A. sebagaimana yang tertulis dalam kitab Mujarabat dan tersebut di akhir bab 18 sebagai
berikut ?.
ذكر بعض العارفين – من أهل الكشف والتمكين – أنه ينزل في:فائدة أخرى
وكل ذلك في يوم األربعاء األخير,،كل سنة ثالثمائة وعشرون ألفا من البليات
فمن صلّى في ذلك، فيكون ذلك اليوم أصعب أيام السنة كلها،من شهر صفر
اليوم أربع ركعات إلخ
Artinya: Sebagian orang yang ma’rifat dari ahli kasyaf dan tamkin menyebutkan: setiap
tahun, turun 320.000 cobaan. Semuanya itu pada hari Rabu akhir bulan Shafar, maka
pada hari itu menjadi sulit-sulitnya hari di tahun tersebut. Barang siapa shalat di hari itu
4 rakaat dst.”.
B. dalil yang menenjukkan haram melakukan shalat lidaf'il bala'i di malam rebo wekasan
tersebut tidak ada,baik yang langsung dari al qur'an maupun al hadits begitu juga
menurut ulama' ulama' salaf.
C. shalat lidaf'il bala'i ini sudah istiqamah dilakukan oleh banyak para waliyullah dan para
ulama' salaf.pondok pesantren yang istiqamah melakukan ini yang berada di
probolinggo adalah nurul jadid,zainul hasan,nurul karim dan lain lain. pekerjaan ini
sudah jelas dilakukan oleh para waliyullah. barang siapa yang mengingkari
mukasyahnya para walitullah atau pada karomahnya ataupun pada
keberadaannya,maka orang tersebut berarti ingkar kepada keluasan karomah allah
yang diberikan kepada sebagian makhlukNYA.
E. kita juga bisa meninjau hal tersebut dengan firman allah swt واستعينوا بالصبر والصالة
kita bisa mengkajinya dengan memasukkan ba'nya bish shabri pada ba' lit ta'diyah apa
pada ba' sababiyah atau pada yang lainnya.
kita juga jangan lupa melihat pada lafadh shalah yang menunjukkan 'amm.
lalu sebagian orang orang yang terjangkit virus faham wahabi sesat juga ikut ikutan
membid'ahkannya,entah mereka sadar atau tidak saya sendiri tidak tahu,tapi semoga
saja allah memberikan hidayahnya amin.
Bulan Shafar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan
lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak memiliki kehendak dan berjalan
sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.
Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar
adalah bulan sial. Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-
sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.
Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan
keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu
dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah.
Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan
hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali
kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan
berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah
bersabda: “Janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang sehat”.
Maksud hadits laa thiyaarota atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk
adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk
atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya
atau miskin. Dus, zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir
Allah. Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada takdir buruk dan takdir baik.
Empat hal sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang ditiadakan oleh Rasulullah
dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada Allah, memiliki tekad yang benar, agar
orang yang kecewa tidak melemah di hadapkan pada perkara-perkara tersebut.
Bila seorang muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak
terlepas dari dua keadaan. Pertama: menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau
meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang
tidak ada hakikatnya. Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya
dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas.
Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu
sama sekali dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah.
Penolakan akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena kenyataanya
hal itu memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah pengaruhnya. Allah-lah yang memberi
pengaruh. Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar.
Tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.
Muktamar NU yang ketiga, menjawab pertanyaan “bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas,
misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam
kitab Lathaiful Akbar” memilih pendapat yang tidak mempercayai hari naas dengan mengutip
pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah berikut ini:
“Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan
dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan
perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha
Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan
apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta
tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010:
54).
Mungkin ada pertanyaan, bagaimana dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya:’’Kaum ‘Aad pun
mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku,
Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada
hari nahas yang terus menerus. yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok
korma yang tumbang” (Q.S al-Qamar (54:18-20).
Imam al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil menceritakan, bahwa kejadian itu (fi yawmi
nahsin mustammir) tepat pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Orang Jawa pada umumnya
menyebut Rabu itu dengan istilah Rabu Wekasan. Hemat penulis, penafsiran ini hanya
menunjukkan bahwa kejadian itu bertepatan dengan Rabu pada Shafar dan tidak menunjukkan
bahwa hari itu adalah kesialan yang terus menerus.
Istilah hari naas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir juga terdapat dalam hadis
nabi. Tersebut dalam Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45, Rasulullah bersabda, “Akhiru Arbi’ai fi al-
syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus).”
Hadits ini lahirnya bertentangan dengan hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari sebagaimana
disebut di atas. Jika dikompromikan pun maknanya adalah bahwa kesialan yang terus menerus
itu hanya berlaku bagi yang mempercayai. Bukankah hari-hari itu pada dasarnya netral,
mengandung kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan
ditakdirkan Allah.
Bagaimana dengan pandangan Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur Fi
Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur (penulis sendiri terus terang belum mengetahui dan meneliti
kebenaran nama dan kitab ini, bahkan dalam beberapa tulisan kitab ini disebut dengan Kanzun
Najah Was-Suraar Fi Fadhail Al-Azmina Wash-Shuhaar dan Kanju al-Najah wa al-Surur fi al-
Adiyati al-Lati Tasrohu al-Sudur) yang menjelaskan: banyak para Wali Allah yang mempunyai
pengetahuan spiritual yang tinggi mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah menurunkan
320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu
terakhir di bulan Shafar.
Oleh sebab itu hari tersebut menjadi hari yang terberat di sepanjang tahun. Maka
barangsiapa yang melakukan shalat 4 rakaat (nawafil, sunnah), di mana setiap rakaat
setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-
Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salammembaca do’a, maka
Allah dengan kemurahan-Nya akan menjag a orang yang bersangkutan dari semua bala
bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.
Mengenai amalan-amalan tersebut di atas, mengutip KH. Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh
Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang, para ulama yang menolak adanya bulan sial
dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat (dikutip dengan penyesuaian):
Pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shofar, yang ada hanya nash
hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari
naas atau sial yang terus menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.
Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’.Ada anjuran dari sebagian ulama’ tasawwuf
namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.
Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidaf’ilbala’almakhuf (untuk menolak
balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (sholat sunah mutlak) sebagaimana
diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala.
Mengutip pandangan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftakhul Akhyar tentang hadits
kesialan terus menerus pada Rabu terakhir tiap bulan, dinyatakan:
“Naas yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang mempercayainya,
tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan, tahun ada
manfaat dan ada mafsadah, ada guna dan ada madharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi
seseorang, tetapi juga bisa juga naas bagi orang lain…artinya hadits ini jangan dianggap
sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas yang harus kita
hindari. Karena ternyata pada hari itu, ada yang beruntung, ada juga yang buntung. Tinggal kita
berikhtiar meyakini, bahwa semua itu adalah anugerah Allah.” Wallahu ‘A’lam.
BUKAN BAGIAN DARI SYARI’AT YANG DITUNTUNKAN
Di antara anggapan dan keyakinan keliru yang terjadi di bulan Shafar adalah adanya sebuah
hari yang diistilahkan dengan Rebo Wekasan.
Dalam bahasa Jawa ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ artinya terakhir. Kemudian istilah
ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir pada bulan Shafar. Diperkirakan pada bulan
Shafar tahun ini (1433 H) bertepatan dengan tanggal 18 Januari 2012. Di sebagian daerah, hari
ini juga dikenal dengan hari Rabu Pungkasan.
Dalam kitab Kanzun Najah was Suruur fil Ad’iyah allati Tasyrahush Shuduur karangan
Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad ‘Ali Quds yang katanya pernah mengajar di Masjidil Haram
Makkah Al-Mukarramah, disebutkan bahwa pada hari itu akan turun 320.000 bala’, musibah,
ataupun bencana. Sehingga dikatakan bahwa hari itu merupakan hari yang paling berat
sepanjang tahun. Keyakinan mereka, itulah hari yang diisyaratkan dalam ayat:
Dalam upaya tolak bala’ darinya, diadakanlah ritual-ritual tertentu pada hari itu.
Mungkin saja masing-masing orang yang meyakini kebenaran angkernya hari itu berbeda-beda
satu dengan yang lain dalam menjalankan ritual di hari itu.
> اللهم يا شديد القِوى ويا شديد ْالمِحال يا عزي ُز، وصلى هللا تعالى على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم، بسم هللا الرحمن الرحيم
ذلَّ ت لعزتك جميع خلقك اكفني من جميع خلقك يا محسن يا مجمل يا متفضل يا منعم يا مكرم يا من ال إله إال أنت برحمتك يا أرحم
وأبيه اكفني شر هذا اليوم وما ينزل فيه يا كافي ﴿ َف َس َي ْكفِ ْي َك ُه ُم هللاُ َوه َُو ال َّس ِم ْي ُع ال َعلِ ْي ُم ﴾ و حسبنا هللا َ الراحمين اللهم بسرِّ الَ َحسن و أخِيه
ِ وجدَّه
ونعم الوكيل وال حول وال قوة إال باهلل العلي العظيم وصلى هللا تعالى على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.
3. Lalu ditambah dengan bacaan Jauharatul Kamal tiga kali, yaitu bacaan
َ ب ْا
لح ِّق •ِ صا ِح َ ِّان ْال ُم َت َك َّو َن ِة ْاأل َدمِي ِ ْن الرَّ حْ َم ِة الرَّ بَّا ِن َّي ِة َو ْال َيقُ ْو َت ِة ْال ُم َت َح ِّق َق ِة ْال َحائ َِط ِة ِب َمرْ َك ِز ْالفُه ُْو ِم َو ْال َم َعانِى َو ُن ْور ِ ْاالَ ْك َو
ِ ص ِّل َو َسلِّ ْم َعلَى َعي َ اَللَّ ُه َّم
لحائ َِط ِبأَمْ ِك َن ِةَ ك ْا ْ ك الالَّمِع الَّذِيْ َم َ ض م َِن ْال ُبح ُْو ِر َو ْاألَ َوانِى َو ُن ْو ِر ٍ ِّاح ْال َمالِ َئ ِة لِ ُك ِّل ُم َت َعر َ َ َ ْ
َ ألتَ ِبه َك ْو َن ِ ِ ْالرَّ بَّانِى اَل َبرْ ِق ْاألسْ ط ِع ِب ُم ُز َو ِن ْاألرْ َب
ص ِّل َو َسلِّ ْم َعلى َ ك ال َّتآ ِّم ْاالَسْ َق ِم اللّ ُه َّم َ ِْن ْال َم َعارْ فِ ْاألَ ْق َو ِم صِ َراط ِ لح َقائ ِِق َعيَ لح ِّق الَّتِى َت َت َجلَّى ِم ْن َها ُعر ُْوشُ ْا ِ ص ِّل َو َسلِّ ْم َعلى َعي
َ ْن ْا َ ْال َمكاَنِى اَللّ ُه َّم
ُصالَة ً ُت َعرِّ فُ َنا ِب َها إِيَّاهَ صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َعلى آ ِل ِه َ ُط ْل َس ِم َ اط ِة ال ُّن ْو ِر ْالمَ ْك إِ َح َ ك ِالَي َ ك ِم ْن َ اض ِت َ لح ِّق ِبا ْال َح ِّق ْال َك ْن ِز ْاألَعْ َظ ِم إِ َفَ ط ْل َع ِة ْا.
َ
Ya Allah, Limpahilah Rahmat dan Kesejahteraan ke atas Hakikat Rahmat Ketuhanan, mutiara
yang terang benderang memancar dengan rahsia pengertian dan pernyataan, cahaya segala
sesuatu yang menjadikan manusia wadah Kebenaran Ketuhanan, yang bagaikan kilat
memancar dengan melimpahkan curahan rahmat kepada setiap orang yang menghadap-Nya
daripada segenap lingkungan dan masa, dan cahayaMU yang bergemerlapan memenuhi
dengannya wadah ciptaanMU dengan ketinggian pangkat.
Rahmat Allah ke atasnya juga kepada keluarganya dengan rahmat membukakan kami
dengannya haqiqat.
Kata mereka, bacaan Jauharatul Kamal ini memiliki keutamaan yang sangat banyak di
antaranya adalah bahwa satu kali bacaan shalawat jauharatul kamal menyamai tasbih seluruh
alam tiga kali.
5. Ritual ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan sedekah roti kepada fakir miskin.
6. Tidak cukup sampai di situ, ritual inipun dilengkapi dengan membuat air salam, yaitu air
yang menulis وفقRebo Wekasan kemudian dimasukkan ke dalam sumur, bak kamar
mandi, atau tempat-tempat penampungan air lainnya. Kemudian dido’ai, وفقnya seperti
di bawah ini :
Barangsiapa yang pada hari itu melakukan ritual tersebut, maka dia akan terjaga dari segala
bentuk musibah dan bencana yang turun ketika itu.
Amaliyah yang demikian tidak ada dasarnya sama sekali dari Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Generasi salaf dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in
tidak pernah melakukan apalagi mengajarkan ritual semacam itu. Demikian pula generasi
setelahnya yang senantiasa mengikuti jejak mereka dengan baik.
Keyakinan tentang Rebo Wekasan sebagai hari turunnya bala’ dan musibah adalah keyakinan
yang batil. Lebih batil lagi karena berangkat dari keyakinan tersebut, dilaksanakanlah ritual
tertentu untuk menolak bala’ dengan tata cara yang disebutkan di atas. Sementara keyakinan
dan ritual tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, dan tidak pula dicontohkan oleh para imam madzhab
yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal), tidak pula
mereka membimbing dan mengajak para murid serta pengikut madzhabnya untuk melakukan
yang demikian.
Para ulama dan kaum muslimin yang senantiasa menjaga aqidah dan berpegang teguh dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hingga hari ini -sampai akhir zaman nanti- juga tidak akan
berkeyakinan dengan keyakinan seperti ini dan tidak pula beramal dengan amalan yang tidak
pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salaf tersebut.
Jika keyakinan dan ritual ibadah tersebut tidak berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula sebagai amalan para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan
para imam madzhab yang empat, maka sungguh amalan tersebut bukan bagian dari agama
yang murni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ْس َعلَ ْي ِه أَمْ ُر َنا َفه َُو َر ٌّد
َ َمنْ َع ِم َل َع َمالً لَي.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk bimbingan dan
petunjuk kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim).
Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa menjaga kita dan kaum muslimin dari berbagai
penyimpangan dalam menjalankan agama ini. Amin.
rebo wekasan atau hari rabu terakhir bulan safar yang in’saalloh jatuh rabo depan tgl 9, banyak
yang membahas tentang rebo wekasan ini, ada yang mengapnya bidah dan ada yang
mensunahkannya. sebenarnya sholat rebo wekasan itu apa dan fadhilahnya apa sih!!
Shalat Rebo Wekasan adalah shalat empat raka’at yang dikerjakan pada hari Rabu terakhir
bulan safar, setelah shalat isyraq (terbit matahari) kira-kira jam 06.30.
Shalat ini dikalangan orang-orang yang melakukannya disebut shalat sunnah Lidaf’il bala
(shalat tolak bala) Karena menurut mereka bahwa pada tiap hari rebo bulan safar, Allah
menurunkan malapetaka sebanyak 360.000 dan menurunkan 20.000 bahaya.
Dilaksankan pada hari Rebo terakhir di bulan safar, kira-kira pukul 06.30 sebayak empat rakaat
seperti shalat biasa. Surat yang dibaca setelah surat Al Fatihah adalah Al Kautsar sebanyak 17
kali. Surat Al Ikhlash sebanyak 5 kali. Surat Al Falaq 1 kali, dan surat an nas 1 kali. setelah
selesai shalat membaca doa berikut ini sebanyak 3 kali :
“Astaghfirullahal ‘adziim alladzii laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuum wa atubu ilaih taubatan
abdin dzhalimin laa yamliku linafsihi dlarran walaa naf’an walaa hayatan walaa mautan walaa
nusuuran”
Allahumma shalli ‘alaa syyidina muhammadin wadfa’anna minal balail mubram innaka ‘alaa kulli
syai’in qadiir. Allahummaa inni audzubikalimati taammati kulliha minarrihil ahmari maniddaail
akbari finafsi wadami wal lahmi wal ‘adhmi wal juludi wal ‘uruuqi. Subhanaka idza qadaita
amran ayyaquula lahu kun fayakuu. Allahu Akbar birrahmatika yaa arhamar rahimiin”.
Pada masa Rasulullah saw shalat ini tidak ada, demikian juga pada masa sahabat. oleh karena
itu tidak ada secuilpun hadits yang menerangkan shalat tersebut.
Ajaran shalat ini disebutkan dalam kitab “KANZUNNAJAH’ karangan Abdul Hakim Kudus, yang
katanya pernah mengajar di Masjidil Haram Makkah Al Mukaramah. Dalam kita tersebut
diterangkan bahwa telah berkata se bagian ulama ‘arifin dari ahli mukasysyafah bahwa turun
pada tiap tahun 360.000 mala petaka dan 20.000 bahaya, yang turunnya pada tiap hari rebo
terakhir bulan safar. Bagi yang shalat pada hari tersebut sebanyak empat rakaat dengan cara
tersebut di atas maka akan selamat dari semua bencana dan bahaya tersebut.
Melihat keterangan tersebut jelaslah bahwa ajaran tersebut berasal dari salah seorang ulama
sufi yang diyakini sebagai ahli mukasy-syafah (tahu sebelum terjadi). Maka para ulama
berpendapat bahwa shalat thalaq bala ini termasuk bid’ah dan sebagian lain
mengatakanmubah yakni boleh dilakukan karena termasuk fadhoilul amal.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa shalat tersebut bid’ah adalah berdasrkan alasan
sbb.
1. Bahwa setiap ajaran ibadah yang berhak menentukan dan mensyariatkan hanyalah
Allah dan Rasul-Nya, sedangkan yang dibuat-buat adalah bid’ah
2. Bahwa Rasulullah saw tidak pernah mangajarkan, menganjurkan shalat thalak bala’,
maka shalat ini termasuk perbuatan bid’ah.
3. Bahwa seseorang selain Nabi tidak boleh membuat ajaran ibadah.
RITUAL REBO WEKASAN BULAN SHAFAR MENURUT AHLI HADITS DAN ULAMA
SALAFI
21 Januari 2011 pukul 17:21
Tulisan ini al faqir riwayatkan dari Al-Akh Fillah Al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli –
Hafizhahullahu-
Bulan Shafar adalah bulan kedua dalam kalender hijriyah Arab setelah bulan Muharram, atau
jika dalam kalender hijriyah Jawa jatuh setelah bulan suro yang lazim disebut sapar.
Pada bulan shafar, banyak sekali kaum Muslimin di tanah air yang melakukan tradisi
bersedekah dengan membuat bubur Shafar (bubur sapar) atau mungkin dalam bentuk lain yang
lazim disebut selametan. Bubur tersebut dibuat secara khas dan dibagi-bagikan kepada
keluarga dan tetangga sekitar dengan tujuan menolak malapetaka. Hal tersebut dilakukan
karena ada sebuah hadits shahih berikut ini:
َعنْ أَ ِب ْي ه َُر ْي َر َةt هللا ُ َقال َ إِنَّ َرr رواه البخاري ومسلم.ص َف َر َواَل هَا َم َة
ِ َ سول َ َقال َ اَل َعدْ َوى َواَل.
“Dari Abu Hurairah t, Rasulullah r bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada
kepercayaan datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati,
rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-
Hanbali, ulama ‘salafi’ dan murid Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata sebagai berikut:
َفأ َ ْب َطل َ ال َّن ِب ُّي،ش ُئ ْو ٌم َ إِ َّن ُه: َص َفر َو َيقُ ْولُ ْون
ْ ش ْه ٌر َم َ ش ِئ ُم ْونَ ِبْ أَنَّ ا ْل ُم َرا َد أَنَّ أَهْ ل َ ا ْل َجا ِهلِ َّي ِة َكا ُن ْوا َي ْس َتr َوه ََذا َح َكا ُه أَ ُب ْو دَ ُاوو َد عَنْ ُم َح َّم ِد ْب ِن،ََذلِك
،ِالس َف ِر ِف ْيه
َّ َو ُر َّب َما َي ْن َهى َع ِن،ص َفر َ اء ُم ِب ِ َو َكثِ ْي ٌر مِنَ ا ْل ُج َّه،ال
َ ال َي َت
َ ش ِ ش َب ُه ْاألَ ْق َوْ َ َولَ َعل َّ َه َذا ا ْل َق ْول َ أ،َس ِم َع ُه َيقُ ْول ُ َذلِك
َ َْراشِ ٍد ا ْل َم ْك ُح ْول ِِّي َعمَّن
ِّ س
)١٤٨/ ص، لطائف المعارف، (اإلمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي.الط َي َر ِة ا ْل َم ْن ِه ِّي َع ْن َها ِ ص َفر ه َُو مِنْ ِج ْن َ َو ال َّت.
َ شاؤُ ُم ِب
“Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar.
Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi r membatalkan hal tersebut. Pendapat ini
diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang
mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak
orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang
bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah
(meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali,
Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).
Di sisi lain, agama kita juga melarang meneliti waktu-waktu yang disangka mendatangkan
kesialan dan ketidakberun-tungan. Bahkan sebagai gantinya, pada saat orang lain meyakini
datangnya kesialan dengan waktu-waktu tertentu, agama kita menganjurkan kita agar
melakukan amal kebaikan yang dapat menolak balak (sial dan ketidakberuntungan) seperti
berdoa, berdzikir, bersedekah dan lain-lain. Dalam konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Hujjah
Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama ‘salafi’ dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah,
berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif:
Nah, berdasarkan hal inilah para ulama kita di Nusantara sejak dulu menganjurkan
memperbanyak bersedekah di bulan Shafar untuk menolak balak. Sedekah tersebut oleh
masyarakat kita ditradisikan dalam bentuk bubur Shafar. Bahkan pada hari Rabu terakhir bulan
Shafar, tidak sedikit ulama kita yang melakukan tradisi Shalat Rabu Wekasan (=hari Rabu pada
minggu terakhir bulan Shafar) dan membuat minuman yang diberi tulisan ruqyah agar terhindar
dari malapetaka. Lebih-lebih Rabu terakhir dalam setiap bulan dianggap sebagai hari terjadinya
sial berdasarkan hadits berikut ini:
“Dari Ibn Abbas t, Nabi r bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial
terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib al-Baghdadi.
(Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-
Shiddiq al-Ghumari al-Hasani, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1,
hal. 23).
Demikian beberapa tradisi umat Islam Nusantara dalam pandangan ahli hadits dan para ulama
salafi, rujukan utama kaum Wahhabi, seperti al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab al-
Hanbali, serta para pengikutnya, dan Syaikh Ibn Taimiyah serta murid-murid dan para
pengagumnya. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bermanfaat. Wallahu a’lam.
TRADISI REBO WEKASAN
9 Votes
Tradisi perlu dihargai dan dihormati. Ia merupakan bagian dari Budaya dari masyarakat
setempat yang menandai sebuah momentum tertentu. Tradisi biasanya menjadi pengingat
bahwa manusia ini harus bersikap reflektif, merenungkan kejadian-kejadian yang telah
dilakukan agar ada upaya perbaikan. Budaya akan menjadikan manusia lebih manusiawi
dengan kepadatan eksistensinya. Budaya beda dengan agama. Namun keduanya memiliki titik
singgung. Kalau budaya itu aras nya ke hubungan vertical, hubungan sesama manusia, namun
Agama arasnya lebih ke horizontal, hubungan manusia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Salah satu budaya dan tradisi yang sangat popular di kalangan Nahdliyyin (NU) adalah tradisi
Rabu Wekasan. Kalangan NU meyakini kalau Rabu Wekasan adalah Rabu terakhir pada bulan
Safar yang mana di hari itu terjadi ribuan bencana di dunia ini.
Wekasan, pungkasan, atau panungtung dalam Bahasa Sunda artinya terakhir. Yakni, peristiwa
dihancurkannya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya. Rabu Wekasan erat
kaitannya dengan beberapa peristiwa atau sejarah umat terdahulu yang bisa terjadi pada umat
saat ini. Boleh dikata Rabu Wekasan merupakan hari “sial atau naas” yang merupakan
penamaan yang salah satunya merujuk kepada Q.S. Fushilat: 15-16, dan Q.S. Alqamar: 19.
Sebagian ulama yang arif ahli mukasyafah menyatakan pada Rabu terakhir bulan Safar
diturunkan sekitar 320.000 bencana. Hari itu merupakan hari yang paling sulit dibandingkan
hari-hari lain di tahun itu sehingga kita melaksanakan amalan terutama sedekah untuk menolak
bencana. Sedekah bisa berbagai berbentuk misalnya kenduri, dan lain sebagainya.
Seorang `ulama besar, Imam Abdul Hamiid Quds, mufti dan imam Masjidil Haram Makkah pada
awal abad 20 dalam bukunya “Kanzun Najah was-Suraar fi Fadail al-Azmina wasy-Syuhaar”
menjelaskan bahwa banyak Auliya Allah yang mempunyai Pengetahuan Spiritual telah
menandai bahwa setiap tahun, 320 ribu penderitaan (Baliyyat) jatuh ke bumi pada hari Rabu
terakhir di bulan Safar. Hari ini dianggap sebagai hari yang sangat berat dibandingkan hari-hari
lain sepanjang tahun. Beberapa ulama mengatakan bahwa ayat Alquran, “Yawma Nahsin
Mustamir” yakni “Hari berlanjutnya pertanda buruk” merujuk pada hari ini.
Untuk melindungi dari kutukan yang jatuh ke bumi pada hari tersebut tepatnya Rabu terakhir di
bulan Safar kita dianjurkan untuk melakukan Sholat 4 rakaat (Nawafil, sunnah).
Setiap rakaat setelah fatihah di baca surat al-kawtsar 17 kali lalu surat al ihlas 5 kali lalu surat al
falaq da surat an naas masing-masing sekali
Setelah salat dianjurkan untuk memanjatkan doa memohon perlindungan dari segala kutukan
dan bencana yang jatuh ke bumi pada hari tersebut. Doanya adalah sebagai berikut: