Dari dua pengertian di atas terdapat beberapa hal penting yang harus
diperhatikan dalam memahami aqidah secara lebih tepat dan jelas. Hal-hal penting
tersebut adalah;
a. Setiap manusia memiliki fitrah untuk mengakui kebenaran dengan potensi
yang dimilikinya. Indra dan akal digunakan untuk mencari dan menguji
kebenaran, sedangkan wahyu menjadi pedoman untuk menentukan mana yang
baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah, hendaknya manusia
menempatkan fungsi masing-masing alat tersebut pada posisi yang
sebenarnya. Sejalan dengan hal itu Allah berfirman dalam QS an-Nahl ayat
78:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati agar kamu bersyukur”.
b. Keyakinan itu harus bulat dan penuh serta tidak berbaur dengan kesamaran
dan keraguan. Oleh karena itu, untuk sampai kepada keyakinan, manusia
harus memiliki ilmu sehingga ia dapat menerima kebenaran dengan sepenuh
hati setelah mengetahui dalil-dalilnya.sebagaimana Allah Swt telah berfirman
dalam QS al-Haj ayat 54:
“Di antara manusia ada yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah
dan hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang
yang beriman”.
b. Memelihara Jiwa
Menurut hukum Islam , jiwa harus dijaga dan dilindungi. Untuk itu Islam
melarang pembunuhan dan mengancam pelakunya dengan hukuman yang
berat yakni hukum qisas. Sehingga, diharapkan agar sebelum orang mau
melakukan pembunuhan dia berpikir seribu kali karena apabila dia membunuh
maka dia akan dikenai hukuman qisas yakni dihukum mati.
c. Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia. Setidaknya ada dua hal
yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Pertama, manusia dijadikan
Allah sebagai makhluk yang memiliki bentuk yang paling baik. Kedua,
manusia dianugerahi akal. Akal sangat penting peranannya dalam kehidupan
manusia di dunia ini. Dengan akal, manusia dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, karena dengan iptek itulah manusia dapat
mengelola dan memakmurkan dunia sebaik-baiknya. Oleh karena itulah, akal
menjadi penting untuk dilindungi. Diwajibkannya belajar dan larangan
mengkonsumsi khamr (minuman keras) merupakan contoh hukum Islam yang
bertujuan untuk memelihara akal.
d. Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan, Islam mengatur pernikahan dan mengharamkan
zina. Islam menetapkan siapa saja yang boleh atau tidak boleh dinikahi. Hal
itu dilakukan sebagai upaya untuk pemurnian dan pemeliharaan keturunan.
b. Fungsi amar ma`ruf nahi munkar. Hukum Islam berfunsi sebagai kontrol atau
pengendali sosial. Fungsi ini akan mengantarkan kepada tujuan hukum islam
(maqashid syariah) yaitu mendatangkan (menciptakan) kemashlahatan dan
menghindarkan kemudharatan (jalbu al-mashalaih wa daf'u al-mafasid).
Kemashlahatan dan kemudaratan ini mencakup kemashlahatan dan
kemudaratan di dunia dan akhirat.
c. Fungsi zawajir. Adanya sanksi hukum, seperti qisas-diyat, hudud dan ta’zir,
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi
warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang
membahayakan.
c. Syari`at bersiat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari
fiqh. Fiqh bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada apa yang
biasanya disebut perbuatan hukum.
d. Syari’at bersifat global (ijmali), hanya mengatur hal-hal yang umum dan
mendasar, sedangkan fikih bersifat perincian (tafsili), mengatur hal-hal yang
bersifat perincian.
e. Syari`at adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku
abadi. Fiqh adalah karya manusia yang dapat berubah atau diubah dari masa
ke masa.
f. Syari’at hanya satu, sedang fiqih mungkin lebih dari satu seperti terlihat pada
aliran-aliran hukum yang disebut mazahib atau mazhab-mazhab itu.
h. Contoh syari’at adalah kewajiban shalat, puasa, zakat dan haramnya riba.
Sedangkan contoh fikih seperti tata cara shalat, tata cara puasa, tata cara zakat
dan definisi riba.
Demikian perbedaan syari`at dan fiqh , syari`at bersifat qath`i sedangkan fiqh
bersifat instrumental yang tidak abadi, karena dapat berubah atau diubah dari masa ke
masa sesuai dengan perkembangan zaman.
4. Konsep Ibadah dan Mu’amalah
Berkaitan dengan syariah terdapat istilah ibadah. Ibadah artinya
menghambakan diri kepada Allah Swt. Ibadah merupakan tugas hidup manusia di
dunia, karena itu manusia yang beribadah kepada Allah Swt disebut ‘abdullah atau
hamba Allah. Hidup manusia tidak memiliki alternatif lain selain taat, patuh dan
berserah diri kepada Allah Swt. Karena itu yang menjadi inti dari ibadah adalah
ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri secara total kepada Allah Swt. Tujuan
ibadah adalah membersihkan dan mensucikan jiwa dengan mengenal dan
mendekatkan diri serta beribadat kepada-Nya.
Ibadah terdiri dari ibadah khusus atau ibadah mahdah dan ibadah umum atau
ibadah ghairu mahdah. Ibadah khusus adalah bentuk ibadah langsung kepada Allah
Swt yang tata cara pelaksanaannya telah diatur dan ditetapkan oleh Allah Swt atau
dicontohkan oleh Rasulullah. Karena itu pelaksanaan ibadah ini sangat ketat, yaitu
harus sesuai dengan contoh Rasulullah. Penambahan dan pengurangan dari contoh
yang telah ditentukan disebut bid’ah yang menjadikan ibadah itu batal dan tidak sah.
Karena itu, para ahli menetapkan satu kaidah dalam ibadah khusus yaitu “semua
dilarang, kecuali yang diperintahkan Allah atau dicontohkan Rasulullah”.
Macam-macam ibadah khusus adalah salat termasuk di dalamnya taharah
sebagai syaratnya, puasa, zakat dan haji. Sedangkan ibadah umum atau ibadah ghairu
mahdah adalah bentuk hubungan manusia dengan manusia atau manusia dengan alam
yang memiliki makna ibadah. Syariah Islam tidak menentukan bentuk dan macam
ibadah ini, karena itu apa saja kegiatan seorang muslim dapat bernilai ibadah asalkan
kegiatan tersebut bukan perbuatan yang dilarang Allah Swt dan Rasul-Nya serta
diniatkan karena Allah Swt. Untuk memudahkan pemahaman, para ulama
menetapkan kaidah ibadah umum yaitu “semua boleh dikerjakan, kecuali yang
dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya”.
C. Konsep Akhlak
1. Makna Akhlak
Akhlak secara etimologis berasal dari bahasa Arab yaitu akhlaq bentuk jamak
kata khuluq atau al-khulq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Istilah akhlak berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan
kata khaliq (pencipta), makhluq (yang dicipta), dan khalq (penciptaan). Kesamaan
akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam kata akhlak tercakup pengertian
terciptanya keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluq
(manusia). Atau dengan kata lain tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan
lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki, manakala tindakan atau
perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak khaliq (Tuhan Sang Pencipta). Selain
itu Allah juga memiliki 99 nama yang baik yang disebut asma’ulhusna. Nama-nama
tersebut menjadi contoh bagi manusia untuk bersifat seperti sifat Allah seperti
mengasihi lagi menyayangi, memaafkan, memberi kebaikan, merawat lagi menjaga
dan lainnya.
Para ulama ilmu akhlak merumuskan definisi akhlak dengan berbagai
ungkapan di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Imam Al-Ghazali : Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan yang mudah dan tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan (Ilyas, 2007:1).
b. Ibrahim Anis : Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang
dengannya muncul macam-macam perbuatan baik atau buruk, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan(Ilyas, 20017:2).
c. Ibn Miskawaih (1030 M) menyatakan bahwa akhlak ialah kondisi jiwa yang
senantiasa mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak
menghajatkan pemikiran (Khoiri, 2005:16).
Berdasarkan pengertian di atas terdapat beberapa ciri dalam perbuatan akhlak
yaitu sebagai berikut :
a. Perbuatan yang tertanam kuat dalam jiwa yang menjadi kepribadian seseorang
b. Perbuatan yang dilakukan secara mudah, tanpa paksaan dan tanpa
memerlukan pemikiran serta pertimbangan
c. Perbuatan itu merupakan kehendak diri yang dibiasakan terus menerus tanpa
paksaan
d. Perbuatan itu berdasarkan petunjuk Alqur’an dan Alhadits
Keempat ciri-ciri di atas masih dapat dipadatkan pada 2 ciri utama akhlak
yaitu adanya pembiasaan dan ketauladanan. Kedua ciri akhlak ini juga menjadi syarat
pembentukan dan pembinaan, misalnya anak yang berakhlak buruk bisa berobah
menjadi berakhlak mulia jika menerima pembiasaan dan keteladanan. Di lingkungan
pondok pesantren selalu terjadi perubahan akhlak ini karena adanya dua sebab yaitu
adanya kebaikan-kebaikan yang dibiasakan serta adanya contoh tauladan dari ustadz-
ustadzah serta seniornya selama 24 jam dan bertahun-tahun. Oleh karenanya banyak
orang tua santri yang terkejut serta bersyukur mendapati anaknya telah berubah
menjadi anak yang berakhlak mulia. Hal ini juga bisa terjadi bagi kelompok manusia
dewasa seperti mahasiswa. Jika mahasiswa tinggal di asrama mahasiswa, atau di
lingkungan kos yang baik, dimana disana terdapat dua ciri akhlak tersebut tentu akan
merubah akhlak mereka. Karena kondisi dan kehidupan asrama telah memutus
sementara pengaruh negatif lingkungan terutama pengaruh pemikiran dan
pemahaman yang sesat seperti radikalisme dan teroris yang sesat dan menyesatkan.
Akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur
hubungan antara sesama manusia, tetapi juga mengatur hubungan antara manusia
dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta. Selain itu akhlak merupakan yang
terpenting dalam hidup dan kehidupan manusia karena beberapa hal : (1) Akhlak
berkaitan dengan mu’amalah antara manusia secara individu juga kelompok, (2)
Akhlak mengatur hubungan manusia dengan segala yang terdapat dalam wujud dan
kehidupan, (3). Akhlak mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya (Asmaran,
1999:9). Terhadap tiga relasi tersebut akhlak juga terbagi dua yakni akhlak yang baik
dan akhlak yang buruk. Dalam hal ini tentu yang diharapkan manusia selalu
berakhlak yang baik dalam berinteraksi kepada ketiganya.
Secara leksikal kata akhlak juga mempunyai hubungan yang erat (bersinonim)
dengan etika dan moral. Menurut istilah, etika ialah studi tingkah laku manusia tidak
hanya menentukan kebenaran sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat
atau kebaikan di seluruh tingkah laku manusia. Ahmad Amin menyebutkan etika
merupakan ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan apa yang seharusnya dituju
manusia di dalam perbuatan mereka menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang
seharusnya diperbuat (Zubair, 1990:10). Konsep baik dan buruk serta rumusan tujuan
dimaksud pada etika lahir dari pemikiran kritis dan filosofis dari para ahli yang
terpilih dan terpercaya. Adapun term moral secara etimologis berasal dari bahasa
Latin mores, jamak kata mos yang berarti adat kebiasaan (Poerwadarminta,
1995:654). Secara terminologis, moral diartikan dengan ajaran tentang perbuatan baik
buruk yaitu suatu aturan atau tata cara hidup yang bersifat normatif yang dianut oleh
masyarakat, yang menjadi acuan bagi pengikutnya. Moral selalu mengacu kepada
baik dan buruknya manusia berdasarkan kebiasaan masyarakatnya.
Berdasarkan pengertian dari istilah moral, etika dan akhlak di atas kiranya
dapat dipahami antara ketiganya terdapat perbedaan, di samping juga terdapat
persamaan. Perbedaannya, etika menentukan baik atau buruk perbuatan manusia
dengan tolok ukur akal pikiran, sedangkan moral tolak ukurnya adalah norma-norma
yang ada dalam masyarakat, kemudian akhlak tolok ukurnya adalah ajaran agama
(Al-Qur'an dan As-Sunnah). Berdasarkan perbedaan ini maka konsep etika bersifat
relatif, yaitu akan bisa berubah pada waktu dan situasi kondisi yang membutuhkan
perubahan. Perubahan tersebut memerlukan upaya berfikir ulang sehingga
memungkinkan perubahan jawaban hukum dalam perspektif etika. Kemudian konsep
moral (kebiasaan) bersifat lokal atinya kebaikannya hanya bisa dilakukan dan
diterima oleh masyarakat dan wilayah tertentu saja.
Kebaikan moral tidak bisa dilaksanakan di tempat atau wilayah lainnya yang
tidak menerimanya. Misalnya kebiasaan suku jawa ( Jawa Tengah) tidak relevan
dilaksanakan di lingkungan suku Minang (Sumatera Barat) dan lain sebagainya.
Namun, konsep akhlak yang bersumber dari Alqur’an dan Alhadits merupakan
konsep kebaikan dan kebenaran mutlak yang relevan pada semua suku dan wilayah.
Untuk penerapan konsep akhlak tentu juga dengan cara dan usaha berakhlak pula.
Misalnya jika kita memasuki atau berada pada wilayah ( Suku tertentu) yang
memiliki kebiasaan menyimpang, maka kita harus melakukan pendekatan yang baik,
tidak buru-buru menyalahkan dan istiqomah dalam menunjukkan kebaikan dan
kebenaran di depan mereka. Untuk berinteraksi terhadap mereka dengan misi
melakukan perbaikan maka dakwah bil haal (keteladanan) bisa lebih tajam dan
berkesan daripada hanya nasihat lisan apalagi hanya menyalahkan.
Selanjutnya aktualisasi akhlak dalam kehidupan merupakan pengamalan atau
penerapan akhlak tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Aktualisasi akhlak
tersebut diuraikan secara rinci dalam ruang lingkupnya. Kahar Masyhur menyebutkan
bahwa ruang lingkup akhlak meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap
terhadap penciptanya, terhadap sesama manusia seperti terhadap dirinya sendiri,
terhadap keluarganya dan masyarakatnya (Hidayat, 2013:23). Oleh karena itu konsep
akhlak mengatur pola kehidupan manusia meliputi :
a. Hubungan antara manusia dengan Allah yaitu akhlak terhadapNya
b. Hubungan manusia dengan sesamanya meliputi seseorang terhadap
keluarganya dan masyarakatnya.
c. Hubungan manusia dengan lingkungannya yaitu akhlak terhadap binatang,
tumbuh tumbuhan dan alam sekitarnya.
d. Akhlak terhadap diri sendiri
Sebagai mahasiswa vokasi calon pekerja atau pengusaha sebaiknya
mengaktualkan konsep akhlak di atas, agar pekerjaan atau usaha yang dilakukan juga
bernilai ibadah yang diridhoi Allah dan mengantarkan masuk Syurga-Nya. Beberapa
akhlak yang perlu dilakukan seperti :
a. Ithqon yaitu profesional atau ahli di bidang pekerjaan atau usaha. Keahlian
pada pekerja tentu akan menghasilkan capaian yang memuaskan banyak orang
terutama pimpinan dan masyarakat. Demikian juga jika memiliki usaha
dagangan atau jasa jika dilakukan dengan keahlian yang tinggi tentu akan
memuaskan konsumen sehingga usaha akan sukses.
b. Ikhlas yaitu bekerja atau berusaha mengharap balasan dan ridho Allah Swt.
Dalam hal ini ikhlas dimaknai sebagai niat menolong masyarakat terutama
yang membutuhkan jasa dan usaha yang kita lakukan. Jika masyarakat senang
karena tertolong maka Allah akan juga menyenangi kita sehingga biasanya
akan mendatangkan rezeki dalam makna yang luas (materi dan non materi).
c. Jujur yaitu sebagai modal utama dalam bekerja atau berusaha. Kejujuran akan
mendatangkan kepercayaan dari pimpinan, masyarakat atau konsumen. Jika
sudah mendapat kepercayaan maka biasanya akan mendapatkan promosi
jabatan, tambahan permodalan (barang atau dana segar), peningkatan
penjualan bahkan jaminan keamanan dan kesinambungan.
d. Ramah (senyum sapa) yaitu sikap melayani secara ikhlas tanpa membedakan
siapapun dan apapun status sosial konsumen atau rekan kerja. Sikap ini
biasanya akan mencairkan suasana hati sehingga pekerjaan dapat dilakukan
dengan kemudahan. Demikian juga dengan usaha jika dilakukan dengan
ramah melayani tentu menarik minat konsumen sehingga terasa puas
dihormati tanpa memandang kemampuan daya beli.
Aceh, Abu Bakar. 1979. Pengantar Ilmu Tarekat, Semarang: Penerbit Ramadhani.
Asmaran AS, 1999. Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Penerbit Rajawali Pers.
Asy’arie Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Alqur’an,
Yogyakarta: Penerbit LSFI.
Hidayat Nur, 2013. Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Ilyas Yunahar. 2007. Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Penerbit LPPI UMY.
Khairil Alwan, 2005. Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Penerbit Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga.
Nata Abuddin. 2012. Akhlak Tasawuf, Jakarta: Penerbit Raja Grafindo.
Poerwadarminta WJS. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Balai
Pustaka,
Rimba, Abdullah Ujong. 1999. Ilmu Tarikat dan Hakikat, Banda Aceh: Penerbit
MPU Daerah Istimewa Aceh.
Zahri Mustafa. 1995. Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya: Penerbit Bina Ilmu.
Zubair, Ahmad Charris. 1990. Kuliah Etika, Jakarta: Penerbit Rajawali Pers.