Anda di halaman 1dari 24

Tafsir Surat Al-Fatihah

Keutamaan Surat Al-Fatihah Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi
orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al …
By Ari Wahyudi, Ssi. 12 May 2008
76 27013 62

Keutamaan Surat Al-Fatihah


Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak
membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit
radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca
Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”.
Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin
Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di
dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al
Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng
tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi
telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau
bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul
Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang
dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
Makna bacaan Ta’awwudz
‫الرجِ يْ ِم‬
َ ّ ‫ان‬
ِ ‫الشيْ َط‬ ُ َ‫أ‬
َّ ‫ع ْو ُذ بِاللِه ِم َن‬
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan
bahaya kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan dirinya sebagai
musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan
bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini
di dalam Al Quran,
‫اد َك ِمن ْ ُه ُم ال ُْم‬ َ ‫َال َفب ِِع َّز ِت َك ل َأُغ ِْويَن ّ َُه ْم أ َ ْج َم ِع‬
َ َ‫ين ِإلَّا ِعب‬ َ ‫ق‬
“Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang
terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan
kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik
tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan.
Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik sampai-sampai beliau
berdoa kepada Allah,
ً ‫اجنُبْ ِني َوبَ ِن ّ َي أَن ن ّ َْعبُ َد األ َ ْصنَا َم‬
ْ ‫َو‬
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang
beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar memahaminya.
Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin dan manusia. Hal itu
sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
ً ‫بَ ْع ٍض ُز ْخ ُر َف الْقَ ْو ِل غ ُُرورا‬ ِ ُ‫نس َوال ْجِ ِّن ي‬
‫وحي بَ ْع ُض ُه ْم ِإل َى‬ ِ ‫ين ا ِإل‬ ِ َ‫ع ُد ّوا ً َشي‬
َ ‫اط‬ َ ‫َوك َ َذلِ َك َج َعلْنَا لِك ّ ُِل ِنب ٍ ِّي‬
“Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari
golongan manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain ucapan-ucapan
yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani
Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Makna bacaan Basmalah
‫الر ِحي ِم‬
َ ّ ‫من‬
ِ ‫الر ْح‬ ِ
َ ّ ‫الله‬ ‫ب ِْس ِم‬
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama
Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan
pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-
Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka
kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh
hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan
harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua
nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah
memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi
Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan
mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang
mutlak yaitu rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang
tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan rahmat yang
sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
ّ ِ ‫ال َْح ْم ُد لل ِّه َر‬
‫ب ال َْعال َ ِم‬
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena
perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan
keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh
seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan
dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan
ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat
yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan
mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir
maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang
jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut
mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang
khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga
menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan
menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada
mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena
hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah
Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-
Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi
dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami
(lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
‫الر ِحي ِم‬
َ ّ ‫مـن‬
ِ ‫الر ْح‬
َّ
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah
bahwa Allah memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS.
Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama
dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2)
Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka
terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan
sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang
menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus
dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang
menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga
mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa
menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan
makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang
tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.
Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga
‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah tidak
sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi hakikatnya
berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh
dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan
kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu sempurna
karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang tidak mau mengimani
kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah berani melecehkan dan berbuat
lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu
adakah tindakan jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah
ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai diri-Nya dengan Ar-
Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih
sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
‫ين‬ ّ ِ ‫َمالِ ِك يَ ْو ِم‬
ِ ‫الد‬
Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk memerintah dan
melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk mengganjar
pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala
sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh
dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik
maknanya penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat
manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu di dunia.
Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh
makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki
Allah. Pada saat itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun dari
jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat
maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan
kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat
mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan
hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari pembalasan itu
disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah jugalah
penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan
saja (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keempat

ُ ‫ِإيَّا َك ن َ ْعبُ ُد و ِإيَّا َك ن َ ْستَ ِع‬


‫ين‬
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta
pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam
ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang
artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang
menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada
Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami
menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami
tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan
maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan dan ridha
Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan
sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu
maka itu berarti Allah tidak cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas
cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan atau
perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga
termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan kata
isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum
isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih
khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu merupakan
sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju
keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali
dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar apabila bersumber dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan
dua perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata
ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu
membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia
tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perkara-perkara yang
diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir
Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima

َ ‫المستَ ِق‬
‫يم‬ ُ ‫اط‬ ِّ
َ ‫الص َر‬ ‫اه ِدنَــــا‬
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal
mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta
mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai
surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan
mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami
berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa
memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas
jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan
begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam
kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a
ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba
begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
‫َيه ْم‬
ِ ‫عل‬َ ‫مت‬ َ َ ‫ين أ‬
َ ‫نع‬ َ ‫اط ال َّ ِذ‬
َ ‫ِص َر‬
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa
mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam yang mati
syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah
setiap orang yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik,
mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga
mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang
membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala.
Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan
menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita kembali tersadar
bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa
menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan
panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh

َ ّ ِ‫الضال‬
‫ين‬ َّ َ ‫َيه ْم َوال‬
ِ ‫عل‬َ ‫وب‬
ِ ‫غض‬
ُ ‫الم‬
َ ‫ير‬
ِ ‫غ‬َ
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang
tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau
mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat
adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka.
Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan
motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga
memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan
menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan Isi Surat
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak
terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung
intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid
rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti
mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung
makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya
kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa
sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah
telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul
shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam
menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun
hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya
ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal
mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan
wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada
balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba
akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan
prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini
terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi secara merdeka di
luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan
menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba
tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal
mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena
pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari
jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna
keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun
isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa
iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan orang yang
dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam
bish shawaab.
***
Penyusun: Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Tafsir Singkat Surat Al Fatihah


• www.aura-ilmu.com
• »
• Islam
• »
• Tafsir Singkat Surat Al Fatihah
Diposkan oleh Tatang Gunawan Label: Islam Last updated Juni 14, 2015
Object 1

Tafsir Singkat Surat Al Fatihah

Surat Al-Fatihah

Surat Al-Fatihah adalah surah yang diturunkan di Mekah (makkiyyah) dan terdiri dari 7 ayat. Al-
Fatihah merupakan surat yang pertama-tama diturunkan dengan lengkap di antara surah-surah yang ada
dalam Al-Qur'an. Surah ini disebut Al-Fatihah (Pembukaan), juga dinamakan Ummul Qur'an (induk Al-
Quran) atau Ummul Kitab (induk Al-Kitab) karena dia merupakan induk dari semua isi Al-Quran.

Surat Al-Fatihah ini melengkapi unsur-unsur pokok syari'at Islam, persesuaian surat ini dengan surat Al
Baqoroh (Sapi Betina, Kisah Nabi Musa as) dan surat-surat sesudahnya ialah Surat Al Fatihah
merupakan titik-titik pembahasan yang akan diperinci dalam surat Al Baqoroh dan surat-surat yang
sesudahnya.

Riwayat, Tafsir Surat Al-Fatihah

Pembagian Surat Al-Fatihah

Diriwayatkan dari Amirul Mukminin 'Ali bin Abi Tholib k.w.; Aku telah mendengar Rosululloh
Muhammad saw bersabda: "Alloh telah membagi Surat Al Fatihah di antara-Ku dan Hamba-Ku,
sebagian Surat itu untuk-Ku dan sebagian yang lain untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku (Aku
mengabulkan) segala yang dia minta:
Tafsir Singkat Surat Al Fatihah

BismillaaHirrohmaanirrohiim

("Bila Hamba membaca"): "Dengan Menyebut Nama Alloh Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang". "Alloh menjawab": "Hamba-Ku memulai menyebut dengan asma-Ku dan wajib atas-Ku
untuk menyempurnakan urusan-urusannya dan memberkahi keadaannya". ("Dengan Menyebut Nama
Alloh... disini seumpama menyebutkan seluruh Nama2 Alloh.. lihat Keutamaan Kalimat
Bismillahirrohmanirrohim)

Al-hamdulillaaHi robbil 'aalamiin

("Bila Hamba membaca"): "Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam", "Alloh menjawab":
"Hamba-Ku memuji-Ku dan ia sudah mengetahui bahwa nikmat-nikmat yang berada pada dirinya
berasal dari-Ku dan semua petaka yang aku hindarkan daripadanya itu juga berasal dari-Ku. Maka atas
limpahan rahmat-Ku, Aku bersaksi pada kalian akan melipat gandakan padanya nikmat-nikmat dunia
dan nikmat-nikmat akhirat serta menghindarkan dirinya dari petaka akhirat sebagaimana aku
menghindarkan daripadanya petaka dunia".

Ar-rohmaanir-rohiim
("Bila Hamba membaca"): "Maha Pengasih lagi Maha Penyayang", "Alloh menjawab": "Hamba-Ku
bersaksi kepada-Ku bahwa Aku Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan Aku bersaksi
pada kalian, Aku akan menyempurnakan nikmat-Ku menjadi miliknya, dan Aku akan
menganugerahkan pemberian-Ku sebagai kesempurnaannya".

Maaliki yaumid-diin

("Bila Hamba membaca"): "Yang Menguasai Hari Pembalasan", "Alloh menjawab": "Aku bersaksi
pada kalian sebagaimana ia mengetahui bahwa Aku sebagai Penguasa Hari Kemudian, maka Aku
memudahkan kelak di Hari Kiamat atas hisabnya dan Aku mengabulkan seluruh kebajikan-
kebajikannya dan Aku memaafkan seluruh perbuatan salahnya selama ia beribadah kepada-Ku".

Iyyaa kana' budu wa iyyaa kanasta 'iin

("Bila Hamba membaca"): "Hanya Engkau-lah yang kami sembah". "Alloh menjawab": "Benar
Hamba-Ku, hanya kepada-Ku ia menyembah, Aku bersaksi pada kalian sungguh Aku akan memberi
pahala atas ibadahnya dengan suatu pahala yang dapat menutupi seluruh amal perbuatan salahnya
dalam beribadah kepada-Ku".

("Bila Hamba membaca"): "Dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan", "Alloh
menjawab": "Benar Hamba-Ku, hanya kepada-Ku ia meminta pertolongan dan kepada-Ku ia
berlindung. Aku bersaksi pada kalian sungguh Aku akan menolongnya di dalam urusannya dan
memudahkan dalam kesulitannya dan Aku menolongnya ketika ia berada di hari yang mencekam".

IHdinash-shiroothol-mustaqiim

Shiroothol-ladziina an 'amta 'alaihim, Ghoiril-magh-dluu bi 'alaihim wa ladl-dloo-l-liin

("Bila Hamba membaca"): "Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat", "Alloh menjawab": "Semua permohonan hamba-hamba-Ku
(akan Ku-penuhi). Dan baginya segala yang dia minta dan Aku pasti mengabulkan seluruh cita-citanya
dan Aku lindungi dia dari segala yang dia takuti".

(Dikutip dari Tafsir As-Sofi, Jilid I hal. 75)

Demikianlah sedikit Tafsir Singkat Surat Al Fatihah, yang sesungguhnya sangat luaslah Tafsir Surat Al
Fatihah tersebut.

"Jika perkataan keluar dari Hati, maka akan berpengaruh pada Hati, jika perkataan keluar
dari lidah, maka ia tidak akan sampai ke telinga"

Semoga bermanfaat.

(Bukan KODE) Referensi: Tafsir Singkat Surat Al Fatihah - aura-ilmu http://www.aura-


ilmu.com/2013/05/tafsir-singkat-surat-al-fatihah.html#ixzz463WQJsU6

10 Rahasia Kandungan Surat Al Fatihah


Senin, 18 Mei 2015 - 15:03 WIB
Kandungan dan setiap kalimat, kata, serta dalam deretan huruf-huruf al-Qur’an memiliki daya i’jaz
atau juga the power of mukjizat

Terkait
• Surat Cinta Teruntuk Pendukung LGBT [2]
• Surat Cinta Teruntuk Pendukung LGBT [1]
• Al-Quran Datang untuk Meringankan, Bukan Memberatkan Manusia
• Surat Cinta Untuk Saudaraku Para Mujahid
MERASAKAN kelembutan dan kehalusan bahasa Al-Qur’an menjadi kebahagiaan tersendiri bagi
orang beriman ketika membacanya. Sebab selain makna dan kandungannya yang berlaku sepanjang
masa hingga Hari Kiamat, Al-Qur’an juga memiliki daya i’jaz (the power of mukjizat) pada setiap
pemilihan kalimat, kata, serta dalam deretan huruf-huruf Al-Qur’an sekalipun.
Sensani lathaif at-tafsir lughawiyah (kehalusan tafsir) tersebut dilukiskan secara detail oleh Mufassir
Muhammad Ali ash-Shabuni ketika menerangkan kelembutan ayat-ayat dalam Surah al-Fatihah.
Hal ini bisa dibaca lebih jauh dalam kitab Tafsir Ayat al-Ahkam Min al-Qur’an (Cetakan Dar ash-
Shabuni, Kairo: 2007, cetakan pertama). Berikut penjelasannya:
Kesatu: Allah Ta’ala memerintahkan ta’awudz (membaca a’udzu billahi min asy-syaithani ar-rajim)
sebelum membaca al-Qur’an.
Menurut Ja’far ash-Shadiq, perintah ta’awudz tersebut hanya dikhususkan ketika membaca al-Qur’an,
sedang hal itu tak diwajibkan untuk ibadah dan amal kebaikan lainnya.
Hikmahnya antara lain, sebab terkadang lisan seorang hamba bergelimang dosa dengan dusta, ghibah,
atau mengadu domba. Olehnya, Allah menyuruh orang itu ber-ta’awudz agar lisannya menjadi bersih
kembali sebelum membaca ayat yang turun dari Zat Yang Mahasuci lagi Bersih.
Kedua: Adanya ayat basmalah di ayat pertama. Yaitu lafadz bismillahirrahirrahmanirrahim. Ayat
basmalah yang mengawali surah al-Fatihah memberi indikasi yang terang agar seluruh amal perbuatan
seorang Muslim juga wajib didahului dengan bacaan basmalah. Hal ini selaras dengan hadits Nabi.
“Setiap urusan kehidupan yang tidak diawali dengan ucapan bimillahirrahmanirrahim maka dia akan
terputus.” (Riwayat Abu Daud).
Ketiga: Pengucapan lafadz “bismillah” (dengan nama Allah) dan tidak mengatakan “billahi” (dengan
(zat) Allah). Meski ada yang menganggap penyebutan keduanya bermakna sama., namun yang benar
adalah masing-masing memiliki arti yang beda. Bahwa lafadz “bismillah” dipakai untuk mengharap
berkah dari Allah (tabarruk) sedang “billahi” digunakan ketika seseorang bersumpah atas nama Allah
(qasam).
Keempat: Penamaan yang berbeda antara lafadz “Allah” dan “al-Ilah”. Nama “Allah” khusus dipakai
untuk nama agung Allah Tuhan semesta alam. Tak ada sekutu bagi-Nya dan tak ada sesembahan selain
diri-Nya (la ma’buda bi haqqin illa ilaihi). Sedang nama “al-Ilah” digunakan untuk menyebut Tuhan
secara umum. Berhala yang disembah oleh orang musyrik, misalnya, juga dinamai dengan sebutan “al-
Ilah”.
Kelima : Kandungan makna ayat “bismillahirrahirrahmanirrahim”. Di antaranya adalah memohon
berkah dengan nama Allah dan pernyataan ketinggian Zat Allah. Ayat ini sekaligus berfungsi sebagai
penangkal jitu untuk seluruh makar jahat setan kepada manusia. Sebab setan akan kabur acap lafadz
basmalah ini dibaca. Lebih jauh, menurut Ali ash-Shabuni, ayat ini mengandung makna penegasan
kepada orang-orang musyrik yang selama ini mengagungkan nama-nama selain Allah dalam setiap
urusan mereka.
Keenam: Adanya huruf alif lam (al-makrifah) pada kata “al-hamdu”. Suatu pujian yang sempurna
kepada Allah. Oleh Ali ash-Shabuni, pujian tersebut dengan sendirinya meredupkan bahkan
melenyapkan seluruh yang lain di luar Sang Khaliq (istighraq al-jinsi). Huruf alif lam (al-makrifah)
tersebut juga mengisyaratkan sanjungan kepada Allah  yang bersifat kontinuitas, bukan suatu pujian
yang dibuat-buat apalagi dipaksakan.
Ketujuh: Penyebutan “ar-Rahman ar-Rahim” yang datang setelah lafadz “Rabb al-Alamin”. Sebab
boleh dikata nama “Tuhan semesta alam” menyiratkan makna kesombongan, kekuasaan, dan
keperkasaan. Kesan seperti itu terkadang melahirkan kebimbangan bahwa Tuhan itu tidak menyayangi
hamba-Nya. Ujungnya, sangkaan sepintas itu memunculkan putus asa dan ketakutan seorang hamba.
Untuk itu, lafadz tersebut menguatkan bahwa Rabb yang dimaksud adalah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang bagi seluruh makhluk-Nya.
Kedelapan : Penyebutan “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Penyebutan dhamir khithab (kata ganti
kedua) menunjukkan dialog kedekatan hamba dengan Rabbnya. Allah tak memiliki jarak untuk
mengabulkan doa dan memberi pertolongan kepada hamba-hamba-Nya. Abu Hayyan al-Andalusi,
pengarang kitab Tafsir al-Bahru al-Muhith menambahkan, seolah-olah orang tersebut menghadirkan
Allah secara nyata di hadapannya ketika sedang bermunajat kepada-Nya.
Kesembilan : Penggunaan kata jamak dalam lafadz “na’budu” (kami menyembah) dan “nasta’in”
(kami memohon pertolongan). Sebuah pemilihan kata yang sangat halus kala seorang hamba datang
mengetuk perkenan Allah, Zat Yang Maha Pencipta. Seolah ia berkata, wahai Tuhanku, aku tak lain
adalah hamba-Mu yang papa lagi hina. Tak pantas bagiku menghadap seorang diri di hadapan cahaya
kemuliaan-Mu. Untuk itu aku memilih berbaris bersama orang-orang yang juga memohon kepada-Mu
dan ikut berdoa bersama mereka. Terimalah doaku dan doa kami semua.
Kesepuluh: Penyandaran kata nikmat kepada Allah dalam lafadz “an’amta” (yang Engkau beri
nikmat). Sebaliknya, kata marah (ghadhab) dan sesat atau penyesatan (dhalal) tidak disandarkan
kepada-Nya. Ini terlihat ketika Allah menyebut kata “an’amta alaihim” (yang Engka beri nikmat atas
mereka) tapi tidak mengucap “ghadhabta alaihim”(yang Engkau marahi atas mereka) atau “adhlalta
alaihim” (yang Engkau sesatkan atas mereka).*/Masykur Abu Jaulah
\

"ALLAH ‫ ُس ْب َحان َ ُه وتَ َعال َى‬MENJAWAB AL-FATIHAH KITA"


 

ُ‫اَل َّساَل ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمةُ هللاِ َوبَ َر َكا تُه‬

‫ْــــــــــــــــــم اﷲِالرَّحْ َم ِن ال َّر ِحيم‬


ِ ‫بِس‬

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫صلِّ َعلَى ُم َح َّمد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّم ٍد‬

Banyak sekali orang yang cara membaca AL-FATIHAH baik dalam setiap sholat maupun dalam bacaan
doa lainnya, begitu tergesa-gesa tanpa spasi, dan seakan-akan ingin cepat menyelesaikan shalatnya dan
bacaan AL-FATIHAHnya.
Padahal banyak dari kita yang belum mengetahui ataupun bagi yang sudah mengerti namun sering  
mengabaikannya, bahwa di saat kita selesai membaca satu ayat dari surah AL-FATIHAH tersebut,
.menjawab setiap ucapan satu ayat tersebut  ‫ ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَى‬Allah

ber-Firman: "Aku membagi shalat menjadi dua  ‫ ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَى‬Dalam Sebuah Hadits Qudsi Allah
".bagian, untuk Aku dan untuk Hamba-Ku
dan tiga ,‫ ُسب َْحانَهُ وتَ َعالَى‬Artinya, tiga ayat diatas Iyyaka Na'budu Wa iyyaka nasta'in adalah Hak Allah
.ayat kebawahnya adalah urusan Hamba-Nya
telah bersabda: "Tidak sah solat seseorang  ‫ ﷺ‬Dari 'Ubaidah bin shamit r.a, Rasulullah
."yang tidak membaca surah AL-FATIHAH

telah bersabda:"Sesiapa yang tidak ‫ ﷺ‬Riwayat dari Abu Hurairah pula, Rasulullah
Rasulullah (.membaca AL-FATIHAH di dalam solat, maka solatnya itu tidak sempurna
.")telah mengulangi kenyataan ini sebanyak 3 kali ‫ﷺ‬

Lalu sahabat bertanya kepada Abu Hurairah:"Bagaimana pula kalau kami mengikuti imam?".Jawab
‫ ﷺ‬Abu Hurairah:"Bacalah perlahan-lahan. Karena aku pernah mendengar .( Rasulullah
:bersabda
berfirman:"Solat itu Aku bagi 2 yaitu antara-KU dan hamba-KU. Untuk  ‫ ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَى‬Bahawa Allah
...hamba-KU ialah apa yang dimintanya

:  menjawab setiap satu ayat dari AL-FATIHAH kita  ‫ ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَى‬Seperti inilah Allah

‫بِس ِْم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ ٰ َم ِن ٱل َّر ِح ِيم‬

Apabila hamba-KU mengucapkan:


َ‫ ْٱل َح ْم ُد هَّلِل ِ َربِّ ْٱل ٰ َعلَ ِمين‬ 
Alhamdulillahi rabbil 'alamin (segala puji tertentu bagi allah,tuhan yang memelihara dan mentadbirkan
sekalian alam)
menjawab:  hamdani 'abdi(hambaku memujiku)  ‫ ُسب َْحانَهُ وتَ َعالَى‬Allah
   
Apabila hamba-KU mengucapkan:
‫ ٱلرَّحْ ٰ َم ِن ٱل َّر ِح ِيم‬ 
Arrahmanirrahim(Yang maha pengasih lagi maha penyanyang)
menjawab:'Atsna alayya 'abdi(hambaku menyanjungiku)   ‫ ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَى‬Allah

Apabila hamba-KU mengucapkan:


ِ ِ‫ ٰ َمل‬ 
‫ك يَوْ ِم ٱلدِّي ِن‬
Maliki yaumiddin(Maha penguasa hari kemudian)
menjawab:Majjadani abdi(hambaku mengagungkanku)   ‫ ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَى‬Allah

Apabila hamba-KU mengucapkan:


َ ‫إِيَّاكَ نَ ْعبُ ُد َوإِيَّا‬ 
ُ‫ك نَ ْستَ ِعين‬
iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in(kepada engkau kami menyembah dan kepada engkau kami minta
pertolongan)
menjawab:Hadza bayni wa bayna abdi,wali abdi wa saala(inilah bahagianku dan    ‫ ُسب َْحانَهُ وتَ َعالَى‬Allah
bahagian hambaku yg dimintanya)

Apabila hamba-KU mengucapkan:


‫ص ٰ َرطَ ْٱل ُم ْستَقِي َم‬
ِّ ‫ٱ ْه ِدنَا ٱل‬ 
َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َواَل ٱلضَّٓالِّين‬ ِ ‫ص ٰ َرطَ ٱلَّ ِذينَ أَ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم َغي ِْر ْٱل َم ْغضُو‬
ِ
Ihdinash siratal mustaqim,siratal ladzina an'amta 'alaihim ghairil maghdubi 'alaihim waladh-
dhaalin(pimpinlah kami ke jalan yang lurus,yakni jalan yang tidak engkau murkai dan tidak pula jalan
orang yang sesat)
menjawab:Hadza li abdi,wali 'abdi ma saala(inilah bahagian hambaku,untuk      ‫ ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَى‬Allah
apa yang dimintanya)

Selanjutnya kita ucapkan "Aamiin" dengan ucapan yang lembut, sebab Malaikat pun sedang
mengucapkan hal yg sama dengan kita.  Barang siapa yang ucapan "Aamiin-nya" bersamaan dengan
akan memberikan Ampunan kepada hambaNya." (HR.  ‫ ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَى‬para Malaikat, maka Allah
Bukhari, Muslim, Abu Dawud)

apabila setiap kali kita membaca AL-FATIHAH.   ‫ ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَى‬Itulah semua jawaban Allah
Membuktikan hikmah bagaimana pentingnya ummul kitab ini dalam setiap solat kita, karena itulah
.menekankan surah AL-FATIHAH kepada ummatnya ‫ ﷺ‬Rasulullah

Untuk itu mulailah dari sekarang  untuk berhentilah sejenak setelah membaca setiap satu ayat AL-
‫ ُسب َْحانَهُ وتَ َعالَى‬karena  Allah  ‫ ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَى‬FATIHAH. Rasakanlah setiap  jawaban indah dari Allah
.sedang menjawab setiap ucapan AL-FATIHAH kita

Sahabat jika Artikel Ini bermanfaat silahkan dibagikan , sampaikan walau satu ayat. Sabda Rasulullah
Siapa yg menyampaikan satu ilmu dan oramg membaca dan mengamalkannya maka" ;‫ﷺ‬
.dia akan beroleh pahala walaupun sudah tiada."(HR. Muslim)

Note : Jagalah setiap bacaan AL-FATIHAHMU, karena itu merupakan tiang bagi kesempurnaan
‫ ُس ْب َحانَهُ وتَ َعالَى‬pertemuanmu dengan Allah

Source :
-          By Me, disarikan kembali dari artikel2 islamic blog
-         http://quran.islamicevents.sg/
-         Alwasim, Al-Qur'an
-          https://www.facebook.com/profdrmuhaya/posts/695055680524138
-          http://misbah-zaenal-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-75419-Agama-Allah
%20menjawab%20bacaan%20ALFATIHAH%20kita%20ketika%20sholat.html
-          http://wassimulrijal.blogspot.com/2010/04/allah-menjawab-al-fatihah-kita.html
-          http://happypangkapi.blogspot.com/2013/04/makna-al-fatihah.html

.
.‫وهللا أعلم بالصواب‬
‫سالَ ُم َعلَ ْي َك ْم َو َر ْح َمةُ هللاُ َوبَ َر َكاتُه‬
َّ ‫َوال‬

Anda mungkin juga meminati:

HADITS QUDSI KE: 08

( TENTANG MAKNA AL-FATIHAH DALAM SHALAT)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi s.a.w bersabda: “Barangsiapa


mengerjakan shalat dengan tanpa membaca Ummul-Qur'an (surah al-Fatihah)
di dalam shalatnya, maka shalatnya kurang. Diucapkan beliau tiga kali, tidak
sempurnalah sholatnya.” Kemudian disampaikan kepada Abu Hurairah:
"Sesungguhnya kami berada di belakang imam." Maka beliau berkata: "Bacalah
dengannya (Ummul Qur'an) untuk dirimu sendiri (sebagai makmum), karena
sesungguhnya aku mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: “Allah 'azza wa jalla
berfirman: "Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian.
Dan bagi hamba-Ku apa yang dia mohonkan. Maka ketika hamba-Ku
mengucapkan; Alhamdulillaahi rabbil 'aalamiin (Segala Puji Hanya Bagi Allah,
Tuhan semesta alam), Allah 'azza wa jalla berfirman: "Hambaku telah memuji-
Ku." dan ketika seorang hamba mengucapkan; Arrahmaanir
rohiim  (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), Allah 'azza wa jalla
berfirman: "Hambaku telah memujiku." dan ketika seorang mengucapkan:
Maaliki yaumid-diin (Yang Menguasai di Hari Pembalasan), Allah berfirman:
"Hambaku telah memuliakan Aku." dan (Abu Hurairah) pernah mengatakan:,
"Hambaku telah berserah diri kepadaku" dan ketika seseorang mengucapkan; 
Iyyaaka na'budu wa-iyyaaka nasta'iin (Hanya kepada Engkau kami
menyembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan), Allah SWT
berfirman: "Ini adalah bagian-Ku dan bagian hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa
yang dimintanya." dan ketika seseorang mengucapkan; Ihdinash-shiroothal
mustaqiim, Shiroothal-ladziina an'amta 'alaihim ghairil maghdhuubi 'alaihim
waladh-dhoolliin (Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. ), Allah Subhanahu wa
ta'ala berfirman: "Ini adalah bagi hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia
pinta ."
(Hadits Riwayat Muslim, dan begitu juga oleh Malik, Tirmidzi, Abu Dawud,
Nasai dan Ibnu Majah)

Keutamaan surah Al -Fatihah


Nama Lain Surat Al Fatihah
Surat ini disebut Al Fatihah karena sebagai pembuka dalam mushaf. Al Fatihah adalah surat pertama
dalam mushaf Al Qur’an. Surat ini disebut pula Sab’ul Matsaani karena terdiri dari tujuh ayat.
Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam ayat,

َ ‫َول َ َق ْد آَتَيْنَا َك َسبْ ًعا ِم َن ال َْمثَا ِني َوالْقُ ْرآ َ َن ال َْع ِظ‬
‫يم‬
“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran
yang agung.” (QS. Al Hijr: 87). Surat Al Fatihah itulah yang disebut sab’ul matsaani. Dalam Zaadul
Masiir disebutkan bahwa yang dimaksudkan sab’ul matsaani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang)
adalah Fatihatul Kitab. Pendapat ini dipilih oleh ‘Umar bin Al Khottob, ‘Ali bin Abi Tholib, salah satu
pendapat Ibnu Mas’ud dan pendapat yang banyak dinukil dari Ibnu ‘Abbas, juga menjadi pendapat Abu
Hurairah, Al Hasan Al Bashri dan Sa’id bin Jubair dalam salah satu pendapatnya dan lainnya.
Al Fatihah disebut pula dengan Al Matsaani karena surat tersebut dibaca berulang kali dalam setiap
raka’at. Begitu pula surat tersebut disebut Ummul Qur’an (induk Al Qur’an) karena induknya sesuatu
berarti yang menjadi tempat rujukan. Makna Al Qur’an semuanya kembali pada surat ini.
Al Fatihah disebut pula Ash Shalah karena surat Al Fatihah disebutkan dalam hadits qudsi berikut
dengan penyebutan tersebut,
‫عبْ ِدى ِن ْص َفيْ ِن َولِ َعبْ ِدى َما َسأ َ َل‬
َ ‫الَصال َ َة بَيْ ِنى َوبَيْ َن‬ ُ ‫َال الَل ّـَّ ُه َت َعال َى ق ََس ْم‬
َّ‫ت ّـ‬ َ ‫ق‬
“Allah Ta’ala berfirman: Aku membagi shalat menjadi dua bagian antara Aku dan antara hamba-Ku.
Bagi hamba-Ku apa yang mereka minta ….” (HR. Muslim no. 395).
masih melanjutkan penamaan surat Al Fatihah sebelum masuk pembahasan inti.
Al Fatihah Disebut Ash Shalah
Surat Al Fatihah disebut pula ash shalah. Surat Al Fatihah disebut shalat karena shalat tidaklah sah
kecuali dengan Al Fatihah. Dalilnya adalah hadits qudsi berikut,
– ‫اج‬ ٌ ‫آن ف َْه َى ِخ َد‬ ِ ‫يها بِأ ُ ّـ ِِّم الْقُ ْر‬ َ ‫َال « َم ْن َصَل ّـَّى َصال َ ًة ل َْم يَقْ َرأ ْ ِف‬ َ ‫ ق‬-‫صلى الله عليه وسلم‬-‫ع ِن الَن ّـَّب ـِّّـِِى‬ َ ‫ع ْن أَبِى ُه َريْ َر َة‬ َ
‫ول الَلـَِّّه‬ َ ‫ت َر ُس‬ ُ ‫ال اق َْرأ ْ ب َِها ِفى نَفْ ِس َك َف ِإ ِِّن ّـى َس ِم ْع‬ َ َ‫ َفق‬.‫اء ا ِإل َما ِم‬ ُ ‫يل ألَبِى ُه َريْ َر َة ِإَن ّـاَّ نَك‬
َ ‫ُون َو َر‬ َ ‫ َف ِق‬.» ‫ام‬ ٍ ‫غيْ ُر تَ َم‬ َ – ‫ثَالَث ًا‬
‫َال‬ َ ‫عبْ ِدى ِن ْصفَيْ ِن َولِ َعبْ ِدى َما َسأ َ َل َف ِإذَا ق‬ َ ‫الَصال َ َة بَيْ ِنى َوبَيْ َن‬ َّ‫ت ّـ‬ ُ ‫َال الَل ّـَّ ُه تَ َعال َى ق ََس ْم‬ َ ‫ول « ق‬ ُ ُ‫ يَق‬-‫صلى الله عليه وسلم‬-
َ ‫ ق‬.) ‫الَر ِحي ِم‬
‫َال الَل ّـَّ ُه تَ َعال َى‬ َّ ‫الَر ْح َم ِن ّـ‬ َّ ‫َال ( ّـ‬ َ ‫عبْ ِدى َو ِإذَا ق‬ َ ‫َال الَل ّـَّ ُه تَ َعال َى َح ِم َد ِنى‬ َ ‫ ق‬.) ‫ين‬ َ ‫ِب ال َْعال َِم‬‫ال َْعبْ ُد ( ال َْح ْم ُد ِلَل ّـَِّه َر ِّ ّـ‬
‫َال ( ِإَيّـاَّ َك‬
َ ‫عبْ ِدى – َف ِإذَا ق‬ َ ‫َال َم ّـ ََّر ًة ف ّـَََّو َض ِإل ّـَََّى‬ َ ‫عبْ ِدى – َوق‬ َ ‫َج َد ِنى‬
َّ‫َال َم ّـ‬ َ ‫ ق‬.)‫ين‬ ‫ِّ ّـ‬
ِ ‫الِد‬ ‫َال ( َمالِ ِك يَ ْو ِم‬ َ ‫ َو ِإذَا ق‬.‫عبْ ِدى‬ َ ‫عل ّـَََّى‬َ ‫أَثْنَى‬
َ ‫اط اَل ّـَِّذ‬
‫ين‬ َ ‫يم ِص َر‬َ ‫اط ال ُْم ْستَ ِق‬ َ ‫ِّّـ‬
َ ‫الِصر‬ ‫اه ِدنَا‬ ْ ( ‫َال‬ َ ‫ل َف ِإذَا ق‬ .َ َ ‫عبْ ِدى َولِ َعبْ ِدى َما َسأ‬ َ ‫َال َه َذا بَيْ ِنى َوبَيْ َن‬ َ ‫ ق‬.) ‫ين‬ ُ ‫ن َ ْعبُ ُد َو ِإَيّـاَّ َك ن َ ْستَ ِع‬
‫َال َه َذا ِل َعبْ ِدى َولِ َعبْ ِدى َما َسأ َ َل‬ َ ‫ ق‬.) ‫ين‬ َ ‫الَضا ِِّل ّـ‬
َّ‫ّـ‬ َ ‫عل َيْ ِه ْم َوال‬
َ ‫وب‬
ِ ‫غيْ ِر ال َْم ْغ ُض‬ َ ‫عل َيْ ِه ْم‬ َ ‫ت‬ َ ‫» أَن ْ َع ْم‬.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang shalat
lalu tidak membaca Ummul Qur’an (yaitu Al Fatihah), maka shalatnya kurang (tidak sah) -beliau
mengulanginya tiga kali-, maksudnya tidak sempurna.” Maka dikatakan pada Abu Hurairah bahwa
kami shalat di belakang imam. Abu Hurairah berkata, “Bacalah Al Fatihah untuk diri kalian sendiri
karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku
membagi shalat (maksudnya: Al Fatihah) menjadi dua bagian, yaitu antara diri-Ku dan hamba-Ku dua
bagian dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika hamba mengucapkan ’alhamdulillahi robbil ‘alamin
(segala puji hanya milik Allah)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah memuji-Ku. Ketika hamba
tersebut mengucapkan ‘ar rahmanir rahiim (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)’, Allah Ta’ala
berfirman: Hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘maaliki yaumiddiin
(Yang Menguasai hari pembalasan)’, Allah berfirman: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku. Beliau
berkata sesekali: Hamba-Ku telah memberi kuasa penuh pada-Ku. Jika ia mengucapkan ‘iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyebah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan)’, Allah berfirman: Ini antara-Ku dan hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia
mengucapkan ‘ihdiinash shiroothol mustaqiim, shirootolladzina an’amta ‘alaihim, ghoiril magdhuubi
‘alaihim wa laaddhoollin’ (tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang telah
Engkau beri nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan jalan orang yang sesat), Allah
berfirman: Ini untuk hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” (HR. Muslim no. 395). Juga dalam
hadits di atas disebut pula bahwa Al Fatihah disebut pula Ummul Qur’an.
Dalam penjelasan hadits qudsi di atas disebutkan bahwa surat Al Fatihah yang tujuh ayat terbagi
menjadi dua. Tiga-setengah ayat yang pertama adalah untuk Allah dan sanjungan untuk-Nya. Tiga-
setengah ayat yang berikutnya adalah untuk hamba, yaitu mulai dari ayat ‘wa iyyaka nasta’in’ hingga
akhir surat.
Al Fatihah Disebut Juga Ruqyah
Surat AlFatihah disebut pula ruqyah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri
berikut ini,
‫ِح ٍّ ّـٍى ِم ْن‬
َ ‫ب‬ ‫ ك َانُوا فى َس َف ٍر ف ََم ّـُُّروا‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫ول الَل ّـَِّه‬ ِ ‫اب َر ُس‬ َ ‫اسا ِم ْن أ َ ْص‬
ِ ‫ح‬ َ
ً َ ‫خ ْد ِر ـِّّـِى أ ّـ ََّن ن‬ُ ْ ‫ع ْن أَبِى َس ِعي ٍد ال‬ َ
‫ال َر ُج ٌل ِمن ْ ُه ْم‬ َ ‫ َف َق‬.‫اب‬ َ ٍ ‫ َف َقال ُوا ل َُه ْم َه ْل ِفيك ُْم َر‬.‫وه ْم‬
ٌ ‫اق َف ِإ ّـ ََّن َسِي ّـ َِّد ال َْح ـِّّـِى ل َ ِدي ٌغ أ ْو ُم َص‬ ُ ‫ُوه ْم َفل َْم يُ ِضي ُف‬ ُ ‫َاستَ َضاف‬ ْ ‫بف‬ ِ ‫أ َ ْحيَا ِء ال َْع َر‬
‫َال َحَتّـَّى أ َ ْذك َُر َذلِ َك لِلَن ّـَّب ـِّّـِِى‬ َ ‫ َوق‬. ‫غن َ ٍم فَأَبَى أ َ ْن يَ ْقبَل ََها‬ َ ‫يعا ِم ْن‬ ْ ُ ‫الَر ُج ُل فَأ‬
ً ‫ع ِط َى ق َِط‬ َّ ‫ّـ‬ َ ‫اب فَبَرأ‬
َ ِ َ‫ح ِة ال ْ ِكت‬ َ ‫َاه ِب َفا ِت‬
ُ ‫اه ف ََرق‬ ُ َ‫ن َ َع ْم فَأَت‬
َّ ‫ت ِإَال ّـ‬ُ ْ‫ول الَل ّـَِّه َوالَل ّـَِّه َما َرقَي‬ َ ‫ال يَا َر ُس‬ َ ‫ َف َق‬.‫ َف َذك ََر َذلِ َك ل َُه‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫َِى‬ َّ‫ فَأَتَى الَن ّـَّب ّـ‬.-‫صلى الله عليه وسلم‬-
‫اض ِربُوا ِلى ب َِس ْه ٍم َم َعك ُْم‬ ْ ‫َال « ُخذُوا ِمن ْ ُه ْم َو‬ َ ‫ ث ّـَُمَّ ق‬.» ‫َال « َو َما أ َ ْد َرا َك أََن ّـَّ َها ُرقْيَ ٌة‬
َ ‫اب َفتَبَ ّـ ََّس َم َوق‬.ِ َ‫ح ِة ال ْ ِكت‬
َ ‫» ِب َفا ِت‬
Dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
dahulu berada dalam safar (perjalanan jauh), lalu melewati suatu kampung Arab. Kala itu, mereka
meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu. Penduduk
kampung tersebut lantas berkata pada para sahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang
bisa meruqyah (melakukan pengobatan dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an, -pen) karena pembesar
kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam.” Di antara para sahabat lantas berkata,
“Iya ada.” Lalu ia pun mendatangi pembesar tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surat Al
Fatihah. Akhirnya, pembesar tersebut sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor
kambing, namun ia enggan menerimanya -dan disebutkan-, ia mau menerima sampai kisah tadi
diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menceritakan kisahnya tadi pada beliau. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah
meruqyah kecuali dengan membaca surat Al Fatihah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
tersenyum dan berkata, “Bagaimana engkau bisa tahu Al Fatihah adalah ruqyah (artinya: bisa
digunakan untuk meruqyah, -pen)?” Beliau pun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan
potongkan untukku sebagiannya bersama kalian.” (HR. Bukhari no. 5736 dan Muslim no. 2201). Imam
Nawawi membuat Bab dalam Shahih Muslim tentang bolehnya mengambil upah dari ruqyah dengan Al
Qur’an atau dzikir. Demikian beberapa pembahasan nama untuk Al Fatihah.
surat Al Fatihah mulai dari ayat ‘alhamdulillahir robbil ‘aalamiin’. Dalam ayat ini terdapat kandungan
salah satu rukun ibadah yaitu cinta (mahabbah). Itulah yang akan diulas pada kesempatan kali ini.Ayat
yang dimaksudkan di atas adalah,
‫ال َْح ْم ُد لَِل ّـَِّه َر ِّ ّـ‬
َ ‫ِب ال َْعال َِم‬
‫ين‬
“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (QS. Al Fatihah: 2)
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah mengatakan bahwa dalam ayat ini terkandung makna
mahabbah (cinta). Karena Allah itu pemberi berbagai macam nikmat sehingga Allah itu dipuji dan
disanjung. Setiap yang memberi nikmat atau kebaikan akan disanjung sesuai kadar nikmat yang
diberikan. Allah itu juga dipuji karena zat, nama, sifat dan perbuatan-Nya yang mulia. Sehingga itulah
yang membuat Allah itu dicinta.
Mahabbah (cinta) itu sendiri ada empat bentuk:
1- Mahabbah syirkiyyah (cinta yang bernilai syirik).
Inilah seperti yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
‫ين آ َ َمنُوا أ َ َش ّـُُّد ُحًبّـاًّ ِلَلـَِّّه‬
َ ‫ِب الَل ّـَِّه َواَل ّـَِّذ‬
‫ك َُح ِّ ّـ‬ ً ‫ون الَل ّـَِّه أَن ْ َد‬
‫ادا يُ ِحُبّـُّون َ ُه ْم‬ ِ َّ ‫الَن ّـ‬
ِ ‫اس َم ْن يََتّـَّ ِخ ُذ ِم ْن ُد‬ ‫َو ِم َن‬
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah.”(QS. Al Baqarah: 165).
Ada dua tafsiran untuk ayat “yuhibbunahum ka-hubbillah”,
1- Maknanya adalah,‫يحبونهم كحب الذين آمنوا لله‬
“Orang musyrik mencintai sesembahan mereka sebagaimana kecintaan orang beriman pada Allah”.
Tafsiran pertama ini dipilih oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Abul ‘Aliyah, Ibnu Zaid, Maqotil dan Al Faro’.
2- Maknanya adalah,  ‫يحبونهم كمحبتهم لله‬
“Orang musyrik mencintai sesembahan mereka sebagaimana kecintaan orang musyrik pada Allah.”
Yaitu mereka menyamakan kecintaan kepada sesembahan mereka dengan kecintaan pada Allah.
Demikian pendapat Az Zujaj.
Tafsiran kedua lebih baik karena melihat kelanjutan ayat,
‫ين آ َ َمنُوا أ َ َش ّـُُّد ُحًبّـاًّ ِلَلـَِّّه‬
َ ‫َواَل ّـَِّذ‬
“Orang beriman lebih tinggi cintanya pada Allah”. Artinya, orang beriman lebih mencintai Allah
melebihi kecintaan orang musyrik pada sesembahan mereka. Karena kecintaan orang musyrik terbagi
dua. Dan tafsiran kedua itulah yang menunjukkan syirik dalam mahabbah (cinta). Inilah makna yang
tepat untuk dipakai. Lihat dua tafsiran di atas dalam Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah berkata,
‫ين ِلَل ّـَِّه‬
َ ‫حَبّـَّ ِة ال ُْم ْؤ ِم ِن‬ َ ‫ون ال ْأَن ْ َد‬
َ ‫اد ِمث َْل َم‬ ِ َ‫َوال ْأ َ ّـََّو ُل ق َْو ٌل ُمتَنَا ِق ٌض َو ُه َو ب‬
َ ‫اط ٌل َف ِإ ّـ ََّن ال ُْم ْش ِر ِك‬
َ ُّ‫ين ل َا يُ ِحُبّـ‬
“Tafsiran pertama sangat bertentangan dan batil karena orang musyrik tidaklah mencintai sesembahan
mereka sebagaimana orang mukmin mencintai Allah.” (Majmu’ Al Fatawa, 7: 188).
Intinya, orang musyrik sangat mencintai sesembahan mereka dan kecintaan mereka menyamai
kecintaan pada Allah, bahkan bisa jadi lebih. Oleh karenanya, mereka rela mati demi membela
sesembahan mereka. Bahkan kalau nama Allah saja yang disebut, mereka tidak rela sampai disebut
pula yang mereka agungkan. Kita dapat melihat pada firman Allah Ta’ala,

َ ‫ون بِالْآ َ ِخ َر ِة َو ِإذَا ُذ ِك َر اَل ّـَِّذ‬


َ ‫ين ِم ْن ُدو ِن ِه ِإذَا ُه ْم يَ ْستَبْ ِش ُر‬
‫ون‬ َ ‫ُوب اَل ّـَِّذ‬
َ ُ ‫ين ل َا يُ ْؤ ِمن‬ ْ ‫اش َمأ َ ّـََّز‬
ُ ‫ت ُقل‬ ْ ‫َو ِإذَا ُذ ِك َر الَلّـَّ ُه َو ْح َد ُه‬
“Dan apabila hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada
kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka
bergirang hati.” (QS. Az Zumar: 45).
Namun kenyataan yang terjadi, cinta (mahabbah) mereka terhadap yang mereka agung-agungkan
tidaklah bermanfaat di akhirat kelak. Bahkan yang ada nantinya adalah saling laknat di antara mereka
di akhirat. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan,
‫بِبَ ْع ٍض َويَل َْع ُن بَ ْع ُضك ُْم‬ ‫يَكْفُ ُر بَ ْع ُضك ُْم‬ ‫ام ِة‬ ُّ‫ون الَل ّـَِّه أ َ ْوثَانًا َم َو ّـ ََّد َة بَيْ ِنك ُْم ِفي ال َْحيَا ِة ّـ‬
َ َ‫الُدنْيَا ث ّـَُمَّ يَ ْو َم ال ْ ِقي‬ ِ ‫خ ْذتُ ْم ِم ْن ُد‬
َ َّ‫َال ِإَن ّـَّ َما اَتّـ‬
َ ‫َوق‬
‫ين‬
َ ‫اص ِر‬ ِ َ ‫َو َما لَك ُْم ِم ْن ن‬ ‫َو َمأ ْ َواك ُُم الَن ّـ َّ ُار‬ ‫بَ ْع ًضا‬
“Dan berkata Ibrahim: “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk
menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat
sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu mela’nati sebahagian
(yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali- kali tak ada bagimu para penolongpun.”
(QS. Al ‘Ankabut: 25).
Cinta yang bermanfaat adalah cinta karena Allah yang dilandasi ketakwaan. Sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman,

َ ‫ع ُد ّـٌوٌّ ِإَلاّـَّ ال ُْمَتّـَّ ِق‬


‫ين‬ َ ‫لِبَ ْع ٍض‬ ُ َّ‫ال ْأ َ ِخَلّـ‬
‫اء يَ ْو َم ِئذٍ بَ ْع ُض ُه ْم‬
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-
orang yang bertakwa.” (QS. Az Zukhruf: 67). Dalam tafsir Al Jalalain (hal. 505) disebutkan bahwa
pertemanan tersebut dilandasi kemaksiatan di dunia, maka pada hari kiamat pertemanan akhirnya
menjadi bermusuhan, yang tetap adalah pertemanan yang dilandasi karena Allah yaitu karena taat
kepada-Nya, itulah pertemanan yang kekal abadi.
2- Cinta pada kebatilan dan pelaku kebatilan, serta benci pada kebenaran dan orang yang berada di atas
kebenaran. Inilah sifat orang munafik.
Dikatakan sifat orang munafik karena nifak adalah menampakkan keislaman dan menyembunyikan
kekafiran. Di antara sifat orang munafik adalah mencintai penganut kebatilan dan membenci penganut
kebenaran. Jadi orang yang membenci orang yang berada di atas kebenaran, seperti para sahabat
radhiyallahu ‘anhum, mereka itu munafik walau mereka menampakkan keislaman. Bahkan mereka
yang mencaci sahabat ini adalah orang yang kafir.
3- Cinta tabi’at, yaitu cinta secara tabi’at atau fitrah. Seperti seseorang mencintai orang tua, istri, anak,
kerabat dan teman dekatnya. Bahkan setiap orang punya kecenderungan mencintai orang yang berbuat
baik padanya sekadar dengan kebaikan yang diberikan.
Cinta tabi’at ini asalnya adalah boleh selama tidak sampai melalaikan dari kecintaan pada Allah atau
selama tidak menjerumuskan dalam keharaman. Kita dapat mengambil pelajaran dari firman Allah,
‫اد َها َو َم َسا ِك ُن َت ْر َض ْون َ َها‬َ ‫خ َش ْو َن ك ََس‬ ْ َ‫ج َارةٌ ت‬ َ ‫وها َو ِت‬ ٌ ‫يرتُك ُْم َوأ َ ْم َو‬
َ ‫ال ا ْقتَ َر ْفتُ ُم‬ َ ‫ع ِش‬ ُ ‫َان آَبَا ُؤك ُْم َوأَبْنَا ُؤك ُْم َو ِإ ْخ َوانُك ُْم َوأ َ ْز َو‬
َ ‫اجك ُْم َو‬ َ ‫ق ُْل ِإ ْن ك‬
َ ‫اس ِق‬
‫ين‬ ِ ‫َب ِإل َيْك ُْم ِم َن الَل ّـَِّه َو َر ُسولِ ِه َوجِ َها ٍد ِفي َسبِيلِ ِه َفتَ َرَبّـَّ ُصوا َحَتّـَّى يَأ ْ ِت َي الَل ّـَّ ُه بِأ َ ْم ِر ِه َوالَل ّـَّ ُه ل َا يَ ْه ِدي ال ْ َق ْو َم ال ْ َف‬ َّ‫أ َ َح ّـ‬
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kerabatmu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu
sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ancamannya sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat
yaitu jika sampai kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya dikalahkan dengan kecintaan pada hal-hal yang
disebutkan.
4- Cinta kepada wali Allah dan membenci musuh Allah.
Inilah kecintaan yang disebut dengan wala’ atau loyal, yaitu kecintaan dan kebenciannya didasari
karena Allah, bukan karena kepentingan dunia, politik atau karena sama-sama satu bendera. Jika
seseorang mencintai tauhid, maka ia harus mencintai pula ahli tauhid. Jika seseorang membenci syirik,
maka ia harus membenci pula orang musyrik. Kecintaan dan kebencian di sini sekali lagi dilakukan
karena Allah.
Moga Allah mudahkan untuk melanjutkan faedah surat Al Fatihah yang lainnya. Hanya Allah yang
memberi taufik dan kekuatan.
refrensi :
Syarh Ba’du Fawaidh Surotil Fatihah, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al Fauzan, terbitan
Dar Al Imam Ahmad.
Ayat selanjutnya dari surat Al Fatihah membicarakan mengenai rukun ibadah lainnya yaitu roja’ (harap)
dan khouf (takut). Setelah faedah sebelumnya kita membahas rukun ibadah, mahabbah (cinta).
Ayat yang dimaksud dan merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya adalah,
)4( ‫ين‬‫ِّ ّـ‬
ِ ‫الِد‬ ‫) َمالِ ِك يَ ْو ِم‬3( ‫الَر ِحي ِم‬
َّ ‫الَر ْح َم ِن ّـ‬
َّ ‫ّـ‬
“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan” (QS. Al Fatihah: 3-4)
Kandungan Rukun Ibadah dalam Al Fatihah
Ayat ‘arrahmanirrahim’ berisi kandungan roja’, yaitu mengharap rahmat Allah. Karena jika Allah itu
Maha Pengasih, tentu akan diharap rahmat-Nya. Berarti ayat ini menetapkan rukun ibadah, yaitu roja’.
Sedangkan ayat selanjutnya ‘maaliki yaumiddin’ berisi kandungan khouf, yaitu takut pada Allah. Dan
yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah takut akan hari kiamat bagi hamba yang penuh dosa.
Sehingga dari tiga ayat yang telah kita bahas, ayat ‘alhamdulillahirrabbil ‘alamiin’ terdapat kandungan
mahabbah (cinta), lalu ayat ‘arrahmanir rahiim’ terdapat kandungan roja’ (harap), sedangkan ayat
‘maaliki yaumiddin’ terdapat kandungan khouf (takut). Tiga hal ini dinamakan dengan pokok ibadah
atau rukun ibadah. Setiap orang yang mau beribadah tidak bisa mencukupkan pada salah satunya, tetapi
harus ketiga-tiganya.
Sesatnya Sufi, Murji’ah dan Khawarij
Dalam beribadah, tidak boleh hanya mencukupkan pada mahabbah (cinta) saja seperti yang dianut oleh
kalangan Sufi. Mereka beribadah tidak dengan rasa takut dan harap. Mereka mengatakan, “Kami tidak
beribadah pada Allah karena takut akan siksa-Nya atau mengharap surga-Nya. Kami beribadah kepada-
Nya hanya karena kami mencintai-Nya.” Ini pemahaman yang jelas keliru. Karena para Rasul dan
malaikat sebaik-baik makhluk, mereka tetap beribadah dengan rasa takut dan harap pada Allah.
Kita dapat melihat pada ayat,
ِ ‫خ‬
َ ‫اش ِع‬
‫ين‬ َ ‫غبًا َو َر َهبًا َوك َانُوا لَنَا‬
َ ‫عونَنَا َر‬ ِ ‫خيْ َر‬
ُ ‫ات َويَ ْد‬ َ ْ ‫ون ِفي ال‬
َ ‫ع‬ُ ‫ِإَن ّـَّ ُه ْم ك َانُوا يُ َس ِار‬
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-
perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas (takut). Dan mereka
adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al Anbiya’: 90).
Juga dalam ayat lainnya,
‫ع َذابَ ُه‬
َ ‫ُون‬
َ ‫خاف‬
َ َ‫ون َر ْح َمتَ ُه َوي‬
َ ‫ب َويَ ْر ُج‬ َ َ
ُ ‫ون ِإل َى َرِبّـ ِِّه ُم ال َْو ِسيل َ َة أُيّـُّ ُه ْم أق َْر‬
َ ‫ون يَبْتَ ُغ‬
َ ‫ع‬ َ ‫أُول َ ِئ َك اَل ّـَِّذ‬
ُ ‫ين يَ ْد‬
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara
mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya;
sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al Isra’: 57). Yang dimaksud
dalam ayat ini -sebagaimana disebutkan dalam kitab tafsir- adalah ‘Uzair, ‘Isa dan Maryam (ibunya
‘Isa) di mana mereka bertiga disembah oleh orang musyrik dahulu. Padahal mereka sendiri mengharap
rahmat Allah dan takut akan siksa-Nya. Lantas bagaimana bisa ‘Uzair, ‘Isa dan Maryam diibadahi
bersama Allah?!
Ayat-ayat di atas dengan sangat jelas menerangkan bahwa ibadah mestilah berisi harap dan takut, yaitu
roja’ dan khouf. Kerancuan dari kalangan sufi di atas telah diulas dalam tulisan di Rumaysho.com:
Apakah Ikhlas Berarti Tidak Boleh Mengharap Pahala dan Surga?
Begitu pula ada yang beribadah pada Allah dengan sifat roja’ saja, merekalah Murji’ah. Mereka tidak
punya rasa takut akan dosa dan maksiat. Murji’ah menganggap pula bahwa iman hanyalah cukup
pembenaran dalam hati, atau ada kalangan Murji’ah yang berpendapat bahwa iman adalah pembenaran
dalam hati dan ucapan dalam lisan. Bagaimana dengan amalan? Murji’ah tidak memasukkan amalan
dalam definisi iman. Padahal yang jadi keyakinan yang benar, iman adalah perkataan, amalan dan
keyakinan. Harus ada ketiga bagian ini, tidak cukup ada salah satunya saja.
Di sisi lain, ada pula yang beribadah pada Allah dengan sifat takut (khouf) saja. Inilah golongan
Khowarij. Golongan ini hanya mengambil ayat-ayat yang bersifat ancaman saja, dan mereka tidak
ambil peduli dengan berbagai dalil yang menunjukkan rahmat dan ampunan Allah.
Ketiga kelompok yang telah disebutkan di atas -yaitu Sufi, Mu’tazilah dan Khowarij-, mereka telah
berlebihan dalam hal rukun ibadah. Padahal yang benar, kita harus beribadah dengan menggabungkan
mahabbah (cinta), khouf (takut) dan roja’ (harap). Inilah iman yang sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai