Anda di halaman 1dari 4

Sembahlah Allah, Jauhilah Kesyirikan

6 January 2015 Redaksi Aqidah, Featured 4 comments

Buletin At-Tauhid edisi 1 Tahun XI

Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan melarang mereka dari menyekutukan-Nya.
Kemudiaan Dia sampaikan perintah tauhid kepada segenap manusia dengan mengutus rasul-rasul-Nya
dan menurunkan kitab-kitab-Nya, yang menjelaskan kepada mereka seperti apa ibadah yang Dia
perintahkan dan apa kesyirikan yang Dia larang. Sehingga tidak ada seorang nabi pun yang diutus
melainkan mengajak ummatnya kepada tauhid dan melarang dari kesyirikan.Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya)” “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya
tidak ada alasan bagi manusia (untuk) membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An Nisaa : 165)

Ath Thabari menerangkan dalam tafsirnya, “(Firman Allah) ((“agar supaya tidak ada alasan bagi
manusia (untuk) membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu” Allah menjelaskan; ‘Aku
mengutus rasul-rasul-Ku dengan membawa berita gembira dan peringatan agar orang-orang yang
mengingkari-Ku dan beribadah kepada sesembahan-sesembahan selain Aku, atau tersesat dari
jalan-Ku, tidak beralasan saat Aku akan menghukumnya (dengan mengatakan): “Wahai Rabb
kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat
Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?” (QS. Thaha : 134). Maka Allah memutus alibi
setiap orang yang kufur, tidak mau mentauhidkan-Nya dan menyelisihi perintah-Nya…”

Maka tidak ada seorang nabi pun kecuali mengajak umatnya kepada perkara ini dan menjelaskan
kepada mereka dengan penjelasan yang terang dan gamblang. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya: “Bahwasanya tidak ada dzat yang berhak diibadahi melainkan Aku, maka
beribadahlah kepada-Ku”. (QS. Al Anbiya : 25)

Dalam ayat lainnya Allah berfirman (yang artinya), “Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami
yang telah Kami utus sebelum kamu: “Adakah Kami menentukan sesembahan-sesembahan
untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?”. (QS. Az Zukhruf : 45)

Bahkan pada sebuah ayat yang agung Allah Ta’ala menceritakan dialog antara Dia dengan ‘Isa
‘alaihis salam berkenaan dengan perbuatan orang-orang yang mengaku mengikutinya (yang
artinya), “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang sesembahan lain selain
Allah”. ‘Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan
hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah
mengetahui. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku namun aku tidak mengetahui apa
yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib”. (Qs. Al
Maidah : 116)
Sehingga jadilah perkara ini dalam syariat kita perkara yang paling muhkam (terang) dan jelas.

Perintah Allah untuk beribadah kepada-Nya saja dan larangan dari beribadah kepada
selain-Nya

Pokok ajaran Islam dan kaidah dakwah para rasul berporos pada perkara ini, yaitu : perintah
untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun.

Ayat dan hadits yang menerangkan hal ini ada banyak. Bahkan keseluruhan ayat Al Qur’an
menjelaskan perkara ini, sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau
berkata, “Semua ayat di dalam Al Qur’an mengandung tauhid, sebagai bukti baginya, dan
mengajak kepadanya” (Madaarij As Saalikiin, 3/450)

Diantara ayat yang paling jelas menerangkan hal ini adalah firman-Nya (yang artinya), “Dan
beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun.” (QS. An
Nisaa’ : 36)

Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Dan Rabb-mu memerintahkan, jangan kalian beribadah
kecuali kepada-Nya, dan berbaktilah kepada kedua orang tua” (QS. Al Israa’ : 23)

Siapa saja yang membaca ayat di atas bisa memahami bahwa Allah melarang dari beribadah
kepada selain Dia. Allah melarang dari menyembelih untuk selain Dia, meminta kepada selain
Dia, bergantung kepada selain Dia, sujud kepada selain Dia, dan berbagai macam ibadah lainnya
yang hanya boleh diberikan untuk Allah Ta’ala semata.

Bahkan hampir semua muslim membaca di dalam shalatnya pada do’a iftitah, firman Allah (yang
artinya), “Sesungguhnya shalatku dan sembelihanku, hidup dan matiku adalah hanya untuk Allah
Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku, dan aku termasuk yang pertama berserah diri.” (QS. Al An’am : 162)

Imam Muhammad At Tamimi rahimahullah menerangkan akan gamblangnya penjelasan Allah


akan perkara ini, “…Allah jelaskan dengan sangat gamblang untuk orang awam, (kejelasannya)
melebihi sangkaan semua orang” (Al Ushul As Sittah)

Dengan kata lain seseorang tidak perlu sekolah tinggi-tinggi atau menamatkan kuliah hanya
untuk memahami perkara agung ini, karena kalau tidak begitu berarti Al Qur’an bukan hidayah
bagi semua orang! Tapi cukup dalam hal ini seseorang membuka Al Qur’an dan memahami
artinya.

Hakikat kesyirikan

Sebagaimana perintah untuk beribadah kepada Allah, Al Qur’an juga menerangkan kesyirikan
yang Allah peringatkan manusia darinya dan Allah utus Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk memberantasnya.
Dan mengetahui perkara ini, yaitu apa batasan teringan suatu perbuatan dianggap sebagai
kesyirikan, sangat berguna bagi seorang muslim untuk selamat darinya dan dari kesyirikan
lainnya yang lebih besar darinya.

Ayat pertama yang menerangkan hal ini adalah firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka
beribadah kepada selain Allah dari apa-apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan
kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi
syafa’at kepada kami di sisi Allah”. (QS. Yunus : 18)

Ath Thabari rahimahullah menerangkan dalam tafsirnya, “(Firman Allah) ((…dan mereka
berkata : “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.”)) yaitu bahwa orang-
orang musyrikin dahulu beribadah kepada sesembahan-sesembahan mereka semata-mata
mengharapkan syafaat mereka disisi Allah” –selesai nukilan.

Artinya, musyrikin dahulu tidak beribadah kepada sesembahan mereka yang beraneka ragam
dengan keyakinan bahwa mereka bisa menciptakan dan memberi rezeki. Melainkan semata-mata
karena sesembahan tersebut adalah syufa’aa, pemberi syafaat bagi mereka disisi Allah. Dengan
kata lain, sesembahan tersebut hanyalah perantara antara mereka dengan Allah Ta’ala.

Ayat kedua yang semakin menjelaskan hal ini adalah firman-Nya (yang artinya), “Dan orang-
orang yang mengambil wali (pelindung) selain Allah (berkata) : “Kami tidaklah menyembah
mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.
(Qs. Az Zumar : 3)

Ath Thabari rahimahullah menjelaskan, “Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai
wali-wali (pelindung) yang mereka cintai, dan beribadah kepadanya selain kepada Allah, mereka
berkata; Kami tidaklah beribadah kepada kalian wahai sesembahan-sesembahan kami melainkan
agar kalian mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya -(yaitu) kedudukan dan
posisi (yang dekat)-, dan kamu memberi syafa’at kepada kami disisi-Nya berkenaan dengan
hajat-hajat kami”

Maka mencari syafa’at / perantara / wasilah merupakan alasan yang sudah ada pada musyrikin
terdahulu. Bahkan mereka tidak menyekutukan Allah melainkan karena alasan ini. Kendati
demikian, alasan ini tidak menggeser status mereka sebagai orang yang menyekutukan Allah lagi
ingkar!

Al ‘Allamah ‘Abdullah Aba Buthain menukil perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah,


“Barangsiapa menetapkan perantara-perantara antara Allah dengan makhluk-Nya seperti para
menteri yang mejadi perantara antara raja-raja dan rakyatnya…dengan kata lain makhluk minta
kepada mereka (perantara) lalu mereka (perantara) minta kepada Allah, …(beralasan) sebagai
bentuk adab dengan tidak langsung minta kepada-Nya, atau dengan anggapan bahwa minta
kepada perantara lebih ampuh daripada meminta kepada-Nya secara langsung, Maka barangsiapa
menetapkan perantara-perantara (antara makhluk dengan Allah) dari jenis seperti ini maka dia
tergolong orang yang ingkar lagi menyekutukan Allah, wajib dimintai taubat. Apabila ia
bertaubat (maka diberi kesempatan memperbaiki diri). Kalau tidak, maka dibunuh” (Al Intishar)
Jikalau beribadah kepada wali dan orang-orang shalih dengan asumsi bahwa mereka adalah
sekedar perantara saja sudah merupakan kesyirikan dan kekafiran, maka bagaimana jadinya
dengan orang yang beribadah kepada jin, hewan, pohon atau benda-benda seperti keris, barang-
barang pusaka diatas anggapan bahwa mereka bisa memberi manfaat dan memudharatkan?!
Tentu yang kedua lebih dahsyat kesyirikannya daripada yang pertama.

Allah menerangkan bahwa menjadikan perantara dalam bentuk di atas merupakan kesyirikan dan
kekufuran pada akhir dari dua ayat di atas dalam firman-Nya (yang artinya),

“Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di langit
dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
persekutukan (itu)”. (QS. Yunus : 18)

“Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka
perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat
ingkar (kaffar)”. (QS. Az Zumar : 3)

Sehingga jelaslah bahwa perbuatan menjadikan perantara dalam bentuk yang disebutkan
merupakan kesyirikan, kedustaan, serta kekufuran.

Wallahu a’lam.

Penulis : Ustadz Jafar Shalih (Alumni Darul Hadits, Yaman)

Anda mungkin juga menyukai