Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH ETIKA TANGGUNG JAWAB PROFESI HUKUM

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Etika Tanggung Jawab Profesi Hukum
(PIH1632)
Kelas Ilmu Hukum 6-D (Dr. Nur Hidayat, S.H., M.H.)

Oleh:
Fitri Azzahra Ridwan
NIM 12020722489

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU


1444 H – 2023 M

i
KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya. Semoga kita selalu dalam lindungan-Nya. Shalawat beriring salam
kita haturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW sang reformis agung
peradaban dunia yang menjadi panutan bagi umat di seluruh belahan dunia.
Semoga kelak syafa’atnya menaungi kita di hari perhitungan, aamiin.

Tujuan dibuatnya penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas


mata kuliah Etika Tanggung Jwab Profesi Hukum. Di dalam penulisan makalah
ini, Penulis akan menguraikan apa yang dimaksud dengan Etika dan Profesi
Hukum. Semoga dengan adanya uraian dari penulis dapat dimengerti dan
bermanfaat bagi pembaca.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Nur Hidayat, S.H.,
M.H. selaku dosen mata kuliah Etika Tanggung Jawab Profesi Hukum yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang Penulis tekuni. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari, makalah
yang penulis susun ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan Penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 9 Juni 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
PENDAHULUAN............................................................................................................1
A. Etika Tujuan Pendidikan Tinggi.............................................................................1
B. Tujuan dan Fungsi Ilmu Etika................................................................................2
C. Hubungan Dengan Pancasila dan Manusia dan Sistem Nilai dan HAM.................4
HUBUNGAN DAN OBJEK ETIKA...............................................................................6
A. Pengertian Etika.....................................................................................................6
B. Objek Kajian Etika.................................................................................................6
C. Hubungan Etika Dengan Moral..............................................................................7
D. Hubungan Etika Dengan Agama............................................................................7
E. Hubungan Etika Dengan Filsafat............................................................................8
PROFESI DAN PROFESI HUKUM..............................................................................9
A. Profesi....................................................................................................................9
B. Profesi Hukum.......................................................................................................9
C. Jenis Profesi Hukum dan Dasar Hukumnya.........................................................10
KODE ETIK PROFESI HUKUM................................................................................13
A. Defenisi Kode Etik Profesi Hukum......................................................................13
B. Kode Etik Profesi Hukum....................................................................................13
PEMBERIAN JASA HUKUM DALAM PERSPEKTIF ISLAM..............................19
A. Hak Asasi Manusia Dalam Sudut Pandang Islam.................................................19
B. Sejarah Pemberian Jasa Hukum...........................................................................20
C. Kategorisasi Pemberi Jasa Hukum Dalam Islam..................................................20
PEMBERIAN JASA HUKUM DARI PERSPEKTIF ISLAM DAN UMUM
(KONVENSIONAL)......................................................................................................23
A. Dari Perspektif Islam............................................................................................23
B. Dari Perspektif Umum (Konvensional)................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................27

iii
iv
PENDAHULUAN

A. Etika Tujuan Pendidikan Tinggi


Etika berasal dari kata Yunani kuno yaitu “ethos” dalam bentuk tunggal
mempunyai arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan,
adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak
artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang
terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322
SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Kata yang cukup dekat
dengan etika adalah “moral”. Kata terakhir ini merupakan istilah dari bahasa latin
yaitu “mos”, dan dalam bentuk jamaknya “mores” yang berarti juga adat
kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik
(kesusilaan).1
Etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang
terwujud dalam sikap dan prilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun
kelompok. Menurut Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, etika merupakan
keyakinan mengenai tindakan yang benar dan yang salah, atau tindakan yang baik
dan yang buruk, yang mempengaruhi hal lainnya. 2 Pada umumnya etika
berkenaan dengan suatu pedoman yang bersifat sakral, sopan, baik, dihormati,
penuh tata karma, bermoral, tidak mempecundangi, tidak merugikan, tidak
menyusahkan orang lain dan sebagainya. Biasanya etika berkenaan dengan suatu
perbuataan, suatu tingkah laku yang dianggap sesuai dengan adat, norma, moral,
aturan dan lain sebagainya.
Etika sangat berperan penting terhadap diri mahasiswa maupun orang lain,
dengan memahami peranan etika mahasiswa dapat bertindak sewajarnya dalam
melakukan aktivitasnya sebagai mahasiswa misalnya dalam contoh kasus di saat
mahasiswa berdemonstrasi menuntut keadilan etika menjadi sebuah alat kontrol
yang dapat menahan mahasiswa agar tidak bertindak anarkis. Dengan etika
mahasiswa dapat berprilaku sopan dan santun terhadap siapapun dan apapun itu.
Sebagai seorang mahasiswa yang beretika, mahasiswa harus memahami betul arti
dari kebebasan dan tanggung jawab, karena banyak mahasiswa yang apabila
sedang berdemonstrasi memaknai kebebasan dengan kebebasan yang tidak
bertanggung jawab.
Namun, fenomena yang terjadi saat ini adalah mahasiswa lebih tidak sadar dan
tidak mengetahui makna nilai etika dan peranan etika. Pada akhirnya muncullah
mahasiswa yang tidak memiliki akhlakul karimah, seperti mahasiswa yang tidak
memiliki sopan dan santun kepada para dosen, mahasiswa yang lebih menyukai
hidup dengan bebas, mengonsumsi obat-obatan terlarang, pergaulan bebas,
berdemonstrasi dengan tidak mengikuti peraturan yang berlaku bahkan hal
1
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), Cet. Ke-10, Jilid 2,
hlm.4.
2
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), hlm.4.

1
terkecil seperti menyontek disaat ujian dianggap hal biasa, semua hal ini tidak
mengindahkan makna dari etika.
Pendidikan tinggi merupakan upaya yang sadar dilakukan dalam rangka
meningkatkan kadar ilmu pengetahuan dan pengalaman bagi mahasiswa untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Perguruan tinggi sebagai wadah/ tempat
untuk penyelenggaran pendidikan bagi semua manusia agar lebih berkualitas.
Tujuan perguruan tinggi pada dasarnya adalah berusaha untuk memelihara
keseimbangan kehidupan yang memiliki tujuan ganda yaitu meningkatkan kadar
intelektual dan meningkatkan kedewasaan moral sehingga memerlukan
pendekatan khusus. Secara lembaga perguruan tinggi memiliki peranan untuk
menumbuh kembangkan kadar intelektual, spiritual, dan emosional para
mahasiswa. Bergumul dengan nilai-nilai kehidupan kemasyarakatan,
mendesiminasikan pengetahuan sebagai pengabdian kemajuan masyarakat,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pasal 20 ayat 3 menyatakan bahwa perguruan tinggi berkewajiban
menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Etika memiliki peranan diantaranya yaitu:3
1. Dengan etika seseorang atau kelompok dapat mengemukakan penilaian
tentang perilaku manusia
2. Menjadi alat kontrol atau menjadi rambu-rambu bagi seseorang atau
kelompok dalam melakukan suatu tindakan atau aktivitasnya sebagai
mahasiswa
3. Etika dapat memberikan prospek untuk mengatasi kesulitan moral yang
kita hadapi sekarang
4. Etika dapat menjadi prinsip yang mendasar bagi mahasiswa dalam
menjalankan aktivitas kemahasiswaannya
5. Etika menjadi penuntun agar dapat bersikap sopan, santun, dan dengan
etika kita bisa di cap sebagai orang baik didalam masyarakat.\

B. Tujuan dan Fungsi Ilmu Etika


Dalam posisinya sebagai filsafat moral, etika memiliki kedudukan sebagai
ilmu bukan sebagai ajaran. Etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang
sama. Ajaran moral mengajarkan bagaimana kita hidup, sedangkan etika ingin
mengetahui mengapa kita mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana kita
mengambil sikap yang bertanggungjawab ketika berhadapan dengan berbagai
ajaran moral.
Etika sebagai filsafat mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Etika pada kajian filsafat ini
sangat menarik perhatian para filosof dalam menanggapi makna etika secara lebih
serius dan mendalam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles.
Aristoteles dalam bukunya “Etika Nikomacheia” menjelaskan tentang
3
Arum Ardianingsih dan Situ Yunitarini, “Etika, Profesi Dosen dan Perguruan Tinggi:
Sebuah Kajian Konseptual” dalam Ekonomi dan Bisnis, Volume 10., No. 1., (2012), hlm.40-41.

