Anda di halaman 1dari 24

BAB III

POKOK AJARAN ISLAM


BAB III
POKOK AJARAN ISLAM

A. Konsep Aqidah Islam


1. Pengertian Aqidah
Aqidah berasal dari kata ‘aqada—ya’qidu—‘aqdan yang berarti simpul,
ikatan dan perjanjian yang kokoh dan kuat. Aqidatan (aqidah) merupakan kata
bentukan yang berarti kepercayaan dan keyakinan. Kaitan antara aqdan dan aqidatan
adalah bahwa keyakinan itu tersimpul dan tertambat dengan kokoh di dalam hati,
bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
Secara terminologis aqidah berarti:
a. Menurut Hasan al-Banna aqidah adalah beberapa perkara yang wajib
diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentramanjiwa dan
menjadi keyakinan yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragua-
raguan.

b. Menurut Abu Bakar al-Jazairi aqidah adalah sejumlah kebenaran yang


dapat diterima secara mudah oleh manusia berdasarkan akal, wahyu san
fitrah. Kebenaran itu dipatrikan dalam hati dan ditolak segala sesuatu
yang bertentangan dengan kebenaran itu.

Dari dua pengertian di atas terdapat beberapa hal penting yang harus
diperhatikan dalam memahami aqidah secara lebih tepat dan jelas. Hal-hal penting
tersebut adalah;
a. Setiap manusia memiliki fitrah untuk mengakui kebenaran dengan potensi
yang dimilikinya. Indra dan akal digunakan untuk mencari dan menguji
kebenaran, sedangkan wahyu menjadi pedoman untuk menentukan mana yang
baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah, hendaknya manusia
menempatkan fungsi masing-masing alat tersebut pada posisi yang
sebenarnya. Sejalan dengan hal itu Allah berfirman dalam QS an-Nahl ayat
78:

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati agar kamu bersyukur”.
b. Keyakinan itu harus bulat dan penuh serta tidak berbaur dengan kesamaran
dan keraguan. Oleh karena itu, untuk sampai kepada keyakinan, manusia
harus memiliki ilmu sehingga ia dapat menerima kebenaran dengan sepenuh
hati setelah mengetahui dalil-dalilnya.sebagaimana Allah Swt telah berfirman
dalam QS al-Haj ayat 54:

“Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu menyakini bahwasanya


al-Qur’an itulah yang hak dari Tuhanmu, lalu mereka beriman dan
tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi
Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.”

c. Aqidah harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang


meyakininya. Untuk itu diperlukan adanya keselarasan antara keyakinan
lahiriah dan batiniah. Pertentangan antara kedua hal tersebut akan melahirkan
kemunafikan. Sikap munafik ini akan mendatangkan kegelisahan. Allah
berfirman dalam QS al-Baqarah ayat 8:

“Di antara manusia ada yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah
dan hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang
yang beriman”.

d. Apabila seseorang telah meyakini suatu kebenaran, maka konsekuensinya ia


harus sanggup membuang jauh-jauh segala hal yang bertentangan dengan
kebenaran yang diyakininya itu.
Aqidah di dalam Islam disebut dengan iman. Ia bukan hanya berarti percaya,
melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berperilaku. Karena itu
lapangan iman sangat luas bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang
muslim yang disebut amal saleh. Oleh karena itu iman seringkali didefinisikan
dengan “mengucapkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan melaksanakan
dengan seluruh anggota badan”.
Aqidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam Islam. Ia merupakan
keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal. Seseorang
dipandang sebagi muslim atau bukan bergantung kepada aqidanya. Apabila ia
beraqidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai amal saleh,
apabila sebaliknya, segala amalnya tidak memiliki arti apa-apa, meskipun itu
perbuatan baik.
Aqidah Islam mengikat seorang muslim sehingga ia terikat dengan segala
aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu, menjadi seorang muslim
berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dlam agama Islam dan
seluruh hidupnya didasarkan kepada ajaran Islam. Hal ini difirmankan oleh Allah Swt
dalam QS al-Baqarah ayat 208:

“Hai orang yang beriman masuklah ke dalam Islam keseluruhannya dan


janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu
musuh yang nyata bagimu”.

2. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah


Menurut Hasan al-Banna ruang lingkup pembahasan aqidah meliputi:
a. Ilahiah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
ilah (Tuhan) seperti wujud Allah Swt, nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt,
perbuatan-perbuatan (af’al) Allah Swt dan lain-lain.
b. Nubuwwah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan nabi dan rasul, termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah
Swt, mu’jizat dan sebagainya.
c. Ruhaniah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan alam metafisik, seperti malaikat, jin, iblis, setan dan ruh.
d. Sam’iyah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui
melalui sami’, yakni dalil naqli berupa al-Qur’an dan as-Sunnah, seperti alam
barzah, akhirat, azab kubur, surga, neraka dan sebagainya.
Sistematika di atas apabila diturunkan akan menjadi arkanul iman (rukun
iman), yaitu: iman kepada Allah Swt, iman kepada malaikat (termasuk pembahasan
tentang makhluk rohani seperti jin, iblis, dan setan), iman kepada hari akhir serta
iman kepada qada dan qadar Allah Swt. Berikut penjelasan singkat tentang rukun
Iman:
a. Iman kepada Allah
Tauhid merupakan titik pusat keimanan, karena itu setiap aktifitas seorang
muslim senantiasa dipertautkan secara vertikal kepada Allah Swt. Pekerjaan seorang
muslim yang dilandasi keimanan dan dimulai dengan niat karena Allah Swt akan
mempunyai nilai ibadah di sisi Allah Swt. Sebaliknya pekerjaan yang tidak diniatkan
karena Allah Swt tidak mempunyai nilai apa-apa.
Tauhid berasal dari kata wahhada—yuwahhidu—tuwhidan yang artinya
adalah pengakuan akan keesaan Allah Swt. Tauhid adalah poros yang di
sekelilingnya semua ajaran Islam bergerak dan berputar. Allah Swt berada di luar
semua sifat berbilang dan keterkaitan, terlepas dari jenis kelamin dan seluruh sifat
yang membedakan antara makhluk yang satu dengan yang lainnya di dunia ini.
Namun, Allah Swt adalah asal dari semua eksistensi, seluruh alam dan semua sifat
manusia sekaligus merupakan tujuan akhir dan tempat ke mana segala sesuatu
kembali.
Dalam memenuhi pandangan ini, kaum muslim bersikap sangat hati-hati
untuk tidak menyekutukan, dengan cara apa pun yang mungkin, setiap citra atau
benda dengan kehadiran Ilahi atau dengan kesadaran mereka akan Allah Swt. Bahkan
dalam pembicaraan dan tulisan tentang Tuhan kaum muslim tidak pernah
menggunakan bahasa lain kecuali bahasa, istilah dan ungkapan al-Qur’an yang
menurut kaum muslim telah digunakan Tuhan untuk Diri-Nya sendiri dalam al-
Qur’an.

b. Iman kepada Malaikat


Malaikat adalah makhluk gaib ciptaan Allah Swt, diciptakan dari cahaya dan
tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia. Akan tetapi dengan izin Allah Swt,
malaikat dapat menjelmakan dirinya seperti manusia, seperti malaikat jibril menjadi
manusia ketika muncul di hadapan Maryam, ibu Isa al-Masih (QS Maryam (19):16-
17). Malaikat diciptakan oleh Allah Swt untuk melaksanakan tugas-tugas khusus
yang telah Allah Swt tetapkan yang ada hubungannnya dengan wahyu, rasul,
manusia, alam semesta dan akhirat. Di samping itu ada malaikat yang diberi tugas
untuk melakukan sujud kepada Allah Swt secara terus menerus.
Di samping malaikat, Allah Swt juga menciptakan makhluk gaib yang lain,
yaitu jin dan setan. Menurut al-Qur’an, bagi jin itu berlaku pula ketentuan-ketentuan
sebagaimana yang diberikan kepada manusia. Mereka ada yang beriman dan ada pula
yang kafir. Seperti firman Allah Swt dalam QS al-Jin ayat 14:
َ ‫طونَ ۖ فَ َم ْن أ َ ْسلَ َم فَأُو َٰلَئِ َك تَ َح َّر ْوا َر‬
]٤١:٢٧[ ‫شدًا‬ ُ ‫َوأَنَّا ِمنَّا ْال ُم ْس ِل ُمونَ َو ِمنَّا ْالقَا ِس‬
“Dan sesungguhnya di antara kami (jin) ada yang taat dan ada pula yang
menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang taat, maka mereka itu
benar-benar telah memilih jalan yang lurus”.
Sedangkan setan adalah makhluk Allah Swt yang durhaka dan selalu berusaha
untuk menjerumuskan manusia kepada kesesatan dan kejahatan. Allah Swt berfirman
dalam QS Shad ayat 82:
]٢٨:٨١[ َ‫قَا َل فَبِ ِع َّزتِ َك ََل ُ ْغ ِو َينَّ ُه ْم أ َ ْج َمعِين‬
“Iblis menjawab: ‘Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan
mereka semuanya’.”
Baik jin maupun setan tidak mampu berbuat sesuatu apapun yang
mencelakakan manusia tanpa seizin Allah Swt serta kemauan manusia itu sendiri
untuk mengikuti godaan dan ajakannya.

c. Iman kepada Kitab Suci


Allah Swt menurunkan wahyu-Nya kepada manusia melalui Rasul-Nya yang
tertulis dalam kitab-kitab-Nya. Kitab-kitab Allah Swt tersebut berisi informasi –
informasi, aturan-aturan dan hukum-hukum dari Allah Swt bagi manusia. Kitab-kitab
Allah swt tersebut menjadi pedoaman hidup manusia di dunia agar hidup manusia
teratur, tenteram dan bahagia.
Kitab-kitab Allah Swt yang diturunkan kepada manusia telah disesuaikan
dengan tingkat perkembangan budaya manusia. Kitab-kitab terdahulu seperti Zabur,
Taurat dan Injil diturunkan oleh Allah Swt untuk kelompok masyarakat atau bangsa
tertentu, sesuai dengan tingkat perkembangan budaya manusia pada saat itu. Aturan-
aturan dalam kitab-kitab Allah Swt itu dikemukakan dalam ungkapan yang berbeda-
beda sesuai dengan tingkat kecerdasan mereka.

d. Iman kepada Rasul Allah


Allah Swt menurunkan wahyu tidak kepada semua orang, tetapi dipilih salah
seorang di antaranya sebagai utusan-Nya. Rasul adalah manusia yang dipilih Allah
Swt dan diberi kuasa untuk menerangkan segala sesuatu yang datang dari Allah Swt.
Bukti kerasulannya adalah mu’jizat dan kitab Allah Swt yang tidak tertandingi
mutunya. Melalui rasul manusia dapat mengetahui segala sesuatu tentang Allah Swt,
seolah-olah manusia berhubungan langsung dengan Allah Swt.
Iman kepada rasul merupakan kebutuhan manusia, karena dengan adanya
rasul, manusia dapat melihat contoh perilaku yang sesuai dengan kehendak Allah
Swt. Pada saat Rasulullah tidak ada lagi, perilaku tersebut dapat diketahui melalui
hadits-haditsnya.
Beriman kepada rasul merupakan prasyarat adanya keimanan terhadap
kebenaran ajaran yang dibawanya. Oleh karena itu, antara iman kepada Allah Swt
dan iman kepada rasul tidak bisa dipisahkan sehingga dalam ajaran Islam
syahadatain (dua syahadat, la ilaha illallah muhammad rasulullah) menjadi pintu
masuk dan syarat seorang muslim.

e. Iman kepada Hari Kiamat


Semua makhluk hidup mengalami kematian. Manusia meninggal dalam
berbagai tingkatan usia. Hewan dan tumbuhan secara berangsur-angsur mengalami
kepunahan. Mineral-mineral mengalami penyusutan yang pada suatu saat akan habis.
Bahkan bumi, bulan, matahari dan benda langit lainnya mengalami perubahan sesuai
dengan sifat-sifat yang dimilikinya.
Proses perubahan itu kalau diamati secara mendalam akan mengantarkan
kepada sebuah kesimpulan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini, kecuali Zat
yang Mahakuasa, akan mengalami kehancuran. Kesimpulan seperti ini Allah Swt
jelaskan dalam QS al-Qasas ayat 88:

“Segala sesuatu akan binasa, kecuali Zat-Nya. Bagi-Nya hukum dan


kepada-Nya kamu semua akan dikembalikan”.
Orang-orang yang betul-betul beriman kepada hari kiamat dengan pahala
surga dan siksa nerakanya, pasti akan berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan dan
sebaliknya, akan berpikir seribu kali sebelum ia berbuat maksiat. Maka iman kepada
hari kiamat akan memberikan dampak positif kepada tata kehidupan manusia.

f. Iman kepada Qada dan Qadar


Semua makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah Swt. Mereka tidak
dapat melampaui batas ketetapan itu dan Allah Swt menuntun mereka ke arah yang
seharusnya mereka tuju. Ukuran-ukuran atau ketetapan-ketetapan itulah yang disebut
sebagai sunnatullah.
Salah satu sunnatullah itu adalah otonomi manusia yang disebut halatul
ikhtiyar, yaitu otonomi untuk memilih antara yang baik dengan yang buruk, untuk
menentukan sikap apakah dia mau bekerja atau tidak, menggunakan akalnya atau
tidak; dengan segala konsekuensinya.
Misalnya, Allah Swt menetapkan suatu malapetaka berdasarkan hukum-
hukumnya dan dari hukum-hukumnya itu manusia dapat memilih untuk menghindari.
Apabila ia tidak menghindar, maka akibat yang menimpanya itu adalah takdir dan
apabila ia menghindar dan luput dari malapetaka itu, maka itu pun juga dikatakan
sebagai takdir. Manusia dianugerahi oleh Allah Swt kemampuan untuk memilih.
Kemampuan untuk memilih ini merupakan takdir (sunnatullah) yang dianugerahkan
Allah Swt kepada manusia.
Beriman kepada takdir akan melahirkan sikap optimisme, tidak mudah
kecewa atau putus asa sebab yang menimpa atau yang terjadi setelah segala usaha
dilakukan itu merupakan takdir Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt akan selalu
memberikan yang terbaik sesuai dengan sifat-Nya yang Maha Pengasih dan
Penyanyang. Kegagalan yang dialami manusia merupakan takdir Allah Swt, tetapi
yang harus diingat adalah bahwa itu bukan takdir yang berharga mati. Manusia masih
diberi kesempatan dan pilihan untuk mencoba kembali hingga ia mendapatkan takdir
yang lain, yakni keberhasilan dan kesuksesan.

