Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ULUMUL HADIST

Untuk Memenuhi Tugas Ulumul Hadist Mengenai hadist dan hubunganya dengan

Al-Quran

Pengampu : Siti Lailiyah, M. Pd. I

DISUSUN OLEH :

AMRUL ASLAM ARIF (2019010292)

TRI LARAS ASIH (2019010276)

NUR ANISA MAULIDINA (2019010287)

M. IMAM MUSTOFA (2019010266)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN

WONOSOBO JAWA TENGAH

2020

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat ALLAH


SWT. Karena dengan rahmat, taufik, hidayah serta inayahNya kami dapat
menyelesaikan makalah ini, tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada
Ibu Siti Lailiyah, M. Pd. I selaku dosen pembimbing mata kuliah Ulumul Hadist
dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan tugas
makalah ini.

Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak


kekurangan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang
membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi pembaca dan umumnya bagi teman-teman sekalian.

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................................

Kata Pengantar...................................................................................................................i

Daftar Isi...........................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan

A. Latar belakang........................................................................................................iii

B. Rumusan masalah...................................................................................................iv

C. Tujuan masalah.......................................................................................................iv

Bab II Pembahasan

A. Pengertian Al-Qur-an dan Hadist............................................................................1

B. Dasar-dasar kehujjahan Hadits................................................................................2

C. Fungsi Hadist terhadap Al- Qur’an..........................................................................5

Bab III Penutup

A. Kesimpulan............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT yang menjadi
teladan bagi umat dan rahmat bagi seluruh umat dan rahmat bagi seluruh
alam, dalam sejarah perannya bukan hanya sebagai Rosululloh, beliau juga
pemimpin masyarakat, hakim, panglima perang, bahkan kepada negara,
dan sisi lain beliau adalah seorang suami dan juga ayah.
Kehidupan Nabi Muhammad SAW terbatas ruang, waktu, dan
tempat dan tidak semua orang menemuinya. Karena itu peran para sahabat
dan tabi’in, dalam memberitakan semua yang berasal dari Rosululloh, baik
ucapan, perbuatan, taqrir, sifat dan keinginannya, sangat berarti untuk
menjadi pedoman bagi hidup manusia.
Pada dasarnya Alqur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW
adalah kitab yang sempurna. Namun, ada ayat-ayat tertentu yang harus
dijelaskan secar rinci baik makna, hukum yang terkandung di dalam, atau
cara melakukannya. Dan inilah peran yang diambil Rosul melalui sunah-
sunahnya.
Hadits memiliki peranan penting sebagai salah satu sumber hukum
islam, adapun fungsinya untuk memperkuat isi kandungan Alqur’an yang
memrlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, untuk membatasai
keumuman Alqur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu,
dan untuk menerapkan hokum yang tidak diterapkan dalam Alqur’an.
Semua fungsi di atas menempatkan kedudukan hadits sebagai sumber
hukum islam, karena itulah tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk
meninggalkan salah satunya atau atau hanya mengamalkan satu saja dari
kedua sumber hukum tersebut.
Dalam makalah ini secara garis besar permasalahan yang dibahas
adalah kedudukan hadits terhadap Alqur’an, fungsi hadits terhadap
Alqur’an.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Alqur’an dan Hadits?
2. Apa dasar-dasar keterkaitan kehujahan Hadits?
3. Apa fungsi Hadits terhadap Alqur’an?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Alqur’an dan Hadits.
2. Untuk mengetahui dasar-dasar keterkaitan kehujahan Hadits.
3. Untuk mengetahui fungsi Hadits terhadap Alqur’an.

