Anda di halaman 1dari 20

BAB VIII

RELASI ANTARA MANUSIA


BAB VIII
RELASI ANTARA MANUSIA

A. UKHUWAH ISLAMIYAH
Istilah “ukhuwah” berasal dari kata “akha” yang pada mulanya mempunyai
arti “persamaan dan keserasian dalam banyak hal (Shihab, 2003:357). Persamaan itu
semula lebih didasarkan pada keturunan, sehingga seseorang yang mempunyai
persamaan keturunan dengan orang lain maka mereka menjadi saudara. Tapi
kemudian ukhuwah mengalami perluasan makna sehingga persamaan sifat-sifat juga
bisa mengakibatkan lahirnya persaudaraan. Sehingga, seseorang yang mempunyai
persamaan sifat dengan orang lain, misalnya persamaan agama, persamaan bahasa,
persamaan nasib atau perjuangan, bisa menjadi saudara. Persaudaraan akan muncul
manakala ada persamaan di antara sekumpulan manusia, semakin banyak
persamaannya maka semakin kuat persaudaraan itu. Sebaliknya, semakin sedikitnya
persamaan akan mengakibatkan semakin renggang tali persaudaraannya.
Persamaan-persamaan itu pada akhirnya akan melahirkan sikap untuk saling
peduli dan membantu satu sama lainnya serta sikap untuk saling berbagi satu dengan
lainnya pada saat mendapatkan kesenangan atau kebahagiaan. Seseorang dikatakan
saudara apabila dia mau peduli dan membantu saudaranya, tidak sebatas hanya
karena adanya persamaan. Sebaliknya meskipun terdapat persamaan, misalnya
persamaan keturunan, tapi tidak mau peduli dengan keadaan orang lain yang
mempunyai persamaan keturunan dengannya, maka sulit untuk menyebut dia sebagai
saudara. Sehingga, sikap saling membantu ini juga merupakan unsur penting dari
persaudaraan.
Sedangkan ukhuwah islamiyah secara umum oleh masyarakat muslim
dipahami sebagai:
a. Persaudaraan antar sesama umat Islam, mirip dengan makna al-ikhwan al-
Muslimun, sehingga makna ukhuwah islamiyah menjadi sebatas konsep
persaudaraan antar sesama umat Islam saja dan tidak mencakup orang-orang
non muslim.
b. Persaudaraan yang bersifat islami atau persaudaraan secara Islam. Makna ini
lebih luas karena menjelaskan bahwa ukhuwah islamiyah adalah ajaran Islam
yang mengatur hubungan antar manusia secara universal tanpa dibatasi oleh
perbedaan agama.
Penulis lebih cenderung menggunakan pemahaman yang kedua, sebagaimana
juga dikemukakan oleh Shihab (2003: 358), karena kata islamiyah itu lebih sebagai
kata sifat (ajektif) yang melekat pada dan mensifati kata persaudaraan. Konsep ini
yang dikembangkan oleh Rasulullah SAW pada saat beliau memimpin masyarakat
Madinah. Persaudaraan atas dasar keturunan diperluas menjadi persaudaraan antar
manusia sebagai satu umat yang mendiami Madinah, meskipun mereka berbeda
keturunan bahkan berbeda agama. Persaudaraan antar sesama umat Islam merupakan
bagian dari pembahasan ukhuwah islamiyah.
Berdasarkan pemahaman tersebut maka ukhuwah islamiyah, sebagaimana
dijelaskan oleh Shihab (2003:358-359), mencakup bagian-bagian sebagai berikut:
a. Ukhuwah fi al-‘ubudiyah, yaitu bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara
dalam arti memiliki persamaan. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di muka bumi, dan tidak pula
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat seperti
kamu juga Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan“(QS al An’am:38).
Seluruh makhluk Allah SWT adalah saudara disebabkan adanya persamaan
ciptaan dan ketundukan kepada Allah SWT.

b. Ukhuwah fi al-insaniyah, dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara,


karena mereka semua bersumber dari ayah dan ibu yang satu, yakni Adam dan
Hawa, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan yang banyak di antara
mereka. Al-Quran surat al-Hujurat ayat 13 menjelaskan tentang hal tersebut,
bahwa Allah SWT, Pencipta manusia, sengaja menciptakan manusia secara
berbeda-beda, berbangsa-bangs dan bersuku-suku untuk saling mengenal.
Nabi SAW juga bersabda yang artinya “Jadilah kalian hamba-hamba Allah
yang bersaudara, seluruh manusia itu bersaudara”.

c. Ukhuwah fi al-wathaniyah wa al-nasab. Yakni persaudaraan yang timbul


karena adanya persamaan keturunan dan kebangsaan. Sebagaimana
persaudaraan antara kaum Ad dan kaum Hud.

d. Ukhuwah fi din al-Islam, yaitu persaudaraan antar sesama muslim yang diikat
oleh persamaan agama. Istilah ini terdapat dalam QS al-Ahzab ayat 5, yakni
ikhwanukum fi ad-din (saudaramu seagama).
Ukhuwah internal umat Islam atau persaudaraan sesama umat Islam adalah
ukhuwah yang didasarkan atas persamaan akidah. Persamaan ini melahirkan adanya
perhatian dan keakraban sehingga kebahagiaan yang dirasakan ole sebagian umat
Islam seharusnya juga dirasakan ole umat Islam yang lain. Begitu pula sebaliknya,
derita yang dialami oleh sebagian umat Islam seharusnya juga dirasakan oleh umat
Islam yang lain. Berkaitan dengan ini allah berfirman dalam Surat Al-Hujurat ayat
10:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.
Menurut Shihab (2003:360), berdasarkan ayat ini, konsekuensi dari
persamaan iman adalah melakukan “ishlah antar sesama saudara”. Makna ishlah tidak
hanya sebatas mendamaikan konflik atau perseteruan saja, akan tetapi ishlah juga
bermakna memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan oleh setiap orang muslim.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad,
Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Seorang mukmin dengan mukmin yang lain
bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota tubuh itu terluka, maka seluruh tubuh
akan merasakan demamnya”. Hadits ini menjelaskan bahwa seorang mukmin yang
baik harus mempunyai sifat empati terhadap saudaranya sesama mukmin. Apabila,
misalnya, ada seorang mukmin yang teraniaya atau mengalami suatu penderitaan,
maka orang mukmin yang lain harus ikut merasakan penderitaannya. Rasa empati itu
bisa ditunjukkan dengan membantunya terlepas dari penderitaan tersebut atau kalau
tidak mampu menolongnya ia bisa mendoakannya agar Allah SWT segera
menghilangkan penderitaannya.
Rasa empati itu akan mengantarkan seorang mukmin untuk memandang
saudaranya seiman seperti memandang dirinya sendiri. Sehingga, apa yang pantas
dan baik untuk dirinya juga pantas dan baik untuk saudaranya seiman. Sebaliknya
apa yang tidak pantas dan baik untuk dirinya juga tidak pantas dan baik untuk
saudaranya. Oleh karena itu misalnya, apabila seorang mukmin ingin memberikan
sesuatu kepada saudaranya, hendaknya ia memberikan sesuatu yang baik dan pantas
untuk diberikan. Ukurannya adalah dirinya sendiri, apabila sesuatu itu baik dan
pantas untuknya berarti itu juga baik dan pantas untuk diberikan kepada saudaranya
seiman. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Tidak beriman seseorang
di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya
sendiri” (HR. Bukhari dari Anas ra.).
Persaudaraan sesama umat Islam juga berarti saling menghormati dan saling
menghargai relativitas masing-masing sebagai sifat dasar kemanusiaan manusia.
Seperti perbedaan pemikiran atau perbedaan pendapat antar umat Islam tidak
menghalanginya untuk saling membantu satu dengan lainnya. Perbedaan seperti itu
juga tidak boleh menyebabkan permusuhan di antara mereka, dengan saling
mengolok-olok, menyalahkan atau bahkan saling mengkafirkan. Berkaitan dengan
hal ini, Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 11:

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok


kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik
dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula para wanita itu
(mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena)boleh jadi wanita-wanita
(yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan pula kamu panggil-
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk sesudah beriman, dan barangsiapa yang
tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”.
Untuk memantapkan persaudaraan antar umat Islam, maka perlu diperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Konsep tanawwu’ al-ibadah, yang mengantarkan kepada pengakuan akan
adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW dalam bidang
furu’ (cabang) sehingga semua diakui kebenarannya.
b. Al-mukhti’ fi al-ijtihad lahu ajr (yang salah pun dalam berijtihad mendapat
ganjaran, di samping penentuan yang benar dan salah bukan di tangan
makhluk tetapi di tangan Allah).
c. La hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid, Allah belum menetapkan suatu
hukum sebelum upaya ijtihad seorang mujtahid, sehingga hasil ijtihadnya
itulah yang merupakan ketetapan hukum Allah bagi setiap mujtahid, walaupun
berbeda-beda. Sama halnya dengan sebuah gelas kosong yang harus diisi dan
diserahkan kepada masing-masing untuk mengisinya. Apa dan seberapa pun
isinya adalah pilian yang benar bagi setiap pengisi (Shihab, 2003:359).

Adapun ajaran Islam yang mengungkapkan hidup damai, rukun dan toleran, di
antaranya beberapa poin di bawah ini :
a. Manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan berbeda-beda
Perbedaan ini sudah menjadi ketetapan Allah SWT (sunnatullah). Al-Quran
dengan gamblang menjelaskan adanya perbedaan dan keragaman dalam masyarakat.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Hujarat ayat 13 yang
berbunyi:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ayat di atas mengungkapkan bahwa “Allah menciptakan manusia dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan, menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” Sebagai ketetapan Allah SWT,
pernyataan ini tentu harus diterima. Seseorang yang tidak bisa menerima adanya
keragaman berarti telah mengingkari ketetapan Allah SWT. Berdasarkan hal ini pula
maka toleransi menjadi satu ajaran penting yang dibawa dalam setiap risalah
keagamaan, tidak terkecuali pada sistem teologi Islam.

b. Perbedaan keyakinan tidak bisa dipungkiri


Secara sosiologis, pengakuan terhadap adanya keragaman keyakinan ini
merupakan pengakuan toleran yang paling sederhana, namun pengakuan secara
sosiologis ini tidak berarti mengandung pengakuan terhadap kebenaran teologis dari
agama lain. Toleransi dalam kehidupan keagamaan yang ditawarkan oleh Islam
begitu sederhana dan rasional. Islam mewajibkan para pemeluknya membangun batas
yang tegas dalam hal akidah dan kepercayaan, sambil tetap menjaga prinsip
penghargaan atas keberadaan para pemeluk agama lain dan menjaga hak-hak mereka
sebagai pribadi dan anggota masyarakat. Pembatasan yang tegas dalam hal akidah
atau kepercayaan ini merupakan upaya Islam untuk menjaga para pemeluknya agar
tidak terjebak pada sinkretisme. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Kafirun yang
berbunyi:
”Katakanlah (Muhammad) : "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang
aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku
sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

c. Tidak ada paksaan dalam beragama


Al-Quran dan Sunnah menegaskan bahwa keberagamaan harus didasarkan
pada kepatuhan yang tulus kepada Allah. Karena itu pula, tidak ada paksaan dalam
menganut agama. Memeluk agama itu perlu kesadaran dari dalam, bukan paksaan
dari luar. Sebab beragama sumbernya adalah jiwa dan nurani manusia, dan ketika
terjadi paksaan agama, terjadi pula pemasungan nurani. Sebagaimana Allah SWT
berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi:

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam); sesungguhnya


telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang (teguh)
kepada tali yang snagat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dalam menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir menyatakan: “Janganlah kalian
memaksa seorangpun untuk masuk Islam. Sebab, agama ini telah jelas semua ajaran
dan bukti kebenarannya, sehingga seseorang tidak perlu dipaksa masuk ke dalamnya.
Sebaliknya, barang siapa mendapat hidayah, akan terbuka lapang dada dan terang
hatinya, sehingga ia pasti akan masuk Islam dengan bukti yang kuat. Sebaliknya,
orang yang buta mata hati dan penglihatannya serta pendengarannya yang tertutup,
maka tak berguna baginya masuk agama dengan secara paksa. Sekalipun agama
Islam mengajarkan toleransi, setiap Muslim harus tetap bersikap tegas untuk
mempercayai sepenuhnya bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan
sempurna.

d. Mengikuti keteladanan Rasulullah


Rasulullah saw diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Kita
diharuskan mengikuti keteladanannya. Perilaku Rasulullah adalah perilaku akhlak.
Akhlak merupakan norma dan etika pergaulan berlandaskan Islam. Ia tidak hanya
mengatur etika pergaulan antar sesama manusia, tetapi juga dengan alam lingkungan
dan Penciptanya. Terdapat banyak sunnah Nabi yang terkait dengan perintah bagi
umatnya untuk terus menjaga sikap dan perilaku mereka agar tidak melanggar batas-
batas kemanusiaan, meskipun berbeda dalam keyakinan. Hal itu dicontohkan ketika
Rasulullah hidup di Madinah yang hidup berdampingan dengan Kaum Nasrani dan
Yahudi. Toleransi dan tidak memaksakan agama sendiri inipun telah dicontohkan
Nabi Muhammad SAW ketika menyusun Piagam Maidah bersama umat agama lain
untuk menjamin kebebasan beragama. Dalam Pasal 25, Piagam Madinah disebutkan,
“Bahwa orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan kaum Muslimin.
Orang-orang Yahudi bebas berpegang kepada agama mereka dan orang-orang
Muslim bebas berpegang kepada agama mereka, termasuk pengikut mereka dan diri
mereka sendiri. Apabila diantara mereka ada yang melakukan aniaya dan durhaka,
maka akibatnya akan ditanggung oleh dirinya dan keluarganya”.

B. KEBERSAMAAN DALAM PLURALITAS AGAMA


Ukhuwah antar umat beragama atau persaudaraan sesama manusia (ukhuwah
insaniyah) dilandasi oleh ajaran bawa semua umat manusia adalah makhluk Allah
SWT. Sekalipun Allah SWT memberikan petunjuk kebenaran melalui ajaran Islam,
tetapi Allah SWT juga memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih
jalan hidup berdasarkan pertimbangan rasionya.
Manusia, apa pun tradisi dan agamanya, bahsa dan warna kulitnya, adalah
makhluk ciptaan Allah SWT. Kesadaran atas kesatuan manusia ini dan kesadaran
bahwa Allah SWT yang satu telah menciptakan kikta semua, memiliki hak-hak yang
sama, dan karena itu kita harus memperlakukan setiap orang secara manusiawi. Hal
ini merupakan prinsip utama yang bisa menyatukan seluruh manusia sekalipun
mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda (Taher, 2004:17).
Keragaman dan perbedaan manusia merupakan kehendak Allah SWT.
Semenjak awal penciptaannya, Allah SWT tidak menetapkan manusia sebagai satu
umat, meskipun Allah SWT mampu melakukan hal itu jika Ia menghendaki,
sebagaimana Alla SWT jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 48:

“Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat,


tetapi Allah SWT hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu”.
Kehendak Allah SWT yang merupakan fitrah manusia ini menjadi dasar bagi
dilarangnya pemaksaan suatu agama oleh siapa pun, bahkan Rasulullah SAW saja
juga dilarang melakukannya, sebagimana firman Allah SWT dalam Surat Yunus
ayat 99:

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang


di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”.
Dalam masyarakat sekarang ini hubungan antar pemeluk agama yang
berbeda-beda tidak bisa dihindarkan, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan
budaya. Bagi umat Islam hubungan ini tidak menjadi halangan sepanjang berkaitan
dengan masalah sosial kemanusiaan atau muamalah. Bahkan dalam berhubungan
dengan mereka, umat Islam dituntut untuk menampilkan perilaku yang baik sehingga
dapat menarik minat mereka untuk mengetahui ajaran Islam (Suryana, 1997:183).
Dalam menyikapi keragaman ini, Islam memberikan rambu-rambu yang
mengarahkan bagaimana seharusnya umat Islam bersikap dan bertindak di antaranya
adalah:
1. Tidak bertoleransi dalam hal akidah
Dalam hubungan bermasyarakat, al-Qur’an sangat menganjurkan agar umat
Islam menjalin hubungan tidak hanya dengan sesama muslim melainkan juga dengan
warga masyarakat yang non muslim. Namun toleransi tersebut bukan dalam hal
akidah, melainkan dalam hal yang sifatnya sosial kemasyarakatan. Berkaitan dengan
hal ini Allah SWT berfirman dalam surat al-Kafirun ayat 1-6:

“Katakanlah: Hai orang-orang kafir (1) aku tidak akan menyembah apa
yang kalian sembah(2) dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah(3) dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah(4) dan kalian tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang
aku sembah(5) untukmu agamamu dan untukku agamaku(6)”
Ungkapan untukmu agamamu dan untukku agamaku merupakan pengakuan
eksistensi secara timbal balik, sehingga setiap pihak dapat melaksanakan apa yang
dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan dan memaksakan pendapat atau
keyakinan kepada orang lain sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing.

2. Tidak menghina simbol-simbol kesucian agama lain


Berkaitan dengan hal ini Allah SWT secara tegas berfirman dalam surat al-
An’am ayat 108:

“Dan janganlah kamu memaki-maki sembahan-sembahan yang mereka


sembah selain Allah, maka (akibatnya) mereka akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami
perindah bagi setiap umat amal mereka. Kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberi tahu kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.”
Ayat tersebut secara tegas ingin mengajarkan kepada umat Islam untuk
memelihara kesucian agamanya dengan cara tidak menghina symbol kesucian agama
lain serta menciptakan rasa aman dan hubungan yang harmonis antar umat beragama.
Manusia sangat mudah terpancing emosinya bila agama dan kepercayaannya
disinggung. Ini merupakan tabiat manusia, apapun kedudukan sosial dan tingkat
keilmuannya, bahkan bagi orang yang awam secara agama sekalipun.
Berdasarkan prinsip ini, Islam mendorong umat Islam untuk bekerja sama
dengan pemeluk agama lain. Dalam kaitan ini, al-Qur’an memberikan petunjuk
sebagaimana dipaparkan dalam surat al-Mumtahanah ayat 8-9:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil(8) Sesungguhnya Allah hanya melarang
kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang
lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai
kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim(9).”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa al-Qur’an sangat menghargai prinsip-
prinsip pluralitas yang merupakan realitas yang dikehendaki oleh Allah SWT (Nurdin
dkk., 2009:9.32-9.37). Umat Islam harus menghargai kenyataan pluralitas itu dengan
berbuat baik dan berlaku adil kepada kepada siapa pun, bahkan kepada orang atau
kelompok lain yang berbeda agama dan keyakinannya, selama mereka tidak
melakukan tindakan kekerasan kepada umat Islam.
C. MODERASI BERAGAMA
Sudah menjadi keniscayaan bahwa manusia diciptakan oleh Allah swt secara
berbeda-beda dalam banyak hal dan segi kehidupan. Secara ras dan suku, manusia
berbeda-beda. Demikian juga secara bahasa dan budaya. Agama yang dianut oleh
manusia juga berbeda-beda, bahkan di antara pemeluk agama yang sama juga
terdapat perbedaan dalam hal pemahaman keagamaannya.
Keniscayaan seperti ini mengharuskan manusia untuk menerimanya sebagai
sebuah entitas yang tak terbantahkan. Seseorang harus bisa menerima kenyataan
bahwa di sekelilingnya terdapat orang-orang yang berbeda agamanya, berbeda ras,
suku dan bahasanya bahkan berbeda kecenderungan dan pilihan politiknya. Sikap
menerima kenyataan seperti itu mengharuskan setiap orang untuk tidak memaksakan
apa yang ada pada dirinya dan apa yang diyakininya untuk diterima oleh orang lain.
Seseorang tidak bisa memaksakan bahasa mereka kepada orang lain. Demikian juga
seseorang tidak bisa memaksakan agama yang mereka yakini untuk dianut oleh orang
lain.
Agama adalah persoalan keyakinan hati yang tidak begitu saja mudah untuk
dipaksa agar berubah atau berganti. Menerima keberadaan seseorang yang berbeda
agama tidak kemudian berarti mengakui kebenaran keyakinan yang mereka anut.
Sikap seseorang yang seperti ini memerlukan pemahaman keagamaan yang moderat
yang sering disebut dengan moderasi beragama. Moderasi beragama bukan berarti
bersikap liberal dan mengabaikan norma-norma dasar yang sudah jelas tertulis dalam
teks-teks keagamaan serta mengakui bahwa semua agama itu sama dan benar.
Moderasi beragama bukan berarti mengompromikan prinsip-prinsip dasar atau
ritual pokok agama demi untuk menyenangkan orang lain yang berbeda paham
keagamaannya, atau berbeda agamanya. Moderasi agama adalah sikap berpegang
teguh terhadap esensi dasar agama dengan tetap mengakui keberadaan keyakinan lain
yang dianut oleh orang yang berbeda agama dengannya.
1. Pengertian Moderasi Beragama
Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an
(tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari
sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1) pengurangan kekerasan, dan 2)
penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu
berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja dan tidak ekstrem.
Moderasi beragama dalam bahasa Arab disebut dengan al-Wasathiyyah
alIslamiyyah. Al-Qardawi menyebut beberapa kosakata yang serupa makna
dengannya termasuk katan Tawazun, I'tidal, Ta'adul dan Istiqamah. Sementara dalam
bahasa inggris sebagai Islamic Moderation. Moderasi Islam adalah sebuah pandangan
atau sikap yang selalu berusaha mengambil posisi tengah dari dua sikap yang
berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap yang dimaksud
tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap seseorang. Dengan kata lain seorang
Muslim moderat adalah Muslim yang memberi setiap nilai atau aspek yang
berseberangan bagian tertentu tidak lebih dari porsi yang semestinya.
Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa Inggris, moderation, yang artinya
adalah sikap sedang atau sikap tidak berlebihan. Jika dikatakan orang itu bersikap
moderat berarti ia wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrim. Sementara dalam bahasa
arab, kata moderasi biasa diistilahkan dengan wasat atau wasatiyah; orangnya disebut
wasit. Kata wasit sendiri sudah diserap ke dalam bahasa Indonesi yang memiliki tiga
pengertian, yaitu 1) penengah, pengantara (misalnya dalam perdagangan, bisnis, dan
sebagainya), 2) pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih, dan 3) pemimpin
di pertandingan. Yang jelas, menurut pakar bahasa arab, kata tersebut merupakan
“segala yang baik sesuai objeknya”. Dalam sebuah ungkapan bahasa Arab disebutkan
‫( االعتدال لخذ مجاوز‬sebaik-baik segala sesuatu adalah yang berada di tengah-tengah.
Misalnya dermawan yaitu sikap di antara kikir dan boros, pemberani yaitu sikap di
antara penakut dan nekat, dan lain-lain
Konsep wasathiyyah dalam beberapa literatur keislaman ditafsirkan secara
be– ragam oleh para ahli. Menurut al-Salabi kata wasathiyyah memiliki banyak arti.
Pertama, dari akar kata wasth, berupa dharaf, yang berarti baina (antara). Kedua, dari
akar kata wasatha, yang mengandung banyak arti, diantaranya: (1) berupa isim (kata
benda) yang mengandung pengertian antara dua ujung; (2) berupa sifat yang
bermakna (khiyar) terpilih, terutama, terbaik; (3) wasath yang bermakna al-‘adl atau
adil; (4) wasath juga bisa bermakna sesuatu yang berada di antara yang baik (jayyid)
dan yang buruk (radi’).
Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang
antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik
beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan
tengah dalam praktik beragama ini niscaya akan menghindarkan kita dari sikap
ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Seperti telah
diisyaratkan sebelumnya, moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua
kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultra-konservatif atau ekstrem kanan di satu
sisi, dan liberal atau ekstrem kiri di sisi lain.
Moderasi beragama adalah kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di
tingkat lokal, nasional, maupun global. Pilihan pada moderasi dengan menolak
ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi
terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah
masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat,
menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam
masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan
pilihan, melainkan keharusan.

2. Islam Agama Moderat dan Toleran


Secara umum ajaran Islam bercirikan moderat (washat) dalam aqidah, ibadah,
akhlaq, dan muamalah.ciri ini disebut dalam al-Qur’an sebagai as shiratal mustaqim
(jalan lurus/kebenaran) yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al
maghduub alaihim) dan yang sesat (adh-dhaalin) karena mereka melakukan banyak
penyimpangan. Kelompok orang yang dimurkai tersebut dipahami sebagai kelompok
Yahudi karena mereka telah menyimpang dari jalan lurus dengan membunuh para
nabi dan berlebihan dalam mengharamkan sebala sesuatu. Sedangkan orang yang
sesat dipahami sebagai kelompok Nasrani karena mereka berlebohan sampai
memperyuhankan nabi. Islam berada di tengah di antara sikap yang berlebihan itu,
sehingga dalam al-Quran diberi sifat sebagai ummatan washatan sebagaimana firman
Allah swt dalam QS al-Baqarah ayat 143:

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat
pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak
menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar
Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke
belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia

Dalam sebuah hadits Nabi saw, ummatan washatan ditafsirkan dengan


ummatan udulan, jamak dari kata ‘adl yang berarti umat yang adil dan proporsional.
Karena umat Islam adalam umat yang adil, maka di tempat yang lain dalam Al-Quran
mereka disebut dengan khaira ummah, umat terbaik, seperti dalam QS Ali Imran ayat
110. Keterkaitan ini mengesankan bahwa sikap moderat adalah yang terbaik,
sebaliknya sikap yang berlebihan (al-ghuluw) terutama dalam keberagamaan menjadi
tercela. Sikap berlebihan dalam beragama ini menjadi penyebab rusaknya umat
terdahulu sebagaimana sabda Rasulullah saw yang berbunyi: “Jauhilah olehmu sikap
berlebihan dalam beragama, sesungguhnya sikap berlebihan telah membinasakan
umat sebelum kalian” (HR Ibnu Majah),
Sikap berlebihan dalam beragama ini seperti diungkapkakan oleh al-
Qaradhawi biasanya diikuti oleh sikap-sikap sebagai berikut:
a. Fanatisme terhadap satu pemahaman dan sulit menerima pandangan yang
berbeda
b. Pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti pandangan tertentu yang
biasanya sangat ketat dan keras
c. Suudzon (negative thinking) terhadap orang lain karena menganggap dirinya
yang paling benar
d. Menganggap orang lain yang tidak sepaham sebagai telah kafir sehingga halal
darahnya.
Sikap seperti ini bukan saja telah menjauhkan mereka dari sesama muslim dan
non muslim, bahkan juga menjauhkan mereka dari ajaran Islam itu sendiri yang
ajarannya sangat moderat dan toleran, terutama terhadap mereka yang berbeda, baik
keyakinan maupun pandangan keagamaan.
Adapun prinsip-prinsip moderasi beragama dalam Islam adalah sebagai
beikut:
a. Keadilan (‘Adalah). Kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini
pada mulanya berarti “sama”. Persamaaan tersebut sering dikaitkan dengan
hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
“adil” diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada
kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang. ‘Persamaan” yang
merupakan makna asal kata “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak
berpihak”, dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang
benar” karena baik yang benar ataupun yang salah sama-sama harus
memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut”
lagi “tidak sewenang-wenang.” Makna al-‘adl dalam beberapa tafsir, antan
lain: Menurut At-Tabari, al-‘adl adalah: Sesungguhnya Allah memerintahkan
tentang hal ini dan telah diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan adil,
yaitu al-insaf.
b. Keseimbangan (Tawazun). Tawazun atau seimbang dalam segala hal,
terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran
rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Alquran dan Hadits). Menyerasikan
sikap khidmat kepada Alloh swt dan khidmat kepada sesama manusia.
Prinsip moderasi di sini diwujudkan dalam bentuk kesimbangan positif dalam
semua segi baik segi keyakinan maupun praktik, baik materi ataupun
maknawi, keseimbangan duniwai ataupun ukhrawi, dan sebagainya. Islam
menyeimbangkan peranan wahyu Ilahi dengan akal manusia dan memberikan
ruang sendiri-sendiri bagi wahyu dan akal. Dalam kehidupan pribadi, Islam
mendorong terciptanya kesimbangan antara ruh dengan akal, antara akal
dengan hati, antara hak dengan kewajiban, dan lain sebagainya.
c. Toleransi (Tasamuh). Dalam kebahasan, tentunya bahasa Arab bahwa
tasamuh adalah yang paling umum digunakan dewasa ini untuk arti toleran.
Tasamuh berakar dari kata samhan yang memiliki arti mudah. kemudahan
atau memudahkan, Mu’jam Maqayis Al-Lughat menyebut bahwa kata
tasamuh secara harfiah berasal dari kata samhan yang memiliki arti
kemudahan dan memudahkan. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia
memaknai kata toleran sebagai berikut: bersifat atau bersikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya.) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri. Tolerasi hanya bisa diterapakan pada
ranah sosialis, upaya-upaya membangun toleransi melalui aspek teologis,
seperti doa dan ibadah bersama, adalah gagasan yang sudah muncul sejak era
jahiliah dan sejak itu pula telah ditolak oleh Alquran melalui surat Al-Kafirun.
Sementara itu menurut al-Qaradhawi, sikap hidup moderat dalam beragama
itu bercirikan antara lain:
a. Memahami agama secara menyeluruh (komprehensif), seimbang (tawazun)
dan mendalam.
b. Memahami realitas kehidupan secara baik.
c. Memahami prinsip-prinsip syariat (maqashid asy-syariah) dan tidak
jumud/mandeg pada tataran lahir.
d. Memahami etika berbeda pendapat dengan kelompok-kelompok lain yang
seagama, bahkan yang luar agama, dengan senantiasa mengedepankan kerja
sama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran terhadap hal-hal
yang diperselisihkan.
e. Menggabungkan antara yang lama (al-ashalah) dan yang baru (al-mu’asarah)
f. Menjaga keseimbangan antara yang tsawabit (konsep yang tetap) dan
mughayyirat (konsep yang bisa berubah karena tempat dan waktu)
g. Menampilkan norma-norma sosial dan politik dalam Islam, seperti prinsip
kebebasan, keadilan sosial, syura dan hak asasi manusia.

D. PERILAKU YANG MENCERMINKAN KERUKUNAN


Dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama, seharusnya umat Islam
senantiasa bisa menunjukkan perilaku-perikaku positif dalam berinteraksi dengan
sesama manusia, di antaranya sebagai berikut:
1. Menjaga kebersamaan dan tali silaturahmi
Dalam menjalankan aktifitas keseharian, menjaga tali silaturahmi sangatlah
penting, baik dalam lingkungan sekolah, kantor, maupun di lingkungan masyarakat.
Dengan menjaga tali silaturahmi akan mencerminkan persaudaraan yang kokoh.

2. Bersikap rendah hati terhadap sesama


Sikap rendah hati merupakan akhlak yang mulia yang dimiliki oleh Rasulullah
SAW. Dengan sikap rendah hati ini manusia dapat menjadi lebih tinggi derajatnya di
sisi Allah SWT. Seseorang yang mampu bersikap rendah hati maka dengan
sendirinya tidak akan pernah atau jauh dari sifat arogan, tidak pernah merasa pintar,
dan merasa paling segalanya. Oleh karena itu dengan sikap rendah hati akan
melahirkan hubungan persaudaraan yang kokoh dan kuat sehingga kerukunan pun
akan semakin terpelihara.
3. Mengakui dan menghormati setiap perbedaan yang ada di sekitar kita
Orang yang bersikap toleran, akan senantiasa menghormati segala bentuk
perbedaan yang ada di sekitarnya, baik yang berhubungan dengan karakter
saudaranya yang beraneka ragam, perbedaan pendapat, dan yang lainnya. Karena
semua perbedaan yang ada pada hakikatnya merupakan bentuk motivasi untuk
berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan.

4. Menjaga perasaan orang lain agar tidak tersakiti atas apa yang kita
ucapkan dan lakukan
Salah satu kunci kerukunan dalam hidup bermasyarakat adalah senantiasa
menjaga perasaan setiap orang yang bertemu dengan kita. Seorang muslim yang baik
adalah yang mampu menjaga lisan dan perbuatannya untuk tidak menyakiti perasaan
orang-orang yang ada di sekitarnya.

5. Memaafkan orang yang melakukan kesalahan kepada kita


Memberi maaf adalah perbuatan yang jauh lebih sulit untuk dilakukan
dibandingkan dengan sekedar minta maaf. Oleh karena itu alangkah mulianya orang
yang senantiasa mau memberikan maaf kepada orang yang berbuat salah yang
memohon maaf kepada kita. Dengan sikap memafkan orang lain, maka perselisihan
dan permusuhan pun semakin berkurang sehingga kerukunan hidup pun akan tercipta.
Budaya saling memaafkan inilah yang harus dimiliki oleh bangsa kita sehingga setiap
ada persoalan tidak berujung kericuhan, tawuran bahkan perkelahian yang justru
menurunkan martabat sebagai manusia di sisi Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai