Anda di halaman 1dari 24

Tugas Kelompok III Dosen Pengampu

Studi Hadits Ahmad Fauzi, S.H.I., MA

Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an

Oleh:

Fitri Azzahra Ridwan (12020722489)

Rahmat Prayogo (12020712709)

Rifat Ramadhan Bustiama (12020712511)

Kelas II Studi Hadits D

Jurusan Ilmu Hukum

Fakultas Syariah Dan Hukum

Universitas Sultan Syarif Kasim Riau

2021/ 2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Segala puji syukur kami panjatkan kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas

penulisan makalah mata kuliah Studi Hadits tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam

tercurah kepada Rasulullah SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.

Penulisan makalah berjudul “Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an” dapat diselesaikan dari

hasil kerjasama kami. Kami berharap makalah Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an ini dapat

menjadi referensi dan pembelajaran bagi teman-teman semua. Selain itu, kami juga berharap

agar pembaca mendapatkan sudut pandang baru setelah membaca makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih memerlukan penyempurnaan, terutama pada bagian isi.

Kami menerima segala bentuk kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan makalah.

Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami memohon maaf.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pekanbaru, 8 Juli 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................3
Kedudukan Hadits Sebagai Bayan Terhadap Al-Qur`an........................................................3
2.1 Bayan Taqrir................................................................................................................4
2.2 Bayan Tafshil...............................................................................................................6
2.3 Bayan Taqyid...............................................................................................................8
2.4 Bayan Takhsis...........................................................................................................10
2.5 Bayan Tasyri..............................................................................................................12
2.6 Bayan Nasakh............................................................................................................14
BAB III.....................................................................................................................................18
PENUTUP................................................................................................................................18
3.1 Kesimpulan................................................................................................................18
3.2 Saran..........................................................................................................................18

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam sebagai agama yang sempurna ajarannya diperuntukan bagi seluruh manusia di

muka bumi. Sebagai agama, Islam mempunyai sumber ajaran. Sumber ajaran Islam adalah

asal atau tempat ajaran Islam itu diambil sebagai sumber mengindikasikan makna bahwa

ajaran Islam berasal dari suatu yang dapat digali dan dipergunakan untuk kepentingan

operasionalisasi ajaran Islam dan pengembangannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan

yang dihadapi oleh umat Islam. Setiap perilaku dan tindakan umat Islam baik secara individu

maupun kelompok harus dilakukan berdasarkan sumber tersebut. Oleh karena itu, sumber

ajaran Islam berfungsi pula sebagai dasar pokok ajaran Islam. Sebagai dasar, maka sumber

itu menjadi landasan semua prilaku dan tindakan umat Islam sekaligus sebagai referensi

tempat orientasi dan konsulitasi serta tolak ukurnya.

Sebagaimana yang disepakati oleh pakar-pakar hukum Islam bahwa sumber pertama

dalam Islam adalah Al-Qur`an dan kemudian hadits Nabi. Penetapan hadits Nabi sebagai

sumber hukum kedua dalam Islam ini ditetapkan berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, Ijma`

bahakan dalil rasional.

Sebagaimana yang diketahui pada masa Nabi, bahwa Al-Qur`an merupakan sumber yang

dipegang oleh para sahabat dan Nabi sebagai penjelas Al-Qur`an melalui sabda-sabdanya.

Dengan demikian hadits Nabi memiliki fungsi guna untuk memberikan pemahaman terhadap

1
Al-Qur`an. Namun, dalam perkembangannya para ulama mencoba merumuskan fungsi hadits

dalam ajaran Islam ini dengan membagi fungsi hadits tersebut ke dalam beberapa bentuk.

Dengan demikian melalui tulisan ini penulis akan mencoba untuk menjelaskan

mengenai fungsi hadits dalam ajaran Islam. yang akan penulis paparkan pada bab

selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana kedudukan hadits sebagai bayan terhadap Al-Qur`an?

1) Bayan Taqrir

2) Bayan Tafshil

3) Bayan Taqyid

4) Bayan Takhsish

5) Bayan Tasyri

6) Bayan Nasakh

1.3 Tujuan Penulisan

Mengetahui kedudukan hadits sebagai bayan terhadap Al-Qur`an.