2
pembahasan etika kedalam dua hal penting yaitu pertama etika sebagai terminus
techius. Pengertian etika dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
masalah perbuatan atau tindakan manusia. Kedua, etika dimaknai sebagai manner
dan custom, dimana etika dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan dengan tata
cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (inherent in human
nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau
perbuatan manusia.4
Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang
menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya.
a. Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral.
Misalnya kode etik.
b. Etika merupakan ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Etika baru
menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-
nilai tentang yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima
dalam suatu masyarakat seringkali tanpa disadari menjadi bahan refleksi
bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika dalam hal ini sama
dengan filsafat moral.5
Etika tidak hanya berkutat pada hal-hal teoritis, namun juga terkait erat
dengan kehidupan konkret, oleh karena itu ada beberapa fungsi ilmu etika yang
perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan kehidupan konkret, yaitu:6
1. Perkembangan hidup masyarakat yang semakin pluralistik menghadapkan
manusia pada sekian banyak pandangan moral yang bermacam-macam,
sehingga diperlukan refleksi kritis dari bidang etika. Contoh: etika medis
tentang masalah aborsi, bayi tabung, kloning, dan lain-lain.
2. Gelombang modernisasi yang melanda di segala bidang kehidupan
masyarakat, sehingga cara berpikir masyarakat pun ikut berubah.
Misalnya: cara berpakaian, kebutuhan fasilitas hidup modern, dan lain-
lain.
3. Etika juga menjadikan kita sanggup menghadapi ideologi-ideologi asing
yang berebutan mempengaruhi kehidupan kita, agar tidak mudah
terpancing. Artinya kita tidak boleh tergesa-gesa memeluk pandangan baru
yang belum jelas, namun tidak pula tergesa-gesa menolak pandangan baru
lantaran belum terbiasa.
4. Etika diperlukan oleh penganut agama manapun untuk menemukan dasar
kemantapan dalam iman dan kepercayaan sekaligus memperluas wawasan
terhadap semua dimensi kehidupan masyarakat yang selalu berubah.

4
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis dan
Aksiologis, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), hlm.172.
5
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),
hlm.29.
6
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), Cet. Ke-10, Jilid 2,
hlm.15-22.

3
Sedangkan tujuan ilmu etika adalah merupakan pembatasan agar pemikiran
manusia yang haus akan kebenaran dapat terjaga tidak keluar dari norma-norma
yang seharusnya tetap dipertahankan karena itulah akal yang dibebaskan akan
mengarah kepada kesesatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah
suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran
memang ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian pengabdian ilmu secara
netral, tidak bewarna, dapat meluncurkan pengertian kebenaran, sehingga ilmu
terpaksa menjadi bebas nilai. Uraian keilmuan tentang manusia sudah semestinya
harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran. Ilmu bukanlah
tujuan tetapi sarana untuk mencapai hasrat akan kebenaran itu berimpit dengan
etika bagi sesame manusia dan tanggung jawab secara agama. Sebenarnya
ilmuwan dalam gerak kerjanya tidak perlu memperhitungkan adanya dua faktor,
yaitu ilmu dan tanggung jawab. Karena yang kedua itu melekat dengan yang
pertama. Dengan tanggung jawab itu berarti ilmuwan mempunyai etika dalam
keilmuannya itu. Ilmu yang melekat dengan keberadaban manusia yang terbatas,
maka dengan ilmu hasrat keingin tahuan manusia yang terdapat di dalam dirinya
merupakan petunjuk mengenai kebenaran yang transeden di luar jangkauan
manusia.7

C. Hubungan Dengan Pancasila dan Manusia dan Sistem Nilai dan HAM
Pancasila sebagai dasar negara memiliki peranan penting dalam aspek
kehidupan. Pancasila memegang peranan penting yaitu salah satunya yaitu
pancasila sebagai sistem etika. Pancasila memegang peranan besar dalam
membentuk pola piker bangsa, sehingga bangsa ini dapat dihargai sebagai salah
satu bangsa yang beradab. Pembentuka etika bukanlah hal yang mudah karena
berasal dari tingkah laku dan hati nurani.
Etika pancasila adalah etika yang mendasarkan nilai baik dan buruk pada
pancasila yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan. Suatu perbuatan jika dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan
nilai tersebut, namun sesuai dan mempertinggi nilai pancasila. Nilai pancasila
merupakan penegasan nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan maupun
adat kebudayaan bangsa Indonesia. Pancasila bersifat universal yaitu dapat
diterima oleh siapapun dan kapanpun.
Etika pancasila memiliki nilai-nilai yang sangat mendasar:
1. Nilai yang pertam yaitu ketuhanan. Nilai ketuhanan mengandung dimensi
moral berupa spitritualis yang mendekatkan diri kepada Sang Pencipta,
ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Nilai ini bersifat mutlak.
Suatu perbuatan jika dikatakan baik, jika tidak bertentangan dengan nilai,
kaidah dan hukum Tuhan.

7
Fahrul Siregar, “Etika Sebagai Filsafat Ilmu (Pengetahuan)” dalam De’rechtsstaat,
Volume 1., No. 1., (2015), hlm.60.

4
2. Nilai yang kedua yaitu kemanusiaan. Nilai kemanusiaan mengandung
dimensi humanus artinya menjadikan manusia lebih manusiawi, yaitu
upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antar sesama.
Prinsip pokok nilai kemanusiaan adalah keadilan dan keadaban. Keadilan
masyarakat keseimbangan antara lahir dan batin, jasmani dan rohani,
individu sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat
dengan hokum Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia
disbanding dengan makhluk lain.
3. Nilai yang ketiga adalah persatuan. Nilai persatuan mengandung dimensi
nilai solidaritas, rasa kebersamaan, cinta tanah air.
4. Nilai yang keempat adalah nilai kerakyatan. Nilai kerakyatan mengandung
dimensi nilai berupa sikap menghargai orang lain, mendengarkan pendapat
orang lain, tidak memaksakan kehendak orang lain. Dalam kaitannya
dengan kerakyatan, terkandung nilai lain yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan
dan permusyawaratan. Kata hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada
tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi. Perbuatan belum
tentu baik apabila disetujui/ bermanfaat untuk orang banyak, namun
perbuatan baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep
hikmat/ kebijaksanaan.
5. Nilai yang kelima adalah keadilan. Nilai keadilan mengandung dimensi
nilai peduli atas nasib orang lain, kesediaan membantu kesulitan orang
lain. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip
keadilan masyarakat banyak.
Sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila, maka pancasila
dapat menjadi sistem etika yang sangat kuat, nilia-nilia yang ada tidak hanya
bersifat mendasar, namun juga realistis dan aplikatif. Nilai tersebut merupakan
nilai yang bersifat abstrak umum dan universal, yaitu nilai yang melingkupi
realitas kemanusiaan dan merupakan dasar bagi setiap tindakan dan munculnya
nilai lain. Misalnya nilai keutuhan akan mengahsilkan nilai spiritualisme,
ketaatan, dan toleransi. Nilai kemanusiaan meghasilkan nilai kesusilaan, tolong
menolong, menghargai, menghormati, kerjasama, dan lain-lain. Nilai persatuan
menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan, dan lain-lain. Nilai keadilan
menghasilkan nilai kepedulian, kesejahteraan ekonomi, kemajuan bersama, dan
lain-lain.8

8
Ibid, hlm. 65

5
HUBUNGAN DAN OBJEK ETIKA

A. Pengertian Etika
1. Etika menurut bahasa (etimologi)

Etika berasal dari kata Yunani kuno yaitu “ethos” dalam bentuk tunggal
mempunyai arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan,
adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak
artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang
terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322
SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.
Kata yang cukup dekat dengan etika adalah “moral”. Kata terakhir ini
merupakan istilah dari bahasa latin yaitu “mos”, dan dalam bentuk jamaknya
“mores” yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan
melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan).
2. Etika menurut istilah (terminologi)
Etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang
terwujud dalam sikap dan prilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun
kelompok. pada umumnya etika berkenaan dengan suatu pedoman yang bersifat
sopan, baik, dihormati, penuh tata krama, bermoral, tidak menyusahkan orang
lain, dan sebagainya. Biasanya etika berkenaan dengan suatu perbuatan, suatu
tingkah laku yang dianggap sesuai dengan adat, norma, moral, aturan, dan lain
sebagainya.
Menurut Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, etika merupakan keyakinan
mengenai tindakan yang benar dan yang salah, atau tindakan yang baik dan yang
buruk, yang mempengaruhi hal lainnya.9 WJS. Poerwadarminta dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia mengemukakan pengertian etika sebagai ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).
B. Objek Kajian Etika
Objek etika adalah moralitas manusia, bahwa satuan dari moralitas itu adalah
moral. Istilah Hens Kelsen, moral adalah regulation of internal behavior. Jika
moral merupakan suatu norma, maka dapat dipastikan moral mengandung nilai-
nilai karena norma adalah konkretisasi dari nilai.
Setiap tingkah laku atau perbuatan manusia yang pasti berkaitan dengan
norma atau nilai etis yang berlaku di masyarakat, sehingga dapat dikatakan
bahwasannya tingkah laku manusia itu, baik yang dapat diamati secara langsung
maupun tidak, dapat dijadikan sebagai bahan tinjauan, tempat penilaian terhadap

9
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), hlm.4.

6
norma yang berlaku di masyarakat. Perbuatan menjadi obyek ketika etika
mencoba atau menerapkan teori nilai.
Menurut pendapat Achmad Amin yang mengemukakan bahwa perbuatan yang
dimaksud sebagai obyek etika ialah perbuatan sadar baik oleh diri sendiri atau
pengaruh orang lain yang dilandasi oleh kehendak bebas dan disertai niat dalam
batin.10
C. Hubungan Etika Dengan Moral
Secara etimologis, kata etika sama dengan kata moral, keduanya berarti adat
kebiasaan. Perbedaannya hanya pada asalnya, etika berasal dari bahasa Yunani,
sedangkan moral berasal dari bahasa Latin.
Dengan merujuk pada arti kata etika yang sesuai, maka arti kata moral sama
dengan arti kata etika, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.11 Seperti ketika
mengatakan bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral, maksudnya bahwa kita
menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang
berlaku dalam masyarakat. Atau ketika kita mengatakan bahwa para pengedar
narkoba, para pemerkosa mempunyai moral yang bejat, artinya bahwa mereka
berpegang pada nilai-nilai dan norma yang tidak/ sangat buruk. 12
Namun Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmoko menyatakan sesunggunya
ajaran ettika tidak hanya sekedar ajaran moral, malah lebih jauhlagi, karena etika
juga mengajarkan mengapa manusia harus berbuat baik dan menghindari segala
sesuatu yang buruk. Ajaran moral lebih spesifik mendekati perilaku secara
lahiriah, sementara ajaran etika, selain berkaitan dengan sikap lahiriah juga
mencakup sikap batin manusia.
D. Hubungan Etika Dengan Agama
Etika meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan peraturan yang
mengandung petunjuk bagaimana sepatutnya manusia berprilaku. Etika
mengadung muatan peraturan tentang agama, kesusilaan, hukum, dan adat.
 Terma etika dalam Islam dinyatakan sebagai bagian dari akhlak. Tetapi
akhlak mencakup hal yang lebih luas, yaitu meliputi bidang akidah,
ibadah, dan syariah.
 Abdullah Salim mengatakan akhlak Islami cakupannya sangat luas yaitu
menyangkut etos, etis, moral, dan estetika. Jadi, akhlak dalam Islam
berkaitan dengan hubungan manusia kepada Allah SWT, dan hubungan
horizontal yaitu hubungan kepada sesame makhluk Allah SWT, termasuk
hubungan manusia dengan alam sekitar dan kehidupannya.
 Atas dasar itu, akhlak adalah ilmu yang membahas perbuatan manusia dan
mengajarkan perbuatan baik yang harus dikerjakan dan perbuatan jahat
10
Serlika Aprita, Etika Profesi Hukum, (Palembang: Refika, 2019), hlm.5-6.
11
Supriadi, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm.12.
12
Adnan Murya dan Urip Sucipto, Etika dan Tanggung Jawab Profesi, (Yogyakarta:
Deepublish, 2019), hlm.4.

7
yang haris dihindari dalam hubungan dengan Allah SWT, manusia, dan
alam sekitar dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai moral
 Etika dan moral adalah dua kata yang mempunyai kesamaan dan juga
perbedaan yaitu:
 Persamaannya adalah pada obyek yakni sama-sama membahas tentang
baik dan buruk tingkah laku manusia.
 Sedangkan perbedaannya adalah pada parameternya, yaitu etika
terhadap panduan akal, dan akhlak terhadap agama (panduan al-Qur’an
dan Hadis.13
E. Hubungan Etika Dengan Filsafat
Etika adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tentang nilai baik-buruk.
Etika disebut juga filsafat moral.
 Soegarda Poerbakawatja, menyatakan dalam ensiklopedia Pendidikan
dijelaskan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan, tentang
baik dan buruk, kecuali etika mempelajari nilai-nilai itu sendiri.
 Sedangkan M. Sastra Pradja mengungkapkan di dalam kamus istilah
Pendidikan Umum diungkapkan bahwa etika adalah bagian dari filsafat
yang mengajarkan keseluruhan budi (baik dan buruk). Pengertian ini
memberikan pandangan terhadap etika yang menunjukkan sikap nilai-nilai
pengetahuan di dalam perilaku baik dan buruk yaitu akal budi.14
Etika membicarakan tentang pertimbangan-pertimbangan tentang tindakan
baik buruk, susila dan tidak susila dalam hubungan antar manusia. Etika sebagai
cabang dari filsafat, merupakan proses berpikir mengenai filsafat tingkah laku
beserta persoalan-persoalan dan pembenaran-pembenarannya.

13
Farid Wajdi dan Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum (Edisi Revisi), (Jakarta:
Sinar Grafika, 2019), hlm.4-5.
14
Ibid, hlm.2.

8
PROFESI DAN PROFESI HUKUM

A. Profesi
Kata profesi adalah turunan dari bahasa Inggris “profession” yang berarti
pekerjaan. Orang yang ahli atau tenaga ahli menjalankan profesi itu disebut
professional. Prinsip utama profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandai
pendidikan keahlian tertentu. 15
Soetandyo Wignjosoebroto secara spesifik menegaskan suatu profesi selalu
memiliki atribut dengan ciri khas atau karakteristik, berikut:16
 Kegiatan pelayanan jasa atas dasar pembayaran upah atau honoraris
 Penggunaan kecakapan teknis yang tinggi, dan karenanya harus dipenuhi
oleh suatu pendidikan khusus yang formil
 Landasan kerja yang ideal, dan disokong oleh cita-cita etis masyarakat
Muladi menegaskan ciri profesi yaitu sebagai berikut:17
 Diperlukan persyaratan berupa extensive training untuk dapat berpraktik
secara professional
 Training tersebut harus mengandung yang dinamakan a significant
intellectual component atau unsur ilmiah yang sesuai, tidak sekedar berupa
latihan keterampilan semata
 Pentingnya kesadaran untuk mengabdikan segala kemampuan di atas
untuk pelayanan terhadap masyarakat yang semakin kompleks karena
proses modernisasi
Namun, jika merujuk Liliana Tedjosaputro perlu dipahami bahwa profesi juga
memiliki dimensi moral dan filsafat. Karena itu ciri profesi sebagai berikut:18
 Menggunakan serangkaian pengetahuan akademis (teoritis dan terapan)
 Lebih mengutamakan pemakaian standar-standar teoritis dalam upaya
mengukur keberhasilan suatu profesi
 Memiliki suatu sistem pengawasan terhadap praktik para pengempan
profesi dengan menetapkan kode etik sebagai salah satu standar perilaku
para pengemban profesi.

15
Farid wajdi dan Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2019), hlm.17
16
Soemarno P. Wirjanto, Ilmu Hukum Profesi, dalam Pro Justitia No. Ke-11, Bandung,
1980, hlm.43
17
Sutrisno dan Wiwin Yulianingsih, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta: Andi, 2016),
hlm.27
18
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu,
2003), hlm.45

9
B. Profesi Hukum
Profesi hukum adalah orang yang memiliki pekerjaan dengan pengetahuan
yang tinggi di bidang hukum dan juga melalui pelatihan yang berkaitan dengan
hukum.
Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh
aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu negara.19 Profesi hukum
merupakan profesi yang mulia dan terhormat (officum nobile) karena bertujuan
menegakkan hukum dan keadilan dalam kehidupan masyarakat.
Frans Magnis Suseno mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat
mendasari kepribadian professional hukum yaitu:
 Kejujuran
 Otentik
 Bertanggung jawab
 Kemandirian moral
 Keberanian moral
Supriadi merumuskan tentang unsur-unsur profesi hukum yaitu sebagai
berikut:
 Harus ada ilmu (hukum) yang diolah didalamnya
 Harus ada kebebasan, tidak boleh ada dicust verhouding (hubungan dinas)
hierarkis
 Mengabdi kepada kepentingan umum, mencari nafkah tidak boleh
mwnjadi tujuan
 Ada clienten-verhouding, yaitu hubungan kepercayaan diantara advokat
dan client
 Ada kewajiban merahasiakan informasi dari client dan perlindungan
dengan hak merahasiakan itu oleh undang-undang
 Ada immuniteit (imunitas)
 Ada kode etik dan peradilan kode etik
 Ada honorarium

C. Jenis Profesi Hukum dan Dasar Hukumnya


1. Polisi
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia: Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan
dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dasar Hukum:

19
C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997),
hlm.8

10
 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022
tentang Kode ETIK Profesi dan Komisi Kode Etik POLRI

2. Jaksa
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia: Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan
pegadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain
berdasarkan undang-undang.

Dasar Hukum:
 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
 Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode
Perilaku Jaksa

3. Hakim
Pasal 1 butir 8 KUHAP: Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili

Dasar Hukum:
 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
 Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
02/PB/MA/IX/2012 dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim

4. Advokat
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat:
Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
undang-undang ini.
Dasar Hukum:
 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

11
 Kode Etik Advokat Indonesia – IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI,
HKHPM disahkan pada tanggal 23 Mei 2002 DKI Jakarta 2002

5. Notaris
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris: Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang lainnya

Dasar Hukum:
 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris20

20
Fajlurrahman Jurdi, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Prenamedia, 2022), hlm. 99-255

12
KODE ETIK PROFESI HUKUM

A. Defenisi Kode Etik Profesi Hukum


Kode etik adalah suatu tuntunan, bimbingan, dan pedoman moral atau
kesusilaan untuk suatu profesi tertentu. Kode etik sebagai wadah peraturan-
peraturan perilaku yang disepakati bersama oleh masyarakat profesi, pada
umumnya mengandung hak dan kewajiban bagi para professional.21
Sumaryono mengemukakan tiga alasannya pentingnya kode etik yaitu: sebagai
sarana kontrol sosial; sebagai pencegah campur tangan pihak lain; sebagai
pencegah kesalahpahaman dan konflik. Fungsi lain menurut Abdulkadir
Muhammad: merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan,
sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota lama, baru,
ataupun calon anggota kelompok profesi; dapat mencegah kemungkinan terjadi
konflik kepentingan antara sesama anggota kelompok profesi, atau antara anggota
kelompok profesi dan masyarakat. Anggota kelompok profesi atau anggota
masyarakat; sebagai kontrol melalui rumusan kode etik profesi, apakah anggota
kelompok profesi telah memenuhi kewajiban profesionalnya sesuai dengan kode
etik profesi.22

B. Kode Etik Profesi Hukum


1. Kode etik Hakim
Uraian mengenai kode etik dan pedoman perilaku hakim meliputi:23
 etika kepribadian hakim, adalah percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa; menjunjung tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim;
berkelakuan baik dan tidak tercela; menjadi teladan bagi masyarakat;
menjauhkan diri dari perbuatan dursila dan kelakuan yang dicela oleh
masyarakat; tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat
hakim; bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab; berkepribadian,
sabar, bijaksana, berilmu; bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai
peradilan); dapat dipercaya; berpandangan luas
 etika melakukan tugas jabatan, sebagai pejabat penegak hukum, hakim:
bersikap tegas, disiplin; penuh pengabdian pada pekerjaan; bebas dari
pengaruh siapapun juga; tidak menyalahgunakan kepercayaan, kedudukan,
dan wewenang untuk kepentingan pribadi atau golongan; tidak berjiwa
mumpung; tidak menonjolkan kedudukan; menjaga wibawa dan martabat
hakim dalam hubungan kedinasan; berpegang teguh pada kode
kehormatan hakim

21
Lubis, Suhrawardi K, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 104
22
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006)
hlm. 77
23
Ibid, hlm. 101-103

13
 etika pelayanan terhadap pencari keadilan, sebagai pejabat penegak
hukum, hakim: bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang
ditentukan di dalam hukum acara yang berlaku; tidak memihak, tidak
bersimpati, tidak antipati pada pihak yang berperkara; berdiri di atas
semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak membeda-bedakan
orang; sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam
ucapan maupun perbuatan; menjaga kewibawaan dan kenikmatan
persidangan; bersungguhsungguh mencari kebenaran dan keadilan;
memutus berdasarkan keyakinan hati nurani; sanggup
mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Esa
 etika hubungan sesama rekan hakim, Sebagai sesama rekan pejabat
penegak hukum, hakim: memelihara dan memupuk hubungan kerja sama
yang baik antara sesama rekan; memiliki rasa setiakawan, tenggang rasa,
dan saling menghargai antara sesama rekan; memiliki kesadaran,
kesetiaan, penghargaan terhadap korp hakim; menjaga nama baik dan
martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan; bersikap
tegas, adil, dan tidak memihak; memelihara hubungan baik dengan hakim
bawahannya dan hakim atasannya; memberi contoh yang baik di dalam
dan di luar kedinasan
 dan etika pengawasan terhadap hakim, Pengawasan dan sanksi akibat
pelanggaran kode kehormatan hakim dan pelanggaran undang-undang
sepenuhnya di atur dalam undang-undang. Pengawasan terhaap hakim di
lakukan oleh majelis kehormatan hakim
Kemudian tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim diatur dalam
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Dan Ketua Komisi Yudisial RI
Nomor: 047/Kma/Skb/Iv/2009 02/Skb/P.Ky/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan
Pedoman Perilaku Hakim. Prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku
hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut:
1) Berperilaku adil
2) Berperilaku jujur
3) Berperilaku arif dan bijaksana
4) Bersikap mandiri. Mandiri
5) Berintegritas tinggi. Integritas
6) Bertanggungjawab.

2. Kode etik Jaksa


Dalam peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
Per-014/A/Ja/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa dijelaskan: Untuk
mewujudkan jaksa yang memiliki integritas, bertanggung jawab dan mampu
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, serta mewujudkan birokrasi
yang bersih, efektif, efisien, transparan dan akuntabel yang dilandasi doktrin Tri
Krama Adhyaksa.24

24
Ibid, hlm. 110-122

14
Dalam peraturan ini kewajiban jaksa adalah:
 Jaksa kepada negara: setia dan taat kepada Pancasila dan UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bertindak berdasarkan
peraturan perundangundangan yang berlaku, mengindahkan norma agama,
kesopanan, kesusilaan yang hidup dalam masyarakat dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia; dan melaporkan dengan segera kepada
pimpinannya apabila mengetahui hal yang dapat membahayakan atau
merugikan negara.
 Jaksa kepada institusi: menerapkan Doktrin Tri Krama Adhyaksa dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya; menjunjung tinggi sumpah
dan/atau janji jabatan jaksa; menjalankan tugas sesuai dengan visi dan misi
Kejaksaan Republik Indonesia; melaksanakan tugas sesuai peraturan
kedinasan dan jenjang kewenangan; menampilkan sikap kepemimpinan
melalui ketauladanan, keadilan, ketulusan dan kewibawaan; dan
mengembangkan semangat kebersamaan dan soliditas serta saling
memotivasi untuk meningkatkan kinerja dengan menghormati hak dan
kewajibannya.
 Jaksa kepada profesi jaksa: menjunjung tinggi kehormatan dan martabat
profesi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dengan integritas,
profesional, mandiri, jujur dan adil
 Jaksa kepada masyarakat: memberikan pelayanan prima dengan
menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia; dan
menerapkan pola hidup sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.

3. Kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia


Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan: Fungsi kepolisian adalah salah
satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara
yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam
negeri.
Sikap dan perilaku pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada
kode etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia. Kode etik profesi
kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban
fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya. Pelanggaran terhadap kode
etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat kepolisian Negara
Republik Indonesia diselesaikan oleh komisi kode etik kepolisian Negara
Republik Indonesia. Kemudian dalam peraturan kepala kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian

15
Negara Republik Indonesia disebutkan: Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Etika profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kristalisasi nilai-
nilai Tribrata dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta
mencerminkan jati diri setiap anggota Polri dalam wujud komitmen moral yang
meliputi etika kenegaraan, kelembagaan, kemasyarakatan, dan kepribadian. Kode
etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat
KEPP adalah normanorma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan
etik atau filosofis yang berkaitan dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-
hal yang diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas, wewenang,
dan tanggung jawab jabatan Prinsip-prinsip KEPP meliputi: kepatutan, kepastian
hukum, sederhana, kesamaan hak, aplikatif, akuntabel.25
4. Kode etik Notaris
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
dijelaskan: Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: bertindak amanah,
jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang
terkait dalam perbuatan hukum; membuat akta dalam bentuk minuta akta dan
menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris; melekatkan surat dan
dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta; mengeluarkan grosse akta,
salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta akta.
Kemudian dalam Perubahan Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan
Notaris Indonesia Banten, 29-30 Mei 2015 dijelaskan bahwa kode etik notaris dan
untuk selanjutnya akan disebut kode etik adalah kaidah moral yang ditentukan
oleh perkumpulan ikatan notaris indonesia yang selanjutnya akan disebut
"perkumpulan" berdasarkan keputusan kongres perkumpulan dan/ atau yang
ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua
anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai
notaris, termasuk di dalamnya para pejabat sementara notaris, notaris pengganti
pada saat menjalankan jabatan.
Notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan jabatan
notaris) wajib:
1) memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik;
2) menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan notaris;
3) menjaga dan membela kehormatan perkumpulan;

25
Ibid, hlm. 122-125

16
4) berperilaku jujur, mandiri, tidak berpihak, amanah, seksama, penuh rasa
tanggung jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi
sumpah jabatan notaris;
5) meningkatkan ilmu pengetahuan dan keahlian profesi yang telah dimiliki
tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan;
6) mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara;
7) memberikan jasa pembuatan akta dan kewenangan lainnya untuk
masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium;
8) menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut
merupakan satu-satunya kantor bagi notaris yang bersangkutan dalam
melaksanakan tugas jabatan seharihari;
9) memasang 1 (satu) papan nama di depan/ di lingkungan kantornya dengan
pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80
cm, yang memuat: nama lengkap dan gelar yang sah; tanggal dan nomor
surat keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai notaris; tempat
kedudukan; alamat kantor dan nomor telepon/fax.
10) hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang
diselenggarakan oleh perkumpulan;
11) menghormati, mematuhi, melaksanakan peraturan-peraturan dan
keputusan-keputusan perkumpulan;
12) memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan
status ekonomi dan / atau status sosialnya.

5. Kode etik Advokat


Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang
Advokat dijelaskan bahwa: Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa
hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan ketentuan undang-undang ini.
Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi
hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela,
dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Hak dan kewajiban advokat:
1) Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan
dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-
undangan.
2) Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada
kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
3) Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam
menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan
pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.

17
4) Dalam menjalankan profesinya, advokat berhak memperoleh informasi,
data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi pemerintah maupun pihak
lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk
pembelaan kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
5) Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan
perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik,
keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
6) Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara
klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
7) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh
dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang.
8) Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk
perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau
pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi
elektronik advokat. 9. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang
bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.
9) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian
sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat atau mengurangi
kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.
10) Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi
advokat selama memangku jabatan tersebut.

Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat, disusun kode etik
profesi advokat oleh organisasi advokat. Advokat wajib tunduk dan mematuhi
kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang dewan kehormatan organisasi
advokat. Kode etik profesi advokat tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi advokat
dilakukan oleh organisasi advokat. Dewan kehormatan organisasi advokat
memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi advokat berdasarkan tata
cara dewan kehormatan organisasi advokat.26

26
Lubis, Suhrawardi K, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 133-
147

18
PEMBERIAN JASA HUKUM DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A. Hak Asasi Manusia Dalam Sudut Pandang Islam


Pemberian jasa hukum merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia yaitu
implementasi dari equality before the law dan access to justice. Setiap orang
berhak untuk mendapatkan jasa hukum, termasuk masyarakat yang tidak mampu.
Menurut hukum positif, Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki
manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan
karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif,
melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini
maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak
tersebut.
Hak-hak asasi manusia ditilik dari sudut pandang Islam bersifat teosentrik,
artinya, segala sesuatu berpusat kepada Tuhan. Makna teosentrik sendiri adalah
bahwa manusia pertama-tama harus meyakini dahulu ajaran pokok dalam Islam
yang dirumuskan dalam dua kalimat syahadat. Barulah setelah itu manusia boleh
berharap untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Dengan demikian,
Tuhan sangat dipentingkan. Oleh karena itu, hak-hak asasi manusia di dalam
Islam tidak semata-mata menekankan kepada hak-hak manusia saja, akan tetapi
hak-hak itu dilandasi oleh kewajiban asasi manusia untuk (terutama) semata-mata
mengabdi kepada Allah sebagai penciptanya. Di dalam Al-Qur’an prinsip-prinsip
human sebagaimana yang tercantum di dalam Universal Declaration of Human
Rights dilukiskan dalam berbagai ayat.
Sedangkan dalam Islam, ada dua macam HAM jika dilihat dari kategori
Ḥuqūqul-‘ibad yaitu pertama HAM yang keberadaannya dapat diselenggarakan
oleh negara (Islam), dan kedua adalah HAM yang keberadaannya tidak secara
langsung dapat dilaksanakan oleh suatu negara. Hak pertama dapat disebut hak
legal, sedangkan yang kedua dapat disebut sebagai hak moral.27
Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) telah lama dikenal dalam
Islam. Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia ini merupakan salah salah
bentuk dari upaya penegakan keadilan. Jika ditelaah lebih dalam banyak ayat Al-
Qur’an maupun As-Sunnah yang menjadi dasar bagi teori persamaan hak. Ayat-
ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar tersebut diantaranya Q.S. Al-An’am: 151
yang menjadi dasar adanya hak untuk hidup, Q.S Al-Hujurat: 13 yang menjadi
dasar adanya hak persamaan derajat, Q.S. Al-Ma’idah: 2 dan 8 yang menjadi
dasar adanya hak memperoleh keadilan, Q.S. Al-Baqarah: 188 yang menjadi
dasar hak perlindungan harta dan milik, Q.S. Al-Baqarah: 256 dan Yunus: 99
yang menjadi dasar hak kebebasan beragama, serta masih banyak lagi ayat Al-
27
Meidyasari Sholichati Mutia, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hak Atas Bantuan
Hukum Bagi Tersangka Dan Terdakwa Warga Tidak Mampu (Studi Analisis Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum), (Skripsi: Universitas Islam Indonesia,
2017), hlm. 9-10

19
Qur’an yang mengisyaratkan pemenuhan hak-hak manusia menurut
fitrahnya.28
B. Sejarah Pemberian Jasa Hukum
 Praktek pemberian hukum telah dikenal sejak zaman pra-Islam. Pada saat
itu belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap terjadi
persengketaan mengenai hak milik, hak waris, dan hak lainnya
diselesaikan melalui bantuan juru damai yang ditunjuk oleh masing-
masing pihak yang bersengketa (mediator), syarat yang penting bagi
mereka adalah harus cakap dan memiliki kekuatan supranatural (ahli
nujum), lebih banyak menggunakan kekuatan firasat dari pada
menghadirkan alat-alat bukti
 Pada waktu Islam datang, hal-hal yang bersifat takhayul dan syirik mulai
di eliminir secara bertahap dan disesuaikan dengan Al-Qur’an dan As-
Sunnah, Pada masyarakat Mekkah pemberian jasa hukum berkembang
untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Sedangkan pada kota Madinah
untuk menyelesaikan sengketa dibidang pertanian. Dalam catatan sejarah,
sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, pada awalnya
Nabi Muhammad Saw bertindak sebagai arbiter tunggal, Nabi pernah
bertindak menjadi arbiter dalam perselisihan yang berkaitan dengan
kembali Hajar Aswad ke tempat semula. Nabi juga sering menjadi wasit
dalam sengketa umat, seperti sengketa warisan Ka’ab ibnu Malik dan Ibnu
Abi Hardrad, dll.
 Akan tetapi setelah Islam berkembang keberbagai daerah, maka ia
memberikan kewenangan ada sahabat lainnya untuk menjadi mediator.
Demikian pula lembaga yang dipakai ada yang permanen dan ad hoc. Para
sahabat dituntut untuk melakukan ijtihad dalam berbagai kasus yang tidak
ada dalam Al-Qur’an atau Sunnah
 Perkembangan pemberian jasa hukum lebih berkembang pada masa Umar
bin Khattab yang mulai melimpahkan wewenang peradilan kepada pihak
lain yang memiliki otoritas untuk itu. Bahkan umur berhasil menyusun
pokok-pokok pedoman beracara di peradilan seperti pengukuhan terhadap
kedudukan arbitrase. Dalam penghujung Al-Khulafaurrasyidin pemberian
jasa hukum juga diterapkan pada masalah politik, khususnya pada saat
perselisihan kepemimpinan Usman Ibnu Affan kepada Ali Ibnu Abi Thalib
yang ditandai terbunuhnya Usman bin Affan pada waktu itu.29
C. Kategorisasi Pemberi Jasa Hukum Dalam Islam
Konsepsi pemberian jasa hukum dalam Islam berbeda dengan konsepsi
pemberian jasa hukum positif, sebab dalam hukum Islam, konsep pemberian jasa
hukum terbagi atas 3 (tiga) bagian yaitu Hakam, Mufti, dan Mushalih-alaih.

28
Rizky Wiranda, Muhammad Ibnu Imam Muhyiddin, dan Fauziyah Lubis, “Meninjau
Pemberian Jasa Hukum Dalam Perspektif Islam”, Volume 9., No. 3., (2023), hlm. 461.
29
Muhammad Faqih Muslim, “Profesi Advokat Dalam Perspektif Hukum Islam”,
(Skripsi: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), hlm. 17-22.

20
Sementara itu, konsep pemberian jasa hukum dalam hukum positif seperti
advokat, konsultan hukum, arbiter, dan sebagainya.30
1. Hakam
Secara etimologis: orang yang ditunjuk sebagai penengah dalam penyelesaian
sengketa.
Secara terminologis fikih, takhim diartikan sebagai dua orang atau lebih
mentahkim kan kepada seseorang diantara mereka untuk menyelesaikan sengketa
dan diterapkan hukum syara atas sengketa mereka itu.
 Seorang hakam dalam menjalankan tugasnya akan selalu berpedoman
pada sumber hukum Islam.
 Menurut Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, tugas hakam sama dengan
hakim begitupun dengan sifatnya harus mempunyai sifat jujur, bijaksana,
mempunyai kompetensi dibidangnya dan sifat lain yang mendukung
 Fungsi hakam adalah berusaha mendamaikan para pihak yang bersengketa
agar masalah dapat diselesaikan secara damai dan kekeluargaan.31

2. Mufti
Secara etimologis: sebagai orang yang memberikan fatwa (kewajiban atas
sesuatu pertanyaan yang tidak begitu jelas hukumnya).
Secara terminologis: orang yang dipercayakan kepadanya tentang hukum-
hukum Allah untuk disampaikan kepada manusia.
 Dalam perspektif hukum nasional, mufti sama dengan penasihat hukum
atau konsultan hukum
 Mufti memberikan fatwa atau nasihat hukum kepada individu atau
masyarakat. Nasihat yang diberikan berkaitan dengan kebutuhan perilaku
kehidupan manusia, pesan-pesan yang diberikan sumberya bersal dari
firman Allah SWT.32

3. Mushalih-alaih
Secara etimologis: memutus pertengkaran atau perselisihan.
Secara terminologis: jenis aqad untuk mengakhiri perlawanan antara dua
orang yang berlawanan. Melakukan aqad (perjanjian) dapat dibenarkan apabila
perjanjian itu dalam hal yang baik.
 Dalam perspektif Islam subjek yang melakukan perjanjian disebut
mushalih. Perkara yang menjadi objek perselisihan mushalih anhu dan
pihak yang memberikan jasa hukum disebut mushalih alaihi.
30
John Kenedi, “Mediator Pemberi Jasa Hukum”, dalam Hukum Islam, Volume 26., No.
1., (2016), hlm. 92
31
Ibid, hlm. 92-99
32
Ibid, hlm. 100-103

21
 Sumber yang menjadi rujuan utama dari pelaksanaannya sama dengan mtfi
yaitu Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
 Apabila terjadi wanprestasi maka mendapatkan sanksi hukum yang tegas
seperti melaksanakan kewajiban ata mengembalikan hak seseorang yang
dirampasnya.
 Apabila pihak yang telah melanggar hak orang lain tersebut telah
memenuhi kewajibannya, maka diupayakan untuk mendamaikan kembali
secara adil dan benar sesuai asas keadilan.33

D. Pemberian Jasa Hukum Bagi Masyarakat Miskin


Dalam Al-Qur’an dan Hadits telah dijelaskan bahwa Allah SWT
memerintahkan untuk saling tolong menolong antara manusia dalam kebaikan dan
melarang tolong menolong tersebut dilakukan untuk mengerjakan kemungkaran
dan maksiat kepada Allah SWT, hal ini tertuang dalam Al-Qur’an Surat Al-
Maidah ayat 2:
Artinya: “dan tolong – menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya”.
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a dijelaskan pula
Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai
kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan
kesulitankesulitannya hari kiamat, dan siapa yang memudahkan orang yang
sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat
dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di
dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama hambanya
menolong saudaranya” (H.R. Muslim).
Ayat dan hadits di atas telah dijelaskan bahwa tolong menolong itu sangat
dianjurkan oleh agama baik menolong itu dalam hal-hal yang bersifat keduniaan
maupun dalam hal-hal yang bersifat keukhrawian. Salah satu bentuk tolong
menolong dalam hal keduniaan adalah memberikan bantuan hukum kepada orang
yang membutuhkannnya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam ayat Al-
Qur’an dan Al-Hadits di atas. Hal inilah yang mempengaruhi pemberian bantuan
hukum bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis maupun secara
keilmuan.34

33
Ibid, hlm. 103-104
34
Imam Mahdi, dkk, “Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Miskin (Studi
Pada LKBH IAIN Bengkulu), Volume 3., No. 1., (2018), hlm. 55-56.

22
PEMBERIAN JASA HUKUM DARI PERSPEKTIF ISLAM DAN UMUM
(KONVENSIONAL)

A. Dari Perspektif Islam


Konsepsi pemberian jasa hukum dalam Islam berbeda dengan konsepsi
pemberian jasa hukum positif, sebab dalam hukum Islam, konsep pemberian jasa
hukum terbagi atas 3 (tiga) bagian yaitu Hakam, Mufti, dan Mushalih-alaih.
Sementara itu, konsep pemberian jasa hukum dalam hukum positif seperti
advokat, konsultan hukum, arbiter, dan sebagainya.35
1. Hakam
Secara etimologis: orang yang ditunjuk sebagai penengah dalam penyelesaian
sengketa. Proses penunjukan hakam disebut takhim.
Secara terminologis fikih, takhim diartikan sebagai dua orang atau lebih
mentahkim kan kepada seseorang diantara mereka untuk menyelesaikan sengketa
dan diterapkan hukum syara atas sengketa mereka itu.
 Seorang hakam dalam menjalankan tugasnya akan selalu berpedoman
pada sumber hukum Islam dan ijma ulama dalam memberikan jasa hukum,
nasihat hukum, menetapkan hukum, ataumemutuskan hukum
 Hakam hanya berperan memberikan bantuan, nasihatmengenai perkara
yang ditanganinya sesuai dengan hukum yang ada
 Menurut Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, tugas hakam sama dengan
hakim begutupun dengan sifatnya harus mempunyai sifat jujur, bijaksana,
mempunyai kompetensi dibidangnya dan sifat lain yang mendukung
 Fungsi hakam adalah berusaha mendamaikan para pihak yang bersengketa
agar masalah dapat diselesaikan secara damai dan kekeluargaan.36

2. Mufti
Secara etimologis: sebagai orang yang memberikan fatwa (kewajiban atas
sesuatu pertanyaan yang tidak begitu jelas hukumnya).
Secara terminologis: orang yang dipercayakan kepadanya tentang hukum-
hukum Allah untuk disampaikan kepada manusia. Oleh, karena itu kelembagaan
mufti adalah orang yang memberikan fatwa yang lazim disebut “ifta”.
 Dalam perspektif hukum nasional, mufti sama dengan penasihat hukum
atau konsultan hukum
 Mufti memberikan fatwa atau nasihat hukum kepada individu atau
masyarakat. Nasihat yang diberikan berkaitan dengan kebutuhan perilaku

35
John Kenedi, “Mediator Pemberi Jasa Hukum”, dalam Hukum Islam, Volume 26., No.
1., (2016), hlm. 92
36
Ibid, hlm. 92-99

23
kehidupan manusia, pesan-pesan yang diberikan sumbernya berasal dari
firman Allah SWT37
 Dalam pemerintahan Islam, profesi mufti selalu mendapat pengawasan dar
pihak pemerintah dan organisasi yang diberikan untuk melakukan
pengawasan, seperti halnya organisasi advokat
 Mufti memberikan fatwa kepada seseorang terhadap sesuatu hal yang
terjadi. Yang diamksud dengan suatu hal yaitu segala peristiwa hukum
kejadian atau perkara yang sudah terjadi dalam kehidupan manusia.

3. Mushalih-alaih
Secara etimologis: memutus pertengkaran atau perselisihan.
Secara terminologis: jenis aqad untuk mengakhiri perlawanan antara dua
orang yang berlawanan. Melakukan aqad (perjanjian) dapat dibenarkan apabila
perjanjian itu dalam hal yang baik.
 Dalam perspektif Islam subjek yang melakukan perjanjian disebut
mushalih. Perkara yang menjadi objek perselisihan mushalih anhu dan
pihak yang memberikan jasa hukum disebut mushalih alaihi.
 Sumber yang menjadi rujuan utama dari pelaksanaannya sama dengan mtfi
yaitu Alquran dan A-Sunnah Nabi Muhammad SAW
 Apabila terjadi wanprestasi maka mendapatkan sanksi hukum yang tegas
seperti melaksanakan kewajiban ata mengembalikan hak seseorang yang
dirampasnya.
 Apabila pihak yang telah melanggar hak orang lain tersebut telah
memenuhi kewajibannya, maka diupayakan untuk mendamaikan kembali
secara adil dan benar sesuai asas keadilan.38
B. Dari Perspektif Umum (Konvensional)
1. Advokat
Secara etimologis: berasal dari bahasa Latin advocare, yang artinya
pembelaan, memanggil seseorang utuk dimintai bantuan agar bisa menuntut atau
memberi jaminan. Sedangkan dalam bahasa Belanda, advocaat diartikan sebagai
procureur, sebagai pengacara dalam hal ini merujuk pada aktivitas pengadilan39
Secara terminologis: menurut Yudha Pandu, advokat sebagai orang yang
mewakili kliennya untuk melakukan pembelaan dan penuntutan dalam
persidangan.40
 Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
 Melaksanakan kode etik advokat

37
Ibid, hlm. 100-103
38
Ibid, hlm. 103-104
39
Ishaq, Pendidikan Keadvokatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2020), hlm. 2
40
H. A. Sukris Sarmadi, “Advokat Litigasi dan Nonlitigasi Pengadilan: Menjadi Advokat
Indonesia Kini”, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 1

24
 Memberi pelayanan hukum, nasihat hukum, konsultan hukum, pendapat
hukum, informasi hukum, dan menyusun kontrak-kontrak
 Membela kepentingan klien dan mewakili klien di muka pengadilan41
 Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada masyarakat yang
lemah dan tidak mampu

2. Konsultan Hukum
Adalah mereka yang diangkat oleh Menteri Kehakiman untuk memberi
konsultasi hukum diluar pengadilan. Konsultan hukum adalah orang yang
bertindak memberikan nasehat- nasehat dan pendapat hukum terhadap suatu
tindakan / perbuatan hukum yang akan dan yang telah dilakukan oleh kliennya.
konsultan hukum atau penasihat hukum adalah orang yang memberikan pelayanan
jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem hukum yang berlaku di negara
masing-masing. Jadi, jasa konsultan hukum hanya sebatas memberikan layanan
konsultasi dan memberikan jasa hukumnya di luar pengadilan. Namun, sejak
diberlakukannya Undang-Undang Advokat, istilah ini disamakan dengan Advokat
agar ada standarisasi yang jelas. Tindakan dan perbuatan hukum yang
dimaksudkan adalah diluar pengadilan. Konsultan hukum atau sering disebut juga
dengan penasehat hukum = counsellor at law = solicitor.42
 Dasar hukum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum
 Konsultan Hukum berhak melakukan pelayanan hukum bantuan hukum,
konsultasi hukum, perlindungan hukum selama menjalankan pemberian
bantuan hukum, dan hal lain yang berkaitan dengan pemberian
pendampingah hukum klien.43

3. Arbiter
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif penyelesaian sengketa umum, arbiter adalah seorang atau lebih yang
dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan
Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
Secara etimologis: kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage
(Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Prancis),
yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesutu menurut kebijaksanaan atau
damai oleh arbiter atau wasit.44
41
Jefry Tantang, Advokat Mulia (Paradigma Hukum Profetik dalam Penyelesaian
Sengketa Hukum Keluarga Islam), (Yogyakarta: K-Media, 2018), hlm. 73-74
42
https://libera.id/blogs/beda-advokat-dan-pengacara/, diakses pada tanggal 15 Mei 2023.
43
Arnita Ernauli Marbun, “Kajian Terhadap Peran Konsultan Hukum dalam
Menyelesaikan Masalah terhadap Klien Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam
Rumah Tangga” (Jurnal Skripsi: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014), hlm. 6-7
44
R. Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perakitan, Arbitrase, dan Peradilan, (Bandung:
Alumni, 1980), hlm. 1

25
Secara terminologi: Menurut R. Subekti arbitrase adalah:“penyelesaiain suatu
perselisihan (perkara) oleh seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang
bersama sama di tunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak di
selesaikan lewat pengadilan.45
 Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif penyelesaian sengketa umum.
 Proses persidangan arbitrase dipimpin oleh seorang arbiter, baik tunggal
maupun majelis, yang penting jumlah arbiter adalah ganjil. Hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan di dalam mengambil keputusan. Sebagai
seseorang yang di amanahi untuk menjadi seorang arbiter adalah
mengemban tugas yang tidak ringan. Dia harus dapat adil, tidak memihak,
serta dapat menyelesaikan tugas yang diberikan dengan memberikan hasil
putusan dalam jangka waktu yang sudah ditentukan oleh undang-undang,
yaitu 180 hari dengan perpanjangan waktu 60 hari
 Pasal 73 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif penyelesaian sengketa umum, dinyatakan bahwa tugas arbiter
berakhir karena: a. Putusan mengenai sengketa telah diambil; b. Jangka
waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah
diperpanjang oleh para telah lampau; atau c. Para pihak sepakat untuk
menarik kembali penunjukan arbiter.
 Waktu yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa umum, tersebut di
atas harus benar-benar di jalankan oleh seorang arbiter, sebab jika tidak,
maka dia di ganjar untuk mengembalikan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan oleh para pihak disamping juga dapat memunculkan rasa tidak
percaya terhadap lembaga arbitrase yang diharapkan dapat menyelesaikan
perkara yang tengah dihadapi dalam waktu yang tidak begitu lama.46

45
R. Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perakitan, Arbitrase, dan Peradilan,
(Bandung: Alumni, 1980), hlm. 5
46
Aryani Witasari, “Konsekuensi Hukum Bagi Seorang Arbiter Dalam Memutus Suatu
Perkara Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999”, dalam Hukum, Volume 25., Np. 1.,
(2011), hlm. 474-475

26
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Y. (2006). Pengantar Studi Etika. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.
Aprita, S. (2019). Etika Profesi Hukum. Palembang: Refika.
Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ishaq. (2020). Pendidikan Keadvokatan. Jakarta: Sinar Grafika.
Jurdi, F. (2022). Etika Profesi Hukum. Jakarta: Prenamedia.
Kansil, C. (1997). Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.
Kenedi, J. (2016). Mediator Pemberi Jasa Hukum Dalam Islam. Hukum Islam
Volume 26., No. 1, 90-112.
Lubis, F. W. (2019). Etika Profesi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Lubis, Suhrawardi, K. (2017). Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Mahdi, I. (2018). Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Miskin (Studi
Pada LKBH IAIN Bengkulu). Pro Justitia Volume 3 ., No. 1, 55-67.
Marbun, A. E. (2014). Kajian Terhadap Peran Konsultan Hukum Dalam
Menyelesaikan Masalah Terhadap Klien Yang Menjadi Korban Tindak
Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Skripsi: Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, 1-25.
Muhammad, A. (2006). Etika Profesi Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Munir, R. M. (2001). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Muslim, M. F. (2010). Profesi Advokat Dalam Perspektif Hukum Islam.
Universitas Syarifhidayatullah Jakarta, 1-22.
Mutia, M. S. (2017). Tinjauab Hukum Islam Terhadap Hak Atas Bantuan Hukum
Bagi Tersangka dan Terdakwa Warga Tidak Mampu (Studi Analisis Pasal
5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum).
Universitas Islam Indonesia, 1-22.
Prakoso, A. (2015). Etika Profesi Hukum. Surabaya: Laksbang Yustisia.
Sarmadi, H. S. (2009). Advokat Litigasi dan Non Litigasi Pengadilan: Menjadi
Advokat Indonesia Kini. Bandung: Mandar Maju.
Siregar, F. (2015). Etika Sebagai Filsafat Ilmu. De'rechsstaat, 60-72.

27
Subekti, R. (1980). Kumpulan Karangan Hukum Perakitan, Arbitrase, dan
Peradilan. Bandung: Alumni.
Sucipto, A. M. (2019). Etika dan Tanggung Jawab Profesi. Yogyakarta:
Deepublish.
Supriadi. (2006). Pengantar Studi Etika. Jakarta: Sinar Grafika.
Susanto. (2011). Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistomologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Tantang, J. (2018). Advokat Mulia (Paradigma Hukum Profetik Dalam
Penyelesaian Sengketa Hukum Keluarga Islam). Yogyakarta: K-Media.
Tedjosaputro, L. (2003). Etika Profesi dan Profesi Hukum. Semarang: Aneka
Ilmu.
Wiranda, R. (2023). Meninjau Pemberian Jasa Hukum Dalam Perspektif Islam.
Hukum Islam Volume 9., No. 3, 455-467.
Wirjanto, S. P. (1980). Ilmu Hukum Profesi. Bandung: Sinar Grafika.
Witasari, A. (2011). Konsekuensi Hukum Bagi Seorang Arbiter Dalam Memutus
Suatu Perkara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Hukum, Volume 25., No. 1, 474-486.
Yulianingsih, S. d. (2016). Etika Profesi Hukum. Yogyakarta: Andi.
Yunitarini, A. A. (2012). Etika, Profesi Dosen dan Perguruan Tinggi: Sebuah
Kajian Konseptual. Ekonomi dan Bisnis, 40-55.

28

Anda mungkin juga menyukai