Anda di halaman 1dari 19

Fiqh

Sabtu, 28 Desember 2013

MIQAT BAGI JAMAAH HAJI


INDONESIA
I. PENDAHULUAN

Dalam membicarakan miqat haji Indonesia di saat sekarang ini,


akan tetap terkait dengan pembicaraan tentang haji dan umrah serta
tata cara pelaksanaannya, yang telah ditetapkan oleh syariat dan
bersesuaian dengan pendapat ahli fiqh di masa lampau dan diadakan
perpadanan pendapat mereka dengan situasi dan kondisi masa kini.
Dalam pelaksanaan ibadah haji, setiap orang harus mengetahui
di mana tempat miqat dan kapan waktu miqat yang dalam fiqh disebut
dengan miqat makanidan miqat zamani. Karena kalau tidak
mengetahui akan kedua miqat ini, nantinya akan berimplikasi
terhadap sah atau tidaknya ibadah haji yang dilaksanakannya.
Masalah miqat ini cukup menarik untuk dikaji, di samping karena
karena keberadaannya tidak terlepas dari sahnya ibadah haji
seseorang, juga karena miqat haji terutama jamaah haji dari
Indonesia pun mengalami perkembangan dikarenakan adanya
peraturan pemerintah Indonesia tentang pengelompokan terbang
calon jamaah haji, sehingga para calon jamaah haji terpusat di
Makkah dan Madinah, tidak lagi dari pelabuhan Jedah. Jika jamaah
calon haji beranjak dari pelabuhan laut Jeddah akan dimulai miqat
dari Yalamlam sesuai dengan miqat makani orang Yaman.

Dalam makalah ini penulis akan mejelaskan tentang miqat


jamaah haji dari Indonesia disaat sekarang ini. Mudah-mudahan
dapat menambah wawasan kita tentang haji dan umrah yang
merupakan bagian dari fiqh ibadah.
II. PEMBAHASAN

A. Definisi Haji dan Umrah


Haji secara etimologi berasal dari kata:

jamaknya

. Hal ini terlihat dalam ungkapan berikut:


[1]. : : :

Para ahli linguistik mengartikan haji secara etimologi


dengan: ( menuju sesuatu yang diagungkan). Sedangkan
para ulama menyatakan bahwa kata haji dikhususkan maknanya
dengan mengunjungi kabah untuk beribadah.[2]
Adapu secara terminologi haji adalah:
) ( ) (

[3].

Ingin mengunjungi tempat tertentu (yaitu baitul haram dan Arafah) di


waktu khusus (yaitu di bulan haji) untuk melaksanakan kegiatan
tertentu yaitu wuquf di Arafah, thawaf, dan sai menurut pendapat
jumhur ulama, serta dengan syarat yang khusus pula.
Wahbah al-Zuhaili mendefinisakan haji dengan:
].
[4

Mengunjungi Kabah untuk melaksanakan kegiatan tertentu, atau


mengunjungi tempat tertentu, pada waktu tertentu, dan dengan
kegiatan tertentu pula.
Adapun Umrah secara etimologi menurut Ibn Faris ada dua
makna: pertama, dan , lalau dikhususkan lagi kata umrah ini
dengan mengunjungi kabah. Sedangkan menurut terminologi,
umrah adalah menziarahi kabah berthawaf di sekelilingnya, bersayu
antara safa dan marwah dan bercukur atau menggunting rambut.[5]

Ibadah haji merupakan suatu ibadah yang difardhukan bagi


setiap mukallaf yang mampu, sekali dalam seumur hidup, dan ibadah
ini merupakan salah satu rukun Islam yang lima. Ibadah ini menurut
sebagian ulama disyariatkan pertama kali pada akhir tahun ke 9
hijriyah, [6] ada juga yang mengatakan pada tahun ke 6 hijriyah tepat
pada turunnya surat al-Baqarah ayat 196. Adapun perintah yang
mewajibkan ibadah haji ini dapat ditemukan dalam al-Quran, di
antaranya surat Ali Imran ayat 97:
. ...

dan diantara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakn


ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu
Walaupun dalam ayat ini taklif-nya diwajibkan kepada seluruh
manusia, tetapi dengan mempergunakan takhsis bi
al-aql (mengeluarkan sebagian satuan yang dicakup oleh keumuman
lafal dengan mempergunakan pertinggalan akal), maka kewajiban itu
akhirnya hanya ditujukan kepada umat Islam yang telah baligh,
berakal dan mampu.
Demikian juga di dalam hadits nabi saw. juga ditemukan
perintah untuk melaksananakn ibadah haji ini, di antaranya dari Ibn
Umar ra. bahwa Nabi saw. bersabda:
:
( ) .

