Disusun Oleh :
Kelompok 4
Muhammad Radhiansyah
NIM.2312110013
Sari Raihana
NIM.2312110022
Cahaya Juwita
NIM.2312110036
Rihadatul Aisya
NIM.2312110075
Penulis
ii
ABSTRAK
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian puasa?
2. Bagaimana ayat-ayat dan tafsir tentang puasa Q.S Al-Baqarah (2) : 183-187?
C. Tujuan Penulisan
D. Metode Penulisan
Metode studi kepustakaan dilakukan untuk menunjang pembuatan
makalah. Pengumpulan informasi yang dibutuhkan dilakukan dengan mencari
referensi-referensi yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Referensi
dapat diperoleh dari buku atau internet.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Puasa
"Saumu" (puasa), menurut bahasa Arab adalah "menahan dari segala
sesuatu", seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak
bermanfaat dan sebagainya. Menurut istilah agama Islam yaitu "menahan diri
dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar
sampai ter-benam matahari dengan niat dan beberapa syarat.Puasa ada empat
macam yaitu:
1. Puasa wajib, yaitu puasa bulan Ramadan, puasa kafarat, dan puasa nazar.
2. Puasa sunah.
3. Puasa makruh.
4. Puasa haram, yaitu puasa pada hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Haji, dan tiga hari
sesudah Hari Raya Haji, yaitu tanggal 11-12 dan 13.
Puasa bulan Ramadan itu merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima,
diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, yaitu tahun kedua sesudah Nabi
Muhammad Saw. hijrah ke Madinah. Hukumnya fardu ‘ain atas tiap-tiap mukallaf
(balig dan berakal).1
Puasa Ramadan dimulai dengan salah satu sebab sebagai berikut :
1. Melihat bulan Ramadan setelah terbenam matahari pada tanggal dua puluh
sembilan (akhir) Sya'ban.
2. Penetapan Hakim Syari akan awal bulan Ramadan berdasarkan keterangan saksi,
sekurang-kurangnya se-orang laki-laki, bahwa ia melihat bulan.
3. Penetapan awal bulan Ramadan dengan perhitungan ahli hisab (perhitungan) ; a.
Apabila bulan tidak terli-hat, maka bulan Sya'ban disempurnakan 30 hari. ; b.
Keterangan orang yang dapat dipercaya kebenarannya oleh penerima berita,
bahwa ia melihat bulan Ramadlan walaupun ia perempuan, orang fasik atau
anak-anak.2
1
H. Sulaiman Rasjid, FIQH ISLAM, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), 220.
2
Drs. H. Moh. Rifa’i, ILMU FIQIH ISLAM LENGKAP, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1978), 325.
3
B. Ayat-Ayat dan Tafsir Tentang Puasa
1. Surah Al-Baqarah Ayat 183
Puasa adalah kewajiban lama yang diwajibkan oleh Allah atas orang-orang
beriman dalam setiap agama, dan bahwa tujuan utamanya adalah
mempersiapkan hati mereka untuk bisa mencapai taqwa, kejelasan, kepekaan
dan rasa takut kepada Allah:
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Ayat ini memanggil orang-orang yang beriman supaya bertakwa sama
halnya dengan ayat puasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa untuk
mencapai jenjang taqwa harus didahului oleh iman. Oleh karena itu, tepat sekali
ketika Alquran hanya mengajak orang-orang yang beriman saja untuk
melaksanakan puasa karena ada tujuan yang hendak dicapai yaitu taqwa. Adapun
orang-orang yang tidak beriman dapat dipastikan tidak akan mampu mencapai
tujuan puasa dimaksud sehingga sia-sia saja mengajaknya.
Adapun hal-hal yang berkenaan dengan puasa di dalam Q.S. al-
Baqarah ayat 183 menjelaskan tentang syarat berpuasa yaitu iman. Selanjutnya
ditegaskan pula di dalam ayat ini bahwa hukum puasa adalah wajib yang
kewajiban ini dimulai dari umat-umat terdahulu. Kemudian ayat ini menjelaskan
tentang tujuan dari berpuasa yaitu untuk mencapai predikat taqwa.
Penafsiran ayat diatas memiliki maksud bahwa tampak jelas tujuan
terbesar dari puasa yaitu mencapai taqwa. Karena taqwa itulah yang bangkit di
dalam hati, ketika ia menunaikan kewajiban ini, demi taat kepada Allah dan demi
mengutamakan ridha Nya. Taqwa itulah yang mengawal hati ini untuk tidak
merusak puasa dengan maksiat, sekalipun hal itu terlintas dalam pikirannya.
Orang-orang yang diseru oleh al-Qur'an ini mengetahui kedudukan taqwa di sisi
Allah dan bobotnya di dalam timbangan-Nya. Taqwa adalah tujuan yang ingin
diraih oleh ruh mereka. Sedangkan puasa ini merupakan salah satu sarana dan
jalan yang dapat meng- antarkannya kepada tujuan tersebut. Oleh sebab itu
4
konteks ayat mengangkat hal ini di hadapan mata mereka sebagai sasaran
cemerlang yang sedang mereka tuju melalui puasa "...agar kamu bertaqwa."3
Dengan berpuasa, orang beriman dilarang makan dan minum serta
dilarang bersetubuh, yaitu karena hendak mengambil faedah yang besar dari
larangan itu. Yang pertama adalah latihan mengendalikan diri. Kalau di segala
waktu dilarang memakan makanan yang haram maka di dalam bulan puasa
makanan yang halal pun dilarang. Orang yang beriman dapat menahan nafsunya
karena melaksanakan perintah Allah.4
ل َا َْو ذم ِريْضً ا ِمنْ َُْك ََك ََن فَ َم َْن ذم ْعدُ ْودٓتَ َا ذٰي ًما
َ ٓ َل ُاخ َََر َا ذٰيمَ ِم َْن فَ ِعدذةَ َس َفرَ ع َ َ َي َط َعا َُم ِفدْ يَةَ ي ُ ِط ْي ُق ْون َهَ ذ ِاَّل ْي ََن َوع
َ ْ فَ َم َْن ِم ْس ِك
َ ْ تَ ْعلَ ُم ْو ََن ُك ْن َُْت ِا َْن ل ذ َُْك خ١٨٤
َ ْ َْي ت َُص ْو ُم ْوا َو َا َْن ذَل خ
َْي فَه ََُو خ ْ ًَْيا ت ََط ذو ََع
Artinya:
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau
dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang
dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat
menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik
baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Penafsiran di dalam ayat ini adalah (Beberapa hari) manshub atau baris
di atas sebagai maf'ul dari fi'il amar yang bunyinya diperkirakan "shiyam" atau
"shumuِ (berbilang) artinya yang sedikit atau ditentukan waktunya dengan
bilangan yang telah diketahui ,yakni selama bulan Ramadhan sebagaimana yang
akan datang nanti ,Dikatakannya "yang sedikit "untuk memudahkan bagi
mukallaf (Maka barangsiapa di antara kamu) yakni sewaktu kehadiran hari-hari
berpuasa itu ( sakit atau dalam perjalanan) maksudnya perjalanan untuk waktu
singkat ,bukan untuk merantau lama ,dan sulit baginya untuk mengerjakan puasa
dalam kedua situasi tersebut, lalu ia berbuka (maka hendaklah dihitungnya)
3
Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2003), 375-376.
4
Prof. Dr. Hamka, TAFSIR AL-AZHAR, (Jakarta: GEMA INSANI, 2015), 341.
5
berapa hari ia berbuka, lalu berpuasa lah, sebagai gantinya (pada hari-hari yang
lain). (Dan bagi orang- orang yang) (tidak mampu melakukan nya) disebabkan
usia lanjut atau penyakit yang tak ada harapan untuk sembuh (maka hendaklah
membayar fidyah) yaitu (memberi makan seorang miskin) artinya sebanyak
makanan seorang miskin setiap hari yaitu satu gantang/ mud dari makanan pokok
penduduk negeri. Menurut satu qiraat, dengan mengidhafatkan fidyah dengan
tujuan untuk penjelasan.
Ada pula yang mengatakan tidak, bahkan tidak ditentukan takarannya.
Di masa permulaan Islam, mereka diberi kesempatan untuk memilih, apakah
akan berpuasa atau membayar fidyah. Kemudian hukum ini menghapus
mansukh dengan ditetapkannya berpuasa dengan firman- Nya. "Buatlah barang
siapa di antara kamu yang menyaksikan bulan, hendaklah ia berpuasa". Kata
Ibnu Abbas: "Kecuali wanita hamil dan yang sedang menyusui, jika berbukanya
itu disebabkan kekhawatiran terhadap bayi, maka membayar fidyah itu tetap
menjadi hak mereka tanpa nasakh. (Dan barangsiapa yang secara khusus
melakukan) dengan menambah batas minimal yang disebutkan dalam fidyah tadi
(maka itu) maksudnya melakukan tathawwu' atau kebajikan (lebih baik
setelahnya, dan berpuasa) menjadi mubtada', sedangkan khabarnya adalah (lebih
baik bagi kamu) daripada berbuka dan membayar fidyah (Jika kamu mengetahui)
bahwa berpuasa lebih baik bagimu, maka lakukanlah.5
Di dalam Q.S. al-Baqarah ayat 184 ini digambarkan tentang
karakteristik hukum Tuhan pada puasa yang memuat motivasi dan pengecualian-
pengecualian. Maksudnya, hukum Allah digambarkan di dalam ayat ini tidak
bersifat pemaksaan tetapi lebih mengarah kepada kesadaran. Hal ini dapat
dipahami dari pernyataan bahwa “puasa itu lebih baik jika kamu mengetahui”.
5
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, TAFSIR JALALAIN,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996), 96-97.
6
3. Surah Al-Baqarah Ayat 185
َان شَ ه ُْرََ َاس هُدً ى الْ ُق ْ ٓرا َُن ِف ْي َِه ُا ْن ِز ََل ذ ِاَّل ْ اَي َر َمض
َ ِ ان الْهُدٓ ى ِم ََن َوب َ ِينٓتَ ِللنذ َِ َََك ََن َو َم َْن فَلْ َي ُص ْم َُه الشذ ه ََْر ِم ْن َُُك شَ هِدََ فَ َم َْن َوالْ ُف ْرق
َ ٓ َالل يُ ِريْدَُ ُاخ َََر َا ذٰيمَ ِم َْن فَ ِعدذةَ َس َفرَ ع
ل َا َْو َم ِريْضً ا َُ ٓ ُس ِب َُُك ََ ْ س ِب َُُك يُ ِريْدَُ َو ََل الْيَالل َو ِل ُت َك ِ ُّبوا ا ْل ِع ذدََة َو ِل ُت ْ ِْكلُوا ا ْل ُع ْ َر َ ٓ ََما ع
ََ ٓ ل
ْ ُ ٓ ت َ ْش ُك ُر ْو ََن َول َ َعل ذ َُْك َهد١٨٥
َىك
Artinya:
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-
Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu,
siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan
itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa),
maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari
yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.”
7
Kemajuan teknologi dalam bidang telekomunikasi zaman sekarang,
sudah mempermudah urusan ini, sehingga bisa dikatakan tidak ada lagi
kesulitan.6 Ketika makna atau tujuan Alquran ini dikaitkan dengan puasa maka
dapat dipahami bahwa segala hal ihwal yang berkaitan dengan puasa sudah
dijelaskan oleh Alquran. Dengan kata lain, penjelasan Alquran tentang puasa
sudah cukup jelas dan tidak perlu penambahan-penambahan. Ayat ini bahwa hal
ihwal mengenai ibadah puasa dikembalikan saja kepada Alquran.7
Artinya:
“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad)
tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi
(perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam
kebenaran.”
Pada ayat ini dijelaskan yang dimaksud dengan Allah dekat, yaitu Allah
mendengar segala sesuatunya percakapan seseorang dan menyatukan segala
perbuatannya. Sedang ilmu- Nya mencakup segala- galanya. Ayat ini
mengingatkan dan mendidik umat mukminin tentang hal- hal yang harus mereka
perhatikan dalam puasa dan ibadah- ibadah lainnya, seperti ketaatan, keikhlasan,
etika, hukum- hukum, dan doa kepada Allah Ta'ala yang mempersiapkan mereka
untuk mendapat hidayah dan petunjuk.
Pada ayat ini dijelaskan pula tentang hubungan manusia dengan Allah.
Ketika ayat ini dimasukkan ke dalam ayat-ayat puasa maka dapat dipahami
6
Bactiar Surin, ALKANZ Terjemah & Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: TITIAN ILMU,
2002), 99.
7
Dr. Achyar Zayn, M. Ag, TAFSIR AYAT AYAT PUASA Menelaah Format Hukum
Tuhan, (Medan: PERDANA PUBLISHING, 2016), 7.
8
bahwa salah satu tujuan dari ibadah puasa adalah membangun kedekatan
manusia dengan Allah. Di dalam ayat ini dijelaskan bahwa manusia yang mampu
menempatkan posisi ini disebut sebagai tipe manusia yang cerdas.
Menurut al-Râzî, orang-orang yang cerdas adalah orang-orang yang
memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan antara kehidupan agama dengan
kehidupan dunia. Hal ini dapat mereka lakukan karena telah berhasil memahami
maksud dari petunjuk-petunjuk Allah.8 Pada prinsipnya menjelaskan bahwa
hukum-hukum Allah hanya dapat diterima oleh orang-orang yang dapat
memahami tentang Allah. Untuk memahami ini maka puasa memiliki peran
yang sangat penting dalam menciptakan terjalinnya hubungan manusia dengan
Allah. Dengan kata lain, selama Allah belum dipahami secara baik dan benar
maka hukum-hukum-Nya tidak akan pernah dapat direspon dengan baik.
8
Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghayb, Juz 5, (Bayrut: Dar Ihya al-Turrats al-‘Arabi, 1420 H),
266.
9
5. Surah Al-Baqarah Ayat 187
Ayat ini menjelaskan tentang kebolehan jimak pada malam hari dan
keharamannya pada siang hari, sama seperti makan dan minum. Dulu jimak itu
haram setelah berbuka dan tidur, kemudian hukum ini dinasakh, sebagaimana
telah terangkan dalam sebab turunnya ayat ini. Larangan- larangan puasa yang
disebutkan dalam ayat ini antara lain: makan, minum, dan jimak. Mengenai
ciuman, rabaan, dan sejenisnya tidak membatalkan puasa. Akan tetapi hal itu,
menurut madzhab Maliki dan Syafi'i, makruh hukumnya bagi orang yang tidak
dapat mengendalikan nafsunya agar hal itu tidak menjadi sebab dilakukannya
perbuatan buatan yang merusak puasa. Menurut Abu Hanifah dan murid-
muridnya, serta ats-Tsauri, Hasan al- Bashri, dan Syafi'i, jika seseorang mencium
istrinya dan maninya keluar, ia harus menqadha puasa tanpa membayar kafarat.
Seandainya dia mencium dan madzinya keluar, dia tidak menanggung
apa- apa. Ahmad berkata: Barangsiapa dicium lalu madzi atau maninya keluar,
10
maka ia harus menqadha puasanya dan ia tidak wajib membayar kafarat, kecuali
orang yang berjimak dan maninya keluar, baik dengan sengaja maupun karena
lupa. Malik mewajibkan orang seperti ini menqadha dan membayar kafarat.
Tidak ada kafarat atas orang yang keluar maninya gara-gara memandang,
menurut jumhur. Sedangkan menurut madzhab Hambali, ia harus membayar
kafarat, dan puasanya pun tidak batal menurut madzhab Hanafi.
Wajibnya menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa
sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, dengan syarat niat sebelum
fajar menurut jumhur selain madzhab Hanafi karena puasa termasuk ibadah,
maka dari itu ia tidak sah kecuali dengan niat. Di antara hal yang menjadi
kesempurnaan puasa adalah mengiringkan niat (menghilangkannya dari hati)
sepanjang hari-hari puasa, namun orang yang berpuasa tidak keluar dari
puasanya kecuali dengan berbuka secara nyata, bukan sekedar dengan niat.
Madzhab Hanafi berkata: Niat pada malam hari tidak harus, karena firman Allah
Ta'ala menunjukkan demikian ,karena kata tsumma berfungsi untuk menyatakan
urutan yang lambat9.
9
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, TAFSIR AL-MUNIR, (Jakarta: GEMA INSANI, 2013), 400-401.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Puasa tidak hanya sekedar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan
intim, tetapi juga merupakan ibadah yang dirancang untuk memperdalam
hubungan spiritual dengan Allah dan meningkatkan kesadaran akan ketaatan
kepada-Nya. Allah memberikan pengecualian kepada orang-orang yang dalam
keadaan sakit atau dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, namun mereka
diwajibkan menggantinya dengan berpuasa di hari-hari lain. pentingnya ketaatan
kepada Allah dalam menjalankan kewajiban berpuasa, bahkan dengan
menggantinya di waktu lain jika tidak mampu melakukannya pada waktu yang
sudah ditetapkan. Bulan Ramadhan dilihat sebagai kesempatan untuk
mendapatkan berkah, ampunan, dan pembebasan dari neraka. Bahwa bulan
Ramadhan memiliki nilai spiritual yang besar bagi umat Islam dan mengingatkan
mereka untuk memanfaatkannya sebaik mungkin dalam meningkatkan
hubungan mereka dengan Allah.
12
B. Saran
Diharapkan dengan adanya makalah tersebut dapat menambah pengetahuan
tentang Fikih Muamalat. Demikianlah makalah kami, semoga dapat menambah
ilmu dari para pembaca. Penulis juga memohon maaf jika dalam makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan atau ada kata yang susah dipahami maka dari
itu penulis meminta saran dan kritik demi tercapainya kesempurnaan tersebut.
13
DAFTAR PUSTAKA
Al-Razi, F. a.-D. (1420 H). Mafatih al-Ghayb, Juz 5. Bayrut: Dar Ihya al-Turrats
al-‘Arab.
Dr. Achyar Zayn, M. A. (2016). TAFSIR AYAT AYAT PUASA Menelaah Format
Hukum Tuhan. Medan: PERDANA PUBLISHING.
Rifa’i, D. H. (1978). ILMU FIQIH ISLAM LENGKAP. Semarang: PT. Karya Toha
Putra.
14
15