Anda di halaman 1dari 8

Gerhana adalah fenomena astronomi yang terjadi apabila sebuah benda

angkasa bergerak ke dalam bayangan sebuah benda angkasa lain. Istilah ini

umumnya digunakan untuk gerhana Matahari ketika posisi Bulan terletak di

antara Bumi dan Matahari, atau gerhana bulan saat sebagian atau keseluruhan

penampang Bulan tertutup oleh bayangan Bumi. Namun, gerhana juga terjadi

pada fenomena lain yang tidak berhubungan dengan Bumi atau Bulan, misalnya

pada planet lain dan satelit yang dimiliki planet lain.

Di dalam agama Islam, umat Muslim yang mengetahui atau melihat

terjadinya gerhana bulan ataupun matahari, maka selayaknya segera melakukan

shalat kusuf (salat gerhana). Gerhana matahari terjadi 2-5 kali dalam setahun.

Biasanya, gerhana matahari terjadi sekitar dua minggu sebelum atau sesudah

gerhana bulan. jumlah gerhana Bulan dalam satu tahun bisa berkisar antara 0

sampai 3 kali terjadi

Matahari dan bulan merupakan dua makhluk Allah Subhanahu wa ta‟ala

yang sangat akrab dalam pandangan. Peredaran dan silih bergantinya yang sangat

teratur merupakan ketetapan aturan Penguasa Jagad Semesta ini. Allah

Subhanahu wa ta‟ala berfirman:

Artinya: “Matahari dan bulan beredar dengan peraturan dan hitungan yang
tertentu.”3

Maka semua yang menakjubkan dan luar biasa pada matahari dan bulan

menunjukkan akan keagungan dan kebesaran serta kesempurnaan pencipta-Nya.

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta‟ala membantah fenomena penyembahan

terhadap matahari dan bulan. Yang sangat disayangkan ternyata keyakinan kufur

tersebut banyak dianut oleh ”bangsa-bangsa besar” di dunia sejak berabad-abad

lalu, seperti di sebagian bangsa Cina, Jepang, Yunani, dan masih banyak lagi. 4

Allah Subhanahu wa ta‟ala berfirman:

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah malam dan siang, serta
matahari dan bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari dan
janganlah pula sujud kepada bulan dan sebaliknya hendaklah kamu
sujud kepada Allah yang menciptakannya, kalau betulah kamu hanya
beribadat kepada Allah.”5

Masyarakat Indonesia sendiri, umumnya masyarakat tradisional dulu, lebih

banyak mendasarkan gerhana pada tahayul-tahayul dan mitos-mitos yang

diwariskan dari mulut ke mulut. Khayalan dan mitos tersebut diantaranya ialah

yang menyatakan bahwa gerhana terjadi karena matahari ditelan oleh raksasa

yang bernama “Kala” atau “Kalarahu”. Raksasa ini dibayangkan mempunyai

kepala yang besar dan mulut yang lebar. Ia mempunyai leher tetapi tidak

mempunyai badan. Oleh sebab itu, masyarakat yang memiliki kepercayaan seperti

ini, berusaha melakukan perbuatan-perbuatan mengusir raksasa tersebut. Mereka

akan menabuh semua alat yang dapat menimbulkan bunyi, misalnya memukul

kentongan, lesung, lumping dan sebagainya. Mereka beranggapan, apabila raksasa

mendengar bunyi-bunyian yang ribut tersebut akan lari dan memuntahkan kembali

matahari dari mulutnya sehingga matahari bersinar kembali seperti sediakala6

Islam hadir menyikapi pandangan masyarakat tentang banyak hal. Di

antaranya pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana matahari dan

bulan. Dalam konteks itu, Islam menepis mitos dan pandangan primitif abad ke-7

tentang gerhana, sekaligus menekankan dimensi religius, spiritual, dan sosial pada

gerhana itu sendiri sebagai misi kenabian Nabi Muhammad S.A.W. Masyarakat

Arab pra-Islam memandang gerhana sebagai sesuatu yang menakutkan. Gerhana

adalah pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi, baik dari kematian maupun

kelahiran.