Islam itu dibagun atas lima perkara, yakni bersaksi bahwa tidak ada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan naik
haji. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadits di atas dapat difahami bahwa haji diwajibkan bagi


orang yang sanggup untuk melaksanakannya. Tambah lagi, kewajiban
tersebut hanya apabila tempat yang dilalui maupun yang akan dituju
berada dalam keadaan aman. Hal ini sesuai dengan pedoman bahwa
rasul tidak jadi melaksanakan haji ketika situasi Makkah pada masa

itu didominasi dan diblokir oleh kaum kafir Quraisy tidak aman. Ini
merupakan suatu indikasi bahwa factor keamanan merupakan syarat
ekstern kewajiban ibadah haji.
Tidak hanya al-Quran dan hadits yang menjadi dasar kewajiban
melaksanakan ibadah haji ini, semua ummat Islam juga sepakat
menyatakan bahwa ibadah haji merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan sekali seumur hidup bagi orang yang mampu.
B. Miqat Haji dan Umrah
Miqat menurut bahasa adalah berasal dari kata yang berarti
waktu, yakni waktu beribadah dan tempatnya, bisa juga
berarti ( batas).[7] Sedangkan menurut istilah haji dan umrah, miqat
adalah batas waktu atau tempat untuk memulai ihram haji/umrah.
[8]

Ari definisi miqat ini dapat difahami bahwa miqat ada dua macam,

pertama miqat zamani, yaitu masa memulai ihram, dan kedua miqat
makani, yaitu tempat memulai ihram. Berikut akan dijelaskan lebih
rinci.
1. Miqat Zamani
Miqat Zamani Haji
Miqat zamani adalah batas waktu untuk
melaksanakan amaliah (amalan-amalan) haji. Jika amaliah haji
dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan, maka haji yang
dilakukan tidak sah. Allah swt. menyatakan bahwa ibadah haji
memiliki waktu-waktu tertentu untuk pelaksaannya. hal ini terlihat
dalam firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 197:
.
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji,
Maka tidak boleh rafats (berkata jorok), berbuat Fasik dan berbantahbantahan di dalam masa mengerjakan haji.
Di ayat lain Allah juga menjelaskan tentang miqat zamani:


....
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: bulan

sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat)
haji. (QS. Al-Baqarah: 189)
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan bulan-bulan
haji adalah bulan Syawal dan Dzulqadah. Mereka berbeda pendapat
mengenai bulan Dzulhijjah, apakah semua bulan Dzulhijjah masuk
dalam kategori bulan-bulan haji atau hanya sepuluh hari dari bulan
Dzulhijjah saja.
Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Masud, Madzhab Hanafi, Syafii, dan
Ahmad berpendapat bahwa yang termasuk bulan-bulan haji adalah
sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Pendapat ini juga
dipegang oleh Abdullah bin Umar, jumhur sahabat, tabiin,
menyatakan bahwa waktu pelaksanaan ibadah haji adalah bulan
syawal, Dzulqadah, dan sepuluh hari di awal Dzulhijjah.
Sedikit perbedaan di antara mereka tentang Yaum an-Nahr (hari
raya), Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
hari nahr merupakan bagian dari hari pelaksanaan haji. Sedangkan
menurut Malikiyah bahwa batas waktu pelaksanaan haji terhitung
mulai dari malam idul fitri sampai waktu fajar di hari nahr. Jika
seseorang berihram sebelum awal buan Syawal maka hukumya
adalah makruh meski hajinya tetap dinilai sah.[9] Demikian juga
dengan Imam Syafii menyatakan bahwa bulan haji mulai 1 Syawal
sampai dengan terbit fajar 10 Dzulhijjah.[10]
Imam Malik dan Ibn Hazm berpendapat bahwa seluruh bulan
Dzulhijjah adalah bulan haji. Dua bulan sepuluh hari menurut Imam
Malik dan Ibn Hazm tidak dapat disebut dengan bulan-bulan haji. Di
samping itu, melempar jumrah yang merupakan bagian dari amliah
haji dilaksanakan pada hari ketiga belas Dzulhijjah. Begitu juga
dengan tawaf ifadhah yang juga termasuk bagian fardhu haji, bisa
dilakukan dalam bulan Dzulhijjah. Hal ini telah disepakati oleh para
ulama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bulan-bulan haji

adalah tiga bulan secara keseluruhan, yaitu Syawal, Dzulqadah dan


Dzulhijjah.[11]
Perbedaan pendapat ini tampak ketika sebagian amaliah haji
dilakukan setelah hari nahr (kurban). Orang yang mengatakan bahwa
bulan Dzulhijjah secara keseluruhan termasuk bulan-bulan haji ,
baginya tidak berkewajiban membayar dam jika mengakhirkan
melaksanakan wajib haji atau rukun haji. Sementara orang yang
berpendapat bahwa yang terhitung dalam bulan haji hanya sepuluh
hari dari bulan Dzulhijjah, dia berkewajiban membayar dam jika
mengakhirkan.
Miqat Zamani Umrah
Para ulama sepakat bahwa umrah boleh dilaksanakan kapan
pun di sepanjang tahun, baik itu di bulan haji maupun tidak. Artinya
miqat umrah tidak ada waktu yang khusu untuk melaksanaknnya, hal
berdasrkan apa yang pernah Rasulullah lakukan, seperti beliau
melaksanakan umrah dua kali di bulan Dzulqadah dan dua kali di
bulan Syawal (HR. Abu Daud dari Aisyar ra.). dari sinilah para ulma
juga menyimpulan bahwa umrah boleh dilaksanakan satu atau dua
kali dalam sebulan.[12] Seperti yang diinformasikan Anas bin Malik,
beliau berkata:

Rasulullah saw. melakukan umrah sampai empat kali, kesemuanya


itu beliau laksanakan di bulan Dzulqadah beserta Ibadah
hajinya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Umrah yang satu ke umrah selanjutnya adalah pengampunan


dosa. (HR. Bukhari dan Muslim dari AAbu Hurairah)
Meskipun kebanyakan ulama menyatakan kebolehan
melaksanakan umrah kapan pun sepanjang tahun, namun menurut
Hanafiah, umrah makruh dilaksankan pada hari Arafah,

hari Nahr (hari penyembelihan qurban/hari raya Idul Adha), dan


haritasyriq.[13]
2. Miqat makani
Miqat makani adalah tempat dimulainya ihram bagi orang yang
ingin melaksanakan ibadah haji atau umrah. Orang yang
melaksanakan ibadah haji atau umrah tidak boleh melewati tempattempat ihram tanpa (mengenakan pakaian) ihramdi tempat tersebut.
Mengenai tempat-tempat ihram, Rasulullah saw. telah
menjelaskannya. Beliau menetapkan Dzulhulaifah (10 marhalah/450
km dari Mekah, terletak di sebelah utara Mekah) sebagai miqat bagi
penduduk madinah. Miqat bagi penduduk Syam adalah Juhfah (+3
marhalah/187 km dari Mekah, terletak di sebelah barat laut Mekah).
Letak Juhfah dekat dengan Rabiq. Jarak antara Rabiq dan Mekah
adalah 204 km. pada masa sekarang, Rabiq telah menjadi miqat bagi
penduduk Mesir dan Syam serta orang-orang yang melewatinya
setelah hilang batas-batas Juhfah. Miqat bagi penduduk Najd adalah
Qarn al-Manazil (pegunungan di sebelah timur Mekah yang
memanjang ke Arafah. Jaraknya dengan Mekah 2 marhalah/ 94 km).
miqat bagi penduduk Yaman adalah Yalamlam yang terletak di
selatan Mekah (jaraknya dengan Mekah adalah 54 km. miqat bagi
penduduk Iraq adalah Dzatu Irq yang terletak di sebelah timur laut
Mekah (jaraknya dengan Mekah adalah 2 marhalah/ 94 km).[14]
Adapun miqat makani bagi orang yang tingal di Makkah adalah
Makkah itu sendiri, dan yang paling afdhal dia ihram sejak dari pintu
rumahnya, jika dia mulai ihram di luar masjidil haram dinilai kurang
baik. Sedangkan orang yang bermuqim di sekitar madinah miqatnya
di zulhulaifah,[15] jamaah dari Syam miqatnya di al-Juhfah,[16] dari
Yaman di Yalam-lam,[17] dari Nejd di Qarn,[18] inilah waktu-waktu
miqat untuk penduduk daerah tertentu ketika melewati daerah tertentu
pula.[19]

Tempat miqat yang dijelaskan di atas berdasarkan kepada


bebrapa hadits nabi berikut:
1. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah saw.
bersabda:

( )
Penduduk Madinah berihram dari Dzulhulaifah, dan penduduk Syam
dari Juhfah, penduduk Nejd dari Qarn, barangsiapa yang tidak
melewati salah satu miqat tersebut maka iharamnya dari rumahnya,
demikian juga penduduk Makkah berihram dari Makkah itu
sendiri. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Masih dari Ibn Umar ra. Rasulullah bersabda:
:
.

Sampai kepadaku sebuah berita bahwa Rasulullah saw. bersabda:


Iahramnya penduduk Yaman dari Yalam-lam, penduduk Syam dari
Juhfah, dan penduduk Irak dari Zatu Irqin. [20]
3. Imam SyafiI berkata:
:
[21]( ) .
Sekiranya penduduk Masyriq berihram dari Aqiq[22] itu lebih baik
menurutku, dengan alasan diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa dia
berkata: Rasulullah saw. menetapkan Aqiq sebagai miqat bagi
penduduk Masyriq. (HR. Abu Daud dan Timidzi)
Ibn Munzir dan lain-lain berkata orang yang tinggal di Makkah,
baik itu penduduk asli atau pendatang ada dua pendapat: pertama,
miqatnya di Makkah tersebut, kedua, miqatnya Makkah dan seluruh
tanah Haram.
Itulah miqat-miqat makani yang telah ditetapkan oleh Rasulullah
saw. miqat-miqat di atas ditetapkan bagi orang-orang yang
melaluinya, baik berasal dari daerah searah dengan miqat-miqat
tersebut maupun daerah-daerah lain.[23] Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah saw:

Miqat-miqat itu adalah untuk peduduk tempat tersebut dan orang


yang melewatinya ketika hendak melaksanakan haji dan umrah. (HR.
Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Nasai)
Untuk lebih jelasnya, berikut penulis akan menyimpulkan miqat
makani bagi calon jemaah haji dari berbagai penjuru dunia:
a) Miqat makani haji bagi penduduk Makkah adalah rumahnya. Bagi
Madzhab Syafii dari pintu rumahnya dan masjidil haram adalah lebih
utama.
b) Miqat makani haji bukan penduduk Makkah yang sudah
ditetapkan oleh Nabi (miqat mansus) adalah sebagai berikut:
Bagi yang datang ke Makkah melalui Madinah maka miqat makaninya
adalah Dzulhulaifah (Bir Ali).
Bagi yang datang ke Makkah melalui Syam, Mesir dan Maroko maka
miqat makaninya adalah juhfah.
Bagi yang datang ke Makkah dari arah Tihamatil Yaman, maka miqat
makaninya adalah Yalamlam.
Bagi yang datang ke Makkah dari arah Najdil Yaman dan Hijaz, maka
miqat makaninya adalah Qarnul Manazil.[24]
Bagi yang datang ke Makkah tidak melalui arah yang disebut pada
huruf a, b, c, dan d, akan tetapi mendekati salah satunya, maka miqat
makaninya adalah miqat yang dekat atau yang sejajar.
Bagi yang datang ke Makkah dari arah Masyriq (arah timur) termasuk
dari Irak, maka miqat makaninya adalah Zatu Irqin. Miqat ini
berdasarkan penetapan Umar ra. Sebagaimana riwayat berikut:
) ( :
:
. :
Dari Abdullah bin Umar berkata: setelah dua negeri ini dibuka
(Basrah dan Kufah) mereka (penduduk negeri tersebut) mendatangi
Umar dan berkata: wahai raja orang-orang mukmin, sesungguhnya
Rasulullah telah member batas (miqat) bagi penduduk Najd yaitu
Qarnul Manazil menyulitkan kami. Umar berkata: lihatlah (ambillah)
garis sejajar dari jalanmu, maka Umar pun menetapkan bagi mereka
Zatu Irqin (sebagai miqat). (HR. Bukhari)

Dengan demikian, tempat-tempat yang disebut di atas


merupakan tempat ihram bagi penduduk yang juga telah disebut di
atas, termasuk juga orang yang melewatinya. Bagi orang yang hidup
di Mekah dan dia ngin melaksanakan ibadah haji, maka miqatnya
adalah rumahnya sendiri. Dan jika ingin melaksanakan ibadah umrah,
miqatnya adalah di luar tanah haram. Artinya jika ada seorang yang
hidup di Mekah dan dia ingin melaksanakn ibadah umrah, hendaknya
dia keluar dari tanah haram lantas berihram dari sana. Tanim
merupakan daerah yang paling dekat dengan Mekah dan bagi
penduduk Mekah yang ingin melakasanakan ibadah umrah, dia bisa
memualinya di Tanim. Bagi orang yang berada di antara miqat yang
telah ditetapkan dan jalannya tidak melalui salah satu dari miqatmiqat yang telah disebutkan di atas, dia boleh ihram dari tempat
manapun, baik perjalannanya melalaui darat maupun laut.
Adapun orang yang melaksanakan ihram sebelum miqat yang
ditentukan para ulama sepakat menyatakan bahwa dia dikatakan
sebagai orang yang melakukan ihram. Akan tetapi apakan hal
tersebut hukumya makruh? Ada yang berpendapat, ya., karena para
sahabat menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah menetapkan
Dzulhulaifah sebagai miqat penduduk Madinah. Jadi, ihram dimulai
dari miqat-miqat yang telah ditentukan. Sementara itu, melakukan
ihram sebelum atau sesudah miqat yang telah ditentukan bukan hal
yang diharamkan, tetapi meninggalkannya lebih utama.[25]
C. Miqat Makani Umrah
Miqat makanai Umrah bagi penduduk Makkah dan bukan
penduduk Makkah
c) Miqat makani umrah bagi penduduk Tanah Haram termasuk yang
telah berada di Makkah seperti jamaah haji adalah Tanah Halal dan
yang paling utama adalah Jiranah, Tanim, dan Hudaibiyah.
d) Miqat makani umrah pendatang sama dengan miqat makani haji. [26]

D. Miqat Jamaah Calon Haji Indonesia


Sebagaimana diketahui bahwa ibadah haji dan umrah adalah
masalah ayari yang tidak bisa dirubah, dari sisi kewajibah haji bagi
setiap muslim yang mampu. Akan tetapi cara melaksanakannya
berkembang sesuai kemajuan zaman dan perkembangan ijtihad para
ulama yang sudah pasti berdasarkan al-Quran dan hadits.
Imam Syafii, sebagai salah satu imam madzhab yang empat,
mempunyai pendapat yang berkembang sesuai dengan daerah yang
ia diami, sehingga muncullah istilah qaul al-Qadim dan qaul al-Jadid.
Sejak tahun 1973, jamaah calon haji dari Indonesia tidak lagi
menggunakan transportasi laut untuk menunaikan haji ke Makkah.
Akan tetapi telah berpindah menggunakan transportasi udara. Maka
dengan sendirinya peraturan ihram bagi jamaah calon haji pun
mengalami perbedaan dari masa sebelumnya.
Ketika menggunakan transportasi kapal laut, para jamaah calon
haji berangkat dari tanah air lebih awal sekitar tiga bulan disbanding
dengan keberangkatan haji saat ini. Mereka diperkirakan sampai di
tanah suci pada bulan syawal, kapal yang mereka tumpangi akan
melewati lokasi yang setentang dengan bukit Yalam-lam berjarak + 94
km dari kota Makkah.
Dengan perkembangan teknologi transportasi, umumnya
jamaah haji dari arah selatan dan tenggara, termasuk Indonesia tidak
lagi melalui jalur darat dan laut, tetapi dengan pesawat udara.
Sebenarnya tidak menjadi permasalahan apabila pesawat udara
tersebut mendarat di bandara Yaman, sehingga dari sana bisa
langsung menuju miqat di Yalam-lam yaitu miqat yang sama dengan
penduduk Yaman. Rute penerbangan jamaah haji Indonesia tidak
melalui Yaman, tetapi dari embarkasi pemberangkatan jamaah haji
dari seluruh Indonesia, langsung menuju Abu Dhabi Uni Emirat Arab
- dan terus ke Jeddah Arab Saudi. Jika diikuti miqat jamaah haji
dari arah Uni Emirat Arab, maka mestinya miqat mereka adalah
Qarnul Manazil. Tetapi, rute pesawat dari Indonesia tidak mendarat di

sana, bahkan tidak melintasinya. Oleh karena itu perlu dicarikan


dimana sebenarnya miqat jamaah calon haji dari Indonesia.
Setelah pemerintah Indonesia memutuskan untuk
memberangkatkan calon hajinya dari udara, maka jamaah calon haji
tidak lagi melalui Yalam-lam, karena ada dua gelombang
pemberangkatan. Gelombang pertama terdiri dari beberapa kelompok
terbang dari berbagai daerah menuju Jeddah (bandara King Abdul
Aziz) kemudian diberangkatkan ke Madinah, maka miqat makaninya
sama dengan penduduk Madinah yaitu Dzulhulaifah berjarak 450 km
dari Makkah.[27]
Pada umumnya jamaah haji dari Indonesia melaksanakan haji
Tamattu, sehingga miqat makaninya adalah sebagimama berikut:
a) Rombongan/gelombang pertama, yang melalui Madinah, ihram
umrahnya di bir Ali dan ihram hajinya untuk wuquf di Arafah yakni
tempat penginapan masing-masing di Makkah.
Komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidangnya di
Ciawi pada tanggal 12 Jumadil Awwal 1400 H/29 Maret 1980 M, yang
diketuai oleh KH. M Syukuri Ghozali, meyatakan bahwa: jemaah haji
Indonesia baik melalui laut atau udara boleh memulai ihramnya dari
Jeddah, tanpa wajib membayar Dam, dan jamaah haji Indonesia
yang akan meneruskan perjalanan lebih dahulu ke Madinah akan
memulai ihramnya dari Dzulhulaifah (Bir Ali). Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa miqat jemaah haji dari Indonesia tidak datang
melalui salah satu dari miqat yang ditentukan oleh Rasulullah saw.
artinya, perkara ini merupakan perkara ijtihad.[28]
Kemudian pada tahun 1981, tempat landing jamaah haji dari
Indonesia yang pada awalnya di bandara Jeddah dipindahkan ke
bandara King Abdul Aziz, mendorong untuk meninjau kembali fatwa
MUI sebelumnya. Oleh karena itu komisi fatwa MUI dalam sidangnya
di Jakarta tanggal 17 dan 19 Dzulqadah 1401 H/16 September1981
M, yang diketuai oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen, menghasilkan tiga
point penting yaitu:

e) Tidak mengubah fatwa MUI tanggal 12 Jumadil Awal 1400 H/ 29


Maret 1980 tentang sahnya Jeddah sebagai Miqat.
f) Bandara King Abdul Aziz juga sah sebagai miqat, karena bandara ini
tidak mengurangi sedikit pun jarak antra Jeddah-Makkah.
g) Boleh melakukan ihram sebelum miqat.[29]
Fatwa di atas dikukuhkan lagi oleh fatwa Majelis Ulama
Indonesia pada tanggal 4 Mei 1996 tentang miqat makani ini, yaitu:
bagi jamaah haji Indonesia yang langsung ke Mekkah miqatnya di
Bandara King Abdul Aziz-Jeddah, Sedangkan jamaah haji Indonesia
yang terlebih dahulu ke Madinah miqatnya di Bir Ali.
Dengan demikian fatwa tersebut di atas tidak menambah miqat
baru selain dari yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw. adapun
alasan yang dikemukakan oleh MUI tersebut adalah: pertama, jarak
antara bandara King Abdul Aziz-Jeddah dengan Mekkah telah
melampaui 2 (dua) marhalah. Kebolehan berihram dari jarak seperti
itu termasuk hal yang telah disepakati oleh para ulama. Kedua,
penggunaan mawaqit manshushah ( ) denngan
teori muhadzah( )menunjukkan bahwa pelaksanaan penggunaan
miqat adalah masalah ijtihad.[30]
Mengenai Bandar Udara King Abdul Aziz Internasional dapat
dijadikan sebagai miqat makani berdasarkan kepada beberapa
hal: pertama, keputusan fatwa MUI tahun 1980 dan dikukuhkan
kembali tahun 1981. Kedua, masalah miqat termasuk ijtihad
sebagaimana Umar bin Khattab menetapkan Zatu Irqin sebagai miqat
jamaah haji dari Irak. Ketiga, Berdasarkan Muhazah (garis sejajar)
dan ternyata sesuai dengan hadits nabi riwayat Aisyah,
dan keempat, Imam Ishak dalam kitab Muhadzzab dan Syarahnya
oleh Imam Nawawi, menjelaskan bolehnya mengambil miqat dari
mana saja asal mencukupi 2 marhalah dari Makkah.
Ketika kita melihat pandangan ulama madzhab, maka kita temui
bahwa Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat siapa yang ingin

melaksanakan ibadah haji akan tetapi idak melewati salah satu miqat
yang ditetapkan oleh Nabi, maka hendaklah dia ihram dari tempat
yang menurutnya setentang dengan miqat yang ada nashnya, baik itu
di laut maupun di darat. Apabila ternyata setentang dengan dua
miqat, maka hendaklah dia ihram dari miqat yang lebih dekat
padanya, namun kalau tidak ada yang setentang dengan salah satu
dari miqat yang ada nashnya tersebut, maka hendaklah ia ihram 2
marhalah dari Makkah.
Adapun menurut Hanafiah, miqat haji dan umrah bagi orang
yang bukan melewati miqat yang ditentukan Nabi adalah dari
kampung asalnya, atau dari mana saja yang dia mau antara kampung
asalnya dengan tanah Haram. Mereka berdalilkan kepada firman
Allah surat al-Baqarah ayat 196:
....

Ayat ini telah ditafsirkan oleh imam Ali dan Ibn Masud dengan
ihram dari kampung asalnya.[31]
Adapun kronologis pelaksanaan haji bagi gelombang pertama
(dari kloter pertama sampai sekian..) yakni setibanya di Jeddah
langsung berangkat menuju Madinah pada tanggal 1 Dzulqadah dan
berdiam di sana selama 10 hari, kemudian pada tanggal 11
Dzulqadah menuju Makkah dengan terlebih dahulu memakai pakaian
ihram, berkumpul di miqat Bir Ali dan berniat ihram di tempat ini,
kemudian melanjutkan perjalanan ke Makkah, melaksanakan umrah
untuk haji tamattu. Setelah melaksanakan tahallul para jamaah
menunggu hari tarwiyah guna ihram untuk haji.
b) Gelombang kedua, yang langsung ke Makkah, maka ihram
umrahnya di Yalam-lam atau di Jeddah, dan ihram hajinya untuk
wuquf di Arafah dari maktabnya masing-masing di Makkah.[32]
Hal ini berdasarkan fatwa MUI pada tanggal 4 Mei 1996 tentang miqat
makani yang sudah disebutkan di atas, yaitu: bagi jamaah haji
Indonesia yang langsung ke Mekkah miqatnya di Bandara King Abdul
Aziz-Jeddah, dengan pertimbangannya bahwa jarak dari bandara

King Abdul Aziz dengan Makkah adalah 102 km melebihi jarak Yalamlam dengan Makkah yang hanya berjarak 94 km.[33]
Ketentuan di atas hanya berlaku bagi jamaah calon haji dari
Indonesia gelombang kedua, karena dari bandara Bandara King
Abdul Aziz mereka langsung menu Makkah. Sedangkan bagi jamaah
haji gelombang pertama tidak ada masalah karena dari Indonesia
mereka langsung menuju Madinah, dan mereka bisa ihram dan
bermiqat di Dzulhulaifah (Bir Ali) sama dengan miqat jamaah haji dari
Madinah.
Berdasarkan fatwa MUI di atas, timbul kesan adanya inisiatif untuk
menghilangkan kesulitan dalam pelaksanaan ibadah haji, dan hal ini
merupakan hal yang positif. Akan tetapi, patut untuk dipertanyakan
karena Rasululullah saw. telah menentukan tempat-tempat tertentu
untuk memulai ihram (miqat) yang tidak bisa dirubah begitu saja
tanpa adanya alasan yang jelas dan kuat. Hal ini mengigat fatwa MUI
didasarkan pada penerapan kaidah qiyas dengan illat jarak yang
melebihi jarak antara Makkah dengan Yalam-lam. Akan tetapi
persoalannya, apakah qiyas yang dilakukan dan diterapkan tersebut
tidak berlawanan dengan petunjuk-petunjuk Rasulullah yang secara
kualitas menunjukkan QathI, baik dari segi dalalah maupun wurudnya. Apalagi untuk bebrapa tahun terakhir, rute perjalanan haji
Indonesia tidak seperti yang dikemukakan di atas, namun pesawat
dari Indonesia langsung menuju Jeddah dengan melewati Yaman,
bahkan melintasi Yalam-lam. Namun MUI tidak mengubah fatwanya
untuk menetapkan satu alternative penetapan miqat tidak lagi di
Jeddah, melainkan dilakukan di pesawat ketika melintasi Yalam-lam.
Pendekatan qiyas yang dilakukan oleh MUI tidak berdiri sendiri, tetapi
diilhami oleh pendapat Imam Nawawi tentang kebolehan melakukan
miqat bagi orang yang tidak melewati salah satu miqat yang
ditentukan Nabi dengan syarat mempuyai jarak (2) marhalah dari
Makkah.[34] Ketentuan jarak (2) marhalah ini berdasarkan ijtihad Umar
bin Khattab yang menetapkan miqat Dzatu Irqin sebagai miqat bagi

penduduk Irak. Namun, Imam Nawawi mengatakan bahwa hadits


yang diriwayatkan Jabir dari Aisyah tentang penetapan Dzatu Irqin
itu adalah dhaif[35]. Tentu saja, dalam hal ini tidak memberikn
kepastian.[36]
Selain pertimbangan qiyas, tampaknya MUI juga lebih menekankan
prinsip meniadakan kesulitan, karena jamaah haji Indonesia sangat
kesulitan apabila berihram dari tanah air, mengingat begitu jauh jarak
tempuh. Apabila hadits tersbeut difahami secara kontekstual, maka
untuk penduduk Madinah pada masa Rasulullah dengan jarak 450
km sudah diharuskan untuk berihram. Dapat dibayangkan kesulitankesulitan yang mereka lalui dalam perjalanan. Apabila kemudian
diambil perbandingan dengan jamaah haji Indonesia, kesulitan
tersebut belumlah seberapa (kurang lebih 9 jam) dibanding kesulitan
yang di dapati pada masa Rasulullah saw.
E. Melewati Miqat Tanpa Ihram
Apabila seorang melewati miqat yang telah ditentukan dan tidak
ihram, maka ada beberapa hal akibatnya:
a. Wajib membayar dam yaitu memotong seekor kambing, atau
b. Mengambil cara lain yaitu kembali ke miqat haji terdekat yang
dilewati sebelum melakukan salah satu kegiatan haji atau umrah.
Contoh: jamaah haji yang datang dari Madinah seharusnya memulai
ihram dengan miqat di Dzulhulaifah, apabila ia melewatinya tanpa
berihram maka dibolehkan mengambil miqat dari Juhfah (Rabiq).
c. Bagi jamaah haji yang sudah berada di Makkah yang akan berihram
haji maka miqat makaninya adalah di pemondokan masing-masing
yang melaksanakan haji tamatthu.

III. KESIMPULAN

Menurut ulama Syafiiyah adalah mulai 1 Syawal sampai dengan


terbit fajar 10 Dzulhijjah. Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,
ihram haji adalah sepanjang tahun, akan tetapi makruh sebelum
Syawal. Ulama Hanabilah berpendapat waktu ihram haji adalah
tanggal 1 Syawal sampai dengan dekatnya fajar tanggal 10 Dzulhijjah
kira-kira masih ada waktu cukup untuk ihram dan wukuf.
Miqat makani umrah bagi penduduk Tanah Haram termasuk
yang telah berada di Makkah seperti jamaah haji adalah Tanah Halal
dan yang paling utama adalah Jiranah, Tanim, dan Hudaibiyah.
Sedangkan miqat makani haji dan umrah pendatang adalah sebagai
berikut:
a) miqat makani jamaah haji Indonesia gelombang I yang langsung ke
Madinah adalah Dzulhulaifah (Bir Ali).
b) miqat makani jamaah haji Indonesia gelombang II yang turun di
Jeddah adalah:
-

Pada saat di pesawat mengambul garis sejajar dengan Qarn alManazil, tetapi ada kesulitannya yaitu: sulit memakai pakaian ihram di
pesawat, sulit untuk mengambil air wudhu, dan sulit menentukan
tepatnya miqat sejajar dengan Qarn al-Manazil.

Di Bandara King Abdul Aziz International Airport (KAIA) Jeddah,


sesuai dengan Keputusan Komisi Fatwa MUI, tanggal 28 Maret 1980
yang dikukuhkan kembali tanggal 19 September 1981 tentang miqat
haji dan umrah.

Di Asrama haji embarkasi tanah air, tetapi kesulitannya adalah:


menjaga larangan ihram, waktu penerbagang sangat lama + 9-10
jam, keadaan di pesawat sangat dingin. Atas dasar kesulitan ini, maka
sebaiknya jamaah haji Indonesia gelombang II memulai
berihram dengan mengambil miqat makani di bandara King Abdul
Aziz International Jeddah.

Kementrian Perwakafan dan Sosial Islam, Al-Mausuah alFiqhiyyah, (Kuwait: Pustaka Kementrian Perwakafan dan Sosial
Islam, 2006), cet. IV, Jilid. XVII, hal. 23
[2] Ibid, Hal. 7
[3] Ibid., hal. 23
[4] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa
Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), jilid III, cet. II, hal. 8
[5] T.M. Hasbi Ash Shiddiqy, Pedoman Haji, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1983), cet. III, hal. 26
[6] Wahbah al-Zuhaili, op.cit., hal. 9
[7] As-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj ila Marifati Maani alfazi alMuhtaj,(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000). Jilid. II, hal. 222.
[8] Muhammad Ahmad, Fiqh al-Hajj wa al-Umrah wa az-Ziyarah,
(Jeddah:Dar al-Mathbuah al-Haditsah, 1987), hal. 58
[9] Lihat Hasan Kamil al-Malathawi, Fiqh al-Ibadah Ala
Madzhabi al-Imam Malik, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah,
1996), hal.272
[10] Abdurrahman, Kitab al-Fiqh Ala Madzhabi al-Arbaah,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hal. 632
[11] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Kairo: Dar Fath li al-Ilami
al-Arabi, t.th), hal. 464
[12] Wahbah al-Zuhaili, op.cit., hal. 66
[13] Wahbah, op.cit., hal. 67
[14] Sayyid Sabiq, op.cit., hal. 465
[15] Suatu tempat di dekat Madinah, sekarang tempat ini dikenal
dengan nama Bir Ali, jaraknya dengan Madinah enam mil, dan
jaraknya dengan Makkah sepuluh marhalah.
[16] Al-Juhfah dikenal juga dengan nama Mahyaah suatu
daerah yang cukup dekat dengan Makkah, yaitu kira-kira tiga
marhalah. Dinamai dengan Juhfah karena banjir menyapu bersih
(menghanyutkan) daerah ini pada zaman dahulu.
[17] Daerah dua marhalah dari Makkah
[18] Suatu gunung dua marhalah dari Makkah
[19] Abu Hamid al-GHazali, Al-Wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam
as-Syafii, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), hal. 94.
[20] Perkampungan sekitar dua marhalah dari Makkah
[21] Abu Hamid al-Ghazali, op.cit., hal. 196
[22] Basrah dan Kufah
[23] Jika penduduk Syam ingin melaksanakna ibadah haji dan
dia melewati Madinah, maka miqatnya adalah Dzulhulaifah karena dia
melewati tempat itu. Dia tidak boleh mengakhirkan ihram hingga
[1]

melalui miqat yang asli ayaitu Rabigh. Jika dia mengakhirkannya, dia
telah melakukan kesalahan d an dalam pandangan mayoritas ulama
harus membayar denda.
[24] Wahbah al-Zuhaili, op.cit., hal. 71
[25] Sayyid Sabiq, op.cit., hal. 466
[26] Departemen Agama RI, Pola Bimbingan Manasik Calon
Jamaah Haji, (Jakarta: Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan
Umrah, 2007), hal. 21-22
[27] Matdawan Noor H.M, Ibadah Haji dan Umrah, (Yogyakarta:
CV. Bina Usaha, 1993), hal. 107
[28] Direktort Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), hal.
46-47
[29] Ibid., hal. 48-49
[30] Ibid., hal. 50-51
[31] Wahbah al-Zuhaili, op.cit., hal. 69-70
[32] Ibid, hal. 108
[33] Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1994), cet. II, hal. 477
[34] Imam Nawawi, Matan al-Idhah fi Manasik alHajj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hal. 36
[35] Sebab kedhaifan hadits ini bukan dari bersambung atau
tidaknya sanad melainkan di antara sanad ada nama al-Jauzi yang
dikategorikan oleh Imam Nawawi kepada rawi yang dhaif).
[36] Imam Nawawi, al-Majmu Syarah al-Muhadzdzab, (Kairo:
Dar al-Fikr al-Arabiyah, t.th), hal 191-197

Anda mungkin juga menyukai