Oleh
Ummu Abdurrahman bintu Muhammad Arfat
Wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada Allah, dan perhatikanlah perjalanan hari-
hari, karena sesungguhnya perjalanan hari (siang dan malam) akan terus berlalu
mengantarkan akhir perjalananmu, yaitu negeri akhirat.
Maka berbahagialah bagi seseorang yang dapat mengisi waktunya dengan sesuatu
yang dapat mendekatkan dirinya dengan Allah, berbahagialah bagi seseorang yang
menyibukkan dirinya dengan ketaatan dan menghindari maksiat. Berbahagialah bagi
seseorang yang meyakini adanya hikmah-hikmah Allah yang agung dan rahasia-
rahasia-Nya (yang Dia ketahui), dengan melihat kepada silih bergantinya perkara-
perkara dan keadaan-keadaan.
َ ب هللاُ الَّ ْي َل َوالنَّ َها َر ِإنَّ ِفي َذلِ َك لَ ِع ْب َرةً ُأل ْولِي ْاَأل ْب
صا ِر ُ ِّيُقَل
“Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu,
terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan” [An-
Nuur/24 : 44]
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya pada hari ini kamu berpisah dengan tahun
yang telah lalu, yang menjadi saksi. Dan kamu akan menyambut tahun yang akan
datang, tahun yang baru, maka apakah yang telah kamu tinggalkan untuk tahun
kemarin? Dan dengan apa kamu akan menyambut tahun yang baru ini?
Dan jika dia termasuk orang yang diberi keistiqomahan oleh Allah, maka mintalah
untuk tetap istiqomah sampai akhir hidupnya.[1]
Awal bulan telah membawa kita ketahun baru Hijriyah, bulan itu ialah bulan Allah
Al-Muharam. Hal ini bukanlah sesuatu yang asing lagi bagimu. Tetapi ….! Apakah
bulan ini memiliki hukum-hukum yang harus diketahui oleh thalibul ilmi, thalibul haq
dan thalibul akhirah (penuntut ilmu, pencari kebenaran dan orang yang menginginkan
akhirat)? Yaa … di bulan ini ada amalan-amalan yang harus diperhatikan, sebagai
upaya untuk menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
upaya untuk memperoleh pahala serta kebaikan bagi orang yang mengajak kepada
petunjuk agama.
Pemuda sejati, demi Allah ialah yang memiliki ilmu dan ketaqwaan
Tidaklah dikatakan pemuda sejati kalau tidak memiliki keduanya.
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan
Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram.
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan
yang empat itu” [At-Taubah/9: 36]
Sesungguhnya Allah tidak menulis di dalam Lauhul Makhfud yaitu pada hari
penciptaan langit dan bumi, bahwa jumlah bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan.
Empat bulan di antaranya ialah haram (mulia) : Tiga beriringan, yaitu Dzulqa’dah,
Dzulhijjah dan Muharram, serta Rajab Mudhar yang ada antara Jumada dan Sya’ban,
“Allah memiliki hikmah yang sempurna, yaitu ketika Dia memilih utusan-utusan dari
kalangan malaikat (seperti Jibril untuk menyampaikan wahyu, -red), begitu juga dari
kalangan manusia (yakni para rasul yang diutus Allah,-red). Dan Allah juga
mengutamakan beberapa waktu dibanding dengan waktu yang lainnya, beberapa
tempat dibanding dengan tempat-tempat lainnya. Dan mengutamakan sebagian bulan
dengan sebagian lainnya, sebagian hari dengan sebagian lainnya”[2]
Adapun tentang larangan berbuat zalim pada ayat diatas, ulama Salaf berbeda
pendapat. Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud kezaliman
adalah peperangan secara mutlak. Sebagian mereka berkata –dan ini yang lebih rajih–
bahwa maksud dari kezaliman dalam ayat diatas ialah dilarangnya memulai
peperangan. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
kezaliman di dalam ayat ialah berbuat dosa dan kemaksiatan.
Dan hendaklah kita menjaga diri dari do’anya orang-orang yang dizalimi, walaupun ia
kafir atau fajir (jahat), karena sesungguhnya do’anya dikabulkan oleh Allah (karena
tidak ada penghalang antara dia dengan Allah).
“Tidak ada dari satu dosapun yang lebih pantas untuk dicepatkan siksanya bagi
pelaku dosa itu baik di dunia maupun di akhirat daripada melewati batas (kezaliman)
dan memutus silaturahim” [4]
ٍ س ٍّي ُر ُك ْو
ع ِ ُسبُ َك َأنْ َي ْن ُجو الظَّلُ ْو ُم َو َخ ْلفَه
ِ َس َها ُم ُدعَا ٍء ِمنْ ق ْ َو َح
Hendaklah mereka senang dan tenang, yaitu bahwa orang-orang yang zalim itu akan
celaka di dunia dan akhirat. Dan bahwasanya Allah tidaklah menyelisihi janjiNya,
“akan tetapi kalian itu kaum yang tergesa-gesa”.
Adapun orang yang membantu orang-orang yang zalim di dalam kezaliman dan
kesesatan mereka, apapun kedudukan orang-orang yang zalim itu, baik penguasa
ataupun rakyat, maka ingatlah bahwa adzab yang pedih pasti akan menunggu mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
Hadits yang mulia diatas cukuplah menjadi peringatan dari kezaliman, baik kecil
maupun besar, bagi orang yang berakal, atau orang yang mau mendengarkan,
sedangkan dia menyaksikan.
Kedua : Disunahkan Puasa Secara Mutlak Khususnya 9 dan 10 Muharram
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan
Muharram” [6]
Adapun puasa 9 Muharram, maka itu disunnahkan. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkan.
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan
memerintahkan (para sahabat) supaya berpuasa. Para sahabat berkata : “Wahai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya hari itu adalah hari yang
diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani”, Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Pada tahun depan insya Allah kita puasa tanggal 9”. Tetapi
beliau wafat sebelum datangnya tahun berikutnya”[7]
“Seandainya aku mendapati tahun depan, maka aku akan puasa tanggal 9. Tetapi
beliau meninggal sebelum itu”[8]
َاضيَة
ِ سنَةَ ا ْل َم
َّ يُ َكفِّ ُر ال:ُورا َء ؟ فَقَا َل
َ ص ْو ِم يَ ْو ِم عَاش
َ َْوسُِئ َل عَن
“Puasa Asyura menghapus kesalahan setahun yang telah lalu” [Hadits Riwayat
Muslim]
Beliau juga senantiasa melakukan puasa Asyura berdasarkan hadits Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.
“Tidaklah aku melihat Rasulullah lebih menjaga puasa pada hari yang
diutamakannya dari hari lain kecuali hari ini, yaitu Asyura”[9]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
Benarlah bahwa Asyura merupakan hari-hari Allah, yang pada hari itu al-haq
mendapatkan kemenangan atas kebatilan. Orang-orang mukmin yang sedikit
mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir yang banyak. Pada hari itu pula
Allah menyelamatkan Nabi Musa ‘Alaihis sallam dan kaumnya dari kejaran Fair’aun.
Maka berpuasalah Nabi Musa ‘Alaihis sallam sebagai wujud syukur kepada Allah.
Pada mulanya puasa Asyura diwajibkan, tetapi setelah Allah mewajibkan puasa pada
bulan Ramadhan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari
sebelumnya atau sehari setelahnya”
Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam ta’liq (komentar) nya terhadap
Shahih Ibnu Khuzaimah juz 3 no. 290, bahwa sanadnya dha’if, karena kejelekan
hafalan Abu Laila, dan Atha’ serta yang lain menyelisihinya juga. Bahkan Ath-
Thahawi dan Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas secara mauquf (dari perkataan
Ibnu Abbas) dan sanadnya shahih.
Sekarang jelaslah tentang kelemahan orang yang menyatakan bahwa puasa Asyura itu
bertingkat-tingkat. Yang paling tinggi tingkatannya adalah puasa sebelum ataupun
sesudahnya. Dalam hal ini perkataan Ibnu Abbas menjadi penguat puasa pada
tanggal 9 Muharram dan 10 Muharram dalam rangka untuk menyelisihi orang
Yahudi. Inilah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Fatawa
juz 25 hal. 313. Wallahu a’lam
“Siapa yang bercelak dengan itsmid pada hari Asyura, dia tidak akan terkena
penyakit mata selamanya”
Maka sikap Ahlu Sunnah wal Jama’ah di dalam menghadapi hari Asyura adalah
bahwa Asyura bukanlah hari untuk senda gurau ataupun untuk mencela. Akan tetapi
yang sunnah ialah melakukan puasa, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berpuasa pada hari itu, bahkan menganjurkannya. Dan terkutulah ahli bid’ah
(yang membikin berbagai bid’ah pada hari yang mulia ini)
ض َعا ِء فَا ِط َمةَ َو َي ْتفُ ُل ِفي َأ ْف َوا ِه ِه ْم َويَْأ ُم ُر ُأ َّم َهاتَ ُه ْم َ سلّ َم يُ َعظِّ ُمهُ َويَ ْدع ُْو ِب ُر
َ ض َعاِئ ِه َو ُر َ صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو ُ َكانَ َر
َ س ْو ُل هللا
َّ
لى الل ْي ِلَ ضعْنَ ِإ ِ الَّ يُ ْرَأ
Hadits dhaif, sebagaimana disebutkan di dalam kitab Shahih Ibnu Khuzaimah no.
2089
Akhirnya, inilah yang bisa kami ketengahkan tentang pembahasan penting yang
berhubungan dengan bulan Muharram. Jika pembaca menginginkan pembasahan yang
lebih luas bisa melihat kitab-kitab fikih induk dan kitab-kitab akidah yang membantah
ahli bid’ah dan kitab-kitab lain yang membahas masalah ini. Dan juga hendaknya
melihat kitab Ra’sul Husain karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kitab Istisyhadul
Husain karya Ibnu Katsir, dan kitab Al-Awashim Minal Qawashim karya Ibnul Arabi
Al-Maliki. Sehingga bisa mengetahui hakikat peristiwa musibah Husain bin Ali
menurut pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan juga mengetahui seberapa besar
bid’ah-bid’ah dan kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan oleh orang-orang
Syi’ah Rafidhah, yang mengatas namakan kecintaan kepada Ahlul Bait dan
pembelaan kepada mereka dengan merusak sejarah Islam. Dan agar mengetahui
berdasarkan ilmu, tentang sejarah Husain Radhiyalahu ‘anhu dan riwayat-riwayat
yang menceritakan tentang musibah yang besar itu. Yang hingga kini terus menerus
umat harus membayar harga musibah tersebut. Semua itu mereka lakukan dengan
mengatas namakan Ahlul Bait dan penghapusan dosa terbunuhnya Husain dengan
cara membunuh Ahlu Sunnah wal Jama’ah, mengadakan propaganda-propaganda
untuk melawan Ahlus Sunnah, dan menanamkan rasa takut di hati mereka. Maka
semoga Allah membinasakan ahli bid’ah dan ahli ahwa, yang mereka itu membunuhi
umat Islam tetapi membiarkan para penyembah berhala.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia menyelamatkan kita dari bid’ah-bid’ah dan
dari perkara-perkara yang diadakan di dalam agama.
(Diterjemahkan oleh Abu Aminah Ady Abdul Jabbar dari majalah Al-Ashalah,
hal.67-73, No. 11, 15 Dzulhijjah 1414H)