1) Bayan Taqrir

2) Bayan Tafshil

3) Bayan Taqyid

4) Bayan Takhsish

5) Bayan Tasyri

6) Bayan Nasakh

2
BAB II

PEMBAHASAN

Kedudukan Hadits Sebagai Bayan Terhadap Al-Qur`an

Sebagian besar umat Islam sepakat menetapkan sumber ajaran Islam itu adalah Al-

Qur`an, sunnah (hadits) dan ijtihad. Sunnah (hadits) yang mempunyai pengertian menurut

ulama hadits sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad saw, baik berupa

perkataan, perbuatan, taqrir, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum menjadi rasul

maupun sesudah menjadi rasul,1 inilah yang menjadikan kedudukan sunnah (hadits) menjadi

dasar dalam ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur`an. Kedudukan sunnah (hadits)

dalam sumber ajaran Islam sangat strategis bagi kehidupan dan kehidupan umat. Pada masa

Rasulullah SAW, tidak ada sumber hukum selain Al-Qur`an dan Sunnah. Di dalam

Kitabullah terdapat pokok-pokok yang umum bagi hukum-hukum syari`at, tanpa pemaparan

rincian keseluruhannya dan pencabangannya.2 Maka dengan demikian dijadikanlah Sunnah

(hadis) sebagai penjabar (bayan) dari ayat-ayat Al-Qur`an.3 

Menurut Muhammad `Ajaj Al-Khatib bahwa secara global, sunnah sejalan dengan Al-

Qur`an, menjelaskan yang muhbam, merinci yang mujmal, membatasi yang mutlak,

mengkhususkan yang umum, dan menguraikan hukum-hukum dan tujuan-tujuannya.4 

Dengan demikian fungsi sunnah sangat kuat dalam hal sebagai bayan terhadap Al-

Qur`an. Sehingga sunnah menempati posisi sebagai sumber ajaran dalam Islam yang kedua

setelah Al-Qur`an.

1
Mudatsir, Ilmu Hadits, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hal. 23
2
Muhammad `Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits,..., hal. 31
3
Shuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta : Gema Insani Press,
1995), hal. 1
4
Muhammad `Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits,..., hal. 31

3
Menurut A. Rahman Ritonga dalam bukunya Studi Ilmu-Ilmu Hadits, bahwa ada lima

metode yang digunakan Rasulullah untuk menjelaskan Al-Qur`an sebagai berikut :5

2.1 Bayan Taqrir

Bayân taqrir ialah al-Hadits yang berfungsi menetapkan, memantapkan, dan

mengokohkan apa yang telah ditetapkan al-Qur`ân, sehingga maknanya tidak perlu

dipertanyakan lagi. Ayat yang ditaqrir oleh al-Hadits tentu saja yang sudah jelas maknanya

hanya memerlukan penegasan supaya jangan sampai kaum muslimin salah menyimpulkan.

Bayan taqrir bukan kapasitasnya untuk menguatkan ayat Al-Qur`an, karena Al-Qur`an

memiliki kebenaran yang cukup kuat. Hadits hanya bersifat konfrmatif terhadap makna ayat

atau memberitahukan mengenai hukum yang sudah ada di dalam ayat Al-Qur`an.6 Contoh

bahwa hadits berfungsi sebagai bayan taqrir terhadap Al-Qur`an adalah sebagai berikut :

‫ َأ ْخبَ َرنِي‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬،‫ب‬ ُ ‫ َح َّدثَنِي اللَّي‬:‫ال‬
ٍ ‫ َع ِن ا ْب ِن ِشهَا‬،‫^ َع ْن ُعقَي ٍْل‬،‫ْث‬ َ َ‫ ق‬،‫َح َّدثَنَا يَحْ يَى ب ُْن بُ َكي ٍْر‬

ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬ ِ ‫ َأ َّن اب َْن ُع َم َر َر‬،‫َسالِ ُم ب ُْن َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن ُع َم َر‬
َ َ‫ ق‬،‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما‬
ُ ‫ َس ِمع‬:‫ال‬

‫ فَِإ ْن ُغ َّم‬،‫ َوِإ َذا َرَأ ْيتُ ُموهُ فََأ ْف ِطرُوا‬،‫ «ِإ َذا َرَأ ْيتُ ُموهُ فَصُو ُموا‬:ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُول‬
َ

)‫ َعلَ ْي ُك ْم فَا ْق ُدرُوا لَهُ» (متفق عليه‬7

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukairin, dia berkata : telah

menveritakan kepadaku Al-Laits, dari `Uqail, dari Ibn Syihab, dia berkata : Salim bin Abdull

bin Umar memberi kabar kepada bahwa Ibnu Umar semoga Allah meridhoi keduanya, dia

5
Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadits,..., hal. 214
6
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta : Hamzah, 2012), Edisi Kedua, hal. 18-19
7
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz III¸ Muhaqqiq : Muhammad bin
Nasir An-Nasir, (Dar Thuq An-Najah, 1422 H), hal. 25. Lihat Juga Muslim, Shahih Muslim Juz II, Muhaqqiq :
Muhammad Fuadi Abdul Al-Baqi, (Beirut : Dar Ihya` At-Tirats Al-Arabi), hal. 759

4
berkata : aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Apabila Kamu melihat anak

bulan (awal Ramadhan) berpuasalah dan apabila kamu melihat anak bulan (awal Syawal)

berbukalah kamu” (H.R Muttafaq Alaih)

Dalam hal ini hadits di atas berfungsi sebagai bayan taqrir terhadap ayat Al-Qur`an

yang berbicara mengenai perintah puasa di bulan Ramadhan dalam surat Al-Baqarah 185 :

‫ت ِم َن ْالهُ َدى َو ْالفُرْ قَا ِن فَ َم ْن‬


ٍ ‫اس َوبَيِّنَا‬ ُ ْ‫ان الَّ ِذي ُأ ْن ِز َل فِي ِه ْالقُر‬
ِ َّ‫آن هُدًى لِلن‬ َ ‫ض‬َ ‫َش ْه ُر َر َم‬

ُ ‫ان َم ِريضًا َأ ْو َعلَى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن َأي ٍَّام ُأ َخ َر ي ُِري ُد هَّللا‬ ُ َ‫َش ِه َد ِم ْن ُك ُم ال َّشه َْر فَ ْلي‬
َ ‫ص ْمهُ َو َم ْن َك‬

‫بِ ُك ُم ْاليُس َْر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُعس َْر َولِتُ ْك ِملُوا ْال ِع َّدةَ َولِتُ َكبِّرُوا هَّللا َ َعلَى َما هَ َدا ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم‬

َ ‫تَ ْش ُكر‬
)185( ‫ُون‬

Artinya : “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulanyang di

dalamnya diturunkan, (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan

penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).

Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya) di bulan itu, maka

hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia

berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-

hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran

bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-petunjuk-Nya yang

diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur” (Q.S Al-Baqarah : 185). 8

Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa hadits mempunyai fungsi sebagai bayan

taqrir terhadap ayat-ayat Al-Qur`an. Dengan memahami bahwa hadits mengkonfirmasi dan

memperkuat ayat Al-Qur`an mengenai kewajiban puasa, yang mana kewajiban puasa tersebut

8
Al-Qur`an Karim

5
ditandai dengan sudah terlihatnya hilal awal Ramadhan. Dengan demikian kewajiban puasa

tersebut jelas baik dari segi awal pelaksanaannya dan berkahirnya kewajiban puasa tersebut. 

2.2 Bayan Tafshil

Bayan tafsir adalah penjelasan suatu nash baik dari segi Al-Qur’an maupun hadits

Rasulullah yang dipandang masih samar sehingga sulit menerapkannya. Oleh karena itu

hakekat dari bayan tafsir itu ialah suatu penjelasan terhadap nash yang lazim disebut dengan

istilah bayan tafsir nushush. Kata nushush merupakan bentuk jamak dari nash yang berarti

perkataan yang dinashkan.9 Maksudnya nash-nash yang dijadikan dalil dalam penerapan

hukum di dalam kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.10

Dengan demikian Bayân tafsir berarti menjelaskan yang maknanya samar, merinci

ayat yang maknanya global atau mengkhususkan ayat yang maknanya umum agar dapat

diterapkan dalam menetapkan hukum.

Penafsiran atau perincian yang didatangkan oleh hadis merupakan penjelasan maksud

terhadap sesuatu yang datang dalam Al-Qur`an. Karena sebenarnya Allah SWT telah

memberikan kepada Rasul-Nya otoritas untuk menjelaskan nash-nash Al-Qur`an melalui

firman-Nya berkenaan dengannya :11

َ ‫اس َما نُ ِّز َل ِإلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكر‬


‫ُون‬ َ ‫الزب ُِر َوَأ ْن َز ْلنَا ِإلَي‬
ِ َّ‫ْك ال ِّذ ْك َر لِتُبَي َِّن لِلن‬ ِ ‫بِ ْالبَيِّنَا‬
ُّ ‫ت َو‬

9
Lowes Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugah. (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973), hal. 881
10
Muhammad Adib Shalih, Tafsir al-Nushush fi al-Fiqh al-Islamy Juz I, (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1984),
hal.59
11
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib, (Semarang : Toha Putera
Group, 1994), hal. 47

6
Artinya : “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu

Al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada

mereka dan supaya mereka memikirkan” (Q.S An-Nahl : 44). 12

Menurut Faturrahman Djamil fungsi ini merupakan fungsi yang paling dominan,

misalnya hadits-hadits yang berhubungan dengan tata cara salat, zakat, puasa, dan haji.

Praktik Rasul merupakan penjabaran lebih lanjut dari ayat-ayat Al-Qur`an yang

bersifat mujmal.13

Hadits memberikan penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Al-Qur`an, baik

menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sehingga ulama menyebutnya bayan

tafsir.14 Contoh bahwa hadits berfungsi sebagai bayan tafsir terhadap Al-Qur`an adalah

sebagai berikut :

َ ‫صلُّوا َك َما َرَأ ْيتُ ُمونِي ُأ‬


....)‫ (رواه البخاري‬....‫صلِّي‬ َ ‫َو‬ 15

Artinya : “Dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melaksanakan salat”  (H.R

Bukhari).

Hadits di atas berfungsi untuk menjelaskan tata cara pelaksanaan salat yang

kewajibannya telah disampaikan melalui Al-Qur`an yang terdapat dalam surat Al-Baqarah

ayat 43 :

َّ ‫َوَأقِي ُموا ال‬


َ ‫صاَل ةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوارْ َكعُوا َم َع الرَّا ِك ِع‬
‫ين‬

Artinya : “Dan dirikanlah salat dan bayarkanlah zakat dan rukuklah bersama orang yang

rukuk” (Q.S Al-Baqarah : 43)


12
Al-Qur`an Karim
13
Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,..., hal. 97
14
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,..., hal. 19
15
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz I,..., hal. 128

7
Secara fi`li (hadis fi`li) Nabi SAW, mendemosntrasikan tata cara pelaksanaan salat di

hadapan para sahabat, mulai dari yang sekecil-kecilnya, seperti kapan dan cara mengangkat

tangan ketika bertakbir, sampai kepada hal-hal yang yang harus dilakukan dan merupakan

rukun dalam pelaksanaan salat, seperti membaca surat Al-Fatihah, sujud, rukuk, serta jumlah

rakaat rakaat masing-masing salat dan sebagainya.16

2.3 Bayan Taqyid

Salah satu yang menyebabkan sulitnya memahami ayat Al-Qur`an dikarenakan sifatnya

yang mutlak atau absolut. Maksudnya ialah makna yang terkandung di dalam ayat itu tidak

dibatasi oleh syarat, sifat, batas akhir dan sebagainya.

Dengan keterangan di atas semakin jelas bahwa makna mutlak itu adalah makna hakikat.

Makna hakikat itu hanya satu, tetapi untuk menentukan mana yang satu dari sekian banyak

jenis-jenis yang dicakupnya itu tidak ada penjelasan. Semua satuan yang dicakupnya itu

memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi makna hakikat. Apabila ditentukan satu di

antaranya maka dengan sendirinya satuan yang lain keluar dari cakupannya ayat tersebut.17

Dengan demikian hal yang dapat dipahami adalah, hadits diperlukan untuk memahami

ayat-ayat dalam Al-Qur`an, khususnya dalam kemutlakan ayat dalam konteks ini. Sehingga

fungsi hadits dalam membatasi ayat-ayat yang mutlak disebut dengan bayan

taqyid. Mentaqyid yang mutlaq artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat,

keadaan, atau syarat-syarat tertentu.

Salah satu contoh fungsi hadits sebagai bayan taqyid terhadap Al-Qur`an adalah firman

Allah dalam surat Al-Maidah ayat 38 :

16
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 1998), hal. 71
17
Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadits,..., hal. 218

8
ِ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا َأ ْي ِديَهُ َما َجزَا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا ِ َوهَّللا ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

Artinya : “Laki-Laki ayng mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan

keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari

Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”

Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di atas secara mutlak nama tangan, tanpa

dijelaskan batas tangan yang harus dipotong apakah dari pundak, sikut, dan pergelangan

tangan. Kata tangan mutlak meliputi hasta dari bahu, pundak, lengan, dan sampai telapak

tangan. Selain itu pencuri di atas adalah mutlak semua pencuri tanpa ada sifat yang

menjelaskan pencurian yang semacam apa yang dipotong tangan.

Pembatasan itu baru dijelaskan dengan hadits :

َ ‫ َواللَّ ْفظُ لِهَ^^ار‬،‫ َوَأحْ َم ُد ب ُْن ِعي َسى‬،‫ُون ب ُْن َس ِعي ٍد اَأْل ْيلِ ُّي‬
،‫ُون‬ ُ ‫ َوهَار‬،‫وح َّدثَنِي َأبُو الطَّا ِه ِر‬
َ

،ُ‫ َأ ْخبَ َرنِي َم ْخ َر َمة‬،‫ب‬


ٍ ‫ َح َّدثَنَا اب ُْن َو ْه‬:‫ َوقَا َل اآْل َخ َرا ِن‬،‫ َأ ْخبَ َرنَا‬:‫ال َأبُو الطَّا ِه ِر‬
َ َ‫ ق‬،‫َوَأحْ َم َد‬

‫ َأنَّهَ^^ا‬،‫ِّث‬ ْ ‫ َأنَّهَ^^ا َس ^ ِم َع‬،َ‫^رة‬


ُ ‫ تُ َح^ د‬،َ‫ت َعاِئ َش ^ة‬ َ ^‫ َع ْن َع ْم‬،‫ار‬ َ ‫ َع ْن ُس ^لَ ْي َم‬،‫َع ْن َأبِي ^ ِه‬
ٍ ^ ‫ان ب ِْن يَ َس‬

‫^ار فَ َم^^ا‬ ِ ^‫ «اَل تُ ْقطَ ُع ْاليَ ُد ِإاَّل فِي ُر ْب‬:ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُول‬
ٍ ^َ‫^ع ِدين‬ َ ِ‫ُول هللا‬ ْ ‫َس ِم َع‬
َ ‫ت َرس‬

)‫مسلم‬ ‫فَ ْوقَهُ» (رواه‬

Artinya : Telah menceritakan kepadaku Abu Thahir, dan Harun bin Sa`id Ailiyu, dan Ahmad

bin Isa, dan lafaz dari Harun dan Ahmad, telah berkata Abu Thahir : Telah mengkabarkan

kepada kami, dan berkata dua orang yang lain : telah menceritakan kepada kami Ibn Wahab,

telah mengkabarkan kepadaku Makhramah dari Ayahnya, dari Sulaiman bin Yasar, dari

`Amrah, sesungghuhnya dia telah mendengar Aisyah menceritakan, sesungguhnya Aisyah

9
telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Jangan engkau potong tangan (pencuri) kecuali

pada seperempat dinar atau lebih” (H.R Muslim)

ْ َ‫ت ال ُّسنَّةُ فِي الق‬


‫ ِإنَّ َم^^ا‬،‫ط ِع ال َكفَّ ْي ِن‬ ِ َ‫ فَ َكان‬، }‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا َأ ْي ِديَهُ َما‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫{والس‬ َ َ‫َوق‬
َ :‫ال‬

)‫الترم^ذي‬ ‫ص^ ِحي ٌح "(رواه‬ ٌ ‫ » هَ َذا َح ِد‬،‫ يَ ْعنِي التَّيَ ُّم َم‬،« ‫الوجْ هُ َوال َكفَّا ِن‬
َ ‫يث َح َس^ ٌن‬ َ ‫هُ َو‬ 18

Artinya : “ Dan firman Allah : (pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah

tangan keduanya), maka sunnah pada potong kedua telapak tangan yaitu hanya satu bagian,

dan dua telapak tangan yaitu tayammum”. Ini hadis hasan shahih (H.R At-Tirmdhzi)

Kedua Hadits di atas menjelaskan kemutlakkan ayat pada surat Al- Maidah ayat 38

yang tidak menjelaskan batasannya, maka kedua hadits di atas, yang pertama menjelaskan

ukuran yang dicuri sehingga berlakunya hukuman potong tangan. Dan hadits kedua

menjelaskan batasan tangan yang akan dipotong, yaitu hingga pergelangan tangan dari salah

satu tangan.

2.4 Bayan Takhsis

Selain bersifat umum mujmal (global), Al-Qur`an juga memiliki ayat-ayat yang bersifat

umum, dari sini fungsi sunnah adalah mengkhususkan. Perbedaannya dengan bayan tafshil

ialah kalau bayan tafshil, sunnah berfungsi sebagai penjelas yang kelihatan tidak ada

pertentangan, sedangkan pada bagian takhsish ini di samping sunnah sebagai bayan, juga

antara Al-Qur`an dan sunnah secara lahiriah nampak ada pertentangan.19

18
At-Tirmdhzi, Sunan Tirmidhzi Juz I, Muhaqqiq dan Mu`aliq : Ahmad dan Mustafa Adzahabi, (Kairo : Darul
Hadis, 2010), hal. 272
19
Relit Nur Edi, ”As-Sunnah (Hadits) Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah”, Vol.6 No.2 ASAS 2014, hal. 137

10
Dalam konteks keumuman suatu ayat ini ialah kalimat yang mengandung makna yang

mencakup kepada semua jenis dan nau` (macam) yang dapat ditampung oleh makna ayat.

Misalnya kalimat al-insan, kata ini bermakna umum karena maknanya mencakup semua jenis

manusia, tanpa ada petunjuk manusia mana yang dimaksud oleh kata tersebut.20

Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadits juga berfungsi sebagai takhsis terhadap

lafaz-lafaz ayat yang umum. Meskipun hampir mirip dengan fungsi hadis sebagai tafshil

namun sebenarnya ada perbedaan yang membuat antara tafshil dan takhsis ini sangat berbeda

dalam aplikasinya sebagai bayan terhadap Al-Qur`an. Contoh bahwa hadits berfungsi

sebagai bayan takhsis terhadap Al-Qur`an adalah sebagai berikut :

‫ َع ْن َأبِي‬،‫ج‬
ِ ‫ َع ِن اَأل ْع َر‬،‫الزنَا ِد‬
ِّ ‫ َع ْن َأبِي‬،‫ك‬
ٌ ِ‫ َأ ْخبَ َرنَا َمال‬،‫ُف‬
َ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ ب ُْن يُوس‬

‫ «الَ يُجْ َم ُع بَي َْن‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬ َ ‫ َأ َّن َرس‬:ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫هُ َري َْرةَ َر‬

)‫ َوالَ بَي َْن ال َمرْ َأ ِة َو َخالَتِهَا» (رواه البخاري‬،‫ال َمرْ َأ ِة َو َع َّمتِهَا‬ 21

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, telah mengkabarkan kepada

kami Malik, dari Abu Az-Zinaad, dari `Araj, dari Abi Hurairah RA : Sesungguhnya

Rasulullah SAW bersabda : tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita

dengan `ammah (saudara bapaknya), dan seorang wanita dengan khallah (saudara

ibunya)” (H.R Bukhari).

Hadits di atas merupakan salah satu contoh bayan takhsis terhadap keumuman ayat

Al-Qur`an tentang kebolehan poligami yang terdapat dalam surat An-Nisa` ayat 3:

20
Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis,..., hal. 217
21
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz VII,...,  hal. 12

11
َ ‫اب لَ ُك ْم ِم َن النِّ َسا ِء َم ْثنَى َوثُاَل‬
‫ث‬ َ ‫َوِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تُ ْق ِسطُوا فِي ْاليَتَا َمى فَا ْن ِكحُوا َما‬
َ ‫ط‬

)3( ‫ك َأ ْدنَى َأاَّل تَعُولُوا‬


َ ِ‫ت َأ ْي َمانُ ُك ْم َذل‬
ْ ‫اح َدةً َأ ْو َما َملَ َك‬
ِ ‫ َو ُربَا َع فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تَ ْع ِدلُوا فَ َو‬ 

Artinya : “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan

yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu

senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka

kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih

dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S An-Nisa` : 3)

Dapat dipahami bahwa hadits sebagai takhsis terhadap Al-Qur`an dari contoh di atas

adalah bahwa dalam surat An-Nisa` ayat 3 berbicara mengenai adanya indikasi kebolehan

untuk berpoligami. Dalam ayat tersebut tampak bahwa poligami di atas bersifat umum

dengan memahami boleh berpoligami dengan wanita siapa saja yang bukan mahram.

Namun, hadits mengkhususkan keumuman ayat tersebut dengan melarang untuk

memadu (berpoligami) antara seorang wanita dengan `amah  (saudara bapaknya)

ataupun khallah (saudara ibunya).

2.5 Bayan Tasyri

Bayan at-tasyri’ adalah penjelasan hadis yang berupa penetapan suatu hukum atau aturan

syar’i yang tidak didapati nashnya dalam Al-Qur’an. Menurut Abbas Muthawali Hamadah

bayan at-tasyri’ disebut dengan bayan zaid ‘ala al-Kitab al-Karim, yaitu penjelasan

sunnah/hadits yang merupakan tambahan terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-

Qur’an. Hadits yang berfungsi sebagai bayan al-tasyri’ ini sangat banyak jumlahnya. Contoh

bahwa hadits berfungsi sebagai bayan tasyri terhadap Al-Qur`an adalah sebagai berikut :

12
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan

Ramadhan atas orang-orang sebesar 1 sha’ kurma, atau 1 sha’ gandum, wajib atas orang

merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, dari kaum muslimin.” (HR. Muslim, Shahih

Muslim, II:678, No. hadis 984, Malik, Al-Muwatha, I:284, No. hadis 626, An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra,

II:25, No. 2282, Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alas Shahihain, I:569, No. hadis 1494, Al-Baihaqi, As-Sunan

Al-Kubra, IV:161, No. hadis 7476, IV:166, No. hadis 7492; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah,

IV:83, No. hadis 2399, Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII: 94, No. hadis 3301)

Menurut sebagian ulama bahwa zakat fitrah itu ditetapkan oleh sunnah/ hadits sebagai

tambahan atas Al-Qur’an. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa zakat itu penjabaran

dari Al-Qur’an. Mereka mengambil dari hadits tersebut dalil yang menjadi rincian dari Al-

Qur’an, karena Rasulullah Saw tidak mewajibkan zakat kecuali kepada orang Islam. Dengan

demikian sesuai dengan Al-Qur’an, karena zakat itu sebagai pembersih (mensucikan),

sementara kesucian hanya untuk orang Islam. Allah Swt berfirman

Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan

mereka…” (QS. At-Taubah : 103)

13
Sunnah/ hadits Rasulullah Saw. sebagai bayan at-tasyri’ ini wajib untuk ditaati dan

diamalkan berdasarkan perintah Allah Swt dalam Al-Qur’an sebagaimana wajibnya mentaati

dan mengamalkan hadits-hadits yang lainnya.22

2.6 Bayan Nasakh

Pada dasarnya nasakh lebih populer dalam bidang ilmu ushul fiqh yang mana nasakh

tersebut didefinisikan dengan pembatan pemberlakuan hukum syari` dengan dalil yang

datang belakangan dari hukum-hukum yang sebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya

baik secara terang-terangan atau secara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum

atau pun pembatalan sebagian saja karena suatu kemashlahatan yang menghendakinya, atau

nasakh ialah menyatakan dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil

yang terdahulu.23

Hadits menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam Al-Qur`an. Menurut ulama

Hanafiyah dengan syarat hadits mutawatir atau masyhur.24 Sedangkan sebagaimana yang

penulis kutip dari buku Studi Ilmu-ilmu Hadits yang ditulis oleh A. Rahman Ritonga bahwa

para ulama sepakat membolehkan hadits yang mutawattir untuk menasakh Al-Qur`an, karena

hadits mutawattir memiliki kebenaran yang qath`i (pasti), setara dengan Al-Qur`an. Dalil

yang kekuatannya setara dengan ayat dapat menasakhkan ayat tersebut.25

Hal ini juga senada dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf

bahwasanya nash tidaklah dinasakhkan kecuali dengan nash yang sejajar kekuatannya atau

lebih kuat daripadanya. Sehingga beradasarkan prinsip umum tersebut selain nash-nash Al-

22
https://www.bacaanmadani.com/2018/04/fungsi-hadis-pengertian-bayan-tasyri.html
23
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,..., hal. 356
24
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,..., hal. 21
25
Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadits,..., hal. 219

14
Qur`an yang dapat menasakhkan satu sama lain terkadang ayat Al-Qur`an juga dinasakhkan

dengan hadits yang mutawattir.26 Hal ini dikarenakan dari segi wurudnya antara Al-Qur`an

dan hadits mutawattir adalah qath`i al-wurud.

Salah satu contoh hadits menasakhkan hukum yang terdapat dalam ayat Al-Qur`an adalah :

ٍ ^ ‫ َع ْن َشه ِْر ب ِْن َح ْو َش‬،َ‫ َع ْن قَتَا َدة‬،َ‫ َح َّدثَنَا َأبُو َع َوانَة‬:‫ال‬


‫ َع ْن‬،‫ب‬ َ َ‫ ق‬،‫َأ ْخبَ َرنَا قُتَ ْيبَةُ ب ُْن َس ِعي ٍد‬

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬


َ ِ ‫ب َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ َخط‬:‫ال‬ ِ ‫ َع ْن َع ْم ِرو ب ِْن َخ‬،‫َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ب ِْن ُغ ْن ٍم‬
َ َ‫ ق‬،َ‫ار َجة‬

)‫النسائي‬ ‫ث»(رواه‬ ِ ‫صيَّةَ لِ َو‬


ٍ ‫ار‬ ٍّ ‫ «ِإ َّن هَّللا َ قَ ْد َأ ْعطَى ُك َّل ِذي َح‬:‫ال‬
ِ ‫ َواَل َو‬،ُ‫ق َحقَّه‬ َ َ‫َو َسلَّ َم فَق‬
27

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa`id, dia berkata : telah

menceritakan kepada kami Abi Awanah, dari Qatadah, dari Syahri bin Hausyab, dari

Abdurrahman bin Ghunmi, dari Amr bin Khaarijah, dia berkata : Rasulullah berkhutbah dan

beliau bersabda: Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang mempunyai hak

dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris. (H.R An-Nasa`i).

Hadits di atas menasakhkan  kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surat Al-Baqarah ayat

180 :

26
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,..., hal. 356
27
An-Nasa`i, Sunan Sughra li An-Nas`i Juz 6, Muhaqqiq : Abdul fatah Abu Ghaddah, (Hilbi : Maktabah Matbu`at
Al-Islamiyah, 1986), Cetakan Kedua, hal. 247

15
َ ِ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َد ْي ِن َواَأْل ْق َرب‬
‫ين‬ ِ ‫ك َخ ْيرًا ْال َو‬ ُ ‫ض َر َأ َح َد ُك ُم ْال َم ْو‬
َ ‫ت ِإ ْن تَ َر‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم ِإ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬

َ ِ‫ُوف َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّق‬


)180( ‫ين‬ ِ ‫بِ ْال َم ْعر‬

Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)

maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib

kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.

Sedangkan yang menjadi pertentangan dalam permasalahan ini adalah ketika hadits

ahad yang menasakh ayat Al-Qur`an, maka ada beberapa pendapat, di antaranya :

Pendapat yang membolehkan adalah jumhur ulama dengan alasan :

pertama, bahwa nasakh hanya sekedar penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum.

Masa berlaku hukum bukan sesuatu yang qath`i sebab hukum bisa berubah sesuai dengan

perubahan situasi dan tempat. Kedua, adanya ayat Al-Qur`an yang mengindikasikan bahwa

antara Al-Qur`an dan hadits memiliki kesetaraan sehingga hadits ahad dianggap dapat

menasakhkan ayat Al-Qur`an, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Najm ayat

3-4. Ketiga, adanya ayat 80 surat An-Nisa` yang menyatakan keseimbangan mentaati Allah

dengan mentaati Rasul-Nya. Jika ketaatan kepada Allah setara dengan mentaati Rasul-Nya,

maka hadits boleh menasakh Al-Qur`an dan sebaliknya.

Sedangkan ulama yang tidak menerima hadits ahad sebagai penasakh terhadap Al-

Qur`an berargumen dengan beberapa alasan yaitu : Pertama, Para ulama sepakat bahwa Al-

Qur`an dilihat dari segi kebenarannya sebagai yang bersumber dari Allah dan

bersifat qath`i, sedangkan hadits ahad dilihat dari segi kebenarannya sebagai yang bersumber

dari Nabi bersifat zhanni. Kedua, Adanya indikasi yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat

106 bahwa penasakh atau pengganti harus lebih kuat atau minimal sama dengan ayat yang

16
dinasikh atau diganti. Sedangkan dari segi wurud hadits ahad tidak setara dengan Al-

Qur`an.28

BAB III

PENUTUP

28
Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadits,..., hal. 220-221

17
3.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas hadist Rasulullah SAW telah menetapkan hukum baru yang tidak

ditetapkan oleh al-Qur`an. Karena dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memerintahkan

kepada orang-orang beriman untuk taat secara mutlak kepada apa yang diperintahkan dan

dilarang Rasulullah SAW, serta mengancam orang yang menyelisihinya. Fungsi hadits

terhadap al-Quran adalah sebagai bayan (penjelas) bagi Al-Quran. Karena hukum merupakan

produk hadits yang tidak ditunjukan oleh al-Qur’an secara langsung. Oleh karena itu, hadits

berperan sebagai penjelas dan penguat Al-Qur’an seperti kewajiban puasa, tata cara

pelaksanaan shalat, poligami, dan lain-lain.

3.2 Saran

Setelah melihat dari isi makalah kami tentang Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an kami

berharap semoga pembaca khususnya kami sendiri dapat memahami dan mengerti tentang

Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an agar nantinya dapat menambah wawasan atau

pengetahuan kita dan akan bermanfaat dengan seiring berjalannya waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta : Hamzah, 2012), Edisi Kedua.

18
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan : Moh. Zuhri dan Ahmad

Qarib, (Semarang : Toha Putera Group, 1994)

An-Nasa`i, Sunan Sughra li An-Nas`i Juz 6, Muhaqqiq : Abdul fatah Abu Ghaddah, (Hilbi :

Maktabah Matbu`at Al-Islamiyah, 1986), Cetakan Kedua, hal. 247

At-Tirmdhzi, Sunan Tirmidhzi Juz I, Muhaqqiq dan Mu`aliq : Ahmad dan Mustafa Adzahabi,

(Kairo : Darul Hadis, 2010)

Al-Qur`an Karim

Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999)

Lowes Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugah. (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973)

Mudatsir, Ilmu Hadits, (Bandung : Pustaka Setia, 1999)

Muhammad Adib Shalih, Tafsir al-Nushush fi al-Fiqh al-Islamy Juz I, (Beirut: al-Maktabah

al-Islami, 1984)

Muhammad `Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, (Beirut : Dar Al-Fikr, 2011)

Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ja`fi, Shahih Bukhari Juz

III¸ Muhaqqiq : Muhammad bin Nasir An-Nasir, (Dar Thuq An-Najah, 1422 H),

hal. 25. Lihat Juga Muslim, Shahih Muslim Juz II, Muhaqqiq : Muhammad

Fuadi Abdul Al-Baqi, (Beirut : Dar Ihya` At-Tirats Al-Arabi)

Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 1998)

Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadits, (Yogyakarta : Interpena, 2011)

Relit Nur Edi, ”As-Sunnah (Hadits) Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah”, Vol.6 No.2 ASAS

2014

19
Shuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta : Gema

Insani Press, 1995)

https://www.bacaanmadani.com/2018/04/fungsi-hadis-pengertian-bayan-tasyri.html

20

Anda mungkin juga menyukai