َ المستَ ِق
يم ُ اط ِّ
َ الص َر اه ِدنَــــا
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal
mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta
mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai
surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan
mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami
berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa
memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas
jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan
begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam
kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a
ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba
begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
َيه ْم
ِ علَ مت َ َ ين أ
َ نع َ اط ال َّ ِذ
َ ِص َر
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa
mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam yang mati
syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah
setiap orang yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik,
mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga
mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang
membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala.
Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan
menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita kembali tersadar
bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa
menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan
panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
َ ّ ِالضال
ين َّ َ َيه ْم َوال
ِ علَ وب
ِ غض
ُ الم
َ ير
ِ غَ
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang
tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau
mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat
adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka.
Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan
motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga
memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan
menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan Isi Surat
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak
terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung
intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid
rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti
mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung
makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya
kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa
sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah
telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul
shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam
menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun
hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya
ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal
mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan
wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada
balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba
akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan
prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini
terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi secara merdeka di
luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan
menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba
tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal
mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena
pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari
jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna
keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun
isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa
iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan orang yang
dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam
bish shawaab.
***
Penyusun: Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Surat Al-Fatihah
Surat Al-Fatihah adalah surah yang diturunkan di Mekah (makkiyyah) dan terdiri dari 7 ayat. Al-
Fatihah merupakan surat yang pertama-tama diturunkan dengan lengkap di antara surah-surah yang ada
dalam Al-Qur'an. Surah ini disebut Al-Fatihah (Pembukaan), juga dinamakan Ummul Qur'an (induk Al-
Quran) atau Ummul Kitab (induk Al-Kitab) karena dia merupakan induk dari semua isi Al-Quran.
Surat Al-Fatihah ini melengkapi unsur-unsur pokok syari'at Islam, persesuaian surat ini dengan surat Al
Baqoroh (Sapi Betina, Kisah Nabi Musa as) dan surat-surat sesudahnya ialah Surat Al Fatihah
merupakan titik-titik pembahasan yang akan diperinci dalam surat Al Baqoroh dan surat-surat yang
sesudahnya.
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin 'Ali bin Abi Tholib k.w.; Aku telah mendengar Rosululloh
Muhammad saw bersabda: "Alloh telah membagi Surat Al Fatihah di antara-Ku dan Hamba-Ku,
sebagian Surat itu untuk-Ku dan sebagian yang lain untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku (Aku
mengabulkan) segala yang dia minta:
Tafsir Singkat Surat Al Fatihah
BismillaaHirrohmaanirrohiim
("Bila Hamba membaca"): "Dengan Menyebut Nama Alloh Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang". "Alloh menjawab": "Hamba-Ku memulai menyebut dengan asma-Ku dan wajib atas-Ku
untuk menyempurnakan urusan-urusannya dan memberkahi keadaannya". ("Dengan Menyebut Nama
Alloh... disini seumpama menyebutkan seluruh Nama2 Alloh.. lihat Keutamaan Kalimat
Bismillahirrohmanirrohim)
("Bila Hamba membaca"): "Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam", "Alloh menjawab":
"Hamba-Ku memuji-Ku dan ia sudah mengetahui bahwa nikmat-nikmat yang berada pada dirinya
berasal dari-Ku dan semua petaka yang aku hindarkan daripadanya itu juga berasal dari-Ku. Maka atas
limpahan rahmat-Ku, Aku bersaksi pada kalian akan melipat gandakan padanya nikmat-nikmat dunia
dan nikmat-nikmat akhirat serta menghindarkan dirinya dari petaka akhirat sebagaimana aku
menghindarkan daripadanya petaka dunia".
Ar-rohmaanir-rohiim
("Bila Hamba membaca"): "Maha Pengasih lagi Maha Penyayang", "Alloh menjawab": "Hamba-Ku
bersaksi kepada-Ku bahwa Aku Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan Aku bersaksi
pada kalian, Aku akan menyempurnakan nikmat-Ku menjadi miliknya, dan Aku akan
menganugerahkan pemberian-Ku sebagai kesempurnaannya".
Maaliki yaumid-diin
("Bila Hamba membaca"): "Yang Menguasai Hari Pembalasan", "Alloh menjawab": "Aku bersaksi
pada kalian sebagaimana ia mengetahui bahwa Aku sebagai Penguasa Hari Kemudian, maka Aku
memudahkan kelak di Hari Kiamat atas hisabnya dan Aku mengabulkan seluruh kebajikan-
kebajikannya dan Aku memaafkan seluruh perbuatan salahnya selama ia beribadah kepada-Ku".
("Bila Hamba membaca"): "Hanya Engkau-lah yang kami sembah". "Alloh menjawab": "Benar
Hamba-Ku, hanya kepada-Ku ia menyembah, Aku bersaksi pada kalian sungguh Aku akan memberi
pahala atas ibadahnya dengan suatu pahala yang dapat menutupi seluruh amal perbuatan salahnya
dalam beribadah kepada-Ku".
("Bila Hamba membaca"): "Dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan", "Alloh
menjawab": "Benar Hamba-Ku, hanya kepada-Ku ia meminta pertolongan dan kepada-Ku ia
berlindung. Aku bersaksi pada kalian sungguh Aku akan menolongnya di dalam urusannya dan
memudahkan dalam kesulitannya dan Aku menolongnya ketika ia berada di hari yang mencekam".
IHdinash-shiroothol-mustaqiim
("Bila Hamba membaca"): "Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat", "Alloh menjawab": "Semua permohonan hamba-hamba-Ku
(akan Ku-penuhi). Dan baginya segala yang dia minta dan Aku pasti mengabulkan seluruh cita-citanya
dan Aku lindungi dia dari segala yang dia takuti".
Demikianlah sedikit Tafsir Singkat Surat Al Fatihah, yang sesungguhnya sangat luaslah Tafsir Surat Al
Fatihah tersebut.
"Jika perkataan keluar dari Hati, maka akan berpengaruh pada Hati, jika perkataan keluar
dari lidah, maka ia tidak akan sampai ke telinga"
Semoga bermanfaat.
Terkait
• Surat Cinta Teruntuk Pendukung LGBT [2]
• Surat Cinta Teruntuk Pendukung LGBT [1]
• Al-Quran Datang untuk Meringankan, Bukan Memberatkan Manusia
• Surat Cinta Untuk Saudaraku Para Mujahid
MERASAKAN kelembutan dan kehalusan bahasa Al-Qur’an menjadi kebahagiaan tersendiri bagi
orang beriman ketika membacanya. Sebab selain makna dan kandungannya yang berlaku sepanjang
masa hingga Hari Kiamat, Al-Qur’an juga memiliki daya i’jaz (the power of mukjizat) pada setiap
pemilihan kalimat, kata, serta dalam deretan huruf-huruf Al-Qur’an sekalipun.
Sensani lathaif at-tafsir lughawiyah (kehalusan tafsir) tersebut dilukiskan secara detail oleh Mufassir
Muhammad Ali ash-Shabuni ketika menerangkan kelembutan ayat-ayat dalam Surah al-Fatihah.
Hal ini bisa dibaca lebih jauh dalam kitab Tafsir Ayat al-Ahkam Min al-Qur’an (Cetakan Dar ash-
Shabuni, Kairo: 2007, cetakan pertama). Berikut penjelasannya:
Kesatu: Allah Ta’ala memerintahkan ta’awudz (membaca a’udzu billahi min asy-syaithani ar-rajim)
sebelum membaca al-Qur’an.
Menurut Ja’far ash-Shadiq, perintah ta’awudz tersebut hanya dikhususkan ketika membaca al-Qur’an,
sedang hal itu tak diwajibkan untuk ibadah dan amal kebaikan lainnya.
Hikmahnya antara lain, sebab terkadang lisan seorang hamba bergelimang dosa dengan dusta, ghibah,
atau mengadu domba. Olehnya, Allah menyuruh orang itu ber-ta’awudz agar lisannya menjadi bersih
kembali sebelum membaca ayat yang turun dari Zat Yang Mahasuci lagi Bersih.
Kedua: Adanya ayat basmalah di ayat pertama. Yaitu lafadz bismillahirrahirrahmanirrahim. Ayat
basmalah yang mengawali surah al-Fatihah memberi indikasi yang terang agar seluruh amal perbuatan
seorang Muslim juga wajib didahului dengan bacaan basmalah. Hal ini selaras dengan hadits Nabi.
“Setiap urusan kehidupan yang tidak diawali dengan ucapan bimillahirrahmanirrahim maka dia akan
terputus.” (Riwayat Abu Daud).
Ketiga: Pengucapan lafadz “bismillah” (dengan nama Allah) dan tidak mengatakan “billahi” (dengan
(zat) Allah). Meski ada yang menganggap penyebutan keduanya bermakna sama., namun yang benar
adalah masing-masing memiliki arti yang beda. Bahwa lafadz “bismillah” dipakai untuk mengharap
berkah dari Allah (tabarruk) sedang “billahi” digunakan ketika seseorang bersumpah atas nama Allah
(qasam).
Keempat: Penamaan yang berbeda antara lafadz “Allah” dan “al-Ilah”. Nama “Allah” khusus dipakai
untuk nama agung Allah Tuhan semesta alam. Tak ada sekutu bagi-Nya dan tak ada sesembahan selain
diri-Nya (la ma’buda bi haqqin illa ilaihi). Sedang nama “al-Ilah” digunakan untuk menyebut Tuhan
secara umum. Berhala yang disembah oleh orang musyrik, misalnya, juga dinamai dengan sebutan “al-
Ilah”.
Kelima : Kandungan makna ayat “bismillahirrahirrahmanirrahim”. Di antaranya adalah memohon
berkah dengan nama Allah dan pernyataan ketinggian Zat Allah. Ayat ini sekaligus berfungsi sebagai
penangkal jitu untuk seluruh makar jahat setan kepada manusia. Sebab setan akan kabur acap lafadz
basmalah ini dibaca. Lebih jauh, menurut Ali ash-Shabuni, ayat ini mengandung makna penegasan
kepada orang-orang musyrik yang selama ini mengagungkan nama-nama selain Allah dalam setiap
urusan mereka.
Keenam: Adanya huruf alif lam (al-makrifah) pada kata “al-hamdu”. Suatu pujian yang sempurna
kepada Allah. Oleh Ali ash-Shabuni, pujian tersebut dengan sendirinya meredupkan bahkan
melenyapkan seluruh yang lain di luar Sang Khaliq (istighraq al-jinsi). Huruf alif lam (al-makrifah)
tersebut juga mengisyaratkan sanjungan kepada Allah yang bersifat kontinuitas, bukan suatu pujian
yang dibuat-buat apalagi dipaksakan.
Ketujuh: Penyebutan “ar-Rahman ar-Rahim” yang datang setelah lafadz “Rabb al-Alamin”. Sebab
boleh dikata nama “Tuhan semesta alam” menyiratkan makna kesombongan, kekuasaan, dan
keperkasaan. Kesan seperti itu terkadang melahirkan kebimbangan bahwa Tuhan itu tidak menyayangi
hamba-Nya. Ujungnya, sangkaan sepintas itu memunculkan putus asa dan ketakutan seorang hamba.
Untuk itu, lafadz tersebut menguatkan bahwa Rabb yang dimaksud adalah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang bagi seluruh makhluk-Nya.
Kedelapan : Penyebutan “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Penyebutan dhamir khithab (kata ganti
kedua) menunjukkan dialog kedekatan hamba dengan Rabbnya. Allah tak memiliki jarak untuk
mengabulkan doa dan memberi pertolongan kepada hamba-hamba-Nya. Abu Hayyan al-Andalusi,
pengarang kitab Tafsir al-Bahru al-Muhith menambahkan, seolah-olah orang tersebut menghadirkan
Allah secara nyata di hadapannya ketika sedang bermunajat kepada-Nya.
Kesembilan : Penggunaan kata jamak dalam lafadz “na’budu” (kami menyembah) dan “nasta’in”
(kami memohon pertolongan). Sebuah pemilihan kata yang sangat halus kala seorang hamba datang
mengetuk perkenan Allah, Zat Yang Maha Pencipta. Seolah ia berkata, wahai Tuhanku, aku tak lain
adalah hamba-Mu yang papa lagi hina. Tak pantas bagiku menghadap seorang diri di hadapan cahaya
kemuliaan-Mu. Untuk itu aku memilih berbaris bersama orang-orang yang juga memohon kepada-Mu
dan ikut berdoa bersama mereka. Terimalah doaku dan doa kami semua.
Kesepuluh: Penyandaran kata nikmat kepada Allah dalam lafadz “an’amta” (yang Engkau beri
nikmat). Sebaliknya, kata marah (ghadhab) dan sesat atau penyesatan (dhalal) tidak disandarkan
kepada-Nya. Ini terlihat ketika Allah menyebut kata “an’amta alaihim” (yang Engka beri nikmat atas
mereka) tapi tidak mengucap “ghadhabta alaihim”(yang Engkau marahi atas mereka) atau “adhlalta
alaihim” (yang Engkau sesatkan atas mereka).*/Masykur Abu Jaulah
\
َ اَللَّهُ َّم
ِ صلِّ َعلَى ُم َح َّمد َو َعلَى
آل ُم َح َّم ٍد
Banyak sekali orang yang cara membaca AL-FATIHAH baik dalam setiap sholat maupun dalam bacaan
doa lainnya, begitu tergesa-gesa tanpa spasi, dan seakan-akan ingin cepat menyelesaikan shalatnya dan
bacaan AL-FATIHAHnya.
Padahal banyak dari kita yang belum mengetahui ataupun bagi yang sudah mengerti namun sering
mengabaikannya, bahwa di saat kita selesai membaca satu ayat dari surah AL-FATIHAH tersebut,
.menjawab setiap ucapan satu ayat tersebut ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَىAllah
ber-Firman: "Aku membagi shalat menjadi dua ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَىDalam Sebuah Hadits Qudsi Allah
".bagian, untuk Aku dan untuk Hamba-Ku
dan tiga , ُسب َْحانَهُ وتَ َعالَىArtinya, tiga ayat diatas Iyyaka Na'budu Wa iyyaka nasta'in adalah Hak Allah
.ayat kebawahnya adalah urusan Hamba-Nya
telah bersabda: "Tidak sah solat seseorang ﷺDari 'Ubaidah bin shamit r.a, Rasulullah
."yang tidak membaca surah AL-FATIHAH
telah bersabda:"Sesiapa yang tidak ﷺRiwayat dari Abu Hurairah pula, Rasulullah
Rasulullah (.membaca AL-FATIHAH di dalam solat, maka solatnya itu tidak sempurna
.")telah mengulangi kenyataan ini sebanyak 3 kali ﷺ
Lalu sahabat bertanya kepada Abu Hurairah:"Bagaimana pula kalau kami mengikuti imam?".Jawab
ﷺAbu Hurairah:"Bacalah perlahan-lahan. Karena aku pernah mendengar .( Rasulullah
:bersabda
berfirman:"Solat itu Aku bagi 2 yaitu antara-KU dan hamba-KU. Untuk ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَىBahawa Allah
...hamba-KU ialah apa yang dimintanya
: menjawab setiap satu ayat dari AL-FATIHAH kita ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَىSeperti inilah Allah
Selanjutnya kita ucapkan "Aamiin" dengan ucapan yang lembut, sebab Malaikat pun sedang
mengucapkan hal yg sama dengan kita. Barang siapa yang ucapan "Aamiin-nya" bersamaan dengan
akan memberikan Ampunan kepada hambaNya." (HR. ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَىpara Malaikat, maka Allah
Bukhari, Muslim, Abu Dawud)
apabila setiap kali kita membaca AL-FATIHAH. ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَىItulah semua jawaban Allah
Membuktikan hikmah bagaimana pentingnya ummul kitab ini dalam setiap solat kita, karena itulah
.menekankan surah AL-FATIHAH kepada ummatnya ﷺRasulullah
Untuk itu mulailah dari sekarang untuk berhentilah sejenak setelah membaca setiap satu ayat AL-
ُسب َْحانَهُ وتَ َعالَىkarena Allah ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَىFATIHAH. Rasakanlah setiap jawaban indah dari Allah
.sedang menjawab setiap ucapan AL-FATIHAH kita
Sahabat jika Artikel Ini bermanfaat silahkan dibagikan , sampaikan walau satu ayat. Sabda Rasulullah
Siapa yg menyampaikan satu ilmu dan oramg membaca dan mengamalkannya maka" ;ﷺ
.dia akan beroleh pahala walaupun sudah tiada."(HR. Muslim)
Note : Jagalah setiap bacaan AL-FATIHAHMU, karena itu merupakan tiang bagi kesempurnaan
ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَىpertemuanmu dengan Allah
Source :
- By Me, disarikan kembali dari artikel2 islamic blog
- http://quran.islamicevents.sg/
- Alwasim, Al-Qur'an
- https://www.facebook.com/profdrmuhaya/posts/695055680524138
- http://misbah-zaenal-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-75419-Agama-Allah
%20menjawab%20bacaan%20ALFATIHAH%20kita%20ketika%20sholat.html
- http://wassimulrijal.blogspot.com/2010/04/allah-menjawab-al-fatihah-kita.html
- http://happypangkapi.blogspot.com/2013/04/makna-al-fatihah.html
.
.وهللا أعلم بالصواب
سالَ ُم َعلَ ْي َك ْم َو َر ْح َمةُ هللاُ َوبَ َر َكاتُه
َّ َوال
HADITS QUDSI KE: 08
َ َول َ َق ْد آَتَيْنَا َك َسبْ ًعا ِم َن ال َْمثَا ِني َوالْقُ ْرآ َ َن ال َْع ِظ
يم
“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran
yang agung.” (QS. Al Hijr: 87). Surat Al Fatihah itulah yang disebut sab’ul matsaani. Dalam Zaadul
Masiir disebutkan bahwa yang dimaksudkan sab’ul matsaani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang)
adalah Fatihatul Kitab. Pendapat ini dipilih oleh ‘Umar bin Al Khottob, ‘Ali bin Abi Tholib, salah satu
pendapat Ibnu Mas’ud dan pendapat yang banyak dinukil dari Ibnu ‘Abbas, juga menjadi pendapat Abu
Hurairah, Al Hasan Al Bashri dan Sa’id bin Jubair dalam salah satu pendapatnya dan lainnya.
Al Fatihah disebut pula dengan Al Matsaani karena surat tersebut dibaca berulang kali dalam setiap
raka’at. Begitu pula surat tersebut disebut Ummul Qur’an (induk Al Qur’an) karena induknya sesuatu
berarti yang menjadi tempat rujukan. Makna Al Qur’an semuanya kembali pada surat ini.
Al Fatihah disebut pula Ash Shalah karena surat Al Fatihah disebutkan dalam hadits qudsi berikut
dengan penyebutan tersebut,
عبْ ِدى ِن ْص َفيْ ِن َولِ َعبْ ِدى َما َسأ َ َل
َ الَصال َ َة بَيْ ِنى َوبَيْ َن ُ َال الَل ّـَّ ُه َت َعال َى ق ََس ْم
َّت ّـ َ ق
“Allah Ta’ala berfirman: Aku membagi shalat menjadi dua bagian antara Aku dan antara hamba-Ku.
Bagi hamba-Ku apa yang mereka minta ….” (HR. Muslim no. 395).
masih melanjutkan penamaan surat Al Fatihah sebelum masuk pembahasan inti.
Al Fatihah Disebut Ash Shalah
Surat Al Fatihah disebut pula ash shalah. Surat Al Fatihah disebut shalat karena shalat tidaklah sah
kecuali dengan Al Fatihah. Dalilnya adalah hadits qudsi berikut,
– اج ٌ آن ف َْه َى ِخ َد ِ يها بِأ ُ ّـ ِِّم الْقُ ْر َ َال « َم ْن َصَل ّـَّى َصال َ ًة ل َْم يَقْ َرأ ْ ِف َ ق-صلى الله عليه وسلم-ع ِن الَن ّـَّب ـِّّـِِى َ ع ْن أَبِى ُه َريْ َر َة َ
ول الَلـَِّّه َ ت َر ُس ُ ال اق َْرأ ْ ب َِها ِفى نَفْ ِس َك َف ِإ ِِّن ّـى َس ِم ْع َ َ َفق.اء ا ِإل َما ِم ُ يل ألَبِى ُه َريْ َر َة ِإَن ّـاَّ نَك
َ ُون َو َر َ َف ِق.» ام ٍ غيْ ُر تَ َم َ – ثَالَث ًا
َال َ عبْ ِدى ِن ْصفَيْ ِن َولِ َعبْ ِدى َما َسأ َ َل َف ِإذَا ق َ الَصال َ َة بَيْ ِنى َوبَيْ َن َّت ّـ ُ َال الَل ّـَّ ُه تَ َعال َى ق ََس ْم َ ول « ق ُ ُ يَق-صلى الله عليه وسلم-
َ ق.) الَر ِحي ِم
َال الَل ّـَّ ُه تَ َعال َى َّ الَر ْح َم ِن ّـ َّ َال ( ّـ َ عبْ ِدى َو ِإذَا ق َ َال الَل ّـَّ ُه تَ َعال َى َح ِم َد ِنى َ ق.) ين َ ِب ال َْعال َِمال َْعبْ ُد ( ال َْح ْم ُد ِلَل ّـَِّه َر ِّ ّـ
َال ( ِإَيّـاَّ َك
َ عبْ ِدى – َف ِإذَا ق َ َال َم ّـ ََّر ًة ف ّـَََّو َض ِإل ّـَََّى َ عبْ ِدى – َوق َ َج َد ِنى
ََّال َم ّـ َ ق.)ين ِّ ّـ
ِ الِد َال ( َمالِ ِك يَ ْو ِم َ َو ِإذَا ق.عبْ ِدى َ عل ّـَََّىَ أَثْنَى
َ اط اَل ّـَِّذ
ين َ يم ِص َرَ اط ال ُْم ْستَ ِق َ ِّّـ
َ الِصر اه ِدنَا ْ ( َال َ ل َف ِإذَا ق .َ َ عبْ ِدى َولِ َعبْ ِدى َما َسأ َ َال َه َذا بَيْ ِنى َوبَيْ َن َ ق.) ين ُ ن َ ْعبُ ُد َو ِإَيّـاَّ َك ن َ ْستَ ِع
َال َه َذا ِل َعبْ ِدى َولِ َعبْ ِدى َما َسأ َ َل َ ق.) ين َ الَضا ِِّل ّـ
َّّـ َ عل َيْ ِه ْم َوال
َ وب
ِ غيْ ِر ال َْم ْغ ُض َ عل َيْ ِه ْم َ ت َ » أَن ْ َع ْم.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang shalat
lalu tidak membaca Ummul Qur’an (yaitu Al Fatihah), maka shalatnya kurang (tidak sah) -beliau
mengulanginya tiga kali-, maksudnya tidak sempurna.” Maka dikatakan pada Abu Hurairah bahwa
kami shalat di belakang imam. Abu Hurairah berkata, “Bacalah Al Fatihah untuk diri kalian sendiri
karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku
membagi shalat (maksudnya: Al Fatihah) menjadi dua bagian, yaitu antara diri-Ku dan hamba-Ku dua
bagian dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika hamba mengucapkan ’alhamdulillahi robbil ‘alamin
(segala puji hanya milik Allah)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah memuji-Ku. Ketika hamba
tersebut mengucapkan ‘ar rahmanir rahiim (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)’, Allah Ta’ala
berfirman: Hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘maaliki yaumiddiin
(Yang Menguasai hari pembalasan)’, Allah berfirman: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku. Beliau
berkata sesekali: Hamba-Ku telah memberi kuasa penuh pada-Ku. Jika ia mengucapkan ‘iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyebah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan)’, Allah berfirman: Ini antara-Ku dan hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia
mengucapkan ‘ihdiinash shiroothol mustaqiim, shirootolladzina an’amta ‘alaihim, ghoiril magdhuubi
‘alaihim wa laaddhoollin’ (tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang telah
Engkau beri nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan jalan orang yang sesat), Allah
berfirman: Ini untuk hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” (HR. Muslim no. 395). Juga dalam
hadits di atas disebut pula bahwa Al Fatihah disebut pula Ummul Qur’an.
Dalam penjelasan hadits qudsi di atas disebutkan bahwa surat Al Fatihah yang tujuh ayat terbagi
menjadi dua. Tiga-setengah ayat yang pertama adalah untuk Allah dan sanjungan untuk-Nya. Tiga-
setengah ayat yang berikutnya adalah untuk hamba, yaitu mulai dari ayat ‘wa iyyaka nasta’in’ hingga
akhir surat.
Al Fatihah Disebut Juga Ruqyah
Surat AlFatihah disebut pula ruqyah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri
berikut ini,
ِح ٍّ ّـٍى ِم ْن
َ ب ك َانُوا فى َس َف ٍر ف ََم ّـُُّروا-صلى الله عليه وسلم- ول الَل ّـَِّه ِ اب َر ُس َ اسا ِم ْن أ َ ْص
ِ ح َ
ً َ خ ْد ِر ـِّّـِى أ ّـ ََّن نُ ْ ع ْن أَبِى َس ِعي ٍد ال َ
ال َر ُج ٌل ِمن ْ ُه ْم َ َف َق.اب َ ٍ َف َقال ُوا ل َُه ْم َه ْل ِفيك ُْم َر.وه ْم
ٌ اق َف ِإ ّـ ََّن َسِي ّـ َِّد ال َْح ـِّّـِى ل َ ِدي ٌغ أ ْو ُم َص ُ ُوه ْم َفل َْم يُ ِضي ُف ُ َاستَ َضاف ْ بف ِ أ َ ْحيَا ِء ال َْع َر
َال َحَتّـَّى أ َ ْذك َُر َذلِ َك لِلَن ّـَّب ـِّّـِِى َ َوق. غن َ ٍم فَأَبَى أ َ ْن يَ ْقبَل ََها َ يعا ِم ْن ْ ُ الَر ُج ُل فَأ
ً ع ِط َى ق َِط َّ ّـ َ اب فَبَرأ
َ ِ َح ِة ال ْ ِكت َ َاه ِب َفا ِت
ُ اه ف ََرق ُ َن َ َع ْم فَأَت
َّ ت ِإَال ّـُ ْول الَل ّـَِّه َوالَل ّـَِّه َما َرقَي َ ال يَا َر ُس َ َف َق. َف َذك ََر َذلِ َك ل َُه-صلى الله عليه وسلم- َِى َّ فَأَتَى الَن ّـَّب ّـ.-صلى الله عليه وسلم-
اض ِربُوا ِلى ب َِس ْه ٍم َم َعك ُْم ْ َال « ُخذُوا ِمن ْ ُه ْم َو َ ث ّـَُمَّ ق.» َال « َو َما أ َ ْد َرا َك أََن ّـَّ َها ُرقْيَ ٌة
َ اب َفتَبَ ّـ ََّس َم َوق.ِ َح ِة ال ْ ِكت
َ » ِب َفا ِت
Dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
dahulu berada dalam safar (perjalanan jauh), lalu melewati suatu kampung Arab. Kala itu, mereka
meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu. Penduduk
kampung tersebut lantas berkata pada para sahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang
bisa meruqyah (melakukan pengobatan dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an, -pen) karena pembesar
kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam.” Di antara para sahabat lantas berkata,
“Iya ada.” Lalu ia pun mendatangi pembesar tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surat Al
Fatihah. Akhirnya, pembesar tersebut sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor
kambing, namun ia enggan menerimanya -dan disebutkan-, ia mau menerima sampai kisah tadi
diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menceritakan kisahnya tadi pada beliau. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah
meruqyah kecuali dengan membaca surat Al Fatihah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
tersenyum dan berkata, “Bagaimana engkau bisa tahu Al Fatihah adalah ruqyah (artinya: bisa
digunakan untuk meruqyah, -pen)?” Beliau pun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan
potongkan untukku sebagiannya bersama kalian.” (HR. Bukhari no. 5736 dan Muslim no. 2201). Imam
Nawawi membuat Bab dalam Shahih Muslim tentang bolehnya mengambil upah dari ruqyah dengan Al
Qur’an atau dzikir. Demikian beberapa pembahasan nama untuk Al Fatihah.
surat Al Fatihah mulai dari ayat ‘alhamdulillahir robbil ‘aalamiin’. Dalam ayat ini terdapat kandungan
salah satu rukun ibadah yaitu cinta (mahabbah). Itulah yang akan diulas pada kesempatan kali ini.Ayat
yang dimaksudkan di atas adalah,
ال َْح ْم ُد لَِل ّـَِّه َر ِّ ّـ
َ ِب ال َْعال َِم
ين
“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (QS. Al Fatihah: 2)
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah mengatakan bahwa dalam ayat ini terkandung makna
mahabbah (cinta). Karena Allah itu pemberi berbagai macam nikmat sehingga Allah itu dipuji dan
disanjung. Setiap yang memberi nikmat atau kebaikan akan disanjung sesuai kadar nikmat yang
diberikan. Allah itu juga dipuji karena zat, nama, sifat dan perbuatan-Nya yang mulia. Sehingga itulah
yang membuat Allah itu dicinta.
Mahabbah (cinta) itu sendiri ada empat bentuk:
1- Mahabbah syirkiyyah (cinta yang bernilai syirik).
Inilah seperti yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
ين آ َ َمنُوا أ َ َش ّـُُّد ُحًبّـاًّ ِلَلـَِّّه
َ ِب الَل ّـَِّه َواَل ّـَِّذ
ك َُح ِّ ّـ ً ون الَل ّـَِّه أَن ْ َد
ادا يُ ِحُبّـُّون َ ُه ْم ِ َّ الَن ّـ
ِ اس َم ْن يََتّـَّ ِخ ُذ ِم ْن ُد َو ِم َن
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah.”(QS. Al Baqarah: 165).
Ada dua tafsiran untuk ayat “yuhibbunahum ka-hubbillah”,
1- Maknanya adalah,يحبونهم كحب الذين آمنوا لله
“Orang musyrik mencintai sesembahan mereka sebagaimana kecintaan orang beriman pada Allah”.
Tafsiran pertama ini dipilih oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Abul ‘Aliyah, Ibnu Zaid, Maqotil dan Al Faro’.
2- Maknanya adalah, يحبونهم كمحبتهم لله
“Orang musyrik mencintai sesembahan mereka sebagaimana kecintaan orang musyrik pada Allah.”
Yaitu mereka menyamakan kecintaan kepada sesembahan mereka dengan kecintaan pada Allah.
Demikian pendapat Az Zujaj.
Tafsiran kedua lebih baik karena melihat kelanjutan ayat,
ين آ َ َمنُوا أ َ َش ّـُُّد ُحًبّـاًّ ِلَلـَِّّه
َ َواَل ّـَِّذ
“Orang beriman lebih tinggi cintanya pada Allah”. Artinya, orang beriman lebih mencintai Allah
melebihi kecintaan orang musyrik pada sesembahan mereka. Karena kecintaan orang musyrik terbagi
dua. Dan tafsiran kedua itulah yang menunjukkan syirik dalam mahabbah (cinta). Inilah makna yang
tepat untuk dipakai. Lihat dua tafsiran di atas dalam Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah berkata,
ين ِلَل ّـَِّه
َ حَبّـَّ ِة ال ُْم ْؤ ِم ِن َ ون ال ْأَن ْ َد
َ اد ِمث َْل َم ِ ََوال ْأ َ ّـََّو ُل ق َْو ٌل ُمتَنَا ِق ٌض َو ُه َو ب
َ اط ٌل َف ِإ ّـ ََّن ال ُْم ْش ِر ِك
َ ُّين ل َا يُ ِحُبّـ
“Tafsiran pertama sangat bertentangan dan batil karena orang musyrik tidaklah mencintai sesembahan
mereka sebagaimana orang mukmin mencintai Allah.” (Majmu’ Al Fatawa, 7: 188).
Intinya, orang musyrik sangat mencintai sesembahan mereka dan kecintaan mereka menyamai
kecintaan pada Allah, bahkan bisa jadi lebih. Oleh karenanya, mereka rela mati demi membela
sesembahan mereka. Bahkan kalau nama Allah saja yang disebut, mereka tidak rela sampai disebut
pula yang mereka agungkan. Kita dapat melihat pada firman Allah Ta’ala,