PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Bersarkan latar belakang masalh di atas, maka dapat dirumuskan masalah
pada makalah ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Ru’yatullah bil abshar fil akhirat?
2. Bagiamana pandangan Ru’yatullah bil abshar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Ahlus Sunnan Waljama’ah?
3. Bagiamana pandangan Ru’yatullah bil abshar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Mu’tazilah?
4. Bagaimana pandangan Ru’yatullah bil abshaar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Asy’ariyyah?
5. Bagaimana arti dari Ru’yatullah bil abshaar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Maturidiyyah?
6. Bagaimana pandangan dari Ru’yatullah bil absahar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Ibn rusyd?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah:
1. Mengetahui dan memahami pengertian dari Ru’yatullah bil abshar fil
akhirat?
2. Mengetahui pandangan Ru’yatullah bil abshar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Ahlus Sunnan Waljama’ah?
3. Mengetahui pandangan Ru’yatullah bil abshar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Mu’tazilah?
4. Mengetahui pandangan Ru’yatullah bil abshaar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Asy’ariyyah?
5. Mengetahui pandangan Ru’yatullah bil abshaar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Maturidiyyah?
6. Mengetahui pandangan Ru’yatullah bil absahar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Ibn Rusyd?
BAB II
PEMBAHASAN
Oleh karena itu, Kaum mukminin mengimani akan melihat Allah dengan
mata kepala sendiri di akhirat, termasuk salah satu wujud iman kepada Allah,
kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Mereka akan melihatnya secara jelas,
bagaikan melihat matahari yang bersih, sedikitpun tiada terliputi awan. Juga
bagaikan melihat bulan pada malam purnama, tanpa berdesak-desakan.
Adapun orang-orang kafir, mereka tidak akan bisa melihat Allah Ta’ala
selama-lamamya, begitu juga di akhirat nanti, sebagaimana firman-Nya.
(QS.Al-Muthaffifiin:15)
(Yajid, 2008: 70-74)
C. Pandangan Ru’yatullah Bil Abshaar Fil Akhirat Menurut Pemikiran
Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah mengingkari ru’yah karena mereka selalu berpegang teguh
pada prinsip dan pikiran yang logis. Mereka mengingkari pula kejisiman
tuhan, dan kemudian mengingkari arah serta tentunya mengingkari ru’yah.
Aliran Mu’tazilah ini sangat mengagungkan akal, mereka itu adalah aliran
yang menganut pikiran yang logis.[2] Karena itu mereka menilai
tentang ru’yat ini lebih dominan kepada akal. Menurut aliran ini, jika
berbicara tentang melihat (ru’yat) pasti ada objek yang dilihat, dan dalam
konteks ini adalah melihat Tuhan. Menurut logis mereka, jika Tuhan dapat
dilihat, berarti Tuhan itu mempunyai batas, dan dibatasi oleh ruang dan
waktu.
Selain Tuhan dibatasi oleh ruang dan waktu, aliran ini juga menyatakan
jika Tuhan itu dapat dilihat dengan mata-kepala, berarti Tuhan itu materi,
karena yang dapat dilihat oleh mata-kepala itu adalah benda (jism), jika
dianalogikan seperti itu maka berarti men-jism-kan Tuhan.
1. Alasan-Alasan Akal Pikiran
a. Apabila Allah bukan jisim, ia beranak, sehingga tidak dapat diliahat
oleh manusia. Sesuatu yang dilihat harus ada pada arah tertentu dari
orang yang melihat, tegasnya ru’yah hanya dapat terjadi atas benda.
b. Sesuatu yang dapat dilihat, memerlukan syarat-syarat antara lain yang
dilihat berwarna dan bersinar, hak tersebut tidak mungkin pada
Allah.[3]
2. Alasan-Alasan Syara’
Dalam Q.S. al-A’raf: 143, menurut Mu’tazilah bahwa yang meminta
untuk melihat Tuhan itu adalah bukan Nabi Musa sendiri, akan tetapi para
pengikutnya yang keras kepala tidak mempercayai Tuhan. Di dalam ayat
tersebut juga disebutkan kata “lan tarani” yaitu, “sekali-kali kamu tidak
akan dapat melihat Aku”, maka jelas di dalam al-Qur’an tertera bahwa
Tuhan itu memang tidak dapat dilihat.
Ada juga ayat lain yang berlawanan dengan kedua ayat tersebut, yaitu
Q.S. al-Qiyamah, yang mengisyaratkan ru’yat. Akan tetapi menurut
Mu’tazilah ayat ini termasuk mutasyabihat, yaitu ayat-ayat yang harus
ditakwil. Dalam ayat ini ada kata “nadzhirah”. Nah, kata “nadzhirah” ini
tidak bisa diartikan dengan langsung atau sesuai dengan arti katanya dalam
bahasa Arab, akan tetapi dengan ditakwilkan terlebih dahulu. Jika
diartikan secara langsung atau sesuai dengan arti katanya yaitu melihat,
akan tetapi jika diartikan secara takwil maka artinya menurut Mu’tazilah
adalah menunggu menanti rahmat-Nya.
Juga ada hadits-hadits yang menetapkan adanya ru’yat yaitu:
1. Engkau sekalian akan melihat Tuhanmu dengan mata kepala
2. Beberapa orang bertanya kepada Nabi: “Apakah kita dapat melihat
Tuhan pada hari kiamat?’ Dijawab Nabi, bahwa mereka memang akan
melihat Tuhan sebagaimana mereka melihat bulan di malam purnama,
dan melihat matahari yang tak berawan”.
Kedua hadist tersebut ditolak golongan Mu’tazilah dengan alasan
bahwa hadist tersebut termasuk hadits Ahad, yaitu hadits perseorangan,
sehingga tidak bisa dijadikan dalil dalam menilah sebuah kepercayaan.
Alasan lain Mu’tazilah menolak hadits ini adalah Tuhan itu tidak dibatasi
oleh ruang dan waktu, tidak menyinarkan cahaya seperti bulan purnama.
Dan juga hadits ini bertentangan dengan Q.S. al-An’am: 103 dan Q.S. al-
A’raf: 143 yang menafikan ru’yat. Yang mungkin menurut Mu’tazilah
adalah melihat Tuhan dengan mata-hati, yaitu dengan menambah
pengetahuan tentang Tuhan.
(Hanafi, 1996: 133)