B. Konsep Syariah Islam


1. Makna Syariah
Makna asal syari`at adalah jalan ke sumber (mata) air. Perkataan syari`at
(syari`ah) dalam bahasa Arab itu berasal dari kata syari`, secara harfiah berarti jalan
yang harus dilalui oleh setiap muslim. Menurut ajaran Islam, syari`at yang ditetapkan
Allah menjadi dasar kehidupan setiap muslim, atau sebagai jalan hidup, ia merupakan
the way of life umat Islam. Karena syari`at merupakan peraturan-peraturan lahir yang
bersumber dari wahyu dan kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari wahyu itu
mengenai tingkah laku manusia. Dilihat dari segi ilmu hukum, syari`at adalah norma
hukum dasar yang diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam, baik
dalam berhubungan dengan Allah maupun dalam berhubungan dengan sesama
manusia dan benda dalam masyarakat. Norma hukum dasar ini dijelaskan dan atau
dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya, karena itu, syari`at
terdapat dalam Al-Qur`an dan kitab-kitab hadits yang kini telah dikodifikasikan.
Ruang lingkup syariah, sebagai aspek hukum ini, meliputi aturan-aturan
tentang:
a. Hubungan antara manusia dengan Allah Swt. Ini berkaitan dengan kedudukan
manusia sebagai individu hamba Allah Swt yang harus tunduk, taat dan patuh
kepada Allah Swt. Ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada Allah Swt ini
dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya telah diatur
sedemikian rupa oleh syariah Islam, yang sering disebut dengan ibadah
mahdah. Esensi ibadah adalah penghambaan diri secara total kepada Allah
Swt sebagai pengakuan akan kelemahan dan keterbatasan manusia di hadapan
kemahakuasaan Allah Swt. Ketaatan kepada aturan ini akan mengantarkan
seseorang ke jenjang kesalehan individu yang mencerminkan sosok pribadi
muslim yang paripurna.
b. Hubungan antara sesama manusia. Aturan tentang hal ini mencerminkan
status manusia sebagai makhluk sosial. Aturan ini sering disebut dengan
muamalah yang akan mewujudkan kesalehan sosial dalam diri seorang
muslim. Kesalehan sosial merupakan bentuk hubungan yang harmonis antara
individu dengan lingkungan sosialnya yang pada akhirnya dapat melahirkan
masyarakat yang marhamah atau masyarakat yang saling memberikan
perhatian dan kepedulian antara anggota masyarakat dengan anggota
masyarakat lainnya yang dilandasi oleh rasa kasih sayang.
c. Hubungan antara manusia dengan alam semesta. Aturan ini hendak
mewujudkan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam semesta
dan mendorong untuk saling memberi manfaat sehingga terwujud lingkungan
alam yang makmur dan lestari.
Syariah Islam diturunkan Allah Swt untuk seluruh umat manusia di semua
tempat dan zaman sampai kehidupan alam ini berakhir kelak pada hari kiamat.
Syariah Islam memiliki karakteristik yang khas, karena itu ia bersifat universal dan
abadi. Syariah berasal dari Allah Swt sehingga ia bersifat suci dan kebenarannya
bersifat absolut, mutlak. Karakteristik syariah yang seperti itu karena beberapa hal:
a. Syariah Islam itu sesuai dengan kemampuan manusia dan mudah
dilaksanakan. Sebagaimana diisyaratkan Allah Swt dalam QS al-Baqarah ayat
286:

“Allah tidak memberati diri kecuali sekedar kemampuannya”.


b. Bagian syariah yang berupa aqidah dan ibadah diterangkan dengan rinci dan
jelas sehingga tidak perlu penambahan atau perubahan. Sedangkan bagian
yang terpengaruh dengan perubahan situasi dan kondisi seperti yang
menyangkut budaya, politik dan ekonomi diterangkan secara global sehingga
memungkinkan untuk terjadi perkembangan.
c. Syariah Islam cocok dengan fitrah manusia dan sesuai dengan akal, dapat
mengikuti perkembangan serta layak untuk segala tempat dan zaman.

2. Maksud diturunkannya Syariat Islam


Adapun tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan
pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka; mengarahkan mereka
kepada kebenaran untuk mencapai kebahagian manusia di dunia dan di akhirat kelak,
dengan jalan mengambil segala yang manfaat dan mencegah atau menolak yang
madlarat yakni yang tidak berguna bagi kehidupan manusia.
Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam,yakni memelihara
(1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta yang disebut ” maqashid al
khamsah”. Jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh hukum Islam ditetapkan oleh
Allah adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sendiri, baik keperluan
hidup yang bersifat primer,sekunder maupun tertier (Juhaya S.Praja 1988; 196) .
Oleh karena itu apabila seseorang muslim mengikuti ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan Allah, maka ia akan selamat baik dalam hidupnya di dunia maupun di
akhirat kelak.
a. Memelihara Kemaslahatan Agama
Beragama merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi oleh manusia
karena agamalah yang dapat menyentuh nurani manusia. Agama harus
dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang
hendak merusak akidah, ibadah dan akhlak agama dan pemeluknya. Perintah
untuk mendirikan shalat adalah contoh kewajiban dalam hukum Islam yang
bertujuan untuk memelihara agama. Selain itu, agama Islam juga memberi
perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk menyakini dan
melaksanakan ibadah menurut agama yang dianutnya.

b. Memelihara Jiwa
Menurut hukum Islam , jiwa harus dijaga dan dilindungi. Untuk itu Islam
melarang pembunuhan dan mengancam pelakunya dengan hukuman yang
berat yakni hukum qisas. Sehingga, diharapkan agar sebelum orang mau
melakukan pembunuhan dia berpikir seribu kali karena apabila dia membunuh
maka dia akan dikenai hukuman qisas yakni dihukum mati.

c. Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia. Setidaknya ada dua hal
yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Pertama, manusia dijadikan
Allah sebagai makhluk yang memiliki bentuk yang paling baik. Kedua,
manusia dianugerahi akal. Akal sangat penting peranannya dalam kehidupan
manusia di dunia ini. Dengan akal, manusia dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, karena dengan iptek itulah manusia dapat
mengelola dan memakmurkan dunia sebaik-baiknya. Oleh karena itulah, akal
menjadi penting untuk dilindungi. Diwajibkannya belajar dan larangan
mengkonsumsi khamr (minuman keras) merupakan contoh hukum Islam yang
bertujuan untuk memelihara akal.

d. Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan, Islam mengatur pernikahan dan mengharamkan
zina. Islam menetapkan siapa saja yang boleh atau tidak boleh dinikahi. Hal
itu dilakukan sebagai upaya untuk pemurnian dan pemeliharaan keturunan.

e. Memelihara Harta Benda


Meskipun pada hakekatnya semua harta itu kepunyaan Allah, namun Islam
juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu sangat tamak
pada harta benda, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi
bentrokan antara satu sama lain. Dalam hal ini, Islam mensyariatkan
peraturan-peraturan mengenai jual beli, sewa menyewa, gadai dan sebagainya.
Islam juga melarang penipuan, pencurian, penimbunan barang dagang serta
riba (Hasby, 2007: 103-104).
Adapun fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya
cukup banyak, namun dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan
utamanya saja, yakni ;
a. Fungsi Ibadah. Fungsi paling utama hukum Islam adalah untuk beribadah
kepada Allah swt;

b. Fungsi amar ma`ruf nahi munkar. Hukum Islam berfunsi sebagai kontrol atau
pengendali sosial. Fungsi ini akan mengantarkan kepada tujuan hukum islam
(maqashid syariah) yaitu mendatangkan (menciptakan) kemashlahatan dan
menghindarkan kemudharatan (jalbu al-mashalaih wa daf'u al-mafasid).
Kemashlahatan dan kemudaratan ini mencakup kemashlahatan dan
kemudaratan di dunia dan akhirat.

c. Fungsi zawajir. Adanya sanksi hukum, seperti qisas-diyat, hudud dan ta’zir,
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi
warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang
membahayakan.

d. Fungsi Tandzim wa Islah al-Ummah. Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah


sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses
interaksi sosial sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman dan
sejahtera (baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur) (Hosen, 1996:89-90).

3. Perbedaan antara Syariah dan Fiqih


Perumusan norma-norma hukum dasar kedalam kaidah-kaidah yang lebih
kongkret, memerlukan cara-cara tertentu. Muncullah ilmu pengetahuan yang khusus
menguraikan syari`at. Dalam kepustakaan hukum Islam tersebut dinamakan Ilmu
Fiqh diatas telah jelaskan. Ilmu fiqh adalah ilmu yang mempelajari syari`at. Orang
yang paham ilmu fiqh disebut faqih atau fuqaha (jamak), artinya ahli hukum (fiqh )
Islam.
Dalam bahasa arab, fiqh artinya paham atau pengertian. Kalau dihubungkan
dengan perkataan ilmu di atas, ilmu fiqh adalah ilmu yang bertugas memahami dan
menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam alqur`an dan sunnah
Nabi Muhammad. Dengan kata lain, ilmu fiqh adalah ilmu yang berusaha memahami
hukum-hukum dasar yang terdapat dalam al Qur`an dan kitab-kitab hadist.
Pemahaman itu dituangkan dalam kitab-kitab fiqh dan disebut hukum fiqh.
Pada pokoknya perbedaan antara syari`at dan fiqh adalah sebagai berikut :
a. Syari`at terdapat dalam alqur`an dan kitab-kitab hadist. Syari`at yang
dimaksud adalah firman Allah dan sunnah Nabi Muhammad. Fiqh terdapat
dalam kitab-kitab fiqh, fiqh yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang
memenuhi syarat tentang syari`at.

b. Syari’at mengandung kebenaran mutlak karena berasal dari Allah, sedangkan


kebenaran fikih bersifat relative (belum tentu pasti benar atau salah) karena
merupakan pemahaman manusia.

c. Syari`at bersiat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari
fiqh. Fiqh bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada apa yang
biasanya disebut perbuatan hukum.

d. Syari’at bersifat global (ijmali), hanya mengatur hal-hal yang umum dan
mendasar, sedangkan fikih bersifat perincian (tafsili), mengatur hal-hal yang
bersifat perincian.

e. Syari`at adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku
abadi. Fiqh adalah karya manusia yang dapat berubah atau diubah dari masa
ke masa.

f. Syari’at hanya satu, sedang fiqih mungkin lebih dari satu seperti terlihat pada
aliran-aliran hukum yang disebut mazahib atau mazhab-mazhab itu.

g. Syari`at menunjukan kesatuan dalam Islam, sedangkan fiqh menunjukan


keragamannya.

h. Contoh syari’at adalah kewajiban shalat, puasa, zakat dan haramnya riba.
Sedangkan contoh fikih seperti tata cara shalat, tata cara puasa, tata cara zakat
dan definisi riba.

Demikian perbedaan syari`at dan fiqh , syari`at bersifat qath`i sedangkan fiqh
bersifat instrumental yang tidak abadi, karena dapat berubah atau diubah dari masa ke
masa sesuai dengan perkembangan zaman.
4. Konsep Ibadah dan Mu’amalah
Berkaitan dengan syariah terdapat istilah ibadah. Ibadah artinya
menghambakan diri kepada Allah Swt. Ibadah merupakan tugas hidup manusia di
dunia, karena itu manusia yang beribadah kepada Allah Swt disebut ‘abdullah atau
hamba Allah. Hidup manusia tidak memiliki alternatif lain selain taat, patuh dan
berserah diri kepada Allah Swt. Karena itu yang menjadi inti dari ibadah adalah
ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri secara total kepada Allah Swt. Tujuan
ibadah adalah membersihkan dan mensucikan jiwa dengan mengenal dan
mendekatkan diri serta beribadat kepada-Nya.
Ibadah terdiri dari ibadah khusus atau ibadah mahdah dan ibadah umum atau
ibadah ghairu mahdah. Ibadah khusus adalah bentuk ibadah langsung kepada Allah
Swt yang tata cara pelaksanaannya telah diatur dan ditetapkan oleh Allah Swt atau
dicontohkan oleh Rasulullah. Karena itu pelaksanaan ibadah ini sangat ketat, yaitu
harus sesuai dengan contoh Rasulullah. Penambahan dan pengurangan dari contoh
yang telah ditentukan disebut bid’ah yang menjadikan ibadah itu batal dan tidak sah.
Karena itu, para ahli menetapkan satu kaidah dalam ibadah khusus yaitu “semua
dilarang, kecuali yang diperintahkan Allah atau dicontohkan Rasulullah”.
Macam-macam ibadah khusus adalah salat termasuk di dalamnya taharah
sebagai syaratnya, puasa, zakat dan haji. Sedangkan ibadah umum atau ibadah ghairu
mahdah adalah bentuk hubungan manusia dengan manusia atau manusia dengan alam
yang memiliki makna ibadah. Syariah Islam tidak menentukan bentuk dan macam
ibadah ini, karena itu apa saja kegiatan seorang muslim dapat bernilai ibadah asalkan
kegiatan tersebut bukan perbuatan yang dilarang Allah Swt dan Rasul-Nya serta
diniatkan karena Allah Swt. Untuk memudahkan pemahaman, para ulama
menetapkan kaidah ibadah umum yaitu “semua boleh dikerjakan, kecuali yang
dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya”.

C. Konsep Akhlak
1. Makna Akhlak
Akhlak secara etimologis berasal dari bahasa Arab yaitu akhlaq bentuk jamak
kata khuluq atau al-khulq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Istilah akhlak berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan
kata khaliq (pencipta), makhluq (yang dicipta), dan khalq (penciptaan). Kesamaan
akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam kata akhlak tercakup pengertian
terciptanya keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluq
(manusia). Atau dengan kata lain tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan
lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki, manakala tindakan atau
perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak khaliq (Tuhan Sang Pencipta). Selain
itu Allah juga memiliki 99 nama yang baik yang disebut asma’ulhusna. Nama-nama
tersebut menjadi contoh bagi manusia untuk bersifat seperti sifat Allah seperti
mengasihi lagi menyayangi, memaafkan, memberi kebaikan, merawat lagi menjaga
dan lainnya.
Para ulama ilmu akhlak merumuskan definisi akhlak dengan berbagai
ungkapan di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Imam Al-Ghazali : Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan yang mudah dan tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan (Ilyas, 2007:1).
b. Ibrahim Anis : Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang
dengannya muncul macam-macam perbuatan baik atau buruk, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan(Ilyas, 20017:2).
c. Ibn Miskawaih (1030 M) menyatakan bahwa akhlak ialah kondisi jiwa yang
senantiasa mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak
menghajatkan pemikiran (Khoiri, 2005:16).
Berdasarkan pengertian di atas terdapat beberapa ciri dalam perbuatan akhlak
yaitu sebagai berikut :
a. Perbuatan yang tertanam kuat dalam jiwa yang menjadi kepribadian seseorang
b. Perbuatan yang dilakukan secara mudah, tanpa paksaan dan tanpa
memerlukan pemikiran serta pertimbangan
c. Perbuatan itu merupakan kehendak diri yang dibiasakan terus menerus tanpa
paksaan
d. Perbuatan itu berdasarkan petunjuk Alqur’an dan Alhadits
Keempat ciri-ciri di atas masih dapat dipadatkan pada 2 ciri utama akhlak
yaitu adanya pembiasaan dan ketauladanan. Kedua ciri akhlak ini juga menjadi syarat
pembentukan dan pembinaan, misalnya anak yang berakhlak buruk bisa berobah
menjadi berakhlak mulia jika menerima pembiasaan dan keteladanan. Di lingkungan
pondok pesantren selalu terjadi perubahan akhlak ini karena adanya dua sebab yaitu
adanya kebaikan-kebaikan yang dibiasakan serta adanya contoh tauladan dari ustadz-
ustadzah serta seniornya selama 24 jam dan bertahun-tahun. Oleh karenanya banyak
orang tua santri yang terkejut serta bersyukur mendapati anaknya telah berubah
menjadi anak yang berakhlak mulia. Hal ini juga bisa terjadi bagi kelompok manusia
dewasa seperti mahasiswa. Jika mahasiswa tinggal di asrama mahasiswa, atau di
lingkungan kos yang baik, dimana disana terdapat dua ciri akhlak tersebut tentu akan
merubah akhlak mereka. Karena kondisi dan kehidupan asrama telah memutus
sementara pengaruh negatif lingkungan terutama pengaruh pemikiran dan
pemahaman yang sesat seperti radikalisme dan teroris yang sesat dan menyesatkan.
Akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur
hubungan antara sesama manusia, tetapi juga mengatur hubungan antara manusia
dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta. Selain itu akhlak merupakan yang
terpenting dalam hidup dan kehidupan manusia karena beberapa hal : (1) Akhlak
berkaitan dengan mu’amalah antara manusia secara individu juga kelompok, (2)
Akhlak mengatur hubungan manusia dengan segala yang terdapat dalam wujud dan
kehidupan, (3). Akhlak mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya (Asmaran,
1999:9). Terhadap tiga relasi tersebut akhlak juga terbagi dua yakni akhlak yang baik
dan akhlak yang buruk. Dalam hal ini tentu yang diharapkan manusia selalu
berakhlak yang baik dalam berinteraksi kepada ketiganya.
Secara leksikal kata akhlak juga mempunyai hubungan yang erat (bersinonim)
dengan etika dan moral. Menurut istilah, etika ialah studi tingkah laku manusia tidak
hanya menentukan kebenaran sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat
atau kebaikan di seluruh tingkah laku manusia. Ahmad Amin menyebutkan etika
merupakan ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan apa yang seharusnya dituju
manusia di dalam perbuatan mereka menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang
seharusnya diperbuat (Zubair, 1990:10). Konsep baik dan buruk serta rumusan tujuan
dimaksud pada etika lahir dari pemikiran kritis dan filosofis dari para ahli yang
terpilih dan terpercaya. Adapun term moral secara etimologis berasal dari bahasa
Latin mores, jamak kata mos yang berarti adat kebiasaan (Poerwadarminta,
1995:654). Secara terminologis, moral diartikan dengan ajaran tentang perbuatan baik
buruk yaitu suatu aturan atau tata cara hidup yang bersifat normatif yang dianut oleh
masyarakat, yang menjadi acuan bagi pengikutnya. Moral selalu mengacu kepada
baik dan buruknya manusia berdasarkan kebiasaan masyarakatnya.
Berdasarkan pengertian dari istilah moral, etika dan akhlak di atas kiranya
dapat dipahami antara ketiganya terdapat perbedaan, di samping juga terdapat
persamaan. Perbedaannya, etika menentukan baik atau buruk perbuatan manusia
dengan tolok ukur akal pikiran, sedangkan moral tolak ukurnya adalah norma-norma
yang ada dalam masyarakat, kemudian akhlak tolok ukurnya adalah ajaran agama
(Al-Qur'an dan As-Sunnah). Berdasarkan perbedaan ini maka konsep etika bersifat
relatif, yaitu akan bisa berubah pada waktu dan situasi kondisi yang membutuhkan
perubahan. Perubahan tersebut memerlukan upaya berfikir ulang sehingga
memungkinkan perubahan jawaban hukum dalam perspektif etika. Kemudian konsep
moral (kebiasaan) bersifat lokal atinya kebaikannya hanya bisa dilakukan dan
diterima oleh masyarakat dan wilayah tertentu saja.
Kebaikan moral tidak bisa dilaksanakan di tempat atau wilayah lainnya yang
tidak menerimanya. Misalnya kebiasaan suku jawa ( Jawa Tengah) tidak relevan
dilaksanakan di lingkungan suku Minang (Sumatera Barat) dan lain sebagainya.
Namun, konsep akhlak yang bersumber dari Alqur’an dan Alhadits merupakan
konsep kebaikan dan kebenaran mutlak yang relevan pada semua suku dan wilayah.
Untuk penerapan konsep akhlak tentu juga dengan cara dan usaha berakhlak pula.
Misalnya jika kita memasuki atau berada pada wilayah ( Suku tertentu) yang
memiliki kebiasaan menyimpang, maka kita harus melakukan pendekatan yang baik,
tidak buru-buru menyalahkan dan istiqomah dalam menunjukkan kebaikan dan
kebenaran di depan mereka. Untuk berinteraksi terhadap mereka dengan misi
melakukan perbaikan maka dakwah bil haal (keteladanan) bisa lebih tajam dan
berkesan daripada hanya nasihat lisan apalagi hanya menyalahkan.
Selanjutnya aktualisasi akhlak dalam kehidupan merupakan pengamalan atau
penerapan akhlak tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Aktualisasi akhlak
tersebut diuraikan secara rinci dalam ruang lingkupnya. Kahar Masyhur menyebutkan
bahwa ruang lingkup akhlak meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap
terhadap penciptanya, terhadap sesama manusia seperti terhadap dirinya sendiri,
terhadap keluarganya dan masyarakatnya (Hidayat, 2013:23). Oleh karena itu konsep
akhlak mengatur pola kehidupan manusia meliputi :
a. Hubungan antara manusia dengan Allah yaitu akhlak terhadapNya
b. Hubungan manusia dengan sesamanya meliputi seseorang terhadap
keluarganya dan masyarakatnya.
c. Hubungan manusia dengan lingkungannya yaitu akhlak terhadap binatang,
tumbuh tumbuhan dan alam sekitarnya.
d. Akhlak terhadap diri sendiri
Sebagai mahasiswa vokasi calon pekerja atau pengusaha sebaiknya
mengaktualkan konsep akhlak di atas, agar pekerjaan atau usaha yang dilakukan juga
bernilai ibadah yang diridhoi Allah dan mengantarkan masuk Syurga-Nya. Beberapa
akhlak yang perlu dilakukan seperti :
a. Ithqon yaitu profesional atau ahli di bidang pekerjaan atau usaha. Keahlian
pada pekerja tentu akan menghasilkan capaian yang memuaskan banyak orang
terutama pimpinan dan masyarakat. Demikian juga jika memiliki usaha
dagangan atau jasa jika dilakukan dengan keahlian yang tinggi tentu akan
memuaskan konsumen sehingga usaha akan sukses.
b. Ikhlas yaitu bekerja atau berusaha mengharap balasan dan ridho Allah Swt.
Dalam hal ini ikhlas dimaknai sebagai niat menolong masyarakat terutama
yang membutuhkan jasa dan usaha yang kita lakukan. Jika masyarakat senang
karena tertolong maka Allah akan juga menyenangi kita sehingga biasanya
akan mendatangkan rezeki dalam makna yang luas (materi dan non materi).
c. Jujur yaitu sebagai modal utama dalam bekerja atau berusaha. Kejujuran akan
mendatangkan kepercayaan dari pimpinan, masyarakat atau konsumen. Jika
sudah mendapat kepercayaan maka biasanya akan mendapatkan promosi
jabatan, tambahan permodalan (barang atau dana segar), peningkatan
penjualan bahkan jaminan keamanan dan kesinambungan.
d. Ramah (senyum sapa) yaitu sikap melayani secara ikhlas tanpa membedakan
siapapun dan apapun status sosial konsumen atau rekan kerja. Sikap ini
biasanya akan mencairkan suasana hati sehingga pekerjaan dapat dilakukan
dengan kemudahan. Demikian juga dengan usaha jika dilakukan dengan
ramah melayani tentu menarik minat konsumen sehingga terasa puas
dihormati tanpa memandang kemampuan daya beli.

2. Akhlak dan Tasawuf


a. Hakikat Akhlak dan Tasawuf
Ajaran tasawuf (sufisme) telah sangat populer selama berabad-abad dalam
dunia islam hingga sekarang ini. Tasawuf adalah salah satu bidang kajian studi islam
yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan pada aspek bathiniah yang
dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Istilah tasawuf sendiri berasal
dari bahasa arab yaitu tasawwuf yang artinya bulu domba, atau juga berasal dari kata
“sufi” yang mengandung arti suci. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari bulu
domba yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Dengan pakaian
dari bulu domba yang kasar dan sederhana itu orang-orang sufi akan terbiasa bersifat
zuhud dan tawadhu’ serta terhindar dari sifat riya dan hubbuddunia.
Untuk memahami hakikat tasawuf itu sangat sulit, sebab tasawuf menyangkut
masalah rohani dan bathin yang tidak dapat dilihat. Oleh karena itu hanya dapat
diketahui melalui gejala-gejalanya yang tampak pada ucapan, cara dan sikap hidup
para sufi membuat defenisi tasawuf tersebut. Menurut Ma’ruf al-Kurhi, tasawuf
adalah berpegang pada yang hakiki dan menjauhi sifat-sifat tamak terhadap apa yang
ada di tangan manusia. Ahmad al’Jariri menyebut tasawuf adalah masuk ke dalam
setiap akhlak mulia dan keluar dari setiap akhlak tercela (Hidayat, 2013:56-57).
Definisi ini menunjukkan betapa besarnya peranan akhlak dalam tasawuf. Dapat
dikatakan bahwa tasawuf ini merupakan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah
dengan menekankan pentingnya akhlak mulia baik terhadap Allah maupun terhadap
sesama makhluk.

b. Hubungan Akhlak dengan Tasawuf


Hubungan antara akhlak dengan tasawuf sangatlah erat bisa dikatakan seperti
dua sisi mata uang, karena untuk mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-
proses yang biasanya dilakukan oleh kalangan mutahawwifin (pengamal tasawuf).
Sementara bagian yang terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian akhlak yang
mulia di samping hal-hal yang terkait dengan ketuhanan. Apa-apa yang dilakukan
oleh kalangan mutashawwifin akhirnya akan membuahkan akhlak mulia. Namun
demikian tidak semua kajian dan pengalaman tasawuf masuk ke bidang akhlak. Oleh
karena itu akhlak tasawuf adalah proses pencapaian akhlak mulia melalui metode
tasawuf yang diilhami oleh kehidupan para ulamanya dan ulama sufi terkemuka.
Metode tasawuf memfokuskan pada dataran Tazkiyah al-Nafs (penyucian jiwa) yang
dilakukan dengan mengamalkan istilah takhalli-tahalli-tajalli(Nata, 2012:269).
Takhalli adalah tahapan awal yaitu pengosongan dan pembersihan diri semua dosa
dan melepaskan ketergantungan dengan kelezatan dunia. Tahalli adalah menghiasi
dan membiasakan diri dengan semua akhlak mulia baik akhlak kepada Allah dan juga
akhlak kepada sesama makhlukNya. Tajalli adalah terungkapkan cahaya keghaiban
dengan datangnya nur ghaib serta pengalaman bathiniyah ketika berdzikir. Proses
tazkiyatunnafs ini dilakukan dengan syarat utama melatih diri memiliki akhlak mulia
dan pada akhir proses Tazkiyah al-Nafs juga membentuk dan membangun akhlak
mulia serta mempertahankan dalam kehidupan sehari hari.
Perkembangan tasawuf akhir melembaga yang ditandai dengan pengamalan
tasawuf oleh kelompok pengamal yang menamakan dirinya dengan tarikat.
Berdasarkan asal katanya thoriqoh yang bermakna jalan menuju Allah, tahapan jalan
yang dilalui adalah juga tazkiyah al-nafs yaitu takhalli-tahalli-tajalli. Tarikat menurut
Abdullah Ujong Rimba adalah cara atau kaifiyat mengerjakan sesuatu amalan untuk
mencapai satu tujuan (Rimba, 1975:69). Cara atau kaifiyat dimaksud adalah cara
sebagaimana yang telah diformulasikan dan ditata sedemikian rupa oleh sufi-sufi
besar dan guru-guru tarikat sendiri yang sudah demikian banyak jumlahnya. Namun,
semua kelompok tarikat yang berkembang tersebut mengamalkan tiga ajaran dasar
yang sama sebagaimana disinggung di atas yaitu takhallī, taḥallī dan tajallī(Aceh,
1979:69). Salah satu tarikat terbesar yang berkembang hingga sekarang adalah
Tarikat Naqsyabandiyah. Salah satu Pusat Pengembangannya terdapat di desa
Babussalam Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Aliran tarikat ini menurut Rimba
tergolong tarikat sufiyah yang cara mengerjakan amal ibadahnya tanpa begitu terikat
dengan Alqur’an dan Alḥadiṡ, tetapi menurut ajaran yaug diformulasi oleh guru sufi
atau guru tarikat yang mengajarkannya (Aceh, 1979:70). Sebagai pembentukan dari
tasawuf akhlaki dan ‘amali, maka pengamalan ajaran tarikat ini menggunakan
pendekatan akhlak dan amalan tertentu yaitu zikir dan doa selain menghormati
mursyid dan mematuhi aturannya. Pengamalan ajaran tersebut bertujuan untuk
mencapai hakikat atau kasyaf sehingga semakin dekat dengan Allah. Pelaksanaan
amalannya sendiri harus di bawah binbingan dan kontrol seorang guru atau mursyid.
Oleh karena dibimbing dan dipimpin oleh guru mursyid untuk menempuh jalan dalam
mencapai hakikat, maka tarikat ini dinamakan juga dengan tarikat suluk. Di kalangan
tarikat, suluk mengandung arti latihan yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu
untuk memperoleh keadaan maqam dengan jalan memperbanyak ibadah, introspeksi
dan berusaha memperbaiki jiwa agar dekat dengan Tuhan (al-Khamasykhawani,
tt:22). Sedangkan pengikut tarikat yang melakukan suluk adalah beramal ibadah
sepanjang malam untuk menemukan hakikat dan mendekatkan diri kepada Allah
disebut dengan sālik. Ketika mengikuti suluk 10 hari aktifitas para salik harus
mengikuti aturan yang disebut adab. Yaitu mengosongkan jiwa dari semua dosa
dengan cara istighfar dan bertaubat, membatasi bicara dan memperbanyak zikir
minimal 5000 kali, hanya mengkonsumsi nasi dan sayuran dan melatih diri dengan
akhlak-akhlak mulia yang bersamaan dengan memperbanyak zikir. Dengan
mengamalkan ajaran tarikat melalui suluk inilah, maka seseorang dengan sendirinya
menjadi peribadi yang saleh dan berakhlak mulia. Perbuatan yang demikian itu
dilakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri dan bukan karena paksaan. Sehingga
hasil perubahan akhlaknya lebih permanen karena dikerjakan oleh orang yang sadar
apalagi dewasa.
Dalam kehidupan modern yang serba sibuk berusaha mencari materi atau
merebut status sosial tertentu seperti pangkat dan jabatan serta mempertahankannya,
maka tarekat juga bisa dikembangkan ke arah yang konstruktif, baik yang
menyangkut kehidupan peribadi maupun sosial. Sebab, cepat atau lambat manusia
akan terkena penyakit alienasi (keterasingan) karena proses globalisasi dan
modernisasi yang begitu cepat. Manusia sibuk akan butuh pedoman hidup yang
bersifat spiritual dan mendalam untuk menjaga integritas keperibadiannya. Pedoman
tersebut akan didapatkan dalam ilmu tasawuf dan mengikuti tradisi tarekat yang akan
mendatangkan pengalaman bathiniah serta pemahaman mendalam tentang seluruh
ibadah yang dilakukan. Pemahaman yang baik tentang semua ibadah yang diamalkan
akan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pengalaman bathiniah hingga mencapai
hakikat juga harus dilakukan dengan proses tazkiyatunnaps (takhalli-tahalli-tajalli)
dengan makna yang luas. Artinya riyadhah (penyucian jiwa) juga dapat dilakukan
seiring dengan kesibukan beraktifitas sehari-hari tanpa harus mengikuti suluk
beberapa hari dan bergabung ke dalam lembaga tarikat. Hal yang terpenting adalah
proses penyucian jiwa dan pembiasaan ikhlas beribadah dan hidup berakhlak mulia
menjadi syarat utama mutlak dilakukan. Dengan demikian ibadah yang dilakukan
dalam bertarikat ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Artinya bahwa ibadah-
ibadah yang diajarkan dalam ilmu tasawuf dan dibiasakan dalam tradisi tarikat erat
hubungannya dengan pendidikan akhlak. Maka dapat dikatakan seseorang yang
memahami tasawuf lalu mengamalkannya dan menempuhnya dalam bertarekat serta
suluk tentulah akan terbentuk akhlaknya yang lebih baik. Bukti perubahan ini terlihat
pada lapisan masyarakat yang menjadi pengikut tarekat dan mengikuti suluk telah
mengalami peningkatan akhlaknya seperti zuhud, sabar, ikhlas dan optimis dalam
berusaha dan bekerja sehari-hari.

D. Korelasi Aqidah, Syariah dan Akhlak


Untuk memahami ajaran Islam secara keseluruhan memang dibutuhkan waktu
yang tidak sebentar. Setiap muslim perlu memahami kerangka dasar ajaran Islam atau
trilogi ajaran Islam. Kerangka dasar ajaran Islam meliputi tiga konsep kajian pokok,
yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Tiga kerangka dasar ajaran Islam ini sering juga
disebut dengan tiga ruang lingkup pokok ajaran Islam atau trilogi ajaran Islam
(Asy’arie, 1992:30). Kalau dikembalikan pada konsep dasarnya, tiga kerangka dasar
Islam di atas berasal dari tiga konsep dasar Islam, yaitu iman, islam, dan ihsan. Dari
tiga konsep dasar ini para ulama mengembangkannya menjadi tiga konsep kajian.
Konsep iman melahirkan konsep kajian aqidah; konsep islam melahirkan konsep
kajian syariah; dan konsep ihsan melahirkan konsep kajian akhlak.
Aqidah merupakan asas tempat mendirikan seluruh bangunan (ajaran) Islam
dan merupakan sistem keyakinan Islam yang mendasari seluruh aktivitas umat Islam
dalam kehidupannya (Zahri, 1995:20).
Berakidah berarti juga beriman yang berarti membenarkan dengan hati,
mengucapkan dengan lidah, dan melakukan dengan anggota badan. Dengan
pengertian ini, maka beriman kepada Allah berarti membuktikan ada-Nya dengan
ikrar syahadat dan mengamalkan semua peraturan Allah yaitu mematuhi perintah
Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Adapun syari’ah merupakan semua
peraturan agama yang disyariatkan oleh Allah atau disyariatkan pokok-pokoknya agar
manusia itu sendiri menggunakannya dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan
saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama manusia dan alam semesta
serta dengan kehidupan (Asy’arie, 1992:35).
Syariah merupakan cabang dari aqidah yang merupakan pokoknya, dan
keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat yang tidak dapat dipisahkan.
Syariah merupakan perwujudan dari fungsi kalbu dalam beraqidah. Kemudian akhlak
merupakan kondisi jiwa yang menyebabkan munculnya perilaku baik dan buruk
tanpa pemikiran dan terus menerus (Nata, 2012:5).
Akhlak adalah tingkah laku manusia untuk berhubungan baik dengan Tuhan
dalam bentuk ibadah, berhubungan baik dengan sesamanya, dan dalam berhubungan
baik dengan makhluk hidup yang lain seperti binatang dan tumbuhan. Akhlak
merupakan konsep kajian dari ihsan yaitu penghayatan akan hadirnya Tuhan dalam
hidup dan setiap aktifitas termasuk ketika beribadah. Ihsan merupakan puncak
tertinggi dari keislaman seseorang. Ihsan ini baru tercapai kalau sudah dilalui dua
tahapan sebelumnya, yaitu iman dan islam. Dalam kehidupan sehari-hari ihsan
tercermin dalam bentuk akhlak yang mulia (al-akhlak al-karimah) dan inilah yang
menjadi misi utama diutusnya Nabi saw. ke dunia.
Dengan demikian hubungan antara aqidah, syariah, dan akhlak adalah sangat
erat, bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aqidah sebagai
konsep atau sistem keyakinan yang bermuatan elemen-elemen dasar iman,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Syariah sebagai konsep atau
sistem hukum berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan
akhlak sebagai sistem nilai etika menggambarkan arah dan tujuan yang hendak
dicapai oleh agama. Ketiga kerangka dasar ini harus terintegrasi dalam diri seorang
Muslim. Ibarat sebuah pohon, akarnya adalah aqidah, sementara batang, dahan, dan
daunnya adalah syariah, sedangkan bunga dan buahnya adalah akhlak. Muslim yang
baik adalah orang yang memiliki aqidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya
untuk melaksanakan syariah yang hanya ditujukan kepada Allah sehingga tergambar
akhlak yang mulia dalam dirinya. Atas dasar hubungan ini pula maka seorang yang
melakukan suatu perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau iman, maka ia
termasuk ke dalam kategori kafir. Seorang yang mengaku beriman, tetapi tidak mau
melaksanakan syariah, maka ia disebut orang fasik. Sedangkan orang yang mengaku
beriman dan melaksanakan syariah tetapi tidak dilandasi aqidah atau iman yang lurus
disebut orang munafik. Demikianlah, ketiga konsep atau kerangka dasar Islam ini
memiliki hubungan yang begitu erat dan tidak dapat dipisahkan.
Dalam Alqur’an Allah selalu menyebutkan ketiganya dalam waktu yang
bersamaan. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai ayat, antara lain pada surat al-Nur: 55:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama
yang telah diridoi-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan
barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang
yang fasik.” (QS Al-Nuur : 55). Ketiga kerangka dasar ajaran Islam tersebut dalam
ayat ini disebut iman dan amal shalih. Iman menunjukkan konsep aqidah, sedangkan
amal shalih menunjukkan adanya konsep syariah dan akhlak. Memahami dan
mengamalkan kerangka dasar ajaran Islam ini merupakan keniscayaan bagi setiap
Muslim yang menginginkan menjadi seorang Muslim yang kaffah. Tiga kerangka
dasar Islam yaitu aqidah, syariah, dan akhlak tidak bisa dipisah-pisahkan dan tidak
dimungkinkan bagi seorang Muslim memilih sebagiannya dan meninggalkan
sebagiannya yang lain. Sebagai generasi muda Islam yang masih memiliki waktu
yang panjang, hendaknya para mahasiswa Muslim menyadari hal tersebut, sehingga
termotivasi untuk mendalami ajaran Islam yang utuh dan bisa mengamalkan ajaran-
ajaran Islam dengan baik dan benar. Dengan bekal ajaran Islam yang cukup,
diharapkan semua aktivitas yang dilakukan menjadi berkualitas, diridhoi Allah dan
dapat dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak. Dengan iman yang kokoh pasti
akan tumbuh semangat yang tinggi untuk melaksanakan seluruh aturan Allah baik
yang ada dalam al-Quran maupun Sunnah, baik yang terkait dengan ibadah maupun
mu’amalah, dengan baik dan penuh keikhlasan semata-mata karena Allah. Jika semua
aturan Allah ditaati dan dilaksanakan pastilah akan terwujud akhlak atau karakter
mulia pada diri seseorang. Karena itu, pemahaman yang benar akan konsep dasar
Islam menjadi sangat penting untuk membangun komitmen moral untuk
melaksanakan seluruh ajaran Islam.
Hubungan trilogi ajaran Islam juga hendaknya diimplementasikan dalam
berusaha (berniaga) dan bekerja. Pekerjaan adalah satu keperluan yang amat penting
bagi manusia. Hidup dan menjalani kehidupan termasuk beribadah memerlukan
dukungan biaya atau materi, dan biaya perlu dicari dengan cara bekerja dan berusaha.
Pekerjaan juga bisa mengangkat status dan drajat sosial serta harga diri seseorang
(QS.Al-Nahl:97). Semangat kerja akan muncul jika iman, islam dan ihsan benar-
benar mengawal dan mewarnai dinamika hidup seseorang, bahkan memperjelas
orientasi hidup dan kerja atau usahanya. Iman adalah akar sikap hidup seseorang
dalam segala dimensinya, sehingga semua ibadah dan mu’amalah dilakukan karena
kewajiban dan mengharap ridho-Nya (QS. At-Taubah: 105). Islam adalah perwujudan
nyata dari janji dan komitmen seseorang dengan keimanannya, sehingga semua
ibadah dan mu’amalah dilakukan dengan mengikuti aturan-aturan-Nya. Sedangkan
ihsan adalah sebagai pengawasan serta bimbingan Allah Swt kepada hambanya, dan
kondisi merasa diawasi oleh Allah Swt, sehingga semua ibadah dan mu’amalah (kerja
dan usaha) dilakukan cara-cara yang baik dan bermanfaat untuk diri sendiri dan
masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA

Aceh, Abu Bakar. 1979. Pengantar Ilmu Tarekat, Semarang: Penerbit Ramadhani.
Asmaran AS, 1999. Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Penerbit Rajawali Pers.
Asy’arie Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Alqur’an,
Yogyakarta: Penerbit LSFI.
Hidayat Nur, 2013. Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Ilyas Yunahar. 2007. Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Penerbit LPPI UMY.
Khairil Alwan, 2005. Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Penerbit Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga.
Nata Abuddin. 2012. Akhlak Tasawuf, Jakarta: Penerbit Raja Grafindo.
Poerwadarminta WJS. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Balai
Pustaka,
Rimba, Abdullah Ujong. 1999. Ilmu Tarikat dan Hakikat, Banda Aceh: Penerbit
MPU Daerah Istimewa Aceh.
Zahri Mustafa. 1995. Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya: Penerbit Bina Ilmu.
Zubair, Ahmad Charris. 1990. Kuliah Etika, Jakarta: Penerbit Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai