A. UKHUWAH ISLAMIYAH
Istilah “ukhuwah” berasal dari kata “akha” yang pada mulanya mempunyai
arti “persamaan dan keserasian dalam banyak hal (Shihab, 2003:357). Persamaan itu
semula lebih didasarkan pada keturunan, sehingga seseorang yang mempunyai
persamaan keturunan dengan orang lain maka mereka menjadi saudara. Tapi
kemudian ukhuwah mengalami perluasan makna sehingga persamaan sifat-sifat juga
bisa mengakibatkan lahirnya persaudaraan. Sehingga, seseorang yang mempunyai
persamaan sifat dengan orang lain, misalnya persamaan agama, persamaan bahasa,
persamaan nasib atau perjuangan, bisa menjadi saudara. Persaudaraan akan muncul
manakala ada persamaan di antara sekumpulan manusia, semakin banyak
persamaannya maka semakin kuat persaudaraan itu. Sebaliknya, semakin sedikitnya
persamaan akan mengakibatkan semakin renggang tali persaudaraannya.
Persamaan-persamaan itu pada akhirnya akan melahirkan sikap untuk saling
peduli dan membantu satu sama lainnya serta sikap untuk saling berbagi satu dengan
lainnya pada saat mendapatkan kesenangan atau kebahagiaan. Seseorang dikatakan
saudara apabila dia mau peduli dan membantu saudaranya, tidak sebatas hanya
karena adanya persamaan. Sebaliknya meskipun terdapat persamaan, misalnya
persamaan keturunan, tapi tidak mau peduli dengan keadaan orang lain yang
mempunyai persamaan keturunan dengannya, maka sulit untuk menyebut dia sebagai
saudara. Sehingga, sikap saling membantu ini juga merupakan unsur penting dari
persaudaraan.
Sedangkan ukhuwah islamiyah secara umum oleh masyarakat muslim
dipahami sebagai:
a. Persaudaraan antar sesama umat Islam, mirip dengan makna al-ikhwan al-
Muslimun, sehingga makna ukhuwah islamiyah menjadi sebatas konsep
persaudaraan antar sesama umat Islam saja dan tidak mencakup orang-orang
non muslim.
b. Persaudaraan yang bersifat islami atau persaudaraan secara Islam. Makna ini
lebih luas karena menjelaskan bahwa ukhuwah islamiyah adalah ajaran Islam
yang mengatur hubungan antar manusia secara universal tanpa dibatasi oleh
perbedaan agama.
Penulis lebih cenderung menggunakan pemahaman yang kedua, sebagaimana
juga dikemukakan oleh Shihab (2003: 358), karena kata islamiyah itu lebih sebagai
kata sifat (ajektif) yang melekat pada dan mensifati kata persaudaraan. Konsep ini
yang dikembangkan oleh Rasulullah SAW pada saat beliau memimpin masyarakat
Madinah. Persaudaraan atas dasar keturunan diperluas menjadi persaudaraan antar
manusia sebagai satu umat yang mendiami Madinah, meskipun mereka berbeda
keturunan bahkan berbeda agama. Persaudaraan antar sesama umat Islam merupakan
bagian dari pembahasan ukhuwah islamiyah.
Berdasarkan pemahaman tersebut maka ukhuwah islamiyah, sebagaimana
dijelaskan oleh Shihab (2003:358-359), mencakup bagian-bagian sebagai berikut:
a. Ukhuwah fi al-‘ubudiyah, yaitu bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara
dalam arti memiliki persamaan. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di muka bumi, dan tidak pula
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat seperti
kamu juga Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan“(QS al An’am:38).
Seluruh makhluk Allah SWT adalah saudara disebabkan adanya persamaan
ciptaan dan ketundukan kepada Allah SWT.
d. Ukhuwah fi din al-Islam, yaitu persaudaraan antar sesama muslim yang diikat
oleh persamaan agama. Istilah ini terdapat dalam QS al-Ahzab ayat 5, yakni
ikhwanukum fi ad-din (saudaramu seagama).
Ukhuwah internal umat Islam atau persaudaraan sesama umat Islam adalah
ukhuwah yang didasarkan atas persamaan akidah. Persamaan ini melahirkan adanya
perhatian dan keakraban sehingga kebahagiaan yang dirasakan ole sebagian umat
Islam seharusnya juga dirasakan ole umat Islam yang lain. Begitu pula sebaliknya,
derita yang dialami oleh sebagian umat Islam seharusnya juga dirasakan oleh umat
Islam yang lain. Berkaitan dengan ini allah berfirman dalam Surat Al-Hujurat ayat
10:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.
Menurut Shihab (2003:360), berdasarkan ayat ini, konsekuensi dari
persamaan iman adalah melakukan “ishlah antar sesama saudara”. Makna ishlah tidak
hanya sebatas mendamaikan konflik atau perseteruan saja, akan tetapi ishlah juga
bermakna memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan oleh setiap orang muslim.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad,
Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Seorang mukmin dengan mukmin yang lain
bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota tubuh itu terluka, maka seluruh tubuh
akan merasakan demamnya”. Hadits ini menjelaskan bahwa seorang mukmin yang
baik harus mempunyai sifat empati terhadap saudaranya sesama mukmin. Apabila,
misalnya, ada seorang mukmin yang teraniaya atau mengalami suatu penderitaan,
maka orang mukmin yang lain harus ikut merasakan penderitaannya. Rasa empati itu
bisa ditunjukkan dengan membantunya terlepas dari penderitaan tersebut atau kalau
tidak mampu menolongnya ia bisa mendoakannya agar Allah SWT segera
menghilangkan penderitaannya.
Rasa empati itu akan mengantarkan seorang mukmin untuk memandang
saudaranya seiman seperti memandang dirinya sendiri. Sehingga, apa yang pantas
dan baik untuk dirinya juga pantas dan baik untuk saudaranya seiman. Sebaliknya
apa yang tidak pantas dan baik untuk dirinya juga tidak pantas dan baik untuk
saudaranya. Oleh karena itu misalnya, apabila seorang mukmin ingin memberikan
sesuatu kepada saudaranya, hendaknya ia memberikan sesuatu yang baik dan pantas
untuk diberikan. Ukurannya adalah dirinya sendiri, apabila sesuatu itu baik dan
pantas untuknya berarti itu juga baik dan pantas untuk diberikan kepada saudaranya
seiman. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Tidak beriman seseorang
di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya
sendiri” (HR. Bukhari dari Anas ra.).
Persaudaraan sesama umat Islam juga berarti saling menghormati dan saling
menghargai relativitas masing-masing sebagai sifat dasar kemanusiaan manusia.
Seperti perbedaan pemikiran atau perbedaan pendapat antar umat Islam tidak
menghalanginya untuk saling membantu satu dengan lainnya. Perbedaan seperti itu
juga tidak boleh menyebabkan permusuhan di antara mereka, dengan saling
mengolok-olok, menyalahkan atau bahkan saling mengkafirkan. Berkaitan dengan
hal ini, Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 11:
Adapun ajaran Islam yang mengungkapkan hidup damai, rukun dan toleran, di
antaranya beberapa poin di bawah ini :
a. Manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan berbeda-beda
Perbedaan ini sudah menjadi ketetapan Allah SWT (sunnatullah). Al-Quran
dengan gamblang menjelaskan adanya perbedaan dan keragaman dalam masyarakat.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Hujarat ayat 13 yang
berbunyi:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir (1) aku tidak akan menyembah apa
yang kalian sembah(2) dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah(3) dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah(4) dan kalian tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang
aku sembah(5) untukmu agamamu dan untukku agamaku(6)”
Ungkapan untukmu agamamu dan untukku agamaku merupakan pengakuan
eksistensi secara timbal balik, sehingga setiap pihak dapat melaksanakan apa yang
dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan dan memaksakan pendapat atau
keyakinan kepada orang lain sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil(8) Sesungguhnya Allah hanya melarang
kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang
lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai
kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim(9).”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa al-Qur’an sangat menghargai prinsip-
prinsip pluralitas yang merupakan realitas yang dikehendaki oleh Allah SWT (Nurdin
dkk., 2009:9.32-9.37). Umat Islam harus menghargai kenyataan pluralitas itu dengan
berbuat baik dan berlaku adil kepada kepada siapa pun, bahkan kepada orang atau
kelompok lain yang berbeda agama dan keyakinannya, selama mereka tidak
melakukan tindakan kekerasan kepada umat Islam.
C. MODERASI BERAGAMA
Sudah menjadi keniscayaan bahwa manusia diciptakan oleh Allah swt secara
berbeda-beda dalam banyak hal dan segi kehidupan. Secara ras dan suku, manusia
berbeda-beda. Demikian juga secara bahasa dan budaya. Agama yang dianut oleh
manusia juga berbeda-beda, bahkan di antara pemeluk agama yang sama juga
terdapat perbedaan dalam hal pemahaman keagamaannya.
Keniscayaan seperti ini mengharuskan manusia untuk menerimanya sebagai
sebuah entitas yang tak terbantahkan. Seseorang harus bisa menerima kenyataan
bahwa di sekelilingnya terdapat orang-orang yang berbeda agamanya, berbeda ras,
suku dan bahasanya bahkan berbeda kecenderungan dan pilihan politiknya. Sikap
menerima kenyataan seperti itu mengharuskan setiap orang untuk tidak memaksakan
apa yang ada pada dirinya dan apa yang diyakininya untuk diterima oleh orang lain.
Seseorang tidak bisa memaksakan bahasa mereka kepada orang lain. Demikian juga
seseorang tidak bisa memaksakan agama yang mereka yakini untuk dianut oleh orang
lain.
Agama adalah persoalan keyakinan hati yang tidak begitu saja mudah untuk
dipaksa agar berubah atau berganti. Menerima keberadaan seseorang yang berbeda
agama tidak kemudian berarti mengakui kebenaran keyakinan yang mereka anut.
Sikap seseorang yang seperti ini memerlukan pemahaman keagamaan yang moderat
yang sering disebut dengan moderasi beragama. Moderasi beragama bukan berarti
bersikap liberal dan mengabaikan norma-norma dasar yang sudah jelas tertulis dalam
teks-teks keagamaan serta mengakui bahwa semua agama itu sama dan benar.
Moderasi beragama bukan berarti mengompromikan prinsip-prinsip dasar atau
ritual pokok agama demi untuk menyenangkan orang lain yang berbeda paham
keagamaannya, atau berbeda agamanya. Moderasi agama adalah sikap berpegang
teguh terhadap esensi dasar agama dengan tetap mengakui keberadaan keyakinan lain
yang dianut oleh orang yang berbeda agama dengannya.
1. Pengertian Moderasi Beragama
Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an
(tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari
sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1) pengurangan kekerasan, dan 2)
penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu
berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja dan tidak ekstrem.
Moderasi beragama dalam bahasa Arab disebut dengan al-Wasathiyyah
alIslamiyyah. Al-Qardawi menyebut beberapa kosakata yang serupa makna
dengannya termasuk katan Tawazun, I'tidal, Ta'adul dan Istiqamah. Sementara dalam
bahasa inggris sebagai Islamic Moderation. Moderasi Islam adalah sebuah pandangan
atau sikap yang selalu berusaha mengambil posisi tengah dari dua sikap yang
berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap yang dimaksud
tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap seseorang. Dengan kata lain seorang
Muslim moderat adalah Muslim yang memberi setiap nilai atau aspek yang
berseberangan bagian tertentu tidak lebih dari porsi yang semestinya.
Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa Inggris, moderation, yang artinya
adalah sikap sedang atau sikap tidak berlebihan. Jika dikatakan orang itu bersikap
moderat berarti ia wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrim. Sementara dalam bahasa
arab, kata moderasi biasa diistilahkan dengan wasat atau wasatiyah; orangnya disebut
wasit. Kata wasit sendiri sudah diserap ke dalam bahasa Indonesi yang memiliki tiga
pengertian, yaitu 1) penengah, pengantara (misalnya dalam perdagangan, bisnis, dan
sebagainya), 2) pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih, dan 3) pemimpin
di pertandingan. Yang jelas, menurut pakar bahasa arab, kata tersebut merupakan
“segala yang baik sesuai objeknya”. Dalam sebuah ungkapan bahasa Arab disebutkan
( االعتدال لخذ مجاوزsebaik-baik segala sesuatu adalah yang berada di tengah-tengah.
Misalnya dermawan yaitu sikap di antara kikir dan boros, pemberani yaitu sikap di
antara penakut dan nekat, dan lain-lain
Konsep wasathiyyah dalam beberapa literatur keislaman ditafsirkan secara
be– ragam oleh para ahli. Menurut al-Salabi kata wasathiyyah memiliki banyak arti.
Pertama, dari akar kata wasth, berupa dharaf, yang berarti baina (antara). Kedua, dari
akar kata wasatha, yang mengandung banyak arti, diantaranya: (1) berupa isim (kata
benda) yang mengandung pengertian antara dua ujung; (2) berupa sifat yang
bermakna (khiyar) terpilih, terutama, terbaik; (3) wasath yang bermakna al-‘adl atau
adil; (4) wasath juga bisa bermakna sesuatu yang berada di antara yang baik (jayyid)
dan yang buruk (radi’).
Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang
antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik
beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan
tengah dalam praktik beragama ini niscaya akan menghindarkan kita dari sikap
ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Seperti telah
diisyaratkan sebelumnya, moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua
kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultra-konservatif atau ekstrem kanan di satu
sisi, dan liberal atau ekstrem kiri di sisi lain.
Moderasi beragama adalah kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di
tingkat lokal, nasional, maupun global. Pilihan pada moderasi dengan menolak
ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi
terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah
masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat,
menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam
masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan
pilihan, melainkan keharusan.
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat
pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak
menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar
Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke
belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia
4. Menjaga perasaan orang lain agar tidak tersakiti atas apa yang kita
ucapkan dan lakukan
Salah satu kunci kerukunan dalam hidup bermasyarakat adalah senantiasa
menjaga perasaan setiap orang yang bertemu dengan kita. Seorang muslim yang baik
adalah yang mampu menjaga lisan dan perbuatannya untuk tidak menyakiti perasaan
orang-orang yang ada di sekitarnya.