DISUSUN OLEH:
Dosen:
DEWI SEPTIANA, S. H., M. H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020/2021
ii
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Hasil Pembahasan
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Sumber ajaran islam segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau syariat baru Islam.
Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam bersumber dari Al-Quran
yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah. Komponen
utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari'ah dan akhlak)
dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat runtuk
mengembangkannya. Mempelajari agama Islam merupakan fardhu 'ain, yakni kewajiban
pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang
dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok
masyarakat. Berijtihad adalah berusaha dengan sungguh-sungguh dengan memperguna kan
seluruh kemampuan pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang memenuhi syarat
untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuk
ajaran tentang hukum (fikih) Islam dari ahli. Dalam memahami pemahaman ajaran Islam,
berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat
menghasilkan pemahaman Islam yang komprehensif. Hal ini penting dilakukan, karena
kualitas pemahaman ke Islaman seseorang akan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan
tindakan ke Islaman yang buruk. Untuk itu uraian di bawah ini diarahkan untuk memahami
pemahaman tentang Islam.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Allah SWT menurunkan ayat pertama Alquran pada bulan Ramadan. Meski ada sejumlah
perbedaan, namun mayoritas ulama berpendapat 17 Ramadan --13 tahun sebelum hijriah--
dipercaya sebagai malam nuzulul quran (turunnya Alquran). Sebagian meyakini tanggal
tersebut bertepatan dengan 10 Agustus 610 masehi.
Alquran diturunkan oleh Allah SWT melalui Malaikat Jibril kepada Muhammad SAW di Gua
Hiro, Mekkah, Arab Saudi. Setelah itu Alquran turun berangsur-angsur selama kurang lebih
23 tahun. Sebagian meriwayatkan Alquran turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Selama itu,
Alquran difirmankan Allah kepada Muhammad sebanyak 30 juz atau 114 surat atau sekitar
6666 ayat. Alquran turun di dua tempat, yaitu di Mekkah (yang kemudian ayatnya disebut
Makkiyah) dan Madinah (disebut ayat Madaniyah).
Turunnya firman Allah yang pertama sekaligus menandakan 'pelantikan' Muhammad menjadi
seorang nabi. Kala itu, Nabi Muhammad terbujur kaku melihat Jibril yang diriwayatkan
memiliki sayap yang terbentang dari ufuk Barat hingga ufuk Timur. Pertemuan antara
keduanya menghasilkan dialog singkat yang sempat tidak dipahami oleh Nabi Muhammad.
Hidup sebagai yatim-piatu, putra dari pasangan Abdullah dan Aminah ini tinggal
bersama pamannya Abu Thalib. Sejak usianya dini, Muhammad dikenal sebagai pribadi
yang jujur. Ketulusan hatinya dan keuletannya dalam berdagang menaklukkan hati
Khadijah. Alhasil, janda kaya berusia 40 tahun itu meminang Muhammad yang saat itu
berusia 25 tahun.
Muhammad tinggal di Mekkah, salah satu kota perdagangan terbesar di Arab Saudi.
Dilansir dari buku Rekonstruksi Sejarah Alquran karya Taufik Adnan Amal, Mekkah
pada masa itu dinaungi oleh kebodohan dan kegelapan. Perdagangan manusia, kebiasaan
menghamburkan uang, penyembahan terhadap berhala, hingga bayi perempuan dikubur
hidup-hidup menjadi pemandangan yang lumrah di Mekkah.
Muhammad merasa janggal dengan hal seperti itu. Akhirnya, dia kerap menyisihkan
hari-harinya untuk berdiam diri di Gua Hira yang terletak di Utara kota Mekkah. Di
dalam gua itu, Muhammad merenungi berbagai masalah penciptaan alam semesta,
perihal Tuhan, dan kehidupan penduduk Arab yang tidak bermoral. Hingga satu hari,
kehidupan Muhammad berubah saat Jibril mendatanginya. Taufik mengatakan, malam
itu renungan Muhammad mencapai ufuk tertinggi.
5
Melihat pemandangan yang tidak biasa, dalam keadaan terburu-buru Muhammad segera
berlari pulang. Berkeringat, menggigil, ketakutan adalah emosi yang dirasakan
Muhammad saat dia menceritakan pengalamannya kepada Khadijah. Sebagai seorang
Istri, Khadijah memberikan dukungan kepada suaminya. Taufik menulis, "Khadijah
menenangkannya dengan menegaskan kesejatian pengalaman penerimaan wahyu
tersebut, karena Muhammad adalah orang baik yang tidak mungkin dirasuki ruh jahat,".
Nabi Muhammad dikenal sebagai pribadi yang tidak bisa membaca atau menulis, dalam
bahasa Arab disebut ummi. Sedangkan, wahyu pertama yang turun kepada Muhammad
adalah surat Al 'Alaq 1-5. Yang mana, ayat pertama pada surat tersebut berisikan
perintah untuk membaca.
Berdasarkan tuliskan Musnur Hery Zuhdiyah dalam Jurnal UIN Raden Fatah, ketika
Jibril membacakan ayat pertama yang berbunyi iqra' (bacalah!), Muhammad selalu
mengatakan maa ana bi qari' (saya tidak bisa membaca).
Jibril kemudian mendekap Muhammad hingga merasa sesak nafas. Setelah Jibril
melepaskan dekapannya, ia kembali menyerukan kata-kata iqra dan jawaban yang sama
turut dijawab oleh Muhammad. Hingga, untuk yang ketiga kalinya, Jibril membacakan
surat Al 'Alaq ayat 1-5.
Menurut Musnur, ketidakmampuan Muhammad untuk membaca menunjukkan bahwa
Alquran memang benar-benar firman Allah SWT. Sehingga, tidak sepatutnya orang-
orang merasa khawatir bahwa Muhammad adalah pengarang dari kitab suci umat Islam
itu.
Sejak saat itu, Muhammad resmi menjadi Nabi dan memiliki tugas untuk mensyiarkan
ajaran Islam sebagaimana nabi-nabi sebelumnya.
ika merujuk kepada hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah, Nabi Muhammad menerima
firman dari Allah dengan berbagai bentuk. Bentuk yang pertama, Nabi Muhammad
seolah mendengar suara gemerincing lonceng. Bentuk pertama ini dianggap Muhammad
sebagai cara yang paling berat. Setelah lonceng itu berhenti, seketika Muhammad
memahami apa maksud dari suara tersebut.
Bentuk kedua, Jibril datang menyerupai laki-laki. Saat itu, Jibril berbicara kepada
Muhammad menyampaikan pesan dari Allah. Menurut keterangan Aisyah, Nabi
Muhammad biasanya mengeluarkan keringat dingin yang begitu banyak saat dirinya
menerima wahyu.
Saking mulianya Ramadan sebagai malam diturunkannya Alquran, Allah memberikan
lailatul qadar pada salah satu malam di bulan Ramadan. Pada malam itu, segala amal
baik manusia memiliki nilai lebih baik dari 1000 bulan
6
B. Sunnah Rasullah SAW (As Sunnah/Hadist)
SUNNAH RASUL
Rasulullah sebagai Whole Model (Uswah Hasanah)
• Sunnah Rasul adalah sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an yang berfungi
sebagai penjelasan tentang pesan-pesan Al-Qur’an, Tanpa mengikuti Sunnah Rasul
mustahil bisa sempurna dalam mengamalkan Al-Qur’an.
• Isi Al-Qur’an bersifat global yang memerlukan banyak penjelasan. Untuk itu, datanglah
Rasulullah SAW menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an secara detail, baik tentang
tatacara ritual maupun mu’amalah, dari mulai tatacara shalat, sampai kepada cara
berumah tangga dan bernegara. Segala penjelasan rasulullah, baik berupa perbuatan
(Fi’liyah) perkataan (qauliyah) maupun sikap diam/ no coment (taqririyah) disebutlah
Sunnah Rasul. Sebagai penjelas, nabi adalah whole model (Uswah hasanah) yang
ma’shum (terjaga dari kesalahan).
