Anda di halaman 1dari 4

Nama : M.

Ikhsan Zarkasi

Npm : 2010010701

Kelas : 4A Non Reg Bjm

1. Penyebab naik dan turunnya iman


1. Lingkungan
Lingkungan yang dimaksud tidak hanya orang tua, tapi juga teman, sekolah, media
sosial, dan lain sebagainya. Hal ini sejalan dengan analogi Rasulullah ‫ ﷺ‬tentang
perbandingan berteman dengan penjual parfum dan pandai besi.
Berteman dengan penjual parfum akan membuat kita mendapatkan bau wanginya.
Sedangkan berteman dengan pandai besi akan membuat kita terkena bau terbakarnya
(HR. Bukhari no. 2101).
Iman akan meningkat saat seseorang berteman atau tinggal di tempat orang yang
menjaga iman mereka. Sebaliknya, saat teman, keluarga, atau tetangga di sekitar tempat
tinggal seseorang banyak bermaksiat, imannya akan terpengaruh walaupun sedikit.
2. Maksiat
Minum khamr (minuman keras) dapat memalingkan seorang hamba dari berzikir kepada
Allah dan shalat. Ketika seorang mabuk, mustahil baginya melaksanakan shalat atau
berdoa hingga ia kembali sadar.
Jika seorang muslim mulai merasakan turunnya kuantitas dan kualitas ibadahnya, maka
ia perlu mengevaluasi aktivitasnya, apakah ada maksiat yang ia lakukan. Setelah itu, dia
dapat mulai menguranginya, dan mengisi waktu yang tersisa dengan amal shaleh.
Dengan konsistensi dan tekad yang kuat, keinginan untuk bermaksiat akan berkurang
dengan sendirinya, dan iman akan terjaga stabilitasnya.
3. Cinta berlebihan terhadap dunia
Cinta berlebihan pada dunia akan menyita banyak waktu untuk amalan akhirat. Allah
memperingatkan hamba-hambanya tentang bahaya cinta dunia dalam banyak ayat.
Karena dunia bahkan dapat menggiring manusia meninggalkan jalan kebenaran (QS.
Ibrahim [14]: 3).
Mengalokasikan terlalu banyak waktu untuk kesenangan dunia akan mengurangi energi
untuk beribadah. Misalnya, ketika seseorang bekerja terlalu keras hingga lupa waktu
shalat. Niat hati mendapat promosi di kantor bukan berarti harus meninggalkan shalat
Zuhur, Ashar, Magrib, dan seterusnya.

2.

Pertama : Tauhid Rububiyah.

Artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal perbuatanNya. Seperti mencipta,
memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan, mendatangkan bahaya, memberi manfaat,
dan lain-lain yang merupakan perbuatan-perbuatan khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seorang muslim haruslah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memiliki sekutu
dalam RububiyahNya.

Kedua : Tauhid Uluhiyah

Artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam jenis-jenis peribadatan yang telah
disyariatkan. Seperti ; shalat, puasa, zakat, haji, do’a, nadzar, sembelihan, berharap, cemas,
takut, dan sebagainya yang tergolong jenis ibadah. Mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam hal-hal tersebut dinamakan Tauhid Uluhiyah ; dan tauhid jenis inilah yang dituntut
oleh Allah Subhanhu wa Ta’ala dari hamba-hambaNya. Karena tauhid jenis pertama, yaitu
Tauhid Rububiyah, setiap orang (termasuk jin) mengakuinya, sekalipun orang-orang musyrik

yang Allah Subhanahu wa Ta’ala utus Rasulullah kepada mereka. Mereka mayakini Tauhid
Rububiyah ini, sebagaiman tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketiga : Tauhid Asma was Sifat Yaitu menetapkan nama-nama dan sifat-saifat untuk Allah
Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diriNya maupun
yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; serta meniadakan
kekurangan-kekurangan dan aib-aib yang ditiadakan oleh Allah terhadap diriNya, dan apa
yang ditiadakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3.

1. Dia adalah aqidah ghaibiah (berkenaan dengan masalah ghaib).

Allah Ta’ala berfirman, “Alif Lam Mim.Inilah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya,
merupakan hidayah bagi orang-orang yang bertakwa.Yaitu orang-orang yang beriman
kepada yang ghaib.”(QS. Al-Baqarah: 1-3)

Hampir seluruh permasalahan aqidah islamiah yang wajib diimani oleh seorang hamba
adalah bersifat ghaib, seperti rukun iman yang enam beserta rinciannya yang telah kita
singgung di atas.

2. Dia adalah aqidah yang bersifat menyeluruh dan universal.

Hal itu karena Allah Ta’ala menyifatkan agama dan kitab-Nya dengan sifat sempurna, tibyan
(penjelas) terhadap segala sesuatu dan pemberi hidayah bagi seluruh makhluk.Maka ketiga
sifat ini melazimkan bahwa agama dan kitab-Nya itu telah menjelaskan dan mengatus segala
sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan para makhluk di dunia dan di akhirat.

3. Dia adalah aqidah yang bersifat tauqifiah (terbatas pada wahyu), tidak ada tempat untuk
pandapat dan ijtihad di dalamnya.

Hal itu karena aqidah yang benar haruslah terdapat keyakinan yang pasti di dalamnya,
karenanya rujukan dan asalnya juga harus sesuatu yang bisa dipastikan kebenarannya, dan
sifat seperti ini (dipastikan kebenarannya) tidak bisa ditemukan kecuali pada kitab Allah dan
sunnah Rasul-Nya -shallallahu alaihi wasallam- yang shahih.

Allah Ta’ala berfirman, “Kalau kelak datang kepada kalian hidayah dari-Ku, maka barangsiapa
yang mengikuti hidayah-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS.
Thaha: 23) Maka Allah menjadikan keselamatan dan kebahagiaan -dalam aqidah dan
selainnya- hanya pada apa yang Dia datangkan berupa Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan
barangsiapa yang mengikuti selain keduanya maka baginya kecelakaan yang nyata.

Karenanya semua perkara yang bersifat dugaan -seperti kias, akal, anggapan baik,
eksperimen- tidak bisa dijadikan rujukan dalam aqidah, apalagi kalau dia hanyalah khayalan
dan khurafat seperti mimpi-mimpi dan ucapan seseorang yang jahil.

Akal bukanlah sumber aqidah, bahkan dia adalah sesuatu yang dipakai untuk memahami dan
mentadabburi sumber aqidah sebenarnya -yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih-.
Karenanya akal yang sehat lagi bersih dari semua kotoran tidak akan mungkin bertentangan
dengan wahyu.

4. ma'rifatullah adalah upaya manusia untuk mengenal Allah. Ibnul qoyyim mengatakan bahwa
semakin tinggi ma'rifat kita kepada Alloh maka semakin tinggi kethaatan kepada Allah,
semakin menghambakan diri dan bersifat ihsan. Ma'rifatullah hanya bisa kita lalukan dengan
menggabungkan panca indra, akal dan hati.

5. 1. Iman kepada Allah

Pertama, ada iman kepada Allah SWT. Dalam ayat pertama ini, umat muslim diminta
untuk percaya dan mengimani bahwa satu-satunya Tuhan yang patut disembah hanya Allah
SWT. Umat muslim juga diminta percaya dan mengimani bahwa Allah yang telah
menciptakan seluruh alam semesta dan segala isinya.

"Berimanlah kamu kepada Allah dan malaikat-Nya dan kitab-kitab-Nya dan utusan-utusan-
Nya dan hari kiamat dan imanlah kamu pada kepastian Allah dalam baik dan buruknya,"
hadist Imam Nawawi dalam Arbain.

2. Iman kepada malaikat

Selanjutnya, umat muslim diminta untuk mengimani malaikat Allah. Malaikat sendiri
diciptakan Allah dari cahaya. Di mana, dari sekian banyaknya jumlah malaikat yang
diciptakan Allah, kita diminta untuk mengetahui 10 malaikat, yakni Jibril, Mikail, Israfil, Izrail,
Munkar, Nakir, Raqib, Atid, Malik, dan Ridwan. Hikmahnya, mengingat peran-peran para
malaikat di atas membuat kita waspada akan perbuatan baik dan buruk di dunia. Selain itu,
kita pun semakin mengetahui keagungan Allah SWT lewat salah satu ciptaannya yang mulia,
yakni para malaikat.

3. Iman kepada kitab-kitab Allah

Allah menurunkan kitab-kitab suci kepada Nabi dan Rasul untuk membimbing umat-
umatnya. Bagi muslim, kita diwajibkan untuk mengimani setiap ayat dalam Alquran. Lewat Alquran,
kita mengetahui dasar-dasar dalam berperilaku di dunia sebaik-baiknya sebagai seorang muslim.

4. Iman kepada Rasul

Selanjutnya, umat muslim wajib untuk mengimani rasul-rasul Allah. Rasul sendiri adalah
seorang utusan Allah yang diberi-Nya wahyu. Berbeda dengan nabi, wahyu yang diberi Allah
kepada rasul-Nya diperintahkan untuk disebarkan kepada umat. Oleh karenanya, tidak
semua nabi adalah rasul, tapi semua rasul sudah otomatis adalah seorang nabi .
5. Iman kepada hari akhir (kiamat)
Dalam Islam, semua muslim diwajibkan untuk mengimani bahwa hari akhir
benarlah ada. Pada hari itu, seluruh amal kebaikan dan keburukan akan dihisab dan
ditimbang dengan seadil-adilnya. Jika amalan baikmu lebih berat dari amalan
burukmu, maka hadiah surga akan menanti. Namun jika sebaliknya, maka ganjaran
nerakalah yang akan diberikan.
6. Iman Qada dan Qadar (Takdir)
Rukun Iman yang terakhir, Allah SWT memerintahkan umat muslim untuk mengimani
takdir baik (qada) dan takdir buruk (qadar). Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin Rahimahullah, qadar dalam bahasa diartikan sebagai takdir. Sedangkan,
qada adalah hukum atau ketetapan.

"Tiadalah sesuatu bencana yang menimpa bum i dan pada dirimu sekalian,
melainkan sudah tersurat dalam kitab (Lauh Mahfudh) dahulu sebelum kejadiannya,"
(Al-Hadid: 22).

Dengan mengimani qada dan qadar, manusia menjadi tidak sombong dan lupa diri
bahwa dunia dan segala isinya hanyalah titipan Allah yang sementara

Anda mungkin juga menyukai