mutasyabih atau hal serupa yang harus dikembalikan kepada yang Muhkam atau
yang memiliki makna dan arti yang jelas dan pasti; tidak tersembunyi,
sebagaimana itu merupakan metode orang-orang yang kokoh keilmuannya yang
dipuji Allah, berbeda dengan yang terdapat penyakit dalam hatinya sebagaimana
firman Allah:
(َفَأَّم ا اَّلِذ يَن يِف ُقُلوِهِبْم َز ْيٌغ َفَيَّتِبُعوَن َم ا َتَش اَبَه ِم ْنُه اْبِتَغا اْلِف ْتَنِة َو اْبِتَغا َتْأِو يِلِه َو َم ا َيْع َل َتْأِو يَلُه ِإاَّل الَّلُه َو الَّر اِس ُخ وَن يِف اْلِعْلِم
ُم َء َء
.) َيُقوُلوَن آَم َّنا ِبِه ُك ٌّل ِم ْن ِعْنِد َر ِّبَنا َو َم ا َيَّذ َّك ُر ِإاَّل ُأوُلو اَأْلْلَبا
ِب
Artinya: “berpuasalah jika telah melihat hilal dan berharirayalah bila telah melihat
hilal"
Jadi yang tersirat jika kita tidak melihatnya maka tidak wajib berpuasa dan
memerintahkan kita untuk berbuka jika tidak melihatnya, sedangkan ahli hisab
falaky keras kepala dan memaksakan diri dengan apa yang belum dikehendaki oleh
Allah walaupun hanya sebuah isyarat, sesungguhnya Allah adalah yang Maha
Mengetahui apa yang terjadi bahkan jika Ia mengendaki metode hisab falaki maka
akan Ia tunjukkan untuknya, namun ketika Allah tidak melakukannya maka itu
menunjukkan tidak disyari’atkannya hal tersebut.
Dan perhitungan waktu ini menjelaskan keadaan saat itu dan kita
diperintahkan beribadah karena hal tersebut, berbeda dengan masuknya bulan,
syari’at memerintahkan kita beribadah dengan melihat hilal bukan atas realita
situasi saat itu maka tidak bisa disamakan.
Harus diketahui kriteria pendapat syadz atau lemah, dan kita harus
menjadikan hukum kita dilandaskan atas pendapat ilmiyah yang terkokohkan
dengan koridor syari’ah jauh dari pengaruh adat, perasaan dan kelompok.
Maka ini bisa dikatakan bahwasanya jika sebuah penduduk negara berpuasa
dengan metode syari’at baik dengan rukyat hilal ataupun menyempurnakan bulan,
kemudian sampai kepadanya bahwa ada seseorang dari negara kaum muslimin
telah melihat hilal sebelumnya maka mereka tidak wajib mengqadha atau
mengganti puasa namun mereka menyempurnakan puasa sampai mereka melihat
hilal atau menyempurnakan bulan sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abdil Barr dan
Ibnu Taimiyah.
Atas dasar tersebut maka hukum kaum muslimin itu satu dalam memulai
puasa jika dia telah mengetahui rukyah yang lainnya, namun jika negara tersebut
bersandar pada hisab falaky maka tidak dianggap dan kaum yang lainnya dianggap
belum melihatnya dan menyempurnakan sya’ban 30 hari jika belum diketahui
bahwa kaum muslimin yang lainnya telah melihat hilal, begitu juga keadaan
muslim minoritas di negara kafir mereka mengikuti negara yang bersandar pada
hisab falaky itu tidak benar menurut ijma’ sebagaimana penjelasan terdahulu.
Artinya: “ Maka barang siapa yang hadir pada saat itu maka berpuasalah”
» « إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثالثني
Artinya: jika kalian melihatnya maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya maka
berhari rayalah, jika kalian terhalangi oleh awan maka sempurnakanlah bilangan
bulan sya’ban 30 hari”
Dan dari fatwa mereka juga (3127): hisab falaky tidak dianggap sebagai
dasar penetapan mulainya puasa bulan ramadhan dan juga berakhirnya, namun
yang mu’tabar adalah rukyatul hilal, jika belum melihat hilal ramadhan pada
malam ke 30 sya’ban maka menyempurnakan 30 hari sya’ban dari hari pertama
penetapannya di awal bulan, begitu juga jika belum melihat hilal syawwal di
malam ke 30 bulan ramadhan maka menyempurakan ramadhan 30 hari.”
Berkata Syekh kita Al-‘Allaamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
sebagaimana di kitabnya Majmu’ Fatawa (15/110): “oleh karena itu jelas bagi kita
bahwasanya yang diterapkan dalam menetapkan puasa dan idul fithri dan seluruh
bulan adalah rukyat, atau menyempurnakan bilangan, tidak dianggap oleh syari’at
hanya dengan lahirnya bulan dalam penetapan mulainya bulan qamary dan
berakhirnya, menurut ijma’ ahli ilmu yang dianggap keilmuannya yang belum
pasti melihatnya secara syari’at. Ini menurut penetapan waktu ibadah, dan
barangsiapa menyelesihinya dari orang-orang sekarang ini maka sudah didahului
oleh ijma’ ulama sebelumnya dan perkataan mereka itu tertolak, karena tidak
dianggap sebuah pernyataan ketika disandingkan dengan sunnah Rasulullah
ﷺbegitu juga dengan ijma’ para ulama salaf. Adapun perhitungan peredaran
matahari dan bulan tidak dianggap dalam masalah ini sebagaimana kita sebutkan
tadi, dan juga dengan beberapa hal di bawah ini:
Dan klaim bahwa yang dimaksud rukyat dalam hadits adalah ilmu (mengetahui
hilal penj.) atau kuatnya prasangka akan adanya hilal atau kemungkinan terlihatnya
hilal bukanlan esensi perintah ibadah adalah perkataan tertolak, karena rukyat
dalam hadits perbuatan yang membutuhkan suatu objek dan objeknya adalah
sesuatu yang terlihat bukan sekedar pengetahuan, karena para sahabat juga
memahaminya dengan melihatnya dengan mata, dan mereka adalah orang yang
paling faham bahasa arab juga maqashid syari’ah atau tujuan pensyari’atan melebihi
selain mereka. Dan mengaitkan penetapan bulan qamariyah dengan rukyat sesuai
dengan tujuan syari’at yang memudahkan; karena metode rukyat itu urusan yang
global bisa dengan mudah diketahui kebanyakan manusia baik itu manusia
umumnya atau orang tertentu, di padang pasir atau gedung-gedung, beda halnya
jika dikaitkan hukum penetepan bulan dengan ilmu hisab yang akan menghasilkan
kesulitan dan meniadakan tujuan syari’at itu sendiri, karena kebanyaka umat
manusia tidak mengetahui ilmu hisab, dan klaim hilangnya sifat ummiyah dari
umat ini dengan adanya ilmu perbintangan adalah perkataan yang tidak bisa
diterima....”