Gerhana adalah sumber bencana dan malapetaka. Dalam perspektif

sekarang, kita dapat mengatakan bahwa pandangan tersebut bersifat primitif.

Pandangan primitif itu masih hidup saat Islam datang. Ketika putra Nabi

Muhammad S.A.W, Ibrahim meninggal, yang bersamaan dengan terjadinya

gerhana matahari, mereka mengatakan bahwa gerhana itu terjadi karena

kepergian putra Nabi Muhammad S.A.W. Dalam konteks itulah Nabi Muhammad

S.A.W bersabda:
Artinya: “Sungguh, gerhana matahari dan bulan tidak terjadi sebab mati atau
hidupnya seseorang, tetapi itu merupakan salah satu tanda kebesaran
Allah ta’ala. Karenanya, bila kalian melihat gerhana matahari dan
gerhana bulan, bangkit dan shalatlah kalian,”7

Selanjutnya Nabi Muhammad S.A.W menganjurkan untuk melaksanakan

shalat, bertasbih, berzikir, bertahlil, bersedekah, dan memerdekakan budak.

Dengan pernyataan dan anjuran Nabi S.A.W tersebut, Islam jelas menepis segi

mitis dan primitif dari pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana.8

Ada dua istilah dalam penamaan gerhana, Kusuf dan Khusuf. Keduanya

adalah sinonim. Jika kedua nama tersebut disebutkan secara bersamaan, maka

makna kusuf untuk gerhana matahari dan khusuf untuk gerhana bulan. Dua

penyebutan dengan nama yang berbeda seperti ini lebih masyhur di kalangan

fuqoha. Namun kadangkala ada penyebutan kusufaini dan khusufaini yang

keduanya bermakna dua gerhana, yaitu matahari dan bulan. Pada dua kejadian

alam ini, gerhana matahari dan bulan, ada shalat yang disyariatkan oleh

Rasulullah S.A.W.

Hukum shalat gerhana terdapat keterangan dari Abu Hanifah, beliau menghukuminya wajib dan
menjadikan batasan berdoa dan shalatnya dengan selesainya gerhana atau tersingkapnya
kembali cahaya matahari dan bulan.9

Jumhur ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah
(sangat-sangat ditekankan). Mereka beralasan dengan membatasi shalat wajib hanya yang lima
waktu saja.10 Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “para ulama bersepakat dalam kontek
ijma’ bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah.” 11 Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“jumhar ulama bersepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah.” 12

Artinya: “Menurut kesepakatan para Ulama (ijma’) hukum shalat gerhana


matahari dan gerhana bulan adalah sunnah mu’akkadah. Akan tetapi
menurut Abu Hanifah shalat gerhana bulan dilakukan sendiri-sendiri
dua rakaat seperti shalat sunah lainnya,”13

Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt dan salah satu hadits Nabi

S.A.W. Allah ta’ala berfirman,

Artinya: “Sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan


bulan. Jangan kalian bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada
bulan, tetapi bersujudlah kalian kepada Allah yang menciptakan semua
itu, jika kamu hanya menyembah-Nya,”14

1) Tata Cara Shalat Gerhana Bulan

Anjuran untuk menjalankan ibadah shalat gerhana sendiri termaktub dalam

hadis, yang berbunyi sebagai berikut.

Ibnu Rusyd mencoba memetakan sebab perbedaan di kalangan ulama

perihal tata cara shalat sunah gerhana bulan. Dalam Bidayatul Mujtahid, ia

memperlihatkan pendekatan yang dilakukan masing-masing ulama sebagai berikut

ini:

Artinya, “Sebab perbedaan itu terletak pada perbedaan pandangan mereka dalam
memahami hadis Rasulullah S.A.W, „Matahari dan bulan adalah dua
tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian
atau kelahiran seseorang. Kalau salah seorang kalian melihat keduanya,
sebutlah nama Allah dan shalatlah sampai Allah membuka gerhana itu,
dan bersedekahlah,‟ HR Bukhari. Ulama yang memahami di sini
sebagai perintah shalat pada kedua gerhana dengan sebuah pengertian
yaitu sifat shalat yang telah dikerjakan Rasulullah S.A.W ada saat
gerhana matahari, memandang bahwa shalat pada gerhana matahari
dilakukan secara berjamaah.” Sedangkan ulama yang memahami hadis
ini dengan sebuah pengertian berbeda, sementara belum ada riwayat
yang menyebutkan bahwa Rasulullah S.A.W melakukan shalat gerhana
bulan padahal fenomena itu terjadi berkali-kali semasa beliau hidup,
berpendapat bahwa pengertian yang dapat ditarik dari teks hadis ini
adalah sekurang-kurang sebutan shalat dalam syara‟, yaitu shalat sunah
sendiri. Ulama ini seakan memandang bahwa pada asalnya kata „shalat‟
di dalam syarak bila datang perintah padanya harus dipahami dengan
konsep paling minimal yang mengandung sebutan itu dalam syariat
kecuali ada dalil lain yang menunjukkan hal yang berlainan. Ketika
sikap Nabi S.A.W menghadapi gerhana matahari berbeda dengan itu,
maka konsep terkait gerhana bulan tetap dipahami sebagai aslinya.
Sedangkan Imam Syafi‟i memahami sikap Nabi S.A.W dalam melewati
gerhana matahari sebagai penjelasan atas keijmalan perintah shalat oleh
Rasulullah S.A.W pada kedua gerhana tersebut sehingga konsep atas
amaliah gerhana bulan harus berhenti di situ.

Sementara Abu Amr bin Abdil Bar meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan

Utsman radiyallahu anhu bahwa keduanya melaksanakan shalat dua rakaat secara

berjamaah saat gerhana bulan dengan dua rukuk pada setiap rakaatnya seperti
pendapat Imam As-Syafi‟i,”22 Perbedaan pendapat ini berimbas pada bacaan di

dalam shalat itu sendiri. Tetapi dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa para

ulama berbeda pendapat perihal cara pelaksanaan shalat gerhana bulan.

Waktu shalat gerhana bulan

Waktu pelaksanaan shalat gerhana bulan sebaiknya dilakukan sejak

dimulainya gerhana atau ketika bulan tertutupi hingga gerhana berakhir alias

bulan terlihat seperti kondisi normal. Shalat gerhana bulan sebenarnya boleh

dilakukan sendiri atau tanpa perlu pergi ke masjid. Namun sangat disarankan

untuk melakukannya secara berjama'ah karena Rasulullah S.A.W dahulu

mengerjakannya secara berjamaah di masjid, dengan khutbah atau tanpa khutbah.

Shalat gerhana bulan ini dikerjakan 2 rakaat dengan dalam setiap rakaat

terdapat dua kali ruku'. Aisyah radhiyallahu'anha pun meriwayatkan, "Nabi

S.A.W mengeraskan bacaannya saat shalat gerhana bulan, beliau shalat empat kali

ruku dan empat kali sujud."23

berikutnya adalah melakukan shalat gerhana bulan tersebut dengan tata cara

berikut ini (25/7):

1. Takbiratul Ihram.

2. Membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya. Disunnahkan surat yang

panjang.
3. Ruku'. Disunnahkan waktu ruku' lama, seperti waktu berdiri.

4. Berdiri lagi kemudian membaca Al Fatihah dan surat lainnya.

Disunnahkan lebih pendek daripada sebelumnya.

5. Ruku' lagi. Disunnahkan waktunya lebih pendek dari ruku pertama.

6. I'tidal.

7. Sujud.

8. Duduk di antara dua sujud.

9. Sujud kedua

10. Berdiri lagi (rakaat kedua), membaca surat Al Fatihah dan lainnya

11. Ruku'. Disunnahkan waktu ruku' lama, seperti waktu berdiri.

12. Berdiri lagi kemudian membaca Al Fatihah dan surat lainnya.

13. Ruku' lagi. Disunnahkan waktu ruku' lebih pendek dari ruku' pertama.

14. I'tidal.

15. Sujud.

16. Duduk di antara dua sujud.

17. Sujud kedua.

18. Duduk Tahiyah akhir.

19. Salam.

Begitu salam selesai diucapkan, disunnahkan pula untuk berdoa. Berdoa di waktu

setelah shalat gerhana bulan adalah waktu yang mustajabah untuk berdoa.

Keutamaan Melakukan Sholat Gerhana

1. Membuat Manusia Mengingat Kekuasaan Allah


Keutamaan sholat gerhana adalah bisa menjadi sarana orang beriman untuk mengingat
kekuasaan Allah. Rasulullah bersabda dalam khutbah usai sholat gerhana bersama para Sahabat,
bahwa “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan
Allah”.

Ketika fenomena gerhana terjadi, kita bisa melihat betapa Maha Kuasanya Allah, yang mampu
menggerakkan tata surya hingga terjadi gerhana bulan atau gerhana matahari. Karena itulah
manusia harus bersegera sholat dengan rukuk dan sujud yang lama dalam shalay gerhana.
Tujuannya untuk menunjukkan penghambaan kita kepada Allah yang Maha Kuasa.

2. Membuat Manusia Takut

Dalam sabdanya, Rasulullah menjelaskan bahwa terjadinya gerhana adalah untuk menakut-
nakuti, agar manusia takut kepada Allah. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya ketika tertutup cahaya matahari dan bulan (gerhana) bukanlah sebab karena ada
yang mati atau karena ada yang hidup, namun itu adalah tanda kuasa Allah untuk menakut-
nakuti hambaNya dengan terjadi gerhana tersebut”.

Dalam surat Al Isra ayat 59 Allah berfirman, “Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu
melainkan untuk menakuti”. Jelaslah gerhana matahari dan bulan, yang merupakan tanda
kekuasaan Allah, terjadi untuk menakut-nakuti umat manusia.

Karena itu, ketika gerhana bulan terjadi, orang yang beriman seharusnya merasa takut dan
menunjukkannya dengan bersegera menghadap Allah lewat sholat gerhana. Gerhana matahari
dan gerhana bulan bukanlah sekedar peristiwa yang disambut dengan euforia meriah dan rasa
takjub semata.

Tunduknya manusia kepada RabbNya bisa ditunjukkan dengan sujud dan rukuk yang lama
dalam sholat sunnah gerhana. Rasulullah mengajarkan kepada umatnya agar mendirikan sholat
dengan sujud dan rukuk yang panjang ketika gerhana terjadi. Hal itu merupakan keutamaan
sholat gerhana.

Ibnu Abbas menuturkan bahwa “Terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, lalu beliau sholat dan orang-orang mengikuti sholat beliau. Kemudian beliau
berdiri dalam waktu yang sangat panjang sepanjang sekitar bacaan surat Al-Baqarah. Kemudian
beliau rukuk dengan rukuk yang sangat panjang. Kemudian beliau berdiri cukup panjang, namun
lebih pendek dari yang pertama. Kemudian beliau rukuk dengan rukuk yang cukup panjang,
namun lebih pendek daripada rukuk yang pertama” (HR. Bukhari dan Muslim).

3. Kesempatan untuk Bersegera Beramal Sholeh

Sebagai manusia, kita hendaknya senantiasa bersegera mematuhi perintah Allah. Sebagai utusan
Allah, Nabi Muhammad SAW juga memberikan panduan agar umat muslim bersegera untuk
beramal sholeh. Keutamaan sholat gerhana adalah sebagai kesempatan untuk bersegera
melakukan amal sholeh.

Dengan adanya gerhana bulan atau gerhana matahari, orang mukmin mendapat kesempatan
untuk membuktikan keimanannya. Hendaknya kita bersegera untuk mengerjakan sholat gerhana
ketika peristiwa itu terjadi.

4. Mendatangkan Ridha Allah dan Ampunan Allah

Keutamaan sholat gerhana jika segera dilaksanakan tentu saja akan mendatangkan ridha dari
Allah.  Bersegera mendirikan sholat ketika gerhana terjadi, berarti kita telah menunjukkan cinta
kepada Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 31, “Katakanlah (wahai
Muhammad kepada umatmu): jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku
(Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian”.

Dari ayat tersebut, jelaslah bagi mereka yang bersegera mengikuti perintah Rasulullah untuk
melaksankan sholat sunnah ketika terjadi gerhana, maka Allah akan mencintainya dan
mengampuni dosa-dosanya.

Anda mungkin juga menyukai