Anda di halaman 1dari 8

Mengenai hal ini telah muncul beberapa syubhat karena merupakan

mutasyabih atau hal serupa yang harus dikembalikan kepada yang Muhkam atau
yang memiliki makna dan arti yang jelas dan pasti; tidak tersembunyi,
sebagaimana itu merupakan metode orang-orang yang kokoh keilmuannya yang
dipuji Allah, berbeda dengan yang terdapat penyakit dalam hatinya sebagaimana
firman Allah:

‫(َفَأَّم ا اَّلِذ يَن يِف ُقُلوِهِبْم َز ْيٌغ َفَيَّتِبُعوَن َم ا َتَش اَبَه ِم ْنُه اْبِتَغا اْلِف ْتَنِة َو اْبِتَغا َتْأِو يِلِه َو َم ا َيْع َل َتْأِو يَلُه ِإاَّل الَّلُه َو الَّر اِس ُخ وَن يِف اْلِعْلِم‬
‫ُم‬ ‫َء‬ ‫َء‬
.) ‫َيُقوُلوَن آَم َّنا ِبِه ُك ٌّل ِم ْن ِعْنِد َر ِّبَنا َو َم ا َيَّذ َّك ُر ِإاَّل ُأوُلو اَأْلْلَبا‬
‫ِب‬

Artinya: “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan,


mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali
Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman
kepadanya (Al-Qur'an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat
mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.”

Syubhat pertama / perhitungan astronomi lebih akurat daripada metode


rukyat karena bulan sabit mungkin telah muncul namun tidak terlihat, atau
bertepatan dengan awan di tempat bulan sabit dan dikira belum muncul padahal
tidak seperti itu.

Penyingkapnya adalah: bahwasanya Allah memerintahkan kita untuk


menyembah-Nya dengan berpatok pada penglihatan kita bukan dengan kejadian
saat itu, sebagaimana hadits Rasulullah ‫ﷺ‬:

”‫” صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته‬

Artinya: “berpuasalah jika telah melihat hilal dan berharirayalah bila telah melihat
hilal"

Jadi yang tersirat jika kita tidak melihatnya maka tidak wajib berpuasa dan
memerintahkan kita untuk berbuka jika tidak melihatnya, sedangkan ahli hisab
falaky keras kepala dan memaksakan diri dengan apa yang belum dikehendaki oleh
Allah walaupun hanya sebuah isyarat, sesungguhnya Allah adalah yang Maha
Mengetahui apa yang terjadi bahkan jika Ia mengendaki metode hisab falaki maka
akan Ia tunjukkan untuknya, namun ketika Allah tidak melakukannya maka itu
menunjukkan tidak disyari’atkannya hal tersebut.

Kemudian jika Allah takdirkan awan berada di tempat hilal kemudian


berusaha melihat hilal kemudian disangkanya itu hilal, maka Allah tidak
membebani mereka kecuali apa yang mereka lihat dan sangkaan yang kuat bahwa
itu adalah hilal, karena para sahabat ketika ingin melihat hilal dan mereka
melihatnya yang mungkin saja itu adalah meteorit atau awan, namun demikian
Rasulullah ‫ ﷺ‬memperlakukan kepada para sahabat sebagaimana yang mereka
lihat dalam rangka mengikuti besarnya prasangka, inilah syari’at yang penuh
toleransi disyari’atkannya metode ini dan dibangun ketika tidak terlihatnya hilal
denga metode ini yaitu cukup menyempurnakan bulan sya’ban, maka bagaimana
bisa Allah ditentang dalam hukum-Nya dengan mengembalikan ke metode hisab
falaky?

Syubhat kedua/ bahwasanya perhitungan meteorologi sama dengan


perhitungan penetepan waktu shalat, maka sebagaimana bolehnya yang kedua
maka yang pertama juga sama tidak ada bedanya, maka bantahannya adalah
bahwasanya syari’at memerintahkan kita untuk beribadah pada waktu shalat sesuai
dengan realita keadaan saat itu yaitu waktu shalat maghrib masuk ketika
terbenamnya matahari dst.

Dan perhitungan waktu ini menjelaskan keadaan saat itu dan kita
diperintahkan beribadah karena hal tersebut, berbeda dengan masuknya bulan,
syari’at memerintahkan kita beribadah dengan melihat hilal bukan atas realita
situasi saat itu maka tidak bisa disamakan.

Syubhat ketiga/ perhitungan astronomi bisa digunakan untuk menentukan


kapan menculnya hilal dan apakah terlihat dan tidaknya.

Dan bantahannya adalah bahwasanya syari’at memerintahkan kita untuk melihat,


jika melihatnya kita berpuasa dan jika tidak maka kita berbuka, dan kita tidak
diperintahkan lebih dari itu, apakah hilal sudah muncul atau tidak sebagaimana
penjelasan sebelumnya.

Dari beberapa penjelasan di atas bahwasanya tidak boleh menjadikan hisab


falaky dan pendapat yang menjadikannya sebagai landasan adalah pendapat lemah
yang menyelesihi kesepakatan para ahli ilmu. Itu karena kriteria pendapat
dikatakan syadz atau lemah ketika pendapat menyelisihi ijma’ kesepakatan Ahli
Ilmu.

Harus diketahui kriteria pendapat syadz atau lemah, dan kita harus
menjadikan hukum kita dilandaskan atas pendapat ilmiyah yang terkokohkan
dengan koridor syari’ah jauh dari pengaruh adat, perasaan dan kelompok.

Karena jika permasalahan syari’ah tidak dipatenkan dengan koridor syari’ah


maka manusia akan terombang-ambing dan menghadapinya sesuai dengan
kebodohan dan hawa nafsu, yang terkadang mereka memasukkan sesuatu yang
tidak termsuk permasalahan dan mengeluarkan yang termasuk di dalamnya.

Dan yang terkait dengan hukum-hukum rukyatul hilal para ulama


berselisih tentang hasil rukyatul hilal di suatu negara, apakah harus diaplikasikan di
seluruh negara kaum muslimin untuk berpuasa atau setiap negara memiliki
hukum masing-masing sesuai dengan titik pantaunya masing-masing? Dan yang
paling jelas – wallahu a’lam – bahwasanya negara kaum muslimin itu satu, jika
salah satunya nampak hilal maka wajib seluruh muslimin untuk mengikutinya,
karena dalil-dalil tentang rukyah dengan lafazh umum, dan Ibnu Muflih
menisbatkan pendapat ini kepada para Imam Empat Madzhab berdasarkan dalil
yang masyhur di antara mereka, adapun hadits yang diriwayatkan Muslim dari
Kuraib berkata: Aku tiba di Syam dan nampak bagiku hilal ramadhan ketika di
sana kami melihatnya pada malam jum’at, kemudan aku tiba di madinah di akhir
bublan kemudian Ibnu Abbas menanyaiku seranya menyebut hilal dan berkata:
kapan kalian melihat hilal? Aku menjawab: kami melihatnya pada malam jum’at,
ia berkata lagi: engkau melihatnya pada malam jum’at?, aku menjawab: iya, dan
penduduk di sana juga meliahatnya dan mereka berpuasa juga mu’awiyah. Maka
ia berkata: namun kami melihatnya pada malam sabtu, kami akan tetap berpuasa
sampai sempurna tiga puluh atau sampai nampak bagi kami hilal, kemudian aku
berkata: tidak cukupkah bagimu dengan apa yang dilihat mu’awiyah dan
puasanya? Maka ia berkata: tidak, seperti inilah yang kami diperintahkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam>

Maka ini bisa dikatakan bahwasanya jika sebuah penduduk negara berpuasa
dengan metode syari’at baik dengan rukyat hilal ataupun menyempurnakan bulan,
kemudian sampai kepadanya bahwa ada seseorang dari negara kaum muslimin
telah melihat hilal sebelumnya maka mereka tidak wajib mengqadha atau
mengganti puasa namun mereka menyempurnakan puasa sampai mereka melihat
hilal atau menyempurnakan bulan sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abdil Barr dan
Ibnu Taimiyah.

Atas dasar tersebut maka hukum kaum muslimin itu satu dalam memulai
puasa jika dia telah mengetahui rukyah yang lainnya, namun jika negara tersebut
bersandar pada hisab falaky maka tidak dianggap dan kaum yang lainnya dianggap
belum melihatnya dan menyempurnakan sya’ban 30 hari jika belum diketahui
bahwa kaum muslimin yang lainnya telah melihat hilal, begitu juga keadaan
muslim minoritas di negara kafir mereka mengikuti negara yang bersandar pada
hisab falaky itu tidak benar menurut ijma’ sebagaimana penjelasan terdahulu.

Di bawah ini beberapa perkataan Ahli Ilmu kontemporer dalam


permasalahan ini;

Berkata Lajnah Fatwa Saudi (10/104): kita tidak dibebankan dalam


mengatahui permulaan bulan dengan sesuatu yang tidak difahami oleh segelintir
orang saja, yaitu astrologi atau ilmu perhitungan falak, oleh karena itu terdapat
nash-nash baik itu dari Al-Qur’an maupun Sunnah menjadikan metode rukyatul
hilal dan menyaksikan kemunculannya sebagai tanda mulai berpuasanya kaum
muslimin pada bulan ramadhan, dan juga usai darinya dengan melihat hilal bulan
syawal, begitu juga ketika penetapan Iedul Adhha dan hari Arafah, sebagaiman
firman Allah Subhanahu wa Ta’alaa:
} ‫{ َفَمْن َش ِه َد ِم ْنُك ُم الَّش ْه َر َفْلَيُصْمُه‬

Artinya: “ Maka barang siapa yang hadir pada saat itu maka berpuasalah”

Dan firman Allah subhanahu wa ta’aalaa:

} ‫{ َيْس َأُلوَنَك َعِن اَأْلِه َّلِة ُقْل ِه َي َم َو اِقيُت ِللَّناِس َو اَحْلِّج‬

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan


sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”

Dan bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

» ‫« إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثالثني‬

Artinya: jika kalian melihatnya maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya maka
berhari rayalah, jika kalian terhalangi oleh awan maka sempurnakanlah bilangan
bulan sya’ban 30 hari”

Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjadikan puasa itu


tetap dengan melihat hilal bulan ramadhan, dan berbuka dari puasa itu dengan
melihat hilal bulan syawwal, tidak dikaitkan dengan perhitungan bintang dan
edarannya, dan inilah yang berlaku pada zaman Nabi ‫ ﷺ‬para
khulafaurrasyidin dan para imam empat dan juga pada tiga era istimewa yang
dipersaksikan oleh Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬dengan era keutamaan dan kebaikan,
dan kembali kepada ilmu perbintangan dalam penetapan bulan-bulan qamariyah
dalam memulai berbagai macam ibadah dan selesai darinya tanpa melihat rukyat
hilal merupakan kebid’ahan yang tidak ada kebaikan padanya dan tidak ada
landasan syari’at padanya...”

Dan dari fatwa mereka juga (3127): hisab falaky tidak dianggap sebagai
dasar penetapan mulainya puasa bulan ramadhan dan juga berakhirnya, namun
yang mu’tabar adalah rukyatul hilal, jika belum melihat hilal ramadhan pada
malam ke 30 sya’ban maka menyempurnakan 30 hari sya’ban dari hari pertama
penetapannya di awal bulan, begitu juga jika belum melihat hilal syawwal di
malam ke 30 bulan ramadhan maka menyempurakan ramadhan 30 hari.”
Berkata Syekh kita Al-‘Allaamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
sebagaimana di kitabnya Majmu’ Fatawa (15/110): “oleh karena itu jelas bagi kita
bahwasanya yang diterapkan dalam menetapkan puasa dan idul fithri dan seluruh
bulan adalah rukyat, atau menyempurnakan bilangan, tidak dianggap oleh syari’at
hanya dengan lahirnya bulan dalam penetapan mulainya bulan qamary dan
berakhirnya, menurut ijma’ ahli ilmu yang dianggap keilmuannya yang belum
pasti melihatnya secara syari’at. Ini menurut penetapan waktu ibadah, dan
barangsiapa menyelesihinya dari orang-orang sekarang ini maka sudah didahului
oleh ijma’ ulama sebelumnya dan perkataan mereka itu tertolak, karena tidak
dianggap sebuah pernyataan ketika disandingkan dengan sunnah Rasulullah
‫ ﷺ‬begitu juga dengan ijma’ para ulama salaf. Adapun perhitungan peredaran
matahari dan bulan tidak dianggap dalam masalah ini sebagaimana kita sebutkan
tadi, dan juga dengan beberapa hal di bawah ini:

a> Bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬memerintahkan puasa dan berbuka dengan


melihat hilal sebagaimana sabdanya:

» ‫صوموا لرؤيته وأفطروا رؤيته‬

Artinya: “Puasalah ketika melihatnya dan berhari rayalah ketika


melihatnya”

Dan beliau ‫ ﷺ‬membatasinya dalam sabdanya:

» ‫« ال تصوموا حىت تروا اهلالل وال تفطروا حىت تروه‬

Artinya: “Janganlah puasa sampai engkau melihat hilal dan jangan


berhari raya sampai engkau melihatnya”

Dan Nabi ‫ ﷺ‬memerintahkan kaum muslimin jika tertutup awan


pada malam ke 30 untuk menyempurnakan bilangan, dan tidak
memerintahkan untuk kembali kepada ahli perbintangan, jika saja
perkataan mereka sumber utama atau sumber lainnya selain rukyat
dalam penetapan bulan pasti beliau menjelaskannya. Dan ketika beliau
tidak menyampaikannya malah menyampaikan yang selainnya maka itu
menunjukkan bahwasanya tidak dianggap selain rukyat secara syari’at,
atau menyempurnakan bilangan 30 hari dalam penetapan bulan, dan ini
adalah syari’at yang terus berlanjut samapi hari kiamat, Allah Subhanahu
wa Ta’aalaa berfirman:

} ‫{ َو َم ا َك اَن َر ُّبَك َنِس ًّيا‬

Artinya: “dan tidaklah Rabb mu pelupa”

Dan klaim bahwa yang dimaksud rukyat dalam hadits adalah ilmu (mengetahui
hilal penj.) atau kuatnya prasangka akan adanya hilal atau kemungkinan terlihatnya
hilal bukanlan esensi perintah ibadah adalah perkataan tertolak, karena rukyat
dalam hadits perbuatan yang membutuhkan suatu objek dan objeknya adalah
sesuatu yang terlihat bukan sekedar pengetahuan, karena para sahabat juga
memahaminya dengan melihatnya dengan mata, dan mereka adalah orang yang
paling faham bahasa arab juga maqashid syari’ah atau tujuan pensyari’atan melebihi
selain mereka. Dan mengaitkan penetapan bulan qamariyah dengan rukyat sesuai
dengan tujuan syari’at yang memudahkan; karena metode rukyat itu urusan yang
global bisa dengan mudah diketahui kebanyakan manusia baik itu manusia
umumnya atau orang tertentu, di padang pasir atau gedung-gedung, beda halnya
jika dikaitkan hukum penetepan bulan dengan ilmu hisab yang akan menghasilkan
kesulitan dan meniadakan tujuan syari’at itu sendiri, karena kebanyaka umat
manusia tidak mengetahui ilmu hisab, dan klaim hilangnya sifat ummiyah dari
umat ini dengan adanya ilmu perbintangan adalah perkataan yang tidak bisa
diterima....”

Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’aalaa agar


menganugerahkan kita dengan sampainya bulan ramadhan dan menjadikan kita
orang yang berpuasa padanya dan menghidupkannya dengan penuh iman dan
mengharap pahala.

Wassalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakaatuh


Abdul Aziz bin Ar-Rais

Anda mungkin juga menyukai