Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tauhid merupakan pangkal dari keimanan seseorang. Seseorang dapat
dikatakan beriman jikalau dia meyakini bahwa tiada yang wajib disembah
kecuali Allah inilah yang disebut Tauhid Uluhiyah, dan dia juga meyakini
bahwa yang menciptakan, memelihara, serta menguasai langit dan bumi
beserta isinya hanyalah Allah semata inilah yang disebut Tauhid Rububiyyah,
serta ia meyakini dia dapat hidup berdampingan dengan manusia lain ataupun
makhluk lainnya dengan sifat kasih saying, suka menolong, saling
memperhatikan karena pemberian dari Allah semata inilah yang disebut
dengan Tauhid Asma Wa Sifat.
Ru’yatullah fil Akhirat merupakan sesuatu yang harus diyakini oleh setiap
manusia bahwa mereka akan bertemu dengan Allah. Akan tetapi, banyak
dikalangan manusia mengingkarinya bahwa merekadapat melihat Allah di
akhirat nanti. Para ulama juga ada yang berpendapat bahwa ru’yatullah fil
akhirat sesuatu yang pasti dapat terjadi.
Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah Al Bajali bahwa dia berkata : “Kami
duduk-duduk bersama dengan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka
dia melihat ke arah bulan pada tanggal empat belas. Maka dia berkata :
“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian dengan jelas, sebagaimana
kalian melihat ini. kalian tidak dihalangi dalam melihatnya”. Diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim.
Dari hadis ini bahwa melihat Allah tanpa hijab dapat terjadi akan tetapi
masih banyak manusia mengingkari hal ini seperti golongan Mu’tazilah dan
Jahmiyyah yang berpendapat bahwa melihat Allah dengan mata telanjang itu
sesuatu yang mustahil.
Oleh karena itu, kami ingin mengkaji mengenai hal ini dengan menyusun
makalah yang berjudul” ‫ “ رأية هللا باألبصار في األخرة‬untuk mendapatkan
pengetahuan serta pemahaman mengenai permasalahan ini.

B. Rumusan Masalah
Bersarkan latar belakang masalh di atas, maka dapat dirumuskan masalah
pada makalah ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Ru’yatullah bil abshar fil akhirat?
2. Bagiamana pandangan Ru’yatullah bil abshar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Ahlus Sunnan Waljama’ah?
3. Bagiamana pandangan Ru’yatullah bil abshar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Mu’tazilah?
4. Bagaimana pandangan Ru’yatullah bil abshaar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Asy’ariyyah?
5. Bagaimana arti dari Ru’yatullah bil abshaar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Maturidiyyah?
6. Bagaimana pandangan dari Ru’yatullah bil absahar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Ibn rusyd?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah:
1. Mengetahui dan memahami pengertian dari Ru’yatullah bil abshar fil
akhirat?
2. Mengetahui pandangan Ru’yatullah bil abshar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Ahlus Sunnan Waljama’ah?
3. Mengetahui pandangan Ru’yatullah bil abshar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Mu’tazilah?
4. Mengetahui pandangan Ru’yatullah bil abshaar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Asy’ariyyah?
5. Mengetahui pandangan Ru’yatullah bil abshaar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Maturidiyyah?
6. Mengetahui pandangan Ru’yatullah bil absahar fil akhirat menurut
pemikiran aliran Ibn Rusyd?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ru’yatullah Bil Abshaar Fil Akhirat


Ru’yatullah itu berasal dari kata Ru’yah dan Allah, ru’yah secara bahasa
berarti melihat berasal dari kata ً‫ورأية‬،ً‫رأيا‬،‫يري‬،‫ رأي‬yaitu melihat dengan mata
kepala ataupun mata telanjang (Ahmad,2002:)
Sehingga ru’yatullah berarti melihat Allah SWT dengan penglihatan mata
kita. Dinamakan demikian karena pada hari ketika manusia di bangkitkan,
kelak manusia akan dapat melihat Allah SWT dengan mata kepala sendiri.
Ru’yatullah merupakan kenikmatan yang paling tinggi yang akan
dirasakan oleh ahli surga, dikarenakan mereka dapat menyaksikan Allah
SWT secara langsung, bermunajah dengan-Nya, dan merasa damai dalam
ridho-Nya. (Marjuki,1997: )
Ru’yatullah bil abshaar fil akhirat adalah melihat Allah dengan mata
telanjang tanpa hijab di akhirat kelak. Sebagaimana perkataan Anas r.a bahwa
manusia akan melihat Allah dengan mata kepala mereka.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, melihat Allah di akhirat nanti adalah
pasti kebenarannya dan barangsiapa yang mengingkarinya berarti kafir.
Orang-orang mukmin akan melihatNya pada hari kiamat dan ketika mereka
berada di dalam jannah sebagaimana dikehendaki oleh Allah. Keyakinan
seperti ini berdasarkan ijma' Ahlus Sunnah. Dasarnya adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada
hari itu berseri-seri. Mereka melihat RabbNya". (Al-Qiyamah : 22-23)
Menurut Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, bahwa melihat Allah
merupakan kenikmatan yang tertinggi bagi penghuni jannah. Sedangkan
dunia kita ini adalah bukan tempat kenikmatan, akan tetapi merupakan tempat
bersusah payah, bersedih dan tempat pemberian beban (taklif) atau tempat
usaha. Jadi Allah tidak bisa dilihat di dunia sekarang ini, akan tetapi di akhirat
nanti orang-orang beriman akan melihat-Nya.
(http://www.almanhaj.or.id/content/363/slash/0)

Oleh karena itu, Kaum mukminin mengimani akan melihat Allah dengan
mata kepala sendiri di akhirat, termasuk salah satu wujud iman kepada Allah,
kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Mereka akan melihatnya secara jelas,
bagaikan melihat matahari yang bersih, sedikitpun tiada terliputi awan. Juga
bagaikan melihat bulan pada malam purnama, tanpa berdesak-desakan.

B. Pandangan Ru’yatullah Bil Abshar Fil Akhirat Menurut Aliran Ahlus


Sunnah Wal Jama'ah
Menurut aliran ahlus sunnah wal jama’ah adalah mengimani bahwa kaum
mukminin akan melihat Allah Ta’ala pada hari kiamat, secara jelas dengan
kepala mereka, sebagaimana melihat matahari dengan terang, ttidak terhalang
oleh awan sebagaimana mereka melihat bulan dimalam bulan purnama.
Nereka tidak berdesak-desakan dalam melihatnya.
Allah Ta’ala berfirman, (Qs. Al.Qiyaamah:22-23)

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam

َ ‫ط ْعت ُ ْم أَ ْن الَ ت ُ ْغلَب ُْوا َعلَى‬


‫صالَ ٍة‬ َ َ ‫ست ََر ْونَ َربَّ ُك ْم َك َما ت ََر ْونَ َهذَا ْالقَ َم َر الَ ت‬
َ َ‫ فَإ ِ ِن اْست‬،‫ضا ُّم ْونَ فِي ُرؤْ يَتِ ِه‬ َ ‫إِنَّ ُك ْم‬
‫غ ُر ْوبِ َها فَا ْفعَلُ ْوا‬
ُ ‫صالَةٍ قَ ْب َل‬
َ ‫ش ْم ِس َو‬ َّ ‫طلُ ْوعِ ال‬ُ ‫قَ ْب َل‬
Artinya:
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat
bulan pada malam bulan purnama, kalian tidak terhalang (tidak berdesak
desakan) ketika melihatnya. Dan jika kalian sanggup untuk tidak di kalahkan
(oleh setan) untuk melakukan shalat sebelum matahari terbit (shalat subuh)
dan sebelum terbenamnya (shalat Ashar),maka lakukanlah ( HR. Bukhari
muslim)
Kaum mukminin akan melihat Allah Ta’ala di padang mahsyar, kemudian
akan melihat-Nya lagi setelah memasuki surga, sebagaimana yang
dikehendaki oleh Allah Ta’ala.
Melihat Allah Ta’ala merupakan kenikmatan yang paling dicintai bagi
penghuni surga.
Allah Ta’ala berfirman ,

‫سنُوا ْال ُح ْسنَى َو ِزيَادَة‬


َ ْ‫ِللَّذِينَ أَح‬
Artinya:
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga)
dan tambahannya (Kenikmatan melihat Allah ).” (QS. Yunus:26)

Kata “Tambahannya” yang terdapat pada ayat diatas ditafsirkan oleh


Rasulullah shallallahu’ alaihi wa salam dengan “kenikmatan melihat Allah”
sebagaimana beliau bersabda, “ Apabila ahli surga telah masuk ke surga, Allah
berfirman, ”apakah kalian ingin tambahan sesuatu dari–Ku?” Mereka
menjawab,”bukankan engkau telah memutihkan wajah kami ?” Bukankah
engkau telah memasukan kami kedalam syurga dan menyelamatkan kami dari
api neraka?,” Lalu allah membuka hijab-Nya, maka tidak ada pemberian yang
paling mereka cintai melainkan melihat wajah Allah, Azza wa Jallah.
Kemudian beliau Shallallahu’alaihi wa sallam membaca ayat ini: Bagi orang-
orang yang berbuat baik , ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.”
(QS. Yunus : 26).
Adapun di dalam kehidupan dunia, maka tidak ada seorang pun yang dapat
melihat Allah, sebagaimana firman-Nya:
(QS. Al-An’aam:103)

Allah Ta’ala pernah berfirman kepada Nabi Musa’alaihis salaam,


(QS. Al-A’raaf:143)
Demikian juga sabda Rasulullah shallallaahu’alaihi wa salam
Aisyah radhiyallaahu’anhu berkata,

Adapun orang-orang kafir, mereka tidak akan bisa melihat Allah Ta’ala
selama-lamamya, begitu juga di akhirat nanti, sebagaimana firman-Nya.
(QS.Al-Muthaffifiin:15)
(Yajid, 2008: 70-74)
C. Pandangan Ru’yatullah Bil Abshaar Fil Akhirat Menurut Pemikiran
Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah mengingkari ru’yah karena mereka selalu berpegang teguh
pada prinsip dan pikiran yang logis. Mereka mengingkari pula kejisiman
tuhan, dan kemudian mengingkari arah serta tentunya mengingkari ru’yah.
Aliran Mu’tazilah ini sangat mengagungkan akal, mereka itu adalah aliran
yang menganut pikiran yang logis.[2] Karena itu mereka menilai
tentang ru’yat ini lebih dominan kepada akal. Menurut aliran ini, jika
berbicara tentang melihat (ru’yat) pasti ada objek yang dilihat, dan dalam
konteks ini adalah melihat Tuhan. Menurut logis mereka, jika Tuhan dapat
dilihat, berarti Tuhan itu mempunyai batas, dan dibatasi oleh ruang dan
waktu.
Selain Tuhan dibatasi oleh ruang dan waktu, aliran ini juga menyatakan
jika Tuhan itu dapat dilihat dengan mata-kepala, berarti Tuhan itu materi,
karena yang dapat dilihat oleh mata-kepala itu adalah benda (jism), jika
dianalogikan seperti itu maka berarti men-jism-kan Tuhan.
1. Alasan-Alasan Akal Pikiran
a. Apabila Allah bukan jisim, ia beranak, sehingga tidak dapat diliahat
oleh manusia. Sesuatu yang dilihat harus ada pada arah tertentu dari
orang yang melihat, tegasnya ru’yah hanya dapat terjadi atas benda.
b. Sesuatu yang dapat dilihat, memerlukan syarat-syarat antara lain yang
dilihat berwarna dan bersinar, hak tersebut tidak mungkin pada
Allah.[3]
2. Alasan-Alasan Syara’
Dalam Q.S. al-A’raf: 143, menurut Mu’tazilah bahwa yang meminta
untuk melihat Tuhan itu adalah bukan Nabi Musa sendiri, akan tetapi para
pengikutnya yang keras kepala tidak mempercayai Tuhan. Di dalam ayat
tersebut juga disebutkan kata “lan tarani” yaitu, “sekali-kali kamu tidak
akan dapat melihat Aku”, maka jelas di dalam al-Qur’an tertera bahwa
Tuhan itu memang tidak dapat dilihat.
Ada juga ayat lain yang berlawanan dengan kedua ayat tersebut, yaitu
Q.S. al-Qiyamah, yang mengisyaratkan ru’yat. Akan tetapi menurut
Mu’tazilah ayat ini termasuk mutasyabihat, yaitu ayat-ayat yang harus
ditakwil. Dalam ayat ini ada kata “nadzhirah”. Nah, kata “nadzhirah” ini
tidak bisa diartikan dengan langsung atau sesuai dengan arti katanya dalam
bahasa Arab, akan tetapi dengan ditakwilkan terlebih dahulu. Jika
diartikan secara langsung atau sesuai dengan arti katanya yaitu melihat,
akan tetapi jika diartikan secara takwil maka artinya menurut Mu’tazilah
adalah menunggu menanti rahmat-Nya.
Juga ada hadits-hadits yang menetapkan adanya ru’yat yaitu:
1. Engkau sekalian akan melihat Tuhanmu dengan mata kepala
2. Beberapa orang bertanya kepada Nabi: “Apakah kita dapat melihat
Tuhan pada hari kiamat?’ Dijawab Nabi, bahwa mereka memang akan
melihat Tuhan sebagaimana mereka melihat bulan di malam purnama,
dan melihat matahari yang tak berawan”.
Kedua hadist tersebut ditolak golongan Mu’tazilah dengan alasan
bahwa hadist tersebut termasuk hadits Ahad, yaitu hadits perseorangan,
sehingga tidak bisa dijadikan dalil dalam menilah sebuah kepercayaan.
Alasan lain Mu’tazilah menolak hadits ini adalah Tuhan itu tidak dibatasi
oleh ruang dan waktu, tidak menyinarkan cahaya seperti bulan purnama.
Dan juga hadits ini bertentangan dengan Q.S. al-An’am: 103 dan Q.S. al-
A’raf: 143 yang menafikan ru’yat. Yang mungkin menurut Mu’tazilah
adalah melihat Tuhan dengan mata-hati, yaitu dengan menambah
pengetahuan tentang Tuhan.
(Hanafi, 1996: 133)

D. Pandangan Ru’yatullah Bil Abshaar Fil Akhirat Menurut Pemikiran


Aliran Asy’ariyyah
Mengenai pandangan ru’yat Allah, kaum Asy’ariyah meyakini bahwa
kelak Allah akan bisa dilihat di hari kebangkitan dengan mata kepala
manusia. Mereka mengungkapkan keyakinan mereka dengan alasan-alasan
akal juga dengan dalil-dalil syara’.
1. Alasan akal pemikiran
Alasan melalui akal pemikiran ini dijelaskan oleh salah satu tokoh
Asy’ariyah, yakni:
a. Al-Ghazali.
Al-Ghazali menerangkan bahwa objek pengelihatan itu tidak harus
ada pada arah tertentu bagi subjek yang melihat, seperti halnya melihat
refleksi benda pada cermin.
b. Al Juwaini
Al juwani mengatakan bahwa sesuatu dapat dilihat mata karena
adanya benda dan segi warnanya.

Namun kedua hipotesa tersebut tidak benar karena sesuatu dapat


dilihat mata karena ia berada, karena Allah ada, maka ia dapat dilihat.[5]
2. Alasan-alasan syara’
Keyakinan kaum Asy’ariyah bahwa Allah kelak di akhirat bisa dilihat
dengan mata bersandarkan pada ayat al-Quran dalam surat al-Qiyamah
ayat 22 hingga 23.

ِ ‫) إِلَى َربِِّ َها ن‬٢٢(


‫) َو ُو ُجوه يَ ْو َمئِ ٍذ بَا ِس َرة‬٢٣( ‫َاظ َرة‬

”Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Memandang


Tuhannya” Mereka meyakini bahwa kata nazhir dalam ayat ini berarti
melihat. Karena kata nazhir dalam ayat ini dibarengi oleh kata wujuh,
maka mereka meyakini bahwa artinya adalah melihat.Kaum Asy’ariyah
menanggapi mengenai dalil surat al-An’am yang digunakan oleh kaum
Mu’tazilah sebagai dasar Tuhan itu tidak bisa dilihat dengan menyatakan
bahwa, tidak bisa dilihat dalam ayat ini bermaksudkan tidak bisa dilihat
ketika di dunia, namun ketika di akhirat Tuhan bisa dilihat dengan mata.
(Nasution, 1972: 137-38)

E. Pandangan Ru’yatullah Bil Abshaar Fil Akhirat Menurut Pemikiran


Aliran Maturidiyyah
Al-Maturidi berpendapat bahwa ru’yah akan terjadi dan sudah disepakati
ahli Sunnah. Ru’yah tidak mungkin dapat dilihat dengan mata kepala tetapi
dengan hati atau fikiran. Sehingga tidak mungkin menimbulkan kejisiman
Allah. Ru’yah terjadi tanpa bagaimana dan dimana.
Alasan syara’ ialah surat Al An’am (103) yang dijadikan dasar penolakan
aliran Mu’tazilah. Dan pemikiranya sama dengan pemikiran Asyariah.
Ru’yat dalam pandangan al-Ma’turidiyah hampir sama dengan pandangan
al-Asy’ariyah, yaitu Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak. Akan tetapi yang
membedakan pemikiran aliran ini dengan al-Asy’ariyah adalah Tuhan dapat
dilihat di akhirat nanti akan tetapi tidak pasti dengan menggunakan mata-
kepala, menurut al-Ma’turidiyah melihat (ru’yat) Tuhan itu termasuk
peristiwa hari kiamat. Ru’yat itu sudah pasti terjadi pada hari kiamat, dan
untuk melihat itu hanya Allah yang mengetahui bagaimana caranya.
Seorang tokoh al-Ma’turidiyah yang bernama al-Bazdawi memberikan
argumen tentang melihat (ru’yat) Tuhan, yaitu segala sesuatu yang
mempunyai wujud itu dapat dilihat, dan Tuhan itu mempunyai wujud,
meskipun Tuhan itu tidak dibatasi ruang dan waktu.
Al-Ma’turidiyah juga menentang pendapatnya salah satu tokoh lagi yaitu
al-Ka’bi yang mengartikan bahwa Tuhan itu tidak dapat dilihat. Dalam
pendapatnya al-Ka’bi itu menunujukan bahwa dia men-jism-kan Tuhan,
karena itu ia tidak mengakui dapat melihat dengan mata-kepala. Tanggapan
al-Ma’turidiyah tentang pendapatnya al-Ka’bi ini adalah bahwa al-Ka’bi ini
menyamakan melihat Tuhan dengan melihat makhluk.
(Al-Barsani, 2001: 45-46)
F. Pandangan Ru’yatullah Bil Abshaar Fil Akhirat Menurut Pemikiran
Aliran Ibn Rusyd
Terdapat perbedaan pandangan tentang melihat Allah (al-Ru’yah),
golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa penglihatan manusia tidak dapat
menjangkau dhaz Allah, dengan alasan bahwa aktifitas melihat membutuhkan
media yaitu arah yang memposisikan obyek dihadapan subyek. Dengan
demikian, pendapat mereka masih pararel dengan masalah sebelumnya, yaitu
menafikan sifat fisikal pada Allah.
Sedangkan golongan Ash’ariyah mencoba memadukan antara penafian
sifat fisikal dengan kemungkinan melihat dengan tanpa indera, bagi mereka,
argumentasi golongan Mu’tazilah hanya berlaku dalam alam realitas saja,
tidak dalam alam ghaib, sebab dimungkinkan bagi manusia melihat dengan
daya penglihatan selain dari mata.
Sedangkan pandangan Ibn Rushd dalam masalah ini adalah seperti tampak
pada sikapnya untuk tidak menyamaratakan tingkat kemampuan berfikir
manusia terpelajar dengan orang awam. Kepada orang awam cukuplah
dikatakan sesuai dengan yang tersurat tanpa menjelaskan lebih lanjut, sebab
mereka hanya dapat memahami hal-hal yang dialami dan tepikirkan,
sedangkan kepada kaum terpelajar menurutnya persoalan itu tidak bisa
dinyatakan secara tegas, karena peristiwanya baru akan terjadi diakhirat,
sebagaimana tidak ada pernyataan tegas dari wahyu tentang penafian dan
penetapan sifat fisikal pada Allah.
(http://greenmasa.blogspot.com/2012/09/filsafat-ketuhanan-ibn-
rushd_22.html)

Anda mungkin juga menyukai