5
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Alqur’an dan Hadits


Secara bahasa, kata Alqur’an adalah bentuk kata masdar (kata
benda) dari kata kerja Qoro’a yang artinya membaca. Secara istilah
Alqur’an adalah firman Allah kepada Nabi Muhammad dengan perantar
malaikat Jibril dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian
disampaikan secara mutawatir sebagai pedoman petunjuk seluruh umat
manusia semua masa, bangsa, dan lokasi. Alqu’an adalah kitab terakhir
yang diturunkan oleh Allah setelah kitab taurot, zabur, dan injil yang
diturunkan melalui para Rosul. Hal ini juga senadana dengan pendapat
yang menyatakan bahwa Alqur’an kalam atau wahyu Allah yang
diturunkan melalui perantara malaikat Jibril sebagai pengantar wahyu
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di gua hiro tanggal 17
ramadhan ketika Nabi Muhammad SAW berusia 41 tahun yaitu surat al
alaq ayat 1 sampai ayat 5. Sedang terahir Alqur’an turun yakni pada
tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hujriyah yakni ALlmaidah ayat 3.
Allah ta’ala menyebut Alqur’an dengan sebutan yang banyak
sekali yang menunjukan keagungan, keberkahan, pengaruhkan dan
universalnya serta menunjukan bahwa ia adalah pemutus bagi kitab-kitab
terdahulu sebelumnya.
Sedangakan Hadits menurut bahsa adalah jaded (baru), yaitu
sesuatu yang baru menunjukan sesuatu yang dekat atau waktu yang
singkat. Hadits juga berarti khabar yang artinya berita, yaitu sesuatu yang
diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada
orang lain. Selain itu, hadits juga berarti qorib, artinya dekat , tidak lama
terjadi.
Menurut ahli hadits, pengeertian hadoits adalah “seluruh perkataan,
perbuatan, dan ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”, sedangkan menurut

6
yang lainnya adalah “segala sesuatu yang bersumber dari Nabi baik
perkataan, perbuatan dan ketetapannya.
Adapun menurut muhadditsin, hadits adalah segala apa yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu hadits marfu’ (yang
disandarkan kepada Nabi), hadits mauquf (yang disandar kepada sahabat)
ataupun hadits maqthu’ (yang disandar kepada tabi’in).1

2. Dasar-dasar kehujjahan Hadits.


a) Pengertian Hujjah
Hujjah yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup
menghapal 300.000 hadits baik matan, sanad maupun perihal
perawi, seperti keadilan , catatn, dan biografinya (riwayat hidup).
Muhadditsin yang mendapat gelar ini antara lain Hisyam ibn
Urwah (wafat 146 H), Abu Hudzail ibn Amr (wafat 242 H).
Kata kerja berhujjah diartiakn sebagai memberi alsan-alasan atau
argumentasi yang valid dari Muhadditsin yang adil tidak memiliki
cacat, sehingga dihasilkan kesimpulan yang dapat ddiyakini dan
dipertanggung jawabkan kebenarannya.
b) Pengertian Dalil Kehujjahan Hadits
Sunah secara bahasa artinya jalan yang dijalani, terpuji atau tidak.
Suatu tradisi yang dibiasakan dinamakan sunnah. Sedangkan
menurut istilah muhadditsin adalah segala yang dinukilkan dari
Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajran,
sifat, kelakuan maupun perjalanan hidup. Yang demikian itu terjadi
baik sebelum Nabi diangkat menjadi Rosul maupun sesudahnya
yang berkaitan dengan hokum.
Jadi dalil kehujjahan atau sunnah adalah keberadaan hadits sebagai
ajaran atau dasar hokum fdalam islam, seperti dalam Alqur’an
surah Alhujurat

1
Totok jumantoro, Kamus Ilmu Hadis (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2002), cet II, h. 69

7
c) Latar Belakang Yang Mendasari Kehujjahan Hadis
Secara normatif, kehujjahan hadis telah ditunjukkan oleh Allah SWT
di dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang
menyuruh ummat Islam untuk taat kepada Rasulullah saw. Secara
historis, ummat Islam sejak abad pertama sampai pertengahan abad
kedua hijriyyah memandang hadis Nabi sebagai suatu dasar hukum
dan menempatkannya pada posisi setelah al-Qur’an. Namun dalam
penjabarannya, mendudukkan hadis pada posisi tersebut
tidaklah semulus yang semestinya. Sejarah Islam mencatat, keraguan
akan otentisitas hadis dan fungsi hadis pernah dipertanyakan dalam
wacana pemikiran ulama di pertengahan abad ke-2,
munculsekelompok orang yang secara terang-terangan tidak mau
menerima hadis sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Dan
Imam Syafi’i-lah yang mengambil peran penting dalam konteks ini,
sehingga ia dijuluki sebagai Nāshir al-Hadits.
Dengan melontarkan konsep sunnah yang baru yaitu sunnah hanya
berarti sunnah Nabi dengan tradisi verbal (hadis) sebagai satu-
satunya transmisi bagi sunnah Nabi, dimaksudkan untuk menekan
berkembangnya pemikiran bebas (ra’yu) yang tidak terkendali dan
mengeliminir munculnya praktek-praktek lokal.

d) Kriteria Hadis Yang Bisa Menjadi Hujjah


Imam Syafi’i tidak henti-hentinya menyatakan bahwa hadis Nabi
adalah sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, yang keduanya
wajib diamalkan.Selama tidak ada dalil yang menunjukkan hadis
itu berlaku khusus untuk Nabi, atau sebagai pendapat pribadi Nabi
sebagai manusia biasa, maka seluruh hadis Nabi berstatus untuk
diteladani oleh ummat Islam. Karena dalam kenyataannya memang
ada hal-hal atau keadaan yang hanya berlaku khusus untuk pribadi
Nabi, petunjuk dan keadaan Rasulullah yang tidak wajib bahkan
ada yang dilarang untuk diteladani oleh ummat Islam. Untuk

8
mengidentifikasi otentisitas sebuah hadis, dan dapat dijadikan
sebagai dasar hukum, Imam Syafi’i merumuskan kualifikasi
tentang kesahihan hadis:

1) Rangkaian periwayat (sanad) harus bersambung sampai pada


Nabi saw,

2) Harus diriwayatkan oleh orang yang jujur yang dapat


dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur
dalam menyampaikan riwayat dan khabar,

3) Perawi hadis meriwayatkan dari orang yang biasa meriwayatkan


sama dengan huruf yang didengarnya,

4) Tidak meriwayatkan bi al-ma’na,

5) Orang yang meriwayatkan kuat hafalannya,

6) Orang yang meriwayatkan tidak boleh seorang mudallis.

Apa yang dirumuskan oleh Imam Syafi’i ini merupakan hal baru
jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Bahkan beliau disebut-sebut
sebagai orang pertama yang merumuskan kriteria kesahihan hadis dengan
sistematika yang jelas dan beliau juga orang pertama yang merumuskan
konsep bagi pengukuhan hadis Nabi sebagi sumber otoritatif ajaran Islam.
Karena upayanya inilah beliau dijuluki sebagai Si pembela hadis (Nāshir
al-Hadits2

3. Fungsi Hadits terhadap Alqur’an


2
Totok jumantoro, Kamus Ilmu Hadis (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2002), cet II, h. 69

9
Sudah kita ketahui bahwa hadits mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam ajara islam. Ia menemp[ati posisi kedua setelah Alqur’an.
Alqur’an sebagai sumber ajaran pertama memuat ajaran-ajaran yng
bersifat umum atau global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan
terperinci. Disinilah, hadits menduduki atau menempati fungsinya sebagai
sumber ajaran kedua. Ia menjadi mubayyin atau penjelas isi Alqur’an. Hal
ini sesui firman Allah pada surah An-Nahl 16;44
‫ٱْلَب ِّي َٰن ِت َو ٱلُّز ُبِر ۗ َو َأنَز ْلَنٓا ِإَلْيَك ٱلِّذْك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم ا ُنِّز َل ِإَلْيِه ْم َو َلَع َّلُهْم َيَتَفَّك ُرو‬
Artinya : “ keterangan-keterangan (Mukjizat) dan kitab-kitab. Dan
kami turunkan kepada Al- Qur’an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah di turunkan kepada mereka
dan supaua mereka memikirkan”

Dalam hubungan dengan Alqur’an, hadits berfungsi sebagai


penafsir , pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat Alqur’an tersebut.
Apabila disimpulkan tentang fungsi hadits dalam hubunhgan dengan
Alqur’an adalah sebagai berikut:
a. Bayan At-tafsir
Yang dimaksud dengan Bayan At-tafsiri adalah menerangakan
ayat-ayat yang sangat umum, mujmal, dan musytarak. Fungsi hadits dalam
hal ini adalah memebrikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadat ayat-
ayat Alqur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang
masih mutlaq, dan memberirikan takhshish ayat-ayat yang masih umum.
Diantara contoh bayan attafsiri mujmal adlah seprti hadits yang
menerangkan ke-mujmalan-an ayat-ayat tentang perintah Allah SAT.
untuk mengerjakan shalat , puasa, zakat, dan, haji. Ayat-ayat Alqur’an
yang menjelaskan masalah ibadah tersebut masih bersifat global atau
secara garis besarnya saja. Contohnya kita diperintahkan shalat, namum
Alqur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerangkan
rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang
kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi dengan sabdanya:

10
Sebagi hadits tersebut, Rosul memberikan contoh tata cara shalat
yang sempurna. Bukan hanya itu, beliau melengkapi dengan bernagai
kegiatan yang dapat menambah pahala ibadah shalat.
Contoh lain, Allah SWT.memerintahkan kepada umat islam untuk
berzakat maka hadits menerangakannya dengan sangat detail.
Nabi SAW bersabda tentang zakat emas dan perak:
“Berikanlah dua setengah persen dari harta-hartamu.”

Untuk zakat binatang dan tumbuh-tumbuhan, Nabi Muhammad


SAW. Menerangkannya dengan beberapa surat yang dikirim kepada
pegawai zakat dan beberapa hadits yang ma’tsur.
Demikian juga, dengan kewajiban berhaji. Hadis menjelaskan
dengan sabda Nabi berikut ini yang artinya:
“Ambillah olehmu dariku perbuatan-perbuatan yang dikerjakan
untuk ibadah haji.”

Di antara contoh-contoh bayan at tafsiri musytarak fihi, adalah


menjelaskan tentang ayat quru’. Allah SWT.berfirman:dalam surah Al-
Baqoroh 2:228

‫َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َثاَل َثَة ُقُروٍء ۚ َو اَل َيِح ُّل َلُهَّن َأْن َيْك ُتْم َن َم ا َخ َل َق‬
‫ُهَّللا ِفي َأْر َح اِم ِهَّن ِإْن ُك َّن ُيْؤ ِم َّن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر ۚ َو ُبُع وَلُتُهَّن َأَح ُّق ِب َر ِّد ِهَّن‬
‫َٰذ‬
‫ِفي ِلَك ِإْن َأَر اُد وا ِإْص اَل ًحاۚ َو َلُهَّن ِم ْثُل اَّل ِذ ي َع َلْيِهَّن ِب اْلَم ْعُروِف ۚ َو ِللِّر َج اِل‬
‫َع َلْيِهَّن َد َر َج ٌةۗ َو ُهَّللا َع ِز يٌز َحِكيٌم‬
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan
hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita

11
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Untuk menejelaskan lafazh quru’ ini, datanglah hadits Nabi SAW


berikut in yang artinyai,

Talak budak dua kali dan iddahnya dua haid (H.R, Ibnu Majah) .
Sehingga arti kata quru’ dalam ayat Q.S Al baqoroh ayat 228
berarti suci dari haid .

Sehingga perkataan quru’ dalam ayat Alqur’an Q.S Al baqaroh


ayat 228 berarti suci haid

Contoh hadis Rosululloh yang men-taqyid ayat-ayat Alqur’an yang


bersifat mutlaq, anatara lain hadis yang artinya,

Telah dihalalkan bagi kamu dua macam bangkai dan dua (macam)
darah. Adapun dua bangkai adalah bangkai ikan dan belalang, sedangkan
dua darah adalah hati dan limpa.
Hadis ini men-taqyid ayat Alqur’an yang mengharamkan semua
bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah SWT,dalam Q.S. Al-Maidah
5:3 sebagai berikut,

‫حُِّر َم ْت َع َلْي ُك ُم اْلَم ْي َت ُة َو الَّد ُم َو َلْح ُم اْل ِخْن ِز يِر‬


Artinya :”Diharamkan bagimu (memakan ) bangkai, dan darah.” Contoh
hadist yang berfungsi untuk mentakhsis keumuman ayat-ayat al quran
adalah hadist nabi SAW berikut ini yang artinya :

Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan .


Hadist tersebut mentakhsis keumuman firman Allah Swt. QS An
Nisa 4 : 11 yaitu

12
Allah mensyariatkan bagimu (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu . yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak
perempuan.(QS An Nisa 4 :11)

‫ُيوِص يُك ُم ُهَّللا ِفي َأْو اَل ِد ُك ْم ۖ ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُأْلْنَثَيْيِن‬

b. Bayan At Taqrir
Bayan at taqrir sering juga disebut dengan bayan at ta’kid dan
bayan al itsbat adalah hadist yang berfungsi untuk memeperkokoh dan
memperkuat pernyataan al quran. Dalam hal ini, hadist hanya berfungsi
untuk memperkokoh isi kandungan al quran. Contoh bayan at taqrir adalah
hadist nabi saw. yang memperkuat firman Allah QS. Al Baqarah 2 : 185
yaitu

‫َفَم ْن َش ِهَد ِم ْنُك ُم الَّش ْهَر َفْلَيُص ْم ُه‬

Artinya :”Karena itu, barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu
bulan hendaklah ia berpuasa… QS Al Baqarah 2 :185.
Ayat diatas di taqrir oleh hadist nabi saw. yaitu
Apabila kalian melihat (ruk’yat) bulan berpuasalah, begitu pula
apabila melihat (ru’yat) bulan itu, berbukalah HR. Muslim dari Ibnu
Umar.

Contoh lainya adalah QS Al Maidah 5 : 6 tentang keharusan


berwudhu sebelum salat.

‫َي ا َأُّيَه ا اَّل ِذ يَن آَم ُن وا ِإَذ ا ُقْم ُتْم ِإَلى الَّص اَل ِة َفاْغ ِس ُلوا ُو ُج وَهُك ْم َو َأْي ِدَيُك ْم ِإَلى‬
‫اْلَم َر اِفِق َو اْمَس ُحوا ِبُر ُء وِس ُك ْم َو َأْر ُج َلُك ْم ِإَلى اْلَك ْع َبْيِن‬

Artinya :”Hai orang-orang yang beriman. Apabila kamu hendak


mengerjakan salat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.

13
Ayat al quran diatas di taqrir oleh hadist nabi saw. yakni
Rasulullah saw. bersabda “ tidak diterima salat seorang yang
berhadas sebelum ia berwudhu”. HR Bukhari dan Abu Hurairah.
Menurut sebagian ulama bayan taqrir atau bayan ta’kid ini disebut
juga bayan al muwafiq li nash al kitab al karim. Hal ini karena hadist-
hadist ini sesuai dan untuk memperkokoh nass al quran.
c. Bayan An Nasakh
Secara bahasa, an nasakh bisa berarti al ibthal (membatalkan) al
ijalah (menghilangkan) at tahwil (memindah), at taghir (mengubah).
Para ulama’ baik mutaqaddimin maupun mutakhirin berbeda
pendapat dalam mendefinisikan bayan an nasakh, perbedaan ini terjadi
karena perbedaan diantara mereka dalam mendefinisikan kata nasakh dari
segi kebahasaan.
Menurut ulama’ mutaqaddimi, yang dimaksud dengan bayan an
nasakh adalah adanya dalil sayara’ yang datang kemudian. Dari pengertian
tersebut, menurut ulama’ yang setuju adanya fungsi bayan an nasakh dapat
dipahami bahwa hadist sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat
menghapus ketentuan-leentuan atau isi al quran yang datang kemudian.
Diantara ulama’ yang membolehkan adanya nasakh hadist terhadap
al quran, juga berbeda pendapat dalam macam hadist yang dapat dipakai
utnuk mennasakh al quran. Dalam hal ni mereka berbagi kedalam 3
kelompok.
 Pertama, yang membolehkan manasakh al quran dalam
segala hadist, meskipun hadist ahad. Pendapat ini diantaranya
dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibnu Hazm serta
sebagian besar dzahiriyyah.
 Kedua, yang membolehkan ,menasakh dengan syarat hadist
tersebut harus mutawattir. Pendapat ni diantaranya dipegang oleh
mu’tazilah.

14
 Ketiga, ulama’ membolehkan menasakh dengan hadust
masyhur, tanpa harus dengan mutawattir. Pendapat ini diantaranya
dipegang oleh ulama’ hanafiyah
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama’ adalah
sabda Rasul saw. dari Abu Umamah al – baghili,
“Sesungguhnya Allah telah memebrikan kepada tiap-tiap orang
haknya (masing- masing). Maka,tidak ada wasiat bagi ahli waris”. . HR.
Ahmad dan Al Arba’ah.
Hadist ini menurut mereka menasakh isis al quran surat Al Baqarah
2 : 180 yakni

‫ُك ِتَب َع َلْي ُك ْم ِإَذ ا َح َض َر َأَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِإْن َت َر َك َخ ْي ًر ا اْلَو ِص َّي ُة ِلْلَو اِل َدْي ِن‬
‫َو اَأْلْق َر ِبيَن ِباْلَم ْع ُروِف ۖ َح ًّقا َع َلى اْلُم َّت ِقيَن‬

Artinya :”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu


kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan nharta yang
banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secraa ma’ruf
(ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”) 3
Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat
berdasarkan QS Al Baqarah 2 : 180 diatas , di nasakh hukumnya oleh
hadist yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan
wasiat.

BAB III
PENUTUP

3
Agus Suyadi Ulumul Hadist, (Pustaka Setia Bandung 2008 hal 78-86)

15
Alqur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW adalah kitab
yang sempurna. Namun, ada ayat-ayat tertentu yang harus dijelaskan secar
rinci baik makna, hukum yang terkandung di dalam, atau cara
melakukannya. Dan inilah peran yang diambil Rosul melalui sunah-
sunahnya.
Sedangkan Hadits memiliki peranan penting sebagai salah satu
sumber hukum islam, adapun fungsinya untuk memperkuat isi kandungan
Alqur’an yang memrlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, untuk
membatasai keumuman Alqur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-
bagian tertentu, dan untuk menerapkan hokum yang tidak diterapkan
dalam Alqur’an. Semua fungsi di atas menempatkan kedudukan hadits
sebagai sumber hukum islam, karena itulah tidak ada alasan bagi seorang
muslim untuk meninggalkan salah satunya atau atau hanya mengamalkan
satu saja dari kedua sumber hukum tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

16
Suyadi, Agus. 2008, Ulumul Hadist, Bandung. Pustaka Setia

Jumantoro, Totok. 2002. Kamus Ilmu Hadist. Jakarta : PT Bumi Aksara

17

Anda mungkin juga menyukai