• Dalam hal ini tidak semua sahabat melihat langsung sunnah rasul, tetapi hanya
mendengar beritanya, apalagi orang-orang setelah sahabat. Berita tentang sunnah
rasul itu disebutlah hadits. Jadi, Sunnah Rasul adalah faktanya sedangkan hadits
hanyalah beritanya. Sunnah rasul pasti benar, sedangkan hadits (karena hanya berita)
mungkin benar mungkin salah. Semua mukmin diwajibkan mengikuti sunnah Rasul
bukan diwajibkan mengikuti hadits. Akan tetapi bagaimana mungkin mengetahui
sunnah rasul apabila tidak mempelajari haditsnya.
• Bagi mukminin, mengetahui perilaku dan seluk beluk kehidupan seorang model (idola)
sangat perlu. Akan tetapi pada kenyataannya, orang yang bisa melihat perbuatan nabi
7
sebagai model, baik tatacara shalat, tatacara shaum, maupun tatacara haji hanya
sebagian sahabat saja, apalagi menyangkut tatacara berumah tangga dan hal-hal yang
bersifat sangat pribadi, yang hanya diketahui oleh isterinya. Sebahagian besar orang
Islam pada saat itu hanya mendengar beritanya. Berita itu bahasa Arabnya adalah
khabar (akhbar) atau hadits. Jadi hadits adalah berita tentang sunnah rasul. Hadits
secara bahasa bisa berarti baru bisa juga berarti berita, new dan news.
• Pendek kata, sunnah rasul adalah faktanya, sedangkan hadits adalah beritanya. Sunnah
rasul sebagai sebuah fakta, pasti benar mustahil salah. Sedangkan hadits hanyalah
beritanya. Yang namanya berita sering bias, ada distorsi, mungkin benar (shahih)
bukan lemah (dhaif). Sumber hukum kita adalah sunnah bukan hadits. Akan tetapi
bagaimana mungkin bisa mengetahui sunnah rasul kalau tidak membaca haditsnya.
Dari sisi kualitasnya hadits terbagi dua yakni hadits Shahih dan hadits Dhaif. Hadits
dinilai shahih apabila ketiga unsur hadits itu sah, yakni (1). Dari sisi Sanad, antara
pembawa berita dan penerima berita harus bersambung (muttasil sanad). (2). Dari sisi
8
kredibilitas Rawi, harus kuat ingatan dan jujur. Kalau ia memiliki sifat dhabith dan
‘adalah maka rawi tersebut dianggap kuat (tsiqah). (3). Dari sisi Matan (isi berita), tidak
ada cacat (ghair mu’allal ) dan tidak janggal (ghair syadz). Apabila tidak memenuhi
syarat di atas maka hadts dinilai Hadits Dhaif.
Sikap Hati-hati dalam Menghadapi Hadts :
• Karena tidak semua hadits itu shahih, maka seorang mukmin jangan tergesa-gesa
meyakini keabsahan suatu hadits lantas mengamalkannya, sebelum meneliti kualitas
hadits tersebut, paling tidak bertanya kepada ahlinya.
• Amal-amal ibadah yang bid’ah yang dilaksanakan oleh masyarakat pada umumnya
disebabkan oleh kecerobohan menerima dan mengamalkan hadits.
• Selain itu, kesalahan pun sering terjadi akibat misinterpretasi dalam memahami teks
hadits yang sahih, misalnya hadits yang menyatakan bahwa nabi makan dengan tiga
jari. Apabila hanya melihat teks hadits tanpa melihat konteksnya, akan lahir
kesimpulan bahwa makan dengan tiga jari adalah sunnah rasul, padahal konteks
hadits tersebut adalah makan kurma, bukan makan nas
9
َاس َما نُ ِّز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون َ ٱلزب ُِر ۗ َوأَن َز ْلنَٓا ِإلَ ْي
ِ َّك ٱل ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن ِ َبِ ْٱلبَيِّ ٰن
ُّ ت َو
ٓ
َ ِصرُونَ ٱهَّلل َ َو َرسُولَ ٓۥهُ ۚ أُ ۟و ٰلَئ
ك هُ ُم ۟ لِ ْلفُقَ َرٓا ِء ْٱل ُم ٰهَ ِجرينَ ٱلَّ ِذينَ أُ ْخرج
ُ ُوا ِمن ِد ٰيَ ِر ِه ْم َوأَ ْم ٰ َولِ ِه ْم يَ ْبتَ ُغونَ فَضْ اًل ِّمنَ ٱهَّلل ِ َو ِرضْ ٰ َونًا َويَن ِ ِ
َص ِدقُون َّ ٰ ٱل
Artinya: “Apa-apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kamu, hendaklah kamu ambil
dan apa yang dilarang bagimu hendaklah kamu tinggalkan” (QS. AlHasyr 7).
Yang dimaksud dengan kehujjahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang
wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil alsyar’i), sama dengan Al-Qur’an
dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Hadits adalah sumber
hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi
mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara
otomatis harus percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka
yang menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh
dosa, tetapai juga murtad hukumnya. Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada
hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an juga untuk memudahkan
dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau
sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila
hadits tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan
kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat,
cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya
berbicara secara global dan umum. Dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah
Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan
ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan
sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila
penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah
barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita
umat Islam kembali kepada As-Sunnah dalam menghadapi permasalahannya. Asy-Syafi’i
berkata :
َ ت يِف كي َذإ و ِ َ مسويل يلال إ ر َّةي م ن وإ يبس فَمقول مت م ْ َما قمل ْ مسويل يلال ر َّةي م ن تَايِب يخ َالَف س َ َجْ د ُم
ق ِ تموإ إ تَفي ْ َال تَل َ مع َوها و َّيب فَات
َ أ ْويل َ َىل-وف روإية-
ِ َدمعوإ َ و َح د
“Apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah
Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa
yang telah aku katakan.” Perkataan imam Syafi’i ini memberikan pengertian bahwa segala
pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan
dengan hadits Nabi SAW. Dan apa yang dikategorikan pengertian bahwa segala pendapat
10
para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam AsySyafi’i ini juga dikatakan oleh para
ulama yang lainnya. Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber
hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa
sebelum kerasulannya. Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber
hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli :
Dalil Al-Qur’an Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban
mempercayai dan menerima segala yang datang dari Rasulullah Saw untuk dijadikan
pedoman hidup. Diantaranya adalah : Perhatikan firman Allah SWT. Dalam surat Ali-
Imran ayat 32 dibawah ini:
Artinya: “Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS:Ali Imran : 32). Masih
banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang permasalahan ini. Dari beberapa
ayat di atas telah jelas bahwa perintah mentaati Allah selalu dibarengi dengan perintah taat
terhadap Rasul-Nya. Begitu juga sebaliknya dilarang kita durhaka kepada Allah dan juga
kepada Rasul-Nya. Dalil Hadits Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul
berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping
AlQur’an sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:
ْ َْكـت َما تَـ ـ ْوا ُّ ِضل ْ ِن َل ْن تَ ْ َريـ تَـ َر ْك ُت فِـْي ُ ْكم اَمـ ِهَما ـ َر ُس ْولـــ ِ ِه ِ ـة
ُ ال ص قَا َل َم َّس
ِ م َ َّن َر ُس ْو َل هل
َّ : ال َو ب
ُسن ِ ِكـتَا َب هل
Artinya : “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat
selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya.”(HR. Malik). Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits
merupakan pegangan hidup setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan
segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.
11
3. Fungsi Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam
Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam islam,
antara satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu
kesatuan. Al-qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran
yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber
ajaran kedua tampil untuk menjelaskan keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini
sesuai dengan firman Allah SWT :
َاس َما نُ ِّز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون َ ٱلزب ُِر ۗ َوأَنزَ ْلنَٓا إِلَ ْي
ِ َّك ٱل ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن ِ َبِ ْٱلبَيِّ ٰن
ُّ ت َو
Artinya : “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.”(QS. An-Nahl : 44) Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, hadis berfungsi
sebagai penafsir, pensyarat dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an. Apabila
disimpulkan tentang fungsi hadis dalam hubungan dengan Al-Qur’an adalah sebagai
berikut:
1) Bayan Tafsir Yang dimaksud dengan bayan At -Tafsir adalah menjelaskan maksud
dari Al-Qur’an Fungsi hadist dalam hal ini adalah merinci ayat secara global ( bayan
al mujmal), membatasi ayat yang mutlak ( taqyid al muthlaq), mengkhususkan ayat
yang umum ( takhshish al’am) dan menjelaskan ayat yang dirasa rumit
2) Bayan Taqrir Bayan At-Taqrir atau sering juga disebut bayan ta’kid ( penegas
hukum) dan bayan al- itsbat adalah hadist yang berfungsi untuk memperkokoh dan
memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Dalam hal ini, hadis hanya berfungsi untuk
memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an
3) Bayan Tasyri’ Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah menjelaskan hukum
yang tidak disinggung langsung dalam Al-Qur’an. Bayan ini juga disebut dengan
bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim. Hadits merupakan sebagai ketentuan hukum
dalam berbagai persoalan yang tidak ada dalam Al-Qur’an.
4) Bayan An-Nasakh Secara bahasa an-naskh bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-
ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan) atau at-tagyar (mengubah).
Menurut Ulama’ mutaqaddimin, yang dimaksud dengan bayan an-nasakh adalah
adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Dan pengertian tersebut menurut ulama’
yang setuju adanya fungsi bayan an nasakh, dapat dipahami bahwa hadis sebagai
ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi Al-
Qur’an yang datang kemudian. Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-
nasakh ini adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada,
karena datangnya kemudian.
C. Ijtihad
- Pengertian Ijtihad
12
Ijtihad adalah pengerahan segenap daya upaya untuk menemukan hukum sesuatu secara
rinci. Dalam KBBI sendiri Ijtihad dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh yang
dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syarak
mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Alquran dan Sunah.
Pada awal diturunkannya Islam, segala bentuk peribadatan sudah diatur dan ditata bentuk
aplikasinya baik dalam al-Qur’an maupun Sunah Rasulullah saw., yang tentunya
disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat saat itu. Untuk pengertian lebih lanjut
dapat langsung diartikan oleh Rasullallah sendiri. Hal ini dikarenakan Rasullallah
sebagai rujukan dalam segala permasalahan dalam islam.
- Sejarah Ijtihad
Syariat adalah salah satu jalan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk hambanya
sebagai tolak ukur dalam system kehidupan dalam islam. Syariat menjadi system atau
pedoman hidup bagi umat islam dalam berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Namun seiring berjalannya waktu Rasulullah pun wafat. Para sahabat dan ulama pun
mencari cara untuk mengartikan sendiri sesuai dengan ajaran yang ditinggalkan oleh
Rasulullah. Maka terciptalah ilmu fiqih.
Ilmu Fiqih sendiri berarti bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus
membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik
kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Allah.
Menurut Imam Abu Ishak As-Syirazi : Fiqih ialah pengetahuan tentang hukum-hukum
syariat melalu metode ijtihad
Pada masa setelah wafatnya rasulullah. Khulafaur Rasyidin atau para sahabat
mengumpulkan hadis-hadis Nabi Muhammad di berbagai pelosok negeri dari para
perawi. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan hadis-hadis yang shohih. Para sahabt juga
sangat berhati-hati dalam mengumpulkan hadis-hadis agar tidak ditemukan para pemalsu
hadis.
Setelah masa Khulafaur Rasyidin. Ilmu fiqih pun masih berlanjut untuk di rujukan oleh
para ulama melalui Al-Qur'an, Sunnah dan Ijtihad para ulama. Namun, karena tersebar
luasnya para ulama dan pemahaman yang semakin lama semakin berbeda muncullah
perdebatan antara ulama dari seluruh wilayah kekhalifahan.
Mulailah muncul perpecahan antara umat Islam menjadi tiga golongan yaitu Sunni,
Syiah, dan Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fikih, karena akan
muncul banyak sekali pandangan-pandangan Ijhtihad yang berbeda dari setiap ulama dari
golongan tersebut. Masa ini juga diwarnai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang
menyuburkan perbedaan pendapat antara ulama.
- Fungsi Ijtihad
Al-Qur'an adalah pedoman bagi umat islam dalam menjalankan kehidupannya. Meski
Al-Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam
kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-Qur’an maupun Al-Hadist. Selain itu ada
13
perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga
setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan
dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di
suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist.
Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada
ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam
memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang
mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
- Jenis-jenis ijtihad
Ijmak
Ijmak artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu
hukum-hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang
terjadi. Ijmak adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara
ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijmak adalah fatwa, yaitu
keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh
umat.
Qiyâs
Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum atau
suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki
kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu
sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang
terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.
Istihsân
Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
- Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa
dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam
pandangan mujtahid.
- Dalil yang terbenak dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya
dengan kata-kata.
- Meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih
kuat darinya.
- Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.
Maslahah murshalah
Maslahah murshalah adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada catatannya
dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat
dan menghindari kemudharatan.
14
Sududz Dzariah
Sududz Dzariah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau
haram demi kepentingan umat.
Istishab
Istishab adalah tindakan menetapkan atau berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan
yang bisa mengubahnya, contohnya apabila ada pertanyaan bolehkah seorang perempuan
menikah lagi apabila yang bersangkutan ditinggal suaminya bekerja di perantauan dan
tidak jelas kabarnya? maka dalam hal ini yang berlaku adalah keadaan semula bahwa
perempuan tersebut statusnya adalah istri orang sehingga tidak boleh menikah(lagi)
kecuali sudah jelas kematian suaminya atau jelas perceraian keduanya.
Urf
Urf adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan
prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPILAN
15
1. Hadits merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam setelah Al-Quran sebagai
sumber utama, hadits juga sebagai pedoman hukum serta ajaranajaran yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Hadits adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup
kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman
terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus
percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang
menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh
dosa, tetapai juga murtad hukumnya.
2. Kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil,
baik dalam bentuk naqli ataupun aqli : dalil Al-Qur’an, dalil Hadits, Ijma’ dan Ijtihad.
Kehujjahan hadits dapat dipahami dari 7 aspek yaitu: Ishmah, sikap sahabat
terhadap sunnah, Al-Qur’an, Al- Sunnah, Kebutuhan Al-Qur’an terhadap al-sunnah,
realitas – sunnah sebagai wahyu dan Ijma’ 3. Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an yaitu:
bayan tafsir, bayan taqrir, bayan tasyri’ dan bayan an-nasakh.
DAFTAR PUSTAKA
Bisri Affandi. (1993) “Dirasat Islamiyyah (Ilmu Tafsir & Hadits)". CV Aneka Bahagia
Offset,
16
Taqiyyudin an-Nabhani (2003) “Peraturan Hidup dalam Islam" Bogor, Pustaka Thariqul
'Izzah
Ahmad Syauki (1984) “Lintasan Sejarah Al-Qur' an ", Bandung CV Sulita Bandung.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1980. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Jakarta: Bulan Bintang
http://uinkediri.blogspot.co.id/2014/12/contoh-makalah-kedudukan-hadits-
sebagai.html
http://syuekri.blogspot.co.id/2012/10/hadist-sebagai-ajaran-agama.html
17