jamaknya
Islam itu dibagun atas lima perkara, yakni bersaksi bahwa tidak ada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan naik
haji. (HR. Bukhari dan Muslim)
itu didominasi dan diblokir oleh kaum kafir Quraisy tidak aman. Ini
merupakan suatu indikasi bahwa factor keamanan merupakan syarat
ekstern kewajiban ibadah haji.
Tidak hanya al-Quran dan hadits yang menjadi dasar kewajiban
melaksanakan ibadah haji ini, semua ummat Islam juga sepakat
menyatakan bahwa ibadah haji merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan sekali seumur hidup bagi orang yang mampu.
B. Miqat Haji dan Umrah
Miqat menurut bahasa adalah berasal dari kata yang berarti
waktu, yakni waktu beribadah dan tempatnya, bisa juga
berarti ( batas).[7] Sedangkan menurut istilah haji dan umrah, miqat
adalah batas waktu atau tempat untuk memulai ihram haji/umrah.
[8]
Ari definisi miqat ini dapat difahami bahwa miqat ada dua macam,
pertama miqat zamani, yaitu masa memulai ihram, dan kedua miqat
makani, yaitu tempat memulai ihram. Berikut akan dijelaskan lebih
rinci.
1. Miqat Zamani
Miqat Zamani Haji
Miqat zamani adalah batas waktu untuk
melaksanakan amaliah (amalan-amalan) haji. Jika amaliah haji
dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan, maka haji yang
dilakukan tidak sah. Allah swt. menyatakan bahwa ibadah haji
memiliki waktu-waktu tertentu untuk pelaksaannya. hal ini terlihat
dalam firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 197:
.
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji,
Maka tidak boleh rafats (berkata jorok), berbuat Fasik dan berbantahbantahan di dalam masa mengerjakan haji.
Di ayat lain Allah juga menjelaskan tentang miqat zamani:
....
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat)
haji. (QS. Al-Baqarah: 189)
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan bulan-bulan
haji adalah bulan Syawal dan Dzulqadah. Mereka berbeda pendapat
mengenai bulan Dzulhijjah, apakah semua bulan Dzulhijjah masuk
dalam kategori bulan-bulan haji atau hanya sepuluh hari dari bulan
Dzulhijjah saja.
Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Masud, Madzhab Hanafi, Syafii, dan
Ahmad berpendapat bahwa yang termasuk bulan-bulan haji adalah
sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Pendapat ini juga
dipegang oleh Abdullah bin Umar, jumhur sahabat, tabiin,
menyatakan bahwa waktu pelaksanaan ibadah haji adalah bulan
syawal, Dzulqadah, dan sepuluh hari di awal Dzulhijjah.
Sedikit perbedaan di antara mereka tentang Yaum an-Nahr (hari
raya), Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
hari nahr merupakan bagian dari hari pelaksanaan haji. Sedangkan
menurut Malikiyah bahwa batas waktu pelaksanaan haji terhitung
mulai dari malam idul fitri sampai waktu fajar di hari nahr. Jika
seseorang berihram sebelum awal buan Syawal maka hukumya
adalah makruh meski hajinya tetap dinilai sah.[9] Demikian juga
dengan Imam Syafii menyatakan bahwa bulan haji mulai 1 Syawal
sampai dengan terbit fajar 10 Dzulhijjah.[10]
Imam Malik dan Ibn Hazm berpendapat bahwa seluruh bulan
Dzulhijjah adalah bulan haji. Dua bulan sepuluh hari menurut Imam
Malik dan Ibn Hazm tidak dapat disebut dengan bulan-bulan haji. Di
samping itu, melempar jumrah yang merupakan bagian dari amliah
haji dilaksanakan pada hari ketiga belas Dzulhijjah. Begitu juga
dengan tawaf ifadhah yang juga termasuk bagian fardhu haji, bisa
dilakukan dalam bulan Dzulhijjah. Hal ini telah disepakati oleh para
ulama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bulan-bulan haji
melaksanakan ibadah haji akan tetapi idak melewati salah satu miqat
yang ditetapkan oleh Nabi, maka hendaklah dia ihram dari tempat
yang menurutnya setentang dengan miqat yang ada nashnya, baik itu
di laut maupun di darat. Apabila ternyata setentang dengan dua
miqat, maka hendaklah dia ihram dari miqat yang lebih dekat
padanya, namun kalau tidak ada yang setentang dengan salah satu
dari miqat yang ada nashnya tersebut, maka hendaklah ia ihram 2
marhalah dari Makkah.
Adapun menurut Hanafiah, miqat haji dan umrah bagi orang
yang bukan melewati miqat yang ditentukan Nabi adalah dari
kampung asalnya, atau dari mana saja yang dia mau antara kampung
asalnya dengan tanah Haram. Mereka berdalilkan kepada firman
Allah surat al-Baqarah ayat 196:
....
Ayat ini telah ditafsirkan oleh imam Ali dan Ibn Masud dengan
ihram dari kampung asalnya.[31]
Adapun kronologis pelaksanaan haji bagi gelombang pertama
(dari kloter pertama sampai sekian..) yakni setibanya di Jeddah
langsung berangkat menuju Madinah pada tanggal 1 Dzulqadah dan
berdiam di sana selama 10 hari, kemudian pada tanggal 11
Dzulqadah menuju Makkah dengan terlebih dahulu memakai pakaian
ihram, berkumpul di miqat Bir Ali dan berniat ihram di tempat ini,
kemudian melanjutkan perjalanan ke Makkah, melaksanakan umrah
untuk haji tamattu. Setelah melaksanakan tahallul para jamaah
menunggu hari tarwiyah guna ihram untuk haji.
b) Gelombang kedua, yang langsung ke Makkah, maka ihram
umrahnya di Yalam-lam atau di Jeddah, dan ihram hajinya untuk
wuquf di Arafah dari maktabnya masing-masing di Makkah.[32]
Hal ini berdasarkan fatwa MUI pada tanggal 4 Mei 1996 tentang miqat
makani yang sudah disebutkan di atas, yaitu: bagi jamaah haji
Indonesia yang langsung ke Mekkah miqatnya di Bandara King Abdul
Aziz-Jeddah, dengan pertimbangannya bahwa jarak dari bandara
King Abdul Aziz dengan Makkah adalah 102 km melebihi jarak Yalamlam dengan Makkah yang hanya berjarak 94 km.[33]
Ketentuan di atas hanya berlaku bagi jamaah calon haji dari
Indonesia gelombang kedua, karena dari bandara Bandara King
Abdul Aziz mereka langsung menu Makkah. Sedangkan bagi jamaah
haji gelombang pertama tidak ada masalah karena dari Indonesia
mereka langsung menuju Madinah, dan mereka bisa ihram dan
bermiqat di Dzulhulaifah (Bir Ali) sama dengan miqat jamaah haji dari
Madinah.
Berdasarkan fatwa MUI di atas, timbul kesan adanya inisiatif untuk
menghilangkan kesulitan dalam pelaksanaan ibadah haji, dan hal ini
merupakan hal yang positif. Akan tetapi, patut untuk dipertanyakan
karena Rasululullah saw. telah menentukan tempat-tempat tertentu
untuk memulai ihram (miqat) yang tidak bisa dirubah begitu saja
tanpa adanya alasan yang jelas dan kuat. Hal ini mengigat fatwa MUI
didasarkan pada penerapan kaidah qiyas dengan illat jarak yang
melebihi jarak antara Makkah dengan Yalam-lam. Akan tetapi
persoalannya, apakah qiyas yang dilakukan dan diterapkan tersebut
tidak berlawanan dengan petunjuk-petunjuk Rasulullah yang secara
kualitas menunjukkan QathI, baik dari segi dalalah maupun wurudnya. Apalagi untuk bebrapa tahun terakhir, rute perjalanan haji
Indonesia tidak seperti yang dikemukakan di atas, namun pesawat
dari Indonesia langsung menuju Jeddah dengan melewati Yaman,
bahkan melintasi Yalam-lam. Namun MUI tidak mengubah fatwanya
untuk menetapkan satu alternative penetapan miqat tidak lagi di
Jeddah, melainkan dilakukan di pesawat ketika melintasi Yalam-lam.
Pendekatan qiyas yang dilakukan oleh MUI tidak berdiri sendiri, tetapi
diilhami oleh pendapat Imam Nawawi tentang kebolehan melakukan
miqat bagi orang yang tidak melewati salah satu miqat yang
ditentukan Nabi dengan syarat mempuyai jarak (2) marhalah dari
Makkah.[34] Ketentuan jarak (2) marhalah ini berdasarkan ijtihad Umar
bin Khattab yang menetapkan miqat Dzatu Irqin sebagai miqat bagi
III. KESIMPULAN
Pada saat di pesawat mengambul garis sejajar dengan Qarn alManazil, tetapi ada kesulitannya yaitu: sulit memakai pakaian ihram di
pesawat, sulit untuk mengambil air wudhu, dan sulit menentukan
tepatnya miqat sejajar dengan Qarn al-Manazil.
Kementrian Perwakafan dan Sosial Islam, Al-Mausuah alFiqhiyyah, (Kuwait: Pustaka Kementrian Perwakafan dan Sosial
Islam, 2006), cet. IV, Jilid. XVII, hal. 23
[2] Ibid, Hal. 7
[3] Ibid., hal. 23
[4] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa
Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), jilid III, cet. II, hal. 8
[5] T.M. Hasbi Ash Shiddiqy, Pedoman Haji, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1983), cet. III, hal. 26
[6] Wahbah al-Zuhaili, op.cit., hal. 9
[7] As-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj ila Marifati Maani alfazi alMuhtaj,(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000). Jilid. II, hal. 222.
[8] Muhammad Ahmad, Fiqh al-Hajj wa al-Umrah wa az-Ziyarah,
(Jeddah:Dar al-Mathbuah al-Haditsah, 1987), hal. 58
[9] Lihat Hasan Kamil al-Malathawi, Fiqh al-Ibadah Ala
Madzhabi al-Imam Malik, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah,
1996), hal.272
[10] Abdurrahman, Kitab al-Fiqh Ala Madzhabi al-Arbaah,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hal. 632
[11] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Kairo: Dar Fath li al-Ilami
al-Arabi, t.th), hal. 464
[12] Wahbah al-Zuhaili, op.cit., hal. 66
[13] Wahbah, op.cit., hal. 67
[14] Sayyid Sabiq, op.cit., hal. 465
[15] Suatu tempat di dekat Madinah, sekarang tempat ini dikenal
dengan nama Bir Ali, jaraknya dengan Madinah enam mil, dan
jaraknya dengan Makkah sepuluh marhalah.
[16] Al-Juhfah dikenal juga dengan nama Mahyaah suatu
daerah yang cukup dekat dengan Makkah, yaitu kira-kira tiga
marhalah. Dinamai dengan Juhfah karena banjir menyapu bersih
(menghanyutkan) daerah ini pada zaman dahulu.
[17] Daerah dua marhalah dari Makkah
[18] Suatu gunung dua marhalah dari Makkah
[19] Abu Hamid al-GHazali, Al-Wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam
as-Syafii, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), hal. 94.
[20] Perkampungan sekitar dua marhalah dari Makkah
[21] Abu Hamid al-Ghazali, op.cit., hal. 196
[22] Basrah dan Kufah
[23] Jika penduduk Syam ingin melaksanakna ibadah haji dan
dia melewati Madinah, maka miqatnya adalah Dzulhulaifah karena dia
melewati tempat itu. Dia tidak boleh mengakhirkan ihram hingga
[1]
melalui miqat yang asli ayaitu Rabigh. Jika dia mengakhirkannya, dia
telah melakukan kesalahan d an dalam pandangan mayoritas ulama
harus membayar denda.
[24] Wahbah al-Zuhaili, op.cit., hal. 71
[25] Sayyid Sabiq, op.cit., hal. 466
[26] Departemen Agama RI, Pola Bimbingan Manasik Calon
Jamaah Haji, (Jakarta: Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan
Umrah, 2007), hal. 21-22
[27] Matdawan Noor H.M, Ibadah Haji dan Umrah, (Yogyakarta:
CV. Bina Usaha, 1993), hal. 107
[28] Direktort Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), hal.
46-47
[29] Ibid., hal. 48-49
[30] Ibid., hal. 50-51
[31] Wahbah al-Zuhaili, op.cit., hal. 69-70
[32] Ibid, hal. 108
[33] Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1994), cet. II, hal. 477
[34] Imam Nawawi, Matan al-Idhah fi Manasik alHajj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hal. 36
[35] Sebab kedhaifan hadits ini bukan dari bersambung atau
tidaknya sanad melainkan di antara sanad ada nama al-Jauzi yang
dikategorikan oleh Imam Nawawi kepada rawi yang dhaif).
[36] Imam Nawawi, al-Majmu Syarah al-Muhadzdzab, (Kairo:
Dar al-Fikr al-Arabiyah, t.th), hal 191-197