Anda di halaman 1dari 105

SHALAT GERHANA MATAHARI DAN BULAN

(STUDI KOMPERATIF MENURUT

HANAFIYAH DAN SYAFI’IYAH)

Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
Dalam Ilmu Syariah
Pada Fakultas Syariah

Oleh:

ABU ZAR BIN ADIN


NIM: SPM 160023

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
I AMBI
1440 H / 2018 M
— PE Rh Y AT AA N KEAS L I A N

Dengan ini saya menyatakan bahwa'

1. Skripsi ini inenipakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salali sahi persyaratan memperolelii gelar straia 1 tS1 ) di Fakultas Syariah
L”IN STS Jambi.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam peniilisan ini telah saya canttunkan
sesuai dengan ketentuan vang berlaku di UlN S"I‘S Jainbi.

3. Jika dikemudian han terbukti balea karya iiii bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dan key a orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di L Ifi STS Jambi.

.lairibi.OiiTOBER 2 8

00 N In:sRi''0023
Pembimbing 1 : Dr Rahmi Hidayati, S.Ag,
M.HI Pembimbing II : Dra. Ramlah, M.Pd.I
Alamat : Fakultas Syariah UIN STS Jambi,
Jl. Jambi- Muara Bulian KM. 16 Simp. Set
Duren, Kab. Muaro Jambi 31346.
Telp. (0741 ) 582021.

Kepada:
Yth. Bapak Dekan Fakultas Syariah
IAIN Sulthan Thaha
Saifuddin Di

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Setelah membaca dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka kami


berpendapat bahwa skripsi saudarn Abu Zar bin Adin, SPM 160023 yang
beijudul: "Shalat Gerhana Matabari dan Bulan (Studi Koaiperative
Mennrut Hanafiyah dan Syafi’iyah)
Telah dapat di ajukan untuk di munaqasyahkan guna melengkapi
tugas- tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata
Satu (SI)
O pada Fakultas Syariah Uin Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Maka dengan ini kami ajukan Skripsi tersebut agar dapat di terima dengan
baik.
Demikianlah, kami ucapkan Terima kasih, semoga bermanfaat bagi
kepentingan Agama, Nusa dan Bangsa.

D PEMBIMBING I, PEMBIMBING II,

Dr hmi Hidavati, S.Ae, Dra. Rainlab. M.Pd I, M.Sv


M.HI NIP: 19711220 199203 2 NIP: 19680441 199402 2 002
001
KEMENTERIAN AGAMA
UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBF FAXtILTAS SYARIAH

PENGESAHAN SKRIPSI / TUGAS AKHIR


Kode Dokumen Kode Formulir 1 Berlaku T I No. Revisi T 1. Revisi Ha)aman
In.08-PP-05-01 ln 08-FM-PP-05-07 25-10-201 3 R-0 - 1 dan 1

Skripsi/ Tugas Akhir dengan judul “Sbnlat Gerbaoa htatabari dao Bulao (Gtudi
Komperatif Menunit Hanafiyah dan Syafi’iyah)".
Yang dipersiapkan dan disusun oleh
Nama : Abu Zar bin Adin
NIM SPM 160023
Telah dimunaqasyahkan pada : OF Nopeinber
2018 Nilai Munaqasyah : 74.33 (B)
Dan dinyatakan telah diterima oleh Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

MIP )97509t8 200604 1 0

Yudiñnansvah. UTh Hum


NIP 197625 20090 1 017 NIP 19860606 201503 1 007

11

' i i‘. i .M Pd fora K8m lah M Per UM Sv


P‘ 19711220 199203 2 001 NIP: 19680401 199402 2 002

SclcmtañsS

NIP : 105 519840 1 002

- '" Jnmbi, Oktober 2018


Fakultas Syariah
UIN Sulthan Thaha Saifu in Jambi

EKAN{

NIP. 1973112 199603 1 001


PENGESAHAN PANITIA UJIAN

s1«ipsi b•«udui zpiikasi •s1•nni cersaan munnn am anas ‹sadi


K Komperntif Menurut Haaaiiynh dan Syafi'iyah)" telah diujikan pada
Sidang Munaqasah Fakultas Syraiab UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi psda
tanggal 8 Nppember 2018. Skripei ini telah diterima sebagai salah satu syarat
mwuperoleh gelar Sarjana Strata Satu (5.1) daiam Jurusan Perbandingan
Mazhab.

Jambi, November 2018


Dcksa,

Dr. A. A Mifts N&. 197311


kg
01

NIP: 19750918 20tJ604 1 tD1

2. Sekrctsrh Sldsog: DRN. Lflil Amri


NIP: 1961050 5t9840 J fXl2

3. Pezsbiosbiog I : ati SRI WZ&I


MIP: 19711220 199203 2 fXt1

2. Pembimbing II : Dra. Rnmlah PiL M. Sv


NIP: 19d80401 199402 2 tD2

3. Penguji I : AL Husni EA it'LHI


N&: 19761225 9 IJ90 1 017

4. Penguji IN : Yudi Armans ah S.TkI M.flux


N& : 19860606 201503 I 0tt7
SURAT PERNYATAAN

pa : Abu Zar bin Adin


R2M : SPM 160023
i lmltas : Syariah
: Perbamlingan Mazhab
t: : Mess Pelajar Malaysia, Telanaipura, Jambi

émog*n stsuAgguRsyabEbxa skñpn ymog bsjudW


’Sb*BC

Dengan Penguji I : AL Humi, S.Ag, M.HI


Dengan Penguji II : Yudi Armmsyah, S.Th.I M.Hum

Telah dipcrbaiki sesuai dengan petimjub Tim Pcnguji dan Pembimbing,


Demikianlah Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenamya.

Jambi, November 2018


Yaog ra I

N . PMU
Telah diteliti dan telah sesuai dengan keputusan Sidang Munaqasyah
kebenaranya, tptiggai 11
Oktober 201&

Ytidl Armansvak S.Th.I M.Hum


P: 19J 225 2ti0Rt 1 NIP : 198606% 20lStt3 1 0tf7
017

@kretaris Sidang
MOTTO

‫بسم ميحرال نمحرال هلال‬

‫ِلل‬
‫ ْل ِ وا ج‬9ِ‫و ََل ل‬ ‫لشم َل‬9ِ‫والشم وا ُ تسج ُدوا ل‬ ِِ ِ
َّ‫و من آ َيات ه ال َّل ْو والن‬
‫َق س ر س ُدوا‬ ‫س ْل َق ر‬ ‫ُل َها ُر‬
‫م‬
‫م‬
‫تع ُب ُدون‬
‫َّل ِذي خ َل َق ُهن إِ َّيا ُه‬
‫إِن ا كن ُتم‬

”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan.
Janganlah kalian sujud (menyembah) matahari maupun bulan, tapi bersujudlah
kepada Allah yang menciptakannya, jika memang kalian beribadah hanya kepada-
Nya.”1
1
Al-Quran Tajwid Warna dan Terjemahan Humairah (Kajang, Selangor: Humairah
Bookstore Enterprise, 2012) Fushshilat(41): 37

i
PERSEMBAHAN

Kupersembahkan skripsi ini


Untuk orang-orang yang
kucintai

Ibunda Dan Ayahanda Tercinta


Ayahanda Adin bin Haji Ismail dan ibunda Khatijah binti Rabi yang telah mendidik dan
mengasuh ananda dari kecil hingga dewasa dengan penuh kasih sayang, agar kelak ananda
menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi Agama, Nusa dan
Bangsa, dan dapat meraih
cita-cita.

Kekanda Di Sayangi
Untuk kakanda (Muhammad Indera Putera Zubair bin Adin) yang banyak memberi motivasi
Abañg-abang dan Adik-adik (Muhamad Zaqwan, Abu Darda, Dayang Ayuni, Marwan, Furqan,
Farhan, Zakiyah dan Putera), yang memberi sokongan serta terima kasih di atas segala
perhatian dân dorongan yang diberikan, semoga segala sesuatu yang terjadi di antara kita
merupakan rahmat dan anugerah dari-Nya, serta
menjadi sesuatu yang indah buat selama-lamanya.

Dosen Pebimbing
Tidak lupa kepada kedua-dua pembimbing saya yaitu
ibit Dr Rahmi Hidayati, S.Ag, M.HI dan ibu Dra. Ramlah M.Pd.I karena banyak ilmu yang
dicurahkan dan banyak memberi tunjuk ajar kepada saya erti daya dan upaya untuk
menghadapi cabaran hidup.

iii
Murabbi dan Ustaz
Tidak lupa saya ucapkan ribuan dan jutaan terima kasih kepada Murabbi yang mendidik rohani
saya iaitu Al-Arifubillah Syeikh Lokeman Hazli bin Azali An-Naqsyabandiyah wa Ghazaliyah
wa Syahzuliyah, Ustaz Kaharuddin bin Nordin, Ustaz Nurjulan bin Norsaman dan seluruh
ikhwan Tareqat Al-Ghazaliyah diatas segala doa dan harapan.

Teman-Teman Seperjuangan
Serta tak lupa pula terima kasih juga untuk insan yang tercinta yaitu sahabat sejatiku Ahmad
Ridha, Fateh, Muaz, Syahmi, Rafiq, Bulqini, Afiq, Zulfadli, Hisyam, Azam, Luqman, geng
Rumah Katang serta teman-temanku lain yang tergabung dalam Persatuan Kebangsaan Pelajar-
pelajar Malaysia di Indonesia Cabang Jambi, serta teman-teman dari Indonesia maupun teman-
teman yang berada
di Malaysia, yang setia telah memberikan semangat dan dorongan di kala
suka maupun duka, semoga persahabatan kita tetap terjalin dengan baik
dan semoga ini semua menjadi kenangan yang terindah dalam hidupku.
Terima kasih atas segalanya.

iv
ABSTRAK

Skripsi yang berjudul Shalat Gerhana Matahari dan Bulan (Studi Komperatif
Menurut Hanafiyah Dan Syafi’yah). Skripsi ini adalah untuk mengungkap
persoalan tentang bagaimana tatacara shalat gerhana matahari dan bulan menurut
Hanafiah & Syafi’iyah dan apakah hukum melaksanakan shalat gerhana matahari
dan bulan menurut Hanafiah dan Syafi’iyah. Pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualiltatif dengan
menggunakan metode diskriptif. Instrumen pengumpulan data adalah melalui
studi dokumentasi atau studi literatur. Jenis penelitian yang digunakan dalam
kajian ini yaitu library research (kajian pustaka) supaya penulis dapat meneliti
dan membahas kajian ini secara rinci dan membahas permasalahan ini dengan
lebih mendalam. Dengan menggunkakan data primer yaitu daripada kitab-kitab
seperti al-Umm, al-Mabsuth, manakala data sekunder yang merupakan data
pelengkap atau pendukung yang diperoleh melalui buku-buku, jurnal dan juga
artikel-artikel. Ulama Hanafiyah dan Ulama Syafi’iyah telah berijtihad
berdasarkan ijtihad qiyasi yaitu mengqiyaskan shalat Gerhana kepada shalat sunat
yang lain seperti shalat sunah idul fitri, idul adha dan shalat sunah istiqah. mereka
mengambil hukum berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah. Ulama
Hanafi mengatakan wajib menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra. Manakala Ulama Syafi`I mengatakan sunnah muakkadah
menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.

ii
KATA PENGANTAR

‫ال رح ن ح ْي ِن‬ ‫س ِن‬


‫ِّلال م الر‬
‫ُه‬Fُ‫و كات‬ ‫السالَم ْ ْ ورحم‬
‫َبر‬ ‫ة‬ ‫ي ن‬
‫ع‬
‫َل ك‬

Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan karunia-Nya. Shalawat dan Salam turut dilimpahkan kepada junjungan
besar Nabi Muhammad SAW yang sangat dicintai. Alhamdulillah dalam usaha
menyelesaikan skripsi ini penulis senantiasa diberi nikmat kesehatan dan kekuatan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Shalat Gerhana Matahari dan

Bulan (Studi Komperative Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)”.

Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu


syariah dalam bagian ilmu perbandingan mazhab tentang fatwa hukum. Juga memenuhi
sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Jurusan
Perbandingan Mazhab pada Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi, Indonesia.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis akui tidak terlepas dari menerima hambatan
dan halangan baik dalam masa pengumpulan data maupun penyusunannya. Situasi yang
mencabar dari awal hingga ke akhir menambahkan lagi daya usaha untuk menyelesaikan
skipsi ini agar selari dengan penjadualan. Dan berkat kesabaran dan sokongan dari berbagai
pihak, maka skripsi ini dapat juga diselesaikan dengan baik seperti yang diharapkan.

Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan adalah jutaan terima kasih kepada
semua pihak yang turut membantu sama ada secara langsung maupun secara tidak langsung
menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:

1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA Rektor UIN STS Jambi, Indonesia.


2. Bapak Dr. AA. Miftah, Dekan Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.
3. Bapak. Hermanto Harun, Lc, Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Ibu
Rahmi Hidayati, S.Ag, M.HI, Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum,

v
Perancangan dan Keuangan dan Ibu Dr. Yulianti, S,Ag.M.HI, Wakil Dekan
Kemahasiswaan dan kerjasama di lingkungan Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.
4. AlHusni S.Ag.,M.HI selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab (PM) Fakultas
Syari’ah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
5. Ibu Rahmi Hidayati, S.Ag, M.HI, selaku Pembimbing I dan Ibu Dra. Ramlah M.Pd.I,
M. Sy selaku pembimbing II skripsi ini yang telah banyak memberi kemasukan,
tunjuk ajar dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan ibu dosen yang telah mengajar sepanjang perkuliahan, asisten dosen serta
seluruh karyawan dan karyawati yang telah banyak membantu dalam memudahkan
proses menyusun skripsi di Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.

Di samping itu, disadari juga bahwa skripsi ini masih ada kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan baik dari segi teknis penulisan, analisis data, penyusunan maklumat maupun
dalam mengungkapkan argumentasi pada bahan skripsi ini. Oleh karenanya diharapkan
kepada semua pihak dapat memberikan kontribusi pemikiran, tanggapan dan masukan berupa
saran, nasihat dan kritik demi kebaikan skripsi ini. Semoga apa yang diberikan dicatatkan
sebagai amal jariyah di sisi Allah SWT dan mendapatkan ganjaran yang selayaknya kelak.

Jambi, Oktober 2018


Penulis,

ABU ZAR BIN ADIN


SPM 160023

vi
DAFTAR ISI SEMENTARA

HALAMAN JUDUL
PERNYATAAN KE ASLIAN
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGESAHAN PANATIA UJIAN
MOTTO.........................................................................................................................i
ABSTRAK....................................................................................................................ii
PERSEMBAHAN.......................................................................................................iii
KATA PENGHANTAR…........................................................................................v
DAFTAR ISI….........................................................................................................viii
TRANSLITERASI…..................................................................................................x
DAFTAR SINGKATAN…......................................................................................xi

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 6
C. Batasan Masalah 6
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 6
E. Kerangka Teori 7
F. Tinjauan Pustaka 9
G. Metode Penetilian 11
H. Sistematika Penulisan 13

BAB II: BIOGRAFI HANAFIYAH DAN SYAFIIYAH


A. Biografi Imam Abu Hanifah 15
1. Pendidikan Imam Abu Hanifah 15

vii
2. Murid-murid Imam Abu Hanifah 16

3. Hasil Karya Imam Abu Hanifah dan Murid-muridnya 17


4. Dasar-dasar Mazhab Hanafi 19
5. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah 20

B. Biografi Imam As-Syafi’I 29

1. Riwayat Hidup Imam Syafi`I 29


2. Latar Belakang Sosial dan Politik 33
3. Guru-guru Imam Syafi`I 35
4. Dasar-dasar Mazhab Syafi`I 36
5. Karya-karya Imam Syafi`I 37

BAB III: PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN


A. Tatacara Shalat Gerhana Matahari dan Bulan
menurut Hanafiah & Syafi’iyah? 41
1) Tata Cara Shalat Gerhana Matahari 41
2) Tata Cara Shalat Gerhana Bulan 51
B. Hukum Melaksanakan Shalat Gerhana Matahari
dan Bulan Menurut Hanafiah dan Syafi’iyah? 55
1. Gerhana Matahari (Kusuf) 55
2. Gerhana Bulan (Khusuf) 55
C. Dimanakah Letaknya Persamaan dan
Perbedaan Hanafiyah dan Syafi’iyah 60

BAB IV: PENUTUP


A. Kesimpulan 66

viii
B. Saran-saran 67
C. Kata Penutup 68

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................


CURRICULUM VITAE.............................................................................
LAMPIRAN.................................................................................................

ix
TRANSLITERASI

‫ا‬ a ‫خ‬ kh ‫ش‬ sy ‫غ‬ gh ‫ن‬ n


‫ب‬ ‫د‬ ‫ص‬ ‫ف‬ ‫و‬
b d sh f w
‫ت‬ ‫ذ‬ ‫ض‬ ‫ق‬ ‫ه‬
t dz dh q h
‫ث‬ ‫ر‬ ‫ط‬ ‫ك‬ ‫ء‬
ts r th k ’
‫ج‬ ‫ز‬ ‫ظ‬ ‫ل‬ ‫ي‬
j z zh l y

‫ح‬ h ‫س‬ s ‫ع‬ ’ ‫م‬ m

â = a panjang
î = u panjang
û = u panjang

au = ‫او‬
ay= ‫ا َى‬

x
DAFTAR SINGKATAN

UIN STS : Univarsitas Negeri Sultan Thaha Saifuddin.

SWT : Subhanahuwata ‘ala.

SAW / ‫ ﷺ‬: Sallallahu

‘alaihiwasallam. ra. : Radiallahu ‘an.

No. : Nomor.

Q.S : Al-Quran Dan Sunnah.

cet. : Cetakan.

hlm : Halaman.

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gerhana adalah fenomena astronomi yang terjadi apabila sebuah benda

angkasa bergerak ke dalam bayangan sebuah benda angkasa lain. Istilah ini

umumnya digunakan untuk gerhana Matahari ketika posisi Bulan terletak di

antara Bumi dan Matahari, atau gerhana bulan saat sebagian atau keseluruhan

penampang Bulan tertutup oleh bayangan Bumi. Namun, gerhana juga terjadi

pada fenomena lain yang tidak berhubungan dengan Bumi atau Bulan, misalnya

pada planet lain dan satelit yang dimiliki planet lain.

Di dalam agama Islam, umat Muslim yang mengetahui atau melihat

terjadinya gerhana bulan ataupun matahari, maka selayaknya segera melakukan

shalat kusuf (salat gerhana). Gerhana matahari terjadi 2-5 kali dalam setahun.

Biasanya, gerhana matahari terjadi sekitar dua minggu sebelum atau sesudah

gerhana bulan.1 jumlah gerhana Bulan dalam satu tahun bisa berkisar antara 0

sampai 3 kali terjadi2

Matahari dan bulan merupakan dua makhluk Allah Subhanahu wa ta‟ala

yang sangat akrab dalam pandangan. Peredaran dan silih bergantinya yang sangat

teratur merupakan ketetapan aturan Penguasa Jagad Semesta ini. Allah

Subhanahu wa ta‟ala berfirman:

1
Yuliana Ratnasari, “Gerhana Bulan Usai Muncul Gerhana Matahari”. Akses 16 July
2018
2
Riza Miftah Muharram. “Derhana Bulan Total” akses 16 Juli 2018

1
2

٥ ‫س بان‬ ۡ
ۡ
‫ٱلش هس وٱل ق ِب‬

‫ه ر‬

Artinya: “Matahari dan bulan beredar dengan peraturan dan hitungan yang
tertentu.”3

Maka semua yang menakjubkan dan luar biasa pada matahari dan bulan

menunjukkan akan keagungan dan kebesaran serta kesempurnaan pencipta-Nya.

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta‟ala membantah fenomena penyembahan

terhadap matahari dan bulan. Yang sangat disayangkan ternyata keyakinan kufur

tersebut banyak dianut oleh ”bangsa-bangsa besar” di dunia sejak berabad-abad

lalu, seperti di sebagian bangsa Cina, Jepang, Yunani, dan masih banyak lagi. 4

Allah Subhanahu wa ta‟ala berfirman:

َّ ۡ ۡ ۡ َّ
ۡ
‫ِِۤ–هَّلِل ٱ‬ ‫لح ل‬ ‫هس‬ ‫لح–ل‬ ‫ق ه ت س‬ ‫هس‬ ‫ها ر‬ ‫ٱ ّۡل‬ ‫و‬
ْ
‫ح‬ ‫هو‬ ‫ش ق‬ ‫جدوا‬ ‫َل‬ ‫ر ٱو‬ ‫ش‬ ‫وٱل وٱنَّل‬ ‫ل ءا‬ ‫حنو‬
ۡ
‫–اودُجسٱۤو‬œُْۤ ۡ ‫لي‬ ‫َل‬ ‫ل‬ ‫يَٰتحهح‬
ۡ
٧٣ ‫عب دو ن‬ ‫كن ت ۡم‬ ‫ه ق‬

‫ت‬ َّ
‫خل إح–ياه و حإن‬
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah malam dan siang, serta
matahari dan bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari dan
janganlah pula sujud kepada bulan dan sebaliknya hendaklah kamu
sujud kepada Allah yang menciptakannya, kalau betulah kamu hanya
beribadat kepada Allah.”5

Masyarakat Indonesia sendiri, umumnya masyarakat tradisional dulu, lebih

banyak mendasarkan gerhana pada tahayul-tahayul dan mitos-mitos yang

diwariskan dari mulut ke mulut. Khayalan dan mitos tersebut diantaranya ialah

yang menyatakan bahwa gerhana terjadi karena matahari ditelan oleh raksasa

yang bernama “Kala” atau “Kalarahu”. Raksasa ini dibayangkan mempunyai


kepala yang besar dan mulut yang lebar. Ia mempunyai leher tetapi tidak

3
Ar-Rahman (27): 5
4
Ahmad Baiquni. “Gerhana Dalam Tinjauan Syariat Islam”, akses 15 Juli 2018
5
Fussilat (41): 37
3

mempunyai badan. Oleh sebab itu, masyarakat yang memiliki kepercayaan seperti

ini, berusaha melakukan perbuatan-perbuatan mengusir raksasa tersebut. Mereka

akan menabuh semua alat yang dapat menimbulkan bunyi, misalnya memukul

kentongan, lesung, lumping dan sebagainya. Mereka beranggapan, apabila raksasa

mendengar bunyi-bunyian yang ribut tersebut akan lari dan memuntahkan kembali

matahari dari mulutnya sehingga matahari bersinar kembali seperti sediakala6

Islam hadir menyikapi pandangan masyarakat tentang banyak hal. Di

antaranya pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana matahari dan

bulan. Dalam konteks itu, Islam menepis mitos dan pandangan primitif abad ke-7

tentang gerhana, sekaligus menekankan dimensi religius, spiritual, dan sosial pada

gerhana itu sendiri sebagai misi kenabian Nabi Muhammad S.A.W. Masyarakat

Arab pra-Islam memandang gerhana sebagai sesuatu yang menakutkan. Gerhana

adalah pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi, baik dari kematian maupun

kelahiran.

Gerhana adalah sumber bencana dan malapetaka. Dalam perspektif

sekarang, kita dapat mengatakan bahwa pandangan tersebut bersifat primitif.

Pandangan primitif itu masih hidup saat Islam datang. Ketika putra Nabi

Muhammad S.A.W, Ibrahim meninggal, yang bersamaan dengan terjadinya

gerhana matahari, mereka mengatakan bahwa gerhana itu terjadi karena

kepergian putra Nabi Muhammad S.A.W. Dalam konteks itulah Nabi Muhammad

S.A.W bersabda:

6
Soetjipto, “Islam dan Ilmu Pengetahuan tentang Gerhana”, (Yogyakarta: 1983). Cit,
hlm 6-7.
4

‫َت َعا ََل فَ ا رَـآيْـ ُت‬ ‫ك م ْن َٓآَيت‬ ‫و‬ ‫ٍ َ مح َيا‬ ‫إ ّـَّن إمش وإْمَق َل ك ِس َم‬
َ
‫ذإ هل ِال ُمو ُ َُها‬ َّ‫م ـّـ‬ ‫د َل ِت ِو‬ ‫ْمس َم َر ي َفا ِن ْوت‬
‫ُن َما ٓآـي‬ ‫إح و‬ ‫م‬
‫َتا ِن‬
‫فَـ ُقو ُموإ و َصوُـّوإ‬
Artinya: “Sungguh, gerhana matahari dan bulan tidak terjadi sebab mati atau
hidupnya seseorang, tetapi itu merupakan salah satu tanda kebesaran
Allah ta’ala. Karenanya, bila kalian melihat gerhana matahari dan
gerhana bulan, bangkit dan shalatlah kalian,”7

Selanjutnya Nabi Muhammad S.A.W menganjurkan untuk melaksanakan

shalat, bertasbih, berzikir, bertahlil, bersedekah, dan memerdekakan budak.

Dengan pernyataan dan anjuran Nabi S.A.W tersebut, Islam jelas menepis segi

mitis dan primitif dari pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana.8

Ada dua istilah dalam penamaan gerhana, Kusuf dan Khusuf. Keduanya

adalah sinonim. Jika kedua nama tersebut disebutkan secara bersamaan, maka

makna kusuf untuk gerhana matahari dan khusuf untuk gerhana bulan. Dua

penyebutan dengan nama yang berbeda seperti ini lebih masyhur di kalangan

fuqoha. Namun kadangkala ada penyebutan kusufaini dan khusufaini yang

keduanya bermakna dua gerhana, yaitu matahari dan bulan. Pada dua kejadian

alam ini, gerhana matahari dan bulan, ada shalat yang disyariatkan oleh

Rasulullah S.A.W.

Hukum shalat gerhana terdapat keterangan dari Abu Hanifah, beliau

menghukuminya wajib dan menjadikan batasan berdoa dan shalatnya dengan

selesainya gerhana atau tersingkapnya kembali cahaya matahari dan bulan.9

7
Bhukari, Shahih Bhukari Pdf, “Bab Shalat Saat Terjadi Gerhana Matahari,” hlm. 432.
No.983.
8
Fahrizal Fahmi Daulay (ed), Sejarah Gerhana Bulan dan Pandangan Islam Hingga
Turun Anjuran Shalat Nabi Muhammad, (Tribun-Medan.com, 2018) Akses 15 Juli 2018
9
Ash-Shan’ani, “Subulus Salam Syarh Bulughil Maram min Jam‟I Adillatil Ahkam”:
ll/135
5

Jumhur ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah

mu’akkadah (sangat-sangat ditekankan). Mereka beralasan dengan membatasi

shalat wajib hanya yang lima waktu saja.10 Imam An Nawawi rahimahullah

berkata, “para ulama bersepakat dalam kontek ijma’ bahwa shalat gerhana

hukumnya sunnah.”11 Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “jumhar ulama

bersepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah.”12

‫كسو ِف ْم ِس وإ ْمقَ َم ِر َؤك ِب مَك ْن ما َوـآب َي َف َة ي مخسو ِف إمْـق‬ ‫و َص ََل‬


‫َم ِر‬ ‫قَـال ٌِل و َص ِّّل ح ِن‬ ‫س نّـَّ ٌة ش ّ َد ٌة َِل ْ َْجا‬ ‫إم‬ ‫ُة‬
‫م‬
‫ويُـ َص ِّّل ر كسائِ ِر إمنَّـ َوإ ِفل‬ ‫فُ َرإ َدى‬
‫ْك َع َت ْ ِْي‬
Artinya: “Menurut kesepakatan para Ulama (ijma’) hukum shalat gerhana
matahari dan gerhana bulan adalah sunnah mu’akkadah. Akan tetapi
menurut Abu Hanifah shalat gerhana bulan dilakukan sendiri-sendiri
dua rakaat seperti shalat sunah lainnya,”13

Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt dan salah satu hadits Nabi

S.A.W. Allah ta’ala berfirman,

‫ك ْن ُ ُْت‬
‫وإ ْ ُْس َّ ِلل إ خوَـَقه إ‬ ‫وإْمَق َْتس ج ْم َ نوَْق َم‬ ‫و إ ه و ْم‬ ‫َ و ِم ْن آٓ َـ َي‬
‫ـَّّ ن ْن‬ ‫ُدوإ‬ ‫َم ُر َل ُدوإ نو ِس َل ِر‬ ‫إم ُ س‬ َّ‫ـّـ‬ ‫ِت ِو إنوَـّ ْيل‬
َِّ‫ّـ‬ ‫ش و‬ ‫َنـا ُر ش‬ ‫ُه َت ْع ُب ُدو‬
‫َن إ‬
‫لي‬
‫َّي‬
Artinya: “Sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan
bulan. Jangan kalian bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada
bulan, tetapi bersujudlah kalian kepada Allah yang menciptakan semua
itu, jika kamu hanya menyembah-Nya,”14

Dari permasalahan yang timbul diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan

membahas hal ini ke dalam satu karya ilmiah yang berjudul “Shalat Gerhana
10
11
Ibid, Subulus Salam.
Syarh An Nawawi „Ala Shahih Muslim: Vl/451
12
Ibnu Hajar al-Asqolani, “Fath Al Baari Syarah al-Bhukari”, : ll/527
13
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab, cet ke-3, (Cairo: Mathba’ah Al-
Istiqamah, 2002), hlm. 327.
14
Fushilat (41): 37
6

Matahari dan Bulan (Studi Komperatif Menurut Hanafiyah dan

Syafi’iyah)”.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tatacara shalat gerhana matahari dan bulan menurut Hanafiah &

Syafi’iyah?

2. Apakah hukum melaksanakan shalat gerhana matahari dan bulan menurut

Hanafiah dan Syafi’iyah?

3. Persamaan dan Perbedaan Hanafiyah dan Syafi’iyah

C. Batasan Masalah

Untuk memudahkan pembahasan serta tidak menyalahi sistematika penulisan

karya ilmiah sehingga membawa hasil yang diharapkan, maka penulis membatasi

masalah yang akan dibahaskan dalam skripsi ini, sehingga tidak terkeluar dari

topik yaitu “Shalat Gerhana Matahari dan Bulan (Studi Komperatif Menurut

Hanafiyah dan Syafi’iyah)” saja.

D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini adalah sebagai

berikut :
7

a. Ingin mengetahui tatacara pelaksanaan shalat gerhana matahari dan bulan

menurut Hanafiah & Syafi’iyah.

b. Ingin mengetahui bagaimana kehujahan dalil-dalil yang digunakan Hanafiah

& Syafi’iyah terhadap hukum shalat gerhana matahari dan bulan.

2. Kegunaan Penelitian

Apabila tujuan tersebut sudah dicapai, maka jelas ada manfaat yang dapat

di ambil antara lain:

a. Sebagai melengkapi pensyaratan dalam menyelesaikan studi dan untuk

memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Syari’ah dalam

jurusan Perbandingan Mazhab, UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

b. Sebagai sarana untuk menambah pengetahuan umat Islam terhadap

permasalahan-permasalahan terutamanya tentang hukum melaksanakan shalat

gerhana matahari dan bulan menurut perbandingan mazhab antara Hanafiah

& Syafi’iyah tentang hujah dalil yang digunakan

c. Sebagai bahan bacaan dan rujukan bagi mahasiswa, penelitian dan

masyarakat seluruhnya melalui pembuatan dan penyusunan karya ilmiah

secara baik.

d. Untuk menambah wawasan penulisan dalam penulisan karya ilmiah ini atau

tulisan-tulisan lainya.

E. Kerangka Teori

Shalat gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah khusuf

(‫ )الخسوف‬dan juga kusuf (‫ )الكسوف‬sekaligus. Secara bahasa, kedua istilah itu


8

sebenarnya punya makna yang sama. Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan

sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus. Namun masyhur juga

di kalangan ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf

untuk gerhana matahari15

Hukum shalat gerhana terdapat keterangan dari Abu Hanifah, beliau

menghukuminya wajib dan menjadikan batasan berdoa dan shalatnya dengan

selesainya gerhana atau tersingkapnya kembali cahaya matahari dan bulan. 16

Jumhur ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah

mu’akkadah (sangat-sangat ditekankan). Mereka beralasan dengan membatasi

shalat wajib hanya yang lima waktu saja.17 Imam An Nawawi rahimahullah

berkata, “para ulama bersepakat dalam kontek ijma’ bahwa shalat gerhana

hukumnya sunnah.”18 Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “jumhar ulama

bersepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah.”19

Mazhab Hanafiah adalah pemikiran hukum mazhab yang diasaskan oleh

pengasasnya yang bernama al-Imam al-A’zham Abu Hanifah, an Nu’man bin

Tsabit bin Zuwatha al-Kufi. Dia adalah keturunan orang-orang Persia yang

merdeka (bukan keturunan hamba sahaya). Dilahirkan pada tahun 80 hijrah dan

meninggal pada tahun 150 hijrah (semoga Allah swt merahmatinya). Dia hidup

dizaman pemerintahan besar, yaitu pemerintahan Bani Umayyah dan Bani

Abbasiyyah. Dia adalah generasi atba‟ at-tabi‟in. Ada pendapat mengatakan

15
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu
16
Subulus Salam: ll/135
17
Subulus Salam: ll/135
18
Syarh An Nawawi „Ala Shahih Muslim: Vl/451
19
Fath Al Baari: ll/527
9

beliau termasuk didalam golongan tabi‟in. Dia pernah bertemu dengan sahabat

Anas bin Malik r.a dan meriwayatkan hadis darinya yaitu hadits yang artinya,

“Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim.”

Mazhab Syafi’iyah adalah aliran hukum mazhab yang diasaskan oleh Al-

Imam Abu Abdullah, Muhammad bin Idris al-Quraisyi al-Hasyimi al-Muththalibi

ibnul Abbas bin Utsman bin Syafi’i (rahimahullah). Silsilah nasabnya bertemu

dengan datuk Rasulullah S.A.W yaitu Abdu Manaf. Dia dilahirkan di Ghazzah

Palestina pada tahun 150 hijrah, yaitu pada tahun wafatnya Imam Abu Hanifah.

Dan beliau wafat di Mesir pada tahun 204 hijrah.

Imam Asy-Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak. Beliau adalah imam di

bidang fiqh, hadits dan usul. Metode beliau mengabungkan dasar ilmu fiqih ulama

Hijjaz dengan ulama Iraq.

F. Tinjauan Pustaka

Setelah penulis mengadakan tinjauan pustaka sesungguhnya telah ada yang

membahaskan permasalahan yang berkaitan dengan tentang Hukum Shalat

Gerhana Matahari (Kusuf Syams) dalam kaedah ini diperlukan adalah untuk

menentukan pemilihan tajuk yang bersesuaian dengan penyelidikan. Hal ini

bertujuan untuk memastikan tidak ada pertindihan sama ada dari segi tajuk dan

kajian yang dijalankan.

Sesungguhnya telah ada yang membahas permasalahan yang berkaitan seperti

dalam skripsi yang dituis oleh Iswahyudi. Jurusan Perbandingan Mazhab pada

tahun 2016 dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang yang berjudul

“Hukum Shalat Gerhana Matahari (Kusuf Syams) Menurut Mazhab Hanafiyah dan
10

Syafi’iyah Analisis Studi Shalat Gerhana Matahari Dimasjid Taqwa Desa Muara

Tawi, KEC. Jarai KAB. Lahat Sumsel” Di dalam skripsi tersebut Iswahyudi

meneliti tentang bagaimana metode instibat hukum yang digunakan oleh Mazhab

Hanafiyah dan Syafi’iyah dalam menentukan Bagaimana keadaan dan pendapat

dari jamaah dan tokoh ulama tentang shalat gerhana matahari (kusuf syams) didesa

Muara Tawi dan bagaimana kesimpulan pendapat hukum shalat gerhana matahari

(kusuf syams).

Selain itu, penulis juga membuat tinjauan perpustakaan juga bagi

mendapatkan maklumat terperinci mengenai perbedaan pandangan mazhab

khususnya tentang hukum solat gerhana. Kajian ini juga boleh memberikan

kefahaman yang lengkap mengenai perbandingan dan cara untuk mengenal pasti

najis tersebut menurut pandangan mazhab. Maklumat yang diperolehi menjadi

hujah yang penting kepada hasil kajian secara keseluruhannya. Oleh kerana itu,

faktor-faktor penting yang harus disentuh dalam kajian ini dapat dikenal pasti.

Sejauh informasi penulis peroleh, telah ada buku yang membahaskan

permasalahan solat gerhana seperti didalam kitab-kitab karangan mazhab

Hanafiah dan juga mazhab Syafi’iyah. Namun pembahasan terhadap masalah-

masalah dalil yang khusus digunakan, apalagi dengan menggunakan metode

perbandingan antara dua imam mazhab. Oleh kerana itu, penulis akan

membahasakan secara mendetail tentang hal ini.

Kesimpulannya, kesemua tinjauan pustaka yang digunakan penulis tidak

secara khusus mengkaji tentang judul yaitu “Shalat Gerhana Matahari dan Bulan
11

(Studi Komperatif Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)”. Namun skripsi-skripsi

yang digunakan adalah sebagai rujukan bagi mengumpul semua data upaya

analisis penulis terhadap skripsi ini dapat dicapai.

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan (library research). Penelitian

kepustakaan adalah sebuah penelitian yang dilakukan untuk literatur-literatur

pustaka saja. Bagi memenuhi keperluan tersebut, penulis menggunakan buku-

buku rujukan yang asli atau data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang

dibahas.

2. Jenis Dan Sumber Data

A. Sumber Data

i. Data Primer

Data pokok yang bersumberkan al-Quran dan al-Hadis shahih seperti Shahih

al-Bukhari dan Shahih Muslim. Adapun buku-buku yang digunakan sebagai data

primer pada penulisan ini antara lain adalah kitab al-Umm karya Imam al-

Syafi’e, Al-fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah. Begitu juga kitab Qalyubi wa

„Umairah karangan yeikh Syihabuddin dan beberapa kitab karangan murid

Imam Hanafi.

ii. Data Sekunder

Data penunjang, dalam penulisan skripsi ini, yakni data yang diambil dari

sumber-sumber yang ada relevensinya dengan pembahasan ini.


12

B. Jenis Penelitian

i. Penelitian Pustaka (Library Search)

Kaedah penelitian ini penting dalam mengumpulkan data dan informasi bagi

penelitian ini terhadap semua bab serta menjadi pendoman kepada penulis untuk

mengetahui dengan lebih rinci tentang apa yang bakal dikaji dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Tenik yang penulis gunakan dalam pengumpulan data di sini, yaitu dengan

mengunakan cara kualitatif dan deskritif, Artinya penulis mengadakan

penyalinan dan pengutipan dari berbagai sumber data primier maupun data

skunder sesuai dengan masalah yang sedang dibahas

4. Teknik Analisis Data

a. Analisis Historis

Analisi data historis di mana telah dikumpulkan, maka data tersebut dianalisis

melalui analisa historis yang berkaitan tentang sejarah dalil-dalil yang digunakan.

Untuk melihat sejarah perlunya melihat kepada dalil-dalil yang besumberkan al-

Quran dan al-Hadith.

b. Analisis Isi

Analisis Isi merupakan analisis yang paling umum digunakan dalam tiap

penelitian dengan langkah pokok pembacaan terhadap dalil-dalil dalam

penelitian. Karya-karya yang dibaca tengtang Shalat Gerhana Matahari dan

Bulan (Studi Komperative Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah) untuk mengetahui

pengertian, sejarah dan bentuk pemikiran.

c. Analisis Komperatif
13

Merupakan analisis secara perbandingan mengenai hukum-hukum dan syarat-

syarat serta dalil-dalil yang digunakanya. Maka dibandingkan antara Hanafiyah

dan Syafi’iyah.Berdasarkan dua hukum yang ada, dapat menarik kesimpulan

terhadap masalah-masalah yang dibahas.

H. Sistematika Penulisan

Penyusunan skripsi ini terbagi kepada lima bab yang mana setiap bab terdiri

dari sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan-permasalahan

tertentu tetapi tetap saling terkait antara satu sub dengan sub bab yang lainnya.

Adapun sistematika perbahasannya sebagai berikut:

Bab pertama, adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah,

Rumusan Masalah, batasan masalah, Tujuan dan kegunaan penelitian, Tinjauan

pustaka, Metode Penelitian dan Sistenatika Penulisan

Bab kedua membahaskan mengenai gambaran umum latar belakang serta

biografi Imam Mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Bab ketika ini terdiri dari sub

bab sebagai berikut: Riwayat-riwayat Hidup Imam Mazhab Hanafiyah dan

Mazhab Syafi’iyah serta Dasar-dasar Mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah.

Bab ketiga pula membahas mengenai gambaran umum sejarah gerhana

matahari dan bulan, hokum shalat gerhana matahari dan bulan dan juga cara

pelaksanaan shalat gerhana matahari dan bulan menurut Hanafiyah dan

Syafi’iyah.

Bab keempat membahaskan mengenai hasil penelitian yang mengandung sub

bab seperti bagaimana metode istinbat hukum dalil yang digunakannya dan
14

bagaimana implementasi permasalahan tentang “Shalat Gerhana Matahari dan

Bulan (Studi Komperative Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)”

Bab kelima adalah akhir pembahasan yang memuat kesimpulan dari seluruh

pembahasan dan saran-saran yang dianggap penting sehubungan dengan

penelitian ini serta untuk eksisnya nilai-nilai hukum Islam yang universal dalam

kehidupan masyarakat.
BAB II

BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI`I

A. Biografi Imam Abu Hanifah

Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 Hijriah(699 Masihi).

Nama kecilnya ialah Nu`man bin Sabit bin Zautha bin Mah. Ayah beliau

keturunan dari bangsa Parsi (Kabul-Afghanistan) tetapi sebelum beliau dilahirkan

ayah beliau sudah pindah ke Kufah. Beliau dipanggil Abu Hanifah karena sudah

berputra, ada di antaranya yang dinamakan Hanifah, maka dari itu beliau

mendapat gelar dari orang banyak dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi ada

riwayat lain, bahwa yang menyebabkan beliau dipanggil Abu Hanifah, karena

beliau rajin melakukan ibadah kepada Allah dan bersungguh-sungguh

mengerjakan kewajibannya dalam agama. Karena perkataan “Hanif” dalam

Bahasa Arab artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang benar.

Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M) di Baghdad.1

1. Pendidikan Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah sejak kecil suka kepada ilmu pengetahuan, terutama

yang ada hubungan dengan agama Islam. Beliau banyak belajar dari ulama-ulama

tabi`in seperti Ata` bin Abi Rabah dan Imam Nafi` Maula Ibnu Umar. Beliau juga

belajar ilmu hadis dan fiqh dari ulama-ulama yang terkemuka di negeri itu. Guru

yang paling berpengaruh pada dirinya ialah Imam Hammad bin Abi Sulaiman

1
K.H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Cet. Ke-5, (Jakarta :
PT.Bulan Bintang, 1986), hlm. 19

15
16

(wafat 120 H). Adapun para ulama yang pernah beliau ambil dan hisap ilmu

pengetahuannya pada waktu itu ada kira-kira 200 ulama. Dan di antara orang yang

pernah menjadi guru Imam Abu Hanifah adalah Imam Ahmad al-Baqir, Imam

Ady bin Sabit, Imam Abdur Ramhan bin Harmaz, Imam Amr bin Dinar, Imam

Mansur bin Mu`tamir, Imam Syu`ban bin Hajjaj, Imam Ahsim bin Abin Najwad,

Imam Salamah bin Khail, Imam Qatadah, Imam Rabi`ah bin Abi Abdur Rahman

dan lain-lain. Imam Abu Hanifah juga terkenal sebagai imam ahli ra`yi dan qiyas

dan mengerti tentang hadits-hadits yang telah diterima riwayatnya pada masa itu.2

2. Murid-murid Imam Abu Hanifah

Beberapa anak-anak murid Imam Abu Hanifah yang terkenal adalah:

a. Imam Abu Yusuf, Yaqub bin Ibrahim al-Ansary lahir pada tahun 113

Hijriyah. Beliau setelah dewasa belajar menghimpun atau mengumpulkan

hadits-hadits dari Nabi S.A.W yang diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah

Asy-Syaibany, Ata` bin As-Saib dan lain-lain. Imam Abu Yusuf termasuk

golongan ulama ahli hadits yang terkemuka, beliau wafat pada tahun 183

Hijriyah.

b. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad As-Syaibani, lahir di Iraq pada tahun

132 Hijriyah. Beliau seorang alim ahli fiqh dan furu`. Wafat pada tahun 189

Hijriyah di kota Rayi.

2
Ibid., hlm. 23
17

c. Imam Zafar bin Huzail bin Qais al-Kufi lahir pada tahun 110 Hijriyah. Beliau

amat menyenangi untuk mempelajari ilmu akal atau ra`yi, beliau juga menjadi

seorang ahli qiyas dan ra`yi yang meninggal pada tahun 158 Hijriyah.

d. Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy, beliau belajar pada Imam Abu Hanifah

Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, serta wafat pada tahun

204 Hijriyah.

Empat orang ulama itulah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yang

akhirnya yang menyiarkan dan mengembangkan aliran dan hasil ijtihad beliau

yang utama, serta mereka mempunyai kelebihan untuk memecahkan soal-soal

ilmu fiqh atau soal-soal yang berkaitan dengan agama. Bahkan Imam Abu Yusuf

dan Imam Muhammad bin Hasan sejak dahulu mendapat gelaran “As-Sahabain”

yakni kedua sahabat Imam Abu Hanifah yang paling rapat.3

3. Hasil Karya Imam Abu Hanifah dan Murid-muridnya

Imam Abu Hanifah memang seorang ahli tentang fiqh dan ilmu kalam dan

pada saat beliau hidup banyak yang berguru padanya. Di bidang ilmu kalam

beliau menulis kitab yang berjudul al-Fiqh al-Asqar dan Fiqh al-Akbar. Tetapi

dalam bidang ilmu fiqh tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa

Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh sewaktu hidupnya.4

Adapun kitab-kitab hasil karya murid-murid Imam Abu Hanifah dalam

bidang ilmu fiqh adalah:

3
Ibid., hlm. 37
4
Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,
(Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 340
18

a. Kitab al-Kharaj oleh Imam Abu Yusuf.

b. Zahir ar-Riwayah oleh Imam Muhammad bin Hasan as-Syaibani. Kitab ini

terdiri dari 6 jilid, yaitu al-Mabsut, al-Jami`, al-Kabir, al-Jami` as-Sagir, as-

Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir dan az-Ziyadat.

c. An-Nawadir oleh Imam as-Syaibani. Terdiri dari empat judul yang terpisah

yaitu : al-Haruniyyah, al-Kaisaniyyah, al-Jurjaniyyah, dan ar-Radiyah.

d. Al-Kafi oleh Abi al-Fadhl Muhammad bin Muhammad bin Ahmaf al-Maruzi.

Kitab ini merupakan gabungan dari enam judul bagian buku Zahir ar-Riayah,

kitab al-Kafi disyarah oleh Imam as-Sarakhsi.

e. Al-Mabsut adalah syarah dari al-Kafi yang disusun oleh Imam as-Sarakhsi.

f. Tuhfah al-Fuqaha` oleh Alauddin Muhammad bin Ahmad bin Ahmad as-

Samarqandi.

g. Badai` as-Sana`i oleh Alauddin Abi Bakr bin Mas`ud bin Ahmad al-Kasani

al-Hanafi.

h. Al-Hidayah qa Syarhuha fath al-Qadir oleh Ali bin Abu Bakr al-Marginani.

i. Duraral Hukkan fi Gurar al-Ahkam oleh Muhammad bin Faramuz.

j. Tanqir al-Absar wa Jami` al-Bihar oleh Muhammad bin Abdullah bin

Ahmad al-Khatib at-Tamartasyi.

k. Ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-Absar oleh Alauddin Muhammad bin

Ali al-Husni.

l. Hasyiyah Radd al-Mukhtar `ala ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-

Absar oleh Ibnu Abidin.5

5
Ibid., Jilid II, hlm. 346
19

4. Dasar-dasar Mazhab Hanafi

Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqh dan ahli hadis. Guru yang

paling berpengaruh dalam dirinya adalah Hammad bin Abi Sulaiman. Setelah

gurunya wafat, Imam Abu Hanifah tampil melakukan ijtihad secara mandiri dan

menggantikan posisi gurunya sebagai pengajar secara halaqah yang mengambil

tempat di Masjid Kufah. Karena kepandaiannya dalam berdiskusi dan kedalaman

ilmunya dalam bidang fiqh, beliau dijuluki oleh murid-muridnya sebagai al-Imam

al-A`zam (Imam Agung). Lewat halaqoh pengajiannya itulah Imam Abu Hanifah

mengemukakan fatwa fiqh dan lewat ijtihad mandirinya kemudian berdiri dan

berkembang mazhab Hanafi.6

Mazhab Hanafi adalah aliran fiqh yang merupakan hasil ijtihad Imam Abu

Hanifah berdasarkan Al-Quran dan as-Sunnah. Dalam pembentukannya, mazhab

ini banyak menggunakan ra`yu (rasio). Karena itu, mazhab ini terkenal sebagai

mazhab aliran ra`yu. Tetapi dalam kasus tertentu, mereka dapat mendahulukan

qiyas apabila suatu hadis mereka nilai sebagai hadis ahad.7

Sedangkan dasar-dasar mazhab Hanafi adalah :

a. Kitab Allah (al-Quranul Karim)

b. Sunnah Rasulullah SAW dan ashar-ashar yang shahih serta telah masyur

(tersiar) di antara para ulama yang ahli.

c. Fatwa-fatwa dari para sahabat.

6
Ibid., Jilid I, hlm, 12
7
Ibid., Jilid II, hlm. 511
20

d. Qiyas

e. Istihsan

f. Adat yang telah berlaku dalam masyarakat umat Islam.8

5. Ciri-ciri Khas Fiqh Mazhab Hanafi

Dalam membentuk hukum, Imam Abu Hanifah menempatkan al-Qur'an

sebagai landasan pokok, kemudian sunah sebagai sumber kedua. Beliau juga

berpegang pada fatwa sahabat yang disepakati, tetapi jika suatu hukum tidak

ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, ia melakukan ijtihad. Illat ayat-ayat

hukum dan hadis, terutama dalam bidang mu‟amalah, menurut pandangannya

perlu sejauh mungkin ditelusuri sehingga berbagai metode ijtihad dapat

difungsikan antara lain qiyas dan istihsan. Metode istihsan telah banyak berperan

dalam membentuk pendapat-pendapat fiqh Imam Abu Hanifah dan membuat

mazhabnya lebih dinamis, realistis dan rasional.9

Mazhab Hanafi memiliki beberapa ciri sebagai berikut :

a. Fiqh Imam Abu Hanifah lebih menekankan pada fiqh muamalah

b. Fiqh Imam Abu Hanifah memberikan penghargaan khusus kepada hak

seseorang baik pria maupun wanita.10

6. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah


8
K.H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Cet. Ke-5, (Jakarta :
PT.Bulan Bintang, 1986), hlm. 79
9
Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,
(Jakarta :
10
Ibid, Jilid II, hlm. 513
21

Dalam memecahkan suatu masalah, Imam Abu Hanifah menggunakan

beberapa metode dalam beristimbath, yaitu mengambil Kitabullah sebagai sumber

pokok, sunnah Rasulullah S.A.W. dan asar-asar yang sahih dan tersiar di kalangan

orang-orang yang terpercaya, pendapat para sahabat yang dikehendaki atau

meninggalkan pendapat mereka yang dikehendaki (apabila urusan itu sampai

kepada Ibrahim, asy-Sya‟bi, Hasan, Ibnu sirin dan Sa‟id bin Musayyab, maka

beliau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad), juga menggunakan ijma’, qiyas,

istihsan dan ‘urf. Untuk lebih jelasnya akan dibahas berikut ini :

1. Al-Kitab (al-Qur'an)

Al-Qur'an adalah kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad

S.A.W. Yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan sumber hukum

tidak kembali kecuali kepada keaslian penetapan al-Qur'an. Menurut al-Bazdawi,

Abu Hanifah menetapkan al-Qur'an adalah lafal dan maknanya. Sedang menurut

as-Sarakhsi, al-Qur'an dalam pandangan Abu Hanifah hanyalah makna, bukan

lafal dan makna.11

2. As-Sunnah

As-sunnah adalah penjelas bagi kitab Allah yang masih mujmal dan

merupakan risalah yang diterima oleh Nabi dari Allah SWT. Yang disampaikan

oleh kaumnya yang yakin dan barang siapa yang tidak mengambilnya, maka dia

11
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1,
(Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 146
22

tidak percaya terhadap penyampaian risalah Nabi S.A.W dari Tuhannya. Ulama

Hanafiyah menetapkan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan al-Qur'an yang

qath’i dalalahnya dinamakan fardu, sesuatu yang ditetapkan oleh as-Sunnah yang

Zanny dalalahnya, dinamakan wajib. Demikian pula yang dilarang, tiap-tiap yang

dilarang oleh al-Qur'an dinamakan haram dan tiap-tiap yang dilarang oleh Sunnah

dinamakan makruh tahrim.12

Ulama hadis dan ulama ushul membagi hadis kepada :

a. Mutawatir

Mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan secara bersambung oleh orang

banyak yang tidak mungkin sepakat berdusta.13 Hadits mutawatir memberi

pengertian yakin. Jumhur ulama menetapkan bahwa Abu Hanifah berhujjah

dengan hadits mutawatir.

b. Masyhur

Hadits masyhur ada yang memasukkannya ke dalam bagian hadits ahad.

Hadis masyhur tidak memfaedahkan selain dari zhanni tetapi dapat diamalkan.

Sebagian yang lain menetapkan bahwa hadits masyhur adalah memberi faedah

dan tidak memberi faedah yakin.

c. Ahad

12
Ibid., hlm. 154
13
Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,
(Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 1670.
23

Hadis Ahad menurut asy-Syafi‟i dan ulama semasanya adalah yang tidak

terdapat padanya syarat-syarat mutawatir atau masyhur. Jumhur fuqaha menerima

hadis ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, yang dijadikan hujjah dalam

bidang amali, tidak dalam bidang ilmu atau i‟tiqadi. Abu Hanifah mengamalkan

hadits ahad, meninggalkan pendapat yang berlawanan dengan hadits ahad itu.

Sedang syarat-syarat Abu Hanifah menerima hadis ahad adalah perawinya yang

afqah atau mendahulukan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang afqah atas

hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak afqah.14 Sedangkan menurut

mazhab Hanafi, hadits ahad dapat dijadikan landasan hukum apabila memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut :

1) Hadis ahad tersebut tidak menyalahi makna lahiriyah ayat al-Qur'an.

2) Hadis ahad itu tidak menyalahi hadits masyhur menyangkut masalah yang

sama.

3) Hadis ahad itu tidak bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah umum

syari‟at Islam apabila periwayatan hadits itu bukan seorang faqih.

4) Hadis ahad tersebut tidak menyangkut kepentingan orang banyak.

5) Hadis ahad itu bertentangan dengan amal dan atau fatwa sahabat yang

meriwayatkannya.15

Abu Hanifah dalam menanggapi hadis ahad, ada yang diterima apabila tidak

berlawanan dengan qiyas, jika berlawanan dengan qiyas yang illatnya mustambat

14
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1,
(Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 155.
15
Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,
(Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 1671.
24

dari sesuatu asal yang zanni atau istimbathnya zanni walaupun dari asal yang

qath’i atau diistimbathkan dari asal yang qath’i, tetapi penerapannya kepada furu’

adalah zanni, maka didahulukanlah hadis ahad atas qiyas.

Adapun jika hadis ahad ditentang oleh asal yang umum qath’i,

penerapannya qath’i pula, maka Abu Hanifah melemahkan hadis, tidak

menerimanya dan menetapkan hukum berdasarkan pada kaidah yang umum itu.

d. Mursal

Hadis mursal ialah hadis yang tidak disebut nama sahabi oleh tabi‟i yang

meriwayatkannya, seperti dikatakan oleh seorang tabi’in, “Bersabdalah Nabi …. ”

Sesungguhnya Imam Abu Hanifah menerima hadis mursal sebagai hujjah, karena

tabi’in kepercayaan yang diterima hadisnya oleh Imam Abu Hanifah, menegaskan

kepadanya bahwa mereka tidak menyebutkan nama sahabi yang memberi hadis

kepada mereka apabila yang memberi itu empat orang sahabat. Jadi, Imam Abu

Hanifah menerima as-Sunnah yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan dan

meletakkan hadits-hadits ahad sesudah al-Qur'an. Apabila hadits-hadits ahad

berlawanan dengan kaidah umum, yang telah diijma’i oleh para ulama, Imam Abu

Hanifah menolak hadits-hadits itu dengan dasar tidak membenarkan bahwa Nabi

S.A.W. Ada mengatakannya.16

3. Aqwalus-sahabah (fatwa sahabi)

16
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1,
(Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 158.
25

Abu Hanifah menerima pendapat sahabat dan mengharuskan umat Islam

mengikutinya. Jika ada suatu masalah ada beberapa pendapat sahabat, maka

beliau mengumpulkan salah satunya. Jika tidak ada pendapat sahabat pada suatu

masalah, beliau berijtihad, tidak mengikuti pendapat para tabi’in. tetapi pada

dasarnya Abu Hanifah mendahulukan fatwa sahabat daripada qiyas.17

4. Al-Ijma’

Ijma’ adalah sesuatu yang dapat dijadikan hujjah. Ijma’ merupakan

kesepakatan para mujtahidin dari masa ke masa untuk menentukan suatu hukum

dan telah disepakati para ulama untuk dijadikan hujjah, tetapi ada perselisihan

dalam wujudnya setelah masa sahabat dan Imam Ahmad telah mengingkarinya

setelah masa sahabat untuk tidak menyepakatinya dan tidak mungkin ada

kesepakatan fuqaha setelah masa sahabat.18

Imam Abu Hanifah menurut penegasan ulama Hanafiyah menetapkan

bahwa ijma’ menjadi hujjah. Ulama Hanafiyah menerima ijma’ qauli dan sukuti.

Juga menetapkan bahwa tidak boleh mengadakan hukum baru terhadap sesuatu

urusan yang diperselisihkan dari masa ke masa atas dua pendapat saja.

Mengadakan fatwa baru dipandang menyalahi ijma’. Dalam kitab al-Manakib

diterangkan bahwa Abu Hanifah mengambil hukum yang diijtma’i oleh

mujtahidin, tidak mau menyalahi yang telah disepakati oleh ulama-ulama Kufah.19

17
Ibid., hlm. 161
18
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Juz II, Darul Fikri al-Arabi,
Beirut, tt., hlm. 163
19
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1,
(Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 162.
26

5. Qiyas

Abu Hanifah apabila tidak menemukan nas dalam kitabullah dan sunnatur

Rasul dan tidak menemukan pada fatwa sahabi, maka beliau berijtihad untuk

mengetahui hukum. Beliau menggunakan qiyas, kecuali apabila tidak baik

memakainya dan tidak sesuai dengan apa yang dibiasakan masyarakat. Jika tidak

baik dipakai qiyas, beliau menggunakan istihsan. Qiyas yang dipakai Abu

Hanifah ialah yang dita’rifkan dengan : “Menerangkan hukum sesuatu urusan

yang dinaskan hukumnya dengan suatu urusan lain yang diketahui hukumnya

dengan al-Qur'an atau as-Sunnah atau al-Ijma’ karena bersekutunya dengan

hukum itu tentang illat hukum.”20 Pada dasarnya Abu Hanifah banyak memakai

qiyas, karena ia memperhatikan hukum-hukum bagi masalah-masalah yang belum

terjadi dan hukum-hukum yang akan terjadi, lantaran itu ia mengistimbathkann

illat yang menimbulkan hukum tersebut dan memperhatikan maksud-maksud

yang menyebabkan Nabi menyebutkan suatu hadis. Abu hanifah tidak

mencukupkannya dengan tafsir dahiri, beliau melihat lebih jauh kepada maksud

dan isyarat-isyarat perkataan. Abu Hanifah mengistimbathkan aneka macam illat

hukum lalu menta‟rifkan cabang-cabang hukum bagi perbuatan-perbuatan yang

tidak diperoleh nas, illat itulah yang dipandang dasar untuk menetapkan hukum

bagi hal-hal yang tidak diperoleh nas. Jika hadits sesuai dengan hukum yang telah

ditarik dengan jalan mempelajari illat, bertambah kukuhlah kepercayaannya, dan

jika hadits itu diriwayatkan oleh orang kepercayaan, Abu Hanifah mengambil

hadis meninggalkan qiyas. Kadang-kadang hukum yang diistimbathkan dengan

20
Ibid., hlm. 166
27

illat sesuai dengan hadits. Hal ini bukanlah berarti mendahulukan qiyas atas hadis.

Apabila qiyas tidak dapat dilakukan karena berlawanan dengan hadits, maka Abu

Hanifah pun meninggalkan qiyas, mengambil istihsan. Pokok pegangan dalam

menggunakan qiyas ialah bahwa hukum syara‟ ditetapkan untuk

kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Namun demikian,

hukum-hukum syara‟ yang berpautan dengan ibadah tidak dapat akal menyelami

illatnya. Maka dari itu Abu Hanifah membagi nas dalam dua bagian, yaitu:

a. Nusus Ta’abudiyah, yang tidak dibahas illatnya. Pada nas-nas ini tidak

dilakukan qiyas, karena tidak dibahas illatnya walaupun diyakini ibadah-

ibadah itu disyari'‟tkan Allah untuk kemaslahatan manusia.

b. Nas-nas yang dibahas illatnya dan ditetapkan hukum berdasarkan illat itu.

Nas-nas ini adalah nas-nas yang mu’allal, dipelajari illatnya dan maksudnya,

sebabnya dan gayahnya dan padanya berlaku qiyas. Ulama Hanafiyah

mensyaratkan pada qiyas adalah hukum asal, bukan hukum yang dikhususkan

untuk suatu hukum saja, dan nas bukanlah yang dipalingkan dari qiyas, yakni

qiyas yang menyalahi illat yang umum yang ditetapkan syara‟ sendiri. Abu

Hanifah berpegang pada umum illat kecuali apabila berlawanan dengan ‘urf

masyarakat, maka Abu Hanifah meninggalkan qiyas dan mengambil istihsan.

Lantaran Abu Hanifah menggunakan illat, maka ia terkenal sebagai imam

yang memegang ra’yu, bukan imam yang memegang asar dan terkenallah

keahliannya dalam bidang qiyas, walaupun ia juga seorang imam sunni.21

6. Istihsan

21
Ibid., hlm. 171
28

Istihsan secara bahasa adalah memandang dan meyakini baiknya sesuatu.

Istihsan adalah salah satu metode ijtihad yang dikembangkan ulama mazhab

Hanafi ketika hukum yang dikandung metode qiyas (analogi) atau kaidah umum

tidak diterapkan pada suatu kasus. Macam-macam istihsan menurut ulama

mazhab Hanafi, yaitu :

a. Al-Istihsan bi an-nas (istihsan berdasarkan ayat atau hadits)

b. Al-Istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang didasarkan pada ijma‟)

c. Al-Istihsan bi al-qiyas al-khafi (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi)

d. Al-Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan)

e. Al-Istihsan bil al-‘urf (istihsan berdasar adat kebiasaan yang berlaku umum).

f. Al-Istihsan bi ad-daruriyah (istihsan berdasarkan keadaan darurat).22

g. ‘Urf

‘Urf adalah pendapat muslimin atas suatu masalah yang tidak terdapat di

dalamnya nas dari al-Qur'an atau Sunnah atau pendapat sahabat, maka dari itu ‘urf

dapat dijadikan hujjah. ‘Urf dibagi dua :

i. ‘Urf sahih, yaitu ‘urf yang tidak menyalahi nas.

ii. „Urf fasid, yaitu ‘urf yang menyalahi nas.

Dari dua ‘urf yang dapat dijadikan hujjah adalah ‘urf sahih.23

22
Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,
(Jakarta :23PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 771.
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Juz II, Darul Fikri al-Arabi,
Beirut, tt., hlm. 163.
29

Imam Abu Hanifah mengamalkan ‘urf bila tidak dapat menggunakan qiyas

atau istihsan. Ulama Hanafiyah mengemukakan ‘urf terhadap masalah-masalah

yang tidak ada nashnya, mereka mentakhishkan nas-nas yang umum jika

menyalahi ‘urf umum. Jika qiyas meyalahi ‘urf, mereka mengambil ’urf. Begitu

pula mereka mengambil ‘urf khas dikala tidak ada dalil yang menyalahinya.24

B. Biografi Imam Syafi`i

Nama lengkap Imam Syafi'i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-„Abbas ibn

Utsman ibn Syafi‟ ibn al-Sa‟ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abdal-

Muthalib ibn Abd Manaf.25 Lahir di Ghazzah, Syam (masuk wilayah Palestina)

pada tahun 150 H/767 M. Kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah, yang tidak

lain merupakan tanah para leluhurnya. Syafi‟i kecil tumbuh berkembang di kota

itu sebagai seorang yatim dalam pangkuan ibunya. Semasa hidupnya, ibu Imam

Syafi‟i adalah seorang ahli ibadah, sangat cerdas, dan dikenal sebagai seorang

yang berbudi luhur.26

Imam Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an dalam

umur yang masih sangat muda (9 tahun) dan umur sepuluh tahun sudah hafal

kitab al-Muwattha' karya Imam Malik. Kemudian ia memusatkan perhatian

menghafal hadis. Imam Syafi‟i belajar hadis dengan jalan mendengarkan dari para

gurunnya, kemudian mencatatnya. Di samping itu ia juga mendalami bahasa Arab

24
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1,
(Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 182.
25
Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60
Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), hlm. 355.
26
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,
(Jakarta:Almahira, 2010), hlm.6
30

untuk menghindari pengaruh bahasa ‘Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab

pada saat itu, untuk pergi ke daerah Huzail untuk belajar bahasa selama sepuluh

tahun.27

Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri dari

pengaruh ‘Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Ia pergi ke

Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang

fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam Syafi'i tinggal di Badiyah itu, mempelajari

syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam bidang syair yang digubah

golongan Huzail itu, amat indah susunan bahasanya. Di sana pula ia belajar

memanah dan mahir dalam bermain panah. Dalam masa itu Imam Syafi'i

menghafal al-Qur'an, menghafal hadis, mempelajari sastra Arab dan memahirkan

diri dalam mengendarai kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah

dan penduduk-penduduk kota.28

Imam Syafi'i belajar pada ulama Makkah, baik pada ulama fiqih, maupun

ulama hadis, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqih dan memperoleh kedudukan

yang tinggi dalam bidang itu. Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji,

menganjurkan supaya Imam Syafi'i bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah

memperoleh kedudukan yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu. Karena

ilmu baginya adalah ibarat lautan yang tidak bertepi.29

27
Indal Abror, Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 286
28
Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60
Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), hlm. 357-360.
29
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul
Jadid,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 28. Indal Abror, Dosen Tafsir Hadis
31

Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah ada seorang ulama besar yaitu

Malik bin Anas, yang memang pada masa itu terkenal di mana-mana dan

mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan hadis. Imam Syafi'i ingin

pergi belajar kepadanya, akan tetapi sebelum pergi ke Madinah ia lebih dahulu

menghafal al-Muwattha' karya Imam Malik yang telah berkembang pada masa

itu. Ia berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan membawa

sebuah surat dari gubernur Makkah. Mulai ketika itu ia memusatkan perhatian

untuk mendalami fiqih di samping mempelajari al-Muwattha’. Imam Syafi'i

mengadakan mudārasah dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan

Imam Malik. Di waktu Imam Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi'i telah

mencapai usia dewasa dan matang.30

Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam Syafi'i adalah

tentang metode pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah atau metode istinbath (ushul

fikih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya dalam berijtihad terikat dengan

kaidah-kaidahnya, namun belum ada kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah

buku sebagai satu disiplin ilmu yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum

Islam. Dalam kondisi demikianlah Imam Syafi'i tampil berperan menyusun

sebuah buku ushul fikih. Idenya ini didukung pula dengan adanya permintaan dari

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS,
2009), hlm. 287.
30
Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: PT Putaka
Rizki Putra, 1997), hlm. 480-481
32

seorang ahli hadis bernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar

Imam Syafi'i menyusun metodologi istinbath.31

Imam Syafi‟i di samping menguasai dalam bidang al-Kitab, ilmu balaghah,

ilmu fikih, ilmu berdebat juga terkenal sebagai muhaddits. Orang-orang

memberikan gelar padanya “Nāhir al-Hadīts. Imam Sufyan ibn „Uyainah bila

didatangi seseorang yang meminta fatwa, beliau terus memerintahkannya agar

meminta fatwa kepada Imam Syafi‟i, ujarnya “salu hadza al-ghulama”

(bertanyalah kepada pemuda itu).32

Dialah yang meletakkan dasar-dasar periwayatan. Dia juga yang berani

secara terang-terangan berbeda pendapat dengan Imam Malik dan Abu Hanifah,

yaitu bahwasannya ketika ada sanad yang shahih dan muttashil kepada Nabi

‫ﷺ‬, maka wajib beramal dengannya tanpa ada keterkaitan dan

keterikatan dengan amal ahli Madinah sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam

Malik ataupun syarat-syarat Imam Abu Hanifah.

Pada tahun 195 H. beliau pergi ke Baghdad selama dua tahun, untuk

mengambil ilmu dan pendapat dari murid-murid Imam Abu Hanifah,

bermunādharah dan berdebat dengan mereka, kemudian kembali ke Makkah.

Pada tahun 198 H, beliau pergi lagi ke Baghdad hanya sebulan lamanya, dan

akhirnya pada tahun 199 H, beliau pergi ke Mesir dan memilih kota terakhir untuk

tempat tinggalnya untuk mengajarkan Sunnah dan al-Kitab kepada khalayak

31
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 29.
32
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. 4, 2003), hlm.
233.
33

ramai. Jika kumpulan fatwa beliau ketika di Baghdad disebut dengan qaul qadīm,

maka kumpulan fatwa beliau selama di Mesir dinamakan dengan qaul jadīd.33

Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “semua masalah kami tidak pernah

terselesaikan oleh pengikut Abu Hanifah, sampai kami akhirnya kami bertemu

dengan Imam Syafi‟i. sungguh, dia orang yang paling paham tentang Kitabullah

dan as-Sunnah.” Maksud dari kata-kata itu ialah bahwa para ahli hadis dan para

ahli fiqih seakan menjadi murid Imam Syafi‟i, sebab keagungan madzhabnya,

kefasihan penjelasannya, kekuatan hujjahnya, dan keseganan yang ditunjukkan

baik oleh mereka yang sependapat maupun orang yang berbeda dengan

pendapatnya. Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah berkata: “Imam Syafi‟i bagai

mentari bagi dunia, dan kekuatan bagi manusia. Lihatlah, apakah ada sesorang

yang mampu menggantikan posisinya.”34

1. Latar Belakang Sosial Dan Politik

Imam Syafi'i lahir pada masa Dinasti Abbasiyah. Seluruh kehidupannya

berlangsung pada saat para penguasa Bani Abbas memerintah wilayah-wilayah

negeri Islam. Saat itu adalah saat di mana masyarakat Islam sedang berada di

puncak keemasannya. Kekuasaan Bani Abbas semakin terbentang luas dan

kehidupan umat Islam semakin maju dan jaya. Masa itu memiliki berbagai macam

keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan ilmu

pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam. Transformasi ilmu dari filsafat

33
Ibid, hlm. 232
34
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,
(Jakarta:Almahira, 2010), hlm.10
34

Yunani dan sastra Persia serta ilmu bangsa India ke masyarakat Muslim juga

sedang semarak. Mengingat pentingnya pembahasan ini, maka kami akan

memberikan gambaran singkat tentang tentang kondisi pemikiran dan sosial

kemasyarakatan pada masa itu.35

Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai dimasuki unsur-

unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi, India dan Nabath.

Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan sekaligus pusat peradaban

Islam. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis

bangsa. Kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun berdatangan

ke Baghdad dari berbagai pelosok negeri Islam. Tentunya, kedatangan mereka

sekaligus membawa kebudayaan bangsanya dalam jiwa dan perasaannya yang

dalam.36

Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak timbul

aneka problema sosial. Oleh karena itu, di masyarakat Baghdad banyak muncul

fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang disebabkan oleh interaksi sosial

antara sesama anggota masyarakatnya di mana masing-masing ras mempunyai

kekhususan ras-ras tersebut. Setiap permasalahan yang timbul dari interaksi antar

masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan hukumnya dari syariat.

Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat umum.37

35
Muhammad Abu Zahrah, Asy-Syāfi’i Hayātuhu wa Asruhu wa Fikruhu arāuhu wa
Fiqhuhu, Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Utsman, “Imam al-Syafi'i Biografi
danPemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, (Jakarta: PT Lentera Basritama,
2005),hlm. 84.
36
Ibid., hlm. 84
37
Ibid., hlm. 85
35

Syariat tersebut akan memberikan muatan hukum bagi setiap permasalahan

yang terjadi, baik permasalahan itu masuk dalam kategori permasalahan ringan

ataupun berat. Pengamatan terhadap permasalahan yang terjadi akan memperluas

cakrawala pemikiran seorang faqih sehingga ia dapat menemukan penyelesaian

(solusi hukum) bagi masalah-masalah yang terjadi. Selain itu, sang faqih akan

dapat memperluas medan pembahasan dengan menghadirkan permasalahan yang

mungkin terjadi, kemudian memberikan kaidah-kaidah umum untuk masalah-

masalah furu' yang berbeda.38

2. Guru-guru Imam Syafi‟i

Imam Syafi‟i menerima ilmu fiqih dan hadis dari banyak guru yang masing-

masing mempunyai manhaj serta tinggal di tempat yang saling berjauhan antara

satu dan lainnya. Imam Syafi‟i menerima ilmu dari ulama Makkah, ulama

Madinah, ulama Irak dan ulama Yaman. Ulama Makkah yang menjadi gurunya

antara lain: Sufyan Ibnu Uyainah, Muslim Ibn Khalid Az-Zamzi, Said Ibn Salim

al-Kaddah, Dawud Ibn abd-Rahman al-Atthar, dan Abdul Hamid Ibn Abdul Aziz

Ibn Abi Dawud.39

Ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Malik Ibn Anas, Ibrahim Ibn

Saad al-Anshari Abdul Aziz Ibn Muhammad ad-Darawardi, Ibrahim Ibn Abi

38
Ibid., hlm. 86
39
Ali Jum‟ah Muhammad, Al-Madkhol Ilā Mażāhib al-Arba’ah, (Kairo: Dar as-Salam, Cet.
II, 1428 H- 2008 M.), hlm. 2
36

Yahya al-Aslami, Muhammad Ibn Said Ibn Abi Fudaik, Abdullah Ibn Nafi‟ teman

ibnu Abi za‟ab.40

Ulama Bagdad Irak yang menjadi gurunya ialah: Waki‟ Ibn Jarrah, Abdul

Wahab Ibn Abdul Majid Ats-Tsaqafi, Abu Usamah Hammad Ibn Usamah al-Kufi,

Ismail Ibn Ulayah. Dia juga menerima ilmu dari Muhammad Ibn Al-Hasan yaitu

dengan mempelajari kitab-kitabnya yang didengar langsung daripadanya.41

3. Dasar-dasar Mazhab Syafi`i

Dasar madzhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak

mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah.

Beliau juga tidak mengambil Istihsan sebagai dasar madzhabnya, menolak

maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi‟i mengatakan,

”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat.”

Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi‟i adalah nashirussunnah ,” Kitab

“Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak;

Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za‟farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi‟i.

Sementara kitab “Al-Umm” sebagai madzhab yang baru yang diriwayatkan oleh

pengikutnya di Mesir; Al-Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi‟ Jizii bin Sulaiman.

Imam Syafi‟i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih

bertentangan dengan perkataanku, maka ia adalah madzhabku, dan buanglah

perkataanku di belakang tembok.”

40
Hasbi Ash -Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1997), 480-481
41
Ali Jum‟ah Muhammad, Al-Madkhol Ilā Mażāhib al-Arba’ah, (Kairo: Dar as-Salam,
37

4. Karya-Karya Imam Syafi‟i

Imam Syafi‟i banyak menulis kitab-kitab. Sebagiannya ditulis sendiri lalu

dibacakannya kepada orang-orang, atau mereka yang membacakannya kepadanya.

Sebagiannya didektekannya. Sangat sulit untuk menghitung kitab-kitabnya,

karena banyak yang sudah hilang. Ia menulis di Makkah, Baghdad, dan Mesir. 42

Buku-bukunya yang ada di tangan para ulama saat ini adalah yang ditulisnya di

mesir. Diantara kitabnya yang paling terkenal dan banyak memuat pemikiran-

pemikiran beliau adalah:

1) Kitab al-Umm

Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang

terdapat kitab-kitab lain yang dibukukan dalam satu kitab al-Umm diantaranya

adalah: Al-Musnad, berisi sanad Imam Syafi‟i dalam hadis-hadis Nabi S.A.W dan

juga untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru Imam Syafi‟i, Khilāfu

Mālik, berisi bantahan-bantahannya terhadap Imam Malik gurunya, Al-Radd ‘Alā

Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaanya terhadap mazhab ulama Madinah dari

serangan Imam Muhammad Ibn Hasan, murid Abu Hanifah, Al-khilāfu Ali wa Ibn

Mas’ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang berbeda antara pendapat Abu

Hanifah dan ulama Irak dengan Ali Abi Thalib dan Abdullah Bin Mas‟ud, Sair al-

Auza‟i, berisi pembelaanya atas Imam al-Auza‟i dari serangan Abu Yusuf, Ikhtilāf

al-Hadīts, berisi keterangan dan penjelasan Imam Syafi‟i atas hadis-hadis yang

42
Ar-Risālah Imam Syafi’i. terj. Misbah, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2008), hlm. 8
38

tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang tercetak sendiri, Jimā’ al-

‘Ilmi, berisi pembelaan Imam Syafi‟i tehadap sunnah Nabi SAW.43

2) Kitab Ar-Risālah

Kitab Ar-Risālah adalah karya monumental Imam Syafi‟i yang dikenal

sebagai kitab pertama dalam ushul fiqih, didalamnya banyak membahas rumusan-

rumusan yang berkaitan dengan ilmu hadis. Kitab ini merupakan karya Imam

Syafi‟i atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi yang berkaitan dengan

penjelasan makna-makna al-Qur‟an, dan menghimpun beberapa khabar, ijma‟ dan

penjelasan tentang nasikh dan mansukh dalam al-Qur‟an dan sunnah. Dan juga

atas dorongan dari Ali bin al-Madani agar Imam Syafi‟i memenuhi permintaan

Abdurrahman bin al-Mahdi.44 Atas permintaan dan dorongan itulah Imam Syafi‟i

menulis kitab Ar-Risālah ini.

Menurut pendapat yang unggul dan dipilih oleh Ahmad Muhmmad

Muhammad Syakir, kitab Ar-Risālah ini ditulis oleh Imam Syafi‟i pada saat beliau

berada di Makkah.menurut Fakhrurrazi dalam Manāqib Asy-Syāfi’i, kitab Ar-

Risālah ini ditulis pada saat Imam Syafi‟i berada di Baghdad. Meskipun belum

dapat dipastikan dimanakah Imam Syafi‟I menulis kitab ini, keduanya sama-sama

memuat pengetahuan yang luas.45

Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M.) ahli hukum Islam

berkebangsaan Mesir, menyatakan buku itu (Ar-Risālah) disusun ketika Imam

43
Indal Abror, Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 296.
44
Ar-Risālah Imam Syafi’i. terj. Misbah, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2008), hlm. 13
45
Ar-Risālah Imam Syafi’i. terj. Misbah, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2008), hlm. 14
39

Syafi'i berada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu berada

di Mekah. Imam Syafi'i menyebut bukunya dengan "al-Kitāb" (Kitab atau Buku)

atau "Kitabī" (Kitabku), yang kemudian lebih dikenal dengan "Ar-Risālah" yang

berarti "sepucuk surat" karena buku itu merupakan surat Imam Syafi'i kepada

Abdurrahman bin Mahdi. Kitab Ar-Risālah yang pertama ia susun dikenal dengan

Ar-Risālah al-Qadīmah (Risalah Lama).46

Dinamakan demikian, karena di dalamnya termuat buah-buah pikiran Imam

Syafi'i sebelum pindah ke Mesir. Setelah sampai di Mesir, isinya disusun kembali

dalam rangka penyempurnaan bahkan ada yang diubahnya, sehingga kemudian

dikenal dengan sebutan Ar-Risālah al-Jadīdah (Risalah Baru). Jumhur ulama

ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa kitab Ar-Risālah karya Imam Syafi'i ini

merupakan kitab pertama yang memuat masalah-masalah ushul fiqih secara lebih

sempurna dan sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama

ushul fiqih sebagai satu disiplin ilmu.47 Imam Syafi'i wafat pada malam jum‟at dan

dikebumikan setelah shalat ashar hari itu, pada bulan Rajab 204 H. yang

bertepatan dengan tanggal 29 Rajab 204 H. atau 19 Januari 820 M.4849

46
Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60
Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), hlm. 361.
47
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 30.
48
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. 4, 2003), hlm.
234.
49
Muhammad Izzat bin Ismail, PROBLEMATIKA TAYAMMUM(Studi Komparatif
Sebagian Pendapat Hanafiyah dan Sebagian Pendapat Syafi`iyah), UIN Jambi, Mei 2017.
BAB III

PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

Gerhana adalah sumber bencana dan malapetaka. Dalam perspektif

sekarang, kita dapat mengatakan bahwa pandangan tersebut bersifat primitif.

Pandangan primitif itu masih hidup saat Islam datang. Ketika putra Nabi

Muhammad S.A.W, Ibrahim meninggal, yang bersamaan dengan terjadinya

gerhana matahari, mereka mengatakan bahwa gerhana itu terjadi karena kepergian

putra Nabi Muhammad S.A.W. Dalam konteks itulah Nabi Muhammad S.A.W

bersabda:

‫َث َعا ََل َف ا رَـآيْـ ُخ‬ ‫ك مْن آََٓيت‬ ‫و‬ ‫إ ّـَّن إمش وإْملَ َل ك ِس َم ٍ َ مح َيا‬
‫َذإ هلال‬
‫ّ ُمو ُ َُها‬ َّ‫م ـّـ‬ ‫ْمس َم َر ي َفا ِن ْوت د َل ِث ِو‬
‫ُن َما ٓآـي‬ ‫م إح و‬
‫َخا ِن‬
‫فَـ ُلو ُموإ و َصوُـّوإ‬
Artinya: “Sungguh, gerhana matahari dan bulan tidak terjadi sebab mati atau
hidupnya seseorang, tetapi itu merupakan salah satu tanda kebesaran
Allah ta‟ala. Karenanya, bila kalian melihat gerhana matahari dan
gerhana bulan, bangkit dan shalatlah kalian,”1

Selanjutnya Nabi Muhammad S.A.W menganjurkan untuk melaksanakan

shalat, bertasbih, berzikir, bertahlil, bersedekah, dan memerdekakan budak.

Dengan pernyataan dan anjuran Nabi tersebut, Islam jelas menepis segi mitis dan

primitif dari pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana.2

Seperti yang kita ketahui fenomena gerhana matahari (kusufus syamsi) dan

gerhana bulan (khusuful qamar) merupakan fenomena alam yang menunjukkan


1
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab, cet ke-3, (Cairo: Mathba‟ah Al-
Istiqamah, 2002), hlm. 322. Riwayat Muslim, dikutip Kitab al-Kusuuf, 4/463, no. 1516
2
Fahrizal Fahmi Daulay (ed), Sejarah Gerhana Bulan. (Tribun-Medan.com, 2018),
Akses 26 July 2018
40
41

kebesaran Allah swt. Shalat sunah gerhana matahari pertama kali disyariatkan

pada tahun kedua hijriyah, sedangkan shalat gerhana bulan pada tahun kelima

Hijriyah dan menurut pendapat yang kuat (rajih) pada bulan Jumadal Akhirah.

‫و ُ ُِش َعت ص كسو ِف إمش ْم ِس س َن ِة من إم َ ََل خسو ِف إ ْمـل ِف س َن ِة إم س ِة‬


‫َم ِر إم َخا ِم‬ ‫ِف إم إمثَـّاِـهَيّ ِة يِ ِر ُة و‬ ‫ََل ُة‬
‫ة َص‬
‫ج‬
‫من إمْـ ِي ج َِرة جامَ َدى خ َرِـة عَـ ََل إم ّـَّرإ ِجح‬
‫ِف إ ْ َْل‬
Artinya: “Shalat gerhana matahari disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah,
sedangkan shalat gerhana bulan menurut pendapat yang kuat (rajih) pada
tahun kelima Hijriyah bulan Jumadal Akhirah,”3

A. Tatacara Shalat Gerhana Matahari dan Bulan Menurut Hanafiyah dan


Syafi’iyah.

Dalam pembahasan tata cara melaksanakan shalat gerhana, peneliti ingin

membahagikan kepada dua bahagian iaitu yang pertama tata cara shalat gerhana

matahari dan yang kedua shalat gerhana bulan.

Terjadinya perbedaan ijtihad bagi kedua-dua mazhab ini tidak lain

dikarenakan dalam memahami teks hadis. Nabi S.A.W tidak melakukan shalat

gerhana kecuali bila gerhananya terlihat. Sabda Nabi S.A.W di atas ”Apabila

kalian melihat (gerhana) matahari atau bulan, maka berdoalah kepada Allah dan

shalatlah.” Nabi S.A.W mengaitkan pelaksanaan shalat gerhana dengan ”melihat

(ru‟yah)”. Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, ”… karena

pelaksanaan shalat (gerhana) dikaitkan dengan ru‟yah.”4

1) Tata Cara Shalat Gerhana Matahari

3
Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, Hasyiyatus Syeikh Ibrahim al-Baijuri,
Indonesia, Darul Kutub al-Islamiyyah, 1428 H/2007 M, juz I, halaman 434.
4
Ibnu Hajar Al-„Asqalani, Fath Al Baari Bisyarhi Shahih Al-Bhukari, hadits no.
1041.Mesir.
‫‪42‬‬

‫‪Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana Matahari dan Bulan‬‬

‫‪Aisyah radhiallahu‟ anha berkata:‬‬

‫و‬
‫َّ ُ ْي‬ ‫َص ر ِ َ‬ ‫َّ ُ ْي و‬ ‫ر ِ َ‬ ‫خس َف ت إمش ْم ِ‬
‫َّ ِ َ َس‬
‫و َعو‬ ‫ُسو َّ ل‬ ‫ُسو َّ ل َّ ِو َعوَ َس‬ ‫ُس ِ ف د‬
‫َّـَّل‬ ‫َّل فَ ُل لل ص لل‬ ‫ِل لل ص لل‬
‫َّـَّل‬ ‫ع‬
‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬ ‫ْي‬
‫ت ش ْم ُ س‬ ‫ِبمنَّـا ِس‪َُّ ...‬ث إهْـ وَك ْد إ‬
‫إم‬ ‫ْ َْنو‬ ‫ََص َف‬
Artinya: Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah S.A.W lalu Rasulullah
S.A.W mengimami shalat orang ramai… Setelah baginda S.A.W selesai
shalat matahari telah kelihatan.5

Hadis di atas merupakan dalil tentang waktu harus dikerjakan shalat

gerhana, iaitu bermula terjadinya gerhana sehingga berakhirnya gerhana.

Sungguhpun begitu, sekiranya kita telah menyelesaikan perlaksanaan shalat

gerhana namun gerhana tersebut belum berakhir, kita hendaklah memperbanyakan

berdoa dan berzikir.

Menurut al-Hafidz Ibn Hajar rahimahullah:

Lafaz ini (hingga matahari kelihatan) merupakan dalil tentang lamanya

shalat Gerhana, iaitu hingga matahari nampak kembali. Al-Tohawi berpendapat

bahawa di dalam hadis dinyatakan hendaklah kamu semua shalat dan berdoa.

Dalam erti kata lain, jika kita selesai melaksanakan shalat gerhana, namun

matahari masih belum juga kelihatan, kita hendaklah memperbanyakan berdoa

sehingga gerhana berakhir. Ibn Daqiq al-'Id menguatkan lagi pendapat ini bahawa

had waktu tersebut (antara mula gerhana hingga matahari muncul kembali) adalah

had waktu untuk shalat dan berdoa. Malah bermungkinan doa tersebut boleh

dilakukan setelah selesai shalat hinggalah matahari muncul kembali. Oleh itu,

5
al-Bukhari, “Shahih al-Bhukari”, Kitab al-Jumu‟ah, no: 1044.
43

shalat gerhana tidak harus dilakukan terlalu lama atau mengulanginya beberapa

kali jika matahari belum kelihatan sehingga matahari muncul (gerhana berakhir).6

Jumlah rakaat dan Ruku’ dalam Shalat Gerhana Matahari dan Bulan

Dari laporan berbagai hadis, Nabi Muhammad S.A.W tampaknya beberapa

kali melaksanakan shalat gerhana. Karenanya, laporan tentang bagaimana Nabi

melaksanakan shalat gerhana matahari berbeda-beda. Ada yang menyebutkan

Nabi Muhammad S.A.W shalat gerhana dengan dua ruku‟ dalam satu rakaat; ada

yang menyebutkan dengan satu ruku‟ dalam satu rakaat. Bahkan ada yang

menyebutkan empat, enam, delapan, dan sepuluh ruku‟ dalam satu rakaat.

Tapi, setahu saya, semua hadis menyebutkan bahwa shalat gerhana dua

rakaat. Perbedaan (laporan) hadis ini menimbulkan perbedaan tata-cara shalat

gerhana di antara mazhab-mazhab fiqih. Di Indonesia, pada umumnya umat Islam

menganut mazhab Syafi‟i: dua ruku‟ dalam satu rakaat, dan bacaan tidak dibaca

nyaring.7

Berbeda dengan shalat-shalat sunat yang lain, shalat Gerhana memiliki

empat kali rukuk, yaitu dua kali rukuk setiap rakaat.

َّ‫آ َ ت ْم ُس ِ ر ُسو ِ ََّل ل عوَ َ يُ و َس ّـَّّـَّ َّـَّل ف ر ُ ُسو ِللّـ‬ َ ‫ع ْن عَـائ‬


‫َص َل ل إ‬ ْ ‫ف إم ِف ش د ِل إ إ ص‬ َّ‫ة ـّـ‬
‫ِو‬
‫ل‬ ‫ع‬ ‫ خس‬:‫ش َنا كَـامَـت‬
‫ل‬ ‫ْي‬
‫ص و َس ّـَّ َّـَّل ِبمنَّـا ِس فَـَلا َم ل إمْـ ِلَيا َم َ ّـعُث فَـأَـر َطكا ل إم ّـُّر كو َعم فَـَ ّـأَـُث َ كَـطاا ل ياإم َمل َو دو‬
ِ ‫ـ‬
ْ َّ ُ َ َّ
َ َ َ ‫فَـأَـ َطا‬
‫َن و ُى‬ ‫َّل إ للُّـَّ َعوَ ْي ِو‬
‫إمْـ ِل َيا ِم إ ْ َْل ّـَّو ِل َ ّـَُّث ر َك َع فَـأَـ َطال إم دو َن إم ّـُّر ُكو ِع إ ََس َد فَـأَـ َطال َُّث فَـ َعل ِف‬
‫إم ّـَّر ْك َع ِة‬ ‫إمسجو َد‬ ‫ْ َْل ّـَّو ِل َ ّـَُّث‬ ‫ّـُّر ُكو َع و ُى َو‬
‫لل َ وَـآْث ََن َعو‬ ‫خ َطب إم ّـَّنا َس فَـح ِم َد إ‬ ‫ما فَـ َعل ِف إ‬
‫ْي ِو َ ّـَُّث‬
‫ُس ف َكـ ْد إ ْ َْنوَـت إمش ْم و لو ََل َ ّـَُّث إهْـ َ ََص َف‬ ‫إم ّـَّثاِـه َي ِة م ْثـل‬
‫ت إ آح ٍد و ََل مح َيا ِث رَـآي ذ ِ َِل فَـا‬ ‫وإْملَ َم َر مْن‬ ‫َكال إ ّـَّن ْم‬
‫ِو فَـ ا َذإ ُ ْت ْد ُعوإ‬ َِّ‫آٓـيَـ َخا ِن َٓآَي ل ّـ‬ ‫إم س‬
ّ ‫ل َل َْي ِس َفا ِن م َم‬ ‫ش‬
‫ْوت‬
6
Ibn Hajar al-„Asqalani Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, jil. 6, hlm. 6.
7
Fahrizal Fahmi Daulay (ed), Sejarah Gerhana Bulan dan Pandangan Islam Hingga
Turun Anjuran Shalat Nabi Muhammad, (Tribun-Medan.com, 2018) Akses 15 Juli 2018
‫‪44‬‬

‫آ ْن ي ُ آ ْو ح‬ ‫َِّلل ما م ٍ آْغ م ْن ِ‬ ‫وثَـ َص ّـَّد ُكوإ آّـََّ م َة محّـََّ م ٍد ّـ‬ ‫إ َص‬


‫ْز ِ َِن د ُه ْز ِ َِن‬ ‫ل َي ْن وإ د َُي إ َ‬ ‫ّـَُّث كَـا‬ ‫و‬ ‫ل َّـَّ‬
‫ع‬ ‫ّ‬ ‫آح‬ ‫ل و َك ّوإ و‬
‫ْب‬ ‫ل‬
‫ل‬ ‫بوإ‬
‫ِ ما آ ْع َ ُّـَّل م ك ُ ْت كَـ ِوي ك ك ِثَيإ‬ ‫آ َم ُت ُو َي آّـََّ م َة َّم‬
‫َضح ًَل وم َب ْي‬ ‫ل مَ ْو َث ْعوَ ُمو‬ ‫ٍد‬
‫ْت‬ ‫َن وإ‬ ‫مح‬
Artinya: Dari „Aisyah radhiyallahu „anha, beliau berkata:

Matahari mengalami gerhana pada zaman Rasulullah S.A.W, lalu beliau


berdiri dan bershalat bersama-sama yang lain, dengan memanjangkan
(melamakan tempoh) berdiri, kemudian ruku‟ lalu memanjangkan (melamakan
tempoh) ruku‟, kemudian berdiri dan memanjangkan tempoh berdiri namun
lebih pendek dari tempoh berdiri yang pertama (sebelumnya). Kemudian ruku‟
lalu memanjangkan ruku‟, namun lebih pendek tempohnya berbanding ruku‟
yang pertama, kemudian sujud dan memanjangkan tempoh sujud. Kemudian
mengerjakannya di dalam rakaat yang lain sebagaimana beliau melaksanakannya
di dalam raka‟at yang pertama. Kemudian beliau beranjak sementara matahari
sudah kelihatan, lalu menyampaikan khutbah kepada mereka yang hadir sambil
memuji Allah dan menyanjung-Nya. Kemudian beliau bersabda:
“Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda kekuasaan dari
tanda-tanda kekuasaan Allah, yang gerhana ini berlaku tidaklah berlaku dengan
sebab kematian seseorang atau kehidupan seseorang. Sekiranya kamu melihat
gerhana maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan
bersedekahlah.”8

Kemudian baginda S.A.W bersabda:

Wahai umat Muhammad S.A.W, demi Allah, tiada seseorang pun yang

lebih cemburu daripada Allah sekiranya hambanya yang lelaki berzina atau

hambanya yang wanita berzina. Wahai umat Muhammad S.A.W, demi Allah,

sekiranya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, tentu kamu akan sedikit

ketawa dan banyak menangis.9

Menerusi hadis di atas dapat kita fahami bahawa perbedaan shalat gerhana

berbanding shalat-shalat yang lain ialah sebaik sahaja membaca al-Fatihah dan

mana-mana surah dari al-Quran kita hendaklah rukuk. Kemudian bangun

kembali dan sekali lagi membaca al-Fatihah dan mana-mana surah dari al-Quran

8
Riwayat Muslim, “Sahih Muslim”, Kitab al-Kusuuf, 4/463, no. 1499
9
al-Bukhari, “Sahih Bhukari pdf”, Bab Sedekah Di Waktu Gerhana, hlm. 433, no. 986
45

lalu rukuk semula. Kemudian iktidal lalu sujud dan teruskan shalat sebagaimana

shalat-shalat yang lain.

Ulangi perkara yang sama pada rakaat kedua. Tidak terdapat riwayat yang

menunjukkan adanya zikir-zikir atau bacaan yang khusus untuk shalat gerhana

ketika rukuk, iktidal, sujud, duduk antara dua sujud dan tahiyyat. Oleh itu, kita

boleh membaca apa jua bacaan ketika solat yang sabit daripada Rasulullah

S.A.W sebagaimana yang terdapat dalam hadis.

Hal yang sebaiknya diperhatikan adalah dalam soal ruku‟nya. Ruku‟ yang

pertama dalam rakaat pertama lebih panjang dari yang kedua. Menurut

keterangan yang terdapat dalam kitab-kitab fikih madzhab Syafi‟i, pada ruku‟

pertama membaca tasbih kira-kira lamanya sama dengan membaca seratus ayat

surat Al-Baqarah, sedang ruku‟ kedua kira-kira delapan puluh ayat.

Begitu seterusnya dalam rakaat kedua. Untuk ruku‟ pertama pada rakaat

kedua membaca tasbih lamanya kira-kira sama dengan membaca tujuh puluh

ayat surat Al-Baqarah, dan ruku‟ keduanya kira-kira lamanya sama dengan

membaca lima puluh ayat. Mazhab Hanafiyah berpendapat bahawa melamakan

ruku‟ dan sujud pada kedua rakaat itu adalah sunat tanpa ada batas waktu.10

Akan tetapi berbeda dengan Mazhab Hanafiyah dalam membicarakan

ruku‟ dalam shalat gerhana matahari yaitu, tidak sah dengan dua ruku‟ dan dua

kali bangkit (dari ruku‟), akan tetapi harus dengan sekali bangkit dan sekali

ruku‟ sebagaimana halnya dalam shalat sunat tanpa ada perbedaan. Hanya saja

mereka berpendapat, bahawa paling sedikitnya dua rakaat dan ia juga boleh
10
Abdurahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Bahagan Ibadat (Shalat 1). Peng: Ali
Yafie. Alihbahasa: Chatibul Umam & Abu Hurairah. Diterbitkan oleh: Mathba‟ah Al-Istiqomah,
Cairo.
46

melakukan empat rakaat atau lebih. Yang afdhal adalah empat rakaat dengan

dua salam.11

Mengenai sujud memang ada yang mengatakan tidak perlu lama. Tetapi

pendapat ini menurut Muhammad az-Zuhri al-Ghamrawi pendapat yang sahih

adalah pendapat yang menyatakan bahwa sujud juga lama. Pertanyaanya, berapa

lamanya sujud?

Jawaban yang tersedia adalah lamanya kira sama seperti lamanya

ruku‟. Dengan kata lain, sujud pertama dalam rakaat pertama membaca tasbih

lamanya kira-kira seratus ayat surat Al-Baqarah dan untuk sujud kedua kira-kira

lamanya sama dengan membaca delapan puluh ayat. Sedang sujud pertama

dalam rakaat kedua lamanya kira-kira sama dengan membaca tujuh puluh ayat

surah Al- Baqarah, dan sujud kedua dalam rakaat kedua lamanya sama dengan

membaca

lima puluh ayat. Dalam shalat gerhana tidak ada adzan dan iqamah.

‫س أبعني وال‬
‫ث‬9ِ‫ و وال َّثال‬9ِ‫ َّثا ِِن ث ََمى‬9‫ا أْلَ أد من ا أل َب َق َر ال‬ ‫و ُي ِف ال ُّر ُكو‬
‫َّراع‬
‫ني‬ ‫ِِف‬ ‫ِة ما َئ ٍة‬ ‫َر‬ ‫س‬
‫ّول ع ق‬
‫ّب ح‬
‫ت أق ِري ًبا ِف ا َْلمو و ُل السج َدات ِف ا صح ت الصحوح ِوي ُل َها ث‬ ‫أَخس‬
‫َ ب ت ِف ط‬ ‫ت‬ ‫أْلَ طو ق أل‬ ‫ََل ي ني‬
‫َلم فالسجود‬ ‫ِف ا أل ُب َو‬
‫ُ أب َل َها‬ ‫الص أ ِني و َى‬
‫أع‬
‫أيطِى ص ل ا ىح و ال ر ُكوع ا َّل ِذي أ وا ق‬ ‫حوح‬
ُّ َ 9َ
‫َّى ُه يطو‬
‫ُ ِ َدى َلُ ا َالص ََل‬
‫ة فو‬ ‫ا أْلَ ُّر ُكو َّول و َهك َذا َو ُتسن ع ٌة تسن ا َْل‬
‫ُة و ُيَنا‬ ‫َم َها ع‬ ‫ََجا ع ا أَْل أى‬ ‫كال‬
‫ّول‬
9َ‫َه ُر عِ ِق َرا َء ِة كسوف ا أل َقم ِر َل الشمس َب أل ي ُِّس فِو َها ْل‬

‫نا‬

‫ا ِر َّي ٌة جا ِمع ٌة و َ أَي‬9‫َن‬


Artinya: “Bertasbih dalam ruku‟ pertama kira-kira lamanya seperti lamanya
membaca seratus ayat dari surat Al-Baqarah, ruku‟ kedua delapan
puluh ayat, ketiga tujuh puluh ayat dan keempat lima puluh ayat. Saya
berpendapat bahwa pendapat yang sahih adalah memanjangkan sujud
sebagaimana dalam hadis sahih yang diriwayatkan Bukhari-Muslim
dan pendapat imam Syafi‟i yang terdapat dalam kitab Mukhtashar Al-
11
Abdurahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Bahagan Ibadat (Shalat 1). Peng: Ali
Yafie. Alihbahasa: Chatibul Umam & Abu Hurairah. Cet. Ke-3(Cairo: Mathba‟ah Al-Istiqomah,
2002) hlm. 323.
47

Buwaithi bahwa ia memanjangkan sujud seperti memanjangkan ruku‟


yang sebelum sujud. Wallahu a‟lam. Karenanya, sujud yang pertama
itu panjangnya seperti ruku‟ yang pertama begitu seterusnya. Shalat
gerhana matahari sunah dilaksanakan secara berjamaah dan diseru
dengan ungkapan ash-shalâtu jâmi‟ah. Disunahkan meninggikan
suara ketika membaca surat dalam shalat gerhana bulan, bukan
gerhana matahari bahkan memelankan bacaan suratnya karena shalat
gerhana matahari merupakan shalat sunah yang dilakukan siang
hari,”12

Khutbah Setelah Shalat Gerhana

Dalam shalat Gerhana tidak disyariatkan khutbah. Bila matahari itu

tersingkap di tengah-tengah melaksanakan shalat Gerhana, maka hendaklah ia

menyempurnahkan shalat itu sebagaimana mestinya. Apabila matahari itu

terbenam dalam keadaan gerhana, maka tidak perlu dishalatkan. Adapun bahawa

khutbah itu tidak disyariatkan disepakati oleh Imam Mazhab kecuali mazhab

Syafi‟iyah.13

Disunnahkan bagi imam untuk berkhutbah setelah melaksanakan shalat

seperti khutbah shalat „Id. Sebagaimana hadits dari Aisyah RA, beliau

menuturkan bahwa Nabi S.A.W setelah melaksanakan shalat beliau berdiri dan

berkhutbah, setelah itu memuji kepada Allah SWT lalu bersabda:

َّ‫ َيفَـا ِثا ِ َوذإ رَـآي ذ ِ َِل فَـا ْد لَلّـ‬،‫ٍ ول م ح‬ ‫َِّلل يَْن خ ِس َم‬
‫ّـ‬ ‫إ ّـَّن إم ش ْمس وإ ْمـلَ َم َر م ْن‬
ّ َ
‫ُعوإ إ‬ ‫ُ ْت‬ ‫د‬ ‫ َل َفا ِن ْوت‬، ‫آٓـ َيـ َخا ِن آََٓي‬
‫آح‬ ‫م‬ ‫تإ‬
‫و َك و َ ُ ّـُّصووإ وثَـ َص ّـَّدُكوإ‬

، ‫بوإ‬
Artinya: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-
tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian

12
Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawi, As-Sirajul Wahhaj, (Beirut, Darul Ma‟rifah, tt,
98)
13
Abdurahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Bahagan Ibadat (Shalat 1). Peng: Prof.
K.H. Ali Yafie. Alihbahasa: Prof. H. Chatibul Umam & Abu Hurairah. Diterbitkan oleh: Mathba‟ah
Al-Istiqomah, Cairo.
48

seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka


berdo‟alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan
bersedekahlah.”14

Menurut Imam Syafi‟I, khutbah yang beliau sampaikan karena di antara

kesunatan shalat gerhana ialah disampaikan khutbah, sebagaimana yang berlaku

dalam shalat „idul fitri, shalat „idul adha, dan shalat istisqa‟. Sedangkan menurut

ulama yang lain bahwa khutbah yang beliau sampaikan tersebut, karena pada

waktu itu orang-orang mengira bahwa matahari mengalami gerhana disebabkan

oleh kematian Ibrahim putra Rasulullah S.A.W.15

Mengeraskan Suara Ketika Membaca Surat

Bacaan surat di dalam shalat gerhana matahari ialah jahriyah (mengeraskan

bacaan) sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi S.A.W. Ibunda Aisyah RA

meriwayatkan, “Nabi S.A.W mengeraskan suara ketika membaca surat di dalam

shalat gerhana bulan. Apabila beliau selesai bertakbir lalu melaksanakan ruku‟.

Dan ketika beliau bangun dari ruku‟, beliau mengucapkan:

‫َِس ه َ مح ربَ ّـن و إحلَ ْم ُد‬


‫َع ل من ده ا َِل‬
‫ل م‬
‫ا‬
Artinya: “Semoga Allah menerima pujian orang yang memuja-Nya. Rabb kami,
segala puji hanyalah bagimu.”

Kemudian beliau mengulangi membaca surat lagi. Di dalam gerhana

matahari, empat ruku dan empat sujud ada di dalam dua rakaat.”16

14
al-Bukhari, “Sahih Bhukari pdf”, Bab Sedekah Di Waktu Gerhana, hlm. 434. no. 986
15
Ibnu Rusdy. Bidayatul Mujtahid wa nihayatul Muqtashid. Cet ke-1, (Jakarta Timur:
Akbar Media Eka Sarana, 2013) hlm. 288.
16
Ibnu Rusdy. Bidayatul Mujtahid wa nihayatul Muqtashid. Cet ke-1, (Jakarta Timur:
Akbar Media Eka Sarana, 2013) hlm. 288.
49

Imam At-Tirmidzi berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai

bacaan surat di dalam shalat gerhana matahari. Sebagian mereka berpendapat

bahwa bacaan surat dibaca pelan ketika melaksanakan shalat gerhana di siang

hari. Sebagian lain berpendapat tetap dikeraskan. Sebagaimana shalat „Id dan

shalat Jum‟at. Sedangkan Imam Syafi‟i berpendapat bahwa tidak perlu

mengeraskan bacaan di dalam shalat gerhana matahari.”17

Menurut Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan bacaannya dengan surah

keras. Silang pendapat mereka tersebut karena adanya beragam hadis dalam bab

ini dari segi pengertian dan bentuk atau shighatnya. Menurut pengertian hadis

sahih yang bersumberkan dari Ibnu Abbas ra, ia membaca dengan suara pelan,

berdasarkan riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. “ Lalu beliau

berdiri kira-kira selama membaca surat al-Baqarah.”

Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Aku di samping

Rasulullah, dan aku tidak mendengar barang satu huruf pun dari beliau.” 18

Sementara itu juga terdapat beberapa hadis yang kontra dengan hadis tersebut.

Diantaranya ialah riwayat yang menyebutkan, “Sesungguhnya Rasulullah dalam

salah satu rakaat shalat gerhana membaca surah An-Najm.” Ini berarti bahwa

beliau membaca surat tersebut dengan suara keras.19

Dilakukan secara Berjamaah di Dalam Masjid

17
Ibnu Rusdy. Bidayatul Mujtahid wa nihayatul Muqtashid. Cet ke-1, (Jakarta Timur:
Akbar Media
18
Eka Sarana, 2013) hlm.285
Imam Syafi‟i. Nail al-Authar V/276. Bidayatul Mujtahid wa nihayatul Muqtashid.
Ibnu Rusdy.
19
Ibnu Rusdy. Bidayatul Mujtahid wa nihayatul Muqtashid. Cet ke-1, (Jakarta Timur:
Akbar Media Eka Sarana, 2013) hlm. 287.
50

Shalat gerhana matahari disunnahkan untuk dilakukan di masjid. Hal ini

sesuai dengan petunjuk Nabi S.A.W. Diantaranya adalah beliau

mengumandangkan panggilan shalat gerhana dengan membaca “as-shalatul

jami‟ah”.

Demikian juga dengan kandungan makna dari hadis, yang menunjukkan

bahwa Rasulullah S.A.W mengerjakan shalat gerhana secara berjamaah di

masjid. Bahkan dalam riwayat Aisyah disebutkan bahwa, “Terjadi gerhana

matahari pada saat Rasulullah masih hidup. Lantas beliau keluar menuju masjid.

Kemudian beliau berdiri dan bertakbir, sedangkan para sahabat membuat barisan

di belakang beliau….”20

Ibnu Hajar berkata, “Pendapat tentang disyariatkannya shalat gerhana

matahari secara berjamaah adalah pendapat jumhur. Apabila imam yang bertugas

belum hadir, maka sebagian dari mereka bertindak sebagai imam.”21

Meski demikian, seseorang yang menyaksikan gerhana matahari, namun

kondisinya tidak memungkinkan untuk datang menghadiri shalat jamaah di

masjid, maka tidak mengapa shalat sendirian di tempat tinggalnya.

Adapun tata cara shalat gerhana adalah sebagai berikut:-

1. Memastikan terjadinya gerhana bulan atau matahari terlebih dahulu.

2. Shalat gerhana dilakukan saat gerhana sedang terjadi.

3. Sebelum shalat, jamaah dapat diingatkan dengan ungkapan,”As-Shalâtu

jâmi'ah”

20
al-Bukhari, “Sahih Bhukari pdf”, Bab Sedekah Di Waktu Gerhana, hlm. 434. no. 986
21
Abdurahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Bahagan Ibadat (Shalat 1). Peng: Ali
Yafie. Alihbahasa: Chatibul Umam & Abu Hurairah. Cet. Ke-3(Cairo: Mathba‟ah Al-Istiqomah,
2002) hlm. 325
51

4. Niat melakukan shalat gerhana matahari (kusufus syams) atau gerhana bulan

(khusuful qamar), menjadi imam atau ma‟mum.

/ ‫ مخس ْو ِف إ ْمـلَ َم ِر إ َما ًما‬/ ‫آ َص ِّ ّْل س نَـّ ًة مكس ْو ِف إمش ْم ِس‬


ِ ‫مأِـ ُم و ًما‬
ْ
َِّ‫ل ّـ‬
‫ل ثَـ َعا ََل‬
5. Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat.

6. Setiap rakaat terdiri dari dua kali ruku‟ dan dua kali sujud.

7. Setelah ruku‟ pertama dari setiap rakaat membaca Al-Fatihah dan surat

kembali.

8. Pada rakaat pertama, bacaan surat pertama lebih panjang daripada surat

kedua. Demikian pula pada rakaat kedua, bacaan surat pertama lebih panjang

daripada surat kedua.

9. Setelah shalat disunahkan untuk berkhotbah.

2) Tata Cara Shalat Gerhana Bulan

Anjuran untuk menjalankan ibadah shalat gerhana sendiri termaktub dalam

hadis, yang berbunyi sebagai berikut.

Ibnu Rusyd mencoba memetakan sebab perbedaan di kalangan ulama

perihal tata cara shalat sunah gerhana bulan. Dalam Bidayatul Mujtahid, ia

memperlihatkan pendekatan yang dilakukan masing-masing ulama sebagai berikut

ini:

‫ "ٕـإن إمشمس وإملمر آٓـيخان من آٓ َـيت هلال‬:‫سبب إخَتلفيم إخَتلفيم ِف مفيوم كوهل عويو إمَصلة وإمَسلم‬
‫َل َيسفان ملوت آحد َول حلياثو ف إ ذإ رٔـآيمتوىام فادعوإ هلال وصووإ حىت يكشف ما بمك وثصدكوإ" خرجو‬
‫ مفن فيم ىينا من ْإلمر ِبمَصلة فهيام معَن وإحدإ ويه إمصفة إميت فعويا ِف كسوف‬.‫إمبخاري ومسّـَّل‬
‫ ومن فيم من ِذل معَن خمخوفا لْ هو مل يرو عنو عويو إمَصلة وإمَسلم‬.‫إمشمس رٔـآى إمَصلة فهيا ِف جامعة‬
‫آهو َصل ِف كسوف إملمر مع كرثة دورإهو كال إملفيوم من ِذل آكل ما ينطوق عويو إمس َصلة ِف إمرشع‬
52

‫ويه إمنافةل فذإ و كن كائل ىذإ إملول يرى ٔآن لْصل ىو ٔآن حيمل إمس إمَصلة ِف إمرشع إذإ ورد ْلمر‬
‫إ‬ ‫إ‬
‫هبا َعل آكل ما ينطوق عويو ىذإ االمس ِف إمرشع إَل آن يدل إدلميل َعل َغي ِذل فوام دل فعهل عويو‬
‫إمَصلة وإمَسلم ِف كسوف إمشمس َعل َغي ِذل بلي إملفيوم ِف كسوف إملمر َعل آصهل وإمشافعي‬
‫ وز م آبوـ‬.‫حيمل فعهل ِف كسوف إمشمس بياان جململ ما آمر بو من إمَصلة فهيام فوجب إموكوف عند ِذل‬
‫معر بن عبد إّمب آهو روي عن إبـن عباس ّـآَّنام صويا ِف إملمر ِف جامعة ركعخني ِف لك ركعة ركوعان‬
‫وعامثن‬ ‫مثل كول إمشافعي‬
Artinya, “Sebab perbedaan itu terletak pada perbedaan pandangan mereka dalam
memahami hadis Rasulullah S.A.W, „Matahari dan bulan adalah dua
tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian
atau kelahiran seseorang. Kalau salah seorang kalian melihat keduanya,
sebutlah nama Allah dan shalatlah sampai Allah membuka gerhana itu,
dan bersedekahlah,‟ HR Bukhari. Ulama yang memahami di sini
sebagai perintah shalat pada kedua gerhana dengan sebuah pengertian
yaitu sifat shalat yang telah dikerjakan Rasulullah S.A.W ada saat
gerhana matahari, memandang bahwa shalat pada gerhana matahari
dilakukan secara berjamaah.” Sedangkan ulama yang memahami hadis
ini dengan sebuah pengertian berbeda, sementara belum ada riwayat
yang menyebutkan bahwa Rasulullah S.A.W melakukan shalat gerhana
bulan padahal fenomena itu terjadi berkali-kali semasa beliau hidup,
berpendapat bahwa pengertian yang dapat ditarik dari teks hadis ini
adalah sekurang-kurang sebutan shalat dalam syara‟, yaitu shalat sunah
sendiri. Ulama ini seakan memandang bahwa pada asalnya kata „shalat‟
di dalam syarak bila datang perintah padanya harus dipahami dengan
konsep paling minimal yang mengandung sebutan itu dalam syariat
kecuali ada dalil lain yang menunjukkan hal yang berlainan. Ketika
sikap Nabi S.A.W menghadapi gerhana matahari berbeda dengan itu,
maka konsep terkait gerhana bulan tetap dipahami sebagai aslinya.
Sedangkan Imam Syafi‟i memahami sikap Nabi S.A.W dalam melewati
gerhana matahari sebagai penjelasan atas keijmalan perintah shalat oleh
Rasulullah S.A.W pada kedua gerhana tersebut sehingga konsep atas
amaliah gerhana bulan harus berhenti di situ.

Sementara Abu Amr bin Abdil Bar meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan

Utsman radiyallahu anhu bahwa keduanya melaksanakan shalat dua rakaat secara

berjamaah saat gerhana bulan dengan dua rukuk pada setiap rakaatnya seperti
53

pendapat Imam As-Syafi‟i,”22 Perbedaan pendapat ini berimbas pada bacaan di

dalam shalat itu sendiri. Tetapi dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa para

ulama berbeda pendapat perihal cara pelaksanaan shalat gerhana bulan.

Waktu shalat gerhana bulan

Waktu pelaksanaan shalat gerhana bulan sebaiknya dilakukan sejak

dimulainya gerhana atau ketika bulan tertutupi hingga gerhana berakhir alias

bulan terlihat seperti kondisi normal. Shalat gerhana bulan sebenarnya boleh

dilakukan sendiri atau tanpa perlu pergi ke masjid. Namun sangat disarankan

untuk melakukannya secara berjama'ah karena Rasulullah S.A.W dahulu

mengerjakannya secara berjamaah di masjid, dengan khutbah atau tanpa khutbah.

Shalat gerhana bulan ini dikerjakan 2 rakaat dengan dalam setiap rakaat

terdapat dua kali ruku'. Aisyah radhiyallahu'anha pun meriwayatkan, "Nabi

S.A.W mengeraskan bacaannya saat shalat gerhana bulan, beliau shalat empat kali

ruku dan empat kali sujud."23

berikutnya adalah melakukan shalat gerhana bulan tersebut dengan tata cara

berikut ini (25/7):

1. Takbiratul Ihram.

2. Membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya. Disunnahkan surat yang

panjang.
22
Ibnu Rusdy. Bidayatul Mujtahid wa nihayatul Muqtashid. Cet ke-1, (Jakarta
Timur: Akbar Media Eka Sarana, 2013) hlm. 289.
23
Riwayat. Bukhari
54

3. Ruku'. Disunnahkan waktu ruku' lama, seperti waktu berdiri.

4. Berdiri lagi kemudian membaca Al Fatihah dan surat lainnya.

Disunnahkan lebih pendek daripada sebelumnya.

5. Ruku' lagi. Disunnahkan waktunya lebih pendek dari ruku pertama.

6. I'tidal.

7. Sujud.

8. Duduk di antara dua sujud.

9. Sujud kedua

10. Berdiri lagi (rakaat kedua), membaca surat Al Fatihah dan lainnya

11. Ruku'. Disunnahkan waktu ruku' lama, seperti waktu berdiri.

12. Berdiri lagi kemudian membaca Al Fatihah dan surat lainnya.

13. Ruku' lagi. Disunnahkan waktu ruku' lebih pendek dari ruku' pertama.

14. I'tidal.

15. Sujud.

16. Duduk di antara dua sujud.

17. Sujud kedua.

18. Duduk Tahiyah akhir.

19. Salam.

Begitu salam selesai diucapkan, disunnahkan pula untuk berdoa. Berdoa di

waktu setelah shalat gerhana bulan adalah waktu yang mustajabah untuk berdoa.

Doa setelah shalat gerhana bulan

Berikut adalah doa yang harus diucapkan setelah shalat gerhana bulan:
55

"Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda kekuasaan Allah, agar

hamba takut kepadaNya. Terjadinya gerhana matahari dan bulan itu bukanlah

karena kematian seseorang. Maka jika engkau melihatnya, maka shalatlah dan

berdoalah hingga gerhana itu tersingkap dari kalian"24

Setelah doa shalat gerhana bulan selesai dikumandangkan, maka ada

baiknya untuk ditutup dengan khutbah. Khutbah tersebut hendaknya berisikan

untuk selalu mengingat kebesaran Allah yang Maha Kuasa, bertaubat atas segala

dosa yang dilakukan, motivasi untuk selalu melakukan hal yang positif seperti

sedekah, berdoa, dan beristighfar sebagai upaya agar selalu berada di jalan Allah

SWT.25

B. Hukum melaksanakan shalat gerhana matahari dan bulan menurut


Hanafiyah dan Syafi’iyah

Hukum shalat gerhana ini terbagi dua. Para ulama membedakan antara

hukum shalat gerhana matahari dan gerhana bulan.

1. Gerhana Matahari (Kusuf)

Ulama mazbah Al-Hanafiyah mengatakan hukumnya wajib. As-Syafi‟iyah

hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah muakkad.

2. Gerhana Bulan (Khusuf)

Sedangkan dalam hukum shalat gerhana bulan, pendapat para ulama

terpecah menjadi tiga macam. Mazhab Al-Hanafiyah memandang bahwa shalat

24
Ustadz Ahmad Sarwat, “Tata Cara Shalat Gerhana dan Berbagai Macam
Ketentuannya”, HR. An Nasa'i; shahih.. akses 16 July 2018
25
Alhafiz Kurniawan, “Tata Cara Shalat Gerhana Bulan dalam Empat Madhzab”.
56

gerhana bulan hukumnya hasanah. Sedangkan Mazhab As-Syafi‟iyah hukum

shalat gerhana bulan adalah sunnah muakkadah.26

Mayoritas ulama menyatakan bahwa hukum menjalankan shalat gerhana

baik gerhana matahari maupun gerhana bulan adalah sunah mu`akkadah.

‫و َص ََل كسو ِف م ِس وإ َْمل م ِر َؤك ِب مَك ْن ما َوـآب ي َف َة ي مخسو ِف إ ْمـل‬


َ َ ْ
‫َم ِر‬ ‫كَـال ٌِل و َص َِّل ح ِن‬ ‫س نّـَّ ٌة ش ّ َد ٌة َِل ْ َْجا‬ ‫إم‬ ‫ُة‬
‫م‬
‫ُف َرإ َدى ويُـ َص ِّّل ر ْك َع َخ ْ ِني كسائ‬
‫ِر إمنَـّ َوإ ِفل‬
Artinya: “Menurut kesepakatan para ulama (ijma`) hukum shalat gerhana matahari
dan gerhana bulan adalah sunah mu‟akkadah. Akan tetapi menurut
Imam Malik dan Abu Hanifah shalat gerhana bulan dilakukan sendiri-
sendiri dua rakaat seperti shalat sunah lainnya,”27

Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt dan salah satu hadits Nabi

S.A.W. Allah ta‟ala berfirman,

‫ك ْن ُ ْت‬
‫جَ ْس ج ْم َ نوْلَ َم وإ ْ َُس َّ خوَـَل إ‬ َ‫وإه و ْم وإمْل‬ ‫َ و ِم ْن آٓ َـ َي‬
‫ُ ين ْ ن‬ َِّّ‫َل ُدوإ نو ِس َل ِر ُدوإل ـ‬ ‫إم ُس َم ُر‬ َّ‫ـّـ‬ ‫ِث ِو إنوَـّ ْيل‬
َّ‫ل إ ّـ‬ ‫ش و‬ ‫نَـا ُر ش‬ ‫ُه َث ْع ُب ُدو‬
‫َن إ‬
َِّ‫ّـ‬
‫لي‬ ‫َّي‬
Artinya: “Sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan
bulan. Jangan kalian bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada
bulan, tetapi bersujudlah kalian kepada Allah yang menciptakan semua
itu, jika kamu hanya menyembah-Nya,”28

‫َث َعا ََل َف ا رَـآيْـ ُخ‬ ‫ك مْن آََٓيت‬ ‫و‬ ‫إ ّـَّن إمش وإْملَ َل ك ِس َم ٍ َ مح َيا‬
‫َذإ هل ّال ُمو ُ َُها‬ َّ‫م ـّـ‬ ‫ْمس َم َر ي َفا ِن ْوت د َل ِث ِو‬
‫ُن َما ٓآـي‬ ‫م إح و‬
‫َخا ِن‬
‫فَـ ُلو ُموإ و َصوُـّوإ‬
Artinya: “Sungguh, gerhana matahari dan bulan tidak terjadi sebab mati atau
hidupnya seseorang, tetapi itu merupakan salah satu tanda kebesaran
Allah ta‟ala. Karenanya, bila kalian melihat gerhana matahari dan
gerhana bulan, bangkit dan shalatlah kalian,”29

Ibnu Rusyd di dalam Bidayatul Mujtahid:

26
Ustadz Ahmad Sarwat, “Tata Cara Shalat Gerhana dan Berbagai Macam
Ketentuannya”, akses 16 July 2018
27
Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu‟ Syarhul Muhadzdzab, Kairo, Darul Hadits,
1431 H/2010 M, juz VI, halaman 106.
28
Fushilat (4): 37
29
Riwayat Bukhari-Muslim
57

‫إثـفلوإ َعل آن َصلة كـسوف إمشمس س نة ٔوـآهػيا ػف ي جـمـاعة‬


Artinya: Telah dipersejui (diperakui oleh para ulama) bahawa solat kusuuf
(gerhana) matahari adalah sunnah dan ia dilaksanakan secara berjama‟ah.
30

Hadis Nabi S.A.W di atas menunjukkan kepada kita bahwa gerhana

bukanlah sekedar fenomena alam biasa. Gerhana merupakan fenomena alam yang

memang Allah swt kehendaki sebagai salah satu ayat (tanda) kebesaran-Nya.

Hadis di atas memberikan pelajaran dan tuntunan kepada kaum mukminin terkait

gerhana sebagai berikut:

1. Sebab, gerhana adalah Allah swt menjadikannya sebagai peringatan agar

hamba-hamba-Nya takut kepada-Nya. Maka tatkala terjadi gerhana

hendaklah umat manusia segera ingat kepada Allah Subhanahu wa ta‟ala

dan segera menyadari bahwa Allah Subhanahu wa ta‟ala sedang

mengingatkan kelalaian mereka dengan ancaman adzab-Nya. Dari sini,

jelaslah bagi kita kesalahan kebanyakan kebanyakan orang yang justru

menjadikan fenomena gerhana tersebut sebagai hiburan bagi mereka. Ketika

ada informasi bahwa gerhana akan terjadi pada hari tertentu pada jam

tertentu, maka mereka bersiap dengan kamera dan teropong masing-masing,

mencari tempat-tempat strategis untuk menyaksikan peristiwa ”indah”

tersebut. Sungguh sangat jauh dari mengingat Allah Subhanahu wa ta‟ala,

apalagi menyadari itu sebagai peringatan dari-Nya. Kesalahan ini akibat

menganggap gerhana sebagai kejadian antariksa biasa, yang bersumber dari

30
Ibnu Rusdy. Bidayatul Mujtahid wa nihayatul Muqtashid. Cet ke-1, (Jakarta Timur:
Akbar Media Eka Sarana, 2013)
58

sikap mengandalkan sains, tanpa mau mengundahkan berita dari Allah

Subhanahu wa ta‟ala, Pencipta dan Penguasa seluruh alam dengan segenap

galaksi dan langit yang ada didalamnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah

berkata, ”Ini bantahan terhadap ahli astronomi yang mengira bahwa gerhana

merupakan peristiwa biasa, tidak akan maju atau mundur.”

2. Bantahan terhadap keyakinan-keyakinan/ mitos-mitos batil, atau legenda-

legenda kosong. Rasulullah S.A.W membantah keyakinan yang ada

dikalangan musyrikin arab saat itu dengan sabdanya, ”Bukanlah terjadi

karena kematian atau kelahiran seseorang.” islam memberantas segala

keyakinan/ aqidah batil, diantaranya yang bersumber dari astrologi (ahli

nujum) yang meyakini bahwa pergerakan/ peredaran bintang, planet dan

benda-benda langit lainnya memberikan pengaruh/ ada kaitannya dengan

kejadian-kejadian di bumi. Yang dikenal sebagai zodiak, shio, atau nama

yang lainnya sesuai dengan agama asal masing-masing yang digagas oleh

para filosof, rohaniawan atau paranormal. Termasuk kejadian gerhana yang

diyakini sebagai tanda atau sebab (bakal) terjadi peristiwa atau bencana

besar di muka bumi. Ini semua adalah batil. Seorang mukmin yang

berpegang pada kemurnian tauhid harus meninggalkan keyakinan-keyakinan

tersebut. Sangat disayangkan, ada sebagian di antara kaum muslimin yang

masih percaya dengan ramalan-ramalan bintang, termasuk pula mitos

legenda seputar gerhana, atau meyakini peristiwa gerhana ada hubungan

dengan bencana alam atau lainnya. Al-Imam al-Khaththabi Rahimahullah

berkata, ”Dulu mereka pada masa jahiliyyah berkeyakinan bahwa gerhana


59

menyebabkan terjadinya perubahan di muka bumi, berupa kematian,

bencana dan lain-lain. Maka Nabi S.A.W mengajarkan bahwa itu adalah

keyakinan batil. Sungguh matahari dan bulan itu adalah dua makhluk yang

tunduk kepada Allah Subhanahu wa ta‟ala. Keduanya tidak memiliki

kekuatan mempengaruhi sesuatu yang lainnya, tidak pula memiliki

kemampuan membela diri.”31

3. Tuntutan Islam ketika terjadi gerhana. Baginda Nabi S.A.W mengajarkan

kepada kita tuntunan syariat yang mulia ketika terjadi gerhana matahari

maupun gerhana bulan, yaitu ada tujuh hal (sebagaimana dalam hadits-

hadits tentang gerhana):

1. Shalat gerhana

2. Berdoa

3. Beristighfar

4. Bertakbir

5. Berdzikir

6. Bershadaqah

7. Memerdekakan budak32

Ini dilakukan sejak awal terjadinya gerhana, hingga berakhirnya yang

ditandai dengan kembalinya cahaya matahari atau bulan seperti sedia kala. Di

antara doa yang beliau perintahkan adalah berlindung dari adzab kubur. Karena

gerhana mengakibatkan suasana gelap meskipun pada siang hari, dan dalam

31
Al-Asqalani, “Fathul Bari Syarah Sahih al-Bhukari.” hadits no. 1040
32
Riwayat. Al-Bukhari, Muslim
60

suasana tersebut hati manusia pasti dihinggapi rasa takut. Suasana yang demikian

mengingatkan kita akan suasana di alam kubur kelak. Karena gerhana merupakan

peringatan akan adzab, maka sangat tepat dianjurkan pada kesempatan tersebut

untuk memerdekakan budak, sebab amal tersebut bisa memerdekakan seseorang

dari api neraka.33

Gerhana merupakan peristiwa penting dalam Islam. Islam bernar-benar

mengajak hamba untuk menyikapi gerhana yang sedang terjadi sebagai peringatan

dari Rabbul ‟Alamin Subhanahu wa ta‟ala. Hikmah ini tidak bisa diketahui

dengan ilmu sains, namun hanya bisa diketahui melalui wahyu yang diturunkan

kepada nabi Muhammad S.A.W.

C. Persamaan dan Perbedaan Hanafiyah dan Syafi’iyah Dalam Shalat


Gerhana Matahari dan Bulan
Persamaan Mazhab Hanafiyah dan Syafi‟iyah didalam membahas shalat
gerhana matahari dan bulan ialah pada hadis Nabi Muhammad yang berbunyi:

َّ‫ َيفَـا ِثا ِ َوذإ رَـآي ذ ِ َِل فَـا ْد لَلّـ‬،‫ٍ ول م ح‬ ‫َِّلل يَْن خ ِس َم‬
‫ّـ‬ ‫إ ّـَّن إم ش ْمس وإ ْمـلَ َم َر م ْن‬
ّ َ
‫ُعوإ إ‬ ‫ُ ْت‬ ‫د‬ ‫ َل َفا ِن ْوت‬، ‫آٓـ َيـ َخا ِن َٓآَي‬
‫آح‬ ‫م‬ ‫تإ‬
‫و َك و َ ُ ّـُّصووإ وثَـ َص ّـَّدُكوإ‬

، ‫بوإ‬
Artinya: ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-
tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian
seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka
berdo‟alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan
bersedekahlah.”34

Berdasarkan teks hadis di atas maka para imam mazhab mempunyai

pelbagai perbedaan pandangan dan pendapat yang dengannya terjadi perbedaan

33
Ibn Hajar al-„Asqalani Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari hadits no. 2519
34
Ibnu Rusdy Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, cet. Ke-1, (Jakarta Timur,
2013) hlm.289; Riwayat. Bukhari dan Muslim
61

dalam mengeluarkan suatu hukum bagi permasalahan hukum mengerjakan shalat

gerhana matahari dan bulan, apakah hukumnya sunat atau wajib? akan tetapi

perbedaan ini terjadi disebabkan pada memahami teks hadis yang datangnya

daripada Nabi S.A.W dan juga di karenakan tidak ada hadis lain yang menguat

pendapat mereka.

Dalam bab shalat saat terjadinya gerhana matahari yakni tetang disyariatkan

hal itu, dan hala ini disepekati. Akan tetapi yang diperselisi ialah hukum dan tata

cara shalat gerhana matahari. Ibnu al-Manayyar menukilkan dari Imam Abu

Hanifah, bahwa menurutnya hukum shalat gerhana adalah wajib. Demikian pula

pendapat yang dinukilkan oleh sebahagian penulis kitab Mazhab Hanafi.35

Ulama Hanafiyah membedakan hukum fardhu dan wajib. Fardhu adalah

sesuatu yang ditetapkan (untuk melaksanakannya) dengan dalil yang qath‟I, tidak

ada syubhat (keraguan) padanya, sperti rukun Islam yang 5 yang ditetapkan

dengan Nash Al-Quran, dan yang ditetapkan dengan sunnah mutawattir atau

masyur, seperti bacaan Al-Quran dalam shalat. Adapun wajib adalah suatu yang

ditetapkan (untuk melaksanakannya) dengan dalil zhanni yang masih terdapat

keraguan padanya, seperti shadaqah al-fitri, shalat witir dan dua shalat „id, yang

ditetapkan dengan dalil zhanni yaitu khabar wahid. Bila seseorang mengingkari

sesuatu yang fardhu akan menjadikan orang tersebut kufur, tetapi bila

mengingkari yang wajib tidak mengakibatkannya jatuh kepada kufur.36

35
Ibnu Hajar al-Asqalani, “ Fathul Baari Syarah Shahih Al Bhukari pdf”. hlm. 10
36
Azhariah Khalida, “Melacak metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi Dalam Kitab Al-
Mabsuth Karya As-Sarkhasi” al-Muqaranah Vol V. No.2, 2014, hlm.3
62

Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum shalat gerhana matahari atau

bulan adalah sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang ditekankan bagi setiap kaum

Muslimin. Sebagian ulama menyatakan bahwa pendapat tersebut sudah menjadi

ijma‟ di antara mereka. Sehingga Imam Syafi‟i berkata, “Tidak boleh

meninggalkan shalat gerhana, baik yang bermukim maupun mereka yang sedang

melakukan safar, atau siapa saja yang mampu melaksanakannya.”37

Imam Muhammad B. Isma‟il ash-Shan‟ani berkata:

‫مهور عىل أىه سنة مؤكدة َلىحصار الواجبات‬9‫و ْالمر دلول الوجوب َإل أىه حـمله الـج‬
‫فـي الـخمس الصلوات‬

Artinya: Perintah solat gerhana melalui hadis ini menunjukkan perintah wajib,
walaubagaimana pun majoriti ulama (jumhur) menyatakannya sebagai
sunnah mu‟akkadah kerana solat yang wajib hanyalah solat fardhu yang
lima.38

Pendapat di atas berdasarkan dengan hadits dari Nabi SAW. Dari Abu Musa

RA, ia berkata, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah

shallallahu „alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan

terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau

mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku‟ dan sujud yang lama. Aku belum

pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”

Nabi SAW lantas bersabda, ”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan

Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian

38
ash-Shan‟ani, “Subulus Salam al-Musilati ila bulughul maram”, Bab Shalat, Kitab Al-
Kusuf. Hlm. 319
63

atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti

hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka

bersegeralah untuk berdzikir, berdoa dan memohon ampun kepada Allah.”39

Selain itu, perbedaan yang ketara pada kedua Mazhab ini ialah pada

bilangan ruku‟ pada setiap shalat gerhana matahari mahupun shalat gerhana bulan.

Ada yang mengatakan dua kali ruku‟ dan ada yang mengatakan satu ruku‟ sahaja

seperti shalat sunah lainnya. Imam As-Syafi‟I meriwayatkan daripada

Abu Bakrah, Abu Bakrah membicarakan hal itu kepada penduduk Bashrah,

sementara Ibnu Abbas telah mengajarkan kepada mereka bahwa shalat Gerhana

terdiri dari dua rakaat, dimana setiap rakaatnya ada dua kali ruku‟.40

Bagi Mazhab Hanafi bila membicarakan soal ruku‟ dalam shalat gerhana

mereka berpendapat bahwa shalat gerhana itu tidak shah dengan dua ruku‟ dan

dua kali bangkit (dari ruku‟), akan tetapi harus dengan sekali bangkit dan sekali

ruku‟ sebgaimana halnya dalam shalat sunnat tanpa ada perbedaan. Hanya saja

mereka berpendapat, bahwa paling sedikitnya adalah dua rakaat dan ia juga boleh

melakukan empat rakaat atau lebih.41

Perbedaan seterusnya pada mazhab ini ialah khutbah setelah Gerhana

Matahari, Menurut pendapat As-Syafi'iyah, dalam shalat gerhana disyariatkan

untuk disampaikan khutbah di dalamnya. Khutbahnya seperti layaknya khutbah

Idul Fithri dan Idul Adha dan juga khutbah Jumat.

Dalilnya adalah hadits Aisyah ra berikut ini :


39
Muslim, “Sahih Muslim”, Kitab al-Kusuuf, 4/463, no. 1499
40
Al-Asqalani, “Fathul Baari Syarah Shahih al-Bhukari”, Jilid 6, hlm. 5
41
Abdurrahman Al-Jaziri, “Fiqh Empat Mazhab Bahagian Ibadat (Shalat 1)”, cet. 3
(Mathba‟ah Al-Istiqamah, Cairo) thn 2002, hlm. 323
64

‫ إ ّـَّن ْم وإمَْل َم َر‬: ‫ب إم َنـّا ِم َ وَـآثْ ََن عَـو كَال‬ َ ‫آ ّـَّن إمنَـّ ِ َّما ف من إم َكا َم‬
‫ٓآـ َيـَخا ِن‬ ‫إم س‬ ‫ْي ِو‬ ‫َس ف َد إ‬ ‫ط‬ ‫ّـَّب َر َغ مَ ّـَّص َل ِة‬
‫ش‬ ‫ُّث‬ ‫ح‬ ‫وخ‬
‫ل‬
‫ل‬
‫م ْن‬
‫ٓآ َـ‬
‫يت إ‬
َِّ‫ل ّـ‬
‫ل ع ّـَّز و َجل َل‬

‫يس َفا ِن م َم ْوت آح ٍد َول مح َيا ِث ِو فَـ ا َذإ رَـآ ْيـ ُ ْت ذ ِ َِل َفا ْد ُعوإ إ‬
ّ
َّ‫ل َّـ‬
‫ل و َك‬

‫بوإ و َصوُـّوإ‬
‫وثَـ َص ّـَّدُكوإ‬
Dari Aisyah ra berkata, “Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan
dua tanda kekuasaan dari tanda-tanda kekuasaan Allah, yang gerhana ini berlaku
tidaklah berlaku dengan sebab kematian seseorang atau kehidupan seseorang.
Sekiranya kamu melihat gerhana maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah,
shalatlah, dan bersedekahlah.”42

Dalam khutbah itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk bertaubat dari

dosa serta untuk mengerjakan kebajikan dengan bersedekah, doa dan istighfar

(minta ampun).

Sebahagian ulama mazhab Hanafiyah menjawab, bahwa Nabi S.A.W tidak

bermaksud untuk melakukan khutbah secara khusus, tetapi beliau bermaksud

menjelaskan kesalahan mereka yang menyakini bahwa gerhana terjadi akibat

kematian manusia.43
Dasar pendapat mereka adalah sabda Nabi SAW :

‫َف ا َذإ رَـآي ذ ِ َِل فَـا ْد َ و َك َص وثَـ َص ّـَّدُكوإ‬


‫و‬ ‫ُعوإ إ‬ ‫ّ ُ ْت‬
‫بوإ ّوإ و‬
‫ل‬
‫ل‬
Artinya: “Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan
berdoalah”44

42
Riwayat Muslim, “Sahih Muslim”, Kitab al-Kusuuf, 4/463, no. 1499
43
Al-Asqalani, “Fathul Baari Syarah Shahih al-Bhukari” Jilid. 6, Hlm. 27
44
Riwayat Muslim, “Sahih Muslim”, Kitab al-Kusuuf, 4/463, no. 1499
65

Dalam hadis ini Nabi SAW tidak memerintahkan untuk disampaikannya


khutbah secara khusus. Perintah beliau hanya untuk shalat saja tanpa menyebut
khutbah.

Shalat gerhana bulan perbedaan terjadi pada membahaskan apakah


dilaksanakan secara berjamaah atau pun tidak dan Imam As-Syafi‟I mengatakan
dilakukan secara berjamaah berbeda dengan Imam Hanafi, shalat gerhana bulan
tidak dilakukan secara berjamaah. Perbedaan ini telah dibahaskan panjang lebar
pada perbahasan sebelumnya.
BAB IV

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian dan perbahasan dari kajian di atas, maka dapatlah

diambil beberapa kesimpulan demi untuk mempermudahkan dalam memahami

dan mengkaji sebagaimana berikut dibawah:

Mazhab Hanafiyah melakukan shalat gerhana seperti shalat sunnah

lainnya. Berbeda dengan Mazhab Syafi’iyah melakukan dengan dua rakaat dan

dua kali ruku’. Berjamaah dan dilakukan di masjid dan terdapat khutbah selepas

shalat gerhana.

Ulama mazbah Al-Hanafiyah mengatakan hukumnya wajib. Sedangkan

As-Syafi’iyah hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah muakkad.

Sedangkan dalam hukum shalat gerhana bulan, pendapat para ulama

terpecah menjadi dua macam. Mazhab Al-Hanafiyah memandang bahwa shalat

gerhana bulan hukumnya hasanah. Sedangkan Mazhab As-Syafi’iyah berpendapat

bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah muakkadah.

B. Saran-saran

Di akhir pembahasan ini, penulis menyampaikan beberapa saran-saran yang

berguna bagi kita, antaranya seperti berikut:

1. Dengan tercetusnya skripsi ini, mengingatkan pembaca agar dapat

mengetahui perbandingan hukum dalam mazhab dan dalil-dalil kaedah yang

digunakan. Maka perlu menjadi perhatian terutamanya bagi mereka yang

berkecimpung dalam bidang hukum Islam dewasa ini. Agar ianya terpelihara

66
67

dan umat Islam melaksanakan syariat dengan sebaiknya dalam kehidupan

meraka.

2. Penulis ingin mengingatkan para peniliti bahwa hendaklah berpegang kepada

hokum yang muktamad dalam mazhab Syafi’iyah, ini tidak berarti kita

menolak hokum dan hujjah yang dikeluarkan oleh mazhab yang lain, maka

para ulamak mempunyai beberapa pendapat. Justeru, sebagai masyarakat kita

harus berpegang dengan yakin kepada pendapat yang kita ketahui apakah

hukum dan hujjahnya dan tidak bertaqlid dengan pendapat yang kita sendiri

tidak tahu apakah hukum dan hujjahnya.

C. Penutup

Alhamdulillah, rasa syukur sedalam-dalamnya penulis aturkan kehadrat

Allah SWT, atas selesainya penulisan Skripsi ini, berkat ketekunan dan kesabaran,

rahmat dan redo-Nya lah penulis dapat mnegkonsentrasikan dalam penyusunan

skripsi ini, walaupun demikian, penulis menyadari dalam penulisan ini tentunya

masih banyak kekurangan dan kekeliruan, namun hal ini bukanlah disengajakan

atau lainnya melainkan keterbatasan ilmu dan wawasan penulis di smaping dalam

dan luarnya kajian ini serta minimnya revensi atau kekurangannya kemampuan

penulis.

Oleh kerana itu, dengan segala kerendahan hati dan rasa keikhlasan, penulis

mengharapkan kepada semua pihak untuk dapat memberikan masukan (input),

saran dan kritikan konstruktif demi perenovasian dan relevansinnya mutu

penulisan.
68

Berakhirnya tulisan ini bukan berarti berakhir pula tugas untuk menggali

ilmu pengetahuan atau sempurnanya pengetahuan penulis. Penulis semakin

menyedari bahwa pengetahuan selama ini sangat kurang, sebagaimana penyataan

Imam Syafi’i bahwa semakin banyak kita belajar semakin banyak terasa bahwa

ilmu yang dimiliki sangat sedikit dan jauh dari kesempurnaan.

Akhirnya dengan rasa tawadhu’ yang dalam penulis berdoa serta

berharapkan semoga skripsi ini bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran

penulisan dalam bidang Hukum Islam dan dalam suatu kajian tentang tata cara

serta mengenal hukum dalam mazhab yang sebenarnya.Oleh karena itu semoga

semua pembaca dapat menelaah dan mengkajinya lebih rinci.

Dan harapan penulis semoga ini semua berguna dan bermanfaat untuk

kepentingan kita semua khususnya para pemikir dan pemerhati Hukum Islam.

Amin Ya Rabbal Alamin..

Wabillahi Taufiq

Wassalammu alaikum Wr.wb.

Jambi, Oktober 2018

Penulis

ABU ZAR BIN ADIN


NIM: SPM 160023
DAFTAR PUSTAKA

A. KITAB
Al-Quran Tajwid Warna dan Terjemahan Humairah (Kajang, Selangor: Humairah
Bookstore Enterprise, 2012)

Abi Bakr Mohammad Ibn Ahmad Al Sarkhasi, “Al Kitab Al Mabsut”, (Dar Al-
Kotob Al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon)

Ali Jum‟ah Muhammad, Al-Madkhol Ilā Mażāhib al-Arba‟ah, (Kairo: Dar as-
Salam, Cet. II, 1428 H- 2008 M.),

Ar-Risālah Imam Syafi‟i. terj. Misbah, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2008),

Abd Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu Alal-Mazhabi „Arbaah, (Dar al-Kotob al-


Ilmiyah,Beirut,2003)

Abdul Azib Hussain, Imam Mazhab Hanafi, Manhaj Ilmu Fiqah & Usul Fiqah,
(Kuala Lumpur, Telaga Biru, 2012).

Aboe Bakar Atjeh, Perbandingan Mazhab Ilmu Fikah Islam dalam Lima Mazhab
Al-Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafie & Hambali (Kuala Lumpur: Penerbit Pustaka
Antara, 1986).

Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal, Terjemah Muqaddimah al-Hadhramiyyah,


Daarul Abidin Publisher.

Abdurahman, Fiqh Empat Mazhab, Bahagan Ibadat (Shalat 1). Peng: Ali Yafie.
Alih bahasa: Chatibul Umam & Abu Hurairah. Diterbitkan oleh: Mathba‟ah Al-
Istiqomah, Cairo.

Abu Abdullah Muhammad bin Idris Syafie, Mukhtasar Kitab al-Umm Fi al-Fiqh,
Cet, ke-3, 2015.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Hukum Islam, Ensiklopedia Hukum Islam, Cet. Ke-
1, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997),
Ibrahim, Hasyiyah al-Baijuri, Hasyiyatus Ibrahim, Indonesia, Darul Kutub al-
Islamiyyah, 1428 H/2007 M

'Alauddin, Abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasani Al-Hanafi, Kitab Al-Badai‟ fi Tartib
asy-Syaroi', (Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut,2003)

Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath Al Baari Bisyarhi Shahih Al-Bhukari, Mesir

Ibnu Rusdy. Bidayatul Mujtahid wa nihayatul Muqtashid. Cet ke-1, (Jakarta


Timur: Akbar Media Eka Sarana, 2013)

Imam Syafi‟I, “Ringkasan Kitab al-Umm”, jilid 1, Cet.12 (Jakarta, Pustaka Azzam)
Februari 2015

Ash-Shan‟ani, Subulus Salam Syarh Bulughil Maram min Jam‟I Adillatil Ahkam

An-Nawawi, Syarh An Nawawi „Ala Shahih Muslim

Indal Abror, Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2009),

Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul
Jadid,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 28. Indal Abror, Dosen
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2009),

K.H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Cet. Ke-5,
(Jakarta : PT.Bulan Bintang, 1986),

Muhammad Idis Al-Marbawi, Bulughul Maram, Imam Hajar Asqalani, Matab‟ah


ibn Halabi.

Mustafa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho dan Ali Asy-Syarbani, Fiqh Manhaji, Kitab
Fikah Mazhab Syafie.(Prospecta Printers Sdn Bhd, Kuala Lumpur, 2005)

Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu‟ Syarhul Muhadzdzab, Kairo, Darul


Hadits, 1431 H/2010 M, juz VI,
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Juz II, Darul Fikri al-
Arabi, Beirut, tt.,

Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. 4, 2003),

Muhammad Abu Zahrah, Asy-Syāfi‟i Hayātuhu wa Asruhu wa Fikruhu arāuhu


wa Fiqhuhu, Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Utsman, “Imam al-Syafi'i
Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, (Jakarta:
PT Lentera Basritama, 2005),

Sohih Bukhari pdf

Sohih Muslim pdf

Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60
Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006),

Muhammad Nashiruddin al-Albani, Tamam al-Minnah fi Ta‟liq „Ala Fiqh al-


Sunnah, Cet. Ke-2, 2015.

Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1,


(Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997),

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,
(Jakarta:Almahira, 2010),

B. Artikel dan Laman Web

Amin Ahkam, http://hakamabbas.blogspot.com/2014/10/sejarah-gerhana-


bulan.html. Akses 15 Juli 2018

Ahmad Baiquni, Gerhana dalam Tinjauan Syariat Islam.


https://www.darussalaf.or.id/aqidah/gerhana-dalam-tinjauan-syariat-islam/ akses
15 Juli 2018

https://id.wikipedia.org/wiki/Gerhana. Halaman ini terakhir diubah pada 26


November 2017, pukul 11.56. Akses 16 Juli 2018

Yuliana Ratnasari, Gerhana Bulan Usai Muncul Gerhana Matahari.


https://tirto.id/gerhana-bulan-usai-muncul-gerhana-matahari-. Akses 16 Juli 2018

Riza Miftah Muharram http://www.infoastronomy.org/2018/01/gerhana- bulan-


total- terjadi-tiap- 150 tahun. Html. Akses 16 Juli 2018

Koran Tribun Medan , “Sejarah Gerhana Bulan dan Pandangan Islam Hingga
Turun Anjuran Salat Nabi Muhammad,” http://medan.tribunnews.com
/2018/01/31/ sejarah gerhana bulan dan pandangan islam hingga turun anjuran
salat nabi muhammad. Akses 15 Juli 2018

Fahrizal Fahmi Daulay, http://medan.tribunnews.com/2018/01/31/sejarah-


gerhana-bulan-dan-pandangan-islam-hingga-turun-anjuran-salat-nabi-muhammad.
Akses 26 Juli 2018

Iswahyudi. Jurusan Perbandingan Mazhab, “Islam dan Ilmu Pengetahuan tentang


Gerhana,” Yogyakarta: LPPM IAIN Sunan Kalijaga, 1983, hlm 22-23.

C. Skripsi

Muhammad Izzat bin Ismail, PROBLEMATIKA TAYAMMUM(Studi Komparatif


Sebagian Pendapat Hanafiyah dan Sebagian Pendapat Syafi`iyah), UIN Jambi, Mei 2017.
CURRICULUM VITAE

Nama : ABU ZAR BIN ADIN

NIM : SPM 160023

Tempat / Tanggal Lahir : SABAH, MALAYSIA / 25 MARET 1992

Jenis Kelamin : LELAKI

Alamat Asal : KAMPUNG BOKARA,


JALAN PANGLIMA ADAM,
90009, SANDAKAN, SABAH
Alamat Sekarang : MESS PELAJAR MALAYSIA, NO 02, JALAN PAKIS 03,
RT 27, RW 08, KELURAHAN SIMPANG IV SIPIN,
TELANAIPURA, JAMBI, 36124 SUMATERA INDONESIA
Pekerjaan : Mahasiswa

Pendidikan :-

No Jenis Pendidikan Tempat Tahun Tamat


1 Tadika Kemas (Pra Sekolah) Sandakan, Sabah 1998
2 Sek. Keb. Karamunting Sandakan, Sabah 2004
3 Sek. Men. Keb. Batu Sapi Sandakan, Sabah 2011
4 Kolej Islam As-Sofa, Ampang Ampang, Selangir 2014
5 UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi,Indonesia 2018

Jambi, OKTOBER 2018


PENULIS

ABU ZAR BIN ADIN


SPM 160023

Anda mungkin juga menyukai