

Baqarah/2: 197 di atas.25

Sebagaimana telah penulis sebutkan pada bab II, karakter pemikiran

Masdar yang bercorakkan ilmu Fikih ini—selain melihat situasi dan kondisi

masyarakat sekarang dan masyarakat pada saat turunnya wahyu—tentu membawa

konsekuensi terhadap penelitian teks, terutama dalam pengambilan dalil-dalilnya

karena bagaimanapun Fikih itu berasal dari kaidah-kaidah Usûl. Dalam hal ini

pun, Masdar mengaku bahwa interpretasinya tersebut kembali kepada teks.

Dalam bahasa Arab, dalil berarti penunjuk bagi segala sesuatu yang

bersifat konkrit maupun abstrak, yang baik maupun yang buruk. Menurut ahli

Usûl, dalil ialah sesuatu yang dipakai sebagai hujjah berdasar perundang-

undangan yang benar atas hukum syara‟ tentang tindakan manusia, baik secara

qat‟iy maupun zanniy.26

Bila dilihat lebih seksama, ilmu Usûl sendiri menurut penulis sebenarnya

merupakan khazanah keilmuan yang dimiliki umat Islam dalam menjelaskan

kaidah yang harus dipergunakan dalam menafsirkan al-Qur‟an atau teks lainnya.

Dalam pada itulah, teks yang pertama kali digunakan Masdar sebagai landasan

berpikirnya yaitu apa yang terdapat pada al-Qur‟an terlebih dahulu sebelum

lainnya yang notabenenya sebagai qat‟iy al-wurûd.

25
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 152. Ayatnya lihat
halaman 55 bab IV.
26
Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh. Penerjemah oleh Masdar Helmy
(Bandung: Gema Risalah Press, 1997) cet. 2, h. 35
72

Lebih lanjut, menurutnya sebenarnya yang aneh adalah pemahaman umat

selama ini, karena mengabaikan teks al-Quran yang begitu sarîh, begitu jelas.

Karena umat lebih tunduk kepada tradisi dan menganggap tradisi itu dogma, maka

berhaji dari tanggal 9-13 Dzû al-Hijjah itu tidak bisa ditinjau lagi. Padahal,

sekarang ini umat Islam dalam keadaan yang semakin luar biasa sulitnya dalam

berhaji. Masdar merasa bahwa ulama harus melakukan refleksi ulang terhadap

pemahaman umat selama ini, karena agama tidak mengajarkan untuk masuk pada

kondisi yang mempersulit diri sendiri. Dan dalam kenyataannya, al-Quran begitu

longgar. Dan ayat al-hajj asyhurun itu tadi dapat mengantisipasi lonjakan jumlah

jamah haji yang sudah jutaan seperti sekarang ini.27

Suatu teks al-Qur‟an sendiri menuntut diamalkan menurut apa yang

tersurat, isyarat, dalalah, dan menurut tuntutan atau kehendak nass. Karena, setiap

pemahaman nass melalui salah satu cara dari keempat metode ini pada dasarnya

merupakan pengertian nass tersebut, dan nass itu merupakan hujjah atas

pengertian itu.28

Bila sekedar memperhatikan ayat tersebut, baik makna yang tersurat

maupun yang lainnya, memang haji itu secara waktunya ialah tiga bulan. Namun

demikian, ritual haji tersebut merentet panjang mulai niat ihrâm hingga tahallul.

Permasalahan inilah yang menurut penulis seharusnya perlu dikaitkan dengan ayat

lain yang masih berkenaan dengannya. Dalam hal inilah kiranya yang merupakan

kekurangan dari interpretasi Masdar dimana ia tidak mengkorelasikannya dengan

QS. al-Hajj/22 ayat 28 berikut,

27
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 155
28
Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, h. 257
73

         


  
    

            


 
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya
mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan29 atas rezki
yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.30 Maka
makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk
dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. al-Hajj/22: 28).

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa salah satu manfa‟at haji ialah

menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah dipermaklumkan, menurut imam

Mâlik yaitu hari nahr. Bahkan madzhab Mâliki sendiri tidak membolehkan

penyembelihan pada malam hari karena dalam ayat tersebut disebutkan ayyâm

bukan layâliya. Akan tetapi, menurut Wahbah al-Zuhailî sebenarnya kata yaum itu

mengandung arti malam dan siang. Adapun selain Mâlikî, memakruhkan

penyembelihan malam hari karena dikawatirkan melakukan kesalahan oleh sebab

gelap.31

Adapun berkaitan dengan kalimat „alâ mâ razaqahum min bahîmah al-

an‟âm, berkata Ibn Katsîr yakni dengan menyebut nama Allah di saat-saat

melakukan penyembelihan hewan kurban. Dipilihnya uslub ini, dengan

menyertakan sembelihan sebagai salah satu mata rantai dari manâsik haji seperti

bayar dam bagi orang yang melakukan haji bagi orang yang melakukan haji

tamattu‟ dan qiran, mencerminkan bahwa dzikir kepada Allah dengan tulus dan

29
Hari yang ditentukan ialah hari raya haji dan hari tasyrîq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan
13 Dzû al-Hijjah.
30
Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang termasuk
jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.
31
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fî al-„Aqîdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj
(Beirut: Dâr al-Fikr al-Ma‟âsir, 1411H/1991 M) j. XVII, h. 200
74

bersih dari percikan syirik, itu merupakan tujuan agung dari pensyari‟atan haji itu

sendiri; sedangkan membagi-bagikan rezeki melalui hewan kurban mencerminkan

rasa syukur mereka kepada Allah.32

Dalam hal menyebut nama Allah atas kurban pada hari nahr inilah kiranya

penulis tidak mendapati gagasan dari penafsiran Masdar atau setidaknya

bagaimanakah solusi mengenainya bagi orang yang melakukan wuqûf tidak pada

hari Arafah.

Agaknya, Masdar berhenti dari membahas ayat lainnya—setelah meneliti

pada Q.S. al-Baqarah: 197 saja—karena ia telah mampu „mensejajarkan‟

pengalaman konkretnya dengan wahyu, yang menurutnya wahyu tanpa konteks

tidaklah bisa berbunyi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa, “… wahyu yang

tertulis adalah „wahyu eksplisit‟, sementara konteks yang meliputi turunnya

wahyu—konteks dimana manusia dengan seluruh pengalamannya bergulat dengan

wahyu tersebut—sebagai „wahyu implisit‟. Dalam penggunaan yang lebih

populer, dikenal dua istilah: ayat-ayat qouliyyah dan ayat-ayat kauniyyah.33

2. Pemahaman Terhadap Hadis

Dalam mendukung pengambilan dasar dalil ayat al-Qur‟an di atas, Masdar

menilai pula hadis-hadis yang sering dipandang sebagai dalil bahwa wuqûf Arafah

harus dilakukan pada hari Arafah sebagai penafsiran yang dianggapnya

32
Suma, Tafsir Ahkam 1 …, h. 134
33
Masdar Farid Mas‟udi, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” dalam
Zuhairi Misrawi, ed., Menggugat Tradisi Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2004) cet. 1, h. 85
75

berlebihan. Selain itu, menurut Masdar, hadis-hadis tersebut juga seringkali

dianggap para ulama sebagai pentakhsîs ayat al-Baqarah/2: di atas.

Hadis-hadis tersebut ada sekitar dua matan, yaitu:

i. ‫اَحل ّه َحلعَحل َحلة‬ (“Haji itu adalah wuqûf Arafah”)

Menurut Masdar, hadis tersebut berarti bahwa haji itu intinya wuqûf di

padang Arafah. Sementara soal waktu, tidak masuk dalam kategori hadis itu. Dalil

ini berbicara mengenai aktivitas, inti dari haji adalah wuqûf Arafah, bukan

berbicara soal tempat. Adapun waktu haji sudah diterangkan dalam ayat al-Qur‟an

tadi. Jadi antara ayat dan hadis itu tidak saling menafikan.34

Secara umum, fungsi hadis sendiri dalam hukum Islam salah satunya

adalah berkedudukan sebagai bayân takhsîs. Di dalam al-Qur‟an terdapat ayat-

ayat yang bersifat umum. Dalam keadaan ayat serupa itu datang hadis

memberikan penjelasan tentang kekhususannya, yakni, di samping keumuman

ayat itu ada yang dikhususkan.

Takhsîs dapat dilakukan antara ayat dengan ayat yang lain. Dalam hal ini

para ulama sepakat membolehkannya dengan alasan bahwa nass-nass al-Qur‟an

semuanya adalah qat‟iy al-wurûd. Sedangkan hadis terhadap ayat, selain hadis

mutawâtir, diperselisihkan ulama.35

Namun demikian, menurut Masdar hadis di atas tidak menkhususkan ayat

al-Qur‟an tadi, walaupun hadis bisa memberi penjelasan kepada ayat al-Qur‟an.

34
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153
35
Abuddin Nata, Al-Qur‟an dan Hadits (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) cet. 3,
h. 179
76

Tapi kalau kata asyhurun (beberapa bulan) diberi penjelasan sebagai ayyâmun

(beberapa hari) tentu tidak masuk akal. Kecuali kalau dijelaskan berapa jumlah

bulan dan atau bulan apa saja, maka itu baru masuk akal.36

ii. ‫ُهخ ُهذ َحلع ّهّن َحل نم ِه َحلككل‬ (“Contohlah tata cara hajimu dariku”)

Adapun hadis kedua yang sering dijadikan takhsîs terhadap ayat al-Qur‟an

surat al-Baqarah/2: 197, yaitu hadis tersebut di atas. Selama ini, memang

kebanyakan nass yang dijadikan referensi oleh para ulama maupun pelaksana haji

adalah hadis Nabi yang berbunyi: khudzû „annî manâsikakum. Hadis ini

menunjukkan bagaimana cara pelaksanaan haji. Di situ tidak termasuk soal

waktu.37

Masdar mengakui bahwa kalau hujjah naqli (alasan tekstual), selain ayat

al-Quran surat al-Baqarah/2: 197 di atas, ia belum punya. Paling tidak, hujjahnya

negatif, yaitu ketika nabi mengatakan “khudzû „annî manâsikakum,” itu tidak

melarang bahwa di luar waktu itu haji menjadi tidak sah.38

Yang dimaksud dengan hujjah negatif di sini ialah pengertian balik

(mafhûm mukhalafah). Apabila ada nass yang menunjukkan suatu hukum pada

suatu masalah yang dibatasi dengan suatu batasan, misalnya jika masalah itu

mempunyai sebuah sifat, atau diberi syarat dengan suatu syarat, atau dibatasi

dengan suatu batasan atau bilangan, maka hukum nass atas masalah yang telah

36
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153
37
Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”.
38
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 156
77

jelas batasannya tersebut disebut mantûq al-nass. Sedangkan hukum atas masalah

yang tidak dapat memenuhi batasan tersebut disebut mafhûm mukhâlafah.39

Atas dasar pengertian balik ini, dalam memahami hadis tersebut, Masdar

merujuk pada tata cara haji saja, prosesi, syarat, dan rukunnya. Dan mengenai soal

waktu, ia tetap berpedoman pada ayat al-Qur‟an di atas. Lebih lanjut, ia

menambahkan bahwa ayat tentang waktu dan hadis tentang tempat tadi tidak

dalam posisi saling menafikan. Jadi harus diamalkan dan dipakai kedua-duanya,

bahkan membatalkan ayat dengan hadis tersebut merupakan masalah yang

serius.40

Namun demikian, penulis menganggap bahwa setiap teks ataupun dalil,

baik yang terdapat dalam al-Qur‟an ataupun hadis tidak semuanya mengandung

pengertian balik, bahkan ada beberapa teks yang penulis anggap akan menyalahi

kehendak teks bila digunakan kaidah tersebut.

3. Penawaran Solusi Waktu

Mengenai waktu haji, Masdar menganalogikan pelaksanaannya

sebagaimana waktu untuk solat. Dalam al-Qur‟an ada perintah mendirikan solat,

mengeluarkan zakat, mengerjakan ibadah haji, berjuang di jalan Allah, qisâs, dan

lain sebagainya. Namun teknik operasional dari kewajiban-kewajiban tersebut

tidak dijumpai dalam al-Qur‟an. Teknik tersebut dijelaskan dalam sunah, karena

di antara kedudukan sunah bagi al-Qur‟an juga adalah sebagai bayân tafsîl.

39
Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, h. 265
40
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 154
78

Yang dimaksud dengan bayân tafsîl di sini adalah bahwa sunah itu

menjelaskan atau memperinci keglobalan al-Qur‟an. Karena al-Qur‟an bersifat

mujmal (global), maka agar ia dapat berlaku sepanjang masa dan dalam keadaan

bagaimanapun diperlukan perincian.41 Perbedaan bayân tafsîl dengan bayân

takhsîs sendiri ialah kalau dalam tafsîl, sunah berfungsi menjelaskan,

mentafsîlkan, dan menta‟yinkan (menyatakan) al-Qur‟an, dan kelihatan tiada

pertentangan. Sedangakan pada bayân takhsîs ini di samping sunah sebagai

bayân, juga antara al-Qur‟an dan sunah secara lahiriah nampak ada

pertentangan.42

Salah satu contoh adalah perintah solat sebagaimana disebutkan pada ayat

‫ِهف ل اصعلة‬ (dan dirikanlah solat), ataupun ayat ‫اصعلة منَحلت ععى‬
‫إن ّه‬
‫ّه‬

‫اؤِه نني ِه مبم َحل ْهل لتم‬ (sesungguhnya solat itu ). Ulama ahli usul menetapkan

bahwa dengan perintah dalam ayat tersebut, solat hukumnya wajib. Sedangkan

mengenai bilangan raka‟aat dan cara mengerjakannya dijelaskan dalam hadis:

‫صعّهي‬
‫صعّهل َحل م َحل يْهَفُه لين َحل‬
‫َحل‬

“Solatlah kamu sebagai mana kamu melihat aku mengerjakansolat.”

Dikatakan bahwa solat itu wajib bagi setiap orang mukallaf. Namun,

kapan dan dalam keadaan bagaimanakah kewajiban itu dilaksnakan. Rasul dalam

41
Nata, Al-Qur‟an dan Hadits …, h. 178
42
Nata, Al-Qur‟an dan Hadits …, h. 179
79

hal ini menjelaskan syarat, rukun, serta praktek pelaksanaannya bagi setiap orang

sesuai dengan keadaannya. Cara solat orang yang mukim, tidak bepergian, dan

tidak dalam keadaan sedang perang berbeda dengan orang yang sedang bepergian

atau perang. Demikian pula orang yang keadaan fisiknya tidak memungkinkan

dapat melaksanakan solat dengan cara berdiri, boleh sambil duduk, atau berbaring.

Semua penjelasan masalah ini terdapat dalam petunjuk nabi Saw.43

Menurut Masdar, waktu haji itu terdiri dari waqtu al-jawâz dan waqtu al-

afdaliyyah, sama dengan solat. Waktu haji adalah waktu yang muwassa‟, waktu

yang longgar. Artinya, persediaan waktu untuk pelaksanaannya lebih panjang dari

kebutuhan kita yang sebenarnya. Misalnya, kebutuhan haji hanya lima hari saja,

tapi waktunya lebih panjang dari itu. Solat juga begitu, waktunya paling lama 10

menit, tapi waktu yang tersedia atau diperbolehkan bisa berjam-jam. Berbeda

dengan puasa yang waktunya mudayyaq, agak ketat dan disediakan seperlunya

saja. Puasa Ramadan misalnya, waktunya hanya bulan itu saja, tak boleh kurang

atau lebih.44

Dalam waktu yang muwassa‟ inilah terdapat dua penggal waktu, waqtu al-

jawâz dan waqtu al-afdaliyyah. Waktu jawâz menunjukkan bahwa sepanjang

waktu itu bisa digunakan untuk ibadah. Dalam konteks haji, waktu yang boleh

digunakan untuk menjalankan ibadah haji (waqt al-jawâznya) adalah sepanjang

tiga bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Tapi ada juga waqtu al-

afdaliyyah. Dalam waktu-waktu inilah nabi pernah menjalankan ibadah haji, yakni

tanggal 9-13 Dzû al-Hijjah. Tapi ini bukan berarti di luar tanggal 9-13 kita tidak

43
Nata, Al-Qur‟an dan Hadits …, h. 178
44
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153
80

dapat menjalankan haji. Ibadah haji sah dijalankan sejak tanggal 1 Syawwâl

sampai 13 Dzû al-Hijjah, atau bahkan ada yang mengatakan sampai akhir Dzû al-

Hijjah. Hanya saja, memang ada waqt al-afdaliyyah, atau prime-time,

sebagaimana yang dilakukan selama ini.45

Jadi, bila mengikuti pemahaman Masdar, waktu wuqûf itu bisa dilakukan

pada tanggal berapa saja, asal dalam tiga bulan yang ditentukan karena memang

itu waktu keabsahan haji, dan berarti keabsahan untuk wuqûf, karena inti dari haji

adalah wuqûf Arafah.

Hal yang tidak aneh memang, karena menurut Masdar, bahwa yang

fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam (Fikih) ialah kemaslahatan,

kemaslahatan kemanusiaan universal, atau—dalam ungkapan yang lebih

operasional—keadilan sosial. Tawaran teoritik (ijtihâdî) apa pun dan bagaimana

pun, baik didukung dengan nass atau tidak, yang bisa menjamin kemaslahatan

kemanusiaan, dalam kaca mata Islam adalah sah, dan Islam terikat untuk

mengambilnya dan melestarikannya.46

Adapun solusi yang ditawarkan Masdar mengenai waktu haji tersebut, ia

memperkirakan kalau dalam satu bulan ada empat minggu, satu prosesi haji

diandaikan berlangsung seminggu atau 10 hari, maka sebetulnya selama satu

bulan bisa berlangsung tiga kali shift, atau tiga angkatan haji. Jadi, pada bulan

Syawwâl 3 shift, Dzû al-Qa‟dah 3 shift, dan bulan Dzû al-Hijjah 3 shift. Jadi

dalam tiga bulan itu akan ada 12 shift. Andai saja dalam 1 shift bisa dilakukan

oleh 1 juta orang, maka dalam setahun akan ada 12 juta orang yang berhaji. Dan

45
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153
46
Mas‟udi, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” ..., h. 61
81

itu akan dilakukan dengan aman, rileks, dan khusuk karena hanya ada 1 juta orang

dalam satu kali angkatan.47

Penawaran-penawaran yang diajukan Masdar di atas memang akan

memudahkan dan membuat khusyû para jama‟ah. Namun demikian, permasalahan

yang muncul kemudian ialah kapankah ditentukan nantinya waktu untuk

berkumpul bersama di padang Arafah bila mengkaitkannya dengan lanjutan hadis

Arafah di atas karena di situ disebutkan malam perkumpulan. Pastinya penentuan

hari tersebut akan menjadikan perselisihan lebih lanjut, apalagi bila

mengkaitkannya pula tentang kapankah diberlakukannya hari nahr bila ritual

ibadah haji dilaksanakan dalam 12 shift.

4. Manfa’at yang Dapat diambil

Dari berbagai pemahaman di atas, penulis memprediksi bila penafsiran

Masdar ini dibenarkan oleh para ulama dan diberlakukannya perubahan ini oleh

pihak Saudi, maka elemen-elemen yang berkecimpung dalam peribadatan haji

semuanya memang merasa untung, baik itu dari jama‟ah yang mulai merasakan

kenyamanan dan tentunya murah untuk biaya ONHnya; panitia pemberangkatan

yang selama ini dipegang pemerintah akan lebih efektif dan meraup untung lebih

banyak meskipun menetapkan tarif ONH lebih murah karena terbantu dengan

jumlah jama‟ah yang lebih banyak dalam tiap tahunnya; berkurangnya jumlah

korban meninggal atau sakit serta semakin tertata rapinya kebersihan dan

kenyamanan jama‟ah; meningkatnya kesempatan berhaji bagi kelas menengah ke

47
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 154
82

bawah; berkurangnya antrian jama‟ah yang harus antri beberapa tahun; dan lain

sebagainya.

Masdar sendiri telah menyatakan bahwa yang paling diuntungkan

sebenarnya—mulai dari perdagangan hingga devisa turis dan transportasi—adalah

pemerintah Saudi, tapi sebetulnya tidak mungkin pemerintah kita menerapkan

kebijakan pelarangan haji kecuali untuk yang pertama kali saja, seperti yang

dihembuskan sekarang-sekarang ini. Sebetulnya kebijakan itu tidak mungkin bisa

ditegakkan, karena secara hukum setiap muslim boleh melakukan haji seberapa

mampunya, meskipun sunah. Dan perlu diingat, kalau tingkat kesejahteraan

masyarakat Islam semakin meningkat, orang akan butuh tourism dan

menjadikannya sebagai pilihan masa depan. Dan bentuk tourism yang terbaik

dilakukan umat Islam itu tourism spiritual.48

Lebih lanjut, menurut Masdar, ajaran-ajaran dan ritual keagamaan seperti

shalat, haji dan lain-lain merupakan sistem simbol untuk mengungkapkan

pemujaan, penghormatan, kepasrahan dan ketundukan kita pada Tuhan. Di

samping itu, ada simbol-simbol yang memberikan dimensi kemanusiaan. Kalau

shalat itu mengungkapkan hubungan manusia dengan Tuhan, puasa antara

manusia dengan diri sendiri (karena di dalamnya ada prinsip kejujuran dan

pengendalian diri), maka haji merefleksikan bagaimana seharusnya manusia

berinteraksi dengan alam semesta.49

48
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 155-156
49
Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”.
83

Itu bermakna: pertama, napak tilas asal-usul manusia secara biologis: yaitu

dari Nabi Adam dan Hawa sebagai nenek moyang kita. Kedua, juga

menapaktilasi asal-usul tradisi spiritualitas kita yang punya keterhubungan dengan

Nabi Ibrahim maupun Nabi Adam sendiri. Sebenarnya, seluruh prosesi haji itu

adalah napak tilas dari perjalanan spiritual Nabi Ibrahim. Itu disimpulkan

misalnya, dari ritual sa‟i antara Shafa dan Marwah yang dirujuk dari kisah Siti

Hajar. Ritual ini merefleksikan usaha keras untuk mencari anugerah Allah dengan

bekerja bukan hanya menengadahkan tangan. Kemudian thawaf, wukuf, sampai

melontar jumrah di Mina, itu merupakan pengalaman spiritual dari Nabi Ibrahim.

Bahkan memakai baju ihram merupakan tanda perlucutan segala atribut sosial dan

kita semua sama di hadapan Allah.

Namun demikian, apakah semisal penafsiran Masdar tersebut telah

diberlakukan, maka hal itu tidak bertentangan—atau setidaknya mampu

mewujudkan—dengan manfaat dan hikmah haji yang termaktub dalam QS. Al-

Hajj/22: 28.

Dari beberapa penafsiran ini, terlihat bahwa Masdar begitu konsekuen

dengan pendapatnya bahwa syari‟at itu bertujuan untuk kemaslahatan, lebih

jelasnya, ia pernah menyatakan: “…syari‟at Islam, sebenarnya, tidak memiliki

basis (tujuan) lain kecuali „kemaslahatan manusia…”50

50
Mas‟udi, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” …, h. 55
84

Dalam permasalahan lain, barangkali konklusi ini pulalah yang mendorong

Masdar agar pajak tidak boleh dicobasatukan dengan zakat, seperti yang sempat

diindikasikan oleh Megawati dan ditanggapi dingin oleh Masdar.51

C. Counter Terhadap Penafsiran Masdar

Gagasan Masdar di atas, yang memang masih relatif baru—meski menurut

Masdar betul-betul sudah berpijak pada al-Qur‟an—masih tetap ada keberatan.

Tanggapan dari ulama-ulama lain sesudahnya pun belum banyak karena mungkin

belum diwacanakan secara intens, itupun baru dari ulama-ulama Indonesia, baik

yang mengkritiknya terang-terangan maupun sekedar menyindir. Diantara

tanggapan-tanggapan yang menentangnya tersebut ada yang keras menjurus kasar,

halus dan menusuk, dan ada pula yang cukup ilmiah dan „menengahi‟. Ada yang

apologi subyektif sehingga menilai negatif, ada juga yang berusaha menilai

obyektif dengan mengedepankan kajian argumentatif.

Sosok setelah Masdar yang penulis nilai cukup representatif dan memang

pendapatnya langsung ditujukan sebagai bantahan dalam menelaah pemikiran

Masdar yaitu Jamal Ma‟mur Asmani. Bila dilihat hasil telaahnya, peneliti CePDeS

(Center for Pesantren and Democracy Studies) dan staf pengajar PP Mahasiswa

al-Aqobah Diwek, Jombang ini menawarkan beberapa kelemahan pemikiran

Masdar dalam poin berikut:

51
Lebih jelasnya lihat Masdar Farid Mas‟udi, “Zakat Bukan Money Laundering”, artikel
diakses tanggal 01 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/zakat-bukan-money-laundering/
85

 Lafadz “Asyhurun Ma’lûmât” Merupakan Lafaz Makhsûs

Yang dimaksud dengan adanya makhsûs di sini ialah tiga bulan (asyhurun)

di atas menunjukkan makna pada hari Arafah, yaitu 9 Dzû al-Hijjah.

Pengkhususan lafadz asyhurun pada ayat tersebut dikarenakan adanya lafadz

setelahnya, yaitu ma‟lûmât yang berdasarkan tradisi waktu Arafah ialah pada

tanggal 9 Dzû al-Hijjah. Dalam pada itulah berdasar pemahaman Jamal, problem

yang disampaikan Masdar tentang pertautan antara al-hajju asyhurun ma‟lûmât

dengan hadis al-hajju „arafah adalah sebuah misunderstanding, salah

pemahaman. Jamal menyatakan:

Yang satu, al-hajju asyhurun ma‟lûmât menjelaskan tentang mîqât


zamâniy haji, sedangkan yang kedua, al-hajju „arafah, menjelaskan rukun
haji. Lebih lengkapnya begini, Asyhurun adalah bentuk plural dari syahr,
sedangkan ma‟lûmât adalah qoyyid lâzim (batasan tetap) dalam ilmu
Balâghah. Artinya, haji itu pada bulan-bulan yang sudah sangat maklum.
Maklum di sini adalah kebiasaan atau tradisi yang sudah berlaku selama
berabad-abad sebelum turunnya ayat tersebut. Dan sebagaimana diketahui
bersama, tradisi orang Arab adalah pada waktu Syawwâl, Dzû al-Hijjah,
dan Dzû al-Qa‟dah. Oleh sebab itulah, kemujmalan lafadz asyhurun disitu
sudah tidak ada.52

Pengertian mujmal sendiri adalah teks global yang butuh penjelasan atau

dalam bahasa Arabnya mâ kâna muhtajjan ilâ bayânin fa mujmalun.53Jika

merujuk pada pengertian tersebut, maka tidak hanya waktu haji, seluruh perilaku

haji, termasuk waktu wuqûf di Arafah juga sudah masuk dalam ayat tersebut.

Konsekuensi selanjutnya ialah dikarenakan tradisi wuqûf selama bertahun-tahun

itu berlangsung pada tanggal 9 Arafah, maka asyhurun ma‟lûmât—meski

52
Jamal Ma‟mur Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”, artikel diakses pada
tanggal 11 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/telaah-kritis-pemikiran-masdar/
53
Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, cet. 2, h. 304
86

memang mempunyai maksud 3 bulan—harus tetap mewajibkan jama‟ah untuk

melaksanakan wuqûf pada waktunya, yaitu tanggal 9 dari bulan ke terakhir yaitu

Dzû al-Hijjah. oleh karena itu, hadis nabi al-hajju „arafah hanya sekedar

menguatkan tradisi yang sudah ada. Jadi, mubayyannya adalah syar‟u man

qablanâ, syariat orang sebelum turunnya ayat.

Imam al-Zamakhsyarî berkomentar mengenai lafadz ma‟lûmât sendiri

adalah ma‟rûfâtun „inda al-nâsi lâ yusykilna „alaihinna, telah dikenal atau

diketahui oleh manusia tanpa kemusykilan suatu apapun.54 Oleh karena itu adanya

syari‟at tidak mungkin datang sebagai penentang terhadap adat, akan tetapi datang

sebagai penetapan atasnya.

Jika demikian adanya, maka permasalahan ini mengharuskan pentingnya

studi sejarah dan kultur lokal arab dalam memahami proses turunnya wahyu

karena syariat inilah yang kemudian diteruskan nabi Muhammad Saw.

Rasulullah Saw telah menerangkan bulan-bulan itu dengan menerangkan

tempat-tempatnya dan nama-namanya. Bulan-bulan itu telah diketahui masyarakat

Arab sejak zaman nabi Ibrahim As. Di dalam bulan-bulan itulah Allah

memfardukan atas Ibrahim As dan keturunannya mengerjakan haji dan Ibrahim

menerangkan cara-cara mengerjakan haji kepada manusia.55

Maka dari itu, jika mengikut tradisi yang telah ada, memang haji itu sudah

dianggap dan terhitung boleh berniat menjalankannya pada awal bulan Syawwâl

dan tetap mengikuti wuqûf pada hari Arafah. Sedangkan bila ada seseorang

54
Abû al-Qâsîm Mahmûd bin ‟Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‟an Haqâ‟iq
Ghawâmid al-Tanzîl wa ‟Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl (Riyâd: Maktabah al-‟Abîkân, 1998
M/1418 H) cet. 1, juz. I, h. 406
55
Hasbi al-Shiddieqy, Pedoman Haji (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) h. 28
87

memulai amalan-amalan haji di luar bulan-bulan itu, maka hajinya tidak sah.56

Adapun orang yang sampai mîqât di luar bulan-bulan haji, seperti bulan Ramadân

dan Sya‟ban, maka dalam hal ini disunahkan berihram umroh dengan

meniatkannya dalam hati dan melafadkan dengan lisannya seraya mengucapkan

talbiyah.57

Syawwâl adalah permulaan bulan-bulan haji. Syawwâl itu adalah pula

bulan Idul Fitri. Kata jamaknya Syawwalât dan Syawâwîl, kadang-kadang

disebutkan al-Syawwâl. Di masa jahiliyyah bulan tersebut dinamakan Baw‟al atau

Waghal.58

Adapun adanya pelaksanaan wuqûf pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah dapat

ditemukan pada berbagai kitab hadis dan tafsir. Dalam hadis-hadis yang

diriwayatkan oleh sahabat Jâbir menceritakan bahwa rasulullah Saw menuju ke

Minâ dalam keadaan ihrâm pada tanggal 8 Dzû al-Hijjah, setelah itu singgah di

Namîrah sebelum akhirnya sampai di padang Arafah pada tanggal kesembilannya,

yang mana pada saat itulah rasul Saw menyampaikan khutbah Arafah.59

Begitu juga dalam beberapa kitab tafsir, banyak di antara pengarangnya

yang mensyaratkan adanya kewajiban wuqûf di Arafah pada hari Arafah (9 Dzû

al-Hijjah) tersebut, seperti M. Quraish Shihab, Muhammad „Ali al-Sabûnî, dan al-

56
Al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‟an Haqâ‟iq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‟Uyûn al-Aqâwîl fî
Wujûh al-Ta‟wîl ..., h. 406
57
„Abd al-„Azîz Ibn „Abdullah Ibn Bâz, al-Tahqîq wa al-„Iddah li Katsîrin min Masâ‟il
al-Hajji wa al-„Umrah wa al-Ziyârah „alâ Dau‟i al-Kitâb wa al-Sunnah. Penerjemah Nurul Ulum,
Ibadah Haji, Umroh, dan Ziarah Berdasarkan al-Qur‟an dan al-Sunnah (Bandung: Gema Risalah
Press, 1995) h. 33
58
Al-Shiddieqy, Pedoman Haji …, h. 30
59
Muhammad Nasîr al-Dîn al-Albânî, Hajjatun Nabî Saw. Kamâ Rawâhâ „Anhu Jâbir
Ra. Penerjemah Uthman Mahrus dan Endy Muhammad Astiwara, Haji dan Umroh seperti
Rasulullah (Jakarta: Gema Insani Press, 1994) h. 95
88

Qurtubî. Quraish Shihab menyebutkan berkaitan perbedaan umroh dengan haji.

Lebih jelasnya, pernyataan beliau sebagai berikut:

“Umroh tidak mempunyai waktu tertentu, boleh dilakukan kapan


saja sepanjang tahun. Bahkan dalam setahun, Umroh dapat dilakukaan
beberapa kali. Sementara itu, haji ada waktunya, yakni bulan Syawwâl,
Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Selain itu aktivitas amaliah umroh dan
haji semuanya sama kecuali salah satu diantaranya ialah wuqûf yang harus
dilakukan oleh orang yang berhaji, yakni berada (wuqûf) di padang Arafah
pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah”.60

Dari statemennya tersebut, Quraish Shihab agaknya mencocokkan

pendapatnya dengan adanya kewajiban wuqûf di padang Arafah pada hari Arafah.

Pendapat ini disebutkan juga oleh al-Sâbûnî—bahkan dinilai—sebagai pendapat

jumhur ulama, selanjutnya ia mengatakan bahwa waktu wuqûf dimulai dari

tergelincirnya matahari, pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah, sampai terbit fajar pada

tanggal 10 Dzû al-Hijjah, dan bahwasanya wuqûf di Arafah sudah dapat

dinyatakan sah, apabila orang hadir di padang Arafah untuk sebagian waktu saja

dari jarak waktu tersebut di atas, baik pada waktu siang harinya, maupun pada

malam harinya, dengan ketentuan bahwa orang yang berwuqûf pada siang hari,

maka wajib baginya meneruskan wuqûfnya sampai terbenam matahari, sedang

orang yang memulai wuqûfnya pada malam hari, tiadalah kewajiban sesuatu

atasnya.61

Lebih lanjut mengenai bunyi hadis yang menerangkan wuqûf rasul Saw

secara lengkap ialah sebagai berikut,

60
M. Quraish Shihab, M. Qurais Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut
Anda Ketahui (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 1430 H/2009 M) cet. 5, h. 239
61
M. „Ali al-Sâbûnî, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟an. Penerjemah Saleh
Mahfoed, (Bandung: al-Ma‟arif, 1994) cet. 10, j. I, h. 453
89

‫فمن َحلع ْه بَحلك ٍْي بْه ِه‬ ‫ما نْهَفَحلأنَحلم ِه ٌرع َحل‬
‫ما َحلح َّجدثَحلنم ُه ْه ُه‬ ‫َحل‬ ‫هفل‬
‫ْهخَحلَفَحلنم ْهع َحل ُهق بْه ُه إبْه َحل‬
‫ِه‬
‫لا هلل (ص) اَحل ُّ َحلعَحل َحلةُه َحل َحل ْه‬ ‫ا َحل َحل‬ ‫ما َحلأ ِه ْهد ُه‬ ‫َحل‬ ‫َحلعطمء َحلع ْه َحلعْهد اَحل ْهْحمن بْه ِه يَحلَف ْه َحل‬
‫ِه ِه‬ ‫ْهد َحل َحل اَحلْهفعةَحل َحلع َحلةَحل َحلَفْه ُه ْهعلِه ا َحل ْه ِه‬
‫ْه اَحلفعَحلة َحلْه ٍع َحلَف َحلق ْهد َحلَّج َحلح ُّ ُه‬ ‫َحل َحل‬
“…dari Abdurrahman bin Ya‟mar, dia berkata, “Saya melihat rasulullah
Saw. didatangi manusia ditanya soal Haji, rasulullah kemudian menjawab:
“Haji adalah wuquf di Arafah, barang siapa yang menemukan pada malam
Arafah sebelum terbitnya fajar dari malam jam‟in, maka sungguh hajinya
telah sempurna.”62

Râis „Âm Syuriyah PBNU, K.H. MA. Sahal Mahfudz dan K.H. A.

Musthofa Biysri (Rais Syuriyah PBNU) dalam terjemahan kitab Mausû‟at al-

Ijmâ‟ (Ensiklopedi Ijmak) menjelaskan sebagai berikut:

“Waktu wuqûf di Arafah adalah antara saat lingsir matahari di hari Arafah
dan menyingsingnya fajar di malam nahr, menurut pendapat segenap
ulama kecuali Ahmad. Beliau mengatakan, waktu wuqûf adalah antara
menyingsingnya fajar di Hari Arafah dan menyingsingnya lagi di hari
nahr. Ulama juga telah sepakat bahwa wuqûf tidak sebelum duhur pada
hari ke sembilan (9 Dzû al-Hijjah dan tidak hari nahr, bagi mereka yang
tahu bahwa itu hari nahr, dan sesudahnya. Berdasar ini, ulama sepakat
bahwa orang yang berhenti di Arafah pada malam nahr, sekira dari
berhentinya itu sempat solat subuh dengan imam, ia dianggap telah wuqûf.
Barang siapa berhenti di siang hari dan bertolak sebelum tenggelamnya
matahari, dan tidak kembali ke Arafah waktu siangnya, itu telah
mencukupi sebagai wuqûfnya, dan hajinya sah menurut semua ulama,
kecuali Mâlik. Beliau berkata; “Yang mu‟tamâd dalam wuqûf di Arafah
adalah malam hari; kalau tidak mengalami sedikitpun dari malam, maka
tertinggalah haji (haji terlepas darinya).” Ini juga salah satu riwayat dari
Imam Ahmad. Juga telah disepakati bahwa orang yang wuqûf di Arafah
sebelum tergelincir matahari dan bertolak dari sana sebelum tergelincir
matahari, wuqûfnya tidak dianggap. Dan bila tidak kembali dan wuqûf
setelah tergelincir atau wuqûf pada sebagian malamnya, sebelum
menyingsingnya fajar, maka haji terlepas darinya.”63

62
Muhammad Ibn „Îsâ Abû „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi‟ al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî.
Pentahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, dkk. (Beirût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabî) j. IV, Juz III,
hlm. 237
63
Sa‟di Abu Habieb, Kesepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Ensiklopedi Ijma (Jakarta:
Pustaka Firdaus Jakarta, 1987) cet. 1, h. 159-160
90

Jamal Ma‟mur Asmani juga mengutip dari beberapa pendapat dalam kitab-

kitab tafsir bahwasanya ritual wuqûf Arafah—termasuk waktunya—itu telah

dinaskan (mansûs) dalam al-Qur‟an,64 yaitu pada ayat setelahnya,

 
   
        ...
    

          
“…Maka apabila kamu Telah bertolak dari „Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy‟arilharam.65 dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu
sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (QS. al-
Baqarah/2: 198)

Kata afadtum sendiri bermakna melimpah,66 sehingga dimaknai “Jika

kamu melimpah, yaitu bertolak ramai-ramai, tidak sendiri-sendiri. Orang Arab

mengatakan ‫م َحل انمءُه إإ ْه َحل َحل َحل‬ (tumpah bejana itu apabila penuh). Jamaah

keluar dari Arafah setelah Maghrib tanggal 10 Dzû al-Hijjah, seperti air yang

tumpah dari bejana beramai-ramai.

Jamaah ahli qira‟ah membaca ٍ ‫ع‬


‫ما‬ dengan tanwîn kasrah. Al-Nuhhâs

‫ع ِه‬
‫ما‬
berkata inilah qira‟ah yang paling baik. Tetapi, Sibawaih membaca ‫َحل‬

dengan kasrah ta tanpa tanwîn (ma‟rifah), sedang al-Akhfasy dan ulama-ulama

64
Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”.
65
Ialah bukit Quzah di Muzdalifah.
66
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 124
91

Kufah membaca ‫ما‬


‫َحلعَحل َحل‬ menyamakan dengan Talhah dan Fâtimah. Dalam hal

ini qira‟ah pertamalah yang paling baik.67

Nama Arafah sendiri, berkaitan dengannya, ada beberapa pendapat

mengapa dinamakan Arafah:68

 Setelah Jibril menuntun Ibrahim haji, mulai dari tawâf kemudian

sa‟i sampai Mina, Muzdalifah, hingga Arafah, maka Jibril

bertanya, ‫ت م يُهك‬
‫ه ع َحل‬ , “Apakah anda telah mengetahui

apa yang telah saya perlihatkan?”, Ibrahim menjawab: ‫ت‬


‫ن ل ع ُه‬

, “Ya, saya sudah mengerti.” Sejak itulah padang itu dinamakan

Arafah. Ini didahului dengan do‟a nabi Ibrahim:

‫ِهنم َحل نم ِه َحلكنم‬

 Dinamakan Arafah karena tempat itu merupakan pusat perkenalan

manusia sedunia. Pada tahun 1411 H/1991M jama‟ah haji yang

resmi terdaftar adalah 2.300.000 orang yang wuqûf di Arafah.

Belum lagi yang tidak terdaftar, masih terdapat lagi puluhan ribu.

 Dinamakan Arafah karena di tempat itulah Adam dan Hawa

bertemu dan saling berkenalan, setelah saling mencari sewaktu

67
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 125
68
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 125
92

Adam diturunkan di India dan Hawa di Jeddah. Peristiwa ini terjadi

pada hari Arafah (9 Dzû al-Hijjah).

 Dinamakan hari itu hari Arafah karena tempatnya di Arafah (al-

Dahhâk).

 Diambil dari kata al-„arfu yang berarti al-tayyîb (bersih). Berbeda

dengan Mina yang ada kotoran dan darah (Jabal Qurban).

 Diambil dari kata al-sabru seperti kata:

‫ِه‬
‫خمأ م‬ ‫ف إإ من صمبِه‬
‫ُهج ٌر عم ٌر‬

Orang yang haji itu sabar terhadap qadâ Allah, khudû‟, dan merendahkan

diri kepada Allah serta sabar dalam berdo‟a, sabar dalam menghadapi bala dan

cobaan-cobaan, sabar dalam menegakkan ibadah.

Ulama sendiri telah ijma‟ bahwa barangsiapa yang wuqûf di Arafah

sebelum tergelincir matahari dan keluar meninggalkannya sebelum tergelincir

maka wuqûfnya tidak dianggap, atau batal. Dan ulama juga telah ijma, bahwa jika

seseorang wuqûf di Arafah sesudah tergelincir matahari (selesai zawâl) pada hari

Arafah dan keluar meninggalkan Arafah sebelum Maghrib maka wuqûfnya

dianggap sah, kecuali imam Mâlik bin Anas, wuqûf harus sampai Maghrib atau

malam. Adapun yang wuqûf di Arafah pada malam hari maka hajinya sah.69

Adapun hujjah jumhur ulama ialah:

Pertama, firman Allah Swt,

69
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 126
93

ٍ ‫إإ َحل ُهل ِه ع‬


...‫ما‬ ‫َحل‬

Ayat ini tidak menjelaskan siang atau malam, yang terpenting telah

menjalankan wuqûf.

Kedua, hadis „Urwah bin Mudarris, “Barang siapa yang solat Duhur dan

Ashar dijama‟ bersama kami, sedang dia sudah datang di Arafah sebelumnya, baik

malam atau siang, maka dia telah menyempurnakan hajinya.”

Adapun alasan Imam Mâlik ialah hadis panjang dari Jâbir yang

mengemukakan bahwa rasulullah wuqûf di Arafah sampai terbenam matahari.

Sedang perbuatan nabi menunjukkan wajib, lebih-lebih dalam masalah haji

rasulullah Saw telah bersabda, “Ambillah dariku manâsik haji kamu.”

Jumhur ulama berbeda pendapat bagi yang selesai dari Arafah sebelum

Maghrib. Hal perbedaan tersebut tentunya menyebabkan konsekuensi yang

berbeda pula pada perbedaan dam.

Imam „Atâ, Sufyân al-Tsaurî, Imam Syâfi‟î, Ahmad, Abû Tsaur dan Ahl

Ra‟yi mengatakan wajib membayar dam. Sementara itu imam Hasan al-Basrî

berpendapat wajib al-hadyu (kurban). Adapun imam Mâlik berkata bahwa wajib

melaksanakan haji pada tahun berikutnya, dan al-hadyu disembelih tahun depan.

Sama seperti yang hilang waktu mengerjakan haji.

Seluruh Arafah adalah tempat wuqûf yang luasnya sekitar 2x4 km. Saat ini

sudah dihijaukan dengan pohon-pohon yang tingginya sekitar lima meter.

Rasulullah Saw bersabda:

. ‫ت ه ُه نم َحلع ة ُه عُّ م َحل لِه ٌر‬


‫َحل َحل ُه‬
94

“Aku wuqûf di sini (sekitar 50 meter timur Jabal Rahmah) sedang


Arafah seluruhnya adalah tempat wuqûf.”70

Sebelum rasulullah sampai ke tempat wuqûf, beliau singgah di Namîrah.

Saat ini sudah berdiri masjid yang luasnya sekitar 1 hektar, terkenal dengan

masjid Namîrah.

Disunahkan mandi dan solat sunah dua raka‟at sebelum berangkat ke

tempat wuqûf. Hanya sayang sekali, saat ini sangat sulit untuk solat di sini, karena

penuh sesak dengan pengunjung dan kendaraan yang kadang-kadang tidak lewat

di sini.

Di tempat tersebut rasulullah berkhutbah, khutbah haji. Kemudian adzan

daniqamah dua kali, yaitu Duhur dan Asar (jama‟ taqdîm), tanpa ada solat sunah

yang menyelanginya. Kemudian memperbanyak dzikir dan do‟a sampai matahari

terbenam.

 Adanya Masyaqqât Hendak Menunjukkan Ketebalan Takwa

Adapun alasan kedua berkaitan dalam membantah pendapat Masdar adalah

penilaian Jamal tentang adanya masyaqqah. Kalau argumen Masdar karena ada

masyaqqah, masyaqqah sendiri ada batas-batasnya (al-hudud).71 Dan kalau ada

masyaqqah—semisal orang yang haji kalau dipaksa wuqûf akan mati

umpamanya—maka solusinya bukan dengan mengubah jadwal haji, melainkan

dengan banyak cara, diantaranya, melaksanakan wuqûf tidak pada waktu fadilah

70
al-Tirmidzî, al-Jâmi‟ al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî …j. III, h. 232
71
Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Asybâh wa al-Nadâ‟ir (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga,
t.th) h. 58
95

(malam tanggal 10 Dzû al-Hijjah), namun mencari waktu yang longgar

melaksanakannya, begitu juga dengan pelaksanaan ramy al-jimâr. Yang dibatasi

dalam haji hanya wuqûf, walaupun begitu syara‟ memberi kelonggaran, karena

dalam wuqûf dimanapun sepanjang masih di tanah Arafah, baik siang maupun

malam, walaupun sebentar adalah sah.72 Jika tetap tidak mampu, sakit keras

misalnya, bisa menyuruh orang lain untuk menggantinya (istinâbah) dengan

syarat-syaratnya.

Secara faktual, yang menjadi masyaqqah itu justru bukan pelaksanaan

wuqûf, namun pada sabîl (jalan). Sehingga solusi dari tumpukan manusia bisa

dilakukan dengan pelebaran sabîl (jalan), pengembangan teritorial atau dengan

menggunakan lift, atau aneka ragam teknologi modern sekarang ini, bukan dengan

menghilangkan otentisitas dan orisinalitas pelaksanaan haji sejak nabi Ibrahim

sampai nabi Muhammad Saw dan sekarang ini.73

Tak dipungkiri, beberapa ritual haji Ibrahim as memang sungguh berat.

Ibrahim as sendiri termasuk salah satu dari rasul ulû al-„azmi yang mempunyai

kesabaran lebih dari yang lainnya. Setelah dalam waktu yang lama ia tak

dikaruniai anak, ia diperintahkan untuk beristri dengan wanita budak. Tak lama

berselang, istri yang keduanya diperintahkan Allah agar ditinggal sendirian di

gersangnya padang pasir, bahkan setelah anak kesayangannya tersebut dewasa, ia

dimimpikan oleh Allah agar menyembelihnya. Tak pelak, pantaslah Ibrahim as

diberi julukan khalîlullah.

72
al-Ghazâli, al-Wâjiz (Beirut: Darul Fikri, tth) j. I , h. 73
73
Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”.
96

 Ritual Haji Merupakan Bentuk Ibadah Vertikal

Alasan ketiga dalam membantah pendapat Masdar ialah bahwa haji itu

merupakan ritual ibadah mahdah, yang ditujukan secara vertikal kepada Allah,

bukan ibadah sosial atau horizontal, seperti mu‟amalah.

Ada sebuah kaidah, al-aslu fi al-„ibadati al-tahrîm illâ mâ dalla al-dalîlu

„alâ ibâhatihî, wa al-aslu fi al-mu‟âmalati al-ibâhati illâ mâ dalla al-dalîlu „ala

tahrîmiha. Asal dari semua ibadah (hubungan vertikal transendental) adalah

haram kecuali kalau ada dalil yang memperbolehkannya, dan asal dari mu‟amalah

(hubungan sosial horizontal) adalah boleh kecuali kalau ada dalil yang

mengharamkannya. Oleh sebab itulah para ulama di berbagai kitab hadis, fikih,

tafsir, tajwid, nahwu, dan lain-lain banyak mengutip berbagai pendapat generasi

sebelumnya pada saat mereka memaknai sebuah teks.

Memang tidak mungkin dalam masalah ibadah kita tidak berlandaskan

teks, murni hasil imaginasi dan kreasi rasio, jadi harus ada landasan teks atau

sumber yang jelas, yang autentik (mu‟tamad „alaihi).

Jamal bahkan menilai Masdar dalam lontaran pemikirannya tidak

mempunyai landasan teks yang autentik, terkesan mengabaikan kitab-kitab kuning

(classical books) yang menjadi rujukan utama NU dan pesantren khususnya.74

Di sini penulis belum hendak menilai tentang siapakah yang keluar sebagai

pemenang, karena proses sejarahlah yang nantinya akan menjawab. Namun, ujian

74
Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”.
97

yang paling menentukan dari setiap pemikiran, bukanlah dari sudut argumen

formal yang semata-mata bersifat teoritik, melainkan ujian dari sudut materialnya

yang bersifat empirik. Karena suatu pemikiran atau ide boleh cumlaude dari sudut

teoritik, tapi jika kandas dalam pembuktian empirik, dalam arti tidak jelas manfaat

dan kemaslahatannya bagi kehidupan manusia, tidaklah banyak maknanya.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah penulis lakukan terhadap ayat-ayat yang masih

menjelaskan tentang ritual haji, penulis mendapati bahwa kesimpulan mengenai

penafsiran salah satu tokoh generasi sekarang, yakni Masdar Farid Mas’udi, yang

didasarkan atas rumusan masalah yang telah penulis buat sebelumnya, yaitu inti

pemikiran Masdar adalah menjadikan haji menjadi tiga kloter, sehingga wuqûf di

Arafah tidak hanya—tidak wajib—dilakukan pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah (hari

Arafah) sebagaimana ketentuan yang berlaku. Hal ini selain sesuai dengan

petunjuk ayat Q.S. al-Baqarah/2: 197, juga untuk menghindari masyaqqah.

Penulis sendiri memang mengakui eksistensi dari adanya dua hal di atas.

Secara kaidah penafsiran, jika dengan mendasarkan hal waktu haji tersebut pada

teori-teori usûl memang dapat diakui kebolehannya. Namun demikian, penulis

menganggap kurang pada penafsiran Masdar ini, terlebih dalam hal penawaran

solusi waktunya yang mana ia tidak memberikan lebih detail berkaitan dengan

waktu untuk menyebut nama Allah (takbîr) pada hari-hari tertentu yang telah

disebutkan dalam QS. al-Hajj/22: 28, demikian juga dengan kapan waktu kita

dapat menyaksikan penyembelihan secara bersama-sama. Hal tersebut penulis

anggap penting karena nantinya dengan adanya perubahan waktu wuqûf akan

menyeret konsekuensi manfaat atau hikmah haji yang telah disebutkan pada ayat

98
99

lain. Dari sini, terlihat bahwa Masdar seakan kurang memperhatikan munâsabah

antara ayat satu dan yang lainnya yang masih termaktub dalam al-Qur’an.

Adapun perbedaan penafsiran Masdar dengan mufassir sebelumnya, yaitu

lebih tertekan pada hal wuqûf saja. Hal tersebut maklum adanya karena memang

pelaksanaan ritual wuqûf zaman dahulu tidak begitu membludak, hingga

menghilangkan nyawa. Bisa jadi, bila salah seorang mufassir periode klasik ada

yang masih hidup pada zaman sekarang—yang mana tingkat peradaban manusia

sudah sebegitu njelimet dan serba instan—maka telah ada yang menafsirkan

seperti Masdar. Namun demikian, alasan bahwa adanya masyaqqât adalah hendak

menunjukkan ketebalan takwa seseorang bisa dipertimbangkan agar waktu wuqûf

tetap pada hari Arafah, karena memang suatu kaum dari masa satu ke masa

lainnya membawa tingkat kesulitannya masing-masing yang berbeda.

B. Saran

Adapun saran yang penulis ajukan:

1. Adanya penelitian lebih lanjut terhadap tafsir Masdar Farid ini, karena

penelitian dan data yang dipaparkan ini masih jauh dari sempurna. Oleh

sebab itu penulis senantiasa mengharap saran dan kritik yang membangun,

agar mendapatkan kesimpulan yang lebih valid.

2. Adanya kajian yang lebih mendalam terhadap mufassir kontemporer yang

merupakan generasi yang dekat dengan dunia kemodernan, karena

generasi mereka adalah generasi yang memiliki cita rasa perubahan sosial,

kemajemukan, serta penemuan-penemuan ilmu pengetahuan baru.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka Tarbiyah,


1985)

Abdalla, Ulil Abshar, Membakar Rumah Tuhan, (Bandung: Rosda Karya, 1999)

Abu Habieb, Sa‟di, Kesepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Ensiklopedi Ijma,
(Jakarta: Pustaka Firdaus Jakarta, 1987) cet. 1, h. 159-160

Adam, Muchtar, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab,
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996 M/1416 H) cet. 5

Al-Albânî, Muhammad Nasîr al-Dîn, Hajjatun Nabi Saw. Kamâ Rawâhâ ‘Anhu Jâbir
Ra. Penerjemah Uthman Mahrus dan Endy Muhammad Astiwara, Haji dan
Umroh seperti Rasulullah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994)

Ali, Atabik dan Muhdor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999)

Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987)
cet. 7

Asmani, Jamal Ma‟mur, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”, artikel diakses pada
tanggal 11 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/telaah-kritis-pemikiran-masdar/

Bashier, Zakaria, Mekah Dalam Kemelut Sejarah. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus,
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994) cet. 1

Al-Biqâ‟î, Burhân al-Dîn Abû al-Hasan Ibrâhîm bin ‟Umar, Nazm al-Durar fî
Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, (Kairo: Dar al-Kutub al-Islâmi, 1389
H/1969 M) j. III

Al-Bukhârî, Muhammad Bin Ismâ‟îl Abû „Abdillah, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Bukhârî.


Pentahqîq Dr. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987) cet. 3,
j. II

Al-Dimasyqî, abû al-Fidâ‟ Ismâ‟îl bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Kairo:
Maktabah Aulâd al-Syaikh li al-Turats, 1421 H/2000M) cet. 1.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren, (2006) j. II

Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren DEPAG RI, “KH. Masdar
Farid Mas‟udi”, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2010 dari
http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content
&task=view&id=210

Farid, Ishak, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta
1999) cet. 1

Al-Farmawî, ‟Abd al-Hayy, Metode Tafsir Maudhu’iy. Penerjemah Suryan A.


Jamrah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. 2

Al-Ghazâlî, al-Wâjiz, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth) j. I

Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007)
cet. 2

Hurgronje, Christian Snouck, Perayaan Mekkah, (Jakarta: INIS, 1989)

Ibn Bâz, „Abd al-„Azîz ibn „Abdullah, al-Tahqîq wa al-‘Iddah li Katsîrin min Masâ’il
al-Hajji wa al-‘Umrah wa al-Ziyârah ‘alâ Dau’i al-Kitâb wa al-Sunnah.
Penerjemah Nurul Ulum, Ibadah Haji, Umroh, dan Ziarah Berdasarkan al-
Qur’an dan al-Sunnah, (Bandung: Gema Risalah Press, 1995)

Ja‟far, Muhammmad, “‟jalan Lain‟ Berhaji dan Berqurban”, artikel diakses pada
tanggal 03 Maret 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/jalan-lain-berhaji-dan-berqurban/

“Jama‟ah ONH Plus”, Kompas, 31 Januari 2004

Al-Jarjawî, Syekh „Ali Ahmad, Hikmat al-Tasyrî’ wa Falsafatuhû, (Beirut: Dâr al-
Fikri, 1997 M/1418 H) cet. 5

Jawa Pos 18 Januari 2009

Al-Jâzirî, ‟Abd al-Rahmân, Fiqh Madzhab Empat. Penerjemah Moh. Zuhri,


(Semarang: al-Syifa, 1994)

Khallâf, „Abd al-Wahhâb, Ilmu Ushulul Fiqh. Penerjemah Masdar Helmy, (Bandung:
Gema Risalah Press, 1997) cet. 2
Madjid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan,
1987)

Mas‟udi, Masdar Farid, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”,
artikel diakses tanggal 01 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/ironis-haji-menjadi-status-sosial-yang-
dilembagakan/

--------, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” dalam Zuhairi


Misrawi, ed., Menggugat Tradisi Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU,
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004) cet. 1

--------, “Meninjau Ulang Waktu Haji”, Jawa Pos, 18 Januari 2009

--------, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” dalam Abd Moqsith Ghazali,
Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis,
Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005

--------, “Zakat Bukan Money Laundering”, artikel diakses tanggal 01 Februari 2010
dari
http://islamlib.com/id/artikel/zakat-bukan-money-laundering/

Al-Misrî, Ibn Manzûr al-Afriqî, Lisân al-‘Arab, (Libanon: Dâr Sâdir, 1990) j. II

Nata, Abuddin, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) cet.
3

--------, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) cet. 7

Al-Nawâwî, Imam, Sahîh Muslim bi Syarh Imâm al-Nawâwî, (Libanon: Dâr al-Fikr)
j. I

PMII KOMFAKSYAHUM, “Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‟udi”, artikel diakses


tanggal 10 Februari 2010 dari
http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/12/19/sekilas-tentang-
masdar-farid-masudi/

Putuhena, M. Shaleh, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta : LkiS, 2007) cet. 1

Al-Qurtubî, Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Bakr ibn Fakhr, Tafsîr al-Qurtubi,
(Kairo: Dâr Syu‟ba, 1372 H) cet. 2, J. III
Rahardjo, M. Dawam, “Islam dan Modenisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi
Nurcholish Madjid”, dalam Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987)

Ramitha, Vina, “Politik Internasional: Penuhi Kebutuhan Haji”, diakses pada tanggal
05 Mei 2010 dari
http://inilah .com

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1997) cet. 30

Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”, diakses pada


tanggal 05 Mei 2010 dari
http://kliping.depag.go.id/downloads/355ae1c226c49408c1ace338ddb3c3a
5.pdf

Ringkasan Berita Terakhir “Jama‟ah Antre karena Toilet Tak Memadai”, diakses
pada tanggal 05 Mei 2010 dari
http://liputan6.com

Ringkasan Berita Terakhir “Kewajiban Haji Hanya Sekali”, diakses pada tanggal 05
Mei 2010 dari
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=145212&actmenu=39

Ringkasan Berita Terakhir “Naik Haji Tahun Depan Lebih Nyaman”, diakses pada
tanggal 05 Mei 2010 dari
http://www.antaranews.com/berita/1259608664/naik-haji-tahun-depan-
lebih-nyaman

Ringkasan Berita Terakhir “Pengasuh Ponpes Tegalrejo Dirikan Puslat Sepakbola”,


diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari
http://www.tvone.co.id/pengasuh_ponpes_tegalrejo_dirikan_puslat_sepak_
bola.htm

Ringkasan Berita Terakhir “Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib”, diakses
pada tanggal 15 Februari 2010 dari
http://vivanews.com/117423-
santri_di_ponpes_tegalrejo_gelar_salat_goib.htm

Ringkasan Berita Terakhir “Selamatkan Ahli Tahlil”, diakses pada tanggal 10


Februari 2010 dari
http://www.gp-ansor.org/berita/kh-masdar-farid-mas‟udi-ketua-pbnu-
selamatkan-ahli-tahlil.html
Ringkasan Berita Terakhir “Wiranto Mengaku Dirinya Sebagai Guru yang Baik Bagi
SBY”, diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari
http://www.hanura.com

Al-Sâbûnî, M. ‟Alî, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an. Penerjemah Saleh


Mahfoed, (Bandung: al-Ma‟arif, 1994) cet. 10

Al-Shiddieqy, Hasbi, Pedoman Haji, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)

Shihab, M. Quraish, M. Qurais Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut
Anda Ketahui, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 1430 H/2009 M) cet. 5

--------, Membumikan Al-Qur’ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan


Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994)

Sitonga, A. Rahman dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1997)

Suma, Muhammad Amin, Tafsir Ahkam 1, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1417
H/1997 M)

Supiana dan M. Karman, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002) cet. 1

Al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn, al-Asybâh wa al-Nadâ’ir, (Semarang: Maktabah Usaha


Keluarga, tth)

--------, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma’tsûr, Tahqîq: Dr. „Abd Allah bin „Abd
al-Muhsin al-Turkiy, (Kairo: Markaz Hijr li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-
„Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, 1424 H/2003 M) cet. 1, j. II

Al-Tabarî, Abû Ja‟far bin Muhammad bin Jarîr, Jâmi’u al-Bayân ‘an Ta’wîli Âyi al-
Qur’ân, di tahqiq oleh: Mahmûd Muhammad Syâkir (Kairo: Maktabah Ibn
Taimiyyah, 1374 H) cet. 2, j. IV

Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
IKAPI, 1992)

Al-Tirmidzî, Muhammad Ibn „Îsâ Abû „Îsâ, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî.
Pentahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, dkk. (Beirût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-
„Arabî)

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990)
Al-Zamakhsyarî, Abû al-Qâsim Mahmûd bin ‟Umar, al-Kasysyâf ’an Haqâ’iq
Ghawâmid al-Tanzîl wa ’Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Riyâd:
Maktabah al-‟Abîkân, 1998 M/1418 H) cet. 1

Al-Zuhailî, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj,


(Beirut: Dâr al-Fikr al-Ma‟âsir, 1411H/1991 M) j. XVII
TINJAUAN WAKTU HAJI
(Telaah Interpretasi Masdar Farid Mas’udi terhadap Surat al-Baqarah: 197)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Abdul Hasan Mughni


NIM: 105034001162

Pembimbing

Dr. Faizah Aly Syibromalisi, MA


NIP: 1955725 200012 2 001

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi dengan judul : ”Tinjauan Waktu Haji: Telaah Interpretasi


Masdar Farid Mas’udi terhadap al-Baqarah/2: 197” yang ditulis oleh Abdul
Hasan Mughni, NIM: 105034001162, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah di
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
pada tanggal 14 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Program Strata 1 (S1)
pada jurusan Tafsir Hadis.
Jakarta, 14 Juni 2010
Sidang Munaqasyah

Ketua, Sekretaris,

Dr. M. Suryadinata, MA Muslim, S.Th.I


NIP: 19600908 198903 1 005

Penguji I, Penguji II,

Dr. Yusuf Rahman, MA Drs. Zaenal Arifin Z, MA


NIP: 19670213 199203 1 002
Pembimbing,

Dr. Faizah Aly Syibromalisi, MA


NIP: 1955725 200012 2 001
Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Tuhan sekalian alam; Tuhan segala hal;

Tiada kekuatan pun kecuali atas kehendak-Nya; Yang telah memberikan taufiq-Nya

bagi penulis untuk merampungkan skripsi ribet ini; Yang mendorong Kajur seakan

ngerjain penulis dengan menolak proposal hingga harus keempat kalinya; Yang

mendorong mata penulis tertuju untuk membeli buku merah berjudul Ijtihad Islam

Liberal; Yang mempertemukan penulis dengan dosen pembimbing setelah sempat

hampir satu bulan tidak bisa bertemu; Yang selalu ‘menguji’ hambanya dengan

‘masalah-masalah’ sakit, kurang dana, jauhnya jarak, dan sebagainya. Oh, sungguh

tiada sekutu satu pun bagi-Mu.

Engkaulah pencipta akal serta segala hal yang membingungkan dan

meyakinkannya. Engkaulah pencipta manusia dengan segala tafsiran dan ide-ide

kreatifnya. Engkaulah pencipta setan dengan segala pembangkangannya. Engkaulah

pencipta dunia dengan segala tempat dan waktu yang melingkupinya.

Solawat serta salam tetap tersanjungkan pada insan paling agung sepanjang

zaman, Muhammad Saw. Karena ia, dunia ini ada. Berkat dia, nikmat Islam dan

wahyu mampu dirasakan manusia setelahnya. Tak terbayangkan bila harus ada dunia

tanpamu karena tiada seorang pun yang akan mampu menyampai dan memberi

syafa’at tetapnya ajaran ini hingga hari akhir kecuali engkau, tanpamu, tanpa

keluargamu, tanpa sahabatmu, semuanya. Terima kasihku bagimu sekalian.

iv
Penulis begitu berterima kasih pula bagi para guru yang telah sudi mendidik

dan mendoakanku. Mbah Muntaha Wonosobo, Abah Ilyas Bogor. Pengajaran kalian

semoga bisa penulis lanjutkan.

Juga pada para dosen dan guru-guru di sekolah formalku, yang selama

bertahun-tahun dengan sabar memberi waktu mereka demi memberikan sejumlah

wacana keislaman, keuniversalan, sosial, dan aqidah. Kepada Bu Faizah yang selalu

berupaya dengan ketulusan hati membimbing dan mewarnai pembentukkan skripsi

ini di sela-sela kesibukannya, Pak Eva yang sempat membuka secuil celah

permasalahan, bagi Pak Yusuf sebagai dosen yang menguji dan memberi tambahan

opini dan bagi para dosen lain, nama kalian tak bisa ku tuliskan satu-satu.

Terima kasih pula bagi kedua orang tua penulis. Meski dulu terkadang rasa

benci menyelimuti penulis, namun semuanya telah aku sesalkan. Kalian mendidikku

dengan pengajaran yang ternyata begitu aku kagumkan. Kerelaan kalianlah kerelaan

Tuhan. Semoga anakmu ini mampu menjadi cita-cita kalian.

Terima kasih dan permintaan maaf penulis sampaikan pula bagi mbahku,

terkhusus Mbah Jidah, yang mana penulis sempat hidup bersamanya, dengan fakta

masa lalu yang kini telah banyak dianggap sebagai dongeng kuno; dengan cerita-

cerita Belandanya; dengan kisah Ratu Hernianya, kisah-kisah perjuangan dulu yang

juga telah membentukku. Maafku untukmu tak bisa melihat senyum merah mu—

senyum ketulusan dari sebuah mulut tua karena nginang—dengan mempersembahkan

v
wisuda pada semester kelima. Tapi di sisi-Nya ku yakin engkau sedang melirikku.

Kau telah kembali mendahuluiku pada Pemilikmu. Yang Ia juga Pemilikku.

Terima kasih buat para teman-teman TH-A 2005 yang militant dan berdaya

juang tinggi; teman-teman SMA yang dengan sabar mendukungku; teman-teman

SMP yang hingga sekarang pun masih banyak setia denganku.

Sahal! Sudah tak membebanikah kau bagi orang-orang di sekitarmu?; Ubay!

Telah bermanfaatkah ilmu Ushuluddinmu?; Aqib… cepatlah ajukan proposal! Usia

mudamu sudah tak tertutupi lagi oleh wajahmu; Maksal… buruan kejar nilaimu!

Tidak kasihankah kau pada wanita setulus Susi yang senantiasa sabar

membimbingmu?; Omen… gaulilah sekelilingmu! Mereka juga butuh kehangatan

dermamu; Ummu… ah! Aku pun sudah tak tahu mesti bilang apa untuk

memotivasimu; Ratih… tak perlu lah! Jutaan perubahan menghadang di dunia luar;

Hendri! Makasih sudi menemaniku wisuda; Ismail! Salutku padamu yang tak peduli

nilai formal demi estetika keindahan; Aini! Semoga langgeng bersama Ipin, ia teman

baik bagiku juga; Apis! Entah kenapa ku teringat Raju Rastogi dalam 3 Idiots bila

melihatmu. Selamat! Kau telah menjadi juara MTQ nasional sekarang; Riski!

Silahkan nikmati raisonalitasmu hingga kau menganggap penting artinya sebuah

tindakan; Agus! Teruskanlah tindakanmu hingga bisa menikmatkannya pada

kenyataan; Izu! Aku sudah tak bisa berkata-kaa lagi bila berhadapan denganmu; Izi!

Maafkan aku bila punya salah ya!; Mbak Fai! Aku salut padamu; Vina! Pesan

vi
namamu tanpa ‘A’ ya! Teman-teman ku semua yang tak sanggup ku sebut satu per

satu.

Semuanya! Kuharap kalian terima rasa kasihku ini, semoga tulisan ini mampu

menjadi wasilah rasa banggaku pada kalian, yang telah membantuku sedemikian,

sebagai aku, Abdul Hasan Mughni. Sungguh, tak ada salah satu dari kalian, maka tak

ada aku seperti sekarang. Sekali lagi, maaf dan terima kasih pada semuanya, berkat

perantara kalian semua, insya Allah, diri ini masih diliputi cinta-Nya. Segala puji bagi

Tuhan Semesta, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang Merajai hari

pembalasan.

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


PENGESAHAN PEMBIMBING .......................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN....................................................................... iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................... 8
C. Kajian Pustaka ...................................................................................... 10
D. Tujuan Penelitian .................................................................................. 12
E. Metodologi Penelitian........................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 14

BAB II BIOGRAFI SERTA KARAKTER PEMIKIRAN MASDAR FARID


MAS’UDI ................................................................................................. 15
A. Riwayat Hidup Masdar Farid Mas’udi ................................................. 15
B. Karakter Pemikiran ............................................................................... 26
1. Karakteristik Fikih ............................................................................ 26
2. Karakteristik Kemodernan ................................................................ 28
C. Karya-karyanya ..................................................................................... 32

BAB III PERIHAL HAJI DAN PROBLEMATIKANYA .............................. 35


A. Praktek Ritual Haji Pra-Islam dan Sesudah Islam ................................ 35
B. Pengertian dan Tata Cara Haji .............................................................. 41
1. Syarat Haji ........................................................................................ 43
2. Rukun Haji........................................................................................ 44
3. Denda ................................................................................................ 44

viii
4. Hikmah Haji ..................................................................................... 46
C. Problematika Ritual Haji Zaman Sekarang .......................................... 48
1. Jumlah Jama’ah................................................................................ 48
2. Registrasi di Negeri Masing-masing ................................................ 51

BAB IV PENAFSIRAN TERHADAP AYAT HAJI ........................................ 55


A. Tafsiran QS. al-Baqarah/2: 197 ............................................................ 55
B. Penafsiran Masdar ................................................................................ 65
1. Latar Belakang Dasar Penafsiran ..................................................... 65
2. Pemahaman Terhadap Hadis............................................................ 74
3. Penawaran Solusi Waktu ................................................................. 77
4. Manfaat yang Dapat Diambil ........................................................... 81
C. Counter Terhadap Penafsiran Masdar .................................................. 84
1. Lafadz Asyhurun Ma’lûmât Merupakan Makhsûs ........................... 85
2. Adanya Masyaqqât Menunjukkan Ketebalan Takwa ...................... 94
3. Ritual Haji Merupakan Bentuk Ibadah Vertikal .............................. 96

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 98


A. Kesimpulan ............................................................................................... 98
B. Saran .......................................................................................................... 99

DAFTAR PUSTAKA

ix
PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Konsonan
‫أ‬ =a ‫ز‬ =z ‫ق‬ =q
‫ب‬ =b ‫س‬ =s ‫ك‬ =k
‫ت‬ =t ‫ش‬ = sy ‫ل‬ =l
‫ث‬ = ts ‫ص‬ =s ‫م‬ =m
‫ج‬ =j ‫ض‬ =d ‫ن‬ =n
‫ح‬ =h ‫ط‬ =t ‫و‬ =w
‫خ‬ = kh ‫ظ‬ =z ‫ه‬ =h
‫د‬ =d ‫ع‬ =' ‫ي‬ =y
‫ذ‬ = dz ‫غ‬ = gh
‫ر‬ =r ‫ف‬ =f

2. Vokal Panjang
Vokal (a) panjang = â, contoh: ‫َق َقل‬ = Qâla
Vokal (i) panjang = î, contoh: ‫ِي َقْل‬ = Qîla
Vokal (u) panjang = û, contoh: ‫ = ُددوْ نَق‬Dûna

3. Diftong
ْ‫و‬ ‫َق‬ = au
ْ‫ي‬ ‫َق‬ = ai

4. Syaddah
Tanda syaddah ditransliterasikan dengan mengulang huruf yang diberi tanda
tasydid. Misalnya madda

5. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, ‫ال‬.
Transliterasinya dibedakan antara huruf syamsiyah dengan qomariyyah.

x
a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai
bunyinya, yaitu huruf "L" diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang
langsung mengikuti kata sandang itu. Misalnya al-Syamsu, al-Nûr.
b. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah ditransliterasikan sesuai
dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai bunyinya. Misalnya al-
Badru, al-Wathan.

6. Hamzah
Bila hamzah itu terletak di awal kata maka dilambangkan sesuai harakat yang
disandangkan pada huruf, karena dalam tulisan Arab berupa alif.

7. Pengecualian Transliterasi
Adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa
Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, kecuali menghadirkannya
dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan ke-konsisten-an dalam penulisan.

8. Foot note
Ziauddin Ahmad, al-Quran: Divine Book of Eternal Value (Karachi: Royal Book
Company, 1989) h. 100
Dalam pengulangan, cukup menyebutkan seperti berikut :
Ziauddin Ahmad, al-Quran: Divine Book of Eternal Value ..., h. 90

9. Singkatan-singkatan
Swt = Subhânahû wa ta’âlâ

Saw = Sallâ Allah ‘alaihi wa sallam

As = ‘Alaihi al-salâm

xi
Ra = Radiya Allah ‘anhu

H = Tahun Hijriah

M = Tahun Masehi

W = Wafat

tt = Tanpa Tempat

tth = Tanpa Tahun

tp = Tanpa Penerbit

ed = editor

10. Daftar Pustaka


Abdillah, Mujiono, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, (Jakarta:
Paramadina, 2001) cet. 1.

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada majalah Tempo awal 1990-an, tertulis pendapat yang cukup aneh dari

seorang tokoh intelektual NU bahwasanya waktu pelaksanaan haji perlu ditinjau

ulang. Menurut Masdar Farid Mas‟udi—begitulah nama lengkap penggagasnya,

selanjutnya penulis singkat dengan Masdar—sekaranglah saatnya diperlukan

solusi yang lebih radikal dari sekedar membatasi kuota dan memperluas tempat-

tempat penampungan jemaah. Hal yang cukup mengagetkan memang, karena

selain pelaksanaannya yang telah berlangsung sekitar 1400 tahunan, haji telah

dianggap muslim sebagai ibadah ritual yang bukan hanya bernilai sosial, tetapi

juga ibadah mahdah kepada Tuhan dan merupakan rukun dalam agama Islam

yang kelima.

Hampir setiap muslim yang berakal di seluruh dunia mungkin tahu, bahwa

yang namanya rukun sendiri merupakan hal yang wajib dipenuhi agar keislaman

seseorang menjadi sempurna. Bisa dikatakan, mana saja muslim yang telah

mampu—baik jiwa raga maupun biaya—sedangkan ia belum juga menjalankan

ibadah haji, maka muslim tersebut akan menanggung dosa selama hajinya tadi tak

terpenuhi. Betapa pentingnya ibadah ini juga, barangkali yang menyebabkan

prosesi pelaksanaannya menjadi sakral serta menuntut muslim agar dilakukan

dengan benar berdasarkan tuntunan nabi Saw, mulai dari syarat, rukun, hal yang

menjadikan batal, hingga tata cara, dan waktu pelaksanaannya.

1
2

Namun demikian, bagaimanakah jadinya bila muncul suatu pendapat

seperti dari Masdar di atas yang mempertanyakan peninjauan ulang mengenai

waktu pelaksanaannya. Tentu pendapat tadi tidak dengan baik diterima

masyarakat bahkan terkesan adanya penolakan yang hingga saat ini pun belum

ada tindak lanjut dari pihak pemerintah, khususnya di Indonesia—dalam hal ini

DEPAG—yang selain instansi tadi ditunjuk sebagai regulator, ia juga

memposisikan diri sebagai kontroler. Terlepas dari hal tersebut, di sini penulis

berkeinginan untuk menelaah penafsiran Masdar sendiri yang bisa terbilang masih

aneh.

Sebagaimana kita ketahui, al-Qur‟an yang dinilai sebagian pakar sebagai

intan ini1 begitu multitafsir, setiap lafadnya memancarkan berbagai makna, hingga

tak ayal perbedaan dan pertentangan pendapat pun terjadi. Penulis sendiri menilai

hal tersebut sebagai cobaan dan hikmah kehidupan yang seakan Tuhan

menghendakinya, dalam al-Qur‟an disebutkan:

‫اختِالَفاً َكثِْي ًرا‬ ِِ ِ ِِ ِ


ْ ‫َولَ ْو كا َن م ْن عْند َغ ِْْي اهلل لََو َج ُدوا فيه‬

“Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S. al-Nisâ‟/4: 82)

Ayat di atas memang tidak secara langsung menyatakan bahwa al-Qur‟an

itu menyebabkan perbedaan. Namun bila diperhatikan lebih lanjut, ayat tersebut

bagaikan kalimat retoris „seandainya saja al-Qur‟an bukan dari Allah, pastilah

pertentangan yang terjadi akan lebih banyak—baik itu dari segi keotentikan dan

keindahan bahasanya; kebenaran data dan sejarah perbuatan umat masa silam;
1
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994) h. 16
3

kecocokan dan ketepatan prediksinya dengan penemuan di masa sekarang;

ataupun yang selainnya—karena al-Qur‟an sendiri saja, yang kenyataannya benar-

benar dari Tuhan masih juga diperdebatkan, paling tidak dalam upaya

interpretasinya juga pastilah ada perbedaan‟. Hal perbedaan tersebut bagi penulis

merupakan eksistensi yang tak bisa ditolak.

Lebih lanjut penulis berpandangan, dalam memahami—mungkin bisa juga

sekaligus menilai kebenaran—al-Qur‟an, maka upaya tersebut tergantung juga

pada orientasi kita. Jika bertujuan untuk penelitian sejarah, maka kita perlu

menilainya dari tekstualis ayat. Sedangkan bila tujuannya adalah demi menarik

„manfaat‟ untuk kehidupan zaman ini, maka diperlukanlah penafsiran secara

kontekstual dengan menarik kesimpulan nilai-nilai saat turunnya wahyu dan

mengkondisikannya dengan keadaan sekarang.

Adapun perbedaan penafsiran Masdar dengan beberapa mufassir dan

ulama-ulama fiqh sebelumnya lebih tertekan pada waktu pelaksanaannya saja,

khususnya saat berkumpul di Arafah. Masdar menyatakan:

“Dalam al-Qur‟an, sesungguhnya kita menemukan satu ayat yang sangat


sarîh, yaitu ayat “al-hajju asyhurun ma‟lûmât” (haji itu waktunya adalah
beberapa bulan yang diketahui). Jadi tegas sekali di dalam ayat itu
diterangkan bahwa waktu haji itu beberapa bulan, bukan beberapa hari.
Bahwa sekarang ini dipersempit menjadi hanya lima hari (waktu efektif),
memang karena waktu praktek Rasulullah yang berhaji hanya sekali, dan
kebetulan pada hari-hari itu tadi (9-13 Dzû al-Hijjah).”2

Jadi menurut Masdar, waktu pelaksanaan ibadah haji itu beberapa bulan,

yaitu bisa di bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, atapun pada bulan Dzû al-Hijjah.

Hal ini tentunya bila dipraktekkan akan memudahkan para jama‟ah haji yang
2
Masdar Farid Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” dalam Abd
Moqsith Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis
(Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005), h. 152
4

memang kenyataannya mengalami berbagai masyaqqât dalam pelaksanaanya pada

saat sekarang ini, mulai dari penampungan-penampungan yang perlu diperluas,

mudahnya terjadi kebakaran karena padatnya perkemahan—selain juga panasnya

negeri Arab—bahkan kasus yang terbaru adalah pembatalan kuota sejumlah

30.000 jama‟ah haji yang tentunya menjadikan penyesalan tersendiri bagi orang

yang mau menjalankan ibadah ke rumah Allah.

Adapun pelaksanaan yang berlaku dari dahulu hingga sekarang yang

mensyaratkan adanya wuqûf di Arafah pada hari Arafah merupakan adat yang

akhirnya menjadi sakral karena kebetulan rasul pernah mempraktekkannya pada

hari tersebut. Dalam menguatkan argumennya berkaitan dengan hadis Arafah,

lebih lanjut Masdar menambahkan:

“Tapi akhirnya dipahami bahwa haji hanya sah pada hari itu-itu saja.
Lebih-lebih ada hadis yang mengatakan bahwa “al-hajju „arafah”, atau
haji itu adalah wuqûf di Arafah. Nah, hadis ini yang kemudian dipahami
bahwa haji itu intinya bukan hanya wuqûf di tempat bernama Arafah, tapi
juga wuqûf di hari Arafah. Inilah yang sebetulnya menjadi problem. Dan
menurut saya, problem ini harus dipecahkan.”3

Sebenarnya secara keseluruhan, penafsiran Masdar mengenai waktu haji

itu beberapa bulan—kalau dalam bahasa Arabnya asyhur—tidak begitu berbeda

dengan para mufassir sebelumnya. Al-Zamakhsyari (538 H) misalnya menyatakan

bahwa yang dimaksudkan dengan lafad asyhurun ma‟lûmât adalah Syawwâl, Dzû

al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah.4 Pendapat senada juga tertulis dalam beberapa

kitab tafsir sesudahnya, seperti Ibn Katsîr (w. 774 H) yang mengutip dari hadis

3
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 152
4
Abû al-Qâsîm Mahmûd bin ‟Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‟an Haqâ‟iq Ghawâmid
al-Tanzîl wa ‟Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl (Riyâd: Maktabah al-‟Abîkân, 1998 M/1418 H)
cet. 1, juz. I, h. 405
5

riwayat Bukhâri5, al-Suyûti (911 H)6, dan sebagainya. Lebih-lebih, dalam kitab-

kitab tafsir tersebut tidak banyak—meskipun ada juga beberapa yang mencoba

mengkorelasikannya dengan menganggap hadis Arafah sebagai takhsîs dari surat

al-Baqarah ayat 197 di atas—menafsirkan dengan mengkorelasikannya terhadap

lafad „arafah yang terdapat dalam hadis. Kebanyakan dari mereka justru banyak

memaparkan bahwa apakah kata asyhur tersebut hanya tiga bulan tadi, ataukah

seluruh bulan. Dari sini jugalah sebabnya Masdar mempertanyakan kenyataan

sekarang yang mana kenapa hari pelaksanaan haji hanya lima hari efektif dan

selanjutnya menganggapnya merupakan adat semata.

Mengenai bunyi hadis yang menyebutkan bahwa waktu haji itu tiga bulan

dan dijadikan dasar dalam menjelaskan ayat di atas adalah;

،ُ‫ َح َّدثَنا َوَر اء‬،‫ َح َّدثَنا أبو نُ َعْيم‬،‫أْحَ ُد بْ ُن حا ِزم بْ ِن أيب غُْرَزة‬
ْ ‫ َح َّدثَنا‬:‫ارر‬
ّ ُ‫َاا الل‬
ِ ِ ِ
‫ َأ ّو ٌراا َوذو‬:‫وماا} َاا‬‫ َع ْن ابْ ِن َعمر َاا {ااَ ُّج أ ْأ ُ ٌرر َم ْع ٌر‬،‫َع ْن َعْلد اهلل بْ ِن ديْنا ٍر‬
7ِ ِ
َّ ‫وع ْ ٌرر ِمن ذر اا‬ ِ
َ ‫ال َل ْع َدة‬
Adapun diantara mufassir yang menyebutkan ketentuan waktu haji seperti

tersebut di atas dan juga mensyaratkan adanya kewajiban wuqûf di Arafah pada

hari Arafah adalah M. Quraish Shihab, Muhammad „Alî al-Sabûni, dan al-

Qurtubi. Quraish Shihab menyebutkan berkaitan perbedaan umroh dengan haji.

Umroh terambil dari akar kata yang sama dengan ma‟mûr. Dari segi bahasa,

5
Abu al-Fida‟ Ismail bin Katsir al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‟an al-„Azim (Kairo:
Maktabah Aulad al-Syaikh li al-Turats, 1421 H/2000M) cet. 1, j. II, h. 239
6
Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma‟tsûr, Tahqîq: Dr. „Abd
Allah bin Abd al-Muhsin al-Turki (Kairo: Markaz Hijr li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-„Arabiyyah
wa al-Islâmiyyah, 1424 H/2003 M) cet. 1, j. II, h. 374
7
Muhammad Bin Ismâ‟îl Abû „Abdillah al-Bukhârî, al-Jâmi‟ al-Sahîh al-Bukhârî.
Pentahqîq Dr. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987) cet. 3, j. II, h. 570
6

umroh berarti „sesuatu yang memakmurkan‟. Menurut istilah hukum Islam,

Umroh adalah berkunjung ke Ka‟bah dengan cara tertentu sesuai dengan

ketentuan yang digariskan oleh agama, yakni memakai pakaian ihram dari tempat

tertentu, bertawâf tujuh kali mengelilingi Ka‟bah, melakukan sa‟i antara bukit

Safâ dan Marwah, serta menggunting atau mencukur rambut (dalam rangka

memakmurkan jiwa). Ini harus dilakukan sesuai dengan urutan itu. Umroh tidak

mempunyai waktu tertentu, boleh dilakukan kapan saja sepanjang tahun. Bahkan

dalam setahun, Umroh dapat dilakukaan beberapa kali. Sementara itu, haji ada

waktunya, yakni bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Selain

aktivitas yang disebut di atas tentang Umroh, masih ada aktivitas lain yang harus

dilakukan oleh orang yang berhaji, yakni berada (wuqûf) di padang Arafah pada

tanggal 9 Dzû al-Hijjah, melontar jumrah, dan lain-lain.8

Dari statemennya tersebut, Quraish Shihab agaknya mencocokkan

pendapatnya dengan adanya kewajiban wuqûf di padang Arafah pada hari Arafah.

Pendapat ini disebutkan juga oleh al-Sâbûnî sebagai pendapat jumhur ulama,

selanjutnya ia mengatakan bahwa waktu wuqûf dimulai dari tergelincirnya

matahari, pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah, sampai terbit fajar pada tanggal 10 Dzû

al-Hijjah, dan bahwasanya wuqûf di Arafah sudah dapat dinyatakan sah, apabila

orang hadir di padang Arafah untuk sebagian waktu saja dari jarak waktu tersebut

di atas, baik pada waktu siang harinya, maupun pada malam harinya, dengan

ketentuan bahwa orang yang berwuqûf pada siang hari, maka wajib baginya

8
M. Quraish Shihab, M. Qurais Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 1430 H/2009 M) cet. 5, h. 239
7

meneruskan wuqûfnya sampai terbenam matahari, sedang orang yang memulai

wuqûfnya pada malam hari, tiadalah kewajiban sesuatu atasnya.9

Bila demikian adanya, berarti meskipun Quraish Shihab, al-Qurtubi, dan

al-Sâbûni membolehkan pelaksanaan haji pada bulan Syawwâl misalnya mulai

dari niat berihrâm, akan membawa konsekuensi tetap harus adanya wuqûf hingga

pada saat bulan Dzû al-Hijjah selama hampir tiga bulan di tanah haram. Hal

wuqûf yang diharuskan adanya pada hari Arafah inilah yang berbeda dengan

pamaknaan Masdar dan dianggapnya sebagai masyaqqah. Karena baginya telah

dinilai sah orang yang sedang berhaji untuk pulang pada bulan Syawwâl, dengan

syarat orang tersebut telah wuqûf di Arafah.

Masdar sendiri banyak menjadikan kaidah-kaidah usûl sebagai dasar

pengambilan pendapatnya. Ia melihat bahwa pelaksanaan haji sekarang ini sudah

mencapai masyaqqât dan selanjutnya mengharuskan adanya kemudahan karena

agama itu dalam hakikat dan tujuannya adalah memudahkan dan memberikan

petunjuk, namun ternyata dalam prakteknya, masyarakat sekarang justru malahan

terlihat terberatkan dalam menjalani ibadah. Namun demikian, Masdar sendiri

tidak langsung menyalahkan mufassir dan ulama-ulama fiqh klasik karena

memang hampir bisa dipastikan bahwa ritual haji pada saat nabi dan ulama-ulama

fiqh masa lalu tidak didapatkan adanya masyaqqât. Bila sudah demikian, apakah

sekarang saatnya.

Dari beberapa latar belakang masalah inilah, ditambah pula untuk

mengetahui pendekatan metode Masdar dalam menafsirkan ayat diatas serta

9
M. „Ali al-Sâbûnî, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟an. Penerjemah Saleh
Mahfoed (Bandung: al-Ma‟arif, 1994), cet. 10, j. I, h. 453
8

mengkorelasikannya dengan ayat-ayat haji lain dan hadis Arafah, penulis

menganggap penting pembahasan ini dengan memberikan judul “TINJAUAN

ULANG WAKTU HAJI (Telaah Interpretasi Masdar Farid Mas’udi

terhadap Surat al-Baqarah: 197)”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

Sebelum menyinggung pembahasan waktu pelaksanaan haji, perlu

diketahui juga bahwa dalam menafsirkan sebuah teks ataupun ayat al-Qur‟an,

pastilah dalam diri penafsirnya terdapat konteks dunianya sendiri—pada proses

pembentukan dasein ini, yang dianut adalah paham existensialisme, ukurannya

adalah experience—yang mana hal tersebut mempengaruhi juga terhadap konklusi

penafsiran, termasuk juga dalam hal ini yaitu kehidupan dari seorang mufassir.

Oleh karena itulah, pada bab-bab selanjutnya nanti, penulis perlu menjelaskan

biografi dan karakter pemikiran Masdar terlebih dahulu, agar dari situ dapat

dengan mudah diketahui pendekatan metode manakah yang ia gunakan dalam

menafsirkan ayat di atas. Begitu juga dengan menyinggung pandangan mufassir-

mufassir lain dan konteks turun ayat beserta hadis yang melingkupinya—diantara

fungsi hadis sendiri merupakan penjelas dan pengkhusus suatu ayat—yang

nantinya dapat diperkirakan kenapa dalam sebuah tafsir terdapat perbedaan-

perbedaan konklusi.

Berkaitan dengan permasalahan haji, dalam al-Qur‟an sebenarnya ada

cukup banyak ayat-ayat yang menjelaskan ritual-ritual haji. Namun tidak semua

ayat tersebut menjelaskan waktu satu per satu ritualnya secara langsung.
9

Penyebutan mengenainya berkisar mengenai tata cara, dam (denda), hal-hal yang

tak diperbolehkan, bacaan-bacaan yang diajarkan, hukum kewajiban haji,

keutamaan rumah Allah, dan lain sebagainya. Penjelasan yang masih bersifat

global tersebut bisa kita dapati pada ayat-ayat, antara lain dalam surat al-

Baqarah/2: 124-129, 158, 196-203, Âlu „Imrân/3: 96-97, al-Taubah/9: 3, dan al-

Hajj/22: 26-34. Adapun mengenai ayat yang menyebutkan waktu prosesinya,

selain yang disebutkan di atas, penulis juga mendapati dua ayat yang dirasa bila

kita mengkorelasikan dengan ayat al-Baqarah/2: 197 tersebut masih berkaitan

dengan proses wuqûf itu sendiri.

Sebagaimana dapat diketahui pada latar belakang masalah, beberapa

mufassir klasik sendiri tidak banyak berbeda pendapatnya dengan Masdar karena

mereka tidak banyak menekankan waktu pelaksanaan satu per satu prosesi haji.

Namun, pendapat-pendapat mereka juga tidak secara langsung mendukung

Masdar, terlebih dalam masalah wuqûf di Arafah. Hal ini bisa jadi disebabkan

karena prosesi haji pada saat itu belum sebegitu membludaknya seperti pada

zaman sekarang.

Adapun permasalahan waktu haji—sebagaimana dapat diketahui pada latar

belakang di atas pula—penulis mengkhususkan pembahasannya yaitu pada ayat

ke-197 dari surat al-Baqarah, karena ayat inilah yang dijadikan dalil dasar oleh

Masdar dalam pengambilan pendapatnya. Selanjutnya, penulis juga merasa perlu

kembali pada ayat tersebut, yang mana memang waktu yang tersirat dari ayat

tersebut seakan terlupakan oleh kebanyakan muslim sekarang ini sekaligus

penulis menambahkan pembahasannya dengan menggunakan kaidah dasar dalam


10

penafsiran, yaitu penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, sehingga nantinya

penulis berusaha untuk mengkorelasikannya dengan ayat-ayat lain yang tentunya

masih ada kaitannya dengan waktu haji, yaitu al-Baqarah/2: 203, al-Hajj/22: 28,

dan al-Baqarah/2: 203. Metode tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an ini juga dinilai

oleh beberapa pakar tafsir sebagai kaidah dasar tafsir yang utama dan mesti

didahulukan dari pada kaidah selainnya,10 seperti kaidah syar‟i, atau kaidah

kebahasaan.

Diantara kaidah dasar tafsir yang lain adalah penafsiran al-Qur‟an dengan

hadis nabi.11 Oleh karena itu, nantinya dalam menjelaskan ayat-ayat dari surat al-

Baqarah/2: 197 dan 203, serta al-Hajj/22: 28 akan dihadirkan beberapa hadis yang

meliputinya dan tentunya juga disertai pemahaman Masdar mengenainya.

Dari identifikasi dan pembatasan di atas, kiranya bisa diketahui beberapa

poin perumusannya, yaitu: Bagaimanakah penafsiran dan metode Masdar dalam

memahami ayat? Dan penafsiran Masdar manakah yang berbeda dengan mufassir

sebelumnya dan praktek ritual haji sekarang ini?

C. Kajian Pustaka

Dalam perbendaharaan kumpulan skripsi TH, penulis hanya mendapatkan

tiga buah pembahasan yang mengangkat tema haji. Pertama, berjudul Perintah

Haji dalam al-Qur‟an, ditulis oleh Kustiana Arisanti yang membahas pengaruh

masyarakat pra-Islam terhadap haji dan objek perintah haji dalam ayat-ayat

tersebut. Kedua, judul skripsi Telaah Hadis Pelaksanaan Ibadah Haji Sebelum

10
Supiana dan M. Karman, Ulum al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), cet. 1, h.
283
11
Supiana dan Karman, Ulum al-Qur‟an …, h. 279
11

dan Sesudah Hijrah membahas jumlah pelaksanaan haji nabi ditulis oleh Deden

Muhammad. Sedangkan yang ketiga, baru-baru ini ditulis oleh Sopiyah yang lulus

tahun 2010 menitik beratkan pada takhrîj hadis dengan judul Pelaksanaan Ibadah

Haji Berulang-ulang.

Melihat dari berbagai judul yang diangkat di atas—yang tidak banyak

mengambil tema untuk mengkritisi haji—semakin terlihatlah apa yang telah

penulis kemukakan pada latar belakang masalah betapa haji itu merupakan suatu

yang urgen bagi kebanyakan rata-rata muslim. Bisa jadi hal tersebut dikarenakan

pembahasan mengenainya telah mendekati sempurna dan tanpa celah lagi untuk

diberi ruang ijtihad, atau bisa juga karena ibadah haji begitu sakral yang memang

notabenenya ibadah tersebut merupakan rukun Islam yang terakhir hingga seakan

tabu bila ada orang yang hendak mengkritisinya. Dari segi inilah barangkali yang

membedakan skripsi ini dengan pembahasan-penbahasan yang lain, meskipun

sekedar telaah pemikiran.

Secara khusus, buku-buku atau bentuk tulisan lain yang mengambil tema

waktu haji—dalam hal ini bermukim di Arafah—boleh di dua bulan sebelum

bulan haji tidak banyak penulis ketemukan. Buku-buku yang banyak penulis

dapati adalah berbagai pendapat yang menyarankan betapa pentingnya haji,

hukum-hukum haji dalam fiqih, dan juga cerita-cerita seputar haji, baik itu yang

baik ataupun yang buruk. Namun demikian, ada juga buku-buku yang beredar

meski sedikit jumlahnya yang cukup kritis membahasnya, baik itu dari segi

konstruksi maupun rekonstruksi yang mana biasanya di dalamnya dilakukan


12

pemaknaan ulang atau juga kritik sosial, seperti Haji Pengabdi Setan karya Ali

Mustofa Ya‟kub.

D. Tujuan Penelitian

Kesengajaan penulis mengambil tema dengan memberi judul di atas dalam

studi ini bertujuan antara lain ke dalam poin-poin berikut:

 Mampu mengetahui bagaimana penafsiran dari ayat yang sama bisa

menjadi berbeda dalam praktek pengaplikasiannya.

 Mendorong para muslim agar lebih bersifat kritis dalam membedakan

mana yang budaya dan mana yang merupakan ajaran.

 Meningkatkan semangat ijtihad.

 Mengetahui makna dan hikmah ibadah haji.

 Meningkatkan pengetahuan tentang cara memecahkan solusi pada problem

kemasyarakatan setelah melewati proses ijtihad

E. Metodologi Penelitian

Dalam menjelaskan penelitian ini, penulis menggunakan model metode

penafsiran maudû‟i sebagai metode pembahasannya, yaitu dengan menghimpun

ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki maksud yang sama dan menyusunnya berdasar

kronologi serta sebab turunya ayat-ayat tersebut.12 Sedangkan untuk coraknya,

bercorakkan linguistic dan dalam beberapa hal banyak menggunakan studi fiqhî

sebagai objek kajiannya.

12
Abd Al-Hayy Al-Farmawî, Metode Tafsir Maudhu‟i. Penerjemah Suryan A. Jamrah
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. 2, h. 36
13

Adapun sehubungan landasan operasional penulisan yang menggunakan

buku-buku terkait erat dengan judul yang penulis ambil, maka bisa dibilang

metode yang penulis gunakan dalam membuat karya tulis ini adalah penelitian

kepustakaan (library research) sebagai metode pengumpulan datanya.

Adapun referensi primer yaitu tulisan dari Masdar dan juga kitab-kitab

tafsir mulai dari masa klasik hingga modern, seperti: Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm

karya Ibn Katsîr, al-Durr al-Mantsûr karya al-Suyûtî, Tafsîr al-Munîr karya

Wahbah al-Zuhailî, Safwat al-Tafâsîr karya al-Sâbûnî, dan selainnya yang

membahas tema haji pada ayat di atas. Adapun pendapat-pendapat Masdar,

banyak tertuang dalam buku Ijtihad Islam Liberal dan juga alamat website

islamlib.com. Pada URL tersebut banyak juga termuat tulisan-tulisannya

berbentuk artikel, makalah, ataupun dialog. Dan untuk mengetahui lebih lanjut

pemikirannya—berhubung Masdar masih hidup—penulis juga berusaha langsung

menemuinya ataupun sekedar mengikuti seminar-seminar yang ia datangi.

Sedangkan referensi sekunder berupa buku-buku pendukung untuk

melacak akar metodologi dari pemikiran tokoh, sekaligus sebagai pendukung

penganalisisan penulis dalam mengambil konklusi. Penelitian kepustakaan ini

akan disajikan dengan pendekatan deskriptif-analitis agar perangkat teoritik yang

tersedia dalam referensi sekunder tadi dapat berkorelasi dengan data-data yang

ditemukan dalam referensi primer.

Adapun metode penulisan skripsi ini merujuk pada buku “Pedoman

Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

2005/2006” yang diterbitkan oleh Biro Administrasi Akademik dan

Kemahasiswaan FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2005.

F. Sistematika Penulisan

Penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri atas beberapa sub-

bab. Untuk memudahkan pembahasannya digunakan sistematika sebagai berikut:

Pada bab pertama, terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang

masalah, identifikasi, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian,

kajian pustaka, metodelogi penelitian serta sistematika penulisan.

Bab kedua, agar dapat mengetahui dengan jelas metode penafsiran

Masdar, penulis membahas tentang biografi dari Masdar Farid Mas‟udi, mulai

dari riwayat hidup, latar belakang sosial dan intelektual, corak dan karakter

pemikiran, serta karya-karyanya.

Pada bab ketiga, akan dijelaskan tentang bagaimana praktek ritual haji pra-

Islam dan sesudah Islam datang. Selanjutnya, ditambah dengan pengertian, syarat,

rukun, hal yang membatalkan, dan hikmah haji itu sendiri serta ditutup dengan

pemaparan berbagai problematika ritualnya pada zaman sekarang.

Dalam bab keempat akan dipaparkan sekilas tafsiran surat al-Baqarah ayat

197 dilanjutkan dengan penafsiran Masdar mulai dari latar belakang hingga

manfa‟atnya dan diimbangi dengan beberapa kounter yang dihadapkan terhadap

Masdar.

Terakhir pada bab kelima, penulis memberikan kesimpulan dan saran

kemudian menutupnya dengan daftar pustaka.


BAB II

BIOGRAFI SERTA KARAKTER PEMIKIRAN MASDAR MAS’UDI

A. Riwayat Hidup Masdar Farid Mas’udi

1. Pertumbuhan

Sebagai salah satu kandidat Ketua Umum PBNU 2010, tentu bisa dibilang

Masdar adalah seorang yang cukup berpengaruh dalam sosial kemasyarakatan,

serta mumpuni dalam berorganisasi. Kita tahu juga, ormas NU itu sendiri

merupakan ormas Islam terbesar di dunia yang pastinya menempatkan Masdar

pada perkenalannya dengan berbagai tokoh, baik nasional maupun internasional.

Masdar sendiri sebenarnya sudah memiliki garis keturunan kyai yang bila

saja Masdar ingin sekedar memanfaatkan ketenaran, tentu ia sudah

mendapatkannya tanpa harus bertemu dan meminta pada beberapa tokoh besar.

Namun demikian, ia lebih mengutamakan kepakaran keilmuan daripada

mengandalkan segi nasab tersebut, bahkan seperti kedekatannya dengan mbah Ali

Maksum adalah merupakan permintaan mbah Ali sendiri yang menasihatinya

untuk tidak langsung ke IAIN, melainkan untuk mengajar dan menjadi asisten

pribadi mbah Ali terutama dalam tugas-tugas beliau sebagai dosen luar biasa IAIN

(sekarang UIN) Sunan Kalijaga.1

Masdar lahir pada tahun 1954 di dusun Jombor, Cipete, Cilongok,

Purwokerto dari pasangan Hj. Hasanah dan Mas‘udi bin Abdurrahman. Ayahnya

seorang kyai masyarakat melalui kegiatan ta‘lim dari kampung ke kampung.

1
PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖, artikel diakses
tanggal 10 Februari 2010 dari
http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/12/19/sekilas-tentang-masdar-farid-masudi/

15
16

Sampai dengan kakeknya, kyai Abdurrahman, Jombor dikenal dengan pesantren

salafnya yang telah dirintis oleh moyangnya, Mbah Abdussomad, yang

makamnya sampai sekarang masih selalu diziarahi oleh masyarakat Islam di

daerah Banyumas.2

Kegeniusan pemikiran Masdar sudah terlihat sejak kecil, terbukti ia

menamatkan Sekolah Dasar hanya 5 tahun.3 Setelah itu, ia dikirim ayahnya ke

pesantren salaf di Tegalrejo, Magelang, di bawah asuhan mbah kyai Khudlori

yang selang tiga tahun kemudian, ia pindah pesantren ke Krapyak, Yogyakarta.

Selama tiga tahun di Tegalrejo tersebut, Masdar mampu menamatkan dan

menghafalkan Alfiyyah Ibn ‘Âqil.

Di pesantren Krapyak, Masdar berguru kepada mbah kyai Ali Maksoem,

Râis ‘Âm PBNU tahun 1988-1999. Meskipun dari Tegalrejo baru menyelesaikan

pendidikan setara dengan kelas III Tsanawiyah, di Krapyak Masdar langsung

diterima di kelas III Aliyah. Tahun 1970, selesai Aliyah, Masdar dinasehati oleh

mbah Ali untuk tidak langsung ke IAIN seperti telah disebutkan di atas, akan

tetapi dinasihati untuk menjadi aspri dari mbah Ali. Masdar pernah menyatakan

―Saya sering ditugasi oleh beliau untuk membacakan skripsi calon-calon sarjana

IAIN dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk diujikan‖.4 Sebagai

aspri, tentulah Masdar memperoleh kesempatan langka untuk memanfaatkan

perpustakaan pribadi mbah Ali yang berisi kitab-kitab pilihan baik yang salaf

(klasik) maupun yang kholaf (modern).

2
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia (Jakarta: Hujjah Press, 2007) cet. 2,
h. 145
3
PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖.
4
PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖.
17

Tahun 1972, sambil tetap tinggal dan mengajar di pesantren Krapyak,

Masdar melanjutkan studi di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,

jurusan Tafsir-Hadits. Di masjid Jami‘ IAIN, Masdar sempat menggelar tradisi

baru pengajian kitab kuning dengan mengajar Alfiyyah untuk kalangan

mahasiswa.

Adapun pengalaman organisasi Masdar di kampus yang dikenal sebagai

salah satu pendobrak pemikiran itu antara lain aktif di organisasi PMII—sebuah

organisasi terbesar dan tercatat berkali-kali presiden BEM adalah perwakilan dari

partai tersebut di kampus UIN Sunan Kalijaga—bahkan ketika tahun 1972, ia

dipilih sebagai ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat

Krapyak, Yogyakarta, sampai dengan 1974. Selanjutnya pada tahun 1976 terpilih

sebagai Sekjen Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sampai

dengan 1978.

Sebagai aktivis mahasiswa, Masdar pernah ditahan oleh Penguasa Orde

Baru bersama 9 tokoh aktivis mahasiswa lainnya di markas Pomdam Jawa

Tengah, Semarang selama 5 bulan lebih. Penahanan tanpa peradilan itu dilakukan

karena ia sempat memimpin demo anti korupsi menjelang Sidang Umum MPR

1978. Tahun 1982, setalah hijrah di Jakarta, Masdar dipilih sebagai Ketua I

Pengurus Besar PMII periode 1982 – 1987 mendampingi Muhyidin Arubusman

sebagai Ketua Umum. Selesai kuliah, tahun 1980 Masdar hijrah ke Jakarta dan

bekerja untuk Lembaga Missi Islam NU sambil menjadi wartawan di beberapa

mass media ibu kota. Tahun 1985, sehabis muktamar Situbondo, bersama dengan
18

K. Irfan Zidni, Masdar ditunjuk sebagai asisten Ketua Umum—saat itu Gus

Dur—dan Râis ‘Âm di bidang Pengembangan Pemikiran Keagamaan. Masdar

menamatkan pendidikannya di Fakultas Syari‘ah IAIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 1979.5

Berbagai seminar ilmiah telah diikutinya sebagai pembicara mewakili

sudut pandang Islam, baik dalam maupun luar negeri. Antara lain, di Manila dan

Mindanau (Philipina) di Kuala Lumpur (Malaysia), di Singapura, di Kairo

(Mesir), Sidney (Australia), Belanda dan Denmark. Masdar pernah mengadakan

kunjungan di pusat-pusat keagamaan di Amerika selama 5 pekan, tahun 1986.6

Sebagai kordinator program P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren

dan Masyarakat), Masdar sempat menerbitkan Jurnal PESANTREN, yang pertama

dan satu-satunya jurnal ilmiah Islam yang terbit antara tahun 1984–1990. Di lain

pihak, didukung oleh Rabitah Ma‘ahid Islami (RMI) dibawah duet kepemimpinan

(alm) KH. Imran Hamzah dan (alm) KH. Wahid Zaini, Masdar merintis berbagai

kegiatan kajian khazanah keislaman Salaf melalui berbagai halqah.7

Dimulai dari halqah Watucongol tahun 1989 dengan tema ―Memahami

Kitab Kuning secara Kontekstual‖, kegiatan itu terus bergulir di berbagai daerah

dengan keikutsertaan para kyai baik yang sepuh maupun yang muda-muda. Salah

5
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia …, h. 145
6
PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖.
7
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren DEPAG RI, ―KH. Masdar Farid
Mas‘udi‖, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2010 dari
http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task= view&id=210
19

satu diantara outputnya yang monumental adalah rumusan Metode Pengambilan

Hukum yang menjadi keputusan Munas NU Lampung 1992.

Saat ini, kegiatan sehari-harinya selain sebagai Ketua Pengurus Besar

Nahdlatul Ulama (PBNU) juga sebagai Direktur Perhimpunan Pengembangan

Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta, Anggota Dewan Etik ICW (Indonesian

Corruption Wacth), dan Komisi Ombudsman Nasional (KON) serta membina

pesantren al-Bayan, di kampung Cikiwul, Pancoran Mas, Cibadak, Sukabumi.8

Dengan program pendidikan formal utamanya SMA, sudah tiga angkatan

diluluskan dengan prestasi akademik yang unggul sesuai dengan namanya, yakni

rata-rata 95 persen lulusannya diterima di Perguruan Tinggi Negeri terbaik.

2. Latar Belakang Sosial dan Intelektual

Melihat dari berbagai lingkungan yang pernah disinggahi Masdar, tampak

pemikiran-pemikirannya yang menghormati berbagai kebudayaan dan juga

perilaku-perilaku sosial kemasyarakatan. Pesantren Tegalrejo sendiri yang

notabenenya sebagai tempat tujuan perantauan Masdar pertama kali dalam

menuntut ilmu merupakan pesantren salaf yang memegang teguh nilai-nilai

budaya tersebut. Pesantren di Tegalrejo ini setiap tahunnya juga mengadakan

acara haflah yang untuk semakin menambah semaraknya acara tersebut, panitia

mempersilahkan berbagai pagelaran budaya, seperti wayang ataupun selainnya.

Haflah ini sebenarnya ditujukan sebagai bentuk pemberian syahadah bagi para

8
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia …, h. 145
20

santrinya yang telah menyelesaikan studi atau hafalan kitab tertentu pada tiap

jenjangnya.

Namun dibalik ketradisionalannya, Tegalrejo tetap mampu mencetak

kader-kader santrinya yang diarahkan agar dapat bersaing dalam perkembangan

dunia yang semakin maju. Tercatat tokoh seperti Gus Dur, mantan ketua Tanfidz

dan mantan orang nomor satu di Indonesia ini juga pernah nyantri di pesantren

tersebut selama 2,5 tahun mulai dari 1957-1959 yang saat itu dipimpin oleh ulama

karismatis K.H. Chudlori.9 Kyai Chudlori sendiri masih merupakan guru dari

Masdar yang wafat pada 1977.

Pondok Pesantren (PP) salaf dengan nama Asrama Perguruan Islam (API)

didirikan oleh K.H. Chudlori bin H. Ichsan di desa Krajan, kecamatan Tegalrejo,

kabupaten Magelang pada 1 Oktober 1944 M. Bagi masyarakat, nama desa

Tegalrejo lebih populer disebut sebagai nama PP tersebut daripada nama resminya

―Asrama Perguruan Islam (API)‖. Pada 2001, penghuni PP Tegalrejo tercatat

3.002 santri,10 sedangkan pada tahun ini jumlah total santri sudah sekitar 4000

orang.11

Sebagai bukti lanjut dari partisipasi Pesantren Tegalrejo dalam

menghormati budaya bangsa, kita bisa melihatnya saat peringatan 7 hari wafatnya

Gus Dur. Di kompleks API (Asrama Perguruan Islam) Tegalrejo mengadakan

acara peringatan tersebut yang antara lain dihadiri para santri, komunitas lintas

agama dan golongan seniman, serta budayawan setempat. Sejumlah tokoh

9
Ringkasan Berita Terakhir ―Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib‖, diakses pada
tanggal 15 Februari 2010 dari
http://vivanews.com/117423-santri_di_ponpes_tegalrejo_gelar_salat_goib.htm
10
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren (2006) j. II, h. 23
11
Ringkasan Berita Terakhir ―Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib‖.
21

Magelang yang hadir antara lain Pimpinan Perkumpulan Sinar Kasih Tau

Magelang, Tedy Hartanto Tamsil, pimpinan Kelenteng ―Liong Hok Bio‖ Kota

Magelang, Paul Candra Wesi Aji, Koordinator Badan Kerja Sama Gereja-Gereja

Kristen Kota Magelang, Pendeta Parlaen. Kemudian dua rohaniwati Gereja

Katolik Santo Ignasius kota Magelang, masing-masing Suster Lidwina dan Suster

Verona. Pada kesempatan itu penyair kota Magelang, Es. Wibowo membacakan

puisi Obituari Gus Dur, kolaborasi seniman Teater Fajar Universitas

Muhammadiyah Magelang dan Teater Bias SMK 17 Kota Magelang

mementaskan performa Massa Tanpa Ulang. Sebuah grup musik asal Wonosobo

pimpinan Hadiyanto mementaskan musik kreatif ‗Kiai Langit‘, dan seniman

Magelang, Ardhi Gunawan membacakan geguritan Slaman Slumun Slamet.12

Mayoritas penduduk Tegalrejo merupakan warga Nahdiyyîn dan

simpatisan Partai Kebangkitan Bangsa—sebelum muncul PKNU—yang pekerjaan

sebagian besar penduduknya sebagai petani, pegawai, pedagang, dan buruh. Di

lingkungan pondok Tegalrejo terdapat juga beberapa buah PP, diantaranya PP

Muttalibin diasuh Kyai Muthalib, saudara K.H. Abdurrahman; PP Tarbiyyatun-

Nisa‘ diasuh K.H. Madrik Chudlori; PP API Putri dengan pengsuhnya Kyai

Damanhuri, menantu Kyai Chudlori Ichsan. Tidak jauh dari desa Krajan, di desa

Kuripan terdapat sebuah PP dipimpin oleh K.H. Ichsan. Di lingkungan PP

Tegalrejo sendiri ada dikenal istilah ahl al-bait, yaitu keluarga kyai.13

Ciri khas PP Tegalrejo dikenal dengan sistem salafnya yang mempelajari

ilmu fikih beserta ilmu-ilmu alatnya dan menyelenggarakan program

12
Ringkasan Berita Terakhir ―Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib‖.
13
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 24
22

pendidikannya sejak dahulu dengan sistem klasikal. Bentuk pendidikan yang ada

berupa madrasah yang terdiri dari 7 kelas. Kurikulum yang dipakai dari kelas 1

sampai kelas terakhir secara berjenjang mempelajari khusus ilmu agama, baik itu

fiqh, ‗aqîdah, akhlâq, tasawwuf, dan ilmu alat (nahwu dan saraf) yang semuanya

dengan kitab berbahasa Arab.14

Sejak tahun 1993, PP Tegalrejo setiap bulan Ramadhan mengirimkan

santri seniornya ke daerah-daerah yang membutuhkan da‘i dan muballigh. Di

lingkungan PP ini juga diselenggarakan Bahts al-Masâ’il, yakni pembahasan

masalah-masalah aktual. Kegiatan lainnya adalah Jam’iyyah al-Qurrâ’, yaitu

membaca al-Qur‘an secara bersama-sama. Selain itu juga ―khutbah komplek‖,

yaitu latihan berkhotbah/pidato. Kemudian pertemuan setiap hari Senin yang

dihadiri para alumni PP. Pertemuan ini dikenal sebagai acara Seninan. Dan juga

ada istilah pertemuan Selapanan, yaitu pertemuan mutakharrijîn PP yang

diselenggarakan setiap 35 hari.

Untuk pengadaan makanan sehari-hari, para santri secara jam‘iyyah

membayar iuran perbulan sebesar harga beras atau jagung sekitar 10 kg atau

kesepakatan pengurus kamar. Pembayaran syahriyyah ini diberikan kepada seksi

jam‘iyyah kamar, selanjuntya seksi jam‘iyyah membelanjakan serta memasak

nasi. Adapun untuk sayur dan lauknya, para santri membeli sendiri di kantin-

kantin yang tersedia di dalam PP. Sedang untuk makan para ustad dan pegawai,

disediakan kantin oleh PP dengan cara membelinya. Di siniliah terlihat

kesederhanaan Masdar telah terlatih sejak usia senja.

14
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 24
23

Adapun lingkungan yang membentuk pribadi Masdar berikutnya, selain di

PP API Tegalrejo ialah Pondok Pesantren al-Munawwir Bantul. Meski berada di

kabupaten Bantul, PP al-Munawwir lebih dekat dengan kota Yogyakarta, yang

tentunya keberadaan pesantren yang didirikan K.H. Munawwir pada 1911 M15

tersebut menambah khazanah pendidikan kota pelajar.

Nama pesantren itu sendiri diberikan oleh para penerus K.H. Munawwir

setelah beliau wafat demi terkandung maksud sebagai bentuk penghormatan

terhadap pendiri pondok. Namun demikian, pesantren tersebut lebih dikenal

dengan nama kampungnya yaitu Krapyak. Para penerus pondok juga merumuskan

kembali tujuan didirikannya pondok pesantren:16

1) Menyebarkan agama Islam ala ahl al-sunnah wa al-jamâ‘ah

2) Ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia

3) Mengajarkan agama Islam sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah ada

4) Membina warga Negara yang berkepribadian muslim sesuai dengan

ajaran Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut dalam segala segi

kehidupan.

Pesantren al-Munawwir sejak berdirinya hingga sekarang telah mengalami

tiga jaman. Mulai jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan masa

Pemerintah Indonesia. Pesantren yang lahir di tengah kancah perjuangan, menjadi

saksi hidup perjuangan bangsa, hingga seperti sekarang ini. Pasang surutnya

sejarah bangsa telah membuat pesantren ini makin matang, dan menunjukkan

15
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 102
16
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 102
24

kelasnya sebagai pesantren yang sangat diperhitungkan dalam kancah lokal

maupun nasional.

Sejak berdiri, kepemimpinan PP al-Munawwir telah memasuki periode

keempat. Periode pertama, (1911-1942), merupakan periode pendiri. Periode

kedua (1942-1968) di bawah kepemimpinan K.H. A. Afandi. Periode ketiga

(1968-1989). Periode keempat kepemimpinan K.H. Zainal Abidin Munawwir.

Pada periode kedua dan ketiga merupakan periode kepemimpinan menantu

pendiri.17 Masdar sendiri nyantri di pesantren tersebut pada periode ketiga

dibawah kepemimpinan K.H. Ali Maksoem.

Sistem kepemimpinan pesantren sejak berdiri hingga periode ketiga

bertumpu pada figur sentral, seorang kiai, yang mana lebih banyak menerapkan

‗manajemen keluarga‘. Mereka yang terlibat mengasuh pondok terdiri anak dan

keluarga pendiri, baik keturunan langsung atau karena pertalian perkawinan.

Ketika memasuki periode keemmpat, kepemimpinan pondok menjadi

kepemimpinan kolektif yang diambil melalui musyawarah Dewan Pengasuh.18

Pesantren al-Munawwir ini dikenal bercirikan sebagai ponpes al-Qur‘an.

Hal ini karena materi pokok yang diberikan kepada santri-santrinya adalah al-

Qur‘an dengan segala ilmunya. Pendirinya yang dikenal sebagai ulama al-Qur‘an

ternyata menjadi unggulan komperatif pesantren jika dibandingkan dengan

pesantren lainnya.

Jenis pendidikan di Pondok Pesantren al-Munawwir merupakan

pendidikan keagamaan. Pada periode kepemimpinan yang pertama, pendidikan PP

17
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 103
18
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 103
25

al-Munawwir merupakan pendidikan spesialisasi bidang al-Qur‘an, baik dengan

metode bi al-ghaib atau dengan metode bi al-nazar. Pada periode kedua,

pengajian kitab-kitab kuning mulai dikembangkan. Pelopor pengajian kitab

kuning ini adalah K.H. Ali Maksoem. Metode belajar yang digunakan dengan

sistem wetonan, sorogan, dan bandongan.19

Adapun pengembangan pendidikan pesantren ini makin terasa ketika

kepemimpinan Pesantren al-Munawwir dipegang K.H. Ali Maksoem. Pada

periode ini, mulai dirintis sistem pendidikan klasikal, dengan mendirikan Taman

Kanak-kanak, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah,

Madrasah Takhasus, dan Madrasah Huffaz. Pada masa kepemimpinan K.H. Zainal

Abidin Munawwir, dimana terdapat pemisahan pengelolaan lembaga pendidikan

sekolah dan lembaga pendidikan luar sekolah, maka madrasah-madrasah tersebut,

kecuali madrasah Huffaz dan Takhasus, diselenggarakan oleh Yayasan Ali

Maksum (1990).20 Sedangkan madrasah yang dikelola Yayasan al-Munawwir

antara lain: Madrasah Salafiyah, Ma‘had Aly, dan Madrasah Takhasus/Hufaz.

Saat ini, santri yang belajar di madrasah dan Ma‘had Aly PP al-Munawwir

berjumlah 1.045 orang. Jumlah santri tersebut diasuh 126 orang kiai dan ustadz.21

Latar belakang pendidikan mereka antara lain Pendidikan Guru Agama 66 orang,

SLTA 25 orang, D1 seorang, D3 dua orang, dan 32 sarjana Strata 1.

19
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 104
20
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 104
21
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 105
26

B. Karakter Pemikiran

1. Karakteristik Fikih

Ada beberapa kecenderungan yang menjadi ciri seorang mufassir meneliti

suatu teks tertentu, biasanya karakter tersebut selain muncul dari lingkungan

tumbuh kembangnya peneliti tersebut, juga dari kemampuan analisis mufassir

terhadap suatu teks.

Dari berbagai tulisannya, karya-karya Masdar banyak berkenaan dengan

kajian-kajian fikih, baik itu upayanya yang mengkaji masalah ibadah maupun

mu‘amalah kemasyarakatan. Hal yang maklum kiranya karena ia merupakan

sarjana syari‘ah dan berlatarbelakang pendidikan pesantren yang mengedepankan

kajian kitab kuning dan dalil-dalil teks.

Tak dipungkiri, pada dasarnya seluruh tindakan manusia, ucapan ataupun

perbuatan yang terdapat di dalam ibadah dan mu‘amalah, pidana atau perdata

yang terjadi di dalam akad dan transaksi menurut syari‘ah Islam seluruhnya

mengandung hukum. Hukum-hukum tersebut sebagian dijelaskan di dalam nas-

nas al-Qur‘an dan al-Sunnah. Sebagian yang lain belum terdapat penjelasan,

namun syari‘ah Islam telah menentukan dalil dan isyarat-isyarat tersebut sesuai

kemampuan mujtahid, akan mampu menentukan ketetapan dan penjelasan

terhadap masalah tersebut. Di samping itu istinbât dalil-dalil syari‘ah Islam yang

tidak terdapat nassnya, maka disusun di dalam ilmu Fikih.

Keterlibatan Masdar dalam kajian Fikih ini, tentunya menarik Masdar

dalam hubungan sosial juga karena memang obyek pembahasan ilmu tersebut
27

adalah perbuatan mukallaf.22 Diantara keikutsertaannya dalam organisasi sosial

kemasyarakan terbesar di Indonesia, yaitu NU, bahkan tercatat ia pernah menjabat

sebagai ketua Tanfidz.

Dalam salah satu statemennya, Masdar pernah memberi nasihat terhadap

organisai tersebut sesaat sebelum Muktamar NU 2010 yang mana pernyataannya

merupakan bentuk kepeduliannya terhadap umat bahwa, ―Muktamar 2010

sebaiknya menetapkan bagaimana NU kembali merawat umat.‖ jelas K.H. Masdar

Farid.23

Alasan tersebut tentu menjadi penting lantaran saat itu eksistensi umat NU

yang ahli tahlil, qunut, salawatan dan sebagainya, mendapat ancaman dan serbuan

dari kaum Islam radikal, misalnya karena masjid-masjid NU yang akhir-akhir ini

sudah mulai banyak yang meninggalkan qunut. Selain itu, memberdayakan

ekonomi warga nahdliyin juga merupakan bagian dari khittah.

Berbeda dengan situasi tahun 1984, yang menurut Masdar, NU saat itu

dalam kondisi kritis, karena NU berada pada posisi berhadap-hadapan dengan

pemerintah. Sehingga, lanjut Masdar, pengurus NU di semua tingkatan harus siap

dengan segala bentuk intimidasi, jadi khittah waktu itu diartikan warga NU boleh

memilih Golkar.24

22
Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh. Penerjemah Masdar Helmy (Bandung:
Gema Risalah Press, 1997) cet. 2, h. 23
23
Ringkasan Berita Terakhir ―Selamatkan Ahli Tahlil‖, diakses pada tanggal 10 Februari
2010 dari
http://www.gp-ansor.org/berita/kh-masdar-farid-mas‘udi-ketua-pbnu-selamatkan-ahli-tahlil.html
24
Ringkasan Berita Terakhir ―Selamatkan Ahli Tahli‖.
28

Adapun defisini ilmu Fikih sendiri menurut syara‘ ialah pengetahuan

tentang hukum-hukum syari‘ah Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil

dari dalil-dalil secara detail atau kodifikasi hukum-hukum syari‘ah Islam tentang

perbuatan manusia yang diambil berdasarkan dalil-dalil secara detail.25 Para

ulama‘ ahl al-sunnah wa al-jama’ah menetapkan bahwa dalil-dalil acuan

perbuatan manusia dikembalikan pada empat sumber yang mana yang dijadikan

dalil pokoknya dan sumber dari hukum syari‘ah pertama adalah al-Qur‘an

kemudian al-Sunnah, sekaligus sebagai interpretasi bagi keglobalan al-Qur‘an,

dan sebagai penjelas serta pelengkap al-Qur‘an.

Adapun penelitian Masdar berkaitan dengan dalil teks—yang mana

penelitian tersebut merupakan obyek pembahasan ilmu Usûl—misalnya gaya

interpretasinya mengenai zakat ataupun waktu wuqûf di Arafah yang hendak

penulis teliti pada skripsi ini.

2. Karakteristik Kemodernan

Corak pemikiran Masdar lainnya adalah kemodernan. Pemikiran Masdar

pada wilayah ini dilatarbelakangi oleh keinginannya memperlihatkan bahwa

kajian-kajian keislaman bukan hanya tidak bertentangan dengan isu-isu

modernitas, tetapi juga mengandung nilai-nilai yang mendukung modernisasi itu

sendiri. Masdar ingin memperlihatkan bahwa ajaran Islam, pada dirinya sendiri,

secara inheren dan aslinya adalah agama yang ‗selalu modern‘. Paling tidak upaya

Masdar itu dimaksudkan memberi landasan teologis, terutama bagi golongan

25
Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, h. 22
29

intelektual agar mampu memberikan respon positif terhadap proses modernisasi,

tetapi tetap bertolak dan tetap mengacu kepada iman Islam.26 Percikan pemikiran

Masdar tentang proses modernisasi, tidak lepas dari upayanya mengadopsi nilai-

nilai yang inheren dengan zaman modern, seperti: rasionalisasi, sekularisasi, dan

liberalisasi dengan ajaran Islam.

Sebagaimana Cak Nur, Modernisasi Masdar sendiri ialah Rasionalisasi

bukan Westernisasi, kemudian yang paling penting bahwa, baik westernisasi

maupun westernisme sebagai paham yang membentuk total way of life nya bangsa

Barat, Rasionalisme sebagai paham yang mengakui kemutlakan rasio,

sebagaimana yang dianut orang komunis, atau liberalisme sebagai ajaran sesat

yang memandang ajaran sesat kemerdekaan mutlak atau tak terbatas, bertentangan

dengan ajaran Islam.27

Di sinilah pentingnya berfikir rasional, sehingga akan terjadi apa yang

disebut dengan proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak

aqliyyah, dan upaya menerapkan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu

pengetahuan, sebagai hasil rasio atau pemahaman manusia terhadap hukum-

hukum obyektif yang menguasai alam, ideal, material, sehingga alam bertindak

menurut kepastian tertentu yang harmonis, apalagi semangat tersebut sejalan

dengan ajaran agama Islam.28

26
M. Dawam Rahardjo, ―Islam dan Modenisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi
Nurcholish Madjid‖, dalam Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 1987) h. 27
27
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987)
h. 171-203
28
Madjid, Islam Kemodernan dan keindonesiaan …, h. 172-173
30

Oleh karena itu, modernisasi tidak lain perintah Tuhan yang imperatif dan

mendasar, dan sebagai konsekuensinya modernisasi adalah suatu keharusan bagi

seorang Muslim.

Masdar Farid Mas‘udi sendiri sudah lama terkenal sebagai sosok

lokomotif pembaharu dalam tubuh NU yang dikenal kritis, analitis, progresif, dan

kadang kala mengagetkan. Dua bukunya, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak)

Dalam Islam, dan Reproduksi Wanita adalah salah satu bukti konsistensinya

dalam lapangan pembaharuan pemikiran. Pemikiran Masdar ini pun banyak yang

menular ke bawah.

Ulil Abshar, tokoh muda NU dan lokomotif JIL dalam bukunya Membakar

Rumah Tuhan menceritakan, ketika Lakpesdam NU mengadakan program

pelatihan bagi para kiai muda NU dari seluruh Jawa, ternyata, banyak dari mereka

yang sudah mempunyai pemikiran progresif, semisal K.H. Husein Muhammad

dari Arjawinangun, Cirebon, dan K.H. Moh. Ishom Hadizq (alm) dari Tebuireng

Jombang. Mereka sudah terbiasa dengan pikiran-pikiran Moh. Arkoun dan Fazlur

Rahman. Bedanya, pembaharuan mereka dilakukan secara diam-diam,

menghindari ‗tabrakan‘ para kiai sepuh. Dalam istilah Ulil menirukan Aswab

Mahasin, disebut sebagai ‗pembaharuan tanpa dentuman besar‘ atau silent

modernism, modernisme yang diam-diam, tak gegap gempita.29 Ini juga sejalan

dengan filosofi pesantren, al muhâfadatu ‘ala al-qadîmi al-sâlih wa al-akhdzu bi

29
Ulil Abshar Abdalla, Membakar Rumah Tuhan (Bandung: Rosda Karya, 1999) h. 181
31

al-jadîd al-aslah, mempertahankan yang lama yang masih baik dan mengambil

yang baru yang lebih baik.

Kesederhanaan Masdar tak lepas dari pengaruh kehidupannya di

lingkungan PP Tegalrejo. Ketokohannya yang mendunia karena memang sudah

terbiasa bertemu atau setidaknya melihat tokoh-tokoh yang berkunjung ke

pesantren tersebut, baik itu yang lokal maupun nasional, seperti yang terbaru

adalah kedatangan Jussuf Kalla dan Wiranto yang meminta dukungan dan doa

restu sebagai capres dan cawapres pada pemilihan umum kemarin.30

Adapun dengan pemikiran-pemikiran Masdar yang aktual dan mendobrak

demi kemaslahatan masyarakat bagaikan pendahulu dan para kyainya seperti K.H.

Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), yang tercatat pernah mendirikan Pusat Latihan

(Puslat) Sepak Bola Tegalrejo untuk mengembangkan olah raga yang telah

digemari masyarakat. Puslat sepak bola dengan pelatih mantan pemain sepak bola

nasional, Siswanto itu diresmikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Magelang, Susilo

di Magelang. Alasan Gus Yusuf memilih mendirikan puslat sepak bola karena

cabang olah raga tersebut bisa memberikan ruang positif bagi generasi muda yang

saat ini banyak mendapat tantangan berupa kenakalan remaja.31

Namun demikian, menurut Jamal Ma‘mur Asmani bentuk pembaharuan

para kyai ini sangat berbeda dengan gaya pembaruannya Masdar dan Ulil sendiri.

30
Ringkasan Berita Terakhir ―Wiranto Mengaku Dirinya Sebagai Guru yang Baik Bagi
SBY‖, diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari
http://www.hanura.com
31
Ringkasan Berita Terakhir ―Pengasuh Ponpes Tegalrejo Dirikan Puslat Sepakbola‖,
diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari
http://www.tvone.co.id/pengasuh_ponpes_tegalrejo_dirikan_puslat_sepak_bola.htm
32

Kedua orang ini tidak memakai silent modernism, tapi hard and clear modernism,

modernisme yang jelas dan keras. Artinya, pembaruan keduanya sangat jelas

dengan memakai media cetak dan elektronik, atau dengan statemen kontroversial

di forum-forum ilmiah sehingga menyebabkan iklim intelektualitas utamanya

kalangan Nahdliyin tradisionalis menjadi keras dan panas dibuatnya.32

Contoh terkininya adalah gagasan terbaru Masdar—yang katanya sudah

mulai disosialisasikan mulai tahun 80-an di Majalah Tempo—yang dimuat Jawa

Pos.33 Banyak para kiai, santri dan umat Islam yang pasca pemuatan gagasan itu

menjadi berang. Mereka menilai Masdar sudah kelewat batas. Ada yang apologi

subyektif sehingga menilai negatif, ada juga yang berusaha menilai obyektif

dengan mengedepankan kajian argumentatif.

C. Karya-karyanya

Sedikit jumlahnya dan yang cukup kritis membahasnya. Sebagai salah satu

tokoh yang dianggap senior dalam jajaran Jaringan Islam Liberal, nama Masdar

memang tak sementereng rekan senior lainnya yang duduk di kursi pemerintahan

atau yang banyak menghasilkan buku. Tercatat hanya ada empat buah buku yang

penulis ketahui tentang karya-karyanya. Namun demikian, meskipun bisa dibilang

tak banyak, buku-buku tersebut cukup mendobrak kancah iklim tata negara

bahkan ada juga yang merambah hingga tataran internasional.

32
Jamal Ma‘mur Asmani, ―Telaaah Kritis Pemikiran Masdar‖, artikel diakses pada
tanggal 11 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/telaah-kritis-pemikiran-masdar/
33
Masdar Farid Mas‘udi, ―Meninjau Ulang Waktu Haji‖, Jawa Pos, 18 Januari 2009
33

Bukunya Agama dan Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam yang

diterbitkan Januari 1991 merupakan buku paling orisinil dan provokatif di antara

buku-buku yang ditulis orang NU dalam waktu yang lama. Buku lainnya adalah

Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, buku ini sendiri sempat

diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Islam and Women’s

Reproductive Rights dan terbit pada Januari, 2002. Tiga tahun kemudian, pada

tahun 2005, ia menulis Menggagas Ulang Zakat Sebagai Etika Pajak dan Belanja

Negara untuk Rakyat, sebuah buku yang berisikan gagasannya berkaitan

formalisasi zakat demi mempererat korelasi antara Indonesia dan Islam. Yang

terakhir, Korupsi, Hukum, dan Moralitas Agama: Mewacanakan Fikih

Antikorupsi, sebuah karya yang muncul dari keprihatinan mendalam terhadap

lingkungan pemerintahan.

Penggagas kajian kitab fikih kontekstual dan pemred jurnal ―Pesantren‖ ini

juga aktif menulis di berbagai media massa nasional dan sering menjadi

narasumber seminar baik lokal, regional, maupun internasional.34

Dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia ia menjadi kontributor

dalam bentuk wawancara yang diberi judul: Keadilan Dulu Baru Potong Tangan.

Selain itu, artikel-artikel lain yang cukup representatif telah banyak ia

sumbangkan, antara lain: Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan,

dan Selamatkan Ahli Tahlil.

Dalam buku Ijtihad Islam Liberal ia juga menyumbang pendapat dalam

tulisan berjudul Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang. Artikel terakhir

34
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia …, h. 145
34

inilah—yang juga pernah dimuat di Harian Republika pada tanggal 6 dan 13

Oktober 2000) dengan judul Keharusan Meninjau Kembali Waktu Pelaksanaan

Ibadah Haji dan juga dimuat di Media Indonesia, Islamlib.com, dan Koran Jawa

Pos—yang hendak penulis telaah dimana pendapat tersebut tentu saja menuai

protes dan kecaman berbagai kalangan karena orang menganggapnya janggal dan

aneh.
BAB III

PERIHAL HAJI DAN PROBLEMATIKANYA

A. Praktek Ritual Haji Pra-Islam dan Sesudah Islam

Pemandangan gersang, bukit-bukit gundul bahkan tandus, dan lautan

padang pasir di jazirah yang dikenal sebagai Hijaz ini masih dapat disaksikan

oleh jamaah haji dalam perjalanan antara Jedah dan Mekah.

Populasi di wilayah Hijas terdiri dari kaum pengembara dan kaum

pemukim, yang antara keduanya terjadi interaksi yang cukup tinggi. Suku Badui

pengembara menjelajahi daerah gurun pasir yang luas maupun daerah semi-gurun

pasir, dan membentuk jaringan kumpulan antara suku dan keluarga yang

menandai bangsa Arab sebelum munculnya Islam. Sedangkan kaum pemukim

mendiami kota Mekah, Madinah, dan Ta‟if, kota-kota yang berkembang selain

gurun pasir Badui. Kota-kota ini pada kenyataannya adalah tempat kedua jenis

masyarakat ini bercampur dengan bebasnya, guna mengadakan perdagangan,

berhaji, melakukan perkawinan, dan juga kegiatan kebudayaan, khususnya pada

pecan raya terkenal, yang menarik para penyair dari seluruh Arab.1

Dalam kitab al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah, Mahmud Syaltut menyatakan

bahwa haji adalah bentuk penyembahan manusia sejak zaman purba, sebelum

masa Islam. Ia berarti penziarahan ke tempat-tempat tertentu sebagai suatu

penyembahan dan penyucian pada Tuhan yang disembahnya. Begitulah praktek-

praktek dari berbagai bangsa purba seperti orang-orang Mesir kuno, Yunani kuno,

1
Zakaria Bashier, Mekah Dalam Kemelut Sejarah. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994) cet. 1, h. 3-4

35
36

Jepang kuno, dan sebagainya. Keadaan ini berlangsung terus sampai Allah swt

mengutus Nabi Ibrahim As dan memerintahkannya membangun Ka‟bah di

Mekkah untuk tujuan penyatuan sistem haji manusia, dimana padanya dilakukan

tawâf dan menyebut asma Allah.2

Allah Swt berfirman:

        


        
  
  

                

     


        

“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar


Baitullah beserta Ismail (seraya berdoa) “Ya Tuhanku, terimalah daripada
kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang
yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu
kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukanlah kepada
kami cara-cara dan tempat ibadah haji kami. Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah/2:
127-128)

Dari ayat di atas, jelas sekali bahwa Ka‟bah yang telah ditetapkan menjadi

kiblat manusia dibangun oleh Nabi Ibrahim As beserta putranya Nabi Ismail As.

Ketika Ibrahim As memasuki lembah Mekah dengan istrinya, Siti Hajar, bersama

anak mereka, yaitu Ismail As, Mekah masih merupakan tempat yang kosong dan

tandus. Sejarah Mekah sebelum kedatangan Ibrahim As dan keluarganya memang

tidak diketahui dengan jelas. Para sejarawan hanya dapat menegaskan dengan

pasti bahwa Mekah, merupakan tempat persinggahan penting dalam jalur

2
Ishak Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta 1999)
cet. 1, h. 33
37

perdagangan kuno, antara pelabuhan Arab Felix (Samudera Hindia) danpelabuhan

Siria (Laut Tengah) yang sudah berlangsung sejak zaman dahulu.3

Namun ada yang berpendapat bahwa yang pertama kali membangun

Ka‟bah adalah para malaikat, 2000 tahun sebelum Adam diciptakan, sebagai

tempat tawâf-nya para malaikat di bumi.

Pembangunan yang kedua dilakukan oleh Nabi Adam As setelah beliau

disuruh keluar dari surga dan menetap di bumi. Dengan bantuan para malaikat,

Ka‟bah dapat dibangun, lalu Allah memerintahkan untuk tawâf. Setelah nabi

Adam wafat, Ka‟bah dibangun lagi oleh salah seorang putranya yang bernama

Syîst dengan menggunakan tanah dan batu. Ka‟bah yang dibangun oleh Syîst itu

berjalan terus sampai zaman nabi Nuh, dimana bangunan itu runtuh akibat taufan

nabi Nuh. Setelah itu beritanya tidak terkisahkan lagi hingga muncul kisah

Ibrahim dengan putranya Ismail membangun kembali Ka‟bah itu.4

Haji ke Baitullah merupakan salah satu ritus keagamaan bagi pemeluk

agama-agama samâwi. Ia telah dilaksanakan oleh para nabi sebelum nabi

Muhammad. Menurut beberapa sumber, nabi Adam telah melaksanakan ibadah

haji dengan cara tawâf (mengelilingi Ka‟bah) setelah membangun Ka‟bah di

Mekkah. Beberapa nabi lainnya, seperti Nuh, Hud, Saleh, dan Syu‟aib dikabarkan

juga pernah melaksanakan haji ke Baitullah.5

Haji merupakan ibadah pokok bagi para nabi. Tata cara pelaksanaan haji

antara satu nabi dengan nabi lainnya terdapat perbedaan. Hal itu disebabkan oleh

3
Zakaria Bashier, Mekah Dalam Kemelut Sejarah …, h. 25
4
Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam …, h. 35
5
M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2007) cet. 1, h.
21
38

keberagaman kondisi umat manusia dan lingkungan yang ada disekitar nabi yang

satu dengan yang lainnya. Kondisi dan lingkungan secara alamiah (sesuai dengan

sunnatullah), berkembang secara evolusi ke arah kesempurnaan. Agama yang

berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia tentu dapat mengantisipasi

perkembangan zaman melalui penyesuaian syariat suatu agama yang dibawa oleh

seorang nabi. Dengan demikian, syariat agama seorang nabi dapat berbeda dengan

nabi lainnya. Sementara aqidah tidak mengalami perubahan. Menurut Islam,

aqidah pada semua agama samâwi adalah sama, yaitu tauhid, percaya kepada

Tuhan yang Esa.6

Pada masa nabi Adam, pelaksanaan ibadah haji tentu masih sangat

sederhana, berbeda dengan haji yang dilaksanakan oleh nabi Ibrahim yang

mempunyai manâsik (tatacara dan pelaksanaan ibadah haji) yang terurai, terutama

terkait dengan tempat dan kegiatan, karena diantara manâsik tersebut berkaitan

dengan sejarah hidup nabi Ibrahim dan keluarganya.7

Sejak zaman nabi Ibrahim As seluruh bangsa Arab telah menjadikan

Ka‟bah sebagai kiblat dan tempat haji mereka. Ibadah haji yang mereka lakukan

sesuai dengan tuntunan nabi Ibrahim dan perintah Allah Swt. Hanya saja, karena

perjalanan masa yang cukup lama, dari masa nabi Ibrahim As ke masa nabi

Muhammad, manusia telah mengubah sistem ibadah haji nabi Ibrahim As yang

berdasar tauhid. Mereka tidak lagi menyembah Allah, mereka mengubah dan

mencampuradukkan haji dengan syirik. Mereka membuat patung-patung

6
Putuhena, Historiografi Haji Indonesia …, h. 22
7
Salah satu contohnya adalah Sa‟i yang menjadi potret perjuangan Siti Hajar ketika
mencari air untuk putranya, nabi Ismail.
39

sembahan yang kemudian mereka letakkan di Ka‟bah, lalu mereka sembah,

mohon syafâat dan pertolongannya.8

Pada masa itu, musim-musim haji malah dijadikan musim perdagangan,

Makkah dan Madinah dijadikan pusat penyembahan berhala sekaligus pusat

perdagangan. Para penduduk setempat menjadikan Ka‟bah yang menjadi tempat

para peziarah berkunjung, dihiasi dengan seindah-indahnya kemudian diletakkan

berbagai jamuan hidangan yang lezat di daerah sekitar Ka‟bah untuk menghibur

dan menyenangkan para peziarah yang ingin melakukan transaksi perdagangan.

Hilanglah kesan spiritual, dan yang tertinggal adalah sebuah pengalihan nilai

spiritual ke material semata, dari ibadah ke perdagangan. Dari sinilah nabi sebagai

utusan Tuhan merasa terpanggil untuk menyadarkan kembali masyarakat sekitar

untuk kembali kepada Tuhan yang tunggal dan mutlak, yaitu sebuah seruan

monoteisme.9

Dengan demikian, diutusnya nabi Muhammad Saw mengandung arti yang

sangat penting dalam sejarah. Beliau bertugas memperbaiki dan meluruskan

kembali akidah dan ibadah manusia yang telah menyimpang jauh, termasuk

menyempurnakan sistem ibadah haji warisan nabi Ibrahim.10 Rasulullah diberikan

petunjuk-petunjuk tentang pelaksanaan haji seperti yang dilaksanakan nabi

Ibrahim. Mulai dari saat itu, ibadah haji kembali murni, bersih dari syirik-syirik

jahiliyyah. Pelaksanaan kurban yang tadinya dipersembahkan kepada pembesar-

8
Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam …, h. 37
9
Christian Snouck Hurgronje, Perayaan Mekkah (Jakarta: INIS, 1989), h. 7-10
10
Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam …,h. 37
40

pembesar berhala tersebut, dibersihkan oleh Islam untuk semata-mata secara

ikhlas dipersembahkan kepada Allah.11

Oleh karena itu, nabi Muhammad sebagai mujaddid (reformer) mengambil

oper ibadah haji itu, disempurnakan dan dimurnikannya, lalu Allah meresmikan

ibadah haji sebagai syariat nabi Muhammad Saw sekaligus mewajibkannya.

Namun terdapat berbagai versi tentang awal perintah haji dan

pensyariatannya. Dalam hadis disebutkan bahwa haji diperintahkan pada tahun

ke-7 H, dan ini yang mengakibatkan problematika perbedaan teks hadis Rukun

Islam.12 Sedangkan menurut Jumhûr, ibadah haji diwajibkan pada tahun ke-6 H,

yakni ketika turun firman Allah swt yang memerintahkan nabi Muhammad saw

dan umatnya untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah.

...     

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah …” (QS. Al-
Baqarah/2: 196)

Akan tetapi Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakr Ibn Fahr al-Qurtubî

berpendapat dalam tafsirnya bahwa haji diwajibkan pada tahun ke-3 Hijriyah.13

Sedangkan menurut Ibn Qayyim, haji diwajibkan pada tahun ke-9 atau ke-10 H

karena kaum muslimin pertama kali melaksanakan ibadah haji pada tahun ke-9 H

11
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:
IKAPI, 1992), h.278
12
Imam al-Nawâwî, Sahîh Muslim bi Syarhi Imâm an-Nawâwi (Libanon: Dar al-Fikr), j.
I, h. 223
13
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakr Ibn Fahr al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî (Kairo:
Dâr Syu‟ba, 1372 H) cet. 2, J. III, h. 139
41

yang dipimpin oleh Abû Bakar al-Siddîq,14 setelah turunnya firman Allah swt

yang terdapat dalam surat Âlu „Imrân/3: 97,

)(            

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)


orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali
Imran/3: 97).

B. Pengertian dan Tata Cara Haji

Secara etimologi, asal makna haji adalah menyengaja sesuatu.15 Berbeda

dengan ibadah-ibadah lainnya dalam Islam, haji merupakan ibadah yang berupa

perjalanan jauh, khususnya bagi selain bangsa Arab. Ibn Manzûr menyebut hajji

yang berasal dari kata hajja atau al-Hajj yang berarti secara luhgat (bahasa)

adalah “bermaksud”.16 Menurut Mahmud Yunus kata hajja atau hijjatan secara

etimologi mempunyai arti “ziarah”,17 dalam Kamus Kontemporer berarti menuju

atau berziarah ke Tanah Suci.18 Dan Hasbi al-Siddieqy menjelaskan haji menurut

bahasa ialah menuju ke suatu tempat berulang kali atau menuju kepada sesuatu

yang dibesarkan.19

Adapun secara terminology haji ialah sengaja mengunjungi Ka‟bah

(Rumah Suci) untuk melakukan beberapa amal ibadah, dengan syarat-syarat yang

14
Hasbi al-Siddieqy, Pedoman Haji (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) h. 23
15
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1997) cet. 30, h. 247
16
Ibnu Manzûr al-Afriqî al-Misrî, Lisân al-‘Arab (Libanon: Dar Sodir, 1990) j. II
17
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990) h. 97
18
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999) h. 378
19
Al-Siddieqy, Pedoman Haji …, h.16
42

tertentu.20 Sedangkan dalam pengertian terminologi ulama mazhab empat, haji

diartikan berbeda-beda:

1. Imam Hanafî mendefinisikan haji adalah berkunjung ke Baitullah

(Ka‟bah) untuk mengerjakan ibadah dengan cara, tempat, dan dalam

waktu tertentu. Maksud tertentu ialah tawâf, sa’i, dan wuqûf. Tempat

tertentu ialah Ka‟bah dan Arafah. Waktu tertentu ialah tanggal 10 Dzû

al-Hijjah, dan orang berhaji harus berniat ketika ihrâm.21

2. Menurut Imam Mâlik haji menurut syara‟ ialah wuqûf di padang Arafah

pada malam ke sepuluh dari bulan Dzû al-Hijjah, tawâf di Ka‟bah 7 kali,

sa’i 7 kali, yang semuanya harus dikerjakan menurut cara-cara

tertentu.22

3. Imam Syâfi‟î mengartikan haji secara terminologi adalah sengaja

mengunjungi Ka‟bah untuk melaksanakan manâsik haji.23

4. Dan haji menurut Imam Hanbalî adalah sengaja mengunjungi Mekkah

untuk satu perbuatan tertentu seperti tawâf, dan sa’i, termasuk wuqûf di

Arafah.24

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa haji secara

terminologi fiqh didefinisikan sebagai perjalanan mengunjungi Ka‟bah untuk

melakukan ibadah tertentu, atau bepergian ke Ka‟bah pada bulan-bulan tertentu

20
Rasjid, Fiqh Islam …, h. 247
21
„Abd al-Rahmân al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat. Penerjemah Moh. Zuhri (Semarang:
as-Syifa, 1994) h. 537
22
al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat …, h. 538
23
al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat …, h. 539
24
al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat …, h. 539
43

untuk melakukan ibadah tawâf, sa’i, wuqûf, dan manâsik-manâsik lain untuk

memenuhi panggilan Allah Swt, serta mengharap keridaan-Nya.25

Syarat Haji

Adapun syarat haji, yaitu:

1. Islam, tidak wajib, tidak sah haji orang kafir.

2. Berakal, tidak wajib atas orang gila dan orang bodoh.

3. Bâligh, sampai umur 15 tahun, atau bâligh dengan tanda-tanda lain. Tidak

wajib haji atas kanak-kanak.

4. Kuasa

Adapun pengertian mampu itu ada dua macam:

1. Mampu mengerjakan haji dengan sendirinya, dengan beberapa syarat

sebagai berikut;

a) Mempunyai bekal yang cukup untuk pergi ke Mekah dan kembalinya,

b) Ada kendaraan yang pantas dengan keadaannya, baik kepunyaan

sendiri ataupun dengan jalan menyewa. Syarat ini bagi orang yang

jauh tempatnya dari Mekah adalah dua marhalah (80.640 km). Orang

yang jarak tempatnya dari Mekah kurang dari itu, sedangkan ia kuat

berjalan kaki, maka ia wajib mengerjakan haji. Adanya kendaraan

tidak menjadi syarat baginya. Bekal dan kendaraan itu sudah lebih

dari utang dan bekal orang-orang yang dalam tanggungannya sewaktu

pergi dan sampai ia kembali.

25
A. Rahman Sitonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997),
h. 209
44

c) Aman perjalanannya,

d) Bagi perempuan, hendaklah ia berjalan bersama-sama dengan

mahramnya, suaminya, atau bersama dengan perempuan yang

dipercayai.

2. Kuasa mengerjakan haji yang bukan dikerjakan oleh yang bersangkutan,

tetapi dengan jalan menggantinya dengan orang lain.

Rukun Haji

1) Ihrâm, berniat mulai mengerjakan haji atau umroh

2) Wuqûf, hadir di padang Arafah

3) Tawâf, berkeliling Ka‟bah

Denda

Dalam haji, istilah denda ini disebut dam.

1) Adapun dam tamattu’ dan qiran. Artinya, orang yang mengerjakan

haji dan umroh dengan cara tamattu’ atau qiran, ia wajib

membayar denda; dendanya wajib diatur sebagai berikut:

a) Menyembelih seekor kambing yang sah untuk korban.

b) Kalau tidak sanggup, wajib puasa sepuluh hari; tiga

hari wajib dikerjakan sewaktu ihram apaling lambat

sampai hari raya haji, tujuh hari lagi wajib dikerjakan

sesudah ia kembali ke negerinya.


45

2) Dam karena mengerjakan salah satu dari beberapa larangan

berikut:

a) Dam karena bersetubuh yang membatalkan haji dan umrah

apabila terjadi sebelum tahallul pertama. Denda itu mula-

mula wajib menyembelih unta, jika tidak maka sapi, atau

tujuh ekor kambing, atau dihitung dari harga unta untuk

membeli makanan. Kalau tidak, hendaklah berpuasa.

b) Dam membunuh buruan (binatang liar). Binatang liar ada

yang mempunyai bandingan dengan binatang yang jinak.

c) Dam karena terkepung (terhambat). Dendanya hendaklah ia

bertahallul dengan menyembelih seekor kambing di tempat

tersebut.

Melontar jumrah dan tawâf (mengitari Kabah tujuh kali) serta sa’i

(berjalan dan lari -lari kecil antara bukit Safâ dan Marwah) wajib hukumnya

dalam ibadah haji, jika tidak dikerjakan, harus membayar dam atau denda berupa

ternak kurban.

Adapun ibadah yang hampir sama dengan haji ialah umroh terambil dari

kata i’timâr yang secara etimologi berarti ziarah, demikian kata Sayyid Sâbiq.

Adapun yang dimaksud dengan umroh di sini ialah mengunjungi Ka‟bah untuk

melakukan tawâf di sekelilingnya, sa’i antara Safâ dan Marwah dan kemudian

mencukur rambut.26 Bedanya di sini, selain dalam umroh tidak ada ritual wuqûf di

26
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1417 H/1997
M) h. 102
46

padang Arafah juga umroh boleh dilakukan dalam bulan apapun sepanjang tahun.

Berbeda dengan haji yang waktunya hanya tiga bulan dan ada ibadah wuqûf

sebagai rukunnya.

Hikmah Haji

Disebutkan dalam buku Fiqh Islam bahwa guna menguatkan rasa

persatuan dan menanamkan semangat suka bekerja bersama-sama untuk

kepentingan bersama, Islam telah membuat beberapa aturan.27 Di antaranya

adalah dengan menyuruh solat berjama‟ah setiap waktu, menyuruh solat Jum‟at

seminggu sekali, dan sesudah itu disuruh pula solat hari raya dua kali setahun.

Semua itu untuk menguatkan persatuan antara beberapa golongan yang

berdekatan.

Termasuk di antaranya juga adalah ibadah haji. Ibadah ini bisa dikatakan

sebagai sebuah forum permusyawaratan sedunia Islam, karena ibadah ini dihadiri

oleh segala utusan, baik dari barat, timur, selatan, dan utara, dengan tidak

memandang bangsa dan warna kulit. Para jama‟ahnya berpakaian sama,

berkumpul pada satu tempat dan satu waktu, yaitu di padang Arafah dan Mina.

Dalam pertemuan yang amat besar itu, dapatlah mereka berkenalan satu sama lain,

dan bertambah teguhlah persatuan dan perasaan saling memiliki antara mereka.

Sedangkan K.H. Drs. Muchtar Adam, dalam bukunya Tafsir Ayat-ayat

Haji setelah menafsirkan QS. Al-Hajj/22: 28, ia merincikan beberapa manfaat

haji, di antaranya ialah:28

27
Rasjid, Fiqh Islam …, h. 277
28
Muchtar Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996 M/1416 H) cet. 5, h. 22
47

 Melatih diri dengan mempergunakan seluruh kemampuan mengingat

Allah dengan khusyû’ pada hari-hari yang telah ditentukan dengan

memurnikan kepatuhan dan ketundukan hanya kepada-Nya saja.

 Menimbulkan rasa perdamaian dan rasa persaudaraan sesame kaum

muslimmin.

 Mencoba mengalami dan membayangkan kehidupan di akhirat nanti,

yang pada waktu itu tidak seorang pun dapat memberikan pertolongan

kecuali Allah SWT.

 Menghilangkan rasa harga diri yang berlebih-lebihan.

 Menghayati kehidupan dan perjuangan nabi Ibrahim beserta putranya

Isma‟il dan Muhammad saw beserta para sahabatnya.

 Sebagai Muktamar Islam seluruh dunia.

Adapun hikmah peribadatan haji bila merujuk pada ayat 197 surat al-

Baqarah, maka penulis di sini menambahkannya lebih lanjut yaitu, segala bentuk

dan kebolehan dalam ibadah haji—termasuk dalam hal perniagaan—akan

mendorong para jama‟ahnya agar setelah selesai berhaji nantinya terwujud insan-

insan mutawakkilûn seperti Ibrahim as, dan mampu mengingat bahwa dalam

setiap gerak langkahnya dalam kehidupan duniawi, mereka mampu mengingat

tuhannya, baik saat jual beli, makan, mandi, berwudu, tidur, saat susah, senang,

dan sebagainya semua adalah dari Allah. Ia yang menunjukkan dan Ia pulalah

yang menggerakkan sendi-sendi tingkah manusia.


48

C. Problematika Ritual Haji Zaman Sekarang

1. Jumlah Jama’ah

Sebagai salah satu rukun Islam yang terakhir, tentu ibadah haji merupakan

suatu ibadah yang menarik hati jutaan muslim agar melaksanakannya dengan

tulus ikhlas. Belum lagi begitu kuatnya image positif haji tersebut, yang seringkali

membuat golongan kaya dan terkenal dengan mudahnya mendaftarkan diri agar

bisa pergi ke baitullah berkali-kali semakin menambah membludaknya jumlah

jama‟ah yang berada di Mekah, tak terkecuali juga muslimin dari Indonesia, yang

notabene merupakan negara berpenduduk muslim terbanyak dunia.

Memang setiap muslim hanya berkewajiban satu kali saja menunaikan

ibadah haji selama hidup. Tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit yang

melakukannya lebih dari sekali. Sesuai kesepakatan Organisasi Konferensi Islam

(OKI), setiap negara hanya memperoleh kuota sebesar satu per mil atau

seperseribu dari total populasi penduduknya.29

Setiap tahun, Mekah dibanjiri dua hingga tiga juta calon jama‟ah haji.

Kota suci umat Islam ini pun dituntut untuk terus berkembang demi

mengakomodir ibadah rukun itu. Tak heran, pada tahun 2009, pemerintah Saudi

pun merencakan sebuah ekspansi dan proyek renovasi dan terbilang cukup

ambisius, dengan anggaran yang setara produk domestik bruto (PDB) sebuah

negara kecil, yakni US$125 miliar.30

29
Ringkasan Berita Terakhir “Kewajiban Haji Hanya Sekali”, diakses pada tanggal 05
Mei 2010 dari
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=145212&actmenu=39
30
Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”, diakses pada tanggal
05 Mei 2010 dari
49

Begitu membludaknya orang di Mekah pada musim haji, tentu

memunculkan berbagai permasalahan, dikabarkan setiap adzan Subuh menjelang,

para jamaah haji selalu antre ke toilet. Mulai dari sekedar wudlu hingga

membersihkan diri. Namun untuk sekitar 2.000 jamaah hanya tersedia 10 toilet.

Alhasil jamaah musti antre lama. Bisa dibayangkan berapa waktu yang terbuang

untuk antrian selama itu. Sebagian jamaah pun jadi tak sabar. Ada yang menyikat

gigi di luar toilet, sampai ada yang buang air pun di luar toilet. Belum lagi fasilitas

yang tidak memadai, air toilet menetes terus menerus menjadikan lantai basah,

licin, dan tidak bersih.31 Kondisi ini juga semakin menambah tumpukan sampah

berbau persis di depan pemondokan haji.

Untuk urusan transportasi, banyaknya jumlah jamaah haji juga seringkali

menyebabkan kemacetan. Untuk menempuh jarak 6 kilometer saja dari Mina ke

Masjid al-Haram di Mekah, diperlukan waktu dua sampai tiga jam untuk

menembus kemacetan lalu lintas di jalan akses yang harus dilewati. Namun, mulai

musim 1431 H (2010) ini, angkutan monorel yang menghubungkan kota suci

Mekah dan lokasi peribadatan di Mina, Muzdalifah direncanakan sudah akan

beroperasi. Studi kelayakan juga sedang dilakukan untuk memperluas jaringan

monorel ke stasiun dekat Masjid al-Haram, Mekah yang menghubungkan kedua

kota suci, Mekah dan Madinah, berjarak sekitar 420 kilometer. Proyek bernilai

miliaran Riyal—tahap pertama SR 6,7 miliar atau sekitar Rp. 167,5 triliun—yang

http://kliping.depag.go.id/downloads/355ae1c226c49408c1ace338ddb3c3a5.pdf
31
Ringkasan Berita Terakhir “Jama‟ah Antre karena Toilet Tak Memadai”, diakses pada
tanggal 05 Mei 2010 dari
http://liputan6.com
50

merupakan kerja sama antara Arab Saudi dan China ini dirancang untuk

mengangkut lima juta penumpang.32

Berkaitan dengan megaproyek yang ditargetkan tuntas selama 10 tahun di

atas, nantinya bermula dari ekspansi Masjid al-Haram yang akan diperluas hingga

400 ribu meter persegi. Tahap pertama adalah perluasan al-Massa yang

sebenarnya sudah dua kali lipat ukuran aslinya. Tempat ini akan ditambahkan

lantai lagi untuk mempermudah calon jama‟ah haji ketika melakukan ibadah sa’i

antara Safâ dan Marwah. Kapasitasnya saat ini 100 ribu jama‟ah per jam dan

pemerintah Saudi bermaksud menggandakannya. Megaproyek ini dilanjutkan ke

area sipil, layanan publik, serta infrastruktur. Antara lain beberapa perbaikan di

gua Mina, padang Arafah, dan Muzdalifah.33

Dalam beberapa tahun ke depan diyakini jumlah muslim akan berlipat

ganda. Demikian pula dengan arus informasi dan teknologi yang terus meluas

selama satu dekade terakhir. Megaproyek ini pun sangat penting untuk

mengakomodasi umat muslim yang akan menunaikan ibadah haji dan umroh.34

Namun demikian, pelaksanaan proyek raksasa ini tentu tak mudah

direncanakan mengingat semuanya harus berjalan paralel, dalam artian, hal ini

akan memakan dana yang besar dan butuh kerjasama berbagai pihak. Belum lagi

ditambah topografi Mekah yang berada di atas lembah dan pegunungan tinggi

32
Ringkasan Berita Terakhir “Naik Haji Tahun Depan Lebih Nyaman”, diakses pada
tanggal 05 Mei 2010 dari
http://www.antaranews.com/berita/1259608664/naik-haji-tahun-depan-lebih-nyaman
33
Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”.
34
Vina Ramitha, “Politik Internasional: Penuhi Kebutuhan Haji”, diakses pada tanggal 05
Mei 2010 dari
http://inilah .com
51

serta adanya kritikan masyarakat yang tentunya tak menginginkan pembangunan

tersebut merusak sejarah kota dan membuat segalanya terlihat modern.

Dalam hal ini, Walikota Mekah, Osama al-Bar menegaskan:

“Ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima ini takkan bisa dilakukan
dengan jumlah muslim yang semakin banyak dan mereka harus
berdesakkan di jalanan kecil. Bagian terpenting seperti masjid dan gua-gua
suci takkan kami ubah. Tempat-tempat ini historis, akan kami pertahankan
hingga akhir jaman. Perubahan ini hanya permukaan saja. Seperti moda
transportasi, kenyamanan masyarakat yang akan meningkat, serta
lingkungan yang sangat mendukung bagi pelaksanaan ibadah ini.”35

Dari pernyataan ini, semoga esensi ibadah haji dimana umat Islam

melakukan napak tilas perjuangan nabi Ibrahim as. takkan berubah. Ka‟bah atau

rumah Allah akan tetap menjadi pusat ibadah di negara yang mampu mengeruk

keuntungan hingga miliaran dolar tiap tahunnya karena haji dan umroh itu.

Dari gambaran permasalahan jumlah jama‟ah yang membludak di atas,

banyak pula jama‟ah yang terkena berbagai penyakit saat melakukan ibadah haji,

bahkan tak sedikit di antara mereka yang harus kehilangan nyawa. Kepadatan dan

masyaqqât yang dirasakan oleh pemerintah Saudi ini serupa juga dengan yang

dirasakan Masdar yang melatar belakanginya untuk meninjau waktu haji dalam al-

Qur‟an.

2. Registrasi di Negeri Masing-masing

Bukan hanya merepotkan jama‟ah, pada saat musim haji, registrasi

maupun transportasi juga merepotkan regulator dan kontroler di negeri masing-

masing. Mirisnya, pada beberapa negara, terkadang pihak pemerintahnya ada

35
Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”.
52

yang mengambil peran ganda tersebut sekaligus mengambil keuntungan finansial

dari berkahnya haji, seperti di Indonesia.

Mengenai jumlah jama‟ah haji di Indonesia sendiri, berdasarkan keputusan

OKI, kuotanya mencapai 200 ribu. Sekitar 20 ribu dari jumlah tersebut mengikuti

program ONH Plus.36 Selain biaya formal, seorang jama‟ah biasanya

mengeluarkan biaya non-formal, semisal untuk biaya tasyakuran sebelum

keberangkatan dan kepulangan jama‟ah. Biaya formal untuk ONH Biasa dan Plus

masing-masing 2500 dollar AS dan 4000 dollar AS. Ini artinya, secara

keseluruhan, rata-rata setiap jama‟ah haji mengeluarkan biaya kurang lebih 23 juta

rupiah ONH Biasa, dan 35 juta rupiah untuk jama‟ah ONH Plus.

Dari keseluruhan jama‟ah haji, dapat dikategorikan secara acak dalam

beberapa bagian: pertama, sekitar 20 persen (ONH plus sekitar 30 persen) dari

mereka melakukan ibadah haji bukan untuk pertama kalinya. Padahal ibadah haji

diwajibkan sekali seumur hidup, itupun bagi mereka yang secara ekonomi

mampu. Artinya, biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan ibadah haji relatif

kecil dibandingkan dengan keseluruhan aset harta yang dimiliki. Ini berarti bahwa

total biaya keseluruhan yang dikeluarkan jemaah haji kategori ini sebesar 578

milyar rupiah.37

Kedua, sekitar 30 persen dari jemaah haji ONH biasa adalah muslimin

yang secara ekonomi termasuk kategori menengah. Biasanya, biaya haji yang

mereka keluarkan didapatkan dari hasil menjual aset keluarga yang sebenarnya

36
“Jama‟ah ONH Plus”, Kompas, 31 Januari 2004, h. 1
37
Muhammmad Ja‟far, “‟jalan Lain‟ Berhaji dan Berqurban”, artikel diakses pada tanggal
03 Maret 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/jalan-lain-berhaji-dan-berqurban/
53

merupakan harta yang relatif masih dibutuhkan untuk menunjang perekonomian

keluarga. Namun, karena motivasi dan sekian banyak tendensi (misalnya, prestise

sosial), mereka mempertimbangkan untuk berhaji. Padahal, selain haji, Islam

menyediakan berbagai bentuk ritual lainnya, yang selain dapat dijalankan tanpa

biaya (gratis), juga tidak kalah efektifnya untuk menempa iman dan takwa jika

diaplikasikan secara serius dan konsisten. Inilah latar belakang mengapa haji

diwajibkan hanya sekali seumur hidup bagi mereka yang mampu.

Ketiga, sekitar 10 persen dari jama‟ah haji kita adalah muslimin yang

secara ekonomi adalah menengah ke bawah. Biasanya biaya yang mereka

gunakan untuk menunaikan ibadah haji didapatkan dari hasil pinjaman atau dari

hasil menjual aset keluarga satu-satunya dan paling berharga. Maka tak jarang

keputusan untuk menunaikan ibadah haji ini memberi pukulan telak pada

perekonomian mereka. Ditinjau dari hukum haji, pelaksanaan haji dalam kondisi

perekonomian keluarga yang demikian, bahkan dapat dikategorikan haram. Sebab

menafkahi keluarga jauh lebih wajib dari ibadah haji. Sehingga jika seorang

muslim yang tidak mampu secara ekonomi memaksakan untuk beribadah haji,

maka itu berarti ia telah meninggalkan sebuah kewajiban demi sesuatu yang tidak

diwajibkan baginya.38

Begitu juga ketika kita melihat masalah tradisi kurban pada Idul Adha.

Jumlah kaum muslimin 85 persen dari total populasi di Indonesia 220 juta jiwa.

Jika 20 persen kaum muslimin secara ekonomi menengah ke atas, dan 5 persen

38
Ja‟far, ““jalan Lain” Berhaji dan Berqurban”.
54

dari jumlah tersebut menjalankan tradisi kurban, maka jumlah hewan yang

dikurbankan setiap tahunnya bisa mencapai sekitar 1.870.000 juta ekor hewan

kurban—termasuk seorang muslim yang berkurban lebih dari satu hewan—. Jika

spesifikasinya sekitar 20 persen (374.000) hewan yang dikurbankan adalah sapi,

dan selebihnya 1.496.000 kambing atau domba, sementara harga seekor kambing

atau domba rata-rata 400 ribu rupiah, dan harga sapi 1,5 juta rupiah, maka total

biaya yang dibutuhkan sebesar 1,1594 trilyun rupiah. Sebuah jumlah yang

tentunya cukup fantastis.

Anda mungkin juga menyukai