Anda di halaman 1dari 3

Ilmu Hisab adalah pengetahuan berdasarkan Ilmu Falak (Ilmu Hai’ah) untuk

menghitung letak, gerak, ukuran serta lingkaran benda di langit, terutama


matahari dan bulan, guna mengetahui hitungan bulan dan tahun, yakni awal
bulan Qamariyah atau Syamsiyah. Dengan Ilmu Hisab ini dapat ditentukan
tanggal yang berhubungan dengan ibadah, seperti awal Ramadlhan, tanggal 1
Syawwal dan 10 Dzulhijjah. Dengan demikian, kedudukan hisab dalam
agama amatlah penting, yaitu menjadi wasilah atau “sarana” untuk
mengetahui batas waktu ibadah, seperti shalat, puasa, dan haji.
Pada dasarnya di dalam menetapkan  1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal di setiap tahun di Indonesia
hingga saat ini dan mungkin saat-saat mendatang tak kunjung menyatu, selalu ada saja timbul perbedaan
yang mungkin disebabkan adanya perbedaan prinsip yang mendasar dalam memahami nash yang berakibat
melahirkan perbedaan cara penerapannya, ada yang merujuk pada pendapat wujudul Hilal atas dasar Hisab
(bulan sudah berada di atas ufuq) dan ada juga yang merujuk pada pendapat Rukyatul hilal (bulan berada
di atas ufuq dengan ketentuan Imkanu  ar- rukyah), dari kedua methode dasar dalam menetapkan  awal 
Ramadhan dan  awal bulan Syawwal di setiap tahun di Indonesia khususnya, ketika terjadi hasil Ijtihadnya
ternyata jatuh pada hari yang sama, maka tidak menimbulkan permasalahan  di kalangan masyarakat , tapi
manakala ternyata hasilnya jatuh pada hari yang berbeda, maka diakui atau tidak, dapat dipastikan
menimbulkan dampak  permasalahan di kalangan masyarakat khususnya masyarakat awam, sekurang-
kurangnya sedikit kebingungan, karenanya harus menunggu Keputusan Pemerintah, dalam hal ini menteri
Agama RI.
            Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mengenyampingkan hasil keputusan pemerintah, tapi
bertitik tolak dari pengalaman pada 1(satu) Syawal 1432 H yang lalu, terutama bagi saudara-saudara kita
kaum muslimin yang berada di wilayah Timur  dan tengah Indonesia, yang selisih waktu antara satu dan
dua jam dengan yang di wliyah barat Indonesia. Di mana ketika hasil sidang Itsbat di bacakan pada jam
delapan malam, di wilayah tengah dan timur Indonesia sudah jam sembilan atau sepuluh malam.
Sementara jama’ah shalat Isya’ yang biasanya dilanjutkan dengan shalat taraweh, karena menunggu
keputusan dari  pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Agama dan itu sudah jam sepuluh malam waktu
setempat, boleh jadi jama’ah shlat  isya’ sudah bubar, dan ini brarti mereka tidak melakukan shalat taraweh
secara berjama’ah karena malam sudah semakin larut untuk waktu setempat.
Sebuah Analisa.
            Dari teks hadits di atas, penulis melihat hal-hal sebagai berikut :
1.     Dari ke dua teks matan hadits sebagaimana disebut pada angka 1 (satu) di atas, pertama
pada kalimat “Fain qhumma ‘Alaikum Fa Akmilu al ‘Iddata Tsalaatsiina” bila
dihubungkan dengan kalimat sebelumnya yang menyatakan “Falaa Tashuumu Hatta
Tarauhu,”
Begitu juga pada kalimat “Fain qhubbiya ‘Alaikum Fa Akmiluu Iddata Sya’baana
Tsalaatsiina”, maka kesan yang penulis lihat dari teks matan hadits tersebut, adalah berbicara
khusus soal awal Ramadhan saja, tidak inklusif di dalamnya penentuan awal Syawal. Namun
untuk lebih jauh mengetahui, dalam hal apa dan kepada siapa saja konteks pernyataan Nabi
S.A.W. ini disampaikan saat itu, penulis tidak sampai sejauh itu melihatnya, mengingat
terbatasnya waktu untuk melakukan penelitian lebih jauh.
            2. Sedang dari teks  matan hadits sebagai yang disebut pada angka 2 (dua) di atas, yaitu
pada kalimat “Laa Tasuumuu “ dan “walaa Tufthiruu” bila dihubungkan dengan kalimat
terakhir dari hadits tersebut “Fa  Aqdiruu Lahu”, maka kesan yang penulis peroleh dari
muatan teks matan hadits tersebut adalah berbicara soal awal Ramadhan dan sekaligus soal
awal Syawal. Kemudian bila dikaitkan pula dengan kalimat “Fain qhumma ‘Alaikum Fa
Aqdiruu Lahu“, maka tidak menyebut Fa Akmiluu (sempurnakanlah), menurut penulis 
kata Fa Aqdiruu Lahu di sini mengandung arti perkirakanlah, (sebagai embireo lahirnya ilmu
hisab) yang nota benne di saat hadits-hadits di atas dinyatakan Nabi  S.A.W. Ilmu Hisab dan
seluruh perangkat instrumen ilmu hisab belum ada, maka praktek di saat itu tekanannya
Rukyatul Hilal, dan bila sulit terlihat maka Sya’ban digenapkan tiga puluh hari.
     Untuk saat ini menurut penulis, atas anugrah Allah berupa Ilmu Hisab yang tingkat
keakuratan perhitungannya cukup tepat dan kalau pun terjadi penyimpangan cukup sangat
kecil, apa salah manakala dari hasil Hisab para ahli di negeri ini yang menyatakan posisi
hilal  untuk di seluruh Indonesia dari Timur sampai Barat bila sudah jelas positif berada di
atas ufuq, katakan kurang dari dua derajat yang kalupun hendak di Rukyah di Medan Rukyah
manapun di Indonesia meski dengan bantuan alat canggih sangat sulit terlihat. Apakah salah
manakala melalui pemerintah yang selama ini kita kedepankan methode rukyah dengan
konsekwensi ghumma dan takmil, kita arahkan pandangan dengan mengedepankan methode
Hisab bila terjadi hal yang serupa seperti pada penentuan awwal syawal 1432 H yang lalu.
Saya yakin Insya Allah Tidak akan terjadi perbedaan yang akan  membuat bingung
masyarakat.
Upaya-Upaya Dalam Pemecahan Masalah.
            Selama ini sejak zaman Nabi Saw, Sahabat, Tabi’in dan bahkan hingga saat sekarang ini, dalam
menetapkan awal bulan Hijriyah pada dasarnya digunakan methode Rukyatul Hilal dan Methode Hisab, di
antara kedua methode ini hampir tak pernah selesai dibahas, yang ujung-ujungnya kalau hilal tidak nampak
di rukyat maka jalan yang ditempuh Istikmal, bagaimana dengan hasil Hisab ? ini nampak di nomor
duakan, atau sekedar untuk membantu memudahkan rukyat, boleh jadi karena hal itu tidak pernah
dilakukan Rasul s.a.w, padahal kalau terjadi dari hasil para ahli hisab ternyata menunjukkan hilal berada di
atas ufuq (katakan antara 0/1 samapai 2 derajat) sedang untuk di rukyat dimungkinkan gagal tidak berhasil,
apakah kita tetap bersikeras Istikmal dengan dalih karena hal itu yang dipraktekkan Nabi saw, shahabt dan
seterusnya, sedangkan hasil hisab seolah-olah tertutup untuk menentukan awal bulan Kalender Hijriyah.
Oleh karena itu kita lihat bagaimana pengertian secara divinitif kedua hal tersebut berikut ini :
HISAB DAN RUKYAH
            HISAB adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam
menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah.
            Secara harpiyah Hisab berati perhitungan. Dalam dunia Islam  istilah hisab sering digunakan
dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi.
Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan ummat Islam dalam menentukan masuknya
waktu shalat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda
masuknya periode bulan baru dalam kalender hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal
Ramadhan saat memulai berpuasa, awal Syawal (‘Idul Fithri), serta awal Dzul Hijjah untuk menentukan
saat jama’ah haji wuquf di ‘Arafah (9 Dzul Hijjah) dan ‘Idul Adha (10 Dzul Hijjah).
            Di dalam al Qur’an Surat Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa Tuhan sengaja menjadikan matahari
dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar Rahmaan (55) ayat
5 menyebutkan bahwa matahari dan bulan bredar menurut perhitungan.
            Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan benda-benda langit (khususnya
matahari dan bulan), maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi.
Astronom muslim yang telah mengembangkan methode Hisab modern adalah AL BIRUNI (973 – 1048
M ), IBNU TARIQ, AL KHAWARIZMI , AL BATANI  dan HABASAH.
Bahkan dewasa ini, methode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi  yang
tinggi. Berbagai perangkat lunak (sofwere) yang praktis juga telah ada.
            RUKYAT adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan tsabit yang
nampak pertama kali setelah terjadinya Ijtima’ (konjungsi), rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang
atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (maqhrib),
karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibandingkan dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat
tipis.
            Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maqhrib) waktu setempat telah memasuki bulan
(kalender) baru hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maqhrib hari
berikutnya.
Namun demikian dari pengalaman selama ini tidak selalu hilal dapat terlihat. Dalam teori manakala selang
waktu antara Ijtima’ dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiyah hilal mustahil
terlihat, karena iluminasi cahaya bulan masih terlalu suram di bandingkan “ cahaya langit” sekitarnya.
            Kriteria DANJON (1932 – 1936) menyebutkan  bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika
minimal jarak sudut (arc of light) antara bulaan matahari sebesar 7 derajat.

Anda mungkin juga menyukai