Anda di halaman 1dari 69

DARI ISTIGFAR KE TOBAT

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Istighfar adalah ungkapan spontanitas seorang hamba yang baru saja menyadari kekhilafannya dengan mengucapkan kalimat
istighfar, misalnya astagfirullah al-’adzim.

Sedangkan, tobat lebih dari sekadar mengucapkan lafaz istighfar, tetapi menuntut persyaratan lebih banyak. Jadi, jelas tobat
lebih berat daripada istighfar.

Al-Qusyairi dalam risalahnya membagi tobat itu menjadi tiga macam, yaitu 1) Tobat dari segala kesalahan dan dosa, inilah
tobatnya orang awam; 2) Tobat dari kelalaian untuk mengingat Allah SWT, inilah tobatnya orang khawas; 3) Tobat dari
penglihatan terhadap segala kebaikan, inilah tobatnya orang khawas al-khawas.

Orang yang tobat karena takut siksaan disebut tobat. Orang yang tobat karena ingin meraih pahala, disebut inabah, dan orang
yang tobat bukan karena takut neraka atau mengejar pahala, tapi hanya semata-mata karena menuruti perintah disebut aubah.

Syekh Muhammad bin Abi Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin al-Razi (660 H) dalam karya Haqaiq al-Haqaiq, membagi tobat
itu kepada dua bagian besar.
Pertama, tobat orang awam, yaitu kembali dari segala kemaksiatan menuju kepada ketaatan dengan cara meninggalkan
(pengaruh dan keterikatan) dunia dan mencari kehidupan akhirat.

Kedua, tobat khawas, yaitu kembali dari mencari akhirat dan kenikmatan surga menuju pada ibadah kepada Allah hanya
semata karena zat-Nya yang Mahasuci, bukan karena mencari pahala dan bukan pula karena takut akan siksaan.

Oleh karena itu, tobatnya masyarakat awam justru sebagai sebuah dosa bagi kalangan orang khawas, sebagaimana dalam
hadis, “Kebaikan orang-orang saleh merupakan kejahatan orang-orang muqarrabin.”

Kemudian al-Khawas ia bagi dua lagi, yaitu al-‘Arifun dan al-Muqarrabun. Al-Muqarrabun ialah mereka yang masuk
kategori hawas al-khawas.

Tobat pada bagian pertama di atas merupakan tanjakan awal dalam menempuh jalan menuju Allah dan maqam (tahapan)
awal dalam mencari ridha Allah. Sesungguhnya Allah selalu mendorong manusia agar segera bertobat.

Dalam firman-Nya disebutkan, “Jika Allah mencintai seorang hamba maka dosa itu tidak akan memberi mudarat pada
dirinya.” Lalu, beliau membaca ayat tersebut (QS al-Baqarah [2]:222).

Maksudnya, Allah memberi taufik kepadanya untuk bertobat dan Allah menerima tobatnya maka dosa yang pernah dilakukan
sebelum tobat itu, tidak ada lagi melekat pada dirinya. Nabi SAW juga selalu memotivasi untuk segera bertobat, sebagaimana
dalam sabdanya, “Orang yang bertobat seperti orang yang tak berdosa”. Dalam hadis lain dikatakan, “Tak ada sesuatu pun
yang lebih dicintai Allah, daripada seorang pemuda yang bertobat.”

Rasulullah SAW pernah ditanya istrinya, Aisyah RA, “Mengapa engkau menghabiskan waktu malammu untuk beribadah,
bukankah engkau seorang Nabi yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT?”

Rasulullah menjawab singkat, “Apakah aku tidak termasuk hamba yang bersyukur?”

Dari sini bisa dipahami bahwa porsi makna tobat tidak hanya sekadar pembersihan diri dari dosa dan maksiat, tetapi lebih
banyak bermakna mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah SWT (taqarrub ilallah).

Inabah yang merupakan sifat dasar al-tawwabin, sesungguhnya menjadi ciri khas para wali dan para orang dekat Tuhan
(muqarrabin). Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Alquran, “Wa ja’a bi qalbin salim (Dan dia datang dengan hati
yang bertobat).” (QS Qaf [50]: 33).

Selain inabah, juga dikenal istilah lain, yaitu aubah merupakan sifat para Nabi dan Rasul, sebagaimana firman-Nya, “Ni’mal
‘abd innahu awwab” (Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS Shad [35]: 44).

1
KOSMOLOGI SHALAT
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Di dalam Alquran dijelaskan bahwa yang melaksanakan shalat bukan hanya manusia, melainkan semua makhluk, termasuk
benda mati.
Secara etimologi shalat berasal dari akar kata shala-yushla, kemudian membentuk kata shalla berarti doa, zikir, dan ketaatan
(al-du’a, al-dzikr, wa  al-itha’ah).

Secara terminologi biasa diartikan dengan perbuatan tertentu beserta syarat-syarat tertentu dilakukan dalam waktu tertentu
yang unsurnya terdiri atas berdiri, rukuk, duduk, sujud, tasbih, dan tahlil yang dimaksudkan sebagai salah satu bentuk ibadah
khusus (mahdhah) kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Dalam tradisi ilmu hakikat shalat merupakan suatu hakikat idhafiyah (sandaran) antara “da’i” dan “mad’u” atau antara hamba
dan Tuhan.

Para ahli hakikat memaknai shalat itu sebagai rangkaian secara fungsional dari berbagai derivasi yang muncul dari kata
shalat, yaitu wushlah (sambungan), shila (hubungan), washl (tersambung), wishal (ketersambungan), shaulah (sambungan),
dan shalaa  (ketersambngan).

Shalat berfungsi sebagai wushlah karena menyambung antara dua bagian menjadi satu yang sebelumnya berpisah. Shalat
berfungsi sebagai shilah karena sebagai media penyampaian sebuah pemberian yang dimohon oleh sang pemohon.

Shalat berfungsi sebagai shaulah karena menjadi sarana penghubung antara Sang Mahakuasa dengan sang makhluk yang
lemah.

Shalat juga berfungsi sebagai salwu karena menyungkurkan diri sang penyembah kepada Tuhannya yang disembah.
Sedangkan, du’au ialah permohonan untuk sampaikan apa yang dimintanya dari tempat berdoa itu.

Menurut Dawud al-Qaishari dalam Syarah Fushush al-Hikam, kata shalawat yang disandarkan kepada Allah SWT untuk
hamba-Nya berarti rahmat, shalawat dari malaikat kepada manusia bermakna istighfar, dan shalawat dari manusia kepada
Tuhannya berarti doa.

Allah SWT bershalawat kepada hamba-Nya dalam arti memberi rahmat, sebagaimana dicontohkan di dalam Alquran,
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah
kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS al-Ahzab [33]: 56).

Sedangkan, makhluk bershalawat kepada Allah SWT dalam arti doa disebutkan pada ayat, “Tidakkah kamu tahu bahwasanya
Allah, kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-
masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS an-
Nur [24]: 41).

Shalat dalam arti umum ialah persembahan dari makhluk kepada Sang Khalik. Di dalam Alquran dijelaskan bahwa yang
melaksanakan shalat bukan hanya manusia, melainkan semua makhluk, termasuk benda mati. Bentuk dan kaifiyah-nya tentu
berbeda satu sama lain.

Malaikat melakukan shalat disebutkan dalam ayat, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui’.” (QS al-Baqarah [2]: 30).

Para manusia menunaikan shalat disebutkan dalam berbagai ayat, di antaranya dalam (QS an-Nur [24]: 41).

Langit, bumi, bintang-bintang, pepohonan, dan berbagai jenis binatang juga shalat, sebagaimana disebutkan di dalam ayat,
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?
Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuz) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah
bagi Allah.” (QS al-Hajj [22]:70).

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Alkitab,
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS al-An’am [6]:38).

Pada ayat lain, “Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya.” (QS ar-Rahman [55]:6).

Bahkan, makhluk yang selama ini dipersepsikan sebagai benda mati pun shalat. “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang
ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu
sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS al-Isra’
[17]:44).
2
Shalat bagi manusia selain berfungsi sebagai pernyataan kehambaan diri kepada Tuhan, juga untuk membantu mengendalikan
diri mereka sebagai khalifah.

Pada bagian pertama dari artikel ini dijelaskan shalat sebagai bentuk persembahan khusus kepada Sang Khalik dari para
makhluk-Nya, baik makhluk makrokosmos (alam semesta) maupun mikrokosmos (manusia).

Walaupun bentuk dan cara shalat mereka masing-masing berbeda satu sama lain namun intinya shalat mereka merupakan
ekspresi penghambaan diri terhadap Sang Khaliq yang sekaligus sebagai Tuhannya.
 
Manusia sebagai makhluk mikrokosmos, selain kapasitasnya sebagai hamba, juga  diamanati tugas ganda sebagai khalifah,
yakni representatif Tuhan di dalam mengelola alam ini.

Karena itu, shalat bagi manusia selain berfungsi sebagai pernyataan kehambaan diri kepada Tuhan, juga untuk membantu 
mengendalikan diri mereka sebagai khalifah di jagat raya (khalaif al-ardh).

Hal ini ditegaskan di dalam Alquran surah al-‘Ankabut ayat 45, “Sesungguhnya shalat mencegah kepada keburukan dan
kemungkaran.”

Allah SWT juga menjamin orang-orang yang rajin menunaikan shalat akan berdampak positif di dalam penampilannya, yaitu
ada bekas sujud tercermin di wajahnya (simahum fi wujuhihim min atsaris sujud) (QS al-Fath [48]: 29).
Dalam Alquran juga disebutkan shalat berpengaruh penting untuk mewujudkan kesadaran dan konsentrasi manusia (aqimis
shalata li dzikri) (QS Thaha [20]:14), bahkan shalat menghadirkan ketenangan jiwa (ala bi dzikrillah tathmainnul qulub)
(QS  ar-Ra’d [13]:28).
Manusia diberi berbagai keistimewaan oleh Sang Pencipta, Allah SWT, seperti satu-satunya makhluk yang  diciptakan
langsung oleh kedua tangan Tuhan (khalaqtu bi yadayya) (QS Shad [38]: 75), makhluk-makhluk lain termasuk malaikat
hanya diciptakan dengan satu tangan Tuhan (khalaqtu bi yadi).
Hanya kepada manusia berlaku konsep taskhir, yaitu penundukan segenap alam semesta kepadanya (wa sakhkhara lakum ma
fis samawati wa ma fil ardli jami’an) (QS at-Jatsiyah [45]: 13).
Alquran menegaskan manusia makhluk paling sempurna di antara seluruh makhluk (laqad khalaqnal insan fi ahsani taqwim
(QS at-Tin [95]: 4).
Namun demikian, keutamaan-keutamaan itu hendaknya tidak membuat manusia lupa diri dan semena-mena tanpa batas
mengeksploitasi alam semesta di luar ambang batas daya dukungnya karena alam semesta paling taat dan paling ikhlas di
dalam mendirikan shalat.
Makhluk makrokosmos tidak pernah mengusik pengabdian kepada Tuhannya dengan membanggakan diri  (istikbar), dengan
mengunggulkan asal usul kejadiannya, sebagaimana dilakukan iblis.
“Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah kamu 
menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS Shad [38]:74).
Makhluk makrokosmos juga tidak pernah mengangkat diri tinggi-tinggi (‘alin), dengan mengunggulkan prestasi spiritualnya,
sebagaimana dilakukan Malaikat. “(Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman  kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku
ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’
Mereka berkata, ‘Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?’  Tuhan berfirman,
‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30).
Dalam hadis, sebagaimana dikutip dari Imam al-Gazali, disebutkan setelah malaikat mengungkit prestasi spiritual mereka,
mereka “diusir” dari halaman Istana ‘Arasy, lalu turun ke miniatur ‘Arasy yang dipersiapkan Tuhan di Baitul Makmur.
Sesungguhnya manusia harus malu kepada makhluk makrokosmos karena ternyata manusia menggabungkan kedua sifat-sifat
tercela dari iblis (istikbar) dan malaikat (‘alin).
Sinyalemen banyak ayat dalam Alquran dan dalam kenyataan manusia banyak berperilaku angkuh (istikbar) dan suka
mengangkat diri tinggi-tinggi karena prestasi (‘alin).

Manusia harus banyak belajar tawadhu sebagai bekas sujud (atsar sujud) sebagaimana makhluk makrokosmos. Bahkan
manusia menambahkan satu lagi sifat tercela, yaitu ambisi.
Hal ini tercermin di  dalam ayat, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh”. (QS al-Ahzab [33]:72).

Lebih khusus lagi manusia tidak boleh membanggakan diri dengan munculnya tanda-tanda hitam di jidat dengan klaim
sebagai bekas sujud (atsar sujud) sebab tanda bekas sujud yang dimaksud di dalam Alquran ialah Simahum fi wujuhihim min
atsar al-sujud, yaitu tanda bekas sujud tercermin pada keseluruhan wajah (wujuh, bentuk jamak dari kata wajhun), bukannya
dikatakan simahum fi jabhatin min atsharis sujud.
Jidat dalam bahasa Arab ialah jabhatun. Sedangkan, penggunaan kata wajhun (wajah) dalam Alquran termasuk lafaz
musytarak, yang memilki banyak makna.
Perbuatan dengan sengaja menghitamkan jidat boleh jadi perbuatan dosa karena merusak keindahan ciptaan Allah SWT. Lain
halnya kalau tanda hitam itu muncul betul-betul alami karena bekas keseringan sujud maka tentu Allah SWT Maha
Mengetahui.
Konsep atsar al-sujud lebih merupakan pantulan atau resonansi shalat di dalam perilaku sehari-hari di kelompok sosial
manapun yang kita dikategorikan. Wallahu a’lam.
3
THAHARAH, PERSPEKTIF AHLI NEUROLOGI DAN PSIKOLOGI

Setelah menjelaskan konsep thaharah menurut ulama ulama fikih, tarekat, dan hakikat, subjek yang sama diam-diam dibahas
juga oleh kalangan ahli neurologi dan psikiater.

Rupanya mereka juga tertarik membahas subjek bahasan ini karena ada hal-hal yang menarik. Mengapa begitu penting
konsep thaharah dalam Islam? Mengapa dengan air sejuk, bukan air hangat?

Seusai melakukan hubungan suami istri dan perempuan pascamenstruasi, mengapa diwajibkan mandi junub dengan mencuci
sekujur badan? Dan, mengapa harus dengan debu kalau tidak ada atau tidak mungkin dengan air? Pada saat berwudhu,
mengapa anggota badan khusus itu yang harus dicuci?

Adalah Prof Rolf Ehrenfels, seorang neurolog dan psikolog tersohor Eropa, pernah secara khusus mendalami konsep
thaharah, khususnya wudhu. Ia sangat takjub karena konsep thaharah dalam Islam amat sesuai dengan konsep neurologi dan
psikologi.

Air sejuk yang dianggap suci dan menyucikan akan memberikan efek positif pada kesegaran simpul-simpul saraf dalam
tubuh.

Air segar dan sejuk lebih sensitif memberikan rangsangan kepada pusat saraf ketimbang air hangat. Air sejuk akan lebih
mudah memberikan semacam shock therapy dan menembus lapisan saraf ketimbang air hangat.

Mencuci sekujur badan dengan air sejuk seusai melakukan hubungan suami istri akan mengembalikan otot-otot dan sel-sel
saraf yang tadinya tegang menjadi segar kembali.

Perempuan yang sudah menjalani menstruasi secara psikologis akan merasa bersih dan suci seusai mandi wajib serta dengan
demikian melahirkan kembali rasa percaya diri seusai menjalani “masa kotor”.
 
Yang lebih menarik bagi Ehrenfels dan mungkin inilah yang membuatnya menjadi Muslim dan mengganti nama menjadi
Baron Omar Ehrenfels, yaitu konsep wudhu dalam Islam.

Ia mulai menganalisis ayat wudhu. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS
al-Maidah [5]:6).

Menurut Baron Omar Ehrenfels, objek yang didiktekan langsung oleh Allah SWT untuk dibasuh pada saat mengambil air
wudhu, yaitu daerah muka, tangan, dan kaki, ternyata itu simpul-simpul saraf paling sensitif.

Merangsang anggota badan tersebut dengan air sejuk maka akan menimbulkan kesegaran dan kesejukan psikis yang
memudahkan seseorang berada dalam keadaan tenang atau khusyuk dalam bahasa Islam.

Sentuhan air segar juga bisa menurunkan gelombang frekuensi otak dari suasana beta ke alfa, kondisi otak yang lebih
memungkinkan seseorang untuk fokus (khusyuk).

Komentar Prof Omar Ehrenfels, sebagaimana dikutip di dalam disertasi Dr H Ahmad Ramali tentang konsep wudhu dalam
Islam, di antaranya:

“Pada peristiwa ini daya tubuh itu dipengaruhi oleh berbagai gerak, sikap, dan perlakuan yang tertentu pada muka, tangan,
dan kaki. Penyucian ini bisa mengistirahatkan pusat saraf dari gelisah sehingga mencapai kondisi pemusatan pikiran. Urat-
urat di sebelah dahi, tangan, dan kaki sangat peka.”
Dengan berwudhu, Ehrenfels mengungkapkan, akan membuat saraf yang peka tersebut selaras dengan pusat kesadaran.
Dengan wudhu yang memakai niat dan doa maka ada persiapan, perubahan pemusatan menuju rohani. Sehingga,  getaran
jiwa akan mengikuti hukum alam. Ia menyayangkan masih banyak Muslim yang menganggap wudhu hanya penyucian tubuh
semata.
 
Subhanallah, ternyata benar semua perintah dan larangan Allah SWT sesungguhnya tidak untuk diri-Nya, tetapi kembali
kepada kemaslahatan manusia sendiri.

Apa yang diperintahkan ternyata mendatangkan maslahat dan apa yang dilarang ternyata mendatangkan mafsadat bagi
manusia. Saatnya kita menyadari dan mengindahkan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya jika kita menghendaki
keselamatan dan kebahagiaan abadi. Wallahu a’lam.

4
THAHARAH PERSPEKTIF AHLI TAREKAT
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Ahli tarekat selalu berdoa saat membasuh anggota badan tersebut agar diselamatkan dari api neraka dan memberikan tanda
cahaya terang pada hari kebangkitan di akhirat kelak.

Dalam perspektif ahli tarekat, taharah bukan hanya membersihkan aspek lahiriah, tetapi juga aspek batiniah. Ahlihakikat
menjelaskan bahwa mandi, wudhu, dan tayamum sekaligus membersihkan segenap unsur nonlahiriah di dalam diri manusia.

Air atau debu tidak saja membersihkan kotoran fisik, tetapi secara simbolik membersihkan jiwa, pikiran, dan segenap dosa
yang melekat di dalam diri manusia.

Di sinilah fungsi niat taharah, mengangkat hadas kecil dan besar serta dosa dan kekhilafan, baik yang dilakukan anggota
badan  manusia maupun yang terselip di dalam pikiran dan jiwa.
  
Anggota badan yang harus dibasuh ketika mandi junub meliputi sekujur badan, termasuk diniatkan untuk mencuci pancaindra
batin. Anggota badan yang yang harus dibersihkan ketika berwudhu didiktekan langsung Allah SWT, sebagaimana
disebutkan di dalam Alquran.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”  (QS al-Maidah [5]:6).

Bandingkan dengan shalat yang merupakan rukun Islam kedua, teknis pelaksanaannya hanya dijelaskan Nabi Muhammad
SAW, "Shalatlah seperti kalian melihatku shalat." (HR Bukhari).
Dalam pandangan ahli tarekat, anggota badan yang harus dibasuh ketika kita berwudhu ternyata anggota  badan yang
memang paling sering atau riskan melakukan dosa.

Dibayangkan mengapa harus pertama kali mencuci muka karena di daerah itu berkumpul inti pancaindra yang paling rawan
melakukan berdosa. Lihat saja mulut, berapa banyak orang bisa menjadi korban setiap hari karenanya?

Entah karena memaki, memfitnah, memarahi, membohongi, menghujat, mengadu domba, meludahi, menertawakan secara
sinis, atau makan dan minum dari barang yang syubhat, bahkan mungkin yang haram.

Perbuatan zinanya mata ialah melihat yang haram untuk dilihat, sebagaimana sabda Nabi. Kita tidak tahu berapa banyak kita
gunakan mata ini untuk melihat atau mengintip objek yang sesungguhnya terlarang. Telinga kita lebih sering digunakan
mendengarkan tausiah, tartil Alquran, atau dentuman musik yang mengajak kita melupakan Tuhan?

Lihat pula mengapa harus menyucikan kedua tangan. Kita tidak tahu apa dan siapa saja yang pernah  dipegang, diremas,
ditinju, dituding, atau dipukul tangan kita. Berapa berkas fiktif atau palsu yang pernah ditandatangani tangan kita.

Apa saja yang pernah dirusak dan dikacaukan tangan ini. Demikian pula kaki, ke mana saja kaki kita gentayangan setiap hari?
Lebih banyak mana kaki digunakan untuk melangkah ke masjid atau tempat-tempat maksiat atau mal?

Yang paling tahu tentang apa saja yang pernah dilakukan oleh anggota badan ialah kita sendiri dan penciptanya, Allah SWT.
Wajar kalau anggota badan tersebut yang diperintahkan Tuhan untuk disucikan.

Ahli tarekat selalu berdoa saat membasuh anggota badan tersebut agar diselamatkan dari api neraka dan memberikan tanda
cahaya terang pada hari kebangkitan di akhirat kelak.

Rasulullah SAW pernah bersabda, seluruh organ tubuh yang selalu dibasuh air wudhu akan menampilkan cahaya terang,
sehingga menjadi suluh yang menerangi jalan menuju Padang Makhsyar.

Orang yang tidak pernah disentuh dengan air wudhu akan meraba-raba dalam kegelapan. Malaikat pun akan dipermudah
untuk mengidentifikasi siapa di antara hamba Tuhan yang taat dengan munculnya cahaya terang pada anggota badan yang
pernah dibasuh air wudhu.

5
THAHARAH PERSPEKTIF FIKIH: TAREKAT, HAKIKAT, DAN NEUROLOGI
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Thaharah biasa diartikan penyucian diri dari kotoran fisik dan nonfisik. Jika  penyucian lebih ditekankan pada fisik disebut
nadzafah¸seperti istilah yang digunakan dalam hadis Al-nadzafah min al-iman (Kebersihan [fisik] merupakan bagian dari
iman).

Jika penyucian lebih ditekankan pada nonfisik, disebut tazkiyah, seperti dikenal dengan istilah  tazkiyah al-nafs, sebagaimana
digunakan dalam Alquran surah asy-Syams ayat 9, Qad aflaha man zakkaha (Sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu).

Atau, dalam surah at-Taubah ayat 103. Khudz min amlihim shadaqah tuthahhirhum wa tuzakkihim biha (Ambillah zakat dari
sebagian harta  mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka).

Konsep thaharah dalam literatur umum Islam lebih sering digunakan karena mencakup pembersihan berbagai aspek, baik
aspek fikih, tarekat, maupun hakikat.

Thaharah adalah sesuatu yang amat fundamental di dalam Islam. Tanpa thaharah yang benar, sejumlah ibadah, khususnya
ibadah-ibadah mahzhah, seperti shalat, terancam akan sia-sia. Alat penyuci ialah air dan tanah, sebagaimana dijelaskan di
dalam Alquran:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila  kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah muka dan tanganmu sampai
dengan siku, dan usaplah kepala dan  kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika
kamu sakit, berada dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau berhubungan dengan istri, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan menggunakan tanah yang baik (bersih); usaplah muka dan tanganmu dengan
tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan  menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu supaya kamu bersyukur.” (QS al-Maidah [5]: 6).

Dalam konsep thaharah sering kali Allah SWT lebih menjelaskannya secara detail ketimbang hal-hal yang bersifat fardhu.

Misalnya, konsep shalat dan haji sebagai bagian dari rukun Islam hanya diperintahkan secara global, seperti dalam surah al-
Baqarah ayat 43 Aqim al-shalah (Dirikanlah  shalat).
Petunjuknya secara detail hanya ditemukan di dalam hadis Shallu kama raitu muni ushalli  (Shalatlah sebagaimana engkau
melihat aku shalat).
Sedangkan konsep thaharah, misalnya wudhu, dijelaskan secara mendetail di dalam Alquran sebagaimana ayat di atas. Dari
segi ini wajar jika muncul berbagai pandangan ulama tentang thaharah mulai perdebatan panjang tentang kualitas dan
kuantitas air dan debu sebagai alat penyuci sampai pada objek-objek anggota badan yang harus dibasuh.
Kalangan ulama fikih lebih menekankkan aspek legal-formalistik ajaran karena itu fikih sangat concern terhadap rukun dan
syarat. Termasuk, secara detail membedakan syarat wajib dan syarat sah sebuah ajarah (khithab). Konsep tarekat lebih
menekankan hikmah di balik ajaran.
Ajaran secara fiqhiyyah sudah dianggap seharusnya dilaksanakan, namun tidak cukup hanya dengan itu. Tarekat menuntut
kepuasan fiqhiyyah dan sekaligus kepuasan batin. Karena itu, pengamalan lahiriyah dan  pengamalan batiniyah mesti paralel.
Konsep hakikat lebih sempurna dan lebih khusus lagi karena segalanya dihubungkan dengan Tuhan. Tidak cukup hanya
dengan kepuasan syar’iyyah dan  tashawwufiyyah, tetapi dengan kepuasan ilahiah (divine satisfaction). Sedangkan, konsep
neurologi lebih menekankan efek neurologis dan psikologis terhadap hikmah thaharah.
Jika kita mampu menyinergikan pengamalan thaharah dengan mengadopsi pendapat-pendapat ulama-ulama  fikih, ulama
tarekat, ulama hakikat, dan dengan mengindahkan pendapat para neurolog, sudah tentu kita akan meraih keagungan di dalam
beribadah.
Semakin bersih dan suci badan, pikiran, jiwa, dan hakikat diri kita, semakin besar pula kemungkinan untuk bisa meraih
maqam lebih tinggi di mata Allah SWT.
Dalam pandangan ahli ma’rifah, wudhu yang sempurna bukan hanya akan membuat kita bersih dari hadas besar dan kecil.
Tetapi lebih penting dari itu, juga mampu membersihkan kita dari noda-noda kemusyrikan, sebagaimana ditegaskan Allah
SWT dalam Alquran surah at-Taubah ayat 28. “Hai orang-orang  yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu
najis maka janganlah mereka mendekati Masjidil  Haram sesudah tahun ini.”
Sebaliknya, orang-orang yang melakukan thaharah secara sembrono atau sama sekali mengabaikannya karena mungkin ikut-
ikutan dengan orang lain yang tidak mau repot maka Allah SWT mengancamnya.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS al-Isra’ [17]:36).
Dalam ayat lain ditegaskan, “Pernahkah kalian melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah
membiarkannya sesaat berdasarkan ilmu-Nya (bahwa ia tidak layak lagi memperoleh petunjuk), serta Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan di atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mau ingat?” (QS al-Jatsiyah [45]:23).

Dari ayat-ayat tersebut dipahami bahwa sistem thaharah yang sempurna dilakukan seseorang bukan hanya membersihkan
fisiknya, melainkan juga nonfisik.

Dengan kata lain, kekuatan thaharah dapat membersihkan anggota badan, menjernihkan dan menyehatkan pikiran, serta
menyucikan hati. Ini semua bisa terjadi jika kita terus dan terus belajar.
6
Thaharah Dalam Perspektif Fikih
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Secara fiqhiyyah, thaharah selalu berhubungan dengan wudhu, tayamum, dan mandi. Seorang yang berhadas besar
diwajibkan mandi junub dengan segala ketentuannya yang secara teknis telah diuraikan di dalam banyak buku-buku fikih
(Fiqh al-Thaharah).

Demikian pula masalah wudhu dan tayamum, termasuk istinja, sudah dijelaskan secara panjang lebar di dalam buku-buku
paket anak-anak SD.

Yang penting diketahui dalam perspektif ini, meskipun orang sudah mandi dengan menggunakan sabun atau shampo, jika
tidak secara formal mengambil air wudhu kemudian shalat, maka shalatnya batal atau tidak sah. Karena, salah satu syarat sah
shalat ialah mengambil wudhu dan bersih dari hadas kecil atau besar.

Seseorang yang dalam keadaan hadas besar tidak cukup hanya dengan berwudhu, tapi harus mandi junub, yaitu mandi dengan
nait mandi junub dengan cara mencuci seluruh anggota badan tanpa terkecuali.

Dalam dimensi dasar perspektif tarekat dan hakikat sebetulnya juga sama. Yang berbeda ialah pemaknaan, konsep, dan niat.
Misalnya, bagaimana ulama fikih, tarekat, dan hakikat memaknai air, tanah, anggota badan yang harus dibersihkan.

Sedangkan, dimensi neurologis dan psikologis dihubungkan dengan efek positif pada diri manusia jika masing-masing
konsep itu diterapkan. Dari sini, kita bisa memahami, Subhanallah, ternyata setiap perintah dan larangan Allah SWT bukan
untuk kepentingan diri-Nya, tetapi untuk kepentingan manusia itu sendiri.

Dalam pandangan fikih, objek yang harus dibasuh ialah lebih kepada fisik. Tidak heran jika fikih wudhu sangat teliti
mengenai anggota badan yang harus dicuci (al-gusl) dan yang harus diusap (al-mash) dengan air wudhu. Pada anggota badan
yang harus dicuci, seperti wajah dan tangan, tidak boleh ada pori-pori yang tidak tersentuh air.

Pengecualian jika ada perban luka yang membungkus daerah tersebut. Kuteks atau cat kuku yang unsurnya, seperti cat, bisa
menghalangi air menyentuh pori-pori sehingga tidak boleh digunakan. Ini terkenal di dalam mazhab Syafi’i.
Berbeda jika unsur pewarna itu dalam bentuk cair dan tidak menghalangi air wudhu menyentuh pori-pori, seperti daun pacar,
tinta, dan semacamnya, tidak membatalkan wudhu.

Demikian pula sangat teliti di dalam menentukan batas-batas anggota badan yang harus disentuh air wudhu, air mandi junub,
dan debu tayamum.

Tidak boleh ada anggota badan yang tersisa pada daerah yang seharusnya dicuci atau dibasuh air atau disapu dengan
tayamum.
Siku, mata kaki, dan bagian kepala yang harus dicuci atau dibasuh air wudhu atau debu tayamum menjadi perdebatan
kalangan ulama fikih. Apakah siku dan mata kaki termasuk harus di basuh atau hanya di daerah perbatasannya. Demikian
pula kepala, apakah keseluruhannya harus diusap atau hanya sebagiannya saja.

Dalam perspektif fikih juga sangat detail di dalam membicarakan bahan-bahan thaharah, seperti air dan debu.

Ulama Syafi’iyyah mensyaratkan, air yang bisa digunakan berwudhu tidak boleh dengan air musta’mal (air bekas bersuci).
Karena itu, kolam air yang airnya kurang dua qullah tidak boleh digunakan bersuci karena sudah masuk kategori musta’mal.

Pengecualian jika air dalam kolam itu terus menerus mengalir. Sedangkan, menurut Imam Abu Hanifah, sepanjang belum
berubah rasa, bau, dan warna, air itu boleh dipakai berwudhu, meskipun kurang dari dua qullah.

Demikian pula debu tayamum. Menurut Imam Syafi’I, debu tayamum disyaratkan ada wujud konkret berupa debu (shaidan
thayyiban).
Sedangkan menurut Abu Hanifah tidak mesti ada wujud debu, yang penting barang-barang yang berasal dari tanah, seperti
sandaran kursi pesawat, permukaan meja yang dianggap bersih, sudah bisa digunakan bertayamum, sungguhpun tidak
kelihatan wujud debunya.

Dalil yang digunakan sama oleh Imam Syafi’i, hanya cara menafsirkan ayat itu yang berbeda.

7
BELAJAR DARI SUASANA BATIN: KETIKA DITIMPA MUSIBAH
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Musibah adalah surat cinta Tuhan untuk hamba-Nya.
Suasana batin bagi setiap orang cenderung sama saat mengalami lima peristiwa. Pertama, ketika seseorang sedang ditimpa
musibah atau kekecewaan. Kedua, ketika seseorang sedang mempunyai hajat besar.
Ketiga, ketika seseorang baru saja melakukan dosa besar. Keempat,  ketika seseorang sedang di dalam keadaan normal dan
kelima, ketika seseorang sudah mencapai maqam spiritual lebih tinggi.
Dalam Alquran, musibah dapat dibedakan dengan azab dan bala. Musibah adalah ujian yang harus dilewati seorang hamba
dan berfungsi sebagai proses pembelajaran agar kehidupan masa depan dapat dijalani dengan lebih baik.
Musibah tidak hanya menimpa para pendosa, tetapi juga orang-orang yang saleh. Berbeda dengan azab, yaitu siksaan yang
hanya diperuntukkan kepada mereka yang durhaka, seperti azab yang pernah ditimpakan umat-umat terdahulu.
Azab tidak menimpa orang yang saleh, seperti banjir Nuh yang hanya menenggelamkan umat Nabi Nuh AS yang durhaka,
sedangkan dirinya bersama pengikut setianya selamat.
Demikian pula umat Nabi Shaleh AS, ia bersama umat setianya selamat dari wabah epidemi yang menimpa kaumnya.
Termasuk, kakek Nabi Muhammad SAW, Abdul Muthalib, selamat dari keganasan thair ababil yang memorakporandakan
pasukan Abrahah. Sedangkan, bala hampir sama dengan musibah, hanya skalanya lebih personal dan berhubungan dengan
human error atau terkait erat dengan hukum sebab-akibat. Misalnya, karena kecerobohan dan kelengahan maka seseorang
mengalami kecelakaan.
Musibah di sini dapat dicontohkan dengan salah seorang anggota keluarga tercinta kita meninggal dunia, dokter memvonis
kita menderita penyakit akut, atau mendapatkan fitnah keji dari orang lain, atau mengalami kekecewaan berat.
Misalnya, gagal promosi, gugur dalam seleksi, dijauhi teman, dan semacamnya. Kondisi batin seperti ini pasti sangat
menyakitkan dan membuat orang menjadi putus asa serta kehilangan optimisme dan harapan hidup. Bahkan, kondisi seperti
ini sering kali membuat seseorang berfikir atau melakukan solusi jalan pintas.
Bagi orang beragama, cara terbaik yang harus dilakukan ialah kembali kepada Tuhan. Kita harus yakin, sebesar apa pun
sebuah problem pasti masih di ambang batas kemampuan hamba-Nya.
Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih, tidak mungkin membebani sesuatu di luar batas kemampuan dan daya dukung
hamba-Nya. “Allah tidak akan membebani hamba-Nya melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS al-Baqarah [2]: 286).
Dalam perspektif tasawuf, musibah atau kekecewaan hidup adalah salah satu wujud “surat cinta” Tuhan kepada hamba-Nya.
Mungkin Tuhan merindukan hamba-Nya, tetapi yang bersangkutan terkecoh dan tersesat dengan kesenangan duniawi.
Akhirnya, Tuhan mengutus musibah atau kekecewaan kepadanya dan ternyata ia secara efektif kembali kepada Tuhannya.
Seseorang yang hidup di dalam kemewahanan atau dalam kondisi berkecukupan sering kali lebih sulit untuk melakukan
pendakian (taraqqi) kepada Tuhannya karena semua kebutuhannya terpenuhi.
Kiat menyikapi musibah, kita harus tawakal, menyerahkan diri secara total dan sepenuhnya kepada Allah SWT. Allah SWT
sedang mencintai hamba-Nya dan ingin menyelamatkannya dari siksaan lebih pedih dan lama.
Nabi pernah bersabda: “Tidaklah seorang Muslim ditimpa musibah, kedukaan, penyakit, kesulitan hidup, kesengsaraan,
hingga semisal duri yang menusuk kakinya, melainkan itu semua berfungsi sebagai pencuci dosa masa lampau.” (Muttafaq
Alaih).  
Dalam kesempatan lain, Rasulullah menegaskan dalam hadis dari Anas RA yang diriwayatkan Turmudzi: “Jika Allah SWT
menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya maka Ia menyegerakan siksaan-Nya (di dunia) dan jika Allah SWT menghendaki
sebaliknya kepada hamba-Nya maka Ia menunda siksaan-Nya di hari kiamat.”
Musibah dan kekecewaan tidak mesti diratapi terlalu lama. Sering kali kita harus bersyukur bahwa musibah memang
membawa kekecewaan hidup, tetapi pada saat bersamaan kita bisa merasakan adanya kedekatan khusus diri kita dengan
Tuhan.
Sering kali justru rasa kedekatan itu lebih menonjol ketimbang rasa kekecewaan itu. Ini artinya, musibah membawa nikmat
dan betul-betul musibah terasa sebagai “surat cinta” Tuhan kepada kekasih-Nya.
Semenjak musibah itu terjadi, sejak itu terjadi perubahan total hubungan diri kita dengan Tuhan.
Sebelumnya, kita berjarak dengan Tuhan, tetapi dengan musibah itu kita tidak lagi mau berpisah dan berjarak dengan Tuhan.
Musibah kita sikapi dengan tawakal dan mengikhlaskan diri kita kepada-Nya. Semua itu sudah suratan takdir dan telah
tercatat di buku blue print (Lauh al-Mahfuzh).
Kekuatan tawakal dan ikhlas akan memberikan keajaiban di dalam diri kita. Ini jaminan Tuhan: “Jangan berdukacita,
sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS at-Taubah [9]:40).
Kiat menjalani dan mempertahankan sikap tawakal dalam diri kita, diajarkan oleh kalangan guru-guru tasawuf, dengan
menghayati secara mendalam dua kalimat syahadat. “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah”.
Dengan diawali kalimat negasi, menafikan segalanya, kalau perlu menafikan keberadaan wujud kita sendiri. Seolah-olah yang
ada dan eksis di jagat ini hanyalah Dia, Allah SWT. Kita melenyapkan hakikat dan substansi diri kita, lalu larut kepada suatu
wujud Yang Mahaabadi.
Kita bagaikan mayat yang hanyut di sungai, ke manapun sungai itu bermuara, di situlah kita akan dibawa. Makrifat seperti ini
lebih mudah muncul ketika kita sedang sujud di atas hamparan sajadah di hadapan kebesaran Allah SWT.
Lupakanlah musibah dan kekecewaan itu, hilangkanlah semuanya, kalau perlu lupakanlah keberadaan dirinya, seolah-olah
yang ada hanyalah Dia sendiri. Semuanya kembali dan menyatu dengan-Nya. Seolah, musibah itu datang untuk menghapus
memori gelap masa lampau kita.
Ikhlas yang sesungguhnya memberikan rasa optimistis ke dalam diri setiap orang. Orang yang menjalani keikhlasan penuh
tidak akan pernah merasa sedih, sakit, lelah, dan kecewa karena semua yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT.
Karya dan pengabdian yang dilakukan bukan karena Allah SWT itulah yang sering menyedot energi batin seseorang. Yang
bersangkutan sering merasa kecewa, lelah.
Jika semuanya kita niatkan seikhlasnya dan kita serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT maka hidup ini pasti tenang, tidak
akan merasa kecewa, tidak akan bersedih, tidak pernah merasa jatuh, dan mungkin tidak akan pernah lagi kita merasa sakit,
Allahu Akbar.  
8
BELAJAR DARI SUASANA BATIN: KETIKA TERDESAK HAJAT BESAR
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Jika seseorang mempunyai hajat dan kebutuhan besar apalagi sangat mendesak, maka saat itu orang seringkali melakukan
sesuatu yang luar biasa.
Contoh hajat besar dalam kehidupan sehari-hari kita ialah saat orang tua sakit keras dan jiwanya terancam. Sementara, kita
tidak punya uang untuk menebus resep obat dari dokter.
Atau, saat anak terancam akan dikeluarkan dari sekolahnya jika pembayaran SPP tidak dilunasi hari itu.
Bertemunya berbagai kepentingan mendesak dalam waktu bersamaan, seperti kontrakan rumah harus dibayar, utang jatuh
tempo, sementara anak sakit keras, hal-hal seperti ini sering kali membuat seseorang merasa tersisih dan terpojok.
Dalam mengatasi hajat dan keperluan mendesak itu ada orang yang memilih untuk menempuh segala cara tanpa
memedulikan apakah itu halal atau haram. Cara-cara seperti ini bukan hanya dilakukan oleh  orang-orang biasa, tetapi juga
dilakukan oleh orang-orang yang relatif memiliki status sosial yang lebih baik.
Ada juga orang berusaha menenangkan dirinya sendiri di samping berusaha secara ekstra  sambil memohon petunjuk dan
pertolongan Allah SWT. Tidak mudah membedakan antara hajat dan kebutuhan besar dan mendesak. Setiap orang punya
ukuran subjektif. Mungkin seseorang menganggap sebuah hajat adalah kebutuhan besar tapi tidak bagi orang lain. Jadi, jenis,
tingkat, kuantitas, dan kualitas kebutuhan itu sangat ditentukan oleh orang per orang.
Di dalam Islam, hajat dan kebutuhan itu dibedakan jadi tiga tingkatan. Pertama, disebut kebutuhan darurat atau kebutuhan
yang bersifat primer meliputi lima kebutuhan pokok (dharuriyyat al-khamsah).
Kebutuhan tersebut adalah agama, jiwa, akal, martabat keturunan, dan harta. Seseorang dipandang mati syahid dan terbebas
dari sanksi manakala seseorang melakukan tindakan pembelaan terhadap salah satu dari kelima kebutuhan pokok tersebut.
Islam melarang syirik untuk memelihara agama. Islam melarang  pembunuhan untuk memelihara jiwa.
Islam melarang minuman keras untuk memelihara akal. Islam melarang zina untuk memelihara keturunan. Dan Islam
melarang pencurian untuk memelihara harta.
Kedua kebutuhan hajjiyat atau kebutuhan sekunder. Yakni kebutuhan yang mendesak tetapi belum sampai pada tingkat
dharuriyat. Misalnya kebutuhan seseorang akan rumah, telepon, dan kendaraan.
Ketiga kebutuhan tahsiniyat atau luxury. Yaitu kebutuhan aksesori kehidupan. Kebutuhan ini tidak memengaruhi eksistensi
kehidupan tetapi lebih merupakan pelengkap, seperti rumah asri, kendaraan, dan pakaian yang bermerek.
Secara skematis, ketiga tingkat kebutuhan itu bisa dipilah dan dibedakan. Tetapi secara emosional, masing-masing orang
meresponsnya dengan berbeda-beda. Boleh jadi kebutuhan level ketiga (tahsiniyat) disikapi secara berlebihan, melampaui
responsnya terhadap kebutuhan yang mendasar.
Dalam Islam, memang ada kaidah yang mengatakan hajat yang mendesak menempati posisi darurat (al-hajah tanzilu
manzilah al-dharurah), sementara darurat itu membolehkan sesuatu yang tadinya tidak boleh (al-dharurah tubih al-
makhdhurat).
Namun, yang dimaksud di dalam kaidah itu ukurannya bukan selera atau mempertahankan prestise, tetapi betul-betul
menyangkut kelangsungan eksistensi dan kapasitas manusia sebagai hamba atau sebagai khalifah.
Respons emosional seseorang terhadap hajat hidupnya perlu dicermati karena hajat dan kebutuhan ini bisa membuat orang
jatuh tersungkur. Tetapi sebaliknya, bisa membuat orang meroket bagaikan lulus di dalam suatu ujian berat.
Hajat dan keperluan besar juga berpotensi untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Apalagi, jika hajat tersebut diajukan
secara tulus dan penuh kesungguhan kepada Tuhan dalam bentuk doa. Doa itu sendiri menurut Rasulullah SAW adalah
jantung ibadah (al-du’a mukhkhul ’ibadah).
Hajat yang besar dalam suasana batin bisa bermakna ganda. Di satu sisi kita merasakan Mahakuasa Tuhan, di sisi lain kita
sangat lemah sebagai hamba. Kebesaran dan keagungan Tuhan akan lebih terasa saat berhadapan dengan keganasan alam,
seperti berhadapan dengan ombak besar di tengah laut, dalamnya goa yang gelap gulita, gemuruh suara halilintar, kencangnya
angin puting beliung, dahsyatnya topan salju yang menusuk tulang, atau di tengah berbagai jenis gempa bumi. Semua orang
merasa butuh pertolongan Tuhan ketika itu.
Kiat untuk mendapatkan hikmah dan sekaligus jalan keluar terhadap hajat yang sedang kita alami ialah dengan cara
memperkuat semangat raja’, yaitu rasa kebutuhan yang amat sangat terhadap pertolongan dan perlindungan Tuhan.
Ketergantungan kita kepada Tuhan begitu besarnya sehingga seolah-olah tidak ada lagi dewa penolong lain selain hanya
Allah SWT. Diri kita terasa tidak ada apa-apanya sementara Tuhan terasa Maha Segalanya.
Sikap raja’ diawali dengan rasa takut kepada Allah SWT. Sering kali, di tengah perjalanan, tadinya hajat dan kebutuhan
seorang hamba adalah sesuatu yang bersifat materiil atau duniawi, tiba-tiba beralih kepada Tuhan.
Yang menjadi kebutuhan dan harapan utama ialah ridha Allah SWT. Dalam kondisi batin seperti ini, seorang hamba
berpotensi menjalin kedekatan diri dengan Tuhannya.
Kiat selanjutnya tentu saja adalah doa. Tanpa doa, seseorang akan dinilai angkuh dan sombong. Seolah-olah yang
bersangkutan tidak membutuhkan Tuhan di dalam mewujudkan hajat.
Etika berdoa ialah sedapat mungkin badan dan jiwa kita bersih. Disarankan berwudhu lalu membersihkan hati dan
meluruskan jalan pikiran serta diringi perasaan tawadhu dan raja’ kepada Allah SWT.
Doa diawali dengan lafaz tahmid dan puji-pujian kepada Allah SWT, kemudian shalawat kepada Rasulullah SAW, kemudian
masuk ke materi hajat kita, memohon berkah dari apa yang diharapkan, lalu ditutup dengan  surah al-Fatihah.
Kiat lain bisa diiringi dengan nazar, yaitu komitmen tertentu kepada Allah, yang akan kita lakukan jika hajat dan harapan kita
dikabulkan. Misalnya, kalau hajat dan harapan saya dikabulkan saya akan memberi makanan kepada 60 orang yatim piatu.
Nazar bisa menjadi energi pendorong doa ke langit. Namun disarankan, nazar ini dilakukan tidak terlalu sering sehingga
menimbulkan kesulitan diri sendiri karena nazar wajib untuk direalisasikan.
Kesimpulannya, hajat dan kebutuhan besar kita berpotensi untuk lebih mendekatkan seorang hamba kepada Tuhan. Hajat
perlu dicermati agar tidak sebaliknya, menjerumuskan kita ke perbuatan yang tercela.
Jangan sampai hajat besar kita yang bersifat duniawi menenggelamkan hajat kita yang sesungguhnya paling besar, ialah
taqarrub, berdekatan sedekat mungkin dengan-Nya. Alhamdulillah, berbahagialah orang yang  dapat memperoleh kedua hajat
tersebut.
9
BELAJAR DARI SUASANA BATIN: KETIKA TERJEBAK DOSA BESAR
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Kesenangan sesaat bisa melahirkan penderitaan berkepanjangan. Dosa dan maksiat bukan saja perbuatan tercela, melainkan
juga membutakan mata hati, memadamkan nurani.

Lebih dari itu, dosa dan maksiat juga membawa kegelisahan sehingga ketenangan hidup terganggu. Tegasnya, dosa dan
maksiat merendahkan derajat dan kualitas kemanusiaan.

Semua yang dilarang Tuhan adalah musuh kemanusiaan dan semua yang diperintahkan Tuhan demi martabat kemanusiaan.
Tuhan tidak butuh disembah, tetapi manusialah yang membutuhkan penyembahan itu. Karena, di balik penyembahan dan
ketaatan itu tersimpan hikmah dan berbagai kemaslahatan untuk manusia dan kemanusiaan.

Seandainya semua manusia mogok untuk menyembah kepada-Nya maka tidak sedikit pun mengurangi kebesaran Allah SWT.
Sebaliknya, seandainya semua manusia taat kepada-Nya bagaikan malaikat sekalipun maka tidak akan berpengaruh terhadap
Dirinya.

Perintah dan larangan Tuhan merupakan bukti Maha Pengasih dan Penyayang Dia terhadap hamba-Nya, khususnya kepada
manusia.

Dosa dan maksiat memang menjatuhkan dan menjerumuskan seseorang ke lembah kehinaan. Tetapi tidak mustahil seseorang
akan melenting lebih tinggi dari semua posisi jika dia melakukan tobat nasuha.

Tidak jarang para pendosa yang bertobat justru lebih baik daripada orang-orang biasa. Ini mungkin karena dia sudah mampu
membandingkan betapa jauh jaraknya antara suasana batin yang taat dan yang durhaka kepada-Nya.

Namun, ini tidak berarti sebuah ajakan kepada kita untuk mencicipi dosa guna meningkatkan kesadaran dan keimanan.
Sebab, betapa banyak bahkan jauh lebih banyak para pendosa jatuh dan tidak melenting ke atas, tetapi bagaikan bola yang
jatuh di dalam lumpur. Semakin terbenam di dalam lumpur kehinaan.

Para pendosa yang berpotensi melenting ke atas ialah mereka yang karena dosa yang dilakukannya betul-betul membuat
dirinya terpukul dan kecewa. Mengapa dirinya harus melakukan sesuatu yang amat bodoh di dalam hidupnya. Karena itu, dia
menyesal sejadi-jadinya seraya menjalani proses pembersihan diri dengan penuh ketekunan.

Menurut Imam Gazali, dalam kitab Ihya Ulum al-Din, seorang pendosa diminta untuk tidak sekadar beristighfar (membaca
lafaz istighfar), tetapi juga harus menjalani rangkaian proses tobat, yaitu pertama memberbanyak mengucap istighfar.

Kedua, segera meninggalkan dosa dan maksiat itu. Ketiga, menyesal sejadi-jadinya terhadap kekeliruan yang telah dilakukan.
Selanjutnya, bertekad dan berikrar tidak akan pernah mengulangi perbuatan tercela itu.

Keempat, mengganti dan menutupi perbuatan dosa dan maksiat itu dengan amal-amal kebajikan yang ikhlas. Kelima, kalau
dosa itu berupa mengambil hak orang lain maka harus segera mengembalikannya sesegera mungkin.

Keenam, menghancurkan daging yang tumbuh di dalam dirinya yang berasal dari produk haram dengan cara melakukan
riyadhah dan mujahadah,  yakni menjalani latihan jasmani dan rohani dalam upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya
kepada Allah SWT.

Terakhir, sesegera mungkin meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti atau dikecewakan itu. Jika ini semuanya
dipenuhi maka seseorang berhak mendapatkan pengampunan Allah terhadap dirinya.
  
Banyak pendosa yang telah melakukan tahapan pertobatan itu dengan baik dan tekun. Mereka selalu menangisi dosa masa
lampaunya di dalam sujud Tahajudnya di tengah malam. Bahkan air matanya tak pernah bisa dibendung jika mengingat
kembali berbagai dosa yang pernah dilakukannya.

Penyerahan diri secara total seperti ini mendapatkan janji pengampunan Allah SWT. Ada ulama yang pernah mengatakan
bahwa air mata tobat itulah yang akan memadamkan api neraka.

Bahkan Allah SWT mencintainya, sebagaimana hadis yang pernah dikutip Al-Gazali dalam kitabnya, “Allah lebih senang
mendengarkan jeritan tobat para pendosa ketimbang gemuruh tasbihnya para ulama.”

10
BELAJAR DARI SUASANA BATIN: WASPADAI KONDISI NORMAL
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Suasana batin yang paling perlu diwaspadai ialah ketika kita sedang dalam keadaan normal, saat semua kebutuhan tercukupi,
apalagi berlebihan.
Musibah, hajat, dosa besar, dan berbagai kesulitan lebih sering mendorong seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT ketimbang kondisi batin yang sedang berkecukupan.
Tingkat kebutuhan hidup setiap orang berbeda-beda. Tapi, kebutuhan di dalam Islam dibedakan menjadi  beberapa tingkatan.
Pertama kebutuhan dharury, yakni kebutuhan pokok, seperti makan, minum, dan berhubungan suami-istri.
Kedua, kebutuhan hajjiyat, yaitu kebutuhan yang penting, tetapi belum menjadi kebutuhan pokok, seperti kebutuhan tempat
tinggal, kendaraan, dan alat komunikasi.
Terakhir, kebutuhan tahsiniyyat, yakni kebutuhan yang bersifat pelengkap, seperti perabotan bermerek, aksesori kendaraan,
dan telepon genggam canggih.
Seseorang yang berada dalam tingkat kedua dan ketiga perlu berhati-hati. Karena, perjalanan spiritual dalam kondisi seperti
ini sering kali jalan di tempat. Bahkan, berpeluang untuk diajak turun oleh berbagai daya tarik dan godaan dunia.
Berbeda jika seseorang sedang dirundung duka, diuji dengan kebutuhan mendesak, atau dilanda penyesalan dosa yang
mungkin agak resisten terhadap godaan-godaan materi.
Kesenangan hidup, apalagi kalau sampai berlebihan, bawaannya sulit mendaki (taraqqi) ke langit.
Sebagai contoh, orang yang berkecukupan sulit sekali berlama-lama khusyuk dalam shalatnya, bukan hanya karena
banyaknya godaan dunia yang ada dalam pikirannya, tetapi juga tidak punya tekanan batin atau trigger, semacam roket
pendorong yang akan mengangkatnya ke langit.
Trigger itu biasanya suasana batin yang betul-betul merasa sangat butuh pertolongan Tuhan. Itulah sebabnya, Rasulullah
pernah mengingatkan untuk waspada terhadap doa orang yang teraniaya (madzlum) karena doanya lebih cepat sampai kepada
Tuhan. Memang, dalam Islam dikenal ada dua sayap efektif yang bisa menerbangkan seseorang menuju Tuhan, yaitu sayap
sabar dan syukur. Sayap sabar terbentuk dari ketabahan seseorang menerima cobaan berat dari Tuhan, seperti musibah,
penyakit kronis, penderitaan panjang, dan kekecewaan hidup.
Jika sabar menjalani cobaan itu maka dengan sendirinya terbentuk sayap-sayap yang akan mengangkat martabat dirinya di
mata Tuhan. Sayap kedua ialah syukur.
Sayap syukur terbentuk dari kemampuan seseorang untuk secara telaten mensyukuri berbagai karunia dan nikmat Tuhan,
seperti saat mendapat rezki melimpah, jabatan penting, dan kesehatan prima.
Sayap sabar dan syukur sama-sama bisa mengorbitkan seseorang mendekati Tuhan. Tetapi, pada umumnya hentakan sayap
sabar lebih kencang ketimbang sayap syukur. Sayap sabar seolah-olah memiliki energi ekstra yang bisa melejitkan seseorang.

Energi ekstra itu tidak lain adalah rasa butuh yang teramat terhadap Tuhan (raja’), penyerahan diri secara total kepada Tuhan
(tawakal), dan olah batin yang amat dalam (mujahadah).
Ketiga energi ekstra ini biasanya sulit terwujud di dalam diri orang yang berkecukupan. Bagaimana mungkin seseorang
merasa butuh terhadap Tuhan sementara semua kebutuhan hidup serbaberkecukupan.
Bagaimana mungkin seseorang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, sementara ia terperangkap di dalam dunia
popularitas. Bagaimana mungkin melakukan olah batin, sementara nuraninya diselimuti kilauan dunia. Bagaimana mungkin
khusyuk beribadah, sementara perutnya kekenyangan.
Orang yang hidupnya selalu berkecukupan dan nyaman dengan kehidupan seperti itu sah-sah saja. Akan tetapi, jika ia lupa
bahwa kehidupan ini adalah sementara lantas lalai mempersiapkan bekal kehidupan akhirat maka pertanda hidup itu tidak
berkah baginya. Mungkin saja orang itu sesungguhnya hidup di dalam kebahagiaan semu, selalu dibayangi suasana batin
yang hambar, kering, dan membosankan.
Di dalam Islam, kekayaan dan kebahagiaan yang hakiki ialah kekayaan dan kebahagiaan jiwa (al-gina an-nafs).
Islam tidak melarang orang untuk mengumpulkan kekayaan materi, bahkan Islam mengharuskan orang untuk bekerja
produktif, tetapi tetap efisien dan efektif.
“Dunia adalah cermin akhirat”, demikian kata hadis. Sulit membayangkan akhirat yang baik tanpa dunia yang sukses. Ibadah
mahdzah, seperti  shalat, zakat, haji, bahkan puasa pun membutuhkan biaya.
Kiat mengatasi suasana batin yang berada dalam kondisi normal ialah memperkuat semangat raja’ dan  mujahadah  di dalam
diri.
Seseorang perlu sesekali mengecoh kehidupan dunianya dengan melakukan khalwat atau takhannus, seperti yang pernah
dilakukan Rasulullah di Gua Hira ketika ia sedang hidup berkecukupan di samping istrinya Khadijah yang kaya, bangsawan,
dan serbaberkecukupan. Untuk kehidupan kita sekarang ini, mungkin tidak perlu mencari gua yang terpencil atau jauh-jauh
meninggalkan keluarga. Yang paling penting, ada suasana pemisahan diri (uzlah) sementara dari suasana hiruk pikuknya
pikiran.
Bisa saja dengan melakukan iktikaf di salah satu masjid, apalagi pada Ramadhan. Di dalam  masjid kita berniat untuk
beriktikaf karena Allah. Di sanalah kita mengecoh pikiran dan tradisi  keseharian kita dengan membaca Alquran lebih
banyak, shalat, tafakur, dan berzikir.
Niatkan bahwa masjid ini adalah Gua Hira atau Gua Kahfi yang pernah mengorbitkan kekasih-kekasih  Tuhan, Nabi
Muhammad dan Nabi Khidhir, melejit ke atas dan mendapatkan pencerahan.
Jika suasana batin dibiarkan berlalu tanpa pernah diselingi dengan rasa fakir, apalagi karena deposito dan kekayaan yang
begitu melimpah sampai bisa diwarisi tujuh generasi, dikhawatirkan yang bersangkutan akan melahirkan generasi lemah di
mata Allah. Bahkan, tidak mustahil akan membebani kita di akhirat kelak.
Milik kita di akhirat hanya yang pernah dibelanjakan di jalan Allah. Selebihnya, berpotensi menyusahkan kehidupan jangka
panjang kita di alam barzah dan di alam baka di akhirat. Bersihkanlah harta kita dengan zakat dan sedekah, luruskanlah
pikiran kita dengan zikrullah, dan lembutkanlah jiwa kita  tafakur dan tadzakkur, tangguhkanlah pendirian kita di atas rel
shirathal mustaqim. Dengan demikian, semoga kita mendapatkan seruan Ilahi: La tahdzan innallaha ma’ana (Jangan
khawatir, Allah  bersama kita), Amin.
11
BELAJAR DARI SUASANA BATIN: KETIKA MENCAPAI MAQAM PUNCAK
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Cepat atau lambatnya perjalanan spiritual seseorang ditentukan bukan hanya kuantitas, melainkan juga kualitas mujahadah
dan riyadhah.

Yang dimaksud maqam di sini ialah puncak pencapaian spiritual yang dapat dicapai seseorang. Ibarat tangga yang
mempunyai beberapa anak tangga, harus didaki para pencari Tuhan (salik) melalui berbagai usaha.

Dari anak tangga pertama hingga puncak memerlukan perjuangan dan upaya spiritual, mujahadah dan riyadhah. Anak-anak
tangga (maqamat) tidak sama pada setiap orang atau setiap tarekat.

Namun, secara umum maqam-maqam tersebut, antara lain, tobat, shabr, qanaah, wara’, syukur,  tawakal, ridha, ma’rifah,
mahabbah. Tiga maqam terakhir sering dianggap sebagai maqam puncak.
  
Mujahadah dari akar kata jahada berarti berjuang dan bersungguh-sungguh. Seakar kata dengan kata jihad berarti berjuang
secara fisik, ijtihad berjuang secara nalar, dan mujahadah berarti berjuang dengan olah batin.
Sedangkan, riyadhah berasal dari kata radhyiya berarti senang, rela. Ini seakar kata dengan ridhwan berarti kepuasan dan
kesenangan. Mujahadah dan riyadhah merupakan dua hal tak terpisahkan di dalam diri seorang sufi atau salik.
Mujahadah dan riyadhah bisa mengambil bentuk berupa penghindaran diri dari dosa-dosa kecil  (muru’ah), melakukan
amalan rutin, seperti puasa Senin-Kamis dan puasa-puasa sunah lainnya.
Selain itu, tidak meninggalkan shalat-shalat sunah rawatib (Qabliyah dan Ba’diyah) dan shalat-shalat sunah lainnya. Dan,
mengamalkan zikir dan wirid secara rutin, memperbanyak amal sosial dengan penuh keikhlasan, serta meninggalkan nafsu
amarah dan cinta dunia berlebihan.
Ketika seseorang dengan konsisten menjalani mujahadah dan riyadhah, secara otomatis orang itu mencapai anak-anak tangga
lebih tinggi. Cepat atau lambatnya perjalanan spiritual seseorang ditentukan bukan hanya kuantitas, melainkan juga kualitas
mujahadah dan riyadhah itu.
Ada orang yang berhasil mencapai maqam kedua atau ketiga, tetapi sulit naik ke maqam berikutnya karena tingkat
mujahadah dan riyadhah-nya pas-pasan. Ada juga terus melejit dan tidak terlalu lama berada di dalam anak-anak tangga
bawah. Semuanya tergantung tingkat istiqamah seseorang.
Ketika seseorang merangkak naik meninggalkan posisi semula, lalu melakukan mujahadah dan riyadhah maka akan terjadi
perubahan mendasar dalam dirinya.

Perubahan itu tak hanya dilihat dan dirasakan oleh dirinya sendiri, tapi juga orang lain. Terutama, keluarga dan orang-orang
terdekatnya.

Biasanya orang yang sudah memasuki anak tangga salik merasakan ketergantungan atau ketagihan. Seolah perjalanan
hidupnya selama ini kosong tanpa makna. Ia baru merasakan makna hidup yang sesungguhnya.

Itulah sebabnya muncul fenomena melakukan uzlah dan pengembaraan dari masjid ke masjid, dari suatu daerah ke daerah
lain, bahkan dari satu negara ke negara lain.

Mereka meninggalkan keluarga, mengenyampingkan pekerjaan rutinnya di kantor, dan mengganti sahabat lama dengan
sahabat spiritual baru. Akan tetapi, tidak sedikit pula orang yang kecewa di dalam pencariannya.

Apa yang diharapkan dan diimajinasikan di dalam perjalanan spiritualnya berbeda dengan kenyataan hidup yang dialaminya.
Akibatnya, mereka kembali ke dunia lamanya, mungkin jauh lebih mundur lagi.

Kedua kutub ekstrem ini disebabkan kurangnya pengenalan teoretis tentang dunia sufi dan tasawuf. Mereka langsung
mempratikkan tanpa pernah memperoleh pengenalan dari dari guru spiritual yang berpengalaman.

Fenemona kehidupan spiritual pada masa depan cenderung semakin menyempal. Ini disebabkan oleh semakin luasnya potensi
kekecewaan batin di dalam lingkungan kehidupan modern dan bermunculannya kelompok-kelompok pengajian plus.
Seolah-olah masa depan itu datang lebih cepat melampaui kecepatan umat mempersiapkan diri. Akibatnya, multiple shock
sedang melanda umat kita.

Bukan hanya cultural  shock, seperti yang pernah dibayangkan Alfin Toffler dalam karya monumentalnya, The Future Shock.
Tidak saja terjadi di dalam umat Islam, tetapi juga umat-umat agama lain.

Seolah-olah beberapa institusi dan pranata formal keagamaan yang sekian lama hidup di masyarakat  dirasakan pemeluknya
sudah termakan usia.

Dengan demikian, terjadi jarak antara ajaran agama dan kecenderungan isi hati serta jalan pikiran pemeluknya. Fenomena
seperti ini berpotensi melahirkan sejumlah kekecewaan.

Yang perlu dicermati, jangan sampai kekecewaan itu ditempiaskan ke dalam bentuk kegiatan-kegiatan radikal, yang seolah-

12
olah akan berusaha membendung arus zaman. Maraknya terorisme dan kegiatan-kegiatan anarkisme yang bertema agama di
sekeliling kita boleh jadi bagian inheren dari kekecewaan masif tadi.
BELAJAR DARI SUASANA BATIN: DARI HAL MENUJU MAQAM
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Peranan syekh, mursyid, atau pembimbing spiritual diperlukan dalam meningkatkan hal menjadi maqam.

Clifford Geertz dalam bukunya Islam Obeserved pernah mengingatkan kita bahwa manakala pemeluk dan ajaran agama
sudah mulai berjarak maka akan lahir situasi yang gamang.
Fenomena ini, menurut Geertz, akan melahirkan polarisasi di dalam masyarakat yang cenderung berhadap-hadapan satu sama
lain.

Akan muncul suatu kelompok moderat, bahkan liberal yang akan mengakomodasi dan memberikan pembenaran keagamaan
terhadap perkembangan dunia modern dengan menciptakan metode-motode modern, di antaranya, pendekatan kontekstual
atau metode hermeneutik.

Ayat-ayat dan hadis direkayasa sedemikian rupa untuk menjustifikasi kehendak zaman. Kelompok ini sepertinya sudah
pasrah dengan kehendak zaman.
Akhirnya, seolah-olah Alquran dan hadis yang harus tunduk kepada zaman modern, bukan lagi Alquran dan hadis yang harus
memandu perkembangan zaman.

Pada saat bersamaan, akan muncul kelompok radikal yang seolah-olah ingin menolak kenyataan hidup yang terlalu asing bagi
mereka.
Mereka merindukan zaman lampau yang pernah menciptakan The Golden Age. Mereka merindukan situasi kenabian
(prophetic system) untuk mewadahi kecenderungan emosi keagamaannya.

Mereka serta merta menolak gagasan pembaharuan dengan memberinya berbagai macam label, seperti sekuler, liberal,
pluralisme, jahiliah modern, deislamisasi, gerakan zionis, Kristenisasi, nasionalis sekuler, westernisasi, dan berbagai label
lainnya yang bisa memicu proteksi dan emosi keagamaan umat.

Belum lagi, atribut-atribut biologis dan pakaian menyerupakan diri dengan kelompok masyarakat (Arab) yang dianggap
sebagai komunitas ideal. Padahal, tidak mesti menjadi seorang Arab untuk menjadi the best Muslim. Kita bisa tetap menjadi
orang Indonesia, tetapi sambil meraih insan kamil, manusia paripurna.

13
SPIRITUALISASI KEHIDUPAN SEKSUAL: EROTOLOGI DALAM ISLAM
Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar

Kualitas hubungan seksual yang tinggi bisa memperkecil sebesar apa pun problem sebuah rumah tangga.

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran [3]:14)

Erotologi adalah sesuatu yang sangat manusiawi dan Islami. Erotologi, yaitu ilmu dan seni bercinta. Erotologi dalam Islam
mempunyai kedudukan yang sangat penting.

 Nabi Muhammad SAW sendiri sebagaimana telah dijelaskan di dalam beberapa artikel terdahulu secara konsisten
mempraktikkan erotologi dengan baik kepada para istrinya sehingga semua istrinya masing-masing mengatakan, “Akulah
yang paling dicintai dan paling diistimewakan Rasulullah.”

Tentu di sini bukan hanya dari segi respek dan pemberian fasilitas, melainkan pelayanan secara pribadi yang perfect. Nabi
mampu memberikan kepuasan seksual yang sempurna terhadap para istrinya, sebagaimana sering dibocorkan oleh Aisyah
RA.

Nabi selalu melakukan love making dan sexual fantasy (mula’abah). Dalam buku Sexuality in Islam karya penting Abdel
Wahab Bouhdiba, menunjukkan satu ulasan tentang erotologi, yang banyak mengutip hadis Nabi. Buku ini menunjukkan
betapa mulianya hubungan seksual di dalam Islam.

Banyak hadis mengisyaratkan erotologi. Di antaranya, “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai segala keindahan.”
Keindahan datang dari surga dan setiap orang idealnya mempraktikkan keindahan itu. Nabi juga pernah mengatakan ada tiga
hal yang paling disukainya, yaitu perempuan, parfum, dan shalat.

Nabi juga menyerukan umatnya untuk melangsungkan perkawinan dan berketurunan (tanakahu, tanasalu). “Barang siapa
yang menolak sunahku (perkawinan) maka bukan bagian dari umatku. Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan
separuh dari agamanya.”

Hadis-hadis ini melambangkan hubungan seksual itu sebagai anugerah Tuhan yang indah (tayib).

Dalam Islam sexual game (mula’abat), sesuatu yang sangat direkomendasikan oleh Nabi. Hubungan seks di dalam Alquran
diistilahkan dengan bahasa positif sebagai human decoration (zuyyina li an-nas).

Penciptaan makhluk Tuhan berpasang-pasangan (zaujat) menuntut adanya perilaku interaktif yang indah (li yaskuna ilaihi).
Islam tidak memperkenalkan konsep auto-eroticism.

Bahkan, Nabi mengisyaratkan kepada umatnya agar jangan mendatangi istrinya seperti binatang mendatangi pasangannya.
Dalam artikel terdahulu disebutkan, untuk mencapai puncak keindahan itu, suami atau istri sama-sama berhak untuk menjadi
sexual driver.

Untuk meraih kualitas hubungan seksual, Nabi selalu mengingatkan untuk membersihkan organ seksual, bukan saja untuk
kesehatan diri sendiri, melainkan juga untuk memberikan kenyamanan kepada pasangan.

Contohnya, Nabi selalu menganjurkan untuk membersihkan mulut dan gigi dengan siwak¸ yaitu menggosok gigi dengan
tangkai pohon siwak, yang memberikan aroma harum alami di mulut.
Nabi juga menunjukkan pemandangan orang disiksa di kuburan lantaran tidak membersihkan organ vitalnya. Kebersihan,
keindahan, dan kelembutan merupakan hal penting di dalam bercinta.

Sebuah buku yang sangat populer tentang erotologi disusun oleh Salehuddin al-Munajjid dalam judul Jawami’ al-Lazzah
(Encyclopaedia of Pleasure).
Buku ini mungkin setara dengan Kamasutra yang pernah ditulis oleh Bhagavan Vatsyayan, 1600 tahun lalu sehingga
menempatkan agama Hindu sebagai agama yang paling eksotik berbicara tentang hubungan seksual.

Kualitas hubungan seksual yang tinggi bisa memperkecil sebesar apa pun problem sebuah rumah tangga. Karena itu, dapat
disimpulkan bahwa seksologi dan erotologi adalah ilmu kemanusiaan yang sangat penting dan mulia. Erotologi penting untuk
melanggengkan kemesraan dalam kehidupan berkeluarga.

14
SPIRITUALISASI KEHIDUPAN SEKSUAL: SEXUAL DAN SPIRITUAL FOREPLAY
Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar

Puncak spiritual juga didahului olah batin dan raga.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
 (QS ar-Ruum [30]:21).

Untuk memperoleh puncak kepuasan seksual diperlukan foreplay (pemanasan) kedua belah pihak sebelum melakukan
hubungan suami istri. Foreplay ini diistilahkan dengan warming up atau mula’abah menurut istilah hadis Nabi (lihat artikel
terdahulu).

Ini penting, selain untuk menghayati indahnya ketulusan cinta kedua insan, juga untuk menambah nikmatnya hubungan itu
karena dengan foreplay yang baik akan membantu kedua belah pihak merasakan puncak orgasmenya.

Untuk memperoleh puncak kepuasan batin seorang pencari dan pencinta Tuhan, juga ia harus mengawali usahanya dengan
foreplay dalam istilah tasawuf disebut riyadhah atau muraqabah, semacam spiritual exercises.

Ketika seorang hendak melakukan riyadhah dan mujahadah, biasanya dianjurkan untuk menggunakan pakaian bersih,
menggunakan wewangian, dan Nabi melarang mendekati mesjid yang mulutnya bau bawang.

Kita diminta untuk fokus dan khusyuk karena dengan demikian seseorang akan mencapai puncak kenikmatan spiritual itu.
Seusai menjalankan ibadah ritual, seperti shalat, tidak dianjurkan langsung berkemas meninggalkan sajadah, tempat ibadah.

Kita tetap diminta untuk terus berzikir. Inilah yang sering disebut dengan shalat qabliyah dan shalat ba’diyah. Kadang-kadang
sisa-sisa kenikmatan dan kesyahduan spiritual itu masih terasa seusai shalat.

Puncak dari segala puncak kenikmatan hamba manakala ia bisa merasakan kedekatan diri apalagi ittihad dengan Tuhannya.
Itulah sebabnya, secantik apa pun bidadari surga, tidak membuat para penghuni surga bergeming karena di surga Sang
Kekasih, Allah SWT, bisa diakses secara langsung.

Dan di dalam Alquran puncak kepuasan di surga bukan mendapatkan hiburan bidadari, mengonsumsi aneka ragam makanan
dan minuman, menggunakan berbagai fasilitas dan perhiasan di dalamnya, tetapi puncak kebahagian dan kenikmatan itu ialah
“berjumpa” atau “melihat” Tuhan.

Ibnu Arabi memberikan penjelasan menarik dalam kitab Futuhat al-Makkiyyah-nya tentang rahasia di balik mandi junub.
Mengapa orang harus mandi junub seusai melakukan hubungan suami istri?

Bagi Ibnu Arabi, mandi junub merupakan salah satu bentuk ungkapan penyesalan terhadap Tuhan setelah yang bersangkutan
melupakan Tuhannya karena menikmati orgasme biologis.

Ia harus mandi dan menyucikan dirinya kembali agar peluang untuk mencapai kepuasan spiritual tidak terdistorsi dengan
kenikmatan dan kepuasan biologis yang baru saja dilakukan. Itulah sebabnya kita dianjurkan berdoa sebelum melakukan
hubungan suami istri.

Redaksinya dicontohkan langsung oleh Rasul, “Ya Allah jauhkanlah kami dari pengaruh setan dan jauhkan pula pengaruhnya
terhadap rezeki yang engkau anugerahkan kepada kami.” Doa ini sangat populer sebagai doa pengantin baru.

Dalam dunia spiritual, konsep azwaj dikaji lebih mendalam. Menurut Nasafi, sebagaimana dikutip di dalam The Tao of Islam,
Tuhan yang Mahamandiri, tempat segala sesuatu tergantung kepada-Nya (Allah as-shamad), dianggap sebagai zat yang wajib
wujudnya (wajib al-wujud).

Sedangkan makhluk-Nya disebut zat yang mungkin wujudnya (mumkin al-wujud) karena keberadaannya sangat tergantung
kepada kehendak-Nya dan keutuhan serta kelestariannya sangat tergantung kepada interaksi pasangannya.

15
SPIRITUALISASI KEHIDUPAN SEKSUAL: 'DEANIMALISASI' HUBUNGAN SEKSUAL
Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar

Daya berpikir manusia jauh di atas daya pikir binatang.

“Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan
(pula), dijadikan-Nya kalian berkembang biak dengan jalan itu.”  (QS as-Syura [42]: 11).

Kita sering berpikir bahwa tumbuh-tumbuhan dan binatang sesuatu yang terpisah dengan diri kita, apalagi benda-benda alam
yang selama ini dipersepsikan dengan benda mati, seperti mineral, tanah, dan air.

Padahal, keseluruhannya itu tersimpul di dalam diri manusia. Itulah sebabnya manusia disebut mikrokosmos (al-'alam as-
shagir) karena menghimpun keseluruhan unsur alam raya makrokosmos (al-'alam al-kabir).

Struktur fisik dan jiwa manusia menghimpun segala apa yang terkandung di dalam alam raya ini. Bukankah unsur badan kita
dari tanah (khalaqtahu min thin), memiliki unsur tumbuh-tumbuhan (muharrikah), dan yang pasti manusia adalah hewan yang
berpikir (al-insan hayawan an-nathiq).

Dengan demikian, dapat disederhanakan bahwa mineral adalah tumbuh-tumbuhan yang tidak sempurna karena tidak
mempunyai gerak (muharrikah).

Tumbuh-tumbuhan adalah mineral yang sempurna, tetapi “hewan” yang tidak sempurna karena tidak memiliki pengetahuan
(cognition). Hewan adalah “tumbuh-tumbuhan” yang sempurna, tetapi “manusia” yang tidak sempurna karena tidak memiliki
pikiran spiritual (intellection).

Manusia adalah hewan yang sempurna, tetapi masih terus bergelut untuk mencapai kesempurnaan (insan kamil).

Hubungan-hubungan ini dilukiskan dalam bentuk syair oleh Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya:

“Dari alam mineral aku mati lalu menjadi tumbuh-tumbuhan; dari alam nabati aku mati, dan mencapai alam hewan. Dari
alam hewan aku mati dan menjadi manusia. Lalu mengapa aku mesti takut? Kapan aku pernah jadi berkurang karena mati?”

“Nanti aku mati sebagai manusia agar aku bisa membentangkan sayapku dan mengangkat kepalaku di antara para malaikat.
Sekali lagi, aku akan berkorban dari alam malakuti dan menjadi apa yang tak sanggup dibayangkan imajinasi.”

Manusia, selain mineral, ia juga tumbuh-tumbuhan dan sekaligus binatang. Al-Farabi, sebagaimana dikutip Harun Nasution,
menggambarkan struktur jiwa manusia dalam kaitannya dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang, dengan mengungkapkan
daya-daya jiwa manusia yang meliputi: pertama, gerak (muharrikah/motion) yang meliputi makan (gadziyah/nutrition),
memelihara (marbiyyah/perservation), dan berkembang (maulidah/reproduction).

Kedua, mengetahui (mudrikah/cognition) yang meliputi merasa (hassah/sensation) dan imajinasi


(mutakhayyalah/imagination). Ketiga, berpikir (nathiqah/intellection) yang meliputi akal praktis (al-'aql al-'amali/materian
intellect) dan akal teoritis (al-'aql an-nadhari).

Daya berpikir manusia jauh di atas daya pikir binatang karena manusia sudah memiliki kemampuan berpikir ke dalam tiga
tingkat, yaitu: pertama, akal potensial (al-'aql al-hayulani/materian intellect), yang baru mempunyai potensi berpikir dalam
arti  melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.

Kedua akal aktual (al-'aql bi al-fi'li/actual intellect), yang sudah dapat melepaskan arti-arti materinya, dan arti-arti itu telah
mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk aktual (when the intelligibles becames actual in
the mind).

Ketiga, akal mustafad (al-'aql al-mustafad/accuired intellect), yang sudah dapat menangkap bentuk semata-mata (al-shuwar
al-mujarrad/pure forms). Jika tahap akal aktual hanya menangkap arti-arti yang terlepas dari materi, maka akal mustafad
sudah sanggup menangkap bentuk semata-mata (pure form).

Bentuk ini berbeda dengan abstracted intelligibles, tidak pernah berada dalam materi untuk dapat dilepaskan dari materi.
Bentuk semata-mata berada tanpa materi seperti akal yang kesepuluh dan Tuhan.

16
SPIRITUALISASI KEHIDUPAN SEKSUAL: SAKRALITAS HUBUNGAN SEKSUAL
Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar

Hubungan seks itu suci dan sakral.

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kalian.”
(QS an-Nahl [16]:66).
  
Setelah  memahami struktur fisik dan jiwa manusia, ternyata  unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan terduplikasi di
dalam diri manusia.

Bahkan, terkadang yang berbuat di dalam diri seseorang terkadang dominan aspek tumbuh-tumbuhan (nabati) atau hewan
(hayawan). Untuk mengukur apakah sebuah perbuatan adalah perbuatan manusia maka dapat diukur keterlibatan aspek
kecerdasan spiritual (intellection) di dalam dirinya.

Perbuatan manusia bisa diukur mulai dari keinginan (masyi'ah), kemampuan atau daya untuk melaksanakan (istitha'ah), dan
action (kasab) sebuah perbuatan. Apakah masyi'ah, istitha'ah, dan kasab itu didominasi oleh aspek kebinatangan, yaitu
perasaan (mudrikah/sensation) dan imajinasi (mutakhayyalah); atau dirinya sebagai manusia yang mengedepankan pikiran
spiritual intellect  (nathiqah/intellection) yang meliputi akal praktis (al-'aql al-'amali/materian intellect) dan akal teoretis
(al-'aql al-nadhari).

Terkadang kita masih sulit untuk mengukur diri kita, apakah yang melakukan sebuah perbuatan adalah diri kita sebagai
manusia atau duplikasi kebinatangan yang melekat di dalam diri. Jika emosi atau hanya nafsu yang dominan di dalam
perbuatan, tanpa ada keterlibatan unsur insani maka itu bisa disebut sebagai perbuatan binatang.

Jika kita makan dengan melibatkan unsur spiritualitas, misalnya, melakukan penyembelihan hewan secara benar, memastikan
tidak ada unsur haram di dalam makanan, kemudian kita makan dengan diawali doa, membaca basmalah, dan disudahi
dengan kalimat syukur, maka itu artinya kita telah melakukan spiritualisasi atau sakralisasi perbuatan.

Perbuatan makan seperti ini bisa disebut divine eating. Tegasnya, apa pun yang kita lakukan dengan melibatkan Tuhan dan
kekuatan spiritualitas yang kita miliki maka itu disebut dengan divine work.

Divine work sesungguhnya tidak lain adalah perbuatan berkah (barakah), sesuatu yang melibatkan Tuhan di dalamnya.

Logikanya, sebuah perbuatan yang tidak melibatkan Tuhan maka tidak bisa disebut perbuatan barakah (divine work).

Ketika mengajar, menjadi murid, menanam pohon, memanen padi, menuju ke kantor, mengasuh anak, dan sebagainya,
seharusnya yang melakukan perbuatan-perbuatan itu bukan hanya fisik atau hasrat semata tetapi berusahalah melibatkan
Tuhan di dalamnya.

Lakukanlah semuanya dengan melibatkan unsur batin. Proses pembatinan di dalam sebuah perbuatan hanya bisa dilakukan
oleh manusia. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan.

Yang paling penting ialah berhubungan seks. Jika tanpa keterlibatan unsur spiritual dalam hubungan seks, dan dengan
demikian hanya nafsu belaka yang terlibat di dalamnya, maka seolah-olah yang berhubungan seks itu ialah binatang.

Anak-anak yang lahir dari padanya sudah barang tentu dapat disebut anak-anak binatang. Jangan heran jika semakin marak
tawuran anak-anak di jalan raya. Jangan-jangan mereka itu sesungguhnya adalah 'anak-anak binatang'.

Hubungan seks itu suci dan sakral. Perbuatan itu tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan proses nikah yang disebut di dalam
Alquran sebagai perjanjian suci (mitsaqan galizhan). Setelah itu kita disarankan untuk mengindahkan akhlak berhubungan
suami istri, sebagaimana dijelaskan dalam artikel terdahulu.

17
MAKNA SIMBOLIS 'IBRAHIM'
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Ibrahim pendobrak kemusyrikan dengan tauhid.

Nabi Ibrahim AS memperoleh predikat "pemilik kebesaran" (ulul 'azmi) dan secara khusus disebut sebagai "kekasih Allah
SWT" (khalilullah).

Di antara keutamaan Nabi Ibrahim ialah membangun sumber daya manusia yang tangguh dengan meletakkan sendi-sendi
kemanusiaan yang konstruktif. Pertama kali ia merombak kepercayaan syirik-politeisme menuju kepercayaan tauhid-
monoteisme.

Ia disebut Bapak Monoteisme karena secara genetik kedua putranya, Nabi Ishaq dan Nabi Ismail, telah menurunkan tiga nabi
yang membawa tiga agama langit (samawi), yaitu agama Yahudi dan agama Nasrani yang masing-masing dibawa oleh Nabi
Musa dan Nabi Isa dari jalur Nabi Ishaq dan agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad dari jalur Nabi Ismail.

Jadi, keberadaan Nabi Ibrahim mempunyai arti penting sebagai situs sekaligus simpul ketiga agama samawi tersebut.

Seandainya pengikut ketiga agama ini menekankan titik pertemuan (principle of identity) sebagai sesama penganut rumpun
agama anak-cucu Ibrahim (Abrahamic religions) maka faktor agama dalam masyarakat akan berdampak positif sebagai
kekuatan daya penyatu (centripetal).

Tetapi, sebaliknya, jika yang ditekankan adalah unsur perbedaan (principle of negation) maka agama akan berdampak negatif
sebagai kekuatan daya pemecah (centrifugal).

Untuk menampilkan kekuatan agama sebagai pemersatu dalam sebuah masyarakat yang majemuk, diperlukan adanya saling
pengertian mendalam antara para penganut agama.

Di sinilah pentingnya upacara pengorbanan (sakrifasi) atau qurban yang juga dikenal dalam setiap agama.

Sakrifasi ini, selain untuk mendekatkan diri kepada Tuhan juga untuk mendidik jiwa kita untuk tidak egois, rela berkorban,
dan bersedia memberi pengakuan terhadap hak-hak orang lain.

Salah satu dimensi kebesaran Nabi Ibrahim ialah besarnya pengorbanan yang ditunjukkan kepada Allah melalui ketulusannya
dalam mengorbankan putra kesayangannya.

Nabi Ismail lahir setelah melalui penantian panjang. Kisah keluarga ini sarat dengan pesan moral.

Nabi Ibrahim adalah simbol bagi manusia yang rela mengorbankan apa saja demi mencapai keridhaan Tuhan, rela
menyembelih anaknya, bahkan rela mengorbankan diri dalam kobaran api.

Setiap orang mempunyai kelemahan terhadap sesuatu yang dicintainya. Kelemahan Nabi Ibrahim terletak pada anak
kesayangan yang sudah lama didambakannya dan dari sini pula kembali diuji Tuhan berupa godaan setan.

Tetapi, Nabi Ibrahim lulus dari ujian itu. Ia secara tulus dan ikhlas mau mengorbankan putra kesayangannya.

Nabi Ismail adalah simbol bagi sesuatu yang paling dicintai dan sekaligus berpotensi melemahkan dan menggoyahkan iman,
simbol bagi sesuatu yang dapat membuat kita enggan menerima tanggung jawab.

Simbol bagi sesuatu yang dapat mengajak kita untuk berpikir subjektif dan berpendirian egois. Tegasnya, simbol bagi segala
sesuatu yang dapat menyesatkan kita.

Mari kita mengintrospeksi dan mengukur diri kita masing-masing. Seandainya kita adalah figur "Ibrahim", sudahkah kita
memperoleh iman setangguh beliau? Sudahkah kita menunjukkan pengorbanan  yang optimal ke jalan-jalan yang diridhai
Tuhan?

Jika kita, misalnya, berada di puncak karier, sudah relakah kita mengorbankan segalanya demi mempertahankan prinsip-
prinsip ajaran yang dianut?

18
MAKNA SOSIAL AS-SHIRATH AL-MUSTAQIM
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Jalan hidup lurus penuh kenikmatan.

“Tunjukilah kami jalan yang lurus,  jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS al-Fatihah [1]: 6-7)
 
Doa yang paling sering terucap setiap hari ialah doa memohon petunjuk agar kita menemukan jalan luas lagi lurus, as-shirath
al-mustaqim,  sebagaimana diungkapkan dalam surah al-Fatihah ayat 6-7 seperti tersebut di atas.

Tiada rakaat shalat tanpa terucap doa itu. Bayangkan jika kita shalat berkali-kali dalam sehari, maka sebanyak itu kita
melafalkan doa tersebut.

Kata as-shirath al-mustaqim sesungguhnya tidak lain ialah jalan lurus dan lapang, jalan kebenaran sebagaimana dituntunkan
di dalam ajaran dalam Islam.

Jalannya orang-orang yang sukses di dalam menjalani kehidupan, seperti yang dijalani para nabi, para kekasih, dan hamba
pilihan Tuhan lainnya. Jalan hidup seperti itulah yang disebut dengan jalan penuh kenikmatan.

Jalan kehidupan yang penuh kenikmatan ialah jalan lurus dan datar yang sudah barang tentu menjanjikan ketenangan bagi
para penempuhnya. Dalam kondisi apa pun ia tetap stabil.

Jika dikaruniai rezeki yang lapang, dianugerahi jabatan penting, atau sedang berada di dalam puncak karier, ia tetap seperti
apa adanya dirinya, seolah tidak ada yang berubah, baik dalam sikap maupun sifat.

Sebaliknya, jika diuji dengan kekecewaan, penderitaan, musibah, dan penyakit, ia tetap seperti apa adanya, tidak
menunjukkan kekecewaan dan perubahan berarti di dalam hidupnya. Mereka ini dapat disebut penempuh kenikmatan jalan
hidup (an'amta 'alaihim).

Kebalikannya ialah jalan yang tidak stabil, fluktuatif, turun-naik, dan berkelok-kelok, yang sudah barang tentu sarat dengan
guncangan. Jalan hidup yang fluktuatif itu disimbolkan dengan orang-orang yang tidak memiliki konsistensi (istiqamah) di
dalam menjalani kehidupan.

Jika memperoleh kelapangan rezeki, dipromosikan menduduki jabatan penting, atau sedang berada di dalam puncak
popularitas, maka ia lupa diri, mabuk, angkuh, dan sombong. Sifat-sifat ini tentu sangat tercela, bukan hanya di mata manusia
tetapi juga di mata Allah SWT. Karena itu, penempuh jalan seperti ini disebut orang-orang dimurkai (al-maghdhub).

Jalan hidup fluktuatif juga bisa di dalam bentuk seseorang menjatuhkan diri ke dalam keputusasaan, bahkan dengan
membinasakan dirinya sendiri pada saat dilanda kekecewaan.

Misalnya ketika ia kecewa dengan pengangguran yang dialaminya, dibakar oleh api cemburu, atau merasa tersiksa dengan
penyakit kronis yang dideritanya. Orang-orang seperti ini seperti tidak lagi menemukan cahaya kehidupan. Ia menatap jalan
hidupnya dengan penuh kegelapan. Orang-orang seperti ini bisa disebut penempuh jalan sesat (ad-dhallin).

19
INSPIRASI TUHAN
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Tingkatan inspirasi Tuhan beragam.


Tidak semua kecerdasan yang hadir dalam benak kita adalah kreasi kita (Human Creation/HC), tetapi juga ada yang
merupakan kreasi Tuhan (Divine Creation/DC). Disebut HC karena usaha manusia lebih dominan di dalam terwujudnya
kecerdasan itu. Sedangkan, DC yang lebih dominan atau proaktif di dalam terwujudnya kecerdasan itu ialah unsur kekuatan
di luar diri manusia (baca: Tuhan). Ada yang mengatakan, HC adalah pengetahuan yang diperoleh melalui olah nalar,
sedangkan DC adalah pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin.
Itulah sebabnya HC biasa juga disebut dengan 'ilm dan DC disebut dengan ma'rifah. HC bisa mengantar seseorang menjadi
pintar ('alim), sedangkan DC mengantar seseorang menjadi bijaksana ('arif). Umumnya orang arif itu pintar. tetapi belum
tentu orang pintar itu arif. DC sesungguhnya bersumber dari inspirasi Ilahi (Divine Inspiration/DI). DI yang masuk di dalam
diri manusia itu bertingkat-tingkat. DI yang paling istimewa turun dengan cara-cara tertentu melalui Malaikat Jibril yang
diturunkan kepada manusia pilihan (Nabi/Rasul), maka itu disebut dengan wahyu.
Jika DI turun lebih sederhana kepada hamba pilihan Tuhan (auliya'), itu nanti disebut dengan ilham. DI juga bisa turun
kepada setiap orang biasa, tentunya dengan melalui upaya-upaya khusus, maka itu disebut taklim.
Tingkat keabsahan wahyu sangat meyakinkan (haq al-yaqin), tingkat keabsahan ilham sedikit di bawah wahyu ('ain al-yaqin),
dan keabsahan taklim sedikit di bawah ilham ('ilm al-yaqin).
Namun, ketiganya berasal dari sumber yang sama, Allah SWT. Bagi para arif, mereka akan selalu menaruh respek terhadap
orang-orang yang memperoleh DI tanpa membedakan tingkatan-tingkatannya.
Dalam bahasa Indonesia, penggunaan kata alim dan arif sering dipertukarkan. Seolah-olah kedua kata ini sinonim. Padahal,
khususnya dalam perspektif tasawuf, keduanya amat berbeda.
Alim dari akar kata 'alima-ya'lam berarti mengetahui, mengerti. Memang arti dasarnya mirip dengan kata 'arafa-ya'rifu berarti
memahami, mengetahui. Bila sudah menjadi bentuk kata subjek, keduanya sudah mulai bisa dibedakan. 'Alim artinya orang
yang mengetahui sesuatu dengan menggunakan kecerdasan rasional atau murni HC. Sedangkan, arif berarti orang yang
memahami sesuatu dengan menggunakan DI.
Ada ilmuwan, bahkan professor ('alim), tetapi penampilan dan akhlaknya seperti "kurang ajar". Sedangkan arif, mungkin
pendidikan formalnya tidak terlalu tinggi, tetapi penampilan dan akhlaknya lebih bijak dan santun.
Orang yang arif jalan pikirannya lebih lurus dan jernih, hatinya lebih bersih dan tulus, perilakunya lebih leambut dan santun.
Cara untuk menjadi 'alim bagi banyak orang tidak terlalu susah.
Yang penting ada kesungguhan, kemampuan (daya dan biaya), dan tekun belajar, insya Allah pasti dapat. Akan tetapi, meraih
kearifan tidak cukup hanya dengan rajin belajar dan biaya yang cukup, tetapi lebih dari itu, harus senantiasa mendekatkan diri
sedekat-dekatnya kepada Allah.
Dan pada saat bersamaan, lebih dekat pula pada objek ilmu, bahkan sewaktu-waktu merasakan adanya penyatuan dan
kebersamaan antara subjek dan objek ilmu pengetahuan (al-'alim wa al-ma'lum wahid).
Bila Devine Inspiration/DI (Inspirasi Tuhan) yang masuk di dalam diri manusia itu bertingkat-tingkat, bisa dijabarkan sebagai
berikut. DI yang paling istimewa turun dengan cara-cara tertentu melalui Malaikat Jibril yang diturunkan kepada manusia
pilihan (Nabi/Rasul), maka itu disebut dengan wahyu.
Jika DI turun lebih sederhana kepada hamba pilihan Tuhan (auliya'), itu nanti disebut dengan ilham. DI juga bisa turun pada
setiap orang biasa, tentunya dengan melalui upaya-upaya khusus, maka itu disebut taklim.
Bagi orang biasa, persyaratan untuk mengakses DI ialah kebeningan dan kebersihan jiwa. Bahasa santrinya: “al-'ilm nur, wa
nur Allah la yuhda li al-'ashi (Ilmu itu cahaya, dan cahaya tidak akan masuk di dalam hati yang gelap).
Seseorang yang menuntut dan mencari kearifan disebut murid dan setiap murid membutuhkan pembimbing yang disebut
mursyid. Antara murid dan mursyid, menurut Suhrawardi, harus klop dan simetris.
Antara murid dan mursyid memerlukan etika. Seorang murid dituntut memenuhi 13 syarat untuk bisa disebut murid dan
seorang mursyid dituntut mampu melaksanakan enam syarat agar sah disebut sebagai mursyid. Jadi, tidak semua "anak
sekolahan" (muta'allim) otomatis bisa disebut murid.
Demikian pula, tidak semua guru (mu'allim) bisa dianggap mursyid. Kata murid dan mursyid mengimplikasikan adanya
unsur dan mekanisme ketulusan (divined) di dalamnya. Murid dan mursyid sama-sama harus terikat di dalam satu etika
khusus, yang di dalam tradisi pondok pesantren diabadikan di dalam kitab Ta'lim al-Muta'allim.
Dalam Alquran, kemampuan yang dapat dicakup oleh ilmu amat terbatas, seperti kata Alquran: “Wa ma utitum minal 'ilmi
illa qalila (Kami tidak memberikan ilmu kepada  kalian melainkan hanya sedikit).”
Sedangkan, yang biasa disejajarkan dengan makrifat ialah hikmah, yaitu sesuatu yang tanpa batas (unlimited), sebagaimana
dikatakan dalam Alquran: “Yu'til hikmata man yasya', wa man yu'tal hikmata faqad utiya khairan katsira (Hikmah itu
diberikan kepada siapa yang dikehendaki [oleh Allah], barang siapa yang mendapatkan hikmah itu, maka akan diberikan
kebaikan yang lebih banyak).”
Idealnya untuk seorang Muslim, harus memiliki kedua-duanya, ilmu dan makrifat. Keilmuan akan banyak membantu kita
untuk memberikan kemudahan-kemudahan duniawi, sedangkan makrifat akan banyak membantu kita untuk memberikan
kemudahan akhirat. Ilmu banyak menolong kita untuk sukses menjadi khalifah di bumi, sedangkan makrifat banyak
menolong kita untuk sukses menjadi hamba. Khalifah dan hamba kedua-duanya menjadi tanggung jawab manusia, seperti
kata Alquran:
"Kami tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepadaku." "Sesungguhnya kami menciptakan
(Adam dan anak cucunya) sebagai khalifah (di muka bumi)."
Kesempurnaan seorang manusia manakala menyandingkan keberhasilannya sebagai khalifah dan sebagai hamba. Hubungan
horizontal (hablun minannas) dengan sesama  makhluk idealnya berbanding lurus dengan hubungan vertikal (hablum
minallah).
20
Semoga Allah SWT menuntun kita untuk memiliki kedua-duanya, ilmu amaliah dan amaliah yang ilmiah. Alim sekaligus arif
karena memiliki ilmu dan makrifat.
RELASI TUHAN DAN HAMBA
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Allah dalam kapasitas Ahadiyat-Nya tentu saja tak terbandingkan dan terpisah dengan makhluk-Nya.

Dalam kajian tasawuf, tidak ada artinya berbicara tentang apa pun tanpa berbicara tentang Tuhan. Segala sesuatu selain
Tuhan disebut kosmos, termasuk di dalamnya alam (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos).

Tuhan adalah asal-usul dari segala sesuatu. Semua bersumber dari-Nya dan kelak semuanya akan kembali kepada-Nya, inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Kita berasal dari Yang Satu kemudian menjadi banyak dan kembali ke Yang Satu. Dengan demikian, yang banyak ini
sesungguhnya siapa?

Secara matematika juga menunjukkan bahwa sebanyak apa pun sebuah bilangan pasti berasal dari angka 1. Bukankah angka
2 berasal dari angka 1 + 1, bukankah 1.000 merupakan kelipatan 1.000 dari angka 1, dan seterusnya.

Memang, angka 1 tidak sama dengan 2, 1.000, dan seterusnya, tetapi bukankah angka-angka itu tetap merupakan himpunan
dari angka 1. Jadi, tidak ada artinya kita berbicara angka sebanyak apa pun tanpa berbicara tentang angka 1, karena bukankah
angka yang banyak itu tetap merupakan himpunan dari angka 1?

Keterpisahan dan sekaligus ketakterpisahan antara Tuhan dan hamba melahirkan wacana tersendiri di dalam teologi dan
tasawuf. Para teolog atau ulama kalam lebih menekankan aspek keterpisahan dan ketakterbandingan antara Tuhan dan
hamba.

Sedangkan kalangan sufi lebih menekankan aspek ketakterpisahan dan keserupaan antara Tuhan dan hamba, meskipun
dibatasi dengan istilah "keserupaan dalam ketakterbandingan" (similarity in uncomparability).

Allah dalam kapasitas Ahadiyat-Nya tentu saja tak terbandingkan dan terpisah dengan makhluk-Nya. Dia "yang tidak ada
satu pun setara dengannya".

Namun, dalam kapasitas Wahidiyat-Nya, yang di dalamnya diperkenalkan nama-nama-Nya, meniscayakan antara diri-Nya
dan hamba.

Hubungan antara Tuhan dan hamba ini melahirkan konsep Tuhan (Rab) dan hamba (marbub), Ilah dan Ma'luh, Khalik dan
makhluk.

Dalam konteks ini seolah-olah kalangan dan ini yang banyak ditentang oleh para teolog—beranggapan Tuhan butuh terhadap
makhluk, karena eksistensi sebuah kata meniscayakan sebuah kata lainnya, atau di dalam hubungan polaritas-dialektis,
eksistensi satu sisi meniscayakan eksistensi sisi lainnya.

Bukankah tidak akan ada budak tanpa ada tuan, tidak ada Rab tanpa marbub, tidak ada Ilah tanpa ma'luh, tidak ada makhluk
tanpa Khalik, dan tidak ada ma'lum (objek pengetahuan) tanpa Alim (subjek yang mengetahui).

Tentu, demikian pula sebaliknya, sulit membayangkan adanya tuan tanpa ada budak, ada marbub tanpa ada Rab, adanya
Khalik tanpa ada makhluk, dan adanya Alim tanpa ada ma'lum?

Alasan para sufi berpendapat demikian, karena bukankah nama-nama dan sifat Tuhan memerlukan adanya berbagai lokus
atau tempat manifestasikan dan mengaktualisasikan diri?

Dengan kata lain, tanpa lokus maka nama-nama dan sifat Tuhan tidak mungkin dapat teraktualisasi. Jika itu semua tidak bisa
teraktualisasi maka menjadi tidak berarti nama-nama dan sifat itu.

Jika nama-nama dan sifat itu tidak punya arti maka untuk apa Tuhan memperkenalkan kapasitas Wahidiyat-Nya?

Padahal, dalam artikel-artikel terdahulu sudah dijelaskan bahwa Tuhan dengan penuh perencanaan menciptakan makhluk-
Nya untuk mengenal diri-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Hadis Qudsi yang terkenal dalam dunia tasawuf itu.

21
SPIRITUALISASI KEHIDUPAN SEKSUAL: FILOSOFI SEKSUAL DALAM ALQURAN
Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar

Hubungan seksual tidak bisa hanya didorong oleh hawa nafsu, tetapi harus disertai dengan kesadaran emosional-spiritual.

“Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS al-Baqarah [2]:187).

Islam dan kelompok agama samawi lainnya (Yahudi dan Nasrani) menganggap kehidupan seksual sebagai sesuatu yang
mulia, suci, dan sakral. Secara spiritual, hubungan seksual menurut ketiga agama ini digambarkan sebagai “peniruan” peran
Tuhan sebagai Pencipta (sexual relationship can imitate God role as a Creator).

Menurut pandangan teologi, reproduksi melibatkan tiga pihak, bapak, ibu, dan Tuhan. Sa’id Ibn Musayyib meriwayatkan
sebuah hadis Nabi SAW, “Ketika seorang suami berniat mendatangi istrinya, Tuhan mencatat untuknya 20 kebaikan dan
menghapuskan 20 perbuatan buruknya. Ketika ia meraih tangan istrinya, Tuhan mencatat untuknya 40 kebaikan dan
menghapuskan 40 perbuatan buruknya.

Ketika ia mencium istrinya, Tuhan mencatat untuknya 60 kebaikan dan menghapuskan 60 perbuatan buruknya. Ketika
menggauli istrinya, Tuhan mencatat untuknya 120 kebaikan. Ketika ia beranjak membersihkan diri, Tuhan
membanggakannya terhadap para malaikat dan berfirman, ‘Lihatlah hamba-Ku. Dia berdiri di tengah malam yang dingin
untuk membersihkan dirinya dari kotoran (janabah) untuk mendapatkan perkenaan dari Tuhannya. Jadilah saksi-Ku bahwa
Aku telah mengampuninya.”

Hadis riwayat Bukhari dari Abdullah bin Amr menceritakan ihwal salah seorang sahabat yang berpuasa di siang hari dan
beribadah penuh di malam hari dengan harapan untuk memperoleh kedudukan lebih mulia di mata Tuhan.

Lalu, Nabi memberikan tanggapan, “Jangan lakukan seperti itu! Berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah karena
sesungguhnya pada jasadmu ada haknya dan istrimu juga ada haknya.”

Di dalam Islam, Alquran melukiskan hubungan seksual sebagai salah satu kesenangan dan kenikmatan (istimta’) dari Tuhan.
Kenikmatan dan dorongan seksual bukan hanya ditujukan kepada laki-laki, melainkan juga kepada perempuan sebagaimana
disebutkan dalam ayat di atas.

Dalam ayat lain disebutkan, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran [3]:14).

Yang membedakan binatang dan manusia dalam hubungan seksual terletak pada kesucian dan kesakralan seksual itu.
Binatang tidak mengenal spiritualitas dan sakralitas seksual.

Manusia harus sadar kalau dirinya bukan binatang ketika ingin melakukan hubungan suami istri. Ia harus tampil sebagai
manusia yang memiliki seperangkat nilai dan norma dalam melaksanakan hubungan suami istri.

Manusia haram melakukan hubungan suami istri yang bukan haknya. Manusia terlebih dahulu diminta mengikrarkan
perjanjian suci  (mitsaqan ghalidhan) dalam bentuk akad nikah.

Pelaksanaan nikah pun harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan jika perkawinannya ingin sah. Manusia harus
menyadari diri jika hendak melakukan hubungan suami istri sebagai upaya reproduksi, mengembangkan keturunan.

Manusia diminta mengindahkan etika seksual. Sebelum melakukan hubungan intim, terlebih dahulu manusia harus berdoa
memohon perlindungan dari setan. Seusai hubungan itu, ia diminta membersihkan diri dengan cara mandi junub.

Mandi junub ialah upaya untuk menyucikan diri oleh sepasang suami-istri setelah melakukan hubungan intim. Tujuan mandi
junub, menurut Ibnu Arabi, ialah menyucikan diri setelah terlena mengingat Tuhan saat sedang orgasme.

Jika anak manusia melakukan hubungan suami-istri tanpa mengikuti ketentuan syar’i, tanpa melibatkan unsur spiritualitas
cinta Ilahi, maka dikhawatirkan hubungan intim tersebut tidak ubahnya seperti cara binatang.

Hubungan seksual tidak bisa hanya didorong oleh hawa nafsu belaka, tetapi juga harus disertai dengan kesadaran emosional-
spiritual, mulai saat merencanakan sampai usia melakukannya dengan dilakukan mandi junub yang baik dan benar.

22
SPIRITUALISASI KEHIDUPAN SEKSUAL: KAMASUTRA DALAM ISLAM
Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar

Hubungan seksual dalam Islam bersifat holistik disamping untuk memenuhi kebutuhan biologis dan melengkapi hubungan
sosial antara satu dan lainnya, juga bernilai ibadah.

“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan, berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS al-Baqarah
[2]:223).

Agama-agama Semit (Yahudi-Kristen dan Islam) berpandangan positif terhadap seksualitas. Kelompok agama yang biasa
diistilahkan dengan Abrahamic Religion ini bukan hanya menganggapnya sebagai tuntutan biologis, melainkan juga sebagai
suatu perbuatan mulia.

Hubungan seksual dalam agama Yahudi-Kristen digambarkan sebagai peniruan peran Tuhan sebagai Pencipta (sexual
relationship can imitate God’and role as a Creator). Reproduksi menurut pandangan teologi melibatkan tiga pihak, yaitu
bapak, ibu, dan Tuhan.

Di dalam Islam, Alquran melukiskan hubungan seksual sebagai salah satu kesenangan dan kenikmatan (istimta’) dari Tuhan.
Kenikmatan dan dorongan seksual bukan hanya ditujukan kepada laki-laki, melainkan juga kepada perempuan. “Mereka itu
adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (QS al-Baqarah [2]:187).

Hubungan seksual dalam Islam bersifat holistik; di samping untuk memenuhi kebutuhan biologis dan melengkapi hubungan
sosial antara satu dan lainnya, juga bernilai ibadah. Hadis-hadis Nabi banyak sekali menyatakan bahwa hubungan seksual
merupakan sunah yang tidak bisa ditinggalkan.

Dalam hadis riwayat Bukhari dari Abdullah ibn Amr dikisahkan, seorang sahabat yang berpuasa di siang hari dan beribadah
penuh di malam hari dengan harapan untuk memperoleh kedudukan lebih mulia di mata Tuhan. Lalu, Nabi memberikan
tanggapan, “Jangan lakukan seperti itu! Berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah karena sesunguhnya pada jasadmu ada
haknya, dan istrimu juga ada haknya.”

Kelompok agama ini juga sama-sama berpandangan tegas terhadap pelanggaran seksual. Yang termasuk pelanggaran seksual
ialah melakukan hubungan seksual tanpa memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Akad nikah adalah persyaratan mutlak
sebelum melakukan perbuatan itu.

Akad nikah juga tidak mudah dilakukan karena menuntut berbagai persyaratan, seperti persyaratan biologis kepada calon
laki-laki dan calon perempuan, keserasian sosial (kafa’ah),persyaratan genealogis (bukan mahram), persyaratan ekonomi
(sanggup membiayai ekonomi rumah tangga), dan persyaratan adat-istiadat lainnya yang juga harus dipenuhi.

Hubungan seksual tanpa nikah dalam Yahudi disebut zimmah atau zenut dan dalam Islam disebut zina.

Dalam agama Yahudi, pelaku yang terbukti melakukan zina, baik laki-laki dan perempuan, dihukum dengan cambuk atau
rajam, yaitu pelaku ditanam sebatas leher lalu dilempari batu di muka umum sampai meninggal dunia, bagi yang sudah
berkeluarga.

Dalam Islam, hukuman rajam dilakukan kepada laki-laki dan perempuan yang sudah terikat perkawinan, sedangkan gadis
atau perjaka hanya dikenakan hukuman cambuk dalam bilangan tertentu.

Yahudi-Kristen dan Islam tidak mentoleransi penyimpangan perilaku seksual yang dianggap menyalahi kodrat, seperti
transseksual (penggantian jenis kelamin), transvestite (penyimpangan identitas seksual), homoseksual, lesbian, dan
heteroseksual.

Dalam Bibel dikatakan bahwa “Seorang perempuan janganlah memakai pakaian laki-laki dan seorang laki-laki janganlah
mengenakan pakaian perempuan sebab setiap orang yang melakukan hal ini adalah kekejian bagi Tuhan, Allahmu.” (Kitab
Ulangan [22]: 5).

Bandingkan dengan hadis dari Abu Hurairah yang mengatakan, “Rasulullah melaknat laki-laki yang memakai pakaian
perempuan dan perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki.”

Dalam Islam, perilaku seks menyimpang, seperti homoseksual (liwath), lesbian (sihaq), sodomi (ityan al-bahaim), dan
semacamnya juga dilarang dengan tegas. Kisah Lot/Nabi Luth yang memberikan i’tibar terhadap kejahatan pola perilaku seks
menyimpang diungkapkan dalam Bibel dan Alquran dengan redaksi dan jumlah pasal/ayat yang hampir sama (Kitab
Kejadian: 1-29 dan QS Hud [11]:70-89).

Pesan dari pasal-pasal atau ayat-ayat tersebut menyatakan bahwa perilaku seks menyimpang selain membawa kerusakan
23
biologis, juga mendatangkan bencana dalam masyarakat. Tema-tema kampanye anti-AIDS dalam masyarakat Yahudi-Kristen
dan Islam sering kali diangkat musibah yang menimpa kaum Lot/Luth.

Di dalam Kamasutra, hubungan intim suami istri bukan sekadar untuk memenuhi hasrat biologis, melainkan sesungguhnya
jalan untuk mencapai kesempurnaan kepuasaan batin. Orgasme bisa mengantar seseorang untuk lebih mengenal dan
mensyukuri Tuhan. Orgasme yang cerdas dapat mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan.

Orgasme biologis tidak berarti apa-apa jika dibandingkan orgasme spiritual, ketika seseorang hamba merasakan kesatuan
(ittihad) dengan Sang Kekasih, Allah SWT.

Itulah sebabnya, kalangan praktisi spiritual berpaling dari orgasme biologis dengan cara menghindari perkawinan, demi
memberi kesempatan spiritualnya untuk merasakan kepuasan batin dengan Tuhannya.

Namun, ini bukan berarti seseorang harus meninggalkan kepuasan biologis demi untuk memperoleh kepuasan spiritual. Islam
tidak mengenal melampaui batas (al-ghuluw), sungguhpun itu ibadah. Nabi SAW pernah menegur sahabatnya yang sudah
lama tidak berhubungan dengan istrinya lantaran ingin fokus beribadah.

Nabi mengatakan, meskipun dirinya adalah nabi dan rasul, ia tetap memenuhi hak-hak biologis dan istri-istrinya. Bahkan,
Nabi sebagaimana diceritakan oleh Aisyah, istrinya, sangat menikmati hubungan suami istri. Dari Aisyah, banyak riwayat
ditemukan dasar-dasar seksologi dalam Islam.

Untuk memperoleh puncak kepuasan batin, seorang pencari dan pencinta Tuhan juga harus mengawali usahanya dengan
foreplay dalam bentuk riyadhah atau muraqabah, semacam spiritual exercises. Ketika seorang hendak melakukan riyadhah
dan mujahadah, biasanya dianjurkan untuk menggunakan pakaian bersih, menggunakan wewangian, dan Nabi melarang
mendekati masjid yang mulutnya bau bawang.

Kita diminta untuk fokus dan khusyuk karena dengan demikian seseorang akan mencapai puncak kenikmatan spiritual itu.
Seusai menjalankan ibadah ritual, seperti shalat, tidak dianjurkan langsung berkemas meninggalkan sajadah, tempat ibadah.

Kita tetap diminta untuk terus berzikir. Inilah yang sering disebut dengan shalat qabliyyah dan shalat ba'diyah. Kadang-
kadang, sisa-sisa kenikmatan dan kesyahduan spiritual  itu masih terasa seusai shalat.

Puncak dari segala puncak kenikmatan hamba manakala ia bisa merasakan kedekatan diri, apalagi ittihad dengan Tuhannya.
Itulah sebabnya, secantik apa pun bidadari surga, tidak membuat para penghuni surga bergeming karena di surga Sang
Kekasih, Allah, bisa “diakses” secara langsung, dan di dalam Alquran puncak kepuasan di surga bukan mendapatkan hiburan
para bidadari, mengonsumsi aneka ragam makanan dan minuman, menggunakan berbagai fasilitas dan perhiasan di
dalamnya, tetapi puncak kebahagian dan kenikmatan itu ialah “berjumpa” atau “melihat” Tuhan.

Ibnu Arabi memberikan penjelasan menarik dalam kitab Futuhat al-Makkiyyyah-nya tentang rahasia di balik mandi junub.
Mengapa orang harus mandi junub seusai melakukan hubungan suami istri? Bagi Ibnu Arabi, mandi junub salah satu bentuk
pengungkapan penyesalan terhadap Tuhan, setelah yang bersangkutan melupakan Tuhannya karena menikmati orgasme
biologis.

Ia harus mandi dan menyucikan dirinya kembali agar peluang untuk mencapai kepuasan spiritual tidak terdistorsi dengan
kenikmatan dan kepuasan biologis yang baru saja dilakukan. Itulah sebabnya kita dianjurkan berdoa sebelum melakukan
hubungan suami istri.

Doa itu diredaksikan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW, “Ya Allah, jauhkanlah kami dari pengaruh setan dan jauhkan pula
pengaruhnya terhadap rezeki yang engkau anugerahkan kepada kami.” Doa ini sangat populer sebagai doa pengantin baru.    

24
SPIRITUALISASI KEHIDUPAN SEKSUAL: EROTOLOGI DALAM ISLAM
Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar

Kualitas hubungan seksual yang tinggi bisa memperkecil sebesar apa pun problem sebuah rumah tangga.

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran [3]:14)

Erotologi adalah sesuatu yang sangat manusiawi dan Islami. Erotologi, yaitu ilmu dan seni bercinta. Erotologi dalam Islam
mempunyai kedudukan yang sangat penting.

 Nabi Muhammad SAW sendiri sebagaimana telah dijelaskan di dalam beberapa artikel terdahulu secara konsisten
mempraktikkan erotologi dengan baik kepada para istrinya sehingga semua istrinya masing-masing mengatakan, “Akulah
yang paling dicintai dan paling diistimewakan Rasulullah.”

Tentu di sini bukan hanya dari segi respek dan pemberian fasilitas, melainkan pelayanan secara pribadi yang perfect. Nabi
mampu memberikan kepuasan seksual yang sempurna terhadap para istrinya, sebagaimana sering dibocorkan oleh Aisyah
RA.

Nabi selalu melakukan love making dan sexual fantasy (mula’abah). Dalam buku Sexuality in Islam karya penting Abdel
Wahab Bouhdiba, menunjukkan satu ulasan tentang erotologi, yang banyak mengutip hadis Nabi. Buku ini menunjukkan
betapa mulianya hubungan seksual di dalam Islam.

Banyak hadis mengisyaratkan erotologi. Di antaranya, “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai segala keindahan.”
Keindahan datang dari surga dan setiap orang idealnya mempraktikkan keindahan itu. Nabi juga pernah mengatakan ada tiga
hal yang paling disukainya, yaitu perempuan, parfum, dan shalat.

Nabi juga menyerukan umatnya untuk melangsungkan perkawinan dan berketurunan (tanakahu, tanasalu). “Barang siapa
yang menolak sunahku (perkawinan) maka bukan bagian dari umatku. Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan
separuh dari agamanya.”

Hadis-hadis ini melambangkan hubungan seksual itu sebagai anugerah Tuhan yang indah (tayib).

Dalam Islam sexual game (mula’abat), sesuatu yang sangat direkomendasikan oleh Nabi. Hubungan seks di dalam Alquran
diistilahkan dengan bahasa positif sebagai human decoration (zuyyina li an-nas).

Penciptaan makhluk Tuhan berpasang-pasangan (zaujat) menuntut adanya perilaku interaktif yang indah (li yaskuna ilaihi).
Islam tidak memperkenalkan konsep auto-eroticism.

Bahkan, Nabi mengisyaratkan kepada umatnya agar jangan mendatangi istrinya seperti binatang mendatangi pasangannya.
Dalam artikel terdahulu disebutkan, untuk mencapai puncak keindahan itu, suami atau istri sama-sama berhak untuk menjadi
sexual driver.

Untuk meraih kualitas hubungan seksual, Nabi selalu mengingatkan untuk membersihkan organ seksual, bukan saja untuk
kesehatan diri sendiri, melainkan juga untuk memberikan kenyamanan kepada pasangan.

Contohnya, Nabi selalu menganjurkan untuk membersihkan mulut dan gigi dengan siwak¸ yaitu menggosok gigi dengan
tangkai pohon siwak, yang memberikan aroma harum alami di mulut.
Nabi juga menunjukkan pemandangan orang disiksa di kuburan lantaran tidak membersihkan organ vitalnya. Kebersihan,
keindahan, dan kelembutan merupakan hal penting di dalam bercinta.

Sebuah buku yang sangat populer tentang erotologi disusun oleh Salehuddin al-Munajjid dalam judul Jawami’ al-Lazzah
(Encyclopaedia of Pleasure).
Buku ini mungkin setara dengan Kamasutra yang pernah ditulis oleh Bhagavan Vatsyayan, 1600 tahun lalu sehingga
menempatkan agama Hindu sebagai agama yang paling eksotik berbicara tentang hubungan seksual.

Kualitas hubungan seksual yang tinggi bisa memperkecil sebesar apa pun problem sebuah rumah tangga. Karena itu, dapat
disimpulkan bahwa seksologi dan erotologi adalah ilmu kemanusiaan yang sangat penting dan mulia. Erotologi penting untuk
melanggengkan kemesraan dalam kehidupan berkeluarga.

25
MEMAHAMI MAKNA BATIN ALQURAN: WAHYU KEPADA IBU NABI MUSA
Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar

Semua orang, tanpa dibedakan jenis kelamin dan etniknya, sama-sama memenuhi syarat secara biologis untuk menjadi nabi.

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; ‘Susuilah dia dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai
(Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya
kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. (QS al-Qashash [28]:7).

Dari ayat tersebut, menurut mayoritas ulama, membuat definisi wahyu menjadi tidak jelas. Seperti diketahui, mayoritas ulama
mendefinisikan wahyu sebagai informasi yang diberikan Allah SWT kepada para nabi melalui malaikat Jibril.

Sedangkan, para ulama itu juga menegaskan bahwa para nabi hanya dari kalangan laki-laki. Ayat tersebut dengan tegas
menyebutkan bahwa Allah memberi wahyu kepada ibu Nabi Musa.

Dengan mengatakan wahyu hanya untuk para nabi dan mereka hanya untuk kaum laki-laki, mayoritas ulama berusaha
mengalihkan makna kata wahyu dalam ayat di atas bukan seperti wahyu yang diturunkan kepada para nabi-Nya, melainkan
lebih diartikan sebagai ilham. Lihat dalam kitab-kitab tafsir otoritatif (mu’tabarah), tidak satu pun mengatakan, ibu Nabi
Musa yang mendapatkan wahyu itu sebagai nabi.

Bagi para sufi pengertian wahyu lebih bernuansa spiritual, yaitu informasi yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang Dia
percaya. Apakah itu laki-laki atau perempuan, bangsa Arab atau non-Arab, tidak ada masalah bagi Tuhan. Mereka yakin
dengan firman Allah dalam surah al-Hujurat ayat 13:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dalam ayat di atas digarisbawahi kata, “Inna akramakum ‘indallahi atqakum” (Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu).
Tidak ada satu jaminan bahwa yang paling mulia di hadapan Allah ialah para nabi. Tidak ada juga ayat yang lebih tegas
menyatakan para nabi harus laki-laki.

Menurut Imam al-Ghazali, sesungguhnya semua orang, tanpa dibedakan jenis kelamin dan etniknya, sama-sama memenuhi
syarat secara biologis untuk menjadi nabi.

Hanya saja Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para nabi yang jumlahnya terbatas. Allah juga menegaskan hal serupa di
dalam ayat:

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa
sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa’. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Tuhannya.” (QS al-Kahfi [18]:110).

Ayat ini cukup tegas dipahami bahwa Nabi (Muhammad) sama saja dengan manusia biasa, mungkin secara software dan
hardware. Yang membedakan antara dirinya sebagai Nabi dengan umatnya ialah ia mendapatkan wahyu dari-Nya.

Kehadiran wahyu kepada ibu Nabi Musa (wa auhaina ila umm Musa), menjadikan sejumlah ulama berpendapat bahwa wahyu
yang diterima ibunda Musa merupakan wahyu benar sebagaimana diberikan kepada para nabi-Nya. Bahkan, ada yang
mengatakan ibu Nabi Musa (Umm Musa) juga adalah seorang nabi (nubuwwah).

Misalnya, Abu Bakr Muhammad bin Mawhab al-Tujibi al-Qabri (406H/1015 M), seorang ulama besar di Andalusia Spanyol.
Ia bahkan menunjuk Maryam, ibu Nabi Isa, dan ibu Nabi Musa sebagai salah seorang di antara nabi-nabi perempuan.

Alasannya, secara logika laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba dan khalifah. Dengan demikian, keduanya
berhak menjadi nabi.

Secara naqly ia merujuk sejumlah ayat yang menunjukkan adanya wahyu—sebagai prasyarat seseorang dianggap sebagai
nabi—diturunkan kepada perempuan salihah, seperti ibu Nabi Musa, “Wa auhaina ila ummi musa”, sebagaimana disebutkan
di atas. Di samping itu, para perempuan tersebut didukung keluarbiasaan (mukjizat).

Selain ibu Nabi Musa, Maryam juga dianggap sebagai nabi dengan adanya semacam mukjizat yang diperolehnya dan
pengakuannya sebagai perempuan shiddiqah, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Maidah ayat 75, “Wa ummuhu
shiddiqah (dan ibunya seorang yang amat benar).” Dalam Tafsir al-Qurthuby, kata shiddiqah untuk menegaskan Maryam
bukan sebagai nabi, melainkan seorang yang sungguh-sungguh benar.

26
Namun demikian,  al-Qurthubi juga tidak menafikan adanya ulama yang mengatakan shiddiq sebagai kata lain dari seorang
nabi, seperti Nabi Yusuf dinyatakan seorang Nabi dengan istilah shiddiq dalam surah Yusuf ayat 46.
Kontroversi tentang ada atau tidaknya nabi perempuan yang berkembang luas di Kordoba ketika itu diredam oleh al-Mansur
bin Abi Amir yang secara de facto menjadi penguasa di bawah kontrol Bani Umayyah dengan tetap membiarkan adanya
kalangan yang mendukung kenabian perempuan.

Namun, tidak berapa lama wacana ini muncul kembali dengan lahirnya seorang ulama sekaliber Abu Muhammad Ali bin
Ahmad bin Hazm al-Andalusy (456H/1064M), yang juga mengakui adanya nabi perempuan, sebagaimana bisa dilihat di
dalam karya besarnya, Al-Fishal  fi al-Milal wa al-Ahwa’i wa an-Nihal, Juz V dalam sebuah topik khusus, “Kenabian
Perempuan” (Nubuwwah al-Mar’ah).

Menurut Ibn Hazm, nubuwwah berasal dari kata inba’, berarti “berita” atau “informasi”. Nabi ialah orang yang memperoleh
“informasi” dari Tuhan.

Di antara perempuan yang beruntung ialah istri Nabi Ibrahim diberitahu melalui Jibril bahwa dirinya akan memperoleh anak
(QS Hud [11]:71-73), ibu Nabi Musa yang diperintahkan Allah SWT agar meletakkan anaknya di sungai dan diberitahu
bahwa anaknya nantinya akan menjadi nabi (QS al-Qashash [28]:7) dan (QS Thaha [20]:38).

Maryam juga diberitahu akan lahirnya seorang bernama Isa dari rahimnya (QS Maryam [19]:17-19, QS al-Maidah [5]:75, 
dan QS Yusuf [12]:46). Maryam, putra Imran dan ibunda Isa, serta Asiah, putra Muzahim yang juga menjadi istri Firaun
diindikasikan pula sebagai nabi, mengingat intensifnya pemberitaan Alquran tentang figur ideal perempuan tersebut.

Menurut Ibn Hazm, yang dimaksud dengan kedua ayat tersebut ialah kerasulan laki-laki, tidak bisa dihubungkan dengan
kenabian perempuan. Bagi Ibn Hazam, nabi dan rasul berbeda.
Ibn Hazm mengakui ada nabi perempuan, namun tidak ada rasul dari kalangan perempuan. Mayoritas ulama Sunni secara
umum menolak ada perempuan sebagai nabi dan rasul.

Pendapat ini disanggah Abu Muhammad Abdullah al-Ashili (392H/1001M) dengan mengatakan, kata wahyu dalam surah al-
Qashash [28]:7 berarti ilham, suatu inspirasi yang Allah berikan kepada manusia-manusia utama yang bukan nabi. Sama
dengan  mayoritas ulama tafsir, seperti Tafsir Jalalain yang menyatakan makna “Wa auhaina” dengan wahyu bersifat ilham
atau penyampaian dalam bentuk mimpi.

Tafsir al-Kasysyaf oleh az-Zamakhsyary juga menyatakan bahwa kata auha pada diri Ummi Musa adalah wahyu melalui
perantaraan malaikat, tetapi tidak dalam kapasitasnya sebagai nabiyyah (la ‘ala wajh al-nubuwwah).

Lagi pula kata “auha” juga pernah digunakan Allah kepada serangga lebah (wa auhaina ila an-nahl” (QS an-Nahl [16]:68),
yang kemudian diramaikan oleh Ibn Hazm dengan mengangkat salah satu subbab dari bukunya berjudul “Kenabian
Binatang” (Nubuwwah al-Bahaim).

Keluarbiasaan sejumlah perempuan, menurut Ibn Hazmn, antara lain, istri Nabi Ibrahim diberitahu melalui Jibril bahwa
dirinya akan memperoleh anak (QS Hud [11]:71-73), ibu Nabi Musa yang diperintahkan Allah agar meletakkan anaknya di
sungai dan diberitahu bahwa anaknya nanti akan menjadi nabi (QS al-Qashash [28]:7 dan QS Thaha [20]:38), Maryam
diberitahu akan lahirnya seorang bernama Isa dari rahimnya (QS Maryam [19]:17-19, QS al-Maidah [5]:75,  dan (QS Yusuf
[12]:46).

27
MEMAHAMI MAKNA BATIN ALQURAN: WAHYU KEPADA LEBAH
Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar
Lebah merupakan binatang yang istimewa.

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-
tempat yang dibuat manusia. Kemudian, makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang
telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya
terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.’” (QS an-Nahl [16]:68-69).

Dalam artikel terdahulu dikemukakan pengertian wahyu menurut mayoritas ulama sebagai informasi suci yang diturunkan
Tuhan kepada para nabi-Nya melalui Malaikat Jibril. Timbul masalah ketika secara tegas Allah SWT menurunkan wahyu
kepada ibu Nabi Musa, seperti tertuang di surah al-Qashash ayat 7 yang baru saja dibahas dalam artikel terdahulu.

Kini, lebih menarik lagi karena Allah juga menurunkan wahyu kepada binatang, dalam hal ini ditujukan kepada lebah,
sebagaimana ayat di atas. Apakah binatang memiliki nabi, sehingga Allah menurunkan wahyu kepada mereka? Atau,
pengertian wahyu perlu diberi pemaknaan ulang?

Dalam kitab Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa' wa al-Nahl karya Ibn Hazm az-Zhahir, jilid pertama halaman 149-159,
dijelaskan panjang lebar dalam satu bab tersendiri tentang Inna fi al-Bahaim Rusul (sesungguhnya pada binatang ada rasul-
rasul). Di antara dasarnya ialah ayat yang disebutkan di atas bahwa lebah mendapat wahyu dari Tuhan.

Ibn Hazm juga mengemukakan sebuah hadis: “Sesungguhnya Allah SWT memberitahukan kepada para nabinya, termasuk
kepada setiap jenis dari berbagai jenis hewan, hingga kepada sejenis kutu dan nyamuk.”

Hadis ini juga didukung oleh ayat: “Sesungguhnya, Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa
berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan, tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi
peringatan.” (QS Fathir [35]:24).

Dalam ayat lain ditegaskan: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga), seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS al-An'am [6]:38).

Ayat-ayat dan hadis di atas dijadikan dasar oleh Ibn Hazm untuk berpendapat para nabi bukan hanya dari kalangan manusia,
melainkan juga pada seluruh binatang dengan berbagai macam jenisnya.

Sebagaimana halnya nabi dari kalangan manusia berhak kepadanya wahyu, demikian pula halnya binatang. Mereka juga
mempunyai nabi dan mendapatkan wahyu sebagimana disebutkan di atas. Bahkan, menurut Ibn Hazm, bangsa jin dan
makhluk spiritual lainnya memiliki nabi atau rasul sebagaimana lazimnya pada setiap komunitas ciptaan Tuhan.

Kalau kita mengkaji Alquran, ternyata bukan hanya lebah yang disinggung memiliki hubungan interaktif dengan
kemunitasnya, melainkan juga binatang-binatang lain.

Kita bisa memperhatikan bagaimana burung Hudhud bisa berkomunikasi interaktif dengan Nabi Sulaiman, seperti dinyatakan
dalam ayat: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: ‘Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara
burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata.’” (QS an-Naml
[27]:16).

Contoh lain dengan masyarakat semut, Allah SWT menjelaskan: “Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar)
perkataan semut itu. Dan dia berdoa: ‘Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai; dan
masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh. (QS an-Naml [27]:19). Banyak lagi
contoh lain betapa binatang juga merupakan suatu komunitas (umat) di mata Allah SWT.

Kembali kepada lebah (an-nahl). Binatang ini menjadi salah satu nama surah dalam Alquran. Lebah adalah serangga yang
memang betul-betul unik. Masyarakat lebah secara ekslusif diungkapkan di dalam Alquran  sebagai serangga yang membawa
banyak keberuntungan kepada umat manusia.

Lebah menghasilkan madu (‘asal). Produksi berharga dari lebah tersebut ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya
yang berbunyi, “Madu dapat mengobati berbagai jenis penyakit”.

Sebuah disertasi yang mengambil penelitian tentang lebah madu yang dihubungkan dengan ayat Alquran surah an-Nahl
ditulis oleh Prof Andi Mappatoba. Kajian mendalam guru besar Universitas Hasanuddin Makassar ini mengungkapkan bahwa
lebah memiliki banyak keunikan.

Lebah memiliki tiga struktur komunitas, yaitu komunitas pekerja yang mencari madu ke berbagai kembang, komunitas
28
pengamanan ratu yang tugasnya hanya berkerumun atau bergerombol di sarang. Aktivitas itu bukan tanpa maksud, para lebah
tersebut mengamankan ratu dan madu dalam sarang dan ratunya sendiri.

Ratu bisa bertahan sampai tiga tahun dan yang paling pendek usianya ialah lebah kelas pekerja yang mencari madu. Selain
itu, Andi juga menemukan kadar glukosa dalam madu lebih aman dikonsumsi dibanding dengan gula atau zat pemanis jenis
lainnya.

Konon di Jerman ada sebuah rumah sakit yang unsur pengobatannya memanfaatkan kasiat dari lebah dan turunannya. Mulai
dari madu, sarang lebah, sampai pada sengatan lebahnya sendiri.

Yang paling menarik untuk dikaji ialah mengapa serangga yang disebut dalam Alquran  adalah betina. Ternyata, berdasarkan
kajian disimpulkan, yakni jenis lebah yang memimpin masyarakat lebah, seperti halnya masyarakat semut, ternyata adalah
jenis betina (ratu).

Bukan rahasia lagi bagi seseorang yang ingin beternak lebah, menjinakkan ratunya. Jika ratunya dijinakkan maka
masyarakatnya yang lain akan mengikutinya.

Dengan demikian, itu memudahkan untuk diternakkan. Mungkin antara lain inilah rahasianya mengapa Allah SWT memberi
nama salah satu surah Alquran dengan an-Nahl.

Menyinggung soal peran malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu, apakah ia juga membawanya kepada para nabi hewan dari
kalangan binatang? Sebelum menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita kembali mengingat konsep malaikat menurut para
sufi dan filsuf.

Uraian tersebut sebagaimana pernah disinggung dalam artikel terdahulu bahwa wujud malaikat sesungguhnya bukanlah
seperti manusia, seperti yang pernah disaksikan oleh Nabi Muhammad dalam Gua Hira.

Malaikat, sesuai dengan penamaannya, berasal dari akar kata malaka-yamliku berarti memiliki, menguasai. Malaikat bisa
berarti sebuah daya atau energi, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran  bahwa substansi dan asal-usul malaikat adalah
cahaya (nur).

Cahaya atau nur juga bisa berarti enegi, yang memiliki kekuatan tersendiri. Tidak ada kesulitan baginya jika diperintahkan
Allah untuk menyampaikan wahyu kepada binatang, seperti halnya tidak ada sedikit pun kesulitan menyampaikan wahyu
kepada para nabi dan orang-orang tertentu pilihannya, seperti ibu Nabi Musa, dan lain-lain.
 
Dengan demikian, yang bisa memperoleh wahyu bukan hanya para nabi dari dari jenis kelamin laki-laki, melainkan juga
kepada kaum perempuan dan bahkan juga kepada binatang.

Di hadapan Allah SWT, tidak ada masalah bagi-Nya jika ingin memberikan wahyu kepada para nabi dan rasul-Nya. Ia juga
tidak membeda-bedakan antara para rasul dan nabinya, sebagaimana ditegaskan dalam ayat berikut ini.

“Rasul telah beriman kepada Alquran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman.
Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan),
‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya’, dan mereka mengatakan,
‘Kami dengar dan kami taat.’ (Mereka berdoa) ‘Ampunilah kami, ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
(QS al-Baqarah [2]:285).

29
MEMAHAMI MAKNA BATIN ALQURAN: AL-INZAL DAN AL-TANZIL
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Banyak hikmah di balik turunnya Alquran secara berangsur-angsur.

Dalam perspektif ilmu Alquran kata al-Inzal umumnya diartikan proses dengan penurunan Alquran oleh Allah SWT ke langit
dunia secara sekaligus.

Sedangkan, kata al-tanzil diartikan turunnya Alquran berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW. Termasuk yang
berpendapat seperti ini ialah ar-Raghib al-Ishfahani.

Dia mendasarkan pendapatnya pada hadis Nabi yang disampaikan Abdullah bin Abbas, “Allah menurunkan Alquran
sekaligus ke langit dunia, tempat turunnya secara berangsur-angsur. Lalu, Dia menurunkannya kepada Rasul-Nya SAW
bagian demi bagian.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)

Dalam redaksi lain Ibnu Abbas mengatakan, “Alquran diturunkan pada malam Lailatul Qadar pada bulan Ramadhan ke langit
dunia sekaligus, lalu Dia menurunkan secara berangsur-angsur.” (HR at-Thabrani)

Turunnya Alquran sekaligus dari Allah ke Lauh al-Mahfuz atau kepada Jibril bisa dimaklumi karena keduanya tidak
memerlukan dimensi waktu. Berbeda ketika Alquran  diteruskan kepada Muhammad SAW, dilakukan dengan proses
berangsur-angsur karena Rasul terikat dengan dimensi ruang dan waktu.

Seperti diketahui bahwa Alquran tidak diturunkan di dalam ruang kosong yang hampa budaya, tetapi turun di dalam suatu
konteks masyarakat yang plural. Karena itu, Alquran  membutuhkan waktu selama 23 tahun dalam dua periode yang lebih
dikenal dengan periode Makkah dan Madinah.

Di antara hikmah turunnya Alquran berangsur-angsur kepada Nabi, menurut mayoritas ulama, ialah pertama, untuk
menguatkan dan meneguhkan hati Nabi dalam rangka menyampaikan dakwahnya untuk menghadapi celaan orang-orang
musyrik.

Sebagaimana firman Allah, “Berkatalah orang-orang kafir, ‘Mengapa Alquran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun
saja?’ Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS
al-Furqan [25]:32).

Kedua, untuk memudahkan hafalan dan pemahaman karena Alquran diturunkan di tengah-tengah umat yang tidak pandai
membaca dan menulis (ummi), sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran
untuk pelajaran maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS al-Qamar [54]:17).

Ketiga, sebagai pendidikan dan iktibar bagi umat Islam bahwa Allah pun menggunakan waktu yang relatif lama (23 tahun)
dalam menurunkan Alquran. Padahal, Dia memiliki kemampuan Mahakreatif, “Kun fayakuun.”

Dalam perspektif tasawuf, dari segi kebahasaan sama dengan pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa kata al-
inzal adalah penurunan secara sekaligus dan kata al-tanzil berarti penurunan secara bertahap.

Akan tetapi, menurut kalangan ulama tasawuf, kata nazala (turun) di sini bukan turun dalam konteks dimensi tempat, yaitu
dari atas ke bawah, tetapi turun dalam konteks martabat atau status.

Mungkin padanannya dalam bahasa Inggris, yaitu descent, yang lebih dekat pada “manifestasi”. Kata nazala itu sendiri bisa
berarti transformasi dari alam gaib ke alam nyata (syahadah), dari supranatural ke natural, transformasi dari dunia metafisik
ke fisik, atau dari alam rohani ke alam jasad.

Ketika masih di dalam alam gaib, supranatural, metafisik, atau rohani Kalam Ilahi tidak membutuhkan proses tahapan karena
alam-alam tersebut masih termasuk alam bebas yang tidak terikat oleh dimensi waktu dan ruang. Mobilitas dan transformasi
di sana lebih cepat dan akurat karena serba terukur.

Namun, mobilitas dan transformasi di alam syahadah, natural, fisik, dan jasad sudah barang tentu mengalami peroses
penahapan karena alam tersebut sudah terikat dengan dimensi waktu.

Seseorang yang berencana  pergi ke Makkah, tidak mungkin sampai ke sana tanpa menggunakan sarana transportasi fisik,
seperti pesawat, perahu, dan lain-lain. Kalau nyawa sudah lenyap, rohani dan jasmani sudah berpisah. Kalau ruh sudah
berpisah dengan jasad maka dengan leluasa ruh itu bisa ke mana-mana dengan mudah karena sudah terbawah.

Apa yang turun, siapa yang menurunkan, kepada siapa diturunkan, melalui siapa dan apa diturunkan? Pertanyaan-pertanyaan
ini dibahas secara mendalam di dalam kitab-kitab tasawuf.

Di antara yang membahas persoalan ini ialah Ibn Arabi dan para pemberi annotasi (musyarrih) kitab-kitabnya, seperti Syekh
30
Abdur Razzaq al-Qasyani, Shainuddin Ali bin Muhammad at-Turkah, dan Muayyiduddin al-Jundi yang mensyarah kitab
Fushush al-Hikam.

Mengenai apa yang turun tentu saja ayat-ayat-Nya dalam berbagai form. Dalam artikel terdahulu sudah pernah dibahas
tentang apa arti ayat menurut kalangan sufi, yaitu ayat dalam bentuk kitabiyyah, kauniyyah, dan manusia (anfus).

Yang berperan pada proses penurunan ayat dan kalam Ilahi juga sudah pernah dibahas dalam artikel terdahulu, peranan
malaikat Jibril dan hubungan antara firman (kalam), pena (qalam), lembaran (Wa Ma Yasthurun), dan para nabi.

Dalam dunia gaib, supranatural, atau metafisik, hukum-hukum dimensi waktu dan tempat tidak berlaku. Sesuatu itu bisa
bertransformasi dan bermanifestasi atau melakukan mobilitas ke mana saja tanpa terikat dengan dimensi ruang dan waktu.

Sudah barang tentu juga termasuk kalam Allah SWT yang kemudian disebut al-Kitab (Taurat, Injil, Zabur, dan Alquran).
Ketika masih di alam sana, kalam Allah bisa ditransformasikan sekaligus (al-inzal). Akan tetapi, ketika diturunkan ke langit
bumi, di mana tujuannya ialah manusia (para nabi), proses turunnya memerlukan waktu (at-tanzil).

Apa sesungguhnya yang turun? Apakah hanya wahyu atau ada sesuatu selain wahyu? Di dalam Alquran dijelaskan: “Inna
anzalnahu fi lailal al-qadr (Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan).” (QS al-Qadr
[97]:1).

Akan tetapi, ayat ini hanya menggunakan kata ganti (dhamir) hu. Apa sesungguhnya yang ditunjuk dengan dhamir hu
tersebut?

Alquran tidak mengatakan “inna anzalna Alquran”, sehingga terbuka peluang untuk menafsirkan bahwa selain wahyu
(Alquran), ada sesuatu yang lain selainnya, yaitu ilham, hikmah, dan taklim.

Perbedaannya ialah wahyu diturunkan kepada nabi, ilham dan hikmah diberikan kepada para wali atau hamba pilihan Tuhan
lainnya.

Menurut Ibnu Arabi, imajinasi cerdas yang tiba-tiba muncul di dalam diri seseorang kemudian melahirkan pencerahan atau
menjadi solusi efektif menjawab persoalan yang dihadapi,  itu bukan ciptaan orang yang bersangkutan, tetapi bagian yang
turun (al-tanzil) dari Allah SWT.

Isyarat adanya sesuatu selain berupa wahyu yang turun dari Allah kepada orang-orang pilihannya telah diisyaratkan dalam
beberapa ayat, antara lain:

“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) sesuatu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara
hamba-hamba-Nya, yaitu: ‘Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka
hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.’” (QS an-Nahl [16]:2).

“Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada
cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahapenyantun lagi Mahapenyayang terhadapmu.” (QS al-Hadid [57]:9).

Kedua ayat ini tidak jelas menunjukkan wahyu, sehingga bisa dipahami dalam bentuk insight lain berupa hikmah, ilham, atau
ta'lim kepada hamba-Nya. Tentu saja tidak sembarang hamba yang bisa mendapatkan insight semacam itu. Tentulah hamba
yang selama ini dinilai Allah SWT telah dapat memenuhi syarat atau kriteria yang telah ditetapkan-Nya.

Sesuatu yang turun (al-tanzil) sekaligus merupakan bentuk “pertolongan” (isti'anah) Allah SWT. Isti'anah adalah bagian dari
efek ketaatan dan penyembahan (ta'abbud) seorang hamba terhadap Tuhannya.

Ta'abbud adalah bentuk pendakian (taraqqi) seorang hamba menuju Tuhannya. Dengan taraqqi melalui ta'abbud maka
terjadilah tanazul dalam wujud isti'anah, dan isti'anah bisa dalam bentuk ilham, hikmah, atau ta'lim.

Jika seseorang sudah mendapatkan isti'anah atau al-inzal maka peluang bagi yang bersangkutan untuk melakukan pendakian
(taraqqi) sudah lebih mudah karena sudah ada (“as-shirath”) yang dirintis. Analoginya ialah tangga lift akan lebih mudah
turun-naik melalui jalur yang sudah disiapkan.

Jika seseorang memiliki kemudahan untuk “naik” (taraqqi) maka yang bersangkutan juga biasanya memiliki kemudahan
mendapatkan sesuatu yang “turun” (tanazul). Kunci untuk memudahkan taraqqi dan tanazul ialah ta'abbud.

Tegasnya, jika seseorang menghendaki kemudahan mengakses tanazul-taraqqi tidak ada cara lain selain menempuh jalan
ta'abbud.

Jalan ta'abbud dalam dunia tasawuf bermacam-macam. Ada jalur umum, yaitu syariat dalam konotasi fikih dan ada jalur
khusus yang dalam dunia tasawuf lebih dikenal tarekat (thariqah) atau suluk.

Perbedaan antara keduanya dalam dunia ahlussunnah tidak terlalu jauh. Jalur pertama lebih menekankan aspek formal-logic,
sedangkan jalur kedua lebih menekankan aspek hakikat dan atau substansi.
31
Kedua jalan ini sesungguhnya dapat disinergikan seperti yang diperkenalkan Imam al-Ghazali di dalam magnum opus-nya,
Ihya' Ulum al-Din, suatu karya besar yang memadukan pendekatan fikih dan tasawuf terhadap syariat Islam.

Apakah sesuatu yang mengalami proses al-inzal dan at-tanzil sebagaimana yang dibicarakan dalam artikel-artikel terdahulu
hanya Alquran? Bagaimana dengan ilham, irfan, hikmah, dan ta’lim?

Apakah hanya para nabi yang bisa mendapatkan sesuatu melalui kedua proses tersebut? Bagaimana dengan para wali, ahli
menyepi (khalwat), atau kaum khawash al-khawash?

Dalam kitab Syarah Fushush al-Hikam karangan Muayyiduddin al-Jundi halaman 82 disebutkan, sesuatu yang melalui al-
inzal dan at-tanzil dari Allah SWT bukan hanya Alquran, melainkan juga ilham, hikmah, atau semacamnya.

Orang-orang yang berhak menerimanya pun tidak hanya para nabi, tetapi juga manusia-manusia pilihan Tuhan selain para
nabi-Nya.
Ia mengatakan bahwa sesuatu yang turun (al-inzal wa an-nuzul) dari sisi-Nya atau yang naik (’uruj) ke hadirat-Nya adalah
sesuatu yang relatif (nisbi), tidak ditentukan kriteria formalnya, yang jelas siapa pun di sisi Tuhan sudah sampai ke tingkat
hakikat kalbu insan kamil (haqaiq al-qulub al-insaniyyah al-kamaliyyah), dapat mengaksesnya.
Ia mengatakan hal ini ketika mengomentari peristiwa turunnya kitab Fushush al-Hikam yang diberikan kepada salah seorang
hamba-Nya bernama Ibn Arabi. Sebagaimana kita ketahui bahwa hadirnya bercorak tasawuf itu memiliki cerita khusus.
Disebutkan dalam penjelas kitab Fushush al-Hikam, karya Shainuddin Ali ibn Muhammad al-Turkah (jilid I/hal 8) bahwa,
“Aku melihat Rasulullah SAW di dalam suatu mimpi (mubasysyirah) dalam sepuluh terakhir dari Muharram, 627 H di
Damsyik (Damaskus, Suriah sekarang) dan di tangan Rasulullah SAW memegang sebuah kitab.”
“Rasul berkata kepadaku, ‘Ini kitab Fushush al-Hikam, ambillah dan sampaikanlah ini kepada manusia agar bisa
memanfaatkannya.’ Lalu, aku mengatakan, “Respek dan ketaatan hanya kepada Allah, rasul-Nya, dan ulil amri dari kalangan
kami, sebagaimana diperintahkan kepada kami.”
Dengan tegas Al-Turkah mengatakan, “Kitab ini (Fushush al-Hikam) berasal dari Rasulullah SAW, sebagaimana Alquran
adalah kitab yang diturunkan kepadanya.” (hal 9).
Pengalaman seperti yang dialami oleh Ibn Arabi banyak juga dialami oleh golongan para ulama “elite” lainnya, sebagaimana
dapat dilihat di dalam kitab Jami’ Karamat al-Auliya’, semacam ensiklopedia para wali karangan Yusuf Ibn Ismaíl am-
Nabhani yang terdiri atas dua jilid.
Dalam kitab ini dipaparkan beberapa rahasia keajaiban (karamat) 695 wali yang disebutnya sebagai wali (al-auliya’).
Ternyata, komunikasi spiritual antara para arwah, nabi, jin, malaikat, bahkan Allah sering dilakukan oleh para auliya’.

Banyak sekali buku atau pernyataan di dalam buku merupakan koleksi dari hubungan misteri antara yang bersangkutan dan
orang-orang tertentu atau sumber-sumber lainnya yang dinilainya merupakan hidayah dari Allah.
  
Sebutlah misalnya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani yang menulis sedemikian banyak kitab, termasuk kitab Fath al-Bary fi Syarh
Shahih al-Bukhari (13 jilid), Imam Syafi’i yang mengarang kitab Al-Umm yang berjilid-jilid, dan Imam al-Ghazali yang salah
satu karya monumentalnya ialah Ihya’ Ulum al-Din.

Dalam kitab terakhir ini menarik untuk diperhatikan pengalaman seorang muridnya yang mempertanyakan beberapa hadis di
dalam kitab Al-Ihya’ tidak ditemukan di dalam kitab-kitab lain.

Lalu, Imam al-Ghazali mengungkapkan kalau dirinya tidak pernah menulis sebuah hadis sebelum mengonfirmasikannya
langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Padahal, ia wafat pada 1111 M, sedangkan Rasulullah wafat 634 M.

Bisa dibayangkan, jika ada sekitar 200 hadis di dalam kitab Al-Ihya maka 200 kali ia berjumpa dengan Rasulullah SAW. Itu
baru satu kitabnya. Bagaimana dengan kitab-kitab lainnya?
  
Perjumpaan Nabi Muhammad dengan orang-orang tertentu bagi orang yang meyakini keberadaan hadis sulit untuk ditolak
keberadaannya. Dalam sebuah hadis sahih riwayat Imam Bukhari dijelaskan, “Barang siapa yang berjumpa denganku dalam
mimpi maka aku betul-betul yang disaksikannya karena satu-satunya orang yang tidak bisa dipalsukan wajahnya oleh iblis
ialah wajahku.”

Orang-orang yang berjumpa dengan Rasulullah  dalam lintasan sejarah banyak sekali. Hampir semua nama yang diungkap di
dalam kitab Jami’ Karamat al-Auliya’ karya Yusuf an-Nabhani pernah berjumpa dengan Rasul.
  
Inspirasi cerdas yang bersumber dari Allah SWT, apa pun namanya, bukan buatan manusia, melainkan sesuatu yang muncul
atau turun dari Allah. Inspirasi cerdas itu kemudian diklasifikasi menjadi wahyu untuk para nabi, ilham untuk para wali,
hikmah untuk para ulama bijak, dan ta’lim bagi para peniti tangga takwa (salikin).
Kualifikasi validitasnya juga diklasifikasikan menjadi kebenaran haqq  al-yaqin untuk wahyu, ain al-yaqin untuk ilham, dan
ilm al-yaqin untuk hikmah, dan taklim.
Berdasarkan uraian di atas, dipahami bahwa sesuatu yang turun dari Allah, apakah itu melalui proses al-inzal atau at-tanzil,
dapat dialami oleh siapa pun, orang-orang yang dikehendaki Allah SWT.

Dalam kisah-kisah Alquran juga disebutkan sejumlah manusia utama mendapatkan inspirasi cerdas langsung dari Allah. Kita
kenal nama-nama besar, seperti ibunya Nabi Musa (Umm Musa), Maryam, dan Luqman. Bahkan, dua nama terakhir malah
32
dipilih menjadi nama surah dalam Alquran, yaitu surah Maryam [19] dan surah Luqman [31]. 

MEMAHAMI MAKNA BATIN ALQURAN: SIRATH AL-MUSTAQIM


Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Penyatuan berbagai unsur diri untuk ibadah memerlukan usaha tersendiri.

Doa yang paling sering diucapkan setiap hari ialah, “Ihdina as-shirath al-mustaqim (tunjukkanlah kami jalan yang lurus).”

Kita harus membaca surah al-Fatihah di dalam 17 rakaat shalat fardhu sehari semalam ditambah sejumlah rakaat shalat sunah
rawatib.

Setiap shalat dan berdoa selalu kita membaca surah al-Fatihah. Salah satu ayatnya ialah, “Ihdina as-shirath al-mustaqim.”
Pertanyaannya ialah apa yang dimaksud dengan Ihdina al-shirath al-mustaqim?

Kata ihdina merupakan bentuk kalimat perintah (fi'il amr) dari akar kata hada yang berarti menunjuk. Seakar kata dengan
hidayah berarti petunjuk dari Allah SWT, kemudian dihubungkan dengan kata ganti ketiga jamak, yaitu kami (nahnu). 

Mengapa harus jamak? Itu mengikut dari ayat sebelumnya, “Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in (hanya Engkaulah yang kami
sembah dan hanya Engkaulah tempat kami meminta pertolongan).”

Meskipun shalat sendirian, tetap saja ayat di atas harus dibaca dengan pola jamak karena sesungguhnya yang sedang
menyembah kepada Allah adalah diri kita serentak dengan berbagai lapisan dan unsur-unsurnya. Meskipun hanya diri kita
sendiri, bukankah diri kita memiliki berbagai unsur.

Unsur kecerdasan saja kita miliki bermacam-macam, antara lain, kecerdasan visual, intelektual, emosional, dan spiritual.
Belum lagi, unsur jasad dan unsur rohani kita masing-masing memiliki perangkatnya. Sel-sel yang hidup di sekitar otak saja,
menurut para neurolog, tidak kurang dari 20 miliar unit.

Penyatuan atau sinergi dari berbagai unsur di atas memerlukan usaha tersendiri. Usaha itu meliputi pemahaman yang
mendalam terhadap hakikat diri (ma'rifah an-nafs) untuk selanjutnya memahami hakikat Allah (ma'rifatullah).

Pemahaman kedua hakikat inilah nanti yang akan melahirkan pemahaman, sekaligus kesadaran tauhid dalam arti seutuhnya
yang biasa disebut dengan tauhid adz-dzat, tauhid al-asma', tauhid as-shifat, dan tauhid al-af'al. Uraian tentang hal ini akan
dibahas dalam sutu artikel khusus.

Sungguh, sangat indah dan tepat redaksi ayat-ayat dalam surah al-Fatihah yang menggunakan kata ganti jamak. Yang harus
menyembah dan memohon pertolongan Tuhan ialah serentak keseluruhan unsur tersebut.

Seseorang bisa dianggap fokus dan mencapai tingkat kekhusyukan sejati manakala keseluruhan unsur itu serentak menghadap
dan fokus serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.

Keutuhan diri (self solidified) ini menyatakan ikrar kehambaan, “Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi
Rabbi al-'alamin.”

Self solidified inilah yang mampu menembus batas alam gaib (mi'raj). Self solidified  ini tidak lagi memerlukan "Gua Hira",
tetapi "Gua Hira" yang proaktif mendekati dirinya.

Nabi Muhammad SAW kurang lebih enam tahun turun naik ke Gua Hira hingga mendapat “ijazah” iqra'. Setelah itu, tidak
perlu lagi ke Gua Hira karena substansi Gua Hira sudah menyatu dengan dirinya.

Kata as-shirath secara harfiah bisa berarti jalan. Kata yang bermakna jalan di dalam bahasa Arab dan dalam Alquran dan
hadis ditemukan beberapa kata. Antara lain, syari'ah bisa berarti jalan, yakni jalan kehidupan yang dituntunkan Allah. Kata
thariqah juga berarti jalan, tapi jalan dimaksud lebih kecil dan bukan jalan umum.

Dari sinilah muncul kata tarekat yang popular di kalangan para sufi, yaitu jalan alternatif yang lebih pendek menuju Tuhan.
Masih ada lagi satu kata dengan makna jalan yang lain, yakni suluk.

Suluk ialah jalan yang lebih sempit lagi atau dapat dianalogikan dengan jalan setapak. Dari sinilah berasal kata suluk dalam
ilmu tarekat, yaitu orang-orang yang sedang menempuh jalan pintas menuju Tuhan.

Para penempuh jalan tarekat dan suluk sebaiknya terlebih dahulu menjadi murid, yaitu orang-orang yang bersungguh-
sungguh mencari ilmu dan rahasia Tuhan. Sebagai seorang murid, diniscayakan memiliki pembimbing dan sekaligus
pendamping yang dalam istilah tasawuf dikenal dengan sebutan mursyid atau syekh. Kedua istilah pembimbing itu dalam
tasawuf  betul-betul sudah senior dan matang.

Kata mustaqim diambil dari akar kata qama-yaqumu berarti berdiri, tegak, lalu membentuk kata istiqamah  (konsisten),

33
qiwamah atau qawwamah (pemimpin, pelindung), dan mustaqim (lurus, tidak fluktuatif). Kata shirath al-mustaqim lebih
sering diartikan jalan lurus (the straight path).

Shirath al-mustaqim secara konvensional sering diartikan jalan lurus, yakni mengikuti perintah Allah SWT dan rasul-Nya
serta menjauhi segala larangan-Nya.

Pengertian ini juga sering kita temukan di dalam tafsir-tafsir mu’tabarah dan kitab-kitab fikih. Ini tentu saja tidak salah, tetapi
terlalu abstrak dan mungkin juga terlalu visual sehingga tidak menukik ke dalam batin.

Padahal, jika dilihat ayat sebelumnya, Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, di situ ada unsur ta’abbud dan isti’anah, dua kata
yang amat sarat dengan makna spiritual sebagaimana telah dibahas dalam artikel terdahulu.

Dalam perspektif tasawuf, jalan lurus (shirath al-mustaqim) tidak berkonotasi jalanan fisik yang lurus (hight way), tetapi
lebih kepada jalan hidup yang tidak mengandung banyak risiko.

Lawan dari jalan lurus (mustaqim) di sini mungkin kita bisa meminjam istilah fluktuatif, suatu keadaan yang sangat labil,
kadang naik memuncak dan kadang terjun. Jika naik, bawaannya sombong, angkuh, dan egois. Jika turun, bawaannya
frustrasi, putus asa, dan nekat.

Analogi penempuh jalan fluktuatif ini ialah orang-orang yang labil. Kalau mendapatkan rezeki, promosi jabatan, dan berbagai
keberuntungan lainnya, ia mengalami lonjakan emosi kesenangan dan kebahagiaan, sebagaimana layaknya orang yang
mabuk.

Ia merasa seperti segalanya mudah karena uang dan atau kekuasaan berada di tangannya. Keangkuhan, kesombongan, dan
egoisme bagian dari gaya hidupnya. Ia mudah sekali mengganti dan melupakan teman-teman lamanya sungguhpun mereka
telah banyak membantunya.

Gaya hidupnya berubah total. Mulai dari pakaian, kendaraan, menu dan selera makan, serta properti sangat kontras dengan
pengalaman hidup sebelumnya. Bahkan, rasa keagamaannya sudah semakin menipis.

Ia seperti lupa kalau sejarah hidupnya pernah memprihatinkan. Ia tidak lagi merasa sensitif dengan kehidupan di sekitarnya.
Serta, mudah sekali menyakiti perasaan orang lain tanpa merasa bersalah.

Akibatnya, tentu saja semakin banyak orang yang kecewa dan tidak respek terhadapnya. Orang yang seperti ini bukan hanya
dibenci banyak orang, melainkan juga Allah SWT membencinya. Orang-orang seperti inilah yang disebut al-magdhub
(orang-orang yang terbenci).

Sebaliknya, ada juga orang yang begitu mudah kecewa dan merasa jatuh meluncur. Putus asa dan frustrasi menjadi bagian
dari hidupnya.

Ia terlalu mudah tersinggung dan pada akhirnya mudah menyalahkan orang lain. Ia sering merasa semua orang menjauhinya,
bahkan ia pun kecewa terhadap Tuhan dan menuduh-Nya tidak adil.

Di mata orang ini tidak pernah ada orang yang benar sekalipun orang-orang terdekatnya sendiri, seperti orang tua dan anak-
anaknya. Gaya hidupnya selalu menyendiri dan merasa hidupnya hampa, kering, dan kosong.

Ia selalu merasa kerdil dan dikucilkan, tidak ada lagi optimisme dalam hidupnya. Bahkan, bayangan nekat selalu mendekati
dirinya. Rasa takut mati bagi orang ini tipis sekali.

Karena itu, ia mudah mendapatkan rayuan dari orang yang beriktikad buruk, misalnya diajak untuk menempuh jalan pintas
menuju surga dengan cara menjadi teroris,yang rela mengorbankan dirinya dan orang-orang lain yang tidak berdosa demi
menebus impiannya. Orang-orang seperti inilah yang disebut ad-dhalin (penempuh jalan sesat).
  
Orang-orang yang mampu mengendalikan diri, baik dalam posisi sedang berada di puncak kesenangan maupun di lembah
keterpurukan disebut penempuh jalan lurus (shirath al-mustaqim). Para penempuh jalan lurus, yaitu jalan yang istikamah,
konsisten, dan konstan inilah yang disebut jalan kenikmatan (shirath alladzina an’amta ‘alaihim).

Penempuh jalan as-shirath al-mustaqim ialah mereka yang jika dianugerahkan keberuntungan dan kesenangan, bersyukur
dengan cara berbagi kesenangan dan kebahagiaan dengan orang lain.

Sungguhpun berada di dalam suasana keberuntungan, ia tetap memelihara perasaan takut (al-khauf) kepada Allah SWT sebab
ia selalu sadar jangan sampai keberutungan dan kesenangan hidup justru menjadi ujian paling berat baginya untuk dilulusi.

Ia juga sadar bahwa keberuntungan dan kesenangan pemilik hakikinya hanya Allah SWT. Seberapa banyak harta kekayaan
yang dimiliki maka kita hanya sebagai pemilik semu, pemilik sesungguhnya hanya Allah.

Sebaliknya, jika ia ditimpa kemalangan dan kekecewaan, seperti ditimpa musibah dan kecelakaan, ia tetap stabil dan berusaha
memelihara senyum di wajahnya.
34
Karena, ia yakin sebesar apa pun musibah itu pasti tetap berada di dalam jangkauan daya dukung hamba-Nya. Ia yakin tidak
ada cobaan Tuhan di dunia ini di luar batas kemampuan daya dukung hamba-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam ayat.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-
orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri
maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami maka tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir’. (QS al-Baqarah [2]:285).
  
Cara efektif untuk mempertahankan diri di atas rel shirath al-mustaqim, dalam perspektif tasawuf ialah mengintrodusir dua
sifat utama.

Pertama sifat qanaah, yaitu merasa cukup terhadap apa yang ada pada dirinya, tidak menggunakan standar hidup orang lain di
dalam menjalani kehidupannya. Kedua, sifat istikamah, yaitu konsisten mempertahankan prinsip hidup yang telah
dicanangkan semula, tanpa terpengaruh oleh godaan seberat apa pun.

Jika dalam hidupnya mendapatkan cobaan berupa keberuntungan dan kenikmatan hidup, yang memungkinkan dirinya naik ke
atas, maka ia juga harus mengintrodusir dua sifat utama. Pertama, sifat as-syukr, yaitu kesadaran untuk berbagi kepada
mereka yang membutuhkan perhatian dan bantuan.

Ia selalu sadar bahwa segala bentuk kesenangan yang datang dari Allah SWT selalu ada bagian orang lain melekat di
dalamnya, tidak boleh dimonopoli. Ia selalu sadar bahwa  semakin mudah kita memberi semakin mudah pula kita diberi.

Kedua, sifat al-khauf, yaitu manakala mendapatkan keberuntungan dan kesenangan ia selalu merasa khawatir dan sadar
jangan sampai ini menjadi “batu licin” di dalam kehidupannya yang sewaktu-waktu bisa menggelincirkan ke lembah
kehinaan (al-dhalin).

Karena itu, jika ia diuji dengan keberuntungan dan kesenangan, tidak pernah mabuk dan lupa diri, tetap low profile berjalan
di atas shirath al-mustaqim.
  
Jika ia diuji dengan musibah dan kepahitan hidup, yang memungkinkan hidupnya jatuh ke lembah keputusasaan dengan
segala akibatnya, maka ia juga mengintrodusir dua sifat utama.

Pertama, sifat as-shabr, yaitu rasa sabar dengan keyakinan bahwa cobaan yang diterimanya ialah “surat cinta” Tuhan. Ia sadar
kalau sekian lama Tuhan mengundangnya dengan keberuntungan dan kesenangan, tetapi kurang digubris. Dengan musibah
dan kepahitan hidup yang dialami maka terbentang jalan menuju Tuhan.

Kedua, sifat ar-raja’, yaitu rasa optimisme yang mendalam bahwa tidak mungkin Tuhan akan mengabadikan cobaan beratnya
kepada hamba yang diciptakan-Nya dengan cinta dan telah mencintai diri-Nya. Ia selalu mengingat beberapa firman Allah
SWT, antara lain”

“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS az-Zumar [39[: 53).

“Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang
kafir.” (QS Yusuf [12]: 87).
  
Dengan penjelasan di atas diharapkan dapat dengan mudah kita meresapi makna ihdina as-shirath al-mustaqim. Ternyata,
Allah ar-Rahman dan ar-Rahim yang terulang dua kali dalam surah al-Fatihah, terasa adanya di dalam ayat ini.

Dengan demikian, makna surah al-Fatihah sebagai umm Alquran semakin terasa. Dengan menyadari begitu dalam dan luas
kandungan makna surah yang bergelar sab’ al-matsani ini, seolah-olah semua ayatnya bisa dipahami sebagai ayat-ayat
mutasyabihat yang sangat terbuka untuk dipahami secara konotatif, tidak dikungkung di dalam pemahaman secara denotatif.

35
MEMAHAMI MAKNA BATIN ALQURAN: 'REINKARNASI' SPIRITUAL
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Fitrah ialah mereka yang telah melakukan berbagai macam upaya pembersihan dan penyucian diri melalui amalan
Ramadhan.

Kata fithrah dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 20 kali dengan berbagai macam arti. Dalam kamus Lisan Arab,
kamus bahasa Arab terlengkap (15 jilid), fitrah (fithrah) berasal dari akar kata fathara-yafthiru-fathran, berarti membelah,
merobek, tumbuh, dan berbuka.

Dari akar kata itu lahir kata fithrah berarti sifat pembawaan sejak lahir, seperti dalam ayat, “Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS ar-Rum [30]: 30).

Namun, yang paling dominan dalam Alquran, fithrah berarti menciptakan, seperti, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku
kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS al-An'am [6]:79).

Kata fithrah juga berarti merusak, seperti, “Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atasnya (karena kebesaran Tuhan) dan
malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhannya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah,
bahwa sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS as-Syura [42]:5).

Selain itu, fithrah juga berarti pecah, “Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung
runtuh.” (QS Maryam [19]:90).

Dari kata fathara, lahir kata idul fithr (Idul Fitri) yang berarti kembali berbuka atau makan setelah sebulan penuh berpuasa di
siang hari Ramadhan. Bisa juga berarti id al-fithrah, kembali ke sifat bawaan kita sejak lahir, yaitu bersih dan suci, setelah
sebulan penuh melewati penempaan dengan berbagai amalan Ramadhan.

Dari pengertian ini dipahami bahwa yang bisa kembali ke fitrah ialah mereka yang telah melakukan berbagai macam upaya
pembersihan dan penyucian diri melalui amalan Ramadhan, seperti puasa, zakat, tadarus Alquran, qiyamulail, iktikaf, dan
berbagai amal sosial, seperti sedekah, silaturahim, memberi buka puasa, dan lain sebagainya.

Dalam tradisi Indonesia, semangat Idul Fitri, antara lain, mudik kembali ke kampung kelahiran, tempat kita lahir atau berasal.
Di sana kita melakukan silaturahim dengan para keluarga. Mungkin, termasuk ziarah ke kuburan orang-orang terdekat kita,
seperti orang tua dan sanak keluarga.

Dalam tradisi Indonesia, semangat Idul Fitri, antara lain, mudik kembali ke kampung kelahiran, tempat kita lahir atau berasal.

Di sana kita melakukan silaturahim dengan para keluarga. Mungkin, termasuk ziarah ke kuburan orang-orang terdekat kita,
seperti orang tua dan sanak keluarga.

Kita juga bisa me-refresh dan me-rewind memori alam bawah sadar kita melalui sentuhan rasa yang lahir setelah kembali
menyaksikan benda-benda monumental, seperti menengok atap rumah yang pernah menaungi kita saat kecil bersama orang
tua dan seluruh saudara.

Kita juga bisa menyaksikan sekolah dasar dan masjid/mushala tempat pertama kali kita mulai belajar formal dan mengaji.
Mungkin, masih ada lagi kenangan lain bisa muncul saat kita menyaksikan kampung halaman.

Misalnya, di dinding tengah rumah masih terpampan foto hitam putih saat kita masih kecil atau membuka-buka album
keluarga yang sebagian orang di dalamnya sudah mendahului kita.

Sekaligus, juga bisa mencicipi kembali masakan dan jajanan yang pernah mengeraskan batok kepala kita saat masih kecil.
Kolektif memori nostalgia bisa menjadi shock therapy buat kita untuk mengevaluasi jalan hidup yang selama ini kita pilih.

Mungkin, sebagian aktivitas kita di kota ada di antaranya yang tidak sejalan dengan pesan luhur orang tua dan kakek nenek
yang dulu mewasiatkan untuk hidup luhur di jalan yang benar.

Syukur-syukur, kita bisa memugar sejumlah bangunan monumental secara emosional di kampung halaman kita, misalnya,
mengganti tegel tua masjid atau mushala yang pertama kali kita tempati sujud dan mengenal Tuhan.

Atau, mungkin mengganti genteng rumah tempat yang pernah merekam kelahiran kita. Kesemuanya itu bisa memberikan
kesegaran dan ketenangan hidup tersendiri setelah sekian lami kita hidup di tengah ketegangan kota.

Bukankah kehidupan awal nenek moyang kemanusiaan kita di surga, lalu jatuh ke bumi  merupakan sebuah penderitaan?
36
Bukankah kehidupan awal kita di dalam tempat paling aman dan nyaman (qarar al-makin)? Bukankah Tuhan kita Maha
Pengampun dan Maha Penerima Tobat, bersedia memaafkan seluruh dosa dan kekeliruan masa lampau kita?

Bukankah kita membutuhkan penyucian diri sebelum memasuki Padang Mahsyar? Bukankah kita sejak lama
mengimajinasikan surga? Bukankah kita termasuk paling takut dengan Neraka Jahanam?

Jika demikian adanya, wajar jika setiap Idul Fitri kita merestorasi kembali tatanan jalan kehidupan. Dengan kata lain,
momentum Idul Fitri bisa dimaknai sebagai 'reinkarnasi' kehidupan spiritual kita.   

Dalam pandangan tasawuf, fitrah berarti kembali ke jati diri yang paling asli (original soul). Jika seseorang betul-betul bersih
dan penyucian dirinya diterima Allah SWT, yang bersangkutan bisa membuka berbagai tabir yang selama ini menghijab
dirinya berupa dosa dan maksiat.

Dengan momentum Idul Fitri, seseorang bisa mengalami penyingkapan (mukasyafah), yakni menembus batas-batas langit
dan langsung bisa mi'raj menuju Tuhan. Ia mempunyai kemampuan untuk mengakses alam gaib, minimal alam barzah, yaitu
perbatasan antara alam nyata dan alam gaib.

Orang yang diberi kesadaran mukasyafah bisa merasakan kedekatan diri dengan Tuhan dan para sahabat Tuhan, seperti Nabi
Muhammad dan para orang saleh lainnya. Ia tidak pernah merasa kesepian karena memiliki berbagai sahabat spiritual yang
terdiri dari bukan hanya orang hidup, melainkan juga dengan para kekasih Allah (auliya' dan syuhada') yang arwahnya sudah
wafat.

Mereka bisa proaktif berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk orang-orang yang masih hidup di dunia, sungguhpun sudah
wafat, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan
di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”
(QS Yunus [10]:62-64).

Dalam ayat lain dikatakan: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa
mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS al-Baqarah [2]:154).
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya
dengan mendapat rezeki.” (QS Ali 'Imran [3]:169).

Kehidupan sesudah mati yang biasa diistilahkan secara umum dengan 'reinkarnasi,' diisyaratkan kemungkinannya di dalam
ayat-ayat tersebut di atas. Dengan demikian, kita dimungkinkan untuk melakukan “reinkarnasi” suasana batin yang sudah
“mati”.

Dalam Alquran juga diisyaratkan kemungkinan kematian kalbu mendahului kematian jasad. Kematian kalbu diistilahkan
dengan hati yang terkunci mati, sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran
mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan, bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS al-Baqarah [2]:7).

Sebelum kematian kalbu, biasanya diawali dengan tumbuhnya penyakit kalbu, sebagaimana dinyatakan dalam ayat: “Dalam
hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”
(QS al-Baqarah [2]:10).

Tahajud
Tahajud adalah media utama para salik menuju puncak maqam. Orang-orang yang mampu kembali ke fitrahnya secara utuh,
apalagi sudah meraih predikat bertakwa, dan terus dilanjutkan dengan olah spiritual secara konsisten, maka yang
bersangkutan sudah mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya kapan saja dan di mana saja ia akan menemui dan
menjumpai Tuhannya.

Apakah di dalam shalat atau di luar shalat, di tempat sepi atau tempat ramai, ia dapat merasakan perjumpaan dengan
Tuhannya. Puncak-puncak perjumpaan (liqa') atau penyatuan mistik (ittihad/mystical union) sudah merupakan puncak
pencarian para pencari Tuhan (salikin).

Sebelum sampai ke puncak ini, sering kali diawali dengan apa yang disebut dalam istilah tasawuf dengan fana', yaitu
perasaan hancur atau hilangnya diri sendiri (disappear, perish, annihilate). Begitu dalamnya penghayatan seorang hamba
terhadap Tuhannya, sehingga ia seperti dirinya hancur, hilang, dan lebur di dalam diri-Nya.

Penghancuran dan perasaan lenyapnya diri tersedot masuk ke dalam 'diri Tuhan' sering kali diiringi oleh suasana batin yang
disebut dengan baqa', yakni suasana keabadian batin yang merasa terus hidup (remain, persevere). Ibarat sebuah mata uang
yang memiliki dua sisi; fana' dan baqa' merasuk ke dalam diri seseorang.

Dalam istilah tasawuf dikatakan: Man faniya 'an jahlihi baqiya bi 'ilmihi (jika kejahilan hilang maka yang tinggal ialah
pengetahuan).”
37
Dan juga, man faniya 'an al-aushaf al-madzmumah baqiya bi al-aushaf al-mahmudah (barang siapa yang menghancurkan
akhlak buruknya maka yang tinggal ialah sifat baiknya)”.

Lebih lanjut nanti akan tiba dalam suatu tahapan, man faniya 'an aushafih baqiyat aushaf al-Haq (barang siapa yang
menghilangkan sifat-sifatnya maka ia mempunyai sifat-sifat Tuhan)”.

Orang yang sudah sampai ke tingkat fana' dan baqa' sering terucap kata-kata yang agak aneh, tidak umum di dengar, seperti
ungkapan sufi berikut ini:

Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya maka aku pun hidup.
Ia membuat aku gila pada diriku, sehingga aku mati; kemudian Ia membuat aku gila pada diri-Nya, dan aku pun hidup. Aku
berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup.”

Tentu saja tidak gampang untuk naik ke terminal puncak. Untuk sampai ke terminal fana' dan baqa', diperlukan waktu dan
perjuangan yang mungkin tidak singkat karena ia harus melewati terminal-terminal standar sebagaimana disebutkan dalam
maqam-maqam terdahulu.

Namun, jika Tuhan menghendaki, seseorang bisa saja sampai ke maqam ini tanpa memerlukan perjalanan panjang. Maqam
ini sangat langka. Jarang para salik bisa sampai ke maqam ini. Pada umumnya, memerlukan persiapan khusus dan keseriusan
untuk bisa melanjutkan perjalanan ke puncak.

Tidak bisa hanya dengan motif ingin mencoba atau penasaran, sehingga ia berusaha mencapai maqam ini. Pada umumnya,
orang yang sampai ke maqam ini justru tidak pernah membayangkannya. Keikhlasan dan ketulusan yang dijalankan dengan
penuh istiqamah, itulah yang menjanjikan puncak terminal.

Kita tentu ingat bagaimana Nabi Musa bisa meraih terminal puncak spiritual dengan melewati tahap-tahap mujahadah
sebagaimana dijelaskan dalam ayat:

“Dan telah Kami janjikan kepada Musa sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu
dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata
Musa kepada saudaranya, yaitu Harun: Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku dan perbaikilah, dan janganlah kamu
mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS al-A'raf [7]:142).

Puasa Ramadhan yang dijalani sebulan penuh dan dilanjutkan dengan menambah puasa Syawal enam hari sesuai saran Nabi
mengingatkan kita kepada pengalaman spiritual Nabi Musa. Ini satu contoh bahwa untuk meraih sesuatu yang lebih tinggi
diperlukan juga upaya ekstra.

Memang terdapat banyak jalan menuju puncak spiritual. Tapi, semakin tinggi semakin memerlukan pembimbing (mursyid)
karena situasi di puncak banyak faktor pengecoh yang perlu diwaspadai. Tidak sedikit orang mendaki ke puncak, tetapi
terpeleset ke jurang hingga hancur. Ibarat pendaki gunung, harus menguasai ilmu untuk sampai ke puncak.

Kelihatannya mudah, gampang, tetapi penuh dengan bahaya. Orang bisa jatuh ke pada kemusyrikan, bahkan ke kemurtadan,
terutama jika ia frustrasi dan tidak sabar. Seseorang harus banyak melakukan latihan (riyadhah) terus menerus.

Salah satu riyadhah rutin yang bagus dan selalu dilakukan oleh para salik ialah shalat Tahajud dengan penuh kesungguhan
mengenyampingkan seluruh pikiran duniawi lalu fokus dan pasrah total kepada Allah SWT. Wallahu a'lam.

38
TERBAHAK-BAHAK
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Suatu ketika Nabi Muhammad SAW melewati kerumunan orang yang sedang bergurau sambil tertawa terbahak-bahak.

Lalu Rasulullah mengingatkan mereka: “Mengapa kalian tertawa terbahak-bahak, sedangkan api neraka mengintai di
belakang kalian? Demi Allah aku tidak senang melihat kalian tertawa seperti itu."

Dalam hadis lain dikisahkan, Nabi menghampiri sekelompok orang tengah bercanda sambil tertawa terbahak-bahak seraya
mengucapkan salam kepada mereka.

Setelah mereka menjawab salam, Nabi mengingatkan: “Ingatlah, demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya,
seandainya kalian mengetahui sebagaimana apa yang aku ketahui, maka kalian akan sedikit tertawa dan lebih banyak
menangis.”

Seketika itu mereka diam. Nabi berpamitan meninggalkan mereka, lalu para sahabat itu tenggelam dalam tafakur sambil
merenungi teguran Nabi. Dalam hadis lain Nabi bersabda, “Orang yang tertawa terbahak-bahak akan dicabut berkah dari
wajahnya.”

Dalam satu qaul disebutkan, “Bulan suci Ramadhan adalah bulan untuk menangisi dosa-dosa masa lampau.”

Tertawa itu manusiawi, tetapi Nabi membedakan dua macam tertawa. Ada tertawa dalam arti tersenyum (al-basyasyah) dan
tertawa terbahak-bahak (al-dhahhaq). Tertawa pertama dianjurkan, bahkan dinyatakan dalam hadis: al-basyasyath sunnah
(Tersenyum itu sunah).

Dalam satu riwayat lain dikatakan, al-basyasyah shadaqah (memberi senyum kepada orang itu sedekah). Karena itu, kita
dianjurkan untuk lebih banyak tersenyum sebagai salah satu wujud silaturahim kita kepada sesama umat manusia tanpa
membedakan jenis kelamin, etnis, dan agama.

Hal yang memprihatinkan kita ialah banyak sekali kita disuguhkan pemandangan di televisi dengan tertawa terbahak-bahak.
Bukan hanya pada waktu siang, melainkan juga pada waktu malam yang seharusnya kita banyak bermuhasabah dan
bermujahadah, mengingat kematian, mengingat dosa-dosa, dan membayangkan neraka yang selalu mengintip kita, malah
digunakan untuk tertawa dan mabuk-mabukan di depan kamera atau di depan televisi.

Lihatlah pada hampir semua program TV dipadati dengan lawak dan banyolan sepanjang malam.

Sejumlah program TV dan radio seolah mengajak para pemirsa dan pendengarnya untuk mabuk-mabukan. Hal ini pasti tidak
sejalan, bahkan bertentangan dengan harapan Rasulullah SAW.

Saat-saat menjelang Subuh seharusnya kita semakin syahdu mencari berkah tengah malam. Kalau perlu, tersungkur
menangisi dosa dan kegelapan masa lampau kita. Kita memohon pengampunan terhadap “kegilaan” masa lampau yang
pernah kita lakukan. Bukannya kita menyerupai orang mabuk di tengah keheningan malam.

Semua pihak seharusnya merenung dan memikirkan hal ini. Terutama kepada para pemilik TV, sponsor, sutradara, pemain,
dan semua pihak yang mendukungnya, termasuk para pemirsa yang ikut mabuk di depan TV mereka masing-masing.

Apakah ada berkah uang dan rezeki yang diperoleh melalui pelanggaran etika spiritual seperti itu? Hal yang memabukkan (al-
muskir) bukan hanya secara harfiah berarti zat yang memabukkan, seperti minuman keras ataupun narkoba, melainkan
keadaan tertentu yang diciptakan menyebabkan kita mabuk kesetanan dan lupa terhadap Tuhan.

Itu juga bisa disebut al-muskir. Ingat hadis Nabi: Kullu muskirun haramun (Segala sesuatu yang memabukkan itu haram.”

Ingat hadis lain: “Setiap darah-daging yang tumbuh di dalam diri berasal dari yang haram hanya akan bisa dibersihkan
dengan api neraka.” Na’udzubillah.

Dalam keheningan malam, Alquran mengimbau kita untuk merenung, kalau perlu disertai air mata, seperti dalam firman-
Nya: "Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis." (QS al-Isra [17]: 109). "Mereka menyungkur dengan
bersujud dan menangis." (QS Maryam [19]: 58).

39
MEMAHAMI MAKNA BATIN ALQURAN: LAPIS-LAPIS PEMAHAMAN
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Alquran bisa dibaca dalam perspektif indrawi, yaitu membaca dengan hanya melibatkan mata membaca huruf demi huruf
Alquran.

Alquran, menurut Ibnu Abbas, bagaikan intan berlian yang memiliki sudut lekuk yang memantulkan cahaya warna-warni.
Setiap orang bisa menikmati sudut cahaya keindahannya. Semakin ditatap, semakin menyenangkan.

Kenyataannya memang demikian, setiap ilmuan bisa memperoleh sandaran keilmuannya di dalam Alquran. Dari ilmuan
sosial dengan berbagai cabangnya sampai pada ilmuan eksak dengan segala jurusannya, semuanya bisa menemukan dasar
legitimasi di dalam Alquran.

Ahli sastra (Arab) pasti akan terkagum-kagum terhadap balaghah Alquran, ahli ekonomi pasti akan terkagum-kagum dengan
konsep pascapanen Nabi Yusuf, ahli hukum tentu akan sangat kagum terhadap konsep hukum kekeluargaan (al-ahwal al-
syakhshiyyah) dalam Alquran, ahli sejarah tentu akan tertarik dengan konsep pemaparan kisah-kisah Alquran.

Selain itu, ahli politik tentu akan kagum terhadap pola dialektik Alquran dalam meraih pengaruh di masyarakat dan ahli
pendidikan juga akan kagum dengan konsep the long life education Alquran.

Demikian pula ilmuwan eksak, misalnya para ahli matematika akan takjub dengan struktur matematis bahasa Alquran.
Ilmuwan fisika, biologi, dan kimia pasti akan kagum dengan sejumlah pernyataan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) di
dalam Alquran, yang oleh Maurice Buchaile tidak satu pun yang bertentangan dengan teori sains modern, sampai kepada ahli
ilmu masa depan (futurolog) juga akan takjub kebenaran-kebenaran ungkapan dan prediksi Alquran yang turun 14 abad
silam.
  
Menurut penyair dan sufi kawakan Syekh Jalaluddin Rumi, Alquran itu bagaikan susu perempuan, bisa memuaskan bayi
yang kelaparan sekaligus (maaf) sang ayah. Alquran bisa memberikan kepuasan kepada seluruh lapisan masyarakat
pembacanya, mulai dari masyarakat awam sampai kepada kelompok khawash al-khawash.
  
Alquran bisa dibaca dalam perspektif indrawi, yaitu membaca dengan hanya melibatkan mata membaca huruf demi huruf
Alquran. Orang-orang pun sekarang bisa menikmati bacaan Alquran dengan hadirnya teknologi perekam suara-suara qari dari
berbagai jenis bacaan (qiraah).

Walaupun pembacaan Alquran secara indrawi adalah lebih pasif tetapi orang-orang bisa merasakan getaran vibrasi kesucian
bahasa Alquran dengan membaca atau mendengarnya, betapa pun ia tidak memahami artinya.

Alquran juga bisa dibaca dalam perspektif rasional-akademik, yaitu membaca dengan kritis, apa, bagaimana, di mana, untuk
apa, dan kepada siapa, serta konteks ayat-ayat yang diturunkan.

Sang pembaca kritis tidak akan lewatkan setiap ayat tanpa memahami makna filosofis dan logika yang terkadung di dalam
ayat-ayat yang dibaca. Dari sini asal-usul kitab tafsir terwujud, yaitu mengabadikan pengalaman intelektual seseorang setelah
membaca satu atau sekelompok ayat.
  
Alquran juga dapat dibaca dalam perspektif emotional heart, yaitu membaca dengan kelibatkan emosi pembacanya ketika
membaca ayat-ayat tertentu di dalam Alquran. Ia terkadang meneteskan air mata ketika membaca sejumlah ayat yang
mengisahkan pengalaman pahit yang harus ditempuh Nabi ketika menjalankan misinya.

Ia juga tersugesti atau termotivasi ketika membaca ayat-ayat jihad, ketika ada kelompok yang tega mengkhianati sebuah
keluhuran niat seseorang hamba Tuhan.

Alquran juga bisa dibaca dalam perspektif spiritual heart, yaitu dengan menggunakan “mata Tuhan” di dalam membaca ayat
atau mendengarkan dengan menggunakan “telinga Tuhan” di dalam mendengarkan bacaan Alquran. Yang terakhir ini ialah
bacaan paling tinggi nilainya karena si pembaca mampu memahami seperti apa sesungguhnya yang dimaksud Tuhan dalam
setiap bacaan Alquran itu.

Bukan hanya melibatkan indra, otak atau pikiran, dan perasaannya ketika membaca Alquran, melainkan juga mampu
menghayati lebih mendalam makna sesungguhnya ayat demi ayat di dalam Alquran.

Sebagai contoh, membaca taawuz (a'udzu billahi minas syauthanir rajim) sebelum membaca ayat. Para pembaca yang hanya
melibatkan indra hanya akan membacanya sebagai formalitas dan kebiasaan sebelum membaca Alquran. Dia membacanya
tanpa sesuatu apa pun makna yang dapat dipahami dari bacaan tersebut.

Lain halnya kalau seseorang membaca dalam perspektif rasional-kritis. Tentu, ia akan bertanya: Apa sesungguhnya taawuz
40
ini? Ayat atau bukan? Apa ada hukumnya? Apa dalilnya? Mengapa dan untuk apa ini dibaca setiap kali mau membaca ayat-
ayat Alquran.

Dengan terdorong rasa ingin tahu, dia mencoba memahami kata demi kata dalam taawuz. Lalu, dia menemukan hikmahnya.

Ternyata, taawuz adalah ungkapan ketawadhuan seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa di hadapan besarnya gelombang
godoaan dalam kehidupan. Tanpa petunjuk dan pertolongan Tuhan maka tidak mungkin ada penyelamatan.

Ternyata, taawuz adalah ungkapan ketawadhuan seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa di hadapan besarnya gelombang
godoaan dalam kehidupan. Tanpa petunjuk dan pertolongan Tuhan maka tidak mungkin ada penyelamatan.

Ia mulai menganalisis, kata a'udzu berasal dari al-'audz yang memiliki beberapa arti. Pertama, al-iltija' berarti kembali, al-
istijarah berarti berlindung, dan al-iltishaq berarti melekat atau menempel.

Dengan demikian, kata a’udzu billahi memiliki arti, aku berlindung dengan rahmat dan penjagaan Allah. Dari sini, dipahami
ada sosok makhluk lemah dan membutuhkan bimbingan, petolongan, dan perlindungan. Pada sisi lain, ada Sang Mahakuasa
yang mampu memberikan petunjuk, pertolongan, dan perlindungan.

Dari pengertian analitis itu lahir makna dalam perspektif emotional heart bahwa ternyata kita hanyalah makhluk yang rawan
dari berbagai kekeliruan dengan segala risikonya.

Tiba-tiba, kita mengingat rasa kasih sayang Allah terhadap kita dengan mengingat dua surah terakhir dalam Alquran yang
membimbing dan mengajari kita agar senantiasa berdoa dan menyerahkan diri kepada Allah yang Mahakuasa dengan
membaca, a'udzu bi rabb al-falq (aku memohon perlindungan dari Tuhan alam semsta/makrokosmos) dan a'udzu bi rabb al-
nas (aku memohon perlindungan dari Tuhan manusia/mikrokosmos).

Dari sini timbul kesadaran batin bahwa betapa Allah SWT betul-betul Mahapengasih dan Mahapenyayang (al-Rahman al-
Rahim).

Dari kesadaran emotional heart maka akan lahir kesadaran puncak, yaitu spiritual heart. Jika kesadaran ini digunakan untuk
membaca atau mendengarkan Alquran, “mata” dan “telinga” Tuhan yang digunakan untuk membaca dan mendengarkan ayat-
ayat suci-Nya. Dengan demikian, kita bisa memperoleh makna tertinggi Alquran.

Rasa percaya diri dan tawakal di bawah lindungan Allah SWT akan selalu terasa bagi orang yang membaca Alquran dengan
perspektif emotional heart. Hanya saja, sebagian orang masih merasa situasional dengan perasaan itu (spiritual state/hal) dan
hanya sedikit yang sudah sampai ke suasana batin permanen (spiritual station/maqam).

Mursyid bertugas membimbing memaksimalkkan potensi kecerdasan.

Dalam artikel terdahulu disinggung tiga model pembacaan kitab suci, yaitu pembacaan secara indrawi, pembacaan melalui
emotional heart, dan pembacaan melalui spiritual heart. Yang paling spesifik (untuk tidak mengatakan yang paling penting)
ialah yang terakhir.

Pembacaan dengan spiritual heart membutuhkan metodologi (baca: spiritual exercise/mujahadah). Tanpa demikian sulit
dibayangkan seseorang akan langsung mengakses wilayah yang “tabu” ini.

Bertahun-tahun seseorang mengamalkan mujahadah  saja belum tentu bisa menggapai harapan itu, apalagi dengan tanpa
melalui usaha seperti itu. Tidak sulit mencari legitimasi metode ini.

Lihat saja Nabi Muhammad SAW dan bandingkan dengan nabi-nabi sebelumnya yang juga akrab dengan gua-gua
melaksanakan kontemplasi. Para wali atau orang-orang pilihan Tuhan lainnya juga melakukan hal yang sama.

Untuk menyegarkan kembali ingatan kita pada artikel terdahulu bahwa di dalam ontologi keilmuan Islam, ilmu dibedakan
pada dua bagian, yaitu ilmu hushuli dan ilmu hudhuri. Ilmu hushuli ialah ilmu yang diperoleh melalui pemisahan secara
diametrikal antara subjek ilmu ('alim) dan objek ilmu (ma'lum).

Subjek ilmu pengetahuan harus berusaha membuat jarak dengan objek ilmu pengetahuan agar ilmu yang diperolehnya lebih
objektif dan tidak bias. Sedangkan ilmu hudhuri ialah ilmu yang diperoleh melalui penyatuan (taqabul) antara subjek ilmu
dan objek ilmu pengetahuan. Semakin utuh penyatuan keduanya semakin valid pula ilmu pengetahuan itu.

Metode pertama (ilmu hushuli) banyak diterapkan di dalam tradisi keilmuan barat, yang berusaha mengeksploitasi
sedemikian dalam objek ilmu pengetahuan itu. Karena itu, objek ilmu pengetahuan harus terbebas dari berbagai aspek
ketabuan dan kesakralan.

Segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau sang subjek (dengan menggunakan kekuatan logika) maka di situ tidak ada ilmu
pengetahuan. Sedangkan, metode kedua (ilmu hudhuri) harus menghadirkan objek ilmu pengetahuan itu menjadi bagian dari
dirinya sendiri (from within) sehingga perolehan ilmu pengetahuan itu lebih merupakan faktor dari dalam diri.

41
Yang pertama, sifat sang subjek ilmu ada dua macam, kalau bukan pintar ('alim) maka pasti bodoh (jahil). Karena itu, sang
subjek yang pintar harus mengajari yang bodoh. Anak didik dianggap bodoh karena itu harus diajari oleh gurunya yang lebih
pintar.

Struktur sang subjek yang alim sudah barang tentu lebih tinggi dari pada subjek yang bodoh. Sedangkan yang kedua, sang
subjek ilmu juga ada dua macam, yaitu sadar, ingat (dzakir) dan lupa (ghafil).

Dengan demikian, struktur sang subjek tidak selamanya ada yang lebih tinggi atau ada yang lebih rendah. Dalam perspektif
ilmu hudhuri, pada dasarnya semua orang pintar, hanya saja perjalanan hidupnya yang panjang membuatnya lupa (ghafil).

Setiap manusia yang lahir sudah otomatis cerdas karena sudah diinstal kepintaran dan kecerdasan oleh Allah.

Di sinilah tugasnya seorang guru (mursyid) untuk membimbing dan mengingatkan kembali kepada muridnya apa yang
pernah ia peroleh sejak zaman azali.

Karena itu, epistemologi keilmuan hushuli lebih mengandalkan metode pengajaran (tadris), yaitu proses pembelajaran
terhadap orang yang masih memerlukannya, yakni mereka yang masih memiliki pengetahuan terbatas.

Sedangkan, epistemologi keilmuan /hudhuri selain persoalan metodologi pendidikan (tadris) penting, yang tak kalah
pentingnya juga ialah metode pendidikan (ta'lim). Seorang anak bukan hanya untuk dibuat pintar /(alim) melainkan juga
untuk dibuat cerdas dan arif ('aruf).

Untuk yang terakhir ini dilakukan melalui proses latihan mental-spiritual yang biasa disebut dengan mujahadah, tadzkirah,
tashawwuf, dan istilah-istilah lainnya.

Istilah yang sering digunakan oleh kelompok pengikut ilmu hushuli ialah guru-murid (muallim-tilmidz). Guru yang
persepsikan sangat tahu (alim)berusaha memberikan ilmunya kepada murid-muridnya yang dipersepsikan sangat miskin ilmu
atau masih bodoh (jahil).

Sedangkan, dalam perspektif ilmu hudhuri ialah mursyid, yakni pembimbing untuk mengingatkan kembali (al-dzakir) kepada
para muridnya yang mungkin lupa atau nuraninya tertutup oleh berbagai macam hijab sehingga sulit menemukan kebenaran
dan petunjuk secara otomatis dari kecerdasan standar yang sudah diperolehnya dari zaman azali tadi.

42
JALAN HIDUP SALIKIN
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Kedengarannya menakutkan menjalani kehidupan suluk. Akan tetapi, jika seseorang mencoba menjalani pilihan, hidup ini
ternyata bisa dan bahkan mengasyikkan.

Logika dan pikiran yang sarat pengandaian berganti kecintaan mendalam kepada Tuhan.

Tidak gampang menjalani kehidupan suluk (salik). Seorang calon salik terlebih dahulu harus membulatkan tekad untuk
“mewakafkan” hidupnya untuk suluk.

Namun, menjadi praktisi suluk tidak mesti harus meninggalkan kehidupan dunia dengan segala liku-likunya. Tidak sedikit
orang berhasil menjalani kehidupan suluk, tetapi ia juga tetap menjadi dirinya sendiri dan berhasil sebagai pebisnis, pejabat,
seniman, serta aktivitas kehidupan duniawi lainnya.

Jalan hidup salikin sesungguhnya tidak lain adalah pilihan jalan hidup untuk senantiasa dekat dan sedekat-dekatnya dengan
Tuhan. Hidupnya sepenuhnya diserahkan kepada Allah SWT. Apa pun wujud keseharian aktivitas dan perbuatannya,
semuanya tertuju untuk menggapai ridha-Nya.

Hidupnya penuh kepasrahan dan tawakal serta tidak pernah mengeluh di dalam menjalani segala risiko kehidupan. Dia selalu
tersenyum menjalani kehidupan karena diyakini secara haqqul yaqin bahwa keberadaan dan hidup ini semuanya atas
kehendak dan pilihan-Nya.

Seorang calon salik pertama kali harus menyadari kelemahannya se bagai manusia. Untuk itu, ia harus belajar dan mencari
arah-arah yang bisa menuntun dirinya agar tujuannya bisa tercapai dengan baik.

Calon salik tidak perlu banyak menggunakan logika dan rasionya di dalam menentukan pilihan sebagai salik, karena itu bisa
menghambat atau memperlambat perjalanan panjang yang harus ia lalui.

Ia harus mengondisikan batinnya untuk bersedia menjalani pilihan hidupnya sebagai salik dengan segala konsekuensinya. Ia
tidak boleh di tengah jalan menciptakan jalan bercabang hingga membuatnya gagal.

Ia juga harus memperhitungkan keberlangsungan kehidupan dan keutuhan keluarganya.

Bukanlah salik yang benar jika dirinya memperoleh kepuasan hakikat, sementara keluarganya berantakan.

Bahkan, jalan hidup seperti itu tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ideal sebagaimana dicontohkan Nabi dan para
sahabatnya. Keluarga yang bermasalah bisa menjadi faktor dekonsentrasi di dalam menjalani kehidupan suluk.

Pengalaman para salikin di berbagai wilayah memang bermacam-macam. Ada yang lahir dari keturunan berada sehingga soal
urusan kehidupan duniawi keluarganya tidak ada masalah.

Ada yang memiliki sejumlah properti, seperti lahan dan usaha produktif, sehingga hasilnya bisa menunjang kehidupan diri
dan keluarganya. Ada juga yang memang sejak awal merancang hidupnya sebagai salikin sehingga istri dan anak-anaknya
secara mental bersedia menanggung risiko kehidupan sebagai warga salik.

Kedengarannya menakutkan menjalani kehidupan suluk. Akan tetapi, jika seseorang mencoba menjalani pilihan hidup ini,
ternyata bisa dan bahkan mengasyikkan karena yang bisa menghadirkan banyak masalah dalam kehidupan ialah pikiran dan
logika yang banyak mendiktekan pengandaian.

Akan tetapi, begitu pikiran dan logika dipersempit dan digantikan dengan kecintaan mendalam kepada Tuhan, beban yang
tadinya “menggunung” berubah menjadi kapas atau buluh-buluh yang beterbangan, seperti firman Allah, “Dan gunung-
gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (QS Al-Qariah [101] :5).

Masalah hidup sesungguhnya adalah masalah persepsi. Persepsi bisa membuat suatu masalah menjadi lebih berat atau
menjadi lebih ringan.

Para salikin, karena kepasrahannya secara total kepada Allah, tidak pernah merasakan beban hidup yang berat karena dia
yakin bahwa Allah meringankan dan mengangkat seberat apa pun beban kehidupan itu.

Sebagaimana firman-Nya, “Dan Kami telah meng hilangkan dari padamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu. Dan
Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)-mu”. (QS Al-Insyirah [94]: 2-4).

Para salikin merasakan tangan-tangan Tuhan mengangkat masalahnya dengan berbagai cara, antara lain, pertama, masalah
dan beban hidup itu nyata adanya, tetapi Allah melapangkan dada ham ba-Nya selebar samudera sehingga masalahnya ibarat
43
sebotol tinta tidak memberikan warna sedikit pun pada air samudera, berbeda dengan segelas air dapat diubah warnanya oleh
setetes tinta.

Kedua, masalah dan beban hidup itu nyata, tetapi semua orang yang melihat dan mengetahuinya prihatin dan memberi
dukungan pada dirinya sehingga tidak ada beban dan rasa malu yang harus diemban.

Ketiga, masalah dan beban hidup itu nyata adanya, te api diyakini dan dinikmatinya cara Tuhan untuk membersihkan dosa
masa lampaunya. Kelima, wujud masalah dan beban hidup itu dihilangkan oleh Allah SWT.

Di kamar Maryam selalu tersedia menu makanan lengkap tanpa diketahui asal muasalnya, Nabi Ibrahim selamat dari bara
amukan dan bara api, Nabi Musa dan Nabi Yunus selamat dari kedalaman laut, dan banyak lagi kisah ajaib lainnya dalam
Alquran.

Orang yang yakin penuh terhadap Tuhan, maka semua makhluk-Nya hakikatnya mencintai dan tidak akan mencederainya.
Bahkan, dengan serta-merta mereka akan menolong kekasih Tuhannya. Para salikin berkeyakinan seperti ini. Di dunia ini
penuh keajaiban dan keajaiban itu bisa diakses oleh para kekasih Tuhan.

Salik, Syekh, dan Mursyid


Seorang salik pertama kali harus menemukan, memilih, dan menentukan siapa yang akan menjadi syekh atau mursyidnya.

Sang mursyid ini yang akan berperan dominan di dalam menempuh kehidupan sehari-harinya. Menemukan syekh atau
mursyid juga tidak gampang. Karena boleh jadi, baik dan cocok bagi orang lain, tetapi kurang pas dengan diri kita.

Para salikin (bentuk jamak salik—Red) harus memastikan diri tidak salah memilih pembimbing spiritual, baik seorang syekh
maupun asisten syekh (mursyid).

Kriteria seorang syekh, menurut Syihabuddin Abi Hafs Umar As-Suhrawardi, ialah tokoh sufistik yang dituakan karena
berbagai keutamaannya.

Mungkin karena perintis sebuah tarekat atau pelopor ajaran tasawuf, syekh dianggap sebagai ahli waris spiritual Nabi. Ilmu
dan makrifatnya sudah mumpuni sehingga dia disegani para penghuni bumi dan langit karena kedekatannya dengan
Tuhannya.

Jika tidak menemukan syekh, akibat faktor kesulitan lantaran kelangkaannya, cukup dengan mursyid. Mursyid ialah asisten
dari syekh. Analoginya seorang profesor di perguruan tinggi biasanya memiliki asisten profesor. Ia sewaktu-waktu diminta
oleh syekh atau sudah dibaiat oleh syekhnya untuk mewakilinya dalam berbagai urusan, terutama yang berkaitan dengan
urusan organisasi tarekat.

Syekh atau mursyid bertugas untuk membersihkan niat dan meluruskan tujuan hidup murid-muridnya yang akan menempuh
jalan hidup suluk. Ia juga harus berusaha mengetahui kemampuan murid, mendidiknya secara telaten tanpa pamrih, dan terus
dievaluasi sampai akhirnya bisa menjadi salik yang mandiri.

Syek atau mursyid dituntut untuk selalu menyesuaikan ucapan dan tindakan, mengamalkan apa yang dikatakan, dan
mengajarkan apa yang diketahuinya dengan penuh keikhlasan kepada para murid nya.

Syekh dan mursyid juga harus menyayangi orang-orang lemah, baik lemah secara fisik, kecerdasan, maupun ekonomi. Tidak
boleh membeda-bedakan murid berdasarkan hal-hal yang bersifat pemberian dari Allah SWT.

Syekh dan mursyid selalu harus menyucikan ucapan, perbuatan, dan tindakan agar posisi spiritualnya di mata Tuhan dan
posisi sosialnya di mata masyarakat selalu terpelihara.

Sebelum membersihkan dan menyucikan orang lain, dirinya terlebih dahulu harus bersih. Ia harus selalu berbicara dengan
arif dan bijaksana sehingga mampu menggores kesan di dalam diri para muridnya.

Di kancah suluk, seorang syekh dan mursyid di dalam diri mereka tidak boleh mengangkat dirinya lebih tinggi dari para
muridnya. Ia juga harus selalu mengingat dan memuliakan Allah sewaktu berbicara dan berkomunikasi dengan para
muridnya.

Tidak boleh sedikit pun mengesankan posisi dirinya sebagai syekh atau mursyid, harus lebih tinggi daripada kedudukan
muridnya. Para muridnya kemudian menghormatinya itu bagian dari etika dalam dunia suluk.

Hubungan antara salik dan syekh atau mursyid juga ada tradisinya sendiri sebagaimana akan dibahas dalam artikel
mendatang.

Syekh dan mursyid betul-betul harus amanah memelihara rahasia para muridnya. Para murid diantaranya banyak yang sudah
dewasa dan berumur. Mungkin di antara mereka banyak yang telah mengenyam kehidupan dalam dunia hitam lalu insaf,
bertobat, kemudian memilih untuk hidup dalam dunia suluk.

44
Keseluruhan rahasia yang mungkin pernah diceritakan kepada nya harus ia rahasiakan. Untuk tujuan apa pun, sebaiknya
syekh atau mursyid menutup rapat-ra pat rahasia itu. Ia harus yakin Allah Mahapengampun dan Mahapenyayang sehingga
keseluruhan aib hamba-Nya dapat diputihkan. Ia harus gampang memaafkan ke salahan dan kekeliruan para muridnya.

Ia tidak boleh bosan dan mengeluh di dalam membimbing para muridnya. Ia harus begitu gampang memaafkan kesalahan
para muridnya, sebagaimana Allah juga selalu tampil Mahapemaaf dan Mahapengampun.

Kalau perlu, ia mengabaikan haknya sendiri demi keberhasilan para muridnya. Hak-hak murid lebih diutamakan daripada hak
dirinya sendiri, persis seperti orang tua dengan anak kandungnya sendiri.

Syekh dan mursyid juga harus mampu membagi waktu untuk menyendiri (berkhalwat), mengajar, dan beramal. Ia juga harus
terus menambah ilmu, wawasan, dan pengalaman spiritualnya untuk kejayaan spiritual para muridnya.

Taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah—Red)) harus menjadi pemandangan sehari-harinya supaya para muridnya
bisa meneladaninya. Jadi, tidak gampang menjadi syekh atau mursyid, tetapi syekh dan mursyid di depan para muridnya
bagaikan Nabi di depan para sahabatnya.

Padepokan Sufi (Khanqah)


Kalangan sufi biasanya bersahabat dengan pondok atau padepokan khusus yang biasa disebut khanqah.

Padepokan sufi ini sengaja dibangun oleh pemimpin tarekat atau syekhnya guna memberikan pelayanan khusus kepada para
mursyid atau murid yang sudah berada di tingkat yang lebih tinggi.

Selama berada di dalam khanqah, mereka terikat oleh ketentuan dan kebiasaan khusus yang sifatnya pendisiplinan diri.
Mereka tidak boleh berperasaan sombong, angkuh, manja, banyak bertanya, banyak protes, banyak berbicara dunia, dan
banyak berpikir logika.

Mereka berusaha berada di dalam kepasrahan total kepada Allah SWT. Kondisi seperti ini menirukan tradisi pembinaan yang
dilakukan oleh Khidhir terhadap Nabi Musa yang dilarang mengaktifkan pikiran dan logika selama dalam proses
pembelajaran.

Di dalam khanqah ini para mursyid dan murid khusus aktif melakukan olah spiritual atau riyadhah (spiritual exercise).
Biasanya mereka terus-menerus melaksanakan shalat dan diselang-selingi dengan tadarus Alquran dan wirid. Kadang
dilakukan berjamaah. Terkadang pula ditempuh sendirian.

Bagi para pemula biasanya mengikuti ketentuan khusus yang ditetapkan oleh syekh pemimpin khanqah. Ada sejumlah
khanqah yang menerapkan ujian sebelum masuk menjadi jamaah atau penghuni khanqah.

Jika dalam kondisi spiritualnya sulit atau tidak berbakat menjadi ahlul khalwah (pengasingan diri) maka ia dianjurkan untuk
menjadi ahlul khidmah.

Selama menjadi penghuni khanqah, para peserta biasanya dianjurkan mengonsumsi menu makanan yang terukur, misal nya,
dianjurkan tidak makan daging, seperti dialog antara Rabiah Al-Adawiyah dan Hasan Al-Basri yang memunculkan sebuah
ungkapan: “Jangan menjadikan perutnya sebagai kuburan”.

Para sufi dan resi dalam Hindu selama menjalani praktik meditasi tidak mengonsumsi daging. Makanan popular ahlul
khanqah ialah Garmat.

Wawancara khusus
Pengikut tarekat Jalaluddin Rumi di Konya, syekh melakukan wawancara khusus dengan calon penghuni khanqah.

Jika di depan pondoknya sandal calon peserta diletakkan menghadap ke dalam berarti si calon penghuni dinyatakan lulus.

Akan tetapi, jika sandalnya diletakkan menghadap ke luar pertanda calon peserta belum bisa menjadi penghuni khanqah
(Ahlul khalwah).

Ia masih diajurkan untuk melakukan riyadhah dasar, seperti mandi tobat yang dilanjutkan shalat sunat tobat, menjalani puasa-
puasa sunah Senin dan Kamis serta mengamalkan wirid-wirid rutin hingga ia dinyatakan bisa diterima.

Di dalam padepokan mereka melakukan latihan wirid gerak yang lebih dikenal dengan tari sufi (whirling Darwishes). Dalam
tahap tertentu, manakala seorang murid terjatuh karena pusing maka ia harus menjalani beberapa ketentuan, di antaranya
diajurkan menyembelih seekor kambing.

Beberapa kelompok tarekat berusaha mencari tempat untuk sewaktu-waktu memperbaiki kembali (recharge) energi dan
kualitas batinnya yang mengalami pelemahan akibat pengaruh daya tarik godaan dunia. Para mursyid atau murid khusus bisa
merasakan di dalam dirinya kapan dan berapa lama ia harus berada di khanqah.

Kadang ia berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan, hingga ada yang memilih hidup menjadi pelayan khanqah. Orang yang
45
memilih jalan hidupnya seperti ini disebut ahlul khidmah.

Tugasnya memberikan pelayanan terhadap orang-orang dan para tamu yang datang secara khusus guna membersihkan diri di
khanqah. Tamu yang secara khusus datang untuk berkontemplasi biasanya disebut ahlul khalwah.

Jika ada orang yang dikuasai oleh hawa nafsu, kondisi batinnya yang sedang guncang, menerima musibah berat, berharap
dengan sebuah hajat ideal yang sulit dicapai, ingin mendalami kekuatan batin, dan berbagai kecenderungan pembersihan
batin lainnya maka disarankan menjadi penghuni khanqah.
Apakah nantinya akan menjadi ahlul khidmah, ahlul khalwah, atau ahlus shuhbah, dilihat perkembangan dan
kemungkinannya oleh pemimpin khanqah.

Persaudaraan
Para alumni khanqah memiliki rasa persaudaraan yang amat mendalam. Mereka menjadi seperti saudara spiritual yang saling
merindukan satu sama lain.

Dari sinilah lahir istilah persahabatan spiritual (al-shuhbah) seperti yang dijanjikan salah satu dari tujuh kelompok yang
dijanjikan masuk ke dalam vila peristirahatan di bawah Arasy di Padang Makhsyar.
Suatu tempat yang sangat nyaman, seperti dinyatakan dalam hadis shahih, sementara manusia lain di Padang Makhsyar ada
yang berenang di atas keringatnya selama ribuan tahun.

Tradisi mendiami sebuah tempat khusus untuk berkontemplasi sudah lama dikenal umat manusia. Pondok khanqah bisa
dianalogikan dengan gua-gua di pegunungan, tempat di mana para nabi dan wali Allah mendapatkan wahyu, ilham, dan
keajaiban lainnya.

Alquran meng abadikan Gua Kahfi yang pernah dihuni tujuh wali bersama anjingnya yang tidur selama 309 tahun.

Gua Hira yang bertahun-tahun digunakan Nabi Muhammad untuk berkhalwat yang pada akhirnya menerima wahyu pertama
di sana.

Gua tempat Nabi Ibrahim menyimpulkan bahwa bintang-bintang, bulan, dan matahari, pasti bukanlah Tuhan karena mereka
timbul-tenggelam.

Mihrab Maryam dan Zawiyah Ali Imran jelas mengisyaratkan adanya tempat yang spesifik untuk menjalani praktik riyadhah
sangat penting. Tempat itu biasanya terpelihara kebersihan dan kesuciannya, karena ia merupakan lokus spiritual untuk
taqarrub ilallah.

Ketika Nabi Musa diperintah oleh Tuhannya mencari ilmu tingkat tinggi, ia dikenalkan dengan seseorang guru (mursyid)
yang akan menuntunnya.

Sang guru ternyata tidak mengajarinya di sebuah padepokan tertutup dan permanen, tetapi diajaknya berjalan melintas batas
laut, darat, gunung, sungai, dan etnik.

Perjalanan Musa bersama mursyidnya, Khidhir, oleh kalangan salikin dijadikan dasar untuk melegitimasi kesenangannya
melakukan perjalanan yang bersifat rohani (spiritual journey/safar). Simaklah kisah singkat perjalanan spiritual Musa dan
gurunya sebagai berikut.

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan
dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun."

“Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil
jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, "Bawalah ke mari makanan
kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini."

“Muridnya menjawab, "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa
(menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu
mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”

“Musa berkata, "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu, keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Kemudian, mereka
bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami,
dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”

“Musa berkata kepada Khidhir, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersamaku. Dan, bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
hal itu?"

“Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam
sesuatu urusan pun."
46
“Dia berkata, "Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu." (QS Al-Kahfi [18]: 60-70).

Menarik untuk diperhatikan, dalam perjalanan pertama, di situ Musa memosisikan diri sebagai guru terhadap seorang
muridnya hingga keduanya sampai ke sebuah tempat yang dilukiskan sebagai “pertemuan dua laut” (majma' al-bahrain).

Musa pun melanjutkan perjalanannya sebagai seorang murid dari seorang guru khusus untuknya, yaitu Khidhir.

Meskipun sudah lama menjadi guru, tetapi kembali harus belajar dari seorang guru dengan metode yang amat kontroversial.

Pada akhirnya, Musa sampai pada suasana batin, yang dia harus disadarkan bahwa ternyata di atas langit masih banyak langit.
Seseorang tidak boleh sombong dengan sehebat apa pun ilmu yang diperolehnya.

Lima ayat pertama di atas, menggambarkan Musa melakukan pengembaraan sebagai seorang guru ditemani dengan seorang
muridnya. Lima ayat berikutnya menggambarkan Musa melakukan pengembaraan sebagai seorang murid mengikuti guru
atau mursyidnya.

Ketika Musa menjadi seorang guru terhadap muridnya tampaknya ilmu-ilmu fisik biologis. Ini terungkap dengan adanya
perbekalan makanan, kelaparan, dan mencari lauk berupa ikan.

Sedangkan dalam kapasitasnya sebagai seorang murid tampaknya ia ngin belajar tentang ilmu-ilmu makrifat. Ini diketahui
melalui peristiwa-peristiwa nonlogis yang dijumpai di sepanjang perjalanannya, seperti larangan bertanya, persyaratan sabar,
banyaknya ujian, dan tantangan logika.

Puncak kearifan Musa diperoleh sepanjang perjalanannya. Baik ketika ia mengajak muridnya melakukan safar, maupun
ketika diajak gurunya melakukan hal yang sama. Perjalanan di level awal, kelihatan Musa masih terpengaruh oleh simbol-
simbol fisik biologis.

Kisah Musa dan Khidhir ini masih menyimpan rahasia yang amat besar dan terus menarik untuk didalami.

Perjalanan spiritual Musa yang kemudian berjumpa dengan Khidhir, bagian dari isyarat perlunya seseorang melakukan
pengembaraan untuk meningkatkan pengetahuan dan makrifat kepada Allah SWT.

Bukan saja terhadap Musa melainkan siapa pun yang ingin memperoleh kemuliaan dan keutamaan dari-Nya sebagaimana
diisyaratkan ayat berikut.

“Dialah Tuhan yang menjadikan Kamu dapat berjalan di daratan dan di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam
bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan
mereka bergembira karenanya.”

“Datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah
terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka
berkata), "Sesungguhnya yang bersyukur." (QS Yunus [10]:22).

Seseorang yang hendak melakukan pengembaraan (safar) pertama kali ia harus mengukuhkan niat untuk melakukan sesuatu
yang mulia.

Sasaran safar bisa dimotivasi dengan mendalami ilmu syekh atau mursyid, memunculkan tekad yang kuat untuk
meninggalkan segala bentuk kemudahan hidup di rumahnya menuju sebuah tempat yang betul-betul dituntut kemandirian.

Safar biasanya dilakukan berkelompok sehingga di sepanjang jalan mereka bisa melatih diri menemukan sahabat spiritual (al-
shuhbah), seperti dijanjikan dalam hadis, salah satu dari tujuh kelompok penghuni peristirahatan di bawah Arasy, ialah
seseorang yang menjalin persaudaraan spiritual secara permanen semata-mata karena memohon ridha Allah SWT.

Menyeberangi Lautan Keilmuan


Dalam kitab-kitab tafsir otoritatif (mu’tabarah), seperti Tafsir at-Thabari, dije laskan bahwa majma’ al-bahrain (QS al-Kahfi
[18]:60), sebagaimana diungkap di dalam artikel pekan lalu, ialah pertemuan antara laut Persia dan laut Romawi, yang
menjadi pemisah secara geografis antara Timur dan Barat (Jilid VII h.271).

Demikian pula, dalam tafsir-tafsir Syiah, seperti Tafir al-Qummi (Jilid II h.36), Tafsir as-Shafi (Jilid III h. 248-249), dan Al-
Tibyan fi Tafsir al-Qur’an (Jilid VII h. 66), yang sering memopulerkan penafsiran eksoterik, juga menafsirkannya dengan laut
Persia dan Roma.

Lain halnya dengan Fakhr ar- Razi dalam “Al-Tafsir al-Kabir”-nya mengemukakan pendapat lain yang bersifat metaforis.

Menurutnya, yang dimaksud majma’ al-bahrain ialah perjumpaan antara Musa dan Khidhir yang dilukiskan ilmunya masing-
masing, seperti laut, luas dan dalam. (Jilid VII h. 479).
47
Gambaran dua laut ilmu pengetahuan berjumpa di tempat itu sekaligus mengukuhkan perlunya mengintegrasikan perspektif
epistimologi keilmuan antara Nabi Musa dan Khidhir. Perspektif keilmuan Musa lebih banyak menggunakan metode hushuli,
yaitu antara subjek ilmu dan objek ilmu terpisah atau berjarak.

Sedangkan, perspektif keilmuan Khidhir lebih banyak menggunakan metode hudhuri, yaitu antara subjek ilmu dan objek ilmu
menyatu dan tidak berjarak.

Kesempurnaan ilmu pengetahuan, manakala sudah bersatu antara perspektif hushuli dan perspektif hudhuri (untuk mendalami
kedua pespektif ini lihat kembali artikel “Antara Ilmu Hushuli dan Ilmu Hudhuri”).

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka."((Hujuraat 49:11) )

Dalam perspektif ilmu hudhuri, manusia pada dasarnya lahir dalam keadaan sempurna secara potensi.

Kelahiran manusia sudah diuji langsung kesiapannya oleh Allah SWT, apakah sudah layak hidup di dunia atau belum dengan
pertanyaan primordial, “Alastu bi Rabbikum qalu bala syahidna?”

“Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu? Dijawab, “Iya sudah pasti.” Akhirnya manusia lahir di muka bumi ini
dengan kecerdasan standar.

Kalau manusia belajar itu dimaksudkan untuk mengingatkan kembali apa yang pernah diketahui namun dilupakan kembali.
Dalam pandangan ini manusia disebut pelupa (al-ghafil) atau mengingat (adz-dzakir).

Sedangkan, dalam perspektif ilmu hushuli manusia digambarkan sebagai makhluk yang bodoh (al-jahil) karena itu perlu
belajar agar menjadi pintar (al-‘alim).

Kedua perspektif tersebut tidak mesti dipertentangkan satu sama lain. Kita bisa menyatukan antara perspektif hushuli (Musa)
dan perspektif hudhuri (Khidhir), sebagaimana istilah majma’ albahrain (penyatuan dua lautan keilmuan), seperti Allah SWT
menghilangkan polarisasi timur (al-masyriq) dan barat (al-magrib).

Sebagaimana disebutkan dalam ayat, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Mahamengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 115).

Perjalanan spiritual ikut membantu seseorang untuk mendekatkan jarak, bahkan menyatukan antara kedua perspektif
keilmuan tersebut. Orang yang suka berpikir simplistis dan didominasi pola pikir dialektik, dengan selalu mengedepankan
prinsip negasi (principle of negation), maka sesungguhnya orang itu memerlukan perjalanan spiritual.

Jika orang itu sudah mulai arif dan lebih mengedepankan titik temu (principle of identity) maka sesungguhnya dia sudah
menemukan prinsip hidup. Karena itu, Alquran menyindir orang-orang yang tidak pernah melakukan safar.

Sebagaimana dituangkan dalam ayat, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS al- Hajj [22]: 46).

Kualitas
Kualitas perjalanan yang diidealisasi dalam ayat ini ialah yang bisa membangkitkan kesadaran hati dan pikiran secara paralel.

Orang-orang arif yang diberi kemampuan mukasyafah oleh Allah dapat melihat sesuatu tanpa menggunakan kornea mata dan
dapat mendengar tanpa melibatkan gendang telinga, serta dapat merasakan tanpa menggunakan sensor perasa pancaindra.

Anjuran untuk melakukan perjalanan juga diungkapkan di dalam ayat lain. “Dan apakah mereka tidak memerhatikan
bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah."
"Katakanlah, ‘Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya,
kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS al-Ankabut [29]: 19-
20).

Perintah untuk melakukan perjalanan spiritual di dalam Alquran tidak kurang dari lima ayat, yang secara tegas keseluruhan
ayat itu meminta kita untuk merekam makna lahiriah dan makna batin dari fenomena yang ditangkap di sepanjang perjalanan.

Jika seseorang mampu mengelola informasi dan sinyal yang diamati sepanjang perjalanan, maka yang bersangkutan akan
mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa.

Mereka akan memperoleh kebahagiaan dunia, terlebih nanti di akhirat. Karena, mereka telah betul-betul matang secara
48
spiritual. Mereka tidak lagi tergantung kepada ustaz atau mursyid. Mereka sudah mampu menfasilitasi dirinya sendiri.

Termasuk, melaksanakan perjalanan spiritual sendiri tanpa pengawalan mursyid atau syekh. Ada baiknya kita mencicipi
bagaimana seninya melakukan pengembaraan spiritual (spiritual jouney/safar).

Periode dan filosofi khalwat beragam


Di antara objek safar para salikin ialah menemukan khanqah (padepokan sufi) yang nyaman. Salah satu tujuan para salikin di
dalam khanqah ialah melakukan khalwat.

Khalwat secara harfiah berarti hidup menyendiri di sebuah tempat terasing dari hiruk-pikuk keramaian masyarakat.

Dalam suasana khalwat, para salik melakukan kontemplasi untuk meraih kedekatan sempurna dengan Tuhannya. Mereka
melakukan serangkaian ibadah dan zikir sebagaimana tuntunan Alquran dan hadis.

Para salik juga melakukan serangkaian amalan, tafakur, dan tadzakkur selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu dan
berbulan-bulan. Tergantung kesiapan masing-masing para salik.

Kegiatan khalwat tidak perlu dipertanyakan dasarnya. Ini karena hampir semua Nabi dikisahkan pernah melakukannya
dengan cara masing-masing. Nabi Ibrahim menyadari hakikat keberadaan Tuhan setelah sekian lama berkhalwat di dalam gua
pada sebuah gunung.

Di dalam gua itu, ia menggugurkan bintang, bulan, dan matahari sebagai Tuhan setelah semuanya terbenam. Tuhan dalam
kesimpulan Nabi Ibrahim ialah Pencipta Tunggal semua makhluk yang timbul-tenggelam dan yang terbit-terbenam (QS al-
An'am [6]:75-79).

Hal yang sama terjadi kepada Nabi Musa ketika ia berkhalwat dan bermunajat untuk menemukan Tuhan yang sesungguhnya,
lalu ia diminta datang di sebuah tempat dan di situlah Musa mencapai puncak makrifat (QS al-A'raaf [7]:143).

Kisah mirip juga terjadi pada diri Nabi Ayub saat menjalani penyakit yang dideritanya seorang diri di sebuah gunung, lalu di
sanalah ia memperoleh kesembuhan dan makrifat tingkat tinggi (QS al-Anbiyaa' [21]:83-84).

Perhatikan pula kisah tujuh wali Allah yang melakukan khalwat selama 309 tahun di dalam gua Kahfi yang kemudian
diabadikan di dalam surah Al-Kahfi. (QS al-Kahfi [18]:21-25).

Dan, yang lebih dekat dengan kita ialah Nabi Muhammad SAW.

Beliau diceritakan kurang lebih enam tahun turun-naik gunung berkhalwat seorang diri di dalam gua pada Gunung Hira', di
luar Kota Makkah.

Aktivitas khalwat mencapai puncaknya ketika beliau didatangi Malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu pertama
kepadanya, yang juga diabadikan dalam Aquran surah al-'Alaq (QS al-'Alaq [96]: 1-5).

Gua Hira menyimpan segudang rahasia. Di sinilah Nabi Muhammad menerima wahyu pertama yang sekaligus melantiknya
sebagai Nabi dan Rasul. Alquran seperti yang ada di tangan kita pertama kali turun di tempat ini dengan peristiwa dahsyat.

Disebut dahsyat karena Nabi didatangi Jibril yang menyampaikan wahyu pertama kali di tempat itu. Nabi pun turun ke bumi
dalam keadaan berkeringat dingin hingga beliau minta untuk diselimuti oleh Khadijah, istrinya, “Zammiluni… zammiluni
(selimuti aku… selimuti aku)!”

Periode
Lamanya para salik melakukan khalwat bermacam-macam. Ada yang melakukannya sekitar tiga hari, seperti dilakukan Nabi
Zakaria yang menahan diri tidak berkata-kata sampai tiga hari (QS Maryam [19]:10).

Ada yang melaksanakannya sebulan penuh, sama panjangnya dengan puasa Ramadhan. Ada yang melakukannya 40 hari
(arba'in), mengikuti kebanyakan praktik para sufi klasik. Ada yang melaksanakannya tiga bulan, seperti yang pernah dialami
Nabi Musa ketika ia "pingsan" selama tiga bulan seusai menyaksikan "Cahaya" ciptaan Tuhannya di Bukit Tursina.

Bahkan, ada yang melaksanakan selama 310 tahun seperti ashhab al-Kahfi. Hal yang jelas khalwat merupakan kegiatan
meditatif yang dilakukan dengan penuh persiapan dan perencanaan, termasuk mengindahkan sejumlah tantangan dan
pantangan yang ada di dalamnya.

Khalwat tidak mesti dipertentangkan dengan aktivitas sosial. Khalwat dalaam arti hidup menyendiri dan mengasingkan diri
dan memutus hubungan sosial adalah bid’ah.

Para Nabi dan sufi selalu memelihara persahabatan (al-shuhbah). Para tokoh sufi pada umumnya memiliki komunitas
tersendiri yang biasa disebut dengan jamaah tarekat.

Dia sendiri bertindak sebagai syekh atau musryid (lihat artikel terdahulu "Antara Syekh dan Mursyid"). Syekh dan mursyid
49
sesekali melakukan kegiatan khalwat bersama murid-murid terbatasnya.

Ketika para salik hanyut di dalam khalwat, jiwa dan kalbu mereka sudah kosong dengan ketakjuban dunia dan dipadati
dengan integritas cinta dan kesucian. Mereka sangat menikmati visi keindahan batin dan diluapi dengan kesucian cinta dan
ketulusan kepada Tuhannya.

Mereka tidak lagi merasakan kejenuhan di dalam berkhalwat. Hanya karena tanggungjawabnya sebagai khalifah, mereka
kembali bergabung dengan keluarga, jamaah, dan masyarakatnya.

Para salikin tetap memiliki aktivitas untuk mensejahterakan keluarga dan masyarakat. Bahkan, tidak sedikit jumlah jamaah
tarekat yang sukses mengembangkan ekonomi yang berbasis jamaah.

Jumlah anggota yang besar merupakan pasar tersendiri bagi unit usaha mereka. Apalagi, mereka yakin bahwa transaksi jual-
beli produk dari dan untuk lingkungan mereka lebih diyakini kehalalan, kebersihan, kesucian, dan keberkahannya.

Filosofi
Filosofi di balik khalwat bermacam-macam. Bahkan, dalam setiap agama juga dikenal adanya kegiatan serupa dengan
khalwat. Suhrawardi dalam bukunya, “Awarif al-Ma'arif”, menjelaskan, ketika Allah SWT menunjuk Adam dan anak cucu-
Nya sebagai khalifah dan menjadikannya sebagai arsitek dunia, yang keberadaannya menjadikan surga makmur, Allah
menciptakan salah satu komposisi Adam dari unsur tanah sesuai dengan keberadaan bumi dan menjadikannya ‘meragi’
selama 40 hari.

Setiap pagi bermakna eksistensi dari suatu kualitas yang menjadi sebab ketertarikannya pada bumi ini.

Setiap ketertarikan menjadi hijab yang menutupi pandangannya dari keagungan keabadian (qidam).

Setiap hijab adalah sebab kejauhan dari alam gaib. Setiap kejauhan adalah sebab kedekatan pada dunia materi hingga saat
hijab itu menutup sepenuhnya dan dunia ini seluruhnya berada dalam diri Adam.

Jika khalwat sedang berlangsung, pada diri seorang salik tercipta suasana ketersingkapan hijab dengan berbagai manifestasi.
Ibarat tempat peleburan logam, dengan nyala api kezuhudan nafsu dilebur, dimurnikan dari segala endapan kotoran,
kemudian cahayanya diindahkan laksanakan cermin. Dengan cermin itu, tampaklah segala sesuatu yang tersembunyi.

Menurut Suhrawardi, khalwat bagaikan himpunan dari segala sesuatu  yang saling bertentangan satu sama lain di dalam nafsu
(nafs) dalam berbagai latihan rohani (mujahadah).
Misalnya membatasi makan dan minum, berbicara terbatas, membatasi diri untuk berkumpul satu sama lain guna
memulihkan konsentrasi penting untuk semua, selalu berzikir, menolak berbagai macam pikiran, dan senantiasa melakukan
muraqabah, yakni kontemplasi disertai dengan rasa takut.

Latihan-latihan yang  bersifat kerohanian (riyadhah) berarti meninggalkan keinginan nafsu dan berbagai syarat dalam
berbagai usaha.

Khalwat dalam tingkatan lebih tinggi, tidak mesti harus mencari tempat dan waktu yang sunyi, sepi, dan menyendiri.

Khalwat dapat dikondisikan seperti halnya di tempat dan waktu yang khusus dan sepi, sungguhpun orang itu di tengah
keramaian masyarakat.

Seseorang bisa menjadikan mobil dan mushala kecil di dalam rumah (zawiyah) sebagai Gua Kahfi atau Gua Hira.

Jika seseorang sudah mengenal dirinya dan memiliki kemampuan menyetel diri dan perasaannya, maka mungkin sambil
menerima tamu, sambil menekuni pekerjaan rutinnya, tetapi pada saat bersamaan ia sedang menghayati keberadaan Allah
SWT.

Rasulullah SAW dalam suatu sirah disebutkan, selama enam tahun turun-naik ke Gua Hira melakukan khalwat, hingga pada
tahun keenam sudah kedatangan tamunya yang berjubah putih di dalam keheningan malam gua itu, yang tak lain adalah
Malaikat Jibril yang membawakan kalam Tuhan berupa wahyu pertama, “Iqra bi ismi Rabbik”, sampai ayat kelima.

Setelah menerima ayat pertama itu, Rasul seakan juga menerima ijazah kemampuan untuk mandiri melakukan khalwat secara
terbuka. Ia tidak perlu lagi naik ke Gua Hira, tetapi di manapun ia berada, hal itu bisa diumpamakan bagai Gua Hira. Bukan
lagi ia mencari Gua Hira tetapi Gua Hira yang mencarinya.

Wahai para pemula pencari Tuhan! Orang yang sudah mengenali dirinya dan sudah mengenali Tuhannya, tidak lagi
bergantung pada tempat dan waktu tertentu. Waktu dan tempat itulah yang mengondisikan diri seperti apa yang di benak
orang itu.

Mungkin orang yang ada di sekitarnya tidak melihat ada tanda-tanda aneh kepadanya. Semuanya terlihat biasa dan normal
saja, namun yang bersangkutan perhatian dan connecting (ketersambungan)-nya tidak pernah terputus dengan Tuhannya.
Semuanya berjalan secara otomatis.
50
Suatu ketika seorang sufi, yang mungkin sudah berstatus wali, menunaikan haji di Padang Arafah, terdengarlah ucapan dari
temannya, “Alangkah banyaknya orang menunaikan ibadah haji dengan menggunakan pakaian ihram putih.”

Sang sufi tiba-tiba nyeletuk, “Saya tidak melihat di sana kecuali kebanyakan di antaranya khimar-khimar berselimut kain
putih.” Orang awam melihatnya sebagai orang berjubah putih, tetapi sang sufi (wali) melihat dengan pandangan spiritual,
orang-orang yang memenuhi Padang Arafah banyak di antaranya seperti manusia berkepala khimar (binatang sejenis kuda)
yang menggunakan pakaian ihram.

Orang-orang yang melakukan suluk, dengan mengamalkan khalwat, sama sekali tidak mengharapkan unsur-unsur ajaib yang
kemudian melekat pada dirinya, karena hal itu boleh jadi akan menjadi hijab baru, yang akan menghalangi mukasyafah
dengan Tuhannya.

Jika ada orang berkhalwat tujuannya untuk memperoleh keajaiban atau keluarbiasaan, maka bisa dipastikan ia bukan salik
yang sejati.

Mungkin bisa disamakan dengan penganut black magic yang harus melakukan pertapaan di tempat-tempat yang sepi selama
berhari-hari sampai ia memperoleh wangsit dari kekuatan gaib, mungkin dari jin atau makhluk spiritual lainnya.

Menurut Suhrawardi, jika ada orang mengaku salik tetapi di dalam jiwa dan pikirannya terbetik keinginan untuk memperoleh
kekhususan secara misteri atau untuk memperoleh kekuatan gaib, maka sesungguhnya orang itu penipu yang berkedok sufi
atau salik.

Jika di kemudian hari ia memperoleh kekhususan, maka ia akan berubah menjadi manusia sakti yang dipuji oleh orang
banyak dan ia pun larut dengan pujian itu. Ia dikhawatirkan akan menjadi manusia sombong dan angkuh.

Para salikin yang sejati sekali saja ia terlintas di dalam pikirannya hal-hal yang sedemikian itu maka ia langsung
memperbaharui wudhunya, hingga ia kembali ke dalam suasana batin yang jernih, bersih, dan tulus. Itulah sebabnya, sebelum
memulai khalwatnya terlebih dahulu ia membaca dan menghayati sebuah doa yang diajarkan Alquran.

"Ya Tuhanku, masukkan aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkan aku dengan cara keluar yang benar pula). Dengan
anugerah-Mu dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong-Ku." (QS al-Isra’ [17]: 80).

Ketika ia menuju bilik khalwat dan berdiri di atas sajadahnya maka ia melanjutkan sebuah doa: “Dengan nama Allah, dengan
Rahmat Allah, segala puji bagi Allah, dan salam bagimu ya Rasulullah. Ya Allah, ampunilah do sa ku dan bukakan pintu
rahmat-Mu bagiku.”

Sebelum memulai shalat ia selalu membaca: Ilahi anta maqshudi waridhaka mathlubi, a’thini mahabbataka wa ma’rifataka
(Tuhanku, hanya Engkau yang menjadi tujuanku dan ridha-Mu yang menjadi dambaanku, anugerahkanlah cin ta dan makrifat
[pengetahun]-Mu).

Terkadang juga diawali dengan membaca surah an-Nas untuk memohon perlindungan Tuhan agar tidak diganggu oleh iblis
dan setan. Setelah itu, mereka memulai shalat. Shalatnya lama karena sujud dan rukuknya juga lama. Ia mencontoh
Rasulullah jika shalat sendirian di malam hari panjang sujudnya sama lamanya jika kita membaca surah al-Baqarah.
Subhanallah.

Selama menjalankan khalwat, para salikin betul-betul mengondisikan diri sebagai salik sejati.

Ia berusaha menjadi hamba yang berusaha menyucikan pikiran dan hatinya karena ia sadar hanya dengan demikian makrifat
akan diraihnya.

Tanpa makrifat, tidak mungkin seseorang bisa mencapai puncak pencarian dan sekaligus puncak perjalanan spiritualnya.
Jalan salik seperti ini sesuai dengan isyarat dalam Alquran:

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu
yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-
Hikmah (As- Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS al-Baqarah [2]:151).

Dalam ayat ini ditegaskan, sebelum memasuki wilayah pencarian (ta’lim), terlebih dahulu dilakukan penyucian diri
(tazkirah). Seolah-olah tidak ada ta'lim tanpa tadzkirah.
  
Setelah menyucikan diri dengan cara, antara lain, mandi tobat, shalat sunah tobat, membaca sejumlah doa-doa awal
sebagaimana disinggung dalam artikel terdahulu, barulah kita memasuki inti khalwat.

Menurut Suhrawardi dalam “Awarif al-ma'arif”, selama dalam menjalani khalwat, seorang salikin harus memenuhi tujuh
ketentuan, yaitu: Pertama, selalu mempertahankan wudhu agar tidak batal.

Bagi para salikin, wudhu memegang peranan penting. Sungguhpun tidak batal secara fikih, tetapi jika ia menemui kesulitan
51
untuk fokus karena terganggu oleh sejumlah makhluk atau urusan dunia, ia disarankan memperbarui wudhunya.

Secara neurologi juga dibuktikan oleh Prof.Baron Omar Rolf Ehrenfels, seorang neurolog mualaf yang meneliti tentang
pengaruh air wudhu di dalam penciptaan stabilitas neurologi. Ia mengungkapkan, pusat kesadaran saraf manusia tersimpul
pada tiga bagian anggota badan, yaitu daerah muka, tangan, dan kaki.

Jika orang akan menciptakan kesadaran dan pemusatan pikiran atau khusyuk, sebaiknya membasuh air segar ketiga pusat
kesadaran tersebut.

Kekuatan fisik dan sugesti air wudhu bisa menurunkan intensitas frekuensi gelombang otak dari beta ke alfa, bahkan teta.
Kekhusyukan itu terjadi di dalam suasana alfa ketika gelombang frekuensi otak menjadi lamban atau tenang.

Mungkin inilah sebabnya para mursyid selalu menyarankan para muridnya untuk selalu memelihara dan memperbarui
wudhunya.

Kedua, selalu dalam keadaan berpuasa agar segenap waktunya di dalam menjalani riyadhah itu dipenuhi dengan berkah
Tuhan. Puasa bagi para salikin bukan hanya mengosongkan perut dari makanan dan minuman serta tidak melakukan
hubungan suami istri, melainkan mengosongkan pikiran dari kecenderungan nafsu biologis dan daya tarik duniawi lainnya.

Puasa seperti ini membuat tubuh, pikiran, dan perasaan menjadi ringan. Puasa menciptakan sistem cahaya dan pencerahan
pikran dan kalbu yang sangat efektif. Puasa sering juga dimaknai mencontoh sifat Tuhan sebagaimana disebutkan dalam
Alquran: Huwa yuth'im wala yuth'am (memberi makan, tetapi tidak makan) dan Walam takun lahu shahibah (dan tidak
mempunyai pasangan).

Puasa mendidik jiwa dari mukhlis menjadi mukhlas, dari shabir ke mashabir, dan dari syukur menjadi syakur.

Selama menjalani khalwat, kita diminta membatasi makan dan disarankan tidak mengonsumsi sejumlah makanan dari yang
bisa membahayakan tubuh, maksimum yang bisa kita makan ialah satu rithl, setara dengan 0,454 kg. Perut yang kekenyangan
sulit mendapatkan rasa thuma'ninah (ketenangan).

Karena itu, mengontrol porsi dan tentunya juga kalori sangat penting, bukan hanya para salikin, melainkan kepada manusia
secara umum. Rasulullah selalu mencontohkan ia makan pada saat lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.

Ternyata, energi dan kesadaran puncak bagi manusia ketika ia tidak dalam keadaan lapar atau kenyang. Kelaparan membuat
badan menjadi lemah dan gemetar serta membuat badan lebih tambun, malas, dan mengantuk.

Semua orang menyesali diri di hari kemudian, tetapi yang paling besar tingkat penyesalannya ialah orang yang banyak tidur
dan panjang angan-angan.

Menurut Suhrawardi dalam “Awarif al-Ma’arif”, selama dalam menjalani khalwat, seorang salikin harus memenuhi tujuh
ketentuan.

Pertama, ialah mempertahankan wudhu dan kedua ialah menjaga puasa sebagai bentuk riyadhah. Keduanya telah dikupas
dalam artikel sebelumnya.

Ketiga, membatasi tidur, terutama pada malam hari karena malam itu berkah menurut Alquran. Kebangkitan energi spiritual
sangat intensif pada malam hari.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel terdahulu bahwa malam itu memilki kekuatan spiritual. Allah SWT
memperjalankan hamba- Nya dalam Isra Mi’raj pada malam hari (lailan), bukan pada siang hari (naharan).

Wahyu yang pertama kali diturunkan sekaligus melantik Muhammad SAW menjadi Nabi diturunkan pada malam hari di
sebuah gua yang sepi di luar kota (Gua Hira).

Kedahsyatan malam hari juga digambarkan Tuhan dalam Alquran, “Dan pada sebahagian malam hari shalat tahajudlah kalian
sebagai suatu ibadah tambahan bagi kalian: mudah-mudahan Tuhan kalian mengangkat kalian ke tempat yang terpuji.” (QS
al-Isra’ [17]: 79).

Dalam ayat lain juga disebutkan, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon
ampun (kepada Allah).” (QS al-Dzaariyaat [51]: 17).

Kehebatan malam hari di ungkapkan oleh Imam Syafi’I, “Man thalab al-ula syahir al-layali (barang siapa yang mendambakan
martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam).” Kata al-layali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan
Tuhannya.

Mungkin itulah sebabnya hampir semua shalat disyariatkan pada malam hari, seperti shalat Maghrib, Isya, tarawih, tahajud,
lail, witir, fajr, dan Subuh. Pada siang hari hanya ada Dzuhur dan Ashar ditambah dhuha. Allah Mahatahu kalau hamba-Nya
lebih gampang khusyuk pada malam hari daripada siang hari.
52
Malam hari memang menampilkan kegelapan, tetapi bukankah kegelapan malam itu menjanjikan keheningan, kesenduan,
kepasrahan, kesyahduan, kerinduan, kepasrahan, ketenangan, dan kekhusyukan?

Suasana batin seperti ini amat sulit diwujudkan pada siang hari. Seolah-olah yang lebih aktif pada siang hari ialah unsur
rasionalitas dan maskulinitas kita sebagai manusia dan ini mendukung kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Sedangkan, pada malam hari yang lebih aktif ialah unsur emosional-spiritual dan femininitas kita dan ini mendukung
kapasitas kita sebagai hamba (abid). Dua kapasitas manusia ini menjadi penentu keberhasilan hidup seseorang.

Sehebat apa pun prestasi sosial seseorang, tetapi gagal membangun dirinya sebagai hamba yang baik, itu sia-sia. Hal yang
sama juga terjadi sebaliknya.

Keempat, membatasi tidur. Banyak tidur berarti memanjakan badan. Orang-orang yang banyak tidur termasuk menyia-
nyiakan karunia hidup yang diberikan Tuhan. Allah banyak menyindir orang yang banyak tidur dengan mengungkapkan diri-
Nya di dalam beberapa ayat, termasuk dalam Ayat Kursi bahwa Tuhan tidak pernah tidur.

Nabi juga dalam beberapa riwayat mengungkapkan sedikit sekali jam tidurnya. Demikian pula, para sufi dan wali selalu
membatasi jam tidurnya untuk memberi waktu bagi dirinya berlama-lama dengan Tuhannya.

Semua orang menyesali diri di hari kemudian, tetapi yang paling besar tingkat penyesalannya ialah orang yang banyak tidur
dan panjang angan-angan. Rasulullah menegaskan larangannya untuk tidak boleh tidur sesudah shalat Subuh dan sesudah
shalat Ashar.

Kelima, membatasi bicara, yakni memelihara lidah untuk tidak banyak mengumbar kata-kata duniawi. Suara lebih banyak
digunakan untuk berzikir dan membaca Alquran. Bicara kosong apalagi mencela, memaki, marah, berbohong, dan memfi
tnah harus dijauhi para salikin, apalagi ketika dalam keadaan sedang berkhalwat.

Rasulullah pernah menegaskan, “Barang siapa yang percaya kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah berkata benar
atau lebih baik diam.”

Ketika dalam suasana khalwat sedapat mungkin membatasi diri untuk tidak membual dan banyak ketawa.

Justru yang paling baik dilakukan ialah mengedepankan susana batin khauf (takut) daripada pengharapan (raja’).

Kalau perlu lebih banyak menangis dan melakukan muhasabah, membayangkan, dosa dan kekeliruan hidup yang dilakukan
di masa lampau.

Keenam, menafikan dari berbagai pikiran karena pikiran yang aktif akan menyedot energi sehingga cepat lapar dan dahaga.
Berpikir sejam dalam arti mengerahkan olah nalar sama dengan mencangkul sawah setengah hari.

Akan tetapi, melakukan riyadhah berjam-jam tidak menyedot energi. Begadang semalam di atas sajadah melakukan
tadzakkur tidak menyedot energi sehingga di siang hari tidak mengakibatkan efek mengantuk dan loyo.

Bandingkan kalau berpikir semalaman sekujur badan lelah di siang hari dan pasti mengantuk. Riyadhah dan mujahadah di
dalam khalwat justru bisa menyembuhkan sejumlah penyakit, baik penyakit fisik maupun psikis, karena kita dalam posisi
plong tanpa beban. Apalagi jika khalwat dilakukan di tempat sepi, sejuk, dan bebas dari polusi.

Ketujuh, beramal terus-menerus tanpa henti-hentinya. Ini dilakukan dalam suasana khalwat. Mungkin ini diatur waktu dengan
baik. Di siang hari banyak berinteraksi dengan masyarakat setempat atau berbuat baik merawat dan bersahabat dengan
lingkungan hidup, seperti banyak menanam dan memupuk pohon dan tanaman.

Melakukan tadabur alam, membaca ayat-ayat alam semesta sambil menambah kedekatan diri dengan sesama makhluk. Di
malam hari melakukan takhannus dan tadzakkur di atas sajadah. Seusai menjalani khalwat, muncul etos kerja baru yang
ikhlas dan lebih produktif.

Ketika “turun gunung”, selesai melakukan khalwat secara formal, khalwat secara informal terus dilakukan. Khalwat informal
tidak perlu lagi mengasingkan diri di sebuah tempat dan dalam waktu yang khusus, tetapi di mana pun dan kapan pun spirit
khalwat melekat dalam hati dan pikiran kita.

Orang seperti ini akan mengakhiri hidupnya di dalam “Gua Hira”, “Gua Kahfi ”, atau di “Depan Ka’bah”. Mereka dijemput
kehadirannya di alam Barzakh oleh para malaikat penjaga surga.

Mengasah Telinga Batin (Sama’)


Aktivitas sama’ di dalam praktik tasawuf merupakan suatu hal yang lazim. Hampir semua praktisi tasawuf mencintai suara
merdu dan irama indah.

Mengasah telinga batin jarang dibicarakan. Yang selama ini banyak kita bicarakan ialah mempertajam mata batin.
53
Padahal, organ tubuh dan pancaindra yang paling pertama menyaksikan langsung suara Tuhan yang Mahalembut dan
Mahaindah ialah pendengaran kita. Itulah sebabnya telinga selalu disebutkan sebagai urutan pertama di dalam penyebutan
indra-indra kita di dalam Alquran.

Lihat, misalnya, dalam ayat, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al- Israa’ [17]:
36).

Latihan membuat telinga batin sensitif yang biasa disebut sama’ atau di Turki dikenal shema dapat dilakukan dengan
berbagai cara, antara lain, menghayati sebuah lagu atau irama tertentu melalui pendengaran. Aktivitas sama’ di dalam praktik
tasawuf merupakan suatu hal yang lazim.

Hampir semua praktisi tasawuf mencintai suara merdu dan irama indah. Jalaluddin Rumi, seorang sufi seniman, menciptakan
model tarekat dengan memadukan lagu, irama, dan gerak yang lebih dikenal dengan sema’ atau Whirling Dervishes. Para
praktisi sufi di dalam dunia sunni pun juga akrab dengan sama’.

Bahkan, Imam al-Gazali menyuguhkan satu bab khusus tentang kedudukan seni (religius) dalam Islam. Dalam bab itu, ia
menyatakan, orang yang tidak memiliki jiwa dan rasa seni dikhawatirkan hatinya kering dan perilakunya kasar. Karena itu,
hampir semua sufi mencintai seni, bahkan di antara mereka banyak yang menjadi praktisi seni.

Agak berbeda dengan umumnya ulama fikih, tidak begitu akrab de ngan sama’ atau seni pada umumnya karena dianggapnya
bid’ah yang tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW. Bahkan, ada yang mengatakan, bunyi-bunyian seperti seruling
(mazamir) adalah pemanggil setan dengan mengutip hadis Rasul yang merespons negatif sejumlah irama musik dan bunyi-
bunyian dengan mengatakan pemanggil setan.

Namun, dalam beberapa riwayat juga menyebutkan, Rasulullah mencintai seni, bahkan Nabi juga seniman, minimal pencinta
seni. Dalam artikel terdahulu, “Sufi dan Seni” sudah pernah dibahas secara khusus.

Sama’ sangat berarti membantu dirinya untuk lebih fokus kepada suasana batin yang diinginkan.

Setidaknya, ada lima manfaat sama’ bagi para salikin: Pertama, melalui sema’, yaitu menyimak dan menghayati lagu dan atau
irama tertentu mereka dapat melembutkan jiwanya yang keras, meluruskan pikirannya yang selama ini sering bengkok,
membersihkan dan memutihkan hati yang selama ini kotor.

Seni musik merdu dan indah dapat menggiring seseorang untuk melupakan kesedihan, kepenatan, dan kegundahan hidup
akibat kekecewaan demi kekecewaan yang mendera dirinya. Sama’ bisa menemukan kembali jati diri seseorang yang telah
hilang.

Kedua, para salikin dapat men jadikan sama’ sebagai sarana untuk membuka hijab-hijab yang selama ini muncul sebagai
akibat lamanya ia berpisah dengan Tuhannya.

Melalui sama’ hati dan pikiran seseorang bisa terketuk untuk membuka lebarlebar perhatiannya kepada Tuhan melalui
penyimakan syair dan lagu atau irama yang feminin. Perlahan-lahan, ia merasa ringan dan tenang perasaannya saat
menghayati sama’ yang mengetuk dinding-dinding kalbunya.

Ketiga, kalangan salikin saat menghayati sama’ mendengarkan kembali komitmen spiritual yang pernah ia ikrarkan kepada
Allah SWT. Hampir setiap orang pernah menyesali perbuatan buruknya sambil berikrar untuk meninggalkan dunia hitam dan
gelap itu lalu kembali ke jalan yang benar.

Namun, dalam perjalanan hidupnya kemudian kembali terjerumus lagi. Melalui sama’ ikrar dan komitmennya bisa diperbarui
kembali dengan menjalani kehidupan baru yang bebas dari noda dan dosa.

Keempat, ketika para salikin berada di dalam majlis sama’, ketika itu mereka berusaha untuk mencontoh sahabat-sahabat
spiritual dan para mursyidnya yang tanpa beban penuh perhatian dan fokus menghayati sebuah irama lagu dan musik yang
mengandung nasihat-nasihat luhur.

Dalam hati kecil para salikin, terbersit keinginan untuk menjadi mursyid walau hanya di tengah keluarganya sendiri yang
amat terbatas.

Kelima, kalangan salikin dapat menjadikan tradisi sama’ untuk menjadikan telinganya lebih sensitif terhadap pesan-pesan
Tuhan. Bunyi-bunyi halus di berbagai tempat bisa dimaknai sebagai pesan yang mata berharga bagi manusia.

Kita perlu mengingat, sebagian wahyu yang diterima Rasulullah berupa bunyi-bunyi lonceng, lalu Rasul menerjemahkannya
ke dalam bahasa visual. Inilah wahyu paling sulit diterima Rsulullah, sehingga Aisyah pernah berkata, wahyu paling sulit
diterima suaminya tersebut ialah dalam bentuk bunyi lonceng.

54
Terkadang, saat musim dingin Rasulullah berkeringat lantaran ia harus menerjemahkan dengan baik suara-suara lonceng yang
disampaikan oleh Jibril.

Sudah saatnya seni dijadikan media dakwah untuk mengajak orang berhati lembut, berpikiran lurus, berperilaku santun,
bertutur kata halus, dan menampilkan jati diri serta inner beauty setiap orang.

Bagi telinga yang sudah sensitif, bunyi-bunyian alam sesungguhnya tidak lain adalah sama’ bagi para salikin. Apa pun yang
didengar telinga sesungguhnya itu adalah musik makrokosmos, musik alam raya.

Bunyi deru ombak di laut, gemercik air sungai, gesekan dedaunan, dan nyanyian burung-burung malam, serta suara guntur
pun semuanya menyampaikan pesan. Para salikin harus membiasakan telinganya untuk lebih sensitif menerima suara-suara
yang tidak melalui gendang-gendang telinga, melainkan langsung ke pusat saraf mereka.

Penghayatan terhadap setiap suara, kemudian dirasakan bagaikan irama musik indah merupakan karunia dari Allah SWT.
Dalam salah satu ayat pernah disebutkan, “Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Fathir
[35]: 1).

Dalam kitab “Tafsir Fakhr ar-Razi” dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan keutamaan tambahan pada ayat ini ialah suara
yang bagus (as-shaut al-hasan).
Nilai-nilai keindahan dan kebaikan mendapatkan tempat yang positif di dalam Alquran, seperti diisyaratkan dalam surah al-
A’raf ayat 32, “Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan- Nya untuk hamba-
hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?”

Sindiran Alquran terhadap suara yang tidak memiliki unsur keindahan dan dianggap kasar ialah suara keledai. Ini seperti
dinyatakan dalam Surah Luqman ayat 19, “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” Suara keledai terkenal
keras dan tidak beraturan.

Agaknya, memang seni dan musik tidak banyak disinggung di dalam Alquran. Tetapi, Alquran itu sendiri melampaui karya
seni terbaik sekali pun. Baik pada masa turunnya mau pun zaman-zaman sesudahnya.

Salah satu kemukjizatan Alquran ialah keindahan dan ketinggian nilai seni sastra dan bahasanya yang amat menakjubkan.

Selain Alquran, juga ditemukan beberapa hadis yang menerangkan bahwa musik dan seni suara mempunyai arti penting
dalam kehidupan manusia.

Para nabi yang diutus oleh Allah semuanya memiliki suara yang bagus, sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan
oleh Tirmizi dan Qatadah, “Allah tidak mengutus seorang nabi melainkan suaranya bagus.”

Rasulullah dalam beberapa riwayat memberikan dukungan terhadap musik dan seni suara, antara lain, cerita Aisyah tentang
dua budak perempuan pada hari raya Id (Idul Adha). Keduanya menampilkan kebolehan bermain musik dengan menabuh
rebana, sementara Rasulullah bersama Aisyah menikmatinya.

Abu Bakar tiba-tiba datang dan membentak kedua pemusik itu, lalu Rasulullah menegur Abu Bakar dan berkata, “Biarkanlah
mereka berdua, hai Abu Bakar karena hari-hari ini adalah hari raya.”

Riwayat lainnya Aisyah pernah berujar, “Aku melihat Rasulullah menutupiku dengan serbannya, sementara aku menyaksikan
orang-orang Habsyi bermain di masjid.”

“Lalu, Umar datang dan mencegah mereka bermain di masjid. Kemudian, Rasulullah berkata, ‘Biarkan mereka, kami jamin
keamanan wahai Bani Arfidah’.” Kedua hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang tidak bisa diragukan
keshahihannya.

Dalam lintasan sejarah dunia Islam, seni musik merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban Islam yang terus
dikembangkan.
Sudah saatnya juga seni musik dan berbagai bentuk seni lainnya dijadikan media dakwah untuk mengajak orang berhati
lembut, berpikiran lurus, berperilaku santun, bertutur kata halus, dan menampilkan jati diri serta inner beauty setiap orang.

Orang yang rajin mengikuti sama’ diharapkan memiliki kepekaan telinga batin yang dapat menerima suara-suara batin untuk
pencerahan umat manusia. Kita teringat, Wali Songo juga akrab dengan seni dalam memperkenalkan Islam di lingkungan
kerajaan dan masyarakat.

Sama' yang pertama kali didengar manusia ialah suara Tuhan.

Ketika onggokan atom-atom yang membentuk diri manusia di dalam rahim ibunya, sebelum ruh suci ditiupkan ke dalam
dirinya, maka Tuhan terlebih dahulu bertanya kepadanya dalam suatu pertanyaan dan sekaligus perjanjian primordial azali
(mitsaq):

“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Lalu, sang janin terpesona mendengarkan suara indah nan merdu itu sambil menjawab,
55
“Sudah pasti (Engkau Tuhanku), kami jadi saksi.” (alastu bi rabbikum qalu bala syahidnai) (QS al-A'raf [7]:172).
  
Ketika orang dalam suasana tenang, dalam keadaan bersih, sebersih janin yang tersimpan di dalam tempat paling aman
(qararin makin), pada saat itu suara-suara indah dan lembut (sama') yang pertama kali pernah ia dengarkan tiba-tiba muncul
kembali.

Suara-suara lembut itulah yang dicari para salikin. Sama' itu terkadang disuarakan oleh gemericik air sungai, deru gelombang
laut, gesekan dedaunan, dan suara-suara alam lainnya.

Suara-suara itu juga terkadang dilagukan oleh bunyi jangkrik dan kicauan burung malam. Suara indah nan lembut itu
terkadang muncul di balik gesekan biola, tiupan seruling senja, petikan halus kecapi, dan tabuhan lembut rebana serta
lantunan tilawah dan shalawat Nabi.

Suara-suara lembut itu dipastikan akan diperdengarkan kembali kepada para hamba pilihan-Nya, ketika Ia memanggil
kekasih-Nya dengan penuh kemesraan, “Wahai kekasihku pemilik jiwa yang tenang, kembalilah ke pangkuan Tuhanmu
dengan hati tenang dan tenteram, di dalam dekapan keridhaan-Ku, bergabunglah dengan para kekasih-Ku yang lain,
masuklah ke dalam ketenangan syurga-Ku.” (QS al-Fajr [89]: 27-30).

Para salikin berani melepaskan segalanya demi menggapai sama', suara-suara indah nan lembut itu. Mereka berusaha
mengondisikan diri tidak sekadar seperti berada di dalam gua Hira atau gua Kahfi, tetapi jika mungkin seperti ketika berada
di dalam rahim ibu.

Bila di masa janin ia berada di dalam rahim ibu mikrokosmos, sang ibu biologis, sekarang ia berada di dalam rahim ibu
makrokosmos, sang ibu pertiwi. Jika di dalam rahim mikrokosmos ia mendengarkan sapaan lembut Tuhan, hal yang sama
juga dialami di dalam rahim makrokosmos.

Itulah sebabnya para salikin dan ahli khalwat sering menangis membaca Alquran. Terutama ketika membaca ayat: Ya
ayyuhal ladzina amanu (Wahai orang-orang yang beriman). Sapaan itu mengingatkannya pada sapaan awal dalam zaman zali
di rahim mikrokosmos.

Talbiyah
Labbaika Allahumma labbaik, labaika lasyarika laka labbaik, innal hamda wan ni'mata laka wal mulk la syarika laka!

Lantunan talbiyah ini dilantunkan dengan suara-suara hati yang sangat mendalam. Ibarat ungkapan rindu dendang seorang
kekasih terhadap Sang Kekasih Yang Mahatunggal di samping rumahnya, Baitullah.

Suara-suara hati ini diungkapkan sambil berputar, bertawaf, memutari rumah Sang Kekasih yang tak pernah jauh dari-Nya.
Sesekali tangan membasuh air mata kerinduan yang tak tertahankan mengucur di kedua pipinya. Betapa tidak sekian lama ia
merindukan untuk pulang ke kampung halaman spiritualnya, pada akhirnya telah sampai juga.

Di depan maqam Ibrahim ia tersungkur dengan pasrah. Seolah ia terlahir kembali dan berada di dalam belaian Sang Maha
Pengasih. Mulut tidak bisa lagi berucap, mau minta apalagi jika Sang Pencipta surga membelainya, dan mau memohon
perlindungan apa lagi di dalam genggaman erat Sang Mahapengaman (al-maula).

Kalangan salikin tidak tahan mendengarkan suara azan. Begitu mendengar suara azan, dia rindu akan suara-suara suci itu.
Apalagi jika muazin melantunkan hayya 'alal falah (Mari kita meraih keberuntungan).

Suara azan, pengajian ayat suci, shalawat Nabi, dan lantunan asmaul husna membuatnya merinding dan terkadang
mengucurkan air mata kerinduan, seolah suara-suara itu adalah suara-Nya yang ia dengar di zaman azali.

Inilah yang dilukiskan dalam Alquran: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal”. (QS. al-Anfaal [8]: 2).

Sama' yang betul-betul menyentuh batin dapat menyebabkan tangisan kerinduan yang meluap (buka' al-wajd).

Sebuah tangisan yang terjadi ketika cahaya cemerlang menyinari sekujur relung-relung tubuh ketika haqqul yaqin memuncak
di dalam senubari sang salik.

Bagaimana tidak menangis jika kualitas spiritual seseorang mencapai puncak keterpesonaan dengan Sang Kekasih.

Ia seperti terapung-apung di antara dunia keabadian (qidam) dan dunia kebaruan (huduts). Dia laksana melepaskan rindu
dendam yang sekian lama terbelenggu di dalam hati, tiba-tiba menemukan (wajid) keinginannya.

Fenomena buka al-wajd adalah fenomena awal bagi para salikin. Para salikin senior dan sudah sering mengalami hal
(terminal spiritual) tidak lagi menunjukkan ekspresi buka al-wajd, tetapi berusaha untuk mengendalikan diri agar suasana
batin yang dirasakan itu bisa lebih permanen dan berkelanjutan (maqam).

56
Jika pengalaman batin masih dalam keadaan hal, masih bersifat temporer. Namun jika sudah menjadi maqam, sudah menjadi
permanen.

Orang yang sudah sampai di tingkat maqam, apa pun yang didengar, siapa pun yang memperdengarkan, dia akan
menikmatinya bagaikan indahnya kicauan suara-suara alam. Rasulullah sekalipun dimaki dan dibentak ia meresponsnya
dengan senyum.

Majelis-majelis sama' biasanya dilakukan secara reguler dengan penuh persiapan batin, baik oleh para pendengar maupun
yang bertugas untuk melantunkan irama nasyid. Majelis sama' bukan arena pertunjukan kesenian, melainkan ritual
keagamaan bagi mereka yang ingin mendekatkan diri lebih dekat dan sedekat-dekatnya kepada Allah.

Pembawa nasyid atau pelaku sama' tidak boleh memiliki niat lain selalin membantu para salik menemukan sesuatu yang
dicarinya dalam sama'. Ucapan-ucapan yang dikeluarkan harus berdasarkan atas kebenaran wahyu Alquran dan hadis.
Tidak boleh menyampaikan hadis palsu (maudhu), sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah yang bukan darinya. 

Mengasah Mata Batin (Bashirah)


Mata batin yang tajam hanya mungkin dimiliki oleh orang yang betul-betul mencapai tingkat kedekatan khusus dengan Allah
SWT, seperti yang dialami para nabi dan para wali (auliya).

Sebagaimana halnya telinga batin (sama’), mata batin (bashirah) juga membutuhkan pengasahan supaya bisa melihat lebih
tajam dan mampu melihat sesuatu yang sulit diamati oleh mata kepala.

Mata batin yang lebih tajam bisa melihat dan menyaksikan hal-hal yang gaib. Untuk mengasah mata batin, diperlukan juga
berbagai latihan, seperti halnya ketika kita mengasah telinga batin.

Orang-orang yang rajin melakukan mujahadah, riyadhah, muraqabah, dan berbagai bentuk pendekatan diri lainnya kepada
Allah SWT, maka dapat menyingkap seluruh tabir (hijab) yang menghalangi seseorang untuk melihat dan menyaksikan
sesuatu yang gaib.

Para salikin yang sudah mampu membuka tabir lalu menyingkap kegaiban maka ia sudah berada di tingkat mukasyafah, suatu
prestasi spiritual yang mampu menyingkap rahasia dan alam gaib.

Menyaksikan sesuatu yang gaib sesungguhnya biasa dijelaskan dan tidak perlu kita ragu. Karena, hampir semua orang pernah
mengalami mimpi. Mimpi itu sesungguhnya adalah salah satu bentuk penyaksian sesuatu yang gaib. Hanya saja mimpi
kebanyakan hanya bunga-bunga tidur, seperti yang sering dialami banyak orang.

Yang dimaksud mengasah mata batin dalam hal ini bukan latihan untuk meningkatkan frekuensi kejadian mimpi, tetapi
bagaimana meningkatkan tingkat kesadaran kita bisa mencapai derajat yang lebih tinggi. Dan, menyebabkan mata batin kita
menjadi lebih sensitif.

Penglihatan mata batin ada persamaannya dengan mimpi, tidak bisa diidentikkan dengan mimpi biasa. Mimpi biasa (al-hilm)
bisa dialami oleh semua orang tanpa dibedakan tingkat kesadaran spiritualnya.

Mata batin yang tajam hanya mungkin dimiliki oleh orang yang betul-betul mencapai tingkat kedekatan khusus dengan Allah
SWT, seperti yang yang dialami para nabi dan para wali (auliya). Nabi pernah menjelaskan hal ini dengan berujar, “Mimpi
baik berasal dari Allah SWT dan mimpi buruk dari setan.” (HR Bukhari).

Dalam kitab-kitab tasawuf, cerita tentang ketajaman mata batin sering ditemukan. Sebagai contoh, suatu ketika Imam al-
Ghazali (1058-1111 M) ditanya muridnya, “Mengapa engkau sering mengutip hadis-hadis ahad (tidak populer) di dalam kitab
Ihya’ Ulumuddin?”

Lalu, ia menjawab, “Saya tidak pernah menulis satu hadis di dalam buku ini sebelum saya konfirmasikan kepada Rasulullah
SAW.

Bila diteliti selisih masanya, pernyataan al-Ghazali tak wajar. Rasulullah wafat 632 M dan Al-Gazali wafat  1111 M, selisih
479 tahun. Kitab “Ihya' Ulumuddin” merupakan masterpiece al-Ghazali yang ditulis di puncak menara Masjid Damaskus. Ini
adalah berkat mimpi dari al-Ghazali.

Kejadian lain, Ibn al-Arabi (1165-1240 M), seorang sufi besar, ditanya seorang muridnya perihal bukunya, “Fushush al-
Hikam”, yang dirasakan seperti ada misteri. Kata muridnya, “Setiap kali saya baca buku ini, setiap itu pula saya mendapatkan
sesuatu yang baru.”

Lalu dijawab, “Buku itu memang pemberian Rasulullah langsung kepada saya, bahkan judul bukunya pun dari Rasulullah
(khudz hadza kitab Fushuhsh al-Hikam). Padahal, selisih masa hidup Rasulullah dan Ibnu al-Arabi terpaut 608 tahun.

Mata batin ialah kekuatan untuk melihat dan menyaksikan sesuatu yang oleh mata fisik tidak mampu dilihat atau disaksikan.

Dalam kitab “Jami’ Karamat al-Auliya” karangan Yusuf Ismail an-Nabhani (dua jilid), disebutkan, sejumlah wali bisa
57
berkomunikasi lancar dengan Rasulullah SAW atau dengan ulama-ulama besar di zaman jauh sebelumnya melalui kekuatan
“mimpi”.

Bahkan, dikatakan alangkah miskinnya seorang murid (pencari makrifat) kalau gurunya hanya orang-orang hidup.

Cerita-serita semacam ini bisa kita lihat dalam banyak kitab, termasuk karya monumental Yusuf Ibn Ismail an-Nabhani,
seperti telah disebutkan, yang terdiri atas dua jilid dengan menampilkan 695 tokoh yang dikategorikannya sebagai wali.

Banyak hadis shahih yang meriwayatkan keutamaan mimpi berjumpa Rasulullah. Di antara hadis itu, yakni “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi maka dia benar-benar telah melihatku. Sesungguhnya setan tidak dapat menjelma sepertiku.” (HR
Muslim dari Abi Hurairah).

Dalam redaksi lain, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang melihat aku dalam mimpi, maka dia benar-benar melihat sesuatu
yang benar.” (HR Muslim dari Abu Qatadah).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Barangsiapa yang sering berselawat terhadapku, aku tahu dan aku tentu memberikan syafaat
di hari kiamat.” Selain itu dikatakan pula, “Barangsiapa memimpikan aku maka aku akan bersamanya nanti di surga.”

Mimpi berjumpa dengan Rasulullah tentu merupakan dambaan setiap umatnya.  Sejumlah ulama khawas menasihatkan, jika
ingin bermimpi berjumpa dengan Rasulullah maka berdoalah kepada Allah, wujudkan rasa cinta yang sangat mendalam, dan
banyaklah bershalawat terhadapnya.

Mimpi berjumpa Rasulullah memiliki banyak bentuk, mulai dari melihat anggota badan Rasulullah secara samar-samar
sampai menjumpainya secara utuh, bahkan berkomunikasi (batin) dengannya.

Mimpi berjumpa dengan Rasulullah merupakan kenikmatan tersendiri. Bagaimana orang yang selama ini kita cintai dan kita
rindukan tiba-tiba muncul di hadapan kita?

Air mata tak tertahankan dan rasa cinta semakin mendalam. Ada umatnya yang merasa sangat bahagia karena perjumpaannya
dengan Rasulullah bisa dinikmati berulang kali.

Pantas, sekitar 500 sahabat yang hidup bersama Rasulullah dan masing-masing di antara mereka mengesankan, “Akulah yang
paling dicintai Rasulullah”.

Komunikasi dengan orang-orang yang sudah meninggal memang dimungkinkan, antara lain, melalui mimpi. Mimpinya orang
saleh, apalagi ulama yang taat dan bersih, dianggap bagian isyarat dari Tuhan.

Dalam Alquran dapat dipahami bahwa mimpinya para nabi dapat disejajarkan dengan wahyu. Syariat kurban, menyembelih
hewan kurban, yang kita lakukan sampai saat ini pada awalnya adalah mimpi Nabi Ibrahim.

Mata batin ialah kekuatan untuk melihat dan menyaksikan sesuatu yang oleh mata fisik tidak mampu dilihat atau disaksikan.
Jika Tuhan menghendaki maka banyak cara Tuhan untuk memperlihatkan sesuatu yang sulit atau tidak dapat disaksikan
dengan mata kepala.
Di antara cara itu, yakni pertama, mimpi (hilm) yang dapat diakses oleh siapa pun dan hampir semua orang pernah
mengalami mimpi. Kedua, kesadaran tingkat tinggi seorang hamba sehingga dapat menyaksikan yang gaib (waqi’ah).

Ketiga, penyingkapan sesuatu yang gaib (kasyf) kepada kekasih Tuhan. Keempat, penyingkapan imajinasi melalui latihan
olah batin. Kekuatan ruh dan jiwa (nafs) dalam hal ini sangat menentukan. Itu pun bisa diakses oleh siapa pun juga yang rajin
belajar dan melakukan latihan.

58
TENTANG KASYAF
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar*

Kasyaf tidak hanya terjadi pada diri seorang nabi atau rasul yang dibekali dengan mukjizat, tetapi manusia biasa yang
mencapai maqam spiritual tertentu juga bisa menyaksikannya.

Pada suatu hari yang amat panas, Rasulullah SAW berjalan menuju kompleks makam Baqi’ Al-Garqad.

Pada saat itu, sekelompok orang berjalan mengikutinya. Ketika mendengar suara sandal, Rasulullah sadar (kalau ia sedang
dibuntuti). Nabi lalu mempersilakan mereka lebih dahulu.

Ketika mereka berlalu, tiba-tiba ia memerhatikan dua makam baru yang isinya dua laki-laki. Nabi berdiri dan bertanya siapa
orang yang berada di dalam makam ini? Mereka menjawab fulan dan fulan. Mereka kembali bertanya kepada Rasulullah, apa
gerangan yang terjadi dengan makam baru itu?

Rasulullah menjawab bahwa salah seorang di antara keduanya dulu tidak bersih kalau ia membuang air kecil dan yang
satunya selalu berjalan menebar adu domba. Lalu Rasulullah mengambil pelepah daun kurma yang masih basah, sahabat
bertanya untuk apa itu dilakukan? Dijawab oleh Nabi, “Agar Allah SWT meringankan siksaan terhadap keduanya.”

Mereka bertanya lagi, “Sampai kapan keduanya diazab?” Dijawab, “Ini hal yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya selain
Allah SWT. Seandainya hati kalian tidak dilanda keraguan dan tidak banyak bicara, niscaya kalian akan mendengar apa yang
sedang aku dengar.” (HR Ahmad).

Dalam riwayat lain dijelaskan, Hanzalah bin Al-Rabi’Al-Usaidi berkata, “Abu Bakar datang kepadaku lalu bertanya, ‘Apa
yang terjadi dengan dirimu?’ Hanzalah menjawab, ‘Aku telah menjadi seorang munafik’.
Abu Bakar berkata, ‘Subhanallah, kamu berkata apa?’ Lalu, aku jawab, ‘Kita berada di samping Nabi saat Beliau
menjelaskan kepada kita tentang surga dan neraka. Saat itu seolah-olah kita sedang menyaksikan surga dan neraka dengan
mata kepala sendiri. Namun, ketika keluar dari majelis beliau, kita tenggelam dengan urusan anak istri dan hal-hal lain yang
sia-sia, kita banyak lupa’.”

Abu Bakar bertanya, “Demi Allah sesungguhnya kami pun mengalami keadaan seperti itu?” Lalu, Abu Bakar berangkat
hingga kami masuk ke ruangan Rasulullah, saat itu aku berkata, “Hanzalah menjadi seorang munafik wahai Rasulullah!”

Beliau bertanya, “Apa yang terjadi?” Lalu, aku jawab, “Kami berada di samping engkau saat engkau menjelaskan kepada
kami tentang neraka dan surga. Saat itu seolah-olah kami melihat surga dan neraka dengan mata kepala sendiri. Namun,
ketika kami keluar dari sisimu, kami tenggelam oleh urusan anak, istri, dan hal-hal yang sia-sia, kami banyak lupa.”

Lalu, Nabi menjawab, “Demi Zat Yang Maha Menguasai jiwaku, seandainya kalian terus-menerus mengalami apa yang
kalian alami saat berada di sisiku dan terusmenerus berzikir, niscaya para malaikat akan menyalami kalian di tempat-tempat
pembaringan kalian dan di jalan-jalan yang kalian lalui. Hanya saja wahai hanzalah, itu hanya terjadi sewaktu-waktu.” Beliau
mengulang-ulangi perkataan ini tiga kali. (HR Muslim dan Tirmizi).

Dalam riwayat lain juga dijelaskan, sebagaimana diceritakan oleh Imam Bukhari dalam kitab Kitab “Jam’ul Fawaid”. Imam
Bukhari meriwayatkan dari Usaid bin Hudhair, ketika ia membaca Surah Al-Baqarah di malam hari, sementara kudanya
ditambatkan di sampingnya tiba-tiba kudanya meronta-ronta.

Ia menenangkan kudanya hingga tenang lalu melanjutkan bacaannya lagi, kembali kudanya meronta-ronta kemudian kembali
menenangkan lagi. Kejadian ini berulang tiga kali. Ia juga memperingatkan anaknya bernama Yahya agar menjauhi kudanya
agar tidak disakiti.

Usaid menengadah langit dan disaksikan ada naungan yang di dalamnya terdapat pelita besar. Ketika pagi tiba, ia melaporkan
kejadian ini kepada Nabi. Nabi berkata, ‘Bacalah terus (Alquran itu) wahai Usaid!’ diulangi tiga kali. Aku juga menengok ke
langit ternyata aku juga menemukan hal yang sama.

Nabi memberikan komentar, “Itu adalah para malaikat yang mendekati suaramu. Seandainya kamu terus membaca (Alquran)
keesokan paginya manusia akan melihat para malaikat yang tidak lagi menyembunyikan wujudnya dari mereka.”

Ketiga hadis shahih di atas mengisyaratkan adanya penyingkapan (kasyaf), yaitu kemampuan seseorang untuk melihat atau
menyaksikan sesuatu yang bersifat gaib, seperti melihat, mendengar, atau merasakan adanya suasana gaib. Apa yang
disaksikan itu ber ada di luar kemampuan dan jangkauan akal pikiran manusia normal.

Kasyaf tidak hanya terjadi pada diri seorang nabi atau rasul yang dibekali dengan mukjizat, tetapi manusia biasa yang

59
mencapai maqam spiritual tertentu juga bisa menyaksikannya, walaupun sudah barang tentu, kapasitas kasyaf tersebut
berbeda dengan penyaksian yang dialami oleh para nabi atau rasul.

Kasyaf dapat diakses oleh siapa saja yang memiliki kedekatan khusus dengan Allah SWT. Hal itu ditekankan oleh Yusuf ibn
Ismail An-Nabhani dalam karya monumentalnya berjudul “Jami’ Karamat Al-Auliya”.

Dalam kitab yang memuat biografi 695 wali (di luar wali-wali yang muncul di Asia Tenggara) itu, terlihat jelas betapa para
wali rata-rata memiliki kemampuan untuk menggapai mukasyafah.

Termasuk di dalamnya Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Imam Syafi’i. Bentuk kasyafnya bermacam-macam. Sesuai kondisi
objektif kehidupan para wali tersebut.

Rasulullah SAW juga pernah menegaskan, “Seandainya hati kalian tidak dilanda keraguan dan tidak mengajak kalian untuk
banyak bicara, niscaya kalian akan mendengar apa yang sedang aku dengar.”

Dalam hadis lain, sebagaimana dinukilkan dari kitab “Ihya Úlum Al-Din”, Rasulullah berkata, ”Seandainya bukan karena
setan yang menyelimuti kalbu anak cucu Adam maka niscaya mereka akan dengan mudah menyaksikan para malaikat
gentayangan di jagat raya kita.”

Di dalam Alquran juga ada isyarat yang memungkinkan seseorang memperoleh kasyaf. Ada beberapa ayat yang
mengisyarakatkan demikian. Di antaranya, ayat 37 Surah Qaaf. “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia
menyaksikannya.”

Ini diperkuat pula dengan ayat 69 Surah Al-Ankabut. Allah ber firman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan, sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Namun, Ibnu Athaillah mengingatkan kepada kita, jangan sampai lebih mengutamakan mencari kasyaf. Pernyataannya itu
seperti termaktub dalam kitab “Hikam”-nya. Ia berkata, “Melihat aib di dalam batin lebih baik daripada melihat gaib yang
tertutup darimu.”

“Boleh jadi Allah memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib kerajaan-Nya dan menutup kemampuanmu untuk meneliti
rahasia-rahasia hamba-Nya, namun tidak berakhlak dengan sifat kasih Tuhan, niscaya penglihatannya menjadi fitnah baginya
dan menyebabkan terperosok ke dalam bencana.”

Said Hawwa berkomentar dalam bukunya yang berjudul Tarbiyyatuna Al-Ruhiyyah”. Menurut nya, mengedepankan pesan
khusus, jangan sampai kasyaf yang diperoleh malah menjadi hijab tebal bagi yang bersangkutan.

Pernyataan Said Hawwa ini sejalan dengan ayat Alquran, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain per kata an-
perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jika Tuhan mu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya
maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS Al-An’am [6]:112).

Dalam ayat lain disempurnakan, “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami beri kan kepadanya ayat-ayat
Kami (pengetahuan tentang isi Alkitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan
(sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orangorang yang sesat.”

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung pada
dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti an jing jika kamu menghalaunya di
ulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).” (QS al-A’raaf [7] : 175-177).

Ayat di atas memungkinkan seseorang yang sudah menggapai kasyaf, namun mendewa-dewakannya dan menceritakan
kemana-mana pengalaman batin tersebut. Jika muncul perasaan bangga ketika ia mendapatkan pujian dari orang lain maka
kasyaf inilah yang justru akan menjerumuskannya ke bawah.

Sebaliknya, ada pendosa besar jatuh ke bawah tetapi kemudian melenting kembali ke puncak, lantaran bangkitnya
kesadarannya untuk melakukan pertobatan besar, sehingga ia berkeyakinan dosa yang baru saja dilakukannya adalah dosa
terakhir dari seluruh dosa yang pernah dilakukannya.

Jadi, sebuah contoh yang kontras; seorang terjun ke dunia kehinaan lantaran takabur dalam menerima kasyaf. Sebaliknya,
seorang pendosa besar lalu insyaf dan tobat, maka ia memantulkan diri ke atas melampaui tingkatan spiritual sebelumnya.

60
BENARKAH MARYAM SEORANG NABIYYAH?
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Kata nabi berasal dari bahasa Arab. Akar katanya naba’a berarti memberitakan atau memberitahukan, kemudian membentuk
kata al-nabiy berarti orang yang mendapat berita dari Allah (man anba’a ‘anillah), nabi atau pembawa berita.

Kriteria seorang nabi dalam literatur Islam, antara lain, diturunkan kepadanya wahyu melalui perantara malaikat dan memiliki
perbuatan luar biasa (mukjizat) yang bisa meyakinkan masyarakatnya.

Perbedaan antara nabi dan rasul ialah, nabi orang yang memperoleh wahyu dari Allah SWT hanya untuk dirinya sendiri, tidak
wajib disampaikan kepada umat atau masyarakat.

Sedangkan rasul ialah seorang nabi yang memperoleh wahyu dari Allah dan wahyu itu wajib disampaikan kepada umat dan
masyarakat. Dalam hadis sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim dari Abu Dzar berkata, “Berapa nabi secara keseluruhan?
Dijawab, “100.000 nabi”. Sedangkan rasul hanya diperkenalkan 25 orang dalam Alquran.

Istilah yang digunakan Alquran untuk mengidentifikasi seorang nabi atau rasul, antara lain, bisa dipahami secara eksplisit
yaitu Allah menyampaikan wahyu kepada mereka, seperti kata wa auha … (saya wahyukan):

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan
nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak
cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS An-Nisaa’ [4]:163).

Biasa juga digunakan istilah “al-shiddiq” (orang yang amat dipercaya), seperti: ”(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf
dia berseru), “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya’ (al-shiddiq), terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina
yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan
(tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” (QS Yusuf [12] :46).

Seorang Nabi atau Rasul biasanya disertakan kepadanya mukjizat. Mukjizat ialah suatu perbuatan luar biasa (amrun khariqun
lil ‘adah) yang diberikan kepada para nabi untuk meyakinkan dirinya sebagai nabi.

Seperti perahu Nabi Nuh menantang tsunami, Ibrahim tidak terbakar oleh api, Sulaiman memerintah jin, angin, dan binatang
buas, Musa diberikan tongkat ajaib yang bisa membelah lautan, dan Isa menghidupkan orang mati.

Mungkinkah perempuan menjadi nabiyyah?


Dalam beberapa artikel terdahulu dibahas misteri Maryam. Kali ini kita akan mengukur kapasitas yang dimiliki Maryam,
apakah dia memenuhi unsur sebagai seorang ‘nabi perempuan’ (nabiyyah) atau tidak?.

Maryam memiliki berbagai kekhususan. Di antaranya Alquran sendiri memberikan pengakuan bahwa Maryam seorang yang
shiddiqah yang diterjemahkan oleh Alquran terjemahan versi Kementerian Agama dengan “seorang yang sangat benar”:

“Al-Masih putra Maryam hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya
seorang yang sangat benar (shiddiqah), kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan
kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpa ling (dari
memperhatikan ayat-ayat Kami itu).” (QS al-Ma’idah [5]: 75).

Maryam juga memiliki keluarbiasaan, yaitu bisa mengandung dan melahirkan Nabi Isa dalam keadaan perawan suci tanpa
pernah bersentuhan dengan laki-laki, seperti dilukiskan Alquran:

”Maryam berkata, ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun
menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!’. Jibril berkata, “Demikianlah. Tuhanmu berfirman, ‘Hal itu adalah
mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu
adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.’ Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya
itu ke tempat yang jauh.” (QS Maryam [19]: 20-22).

Maryam juga berjumpa dengan Jibril. Bahkan, bukan hanya mengisyaratkan kepadanya wahyu, tetapi meniupkan roh yang
kemudian menjelma menjadi Nabi Isa, kemudian Nabi Isa menjadi kalimat Allah (al-Kalimah), sebagaimana dalam firman-
Nya:

“(Ingatlah), ketika Malaikat berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang
putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang
terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)”. (QS Ali Imran [3]: 45).
61
Kata kalimah dalam ayat ini memiliki banyak sekali interpretasi para ulama dan teolog, sebagaimana yang pernah dibahas
dalam artikel terdahulu, terutama dalam: “Apa Makna Ayat menurut Para Sufi”.

Dalam ayat lain lebih tegas lagi menyebut Maryam “ayat”: “Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara
kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)-nya roh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan
Allah) yang besar bagi semesta alam.” (QS al-Anbiya’ [21]:91).

“Dan telah Kami jadikan (Isa) putra Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan Kami), dan Kami
melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air
bersih yang mengalir. (QS al-Mu’minun [23]: 50).

Setelah kita melihat berbagai keutamaan yang dimiliki Maryam, maka pertanyaan yang mengusik ialah mengapa Maryam
tidak disebut nabiyyah menurut mayoritas ulama? Bukankah semua kriteria kenabian telah dimilikinya?

Pertanyaan yang sama juga muncul kepada sejumlah perempuan utama lainnya seperti Ummi Musa, yang secara eksplisit
disebutkan ia menerima wahyu dari Allah (wa auhaina ila Ummi Musa, QS al-Qashash [28]:7).

Apakah memang perempuan tidak bisa menjadi nabiyyah? Siapa yang mencekal perempuan menjadi nabiyyah, apakah ada
dalil tekstual atau logika, atau budaya misoginis yang sangat kental di dalam tradisi Semit?

Paruh kedua abad 4 H/10 M, Abu Bakar Muhammad bin Mawhab Al-Tujibi Al-Qabri (406 H/1015 M) seorang ulama besar
di Andalusia, Spanyol, pernah mengeluarkan pernyataan kontroversial: perempuan boleh menjadi seorang nabi. Bahkan, tak
segan ia menunjuk sejumlah perempuan sebagai nabiyyah.

Adalah Maryam, satu dari sekian nabiyyah yang ia sebutkan. Pendapat Al-Tujibi ini mendapat respons ulama kala itu. Reaksi
keras muncul dari Abu Muhammad Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far Al-Ashili (392 H/1001 M).

Menurut dia, Maryam bukanlah seorang nabi, melainkan hanya sebagai shiddiqah, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-
Maidah [5]: 75.

Kontroversi ini berkembang luas di Kordoba. Akhirnya, diredam oleh Al-Mansur bin Abi Amir yang secara de facto adalah
penguasa Andalusia di bawah kendali Bani Umayyah. Namun, ia tetap membiarkan adanya kalangan yang mendukung
kenabian Maryam.

Tidak lama kemudian, muncul seorang pemuda cerdas, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm Al-Andalusy (456 H/
1064 M), yang juga mengakui adanya nabi perempuan, sebagaimana bisa dilihat di dalam karya besarnya, “al-Fahslu fi al-
Milal wa al-Ahwai wa an-Nihal”, Juz V dalam sebuah topik khusus, ‘Kenabian Perempuan’ (Nubuwwah al-Mar’ah).

Kontroversi tentang kenabian perempuan di kalangan ulama dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian. Pertama, kelompok
ulama yang menolak kemungkinan adanya nabi perempuan. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama.

Argumentasi mereka, yaitu Surah Yusuf [12]: 109 dan dengan redaksi yang mirip di dalam An-Nahl [16]: 43. Dinyatakan,
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk
negeri.”

Namun, opsi pandangan ini bisa disanggah. Kata al-rijal di dalam Alquran tidak selamanya berarti laki-laki secara biologis.

Kata al-rijal bisa juga berarti gender maskulin (QS Al-Baqarah [2]: 282), orang tanpa membedakan laki-laki atau perempuan
(QS Al-A’raf [7]: 46), nabi atau rasul (QS Al-Anbiya’ [21]: 7), tokoh yang memiliki sejumlah kapasitas (QS Yaasin [36]:
20), dan budak (QS Az-Zumar [39]: 29).

Opsi kedua menganggap adanya kemungkinan nabi perempuan. Pendapat inilah yang didukung Ibnu Hazm, dengan
penjelasan bahwa nubuwwah berasal dari kata inba’, berarti ‘berita atau informasi’.

Nabi adalah orang yang memperoleh informasi dari Tuhan. Informasi ini dibedakan ke dalam beberapa tingkatan, antara lain
informasi berupa wahyu kepada para nabi, ilham kepada para wali, taklim kepada para awam, dan thabi’ah berupa informasi
kepada segenap makhluk, termasuk binatang, sebagaimana halnya lebah (QS aA-Nahl [16]: 68).

Ibnu Hazm membedakan antara kenabian (nubuwwah/prophecy), keraguan (dzann), ilusi (tawaahum/illution),
(kahana/divination), dan astrologi.

Wahyu yang turun kepada seseorang biasanya mempunyai cara atau proses. Pertama, wahyu melalui perantara malaikat Jibril
dan yang kedua wahyu yang turun langsung kepada seseorang tanpa wasilah.

Wahyu yang turun kepada perempuan menurut Ibnu Hazm, antara lain Maryam diberi tahu akan lahirnya seorang bernama
Isa dari rahimnya (QS Maryam [19]: 17- 19, Al-Maaidah [5]: 75, dan Yusuf [12]: 46).
62
Selain Maryam, putra Imran juga dikemukakan ibunda Isa, serta Asiah, putri Muzahim yang juga menjadi istri Firaun
diindikasikan pula sebagai nabi, mengingat intensifnya pemberitaan Alquran tentang figur ideal perempuan tersebut.

Istri Nabi Ibrahim diberi tahu melalui Jibril bahwa dirinya akan memperoleh anak (QS Hud [11]: 71-73). Ibu Nabi Musa yang
diperintahkan oleh Allah agar meletakkan anaknya di sungai dan diberi tahu bahwa anaknya nantinya akan menjadi nabi (QS
Al-Qashash [28]: 7 dan QS Thaha [20]: 38).
Penampakan
Ibnu Arabi (638H/1240) mempunyai pengalaman rohani yang memandang perempuan lebih berpotensi untuk melakukan
penampakan (tajalli/experience of teophany).

Hal ini bisa kita lihat di dalam artikel-artikel terdahulu tentang pendapat Ibnu Arabi soal potensi khusus yang dimiliki kaum
perempuan.

Sebagaimana para sufi lainnya, Ibnu Arabi memberikan penilaian khusus untuk perempuan sebagai pemilik jenis kelamin
utama. Ia pernah berkata di depan para muridnya yang mayoritas laki-laki.

“Jika kalian ingin memperoleh kedekatan khusus kepada Allah SWT, kalian terlebih dahulu harus menjadi perempuan.”
Kepasrahan total dan kesabaran paripurna yang dimiliki perempuan membuatnya mulia di mata-Nya.

Para filsuf, termasuk Fakhr Ad-Din Ar-Razi (606 H/ 1209 M), menganggap perempuan tidak akan pernah menjadi nabi.
Meskipun ada teks yang secara tegas menyatakan adanya pewahyuan terhadap perempuan.

Apa yang terjadi terhadap istri Nabi Musa, hal yang sama juga terjadi terhadap lebah madu, yang secara eksplisit juga
menerima wahyu, wa auha Rabbuka ila an-nahl (QS An-Nahl [16]: 68).

Menurut Ibnu Hazm, yang dimaksud dengan kedua ayat tersebut ialah kerasulan laki-laki, tidak bisa dihubungkan dengan
kenabian perempuan. Bagi Ibnu Hazm, lain nabi lain rasul.

Ibnu Hazm mengakui tidak ada rasul perempuan, tetapi ia juga mengakui adanya nabi perempuan. Ibnu Hazm menganggap
Maryam sebagai nabiyyah meskipun ia bukan sebagai Rasul.

Bagi kita, apakah Maryam itu Nabiyyah atau bukan tidaklah menjadi persoalan penting. Yang paling penting buat kita ialah
Maryam telah menjalankan misi spiritualnya yang teramat penting.

Ia telah mengandung dan melahirkan anak yang terkenal dengan Nabi Isa atau Yesus Kristus menurut agama Kristen. Misi
utama Maryam-Nabi Isa telah berupaya untuk melangitkan manusia setelah dibumikan Hawa-Adam.

63
MENYINGKAP MISTERI MARYAM
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Dalam literatur Islam, baik klasik maupun kontemporer, misteri Maryam masih sangat langka dibahas. Kitab-kitab Tafsir pun
jarang menyingkap lebih jauh siapa sesungguhnya Maryam.

Padahal, di dalam Alquran, Maryam dijadikan sebagai sebuah nama surah dengan 98 ayat. Maryam lebih banyak dijelaskan
sebagai ibunda Nabi Isa AS—nabi yang lahir tanpa bapak.

Peristiwa hamilnya Maryam tanpa pernah disentuh laki-laki cenderung diselesaikan dengan menyerahkan kepada
kemahakuasaan Allah SWT, padahal ada sejumlah ayat menyatakan proses dan peran malaikat Jibril, seperti:

“Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia
menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, “Sesungguhnya aku berlindung
daripadamu kepada Tuhan Yang Mahapemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.” (QS. Maryam: 17-19).

Dalam tulisan ini tidak akan dikaji sudut pandang biologis Maryam dengan proses dan peran Jibril yang kemudian
melahirkan Nabi Isa, akan tetapi tulisan ini akan mengkaji sudut pandangan esoteris kehadiran Maryam yang kemudian
melahirkan Nabi Isa As.

Dalam pandangan esoteris, Maryam merupakan simbol orisinalitas kesucian (the original holiness) kebalikannya Hawa yang
merupakan simbol orisinalitas dosa (the original sin). Maryam dan Hawa simbol dari sepasang karakter feminin.

Hawa menjadi simbol kejatuhan anak manusia ke bumi kehinaan dan Maryam menjadi simbol kenaikan anak manusia ke
langit kesucian. Karena Hawa menggoda suaminya, Adam, maka anak manusia jatuh ke lembah kehinaan dan karena sang
perawan suci Maryam melahirkan Nabi Isa, maka manusia diangkat kembali ke langit, kampung halaman pertama manusia.

Di dalam tradisi Talmud Babilonia, semacam kitab tafsir Taurat (Perjanjian Lama), Hawa dinyatakan sebagai penyebab dari
segala sumber kehinaan dan malapetaka kemanusiaan sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Eruvin pasal 100 b.

Akibat kekeliruan dilakukan Hawa/Maria maka kaum perempuan dinyatakan menanggung 10 macam kutukan, yaitu:
1. Perempuan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya Hawa tidak pernah mengalaminya di surga.
2. Perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan mengalami rasa sakit.
3. Perempuan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya. Anak-anak membutuhkan
perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan sampai dewasa. Ibu merasa risi manakala pertumbuhan anak-
anaknya tidak seperti yang diharapkan.
4. Perempuan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri.
5. Perempuan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua.
6. Perempuan merasa sakit pada waktu melahirkan.
7. Perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki.
8. Perempuan masih ingin merasakan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi.
9. Perempuan sangat berhasrat melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat
itu kepadanya.
10. Perempuan lebih suka tinggal di rumah.

Bandingkan juga dengan Kitab Kejadian [3]: 15 yang sering dianggap sebagai the protoevangelium:

“Dan Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu (benihmu) dan keturunannya
(benihnya); keturunannya (benihnya) akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.”

Kalangan teolog Kristen sering mempertentangkan atau memperhadap-hadapkan antara figur Hawa dan Maryam, namun ada
juga yang menganggap Hawa dan Maryam adalah sepasang perawan yang saling melengkapi.

Jika Hawa yang muncul dari Adam menjadi simbol kejatuhan manusia, maka Maria perawan suci yang melahirkan Nabi Isa
adalah simbol kemenangan dan keterangkatan manusia ke langit atas.

Melalui simbol kesucian dan kasih sayang Maryam, maka manusia akan menguasai dosa yang diwariskan oleh simbol Hawa,
sang pembawa bencana dengan kekuatannya sebagai penggoda (tempter).

Dalam literatur kekristenan dijelaskan bahwa perempuan yang dimaksudkan di sini adalah Hawa yang telah tergoda dengan
ular atau setan tersebut, dan akhirnya telah melanggar perintah Tuhan.
64
Ayat-ayat dalam Alkitab di atas cenderung memojokkan agama Kristen di mata kaum feminis, namun kaum feminis juga
paham bahwa agama dan produk nilai-nilai kepercayaan luhur tidak selamanya saling menguntungkan dengan tidak
mengindahkan sertifikat.

Wacana Hawa-Maryam seperti ini mengingatkan kita pada konsep Maya dalam perspektif agama Hindu yang dilukiskan
sebagai “Divine Principle” yang berakar dari ketidakterbatasan Tuhan. Ia adalah “penyebab” Esensi Ilahiyah memancar
keluar dari Diri-Nya ke dalam manifestasi. Maya adalah Hawa dan juga sekaligus Maryam.

Ia merupakan simbol perempuan penggoda (seductive) tetapi sekaligus dan perempuan membebaskan (pneumatic). Ia
”descendent” (an-nuzuli) tetapi sekaligus “ascendant” (al-su’udi). Ia mengasingkan (al-fariq) tetapi sekaligus menyatukan
kembali (al-jam’).

Ia menghijab agar bisa berjuang memanifestasikan segala potensialitas Kebaikan Agung (the Supreme Good), tetapi juga
menyingkapkan-Nya, agar ia memanifestasikan kebaikan yang lebih baik.

Berbagai akibat yang lahir dan muncul dari dosa Hawa, akan tetapi kesucian dan kemuliaan Maryam secara total akan
menghapuskan dosa Hawa. Hawa dalam sudut pandang seperti ini, eksistensi dan puncak keilahian, tidak akan ada
ambiguitas lagi, dan kejahatan (evil) akan menjadi terhapus“.

Pada puncaknya, apa pun selain dari al-Asl al-Ilahi (the Divine Principle) hanyalah “penampilan”; hanya Al-Haq yang benar-
benar riil, dan maka itu Hawa secara tak terbatas telah dimaafkan dan mendapat kemenangan dalam Maryam.

Hubungan antara dua aspek feminin ini tidak hanya sebuah hubungan resiprokal di mana dosa Hawa dalam konteks proyeksi
kosmogonis untuk bergerak ke arah ketiadaan yang menyebabkan Maya terlihat ambigu, tetapi ambiguitas ini adalah relatif.
Ia sama sekali jauh dari kesimetrisan, keadaan ini tidak akan mengotori Maryam. Bahkan, Maryam akan secara total
menghapuskan dosa Hawa.

Dalam Islam tidak dirinci secara eksplisit fungsi dan peran Hawa dan Maryam. Kita hanya menemukan dalam Alquran
bahwa Hawa adalah figur personal yang lahir dari badan Adam tanpa ibu.
Sedangkan Maryam adalah figur personal yang lahir dari pasangan lengkap ayah dan ibu lalu ia melahirkan seorang putra
(Nabi Isa AS) yang hanya punya ibu tanpa bapak. Contoh-contoh ini tentu ada hikmahnya dalam dunia kemanusiaan.

Pengagungan terhadap bunda Maria dalam tradisi Kristen melampaui kekaguman kelompok agama-agama Abrahamik
lainnya, seperti Yahudi dan Islam.

Dalam literatur Kristiani, kesucian dan keperawanan Maria (Maryam) sangat ditekankan. Ini dapat dipahami karena dalam
anggapan mereka, yakin betul kalau Yesus Kristus adalah anak Bapak (Tuhan).

Kalau dikesankan bunda Maria punya suami atau pernah bersentuhan dengan laki-laki lain, bisa menggugurkan atau paling
tidak melemahkan kredibilitas Yesus Kristus.
Ini mengingatkan kita ketika pada abad permulaan Islam sangat di tekankan keummian atau kebutahurufan Nabi Muhammad
SAW.

Karena begitu ketahuan Muhammad bisa membaca dan bisa menulis, akan mengurangi kredibilitasnya sebagai Nabi dan
kewahyuan Alquran. Sebagai dampaknya, bisa dijadikan pembenaran anggapan orang-orang kafir ketika itu bahwa Alquran
itu buatan Muhammad SAW.

Maria harus dipertahankan kesucian dan keperawanannya untuk mempertahankan ketuhanan Yesus Kristus. Serupa,
kebutahurufan Nabi Muhammad harus dipertahankan untuk mempertahankan Alquran sebagai wahyu.

Belakangan, asumsi seperti ini mulai ditinggalkan. Tidak perlu mempertahankan kesucian Maria dari laki-laki lain demi
mempertahankan ketuhanan Yesus Kristus.
Hal yang sama juga terjadi dalam Islam, tidak perlu mempertahankan kebuta hurufan Nabi Muhammad tanpa
menganggapnya buta huruf. Pendekatan hermeneutika bisa digunakan untuk meng-clear-kan persoalan ini.

Pengagungan terhadap bunda Maria dalam tradisi Kristen melampaui kekaguman kelompok agama-agama Abrahamik
lainnya, seperti Yahudi dan Islam. Bagir mengutip beberapa sumber yang digambarkan Maria sebagai Mahkota Kearifan (the
Throne of Wisdom) atau Sedes Sapientiae yang sunyi dari keserupaan dari makhluk mana pun.

65
APA ITU INSAN KAMIL
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Insan kamil atau manusia paripurna dibahas secara khusus oleh para sufi, khususnya Ibnu Arabi dan
Insan kamil atau manusia paripurna dibahas secara khusus oleh para sufi, khususnya Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jili.
Pengertian insan kamil tidak sesederhana seperti yang selama ini dipahami kalangan ulama, yaitu manusia teladan dengan
menunjuk pada figur Nabi Muhammad SAW.

Bagi para sufi, insan kamil adalah lokus penampakan (madzhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-
sifat-Nya. Allah SWT memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (tafadhul) atau ahsani taqwim (ciptaan
paling sempurna) menurut istilah Alquran.

Disebut demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan manusialah yang paling siap menerima nama-nama dan sifat-sifat
Tuhan. Makhluk lainnya hanya bisa menampakkan bagian-bagian tertentu. Bandingkan dengan mineral, tumbuh-tumbuhan,
binatang, bahkan malaikat tidak mampu mewadahi semua nama dan sifat-Nya.

Itulah sebabnya mengapa manusia oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai satu-satunya makhluk teomorfis dan
eksistensialis, seperti dijelaskan pada artikel yang lalu. Lagi pula, unsur semua makhluk makrokosmos dan makhluk spiritual
tersimpul dalam diri manusia. Ada unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, dan binatang sebagai makhluk fisik.

Ada juga unsur spiritualnya yang non-fisik, yakni roh. Tegasnya, manusia sempurna secara kosmik-universal dan sempurna
pula pada tingkat lokal-individual. Itu pula sebabnya manusia sering disebut miniatur makhluk makrokosmos (mukhtasar
al-‘alam) atau mikrokosmos (al-insan al-kabir).

Keparipurnaan manusia diungkapkan pula dalam ayat dan hadis. Dalam Alquran disebutkan, manusia diciptakan paling
sempurna (QS. At-Tin: 4) dan satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan “dua tangan” Tuhan (QS. Shad: 75), dan diajari
langsung oleh Allah semua nama-nama (QS. Al-Baqarah: 31).

Dalam hadis-hadis tasawuf, banyak dijelaskan keunggulan manusia, seperti, Innallaha khalaqa ‘Adam ‘ala shuratih (Allah
menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya). Oleh kalangan sufi, ayat dan hadis itu dinilai bukan saja menunjukkan
manusia sebagai lokus penjelmaan (tajalli) Tuhan paling sempurna, melainkan juga seolah menjadi nuskhah atau salinan.
Menurut istilah Ibnu Arabi disebut as-shurah al-kamilah.

Manusialah satu-satunya makhluk yang mampu mengejawantahkan nama dan sifat Allah baik dalam bentuk keagungan
maupun keindahan Allah. Malaikat tidak mungkin mengejawantahkan sifat Allah Yang Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan
Maha Penerima Taubat karena malaikat tidak pernah berdosa.

Tuhan tidak bisa disebut Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat tanpa ada makhluk dan hambanya
yang berdosa, sementara malaikat tidak pernah berdosa. Demikian pula makhluk-makhluk Allah lain yang hanya mampu
mengejawantahkan sebagian nama dan sifat Allah. Dari sinilah sesungguhnya manusia disebut insan kamil.
Kesempurnaan lain manusia menurut Ibnu Arabi adalah diri manusia mempunyai perpaduan dua unsur penting, yaitu aspek
lahir dan batin.

Aspek lahir baharu (hadis) dan aspek batin yang tidak baharu. Seperti disimpulkan Dr Kautsar Azhari Noer dalam
disertasinya, “Aspek lahir manusia adalah makhluk dan aspek batinnya adalah Tuhan.”

Kepaduan dan kesempurnaan manusia inilah yang melahirkan konsep khalifah dan ketundukan alam semesta (taskhir). Atas
dasar ini maka dapat dipahami mengapa para malaikat sujud kepada Adam dan alam semesta tunduk kepada anak manusia.

Namun, perlu diketahui, konsep insan kamil menurut Ibnu Arabi maupun Al-Jili menyatakan tidak semua manusia berhak
menyandang gelar ini. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesejatiannya seperti manusia yang didikte hawa nafsunya
sehingga meninggalkan keluhuran dirinya, kata Ibnu Arabi, tidak layak disebut insan kamil.

Hanyalah mereka yang telah menyempurnakan syariat dan makrifatnya benar yang layak disebut insan kamil. Manusia yang
tidak mencapai tingkat kesempurnaan lebih tepat disebut binatang menyerupai manusia dan tidak layak memperoleh tugas
kekhalifahan.

Perlu ditegaskan kembali, kesempurnaan manusia bukan terletak pada kekuatan akal dan pikiran (an-nuthq) yang dimilikinya,
melainkan pada kesempurnaan dirinya sebagai lokus penjelmaan diri (tajalli) Tuhan. Manusia menjadi khalifah bukan karena
kapasitas akal dan pikiran yang dimilikinya.

66
Alam raya tunduk kepada manusia bukan pula karena kehebatan akal pikirannya, tetapi lebih pada kemampuan manusia
mengaktualisasikan dirinya sebagai insan kamil. Kemampuan aktualisasi diri ini bukan kerja akal, melainkan kerja batin,
yakni kemampuan intuitif manusia menyingkap tabir yang menutupi dirinya dari Tuhan.

Kekuatan intuitif (kasyf) dan rasa (dzauq) jauh lebih dahsyat daripada akal pikiran. Tidak semua manusia secara otomatis
mampu menjadi insan kamil. Ia memerlukan perjuangan dan mungkin perjalanan panjang. Tidak cukup bermodal kecerdasan
logika dan intelektual. Yang lebih penting adalah kecerdasan emosional-spiritual.

Modal utama menjadi khalifah di bumi pun tidak cukup dengan kecerdasan logika dan intelektual, tetapi diperlukan juga
kualitas insan kamil. Saat alam dikelola manusia yang tidak berkualitas insan kamil, selain menimbulkan ancaman yang
dikhawatirkan malaikat, yaitu kerusakan alam dan pertumpahan darah (QS. Al-Baqarah: 30), alam juga belum tentu mau
tunduk kepada manusia.
Banyak contoh alam membangkang kepada manusia sebagaimana diperlihatkan di dalam kisah-kisah umat terdahulu di
dalam Alquran.

Umat Nuh yang keras kepala (QS. 53: 52) ditimpa bencana banjir (QS. 11: 40). Umat Syu’aib yang korup (QS. 7: 85, 11: 84-
85) ditimpa gempa mematikan (QS 11: 94).

Umat Saleh yang hedonistik (QS. 26: 146-149) ditimpa keganasan virus dan gempa bumi (QS. 11: 67-68). Umat Luth yang
dilanda penyimpangan seksual (QS. 11: 78-79) ditimpa gempa dahsyat (QS. 11: 82). Penguasa Yaman, Raja Abrahah, yang
ambisius ingin mengambil alih Ka’bah dihancurkan oleh burung/virus (QS. 105: 1-5).

Hujan tadinya menjadi sumber air bersih dan pembawa rahmat (QS. 6: 99), tiba-tiba menjadi sumber malapetaka. Banjir
memusnahkan areal kehidupan manusia (QS. 2: 59). Gunung-gunung tadinya sebagai patok bumi (QS. 30: 7) tiba-tiba
memuntahkan lahar panas dan gas beracun (QS. 77: 10).

Angin yang tadinya berfungsi dalam proses penyerbukan tumbuh-tumbuhan (QS. 18: 45) dan mendistribusikan awan (QS. 2:
164) tiba-tiba tampil ganas meluluhlantakkan segala sesuatu yang dilewatinya (QS. 41: 16). Lautan tadinya jinak melayani
mobilitas manusia (QS. 22: 65) tiba-tiba mengamuk dan menggulung apa saja yang dilaluinya (QS. 81: 6).

Tadinya, malam membawa kesejukan dan ketenangan (QS. 27: 86) tiba-tiba menampilkan ketakutan yang mencekam dan
mematikan (QS. 11: 81). Siang tadinya menjadi hari-hari menjanjikan (QS. 73: 7) seketika berubah menjadi hari-hari
menyesakkan dan menyedot energi positif (QS. 46: 35).

Kilat dan guntur sebelumnya menjalankan fungsi positifnya dalam proses nitrifikasi untuk kehidupan makhluk biologis di
bumi (QS. 13: 12) tiba-tiba menonjolkan fungsi negatifnya, menetaskan larva-larva (telur hama) betina, yang memusnahkan
berbagai tanaman para petani (QS. 13: 12).

Disparitas flora dan fauna tadinya tumbuh seimbang mengikuti hukum-hukum ekosistem (QS. 13: 4) tiba-tiba berkembang
menyalahi pertumbuhan deret ukur kebutuhan manusia sehingga kesulitan memenuhi komposisi kebutuhan karbohidrat dan
proteinnya secara seimbang (QS. 7: 132).

Manakala manusia kehilangan jati dirinya sebagai insan kamil, pertanda berbagai krisis akan muncul. Sebaliknya, selama
masih ditemukan kualitas insan kamil di muka bumi, sepanjang itu kiamat belum akan terjadi.
Abdul Karim Al-Jili. Pengertian insan kamil tidak sesederhana seperti yang selama ini dipahami kalangan ulama, yaitu
manusia teladan dengan menunjuk pada figur Nabi Muhammad SAW.

Bagi para sufi, insan kamil adalah lokus penampakan (madzhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-
sifat-Nya. Allah SWT memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (tafadhul) atau ahsani taqwim (ciptaan
paling sempurna) menurut istilah Alquran.

Disebut demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan manusialah yang paling siap menerima nama-nama dan sifat-sifat
Tuhan. Makhluk lainnya hanya bisa menampakkan bagian-bagian tertentu. Bandingkan dengan mineral, tumbuh-tumbuhan,
binatang, bahkan malaikat tidak mampu mewadahi semua nama dan sifat-Nya.
                                                                                                                                                                                                         
Itulah sebabnya mengapa manusia oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai satu-satunya makhluk teomorfis dan
eksistensialis, seperti dijelaskan pada artikel yang lalu. Lagi pula, unsur semua makhluk makrokosmos dan makhluk spiritual
tersimpul dalam diri manusia. Ada unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, dan binatang sebagai makhluk fisik.

Ada juga unsur spiritualnya yang non-fisik, yakni roh. Tegasnya, manusia sempurna secara kosmik-universal dan sempurna
pula pada tingkat lokal-individual. Itu pula sebabnya manusia sering disebut miniatur makhluk makrokosmos (mukhtasar
al-‘alam) atau mikrokosmos (al-insan al-kabir).

Keparipurnaan manusia diungkapkan pula dalam ayat dan hadis. Dalam Alquran disebutkan, manusia diciptakan paling
sempurna (QS. At-Tin: 4) dan satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan “dua tangan” Tuhan (QS. Shad: 75), dan diajari
langsung oleh Allah semua nama-nama (QS. Al-Baqarah: 31).

Dalam hadis-hadis tasawuf, banyak dijelaskan keunggulan manusia, seperti, Innallaha khalaqa ‘Adam ‘ala shuratih (Allah
67
menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya). Oleh kalangan sufi, ayat dan hadis itu dinilai bukan saja menunjukkan
manusia sebagai lokus penjelmaan (tajalli) Tuhan paling sempurna, melainkan juga seolah menjadi nuskhah atau salinan.
Menurut istilah Ibnu Arabi disebut as-shurah al-kamilah.

Manusialah satu-satunya makhluk yang mampu mengejawantahkan nama dan sifat Allah baik dalam bentuk keagungan
maupun keindahan Allah. Malaikat tidak mungkin mengejawantahkan sifat Allah Yang Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan
Maha Penerima Taubat karena malaikat tidak pernah berdosa.

Tuhan tidak bisa disebut Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat tanpa ada makhluk dan hambanya
yang berdosa, sementara malaikat tidak pernah berdosa. Demikian pula makhluk-makhluk Allah lain yang hanya mampu
mengejawantahkan sebagian nama dan sifat Allah. Dari sinilah sesungguhnya manusia disebut insan kamil.
Kesempurnaan lain manusia menurut Ibnu Arabi adalah diri manusia mempunyai perpaduan dua unsur penting, yaitu aspek
lahir dan batin.
Aspek lahir baharu (hadis) dan aspek batin yang tidak baharu. Seperti disimpulkan Dr Kautsar Azhari Noer dalam
disertasinya, “Aspek lahir manusia adalah makhluk dan aspek batinnya adalah Tuhan.”

Kepaduan dan kesempurnaan manusia inilah yang melahirkan konsep khalifah dan ketundukan alam semesta (taskhir). Atas
dasar ini maka dapat dipahami mengapa para malaikat sujud kepada Adam dan alam semesta tunduk kepada anak manusia.
Namun, perlu diketahui, konsep insan kamil menurut Ibnu Arabi maupun Al-Jili menyatakan tidak semua manusia berhak
menyandang gelar ini. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesejatiannya seperti manusia yang didikte hawa nafsunya
sehingga meninggalkan keluhuran dirinya, kata Ibnu Arabi, tidak layak disebut insan kamil.

Hanyalah mereka yang telah menyempurnakan syariat dan makrifatnya benar yang layak disebut insan kamil. Manusia yang
tidak mencapai tingkat kesempurnaan lebih tepat disebut binatang menyerupai manusia dan tidak layak memperoleh tugas
kekhalifahan.

Perlu ditegaskan kembali, kesempurnaan manusia bukan terletak pada kekuatan akal dan pikiran (an-nuthq) yang dimilikinya,
melainkan pada kesempurnaan dirinya sebagai lokus penjelmaan diri (tajalli) Tuhan. Manusia menjadi khalifah bukan karena
kapasitas akal dan pikiran yang dimilikinya.

Alam raya tunduk kepada manusia bukan pula karena kehebatan akal pikirannya, tetapi lebih pada kemampuan manusia
mengaktualisasikan dirinya sebagai insan kamil. Kemampuan aktualisasi diri ini bukan kerja akal, melainkan kerja batin,
yakni kemampuan intuitif manusia menyingkap tabir yang menutupi dirinya dari Tuhan.

Kekuatan intuitif (kasyf) dan rasa (dzauq) jauh lebih dahsyat daripada akal pikiran. Tidak semua manusia secara otomatis
mampu menjadi insan kamil. Ia memerlukan perjuangan dan mungkin perjalanan panjang. Tidak cukup bermodal kecerdasan
logika dan intelektual. Yang lebih penting adalah kecerdasan emosional-spiritual.

Modal utama menjadi khalifah di bumi pun tidak cukup dengan kecerdasan logika dan intelektual, tetapi diperlukan juga
kualitas insan kamil. Saat alam dikelola manusia yang tidak berkualitas insan kamil, selain menimbulkan ancaman yang
dikhawatirkan malaikat, yaitu kerusakan alam dan pertumpahan darah (QS. Al-Baqarah: 30), alam juga belum tentu mau
tunduk kepada manusia.
Banyak contoh alam membangkang kepada manusia sebagaimana diperlihatkan di dalam kisah-kisah umat terdahulu di
dalam Alquran.

Umat Nuh yang keras kepala (QS. 53: 52) ditimpa bencana banjir (QS. 11: 40). Umat Syu’aib yang korup (QS. 7: 85, 11: 84-
85) ditimpa gempa mematikan (QS 11: 94).

Umat Saleh yang hedonistik (QS. 26: 146-149) ditimpa keganasan virus dan gempa bumi (QS. 11: 67-68). Umat Luth yang
dilanda penyimpangan seksual (QS. 11: 78-79) ditimpa gempa dahsyat (QS. 11: 82). Penguasa Yaman, Raja Abrahah, yang
ambisius ingin mengambil alih Ka’bah dihancurkan oleh burung/virus (QS. 105: 1-5).

Hujan tadinya menjadi sumber air bersih dan pembawa rahmat (QS. 6: 99), tiba-tiba menjadi sumber malapetaka. Banjir
memusnahkan areal kehidupan manusia (QS. 2: 59). Gunung-gunung tadinya sebagai patok bumi (QS. 30: 7) tiba-tiba
memuntahkan lahar panas dan gas beracun (QS. 77: 10).

Angin yang tadinya berfungsi dalam proses penyerbukan tumbuh-tumbuhan (QS. 18: 45) dan mendistribusikan awan (QS. 2:
164) tiba-tiba tampil ganas meluluhlantakkan segala sesuatu yang dilewatinya (QS. 41: 16). Lautan tadinya jinak melayani
mobilitas manusia (QS. 22: 65) tiba-tiba mengamuk dan menggulung apa saja yang dilaluinya (QS. 81: 6).

Tadinya, malam membawa kesejukan dan ketenangan (QS. 27: 86) tiba-tiba menampilkan ketakutan yang mencekam dan
mematikan (QS. 11: 81). Siang tadinya menjadi hari-hari menjanjikan (QS. 73: 7) seketika berubah menjadi hari-hari
menyesakkan dan menyedot energi positif (QS. 46: 35).

Kilat dan guntur sebelumnya menjalankan fungsi positifnya dalam proses nitrifikasi untuk kehidupan makhluk biologis di
bumi (QS. 13: 12) tiba-tiba menonjolkan fungsi negatifnya, menetaskan larva-larva (telur hama) betina, yang memusnahkan
berbagai tanaman para petani (QS. 13: 12).

68
Disparitas flora dan fauna tadinya tumbuh seimbang mengikuti hukum-hukum ekosistem (QS. 13: 4) tiba-tiba berkembang
menyalahi pertumbuhan deret ukur kebutuhan manusia sehingga kesulitan memenuhi komposisi kebutuhan karbohidrat dan
proteinnya secara seimbang (QS. 7: 132).

Manakala manusia kehilangan jati dirinya sebagai insan kamil, pertanda berbagai krisis akan muncul. Sebaliknya, selama
masih ditemukan kualitas insan kamil di muka bumi, sepanjang itu kiamat belum akan terjadi.

69

Anda mungkin juga menyukai