Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH HISAB GERHANA BULAN

Gerhana Bulan Dalam Al-Quran Dan Al-Hadist Serta Pandangan Ulama Fiqh Tentang

Gerhana Bulan

Dosen Pengampu : Abdul Kohar, M.H

Oleh :

Muhammad Haikal Rivaldi 180204007


Apriani Asnaye 180204008

PROGRAM STUDI ILMU FALAK

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan berkah,
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Gerhana Bulan Dalam Al-Quran Dan Al-Hadist Dan Pandangan Ulama Fiqh Tentang
Gerhana Bulan” ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. yang telah membimbing kami dari jalan kegelapan
menuju jalan yang terang benderang yakni agama Islam.

Makalah ini memuat pendahuluan, pembahasan, penutup, dan daftar pustaka.


Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hisab Gerhana Bulan pada
semester VI Jurusan Ilmu Falak dan Astronomi Islam Fakultas Syariah Universitas Islam
Negeri Mataram.

Dengan menggunakan makalah ini semoga kegiatan belajar dalam memahami materi
ini dapat menambah sumber-sumber pengetahuan. Kami sadar dalam penyusunan makalah
ini belum bisa dikatakan mencapai tingkat kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran tentu
kami butuhkan. Mohon maaf apabila ada kesalahan cetak atau kutipan-kutipan yang kurang
berkenan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Mataram, 30 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................iii

A. Latar Belakang...............................................................................iii
B. Rumusan Masalah..........................................................................v
C. Tujuan............................................................................................v

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................1

A. Gerhana bulan dalam al-quran dan al-hadist.................................1


B. Pandangan ulama fiqh terhadap gerhana bulan.............................8
BAB III PENUTUP......................................................................................13

A. Kesimpulan....................................................................................13
B. Saran dan Kritik.............................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gerhana bulan ialah fenomena alam biasa yang bisa kita saksikan atau nikmati setiap
tahun-nya pada waktu-waktu tertentu. Fenomena ini berkaitan erat dengan siklus peredaran
bulan khususnya ketika siklus bulan purnama atau istikbal 1. Ketika bumi berada segaris
diantara matahari dan bulan saat fase bulan purnama, fenomena inilah yang dinamakan
gerhana bulan2.
Secara garis besar gerhana bulan jika dilihat dari bayangan yang terbentuk dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu gerhana bulan umbra dan gerhana bulan penumbra 3. Perbedaan kedua
gerhana ini terletak dari piringan bulan yang memasuki bayangi inti bumi (umbra) atau
piringan bulan memasuki bayangan abu-abu bumi (penumbra). Dari pembagian umum ini,
gerhana bulan total, gerhana bulan sebagian (termasuk gerhana bulan cincin) termasuk dalam
gerhana bulan umbra. Sedangkan gerhana bulan penumbra berdiri sendiri dan membagi
dirinya sendiri mejadi gerhana bulan penumbra total dan gerhana bulan penumbra Sebagian.4
Islam mengenal fenomena ini dengan khusuf.5 Istilah ini digunakan karena memiliki
arti masuk, di mana bulan memasuki bayangan bumi.6 Dalam islam gerhana termasuk
fenomena biasa layaknya bukti kekuasaan Allah yang lainya. Walaupun termasuk fenomena
alam biasa terdapat syariat islam di dalamnya, hal ini diakibatkan karena pada zaman
Rasulullah masyarakat di sana meyakini bahwa fenomena gerhana terjadi akibat kematian
seseorang (kematian Ibrahim anak dari Nabi Muhammad). 7 Fenomena ini dijelaskan dalam
salah satu sabda Nabi Muhammad SAW :

1
Muhammad Farid Azmi, Ahmad Adib Rofiuddin, Ahmad Ainul Yaqin, “Prediksi Pergerakan
Bayangan Bumi Saat Terjadi Gerhana Bulan Menggunakan Ephemeris Hisab Rukyat”, AL-MARSHAD:
JURNAL ASTRONOMI ISLAM DAN ILMU-ILMU BERKAITAN, December 2018, hlm. 187.
2
Muhammad Jayusman, “Fenomena Gerhana Dalam Wacana Hukum Islam dan Astronomi”,
AL-‘ADALAH, Vol. X, No. 2 Juli 2011, hlm. 239.
3
Qamaruzzaman, “Gerhana Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Astronomi” Jurnal Empirisma Vol.
25 No. 2 Juli 2016, Hlm. 165.
4
Moh. Arif Mustofa, “Relevansi Gerhana Bulan Penumbra Terhadap Pelaksanaan Shalat Khusuful
Qamar Persfektif Fiqih Kontemporer”, (Skripsi Jurusan Akhwalul Syakhsiyah UIN Malik Ibrahim 2017), Hlm.
3-4.
5
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta, Buana Pustaka, 2008), hlm.
187
6
Ibid.
7
Isnatun Muna "Analisis Terhadap Pendapat Ulama Ponorogo Tentang Gerhana Bulan (Studi
Komparatif Ulama NU dan Muhammadiyah Tentang Gerhana Bulan Penumbra)". (skripsi hukum keluarga
islam fakultas syariah IAIN Ponorogo 2020) Hlm. 1-2.

iii
‫عن املغ بة ن ض شعبة ري هلال عنه قال انكسفت الشمس عىل هعد رسول هلالب صىل هلال‬
‫عليه وسمل يوم مات ا ي اه فقال الناس انكسفت الشمس ملوت با ي اه فقال رسول هلال صىل‬
‫هلال عليه وسمل ان الشمس والقمر ايتان من يات هلال ال ينكسفان ملوت احد وال حلياته فاذا‬
‫رايتمومها فادعوا هلال وصلواتح تنكسف )متفق عليه(م‬

Artinya : ““(Diriwayatkan) dari al-Mughirah bin Syu’bah ra., ia berkata: terjadi


gerhana matahari pada masa Rasulallah saw. pada hari meninggalnya Ibrahim
(putra Nabi saw.). Orang-orang berkata bahwa gerhana itu terjadi karena kematian
Ibrahim. Maka Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan tidak
menjadi gerhana karena mati dan hidupnya seseorang, jika kalian mengalaminya
maka berdoalah kepada Allah dan kerjakanlah shalat hingga selesai gerhana” (HR.
Bukhari dan Muslim)8
Seluruh ulama sepakat jika terjadi gerhana maka ada syariat shalat sunnah berikut
syariat-syariat lainya. Dalam prakteknya terjadi banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat) di
kalangan ulama fiqh terutama dalam hal shalat sunnah gerhana. Ada yang mengatakan
bahwasanya shalat gerhana dilakukan dengan 2 rakaat dengan 2 kali berdiri dan dua kali ruku
setiap rakaatnya. Ada pula yang mengatakan bahwasanya shalat ini dilakukan seperti shalat
sunnah lainya dan rakaatnya bisa 2, 4 atau selebihnya. Ada yang mensunnahkan dilakukan
secara jamaah dan di masjid ada pula yang me-makruhkanya dan masih banyak ikhtilaf
lainya.
Persoalan-persoalan di atas menyebabkan penulis ingin meneliti permasalahan ini
lebih lanjut. Bagaimana sebenarnya fenomena ini dalam Al-Quran dan As-Sunnah apakah
ada aturan atau cara khusus dalam pelaksananya atau hanya dalam bentuk umum-nya saja.
Setelah itu bagaimana pendapat ulama berdasarkan dalil-dalil tersebut. Dari dua persoalan
tersebut penulis mengangkat judul “Gerhana Bulan Dalam Al-Quran dan Al-Hadist serta
Pandangan Ulama Fiqh Tentang Gerhana Bulan"

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gerhana bulan dalam al-quran dan al-hadits

Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, (Jakarta: Dar al-Kutub al-
8

Islamiyah, 2002) hlm. 107.

iv
2. Bagaimana pandangan ulama fiqh tentang gerhana bulan
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui gerhana dalam al-quran dan al-hadits
2. Untuk mengetahui pandangan ulama fiqh tentang gerhana bulan

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gerhana Bulan Dalam Al-Quran dan Al-Hadist

Dalam setiap syariat islam ada dua sumber pokok dalam pengambilan hukum-nya,
yakni Al-Quran dan As-Sunnah. Fenomena gerhana juga tidak terlepas dari 2 sumber pokok
tersebut. Berikut penulis uraikan beberapa dalil yang berbicara tentang fenomena alam ini :

‫َوخَ َسفَ ْالقَ َم ُر‬


Artinya : “Dan apabila bulan telah hilang cahayanya” (Al-Qiyamah ayat 8)

‫ال َّش ْمسُ َو ْالقَ َم ُر بِ ُح ْسبَا ٍن‬


Artinya : “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.”(Al Maidah ayat 5)

‫س َواَل لِ ْلقَ َم ِر َوا ْس ُج ُدوا هَّلِل ِ الَّ ِذي‬


ِ ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه اللَّ ْي ُل َوالنَّهَا ُر َوال َّش ْمسُ َو ْالقَ َم ُر ۚ اَل تَ ْس ُج ُدوا لِل َّش ْم‬
َ‫خَ لَقَه َُّن إِ ْن ُك ْنتُ ْم إِيَّاهُ تَ ْعبُ ُدون‬
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari
dan bulan. Janganlah sujud (sembah) matahari maupun bulan, tapi bersujudlah
kepada Allah Yang menciptakannya, jika memang kalian beribadah hanya kepada-
Nya.” (Al-Fushhilat ayat 37)
Tidak hanya ayat-ayat di atas saja yang menjelaskan tentang ini. Ada beberapa dalil
al-quran lain-nya seperti surah Yasin ayat 38-40 dan surah An’am ayat 96. Namun
keseluruhan dalil quran tersebut hanya berbicara tentang fenomena gerhana secara umum di
mana ia merupakan fenomena biasa tentang tanda-tanda kekuasaan allah, dan penyebabkan
ialah ketetapan peredaran matahari dan bulan yang allah ciptakan. Untuk syariat-nya sendiri
dalil ini hanya berupa perintah untuh menyembah Allah sang maha pencipta. Bentuk
menyembah di sini masih dalam bentuk umum. Berikut dalil-dalil hadits yang menjelaskan
tentang fenomena ini secara lebih khusus.

:‫ال‬َ َ‫ ق‬،َ‫ ع َْن أَبِي بَ ْك َرة‬،‫ ع َِن ال َح َس ِن‬،‫س‬ َ ُ‫ ع َْن يُون‬،‫ َح َّدثَنَا َخالِ ٌد‬:‫ قَا َل‬،‫َح َّدثَنَا َع ْمرُو ب ُْن عَوْ ٍن‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ فَقَا َم النَّبِ ُّي‬، ُ‫ت ال َّش ْمس‬ ِ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَا ْن َك َسف‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ُكنَّا ِع ْن َد َرس‬
، ُ‫ت ال َّش ْمس‬ ِ َ‫صلَّى بِنَا َر ْك َعتَ ْي ِن َحتَّى ا ْن َجل‬ َ َ‫ ف‬،‫ فَ َدخ َْلنَا‬،َ‫ْجد‬ ِ ‫َو َسلَّ َم يَجُرُّ ِردَا َءهُ َحتَّى َدخَ َل ال َمس‬
،‫ فَإ ِ َذ َرأَ ْيتُ ُموهُ َما‬،‫ت أَ َح ٍد‬
ِ ْ‫س َوالقَ َم َر الَ يَ ْن َك ِسفَا ِن لِ َمو‬ َ ‫ «إِ َّن ال َّش ْم‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ال‬ َ َ‫فَق‬
‫ َوا ْد ُعوا َحتَّى يُ ْك َشفَ َما بِ ُك ْم‬،‫صلُّوا‬ َ َ‫»ف‬
Artinya : Abu Bakrah berkata, “Kami berada di sisi Rasulullah lalu terjadi gerhana
matahari. Maka, Nabi berdiri dengan mengenakan selendang beliau hingga beliau

1
masuk ke dalam masjid, (dan orang-orang pun bersegera ke sana), lalu kami masuk.
Kemudian beliau shalat dua rakaat bersama kami hingga matahari menjadi jelas.
Beliau menghadap kami, lalu bersabda, ‘Sesungguhnya matahari dan bulan adalah
dua dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dan sesungguhnya keduanya bukan gerhana
karena meninggalnya seseorang. Akan tetapi, Allah ta’ala menakut-nakuti hamba-
hamba-Nya dengannya. Oleh karena itu, apabila kamu melihatnya, maka shalatlah
dan berdoalah sehingga terbuka apa (gerhana) yang terjadi padamu.”

َ ‫قَا‬
-:‫ل‬ ،‫س‬ٍ ‫ ع َْن قَ ْي‬،‫ ع َْن إِ ْس َما ِعي َل‬،‫ َح َّدثَنَا إِب َْرا ِهي ُم ب ُْن ُح َم ْي ٍد‬:‫ال‬َ َ‫ ق‬،‫َح َّدثَنَا ِشهَابُ ب ُْن َعبَّا ٍد‬
َ‫س َوالقَ َم َر ال‬ َ ‫ «إِ َّن ال َّش ْم‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ال النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ ق‬:ُ‫ يَقُول‬،‫ْت أَبَا َم ْسعُو ٍد‬ُ ‫َس ِمع‬
،‫ فَقُو ُموا‬،‫ فَإ ِ َذا َرأَ ْيتُ ُموهُ َما‬،ِ ‫ت هَّللا‬
ِ ‫َان ِم ْن آيَا‬ ِ َّ‫ت أَ َح ٍد ِمنَ الن‬
ِ ‫ َولَ ِكنَّهُ َما آيَت‬،‫اس‬ ِ َ‫يَ ْن َك ِسف‬
ِ ْ‫ان لِ َمو‬
‫صلُّوا‬َ َ‫ف‬9»
Artinya : Abu Mas’ud berkata, “Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya matahari dan bulan
tidak gerhana karena meninggal seseorang. Tetapi, keduanya adalah dua dari
tanda-tanda dari kebesaran Allah. Apabila kamu melihatnya, maka berdirilah untuk
mengerjakan shalat gerhana.”

– ‫ ع َْن أَبِي‬،‫الح َس ِن‬ َ ‫ َع ِن‬،‫س‬ َ ُ‫ ع َْن يُون‬،‫ َح َّدثَنَا َح َّما ُد ب ُْن زَ ْي ٍد‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ ب ُْن َس ِعي ٍد‬
ِ ‫س َوالقَ َم َر آيَتَا ِن ِم ْن آيَا‬
‫ت‬ َ ‫ «إِ َّن ال َّش ْم‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،َ‫بَ ْك َرة‬
‫ف بِهَا ِعبَا َدهُ» َوقَا َل أَبُو‬ ُ ‫ َولَ ِك َّن هَّللا َ تَ َعالَى يُ َخ ِّو‬،‫ت أَ َح ٍد َوالَ لِ َحيَاتِ ِه‬ ِ ْ‫ان لِ َمو‬ ِ َ‫ الَ يَ ْن َك ِسف‬،ِ ‫هَّللا‬
‫ ع َْن‬،َ‫ َو َح َّما ُد ب ُْن َسلَ َمة‬،ِ ‫ َوخَالِ ُد ب ُْن َع ْب ِد هَّللا‬،ُ‫ َو ُش ْعبَة‬،‫ث‬ ِ ‫ار‬ ِ ‫الو‬ َ ‫ َولَ ْم يَ ْذ ُكرْ َع ْب ُد‬:ِ ‫َع ْب ِد هَّللا‬
‫ ع َْن‬،‫ َوتَابَ َعهُ ُمو َسى‬،‫الح َس ِن‬ َ ‫ َع ِن‬،‫ث‬ ُ ‫ َوتَابَ َعهُ أَ ْش َع‬،»ُ‫ف هَّللا ُ بِهَا ِعبَا َده‬ ُ ‫ُخَو‬ِّ ‫ «ي‬:‫س‬ َ ُ‫يُون‬
َ ‫ «إِ َّن هَّللا‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ َع ِن النَّبِ ِّي‬،َ‫ أَ ْخبَ َرنِي أَبُو بَ ْك َرة‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ ع َِن ال َح َس ِن‬،‫ك‬ ٍ ‫ار‬َ َ‫ُمب‬
ُ‫ف بِ ِه َما ِعبَا َده‬ُ ‫»تَ َعالَى يُخ َِّو‬10
Artinya : dari [Abu Bakrah] berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda
kebesaran Allah, dan keduanya tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena
mati atau hidupnya seseorang. Akan tetapi dengan peristiwa itu Allah Ta’ala ingin
membuat para hamba-Nya takut (dengan siksa-Nya).” Abu ‘Abdullah berkata, ”
[‘Abdul Warits] dan [Syu’bah] dan [Khalid bin ‘Abdullah] dan [Hammad bin
Salamah] dari [Yunus] tidak menyebutkan lafadz, ‘Akan tetapi dengan peristiwa
tersebut Allah Ta’ala ingin membuat para hamba-Nya takut (dengan siksa-Nya).”
Riwayat ini dikuatkan oleh [‘Asy’ats] dari [Al Hasan], dan dikuatkan juga oleh
[Musa] dari [Mubarak] dari [Al Hasan] ia berkata; telah mengabarkan kepadaku
[Abu Bakrah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala dengan peristiwa itu Allah ingin membuat takut para
hamba-Nya (dari siksa-Nya).”

1508ِ ‫َح َّدثَنَا أَبُو بَ ْك ِر ب ُْن أَبِي َش ْيبَةَ َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ ب ُْن نُ َمي ٍْر ح و َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ب ُْن َع ْب ِد هَّللا‬
‫ك ع َْن َعطَا ٍء ع َْن َجابِ ٍر قَا َل‬ ِ ِ‫ال َح َّدثَنَا أَبِي َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َمل‬
َ َ‫اربَا فِي اللَّ ْف ِظ ق‬
َ َ‫ْب ِن نُ َمي ٍْر َوتَق‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَوْ َم َماتَ إِب َْرا ِهي ُم اب ُْن َرسُو ِل‬ َ ِ ‫ت ال َّش ْمسُ فِي َع ْه ِد َرسُو ِل هَّللا‬ ْ َ‫ا ْن َك َسف‬
9
Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Ilmiyyah,
1992), Nomor Hadist 1041, Juz 2, Hlm. 33.
10
Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Ilmiyyah,
1992), Nomor Hadist 1048, Juz 2, Hlm. 36.

2
ُ ‫صلَّى هَّللا‬
َ ‫ت إِ ْب َرا ِهي َم فَقَا َم النَّبِ ُّي‬ ِ ْ‫ت لِ َمو‬ ْ َ‫ال النَّاسُ إِنَّ َما ا ْن َك َسف‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَق‬ َ ِ ‫هَّللا‬
‫ت بَدَأَ فَ َكب ََّر ثُ َّم قَ َرأَ فَأَطَا َل ْالقِ َرا َءةَ ثُ َّم‬ ٍ ‫ت بِأَرْ بَ ِع َس َجدَا‬ ٍ ‫ت َر َك َعا‬ َّ ‫اس ِس‬ ِ َّ‫صلَّى بِالن‬ َ َ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ف‬
‫وع فَقَ َرأَ قِ َرا َءةً ُدونَ ْالقِ َرا َء ِة اأْل ُولَى ثُ َّم َر َك َع‬ ْ
ِ ‫َر َك َع نَحْ ًوا ِم َّما قَا َم ثُ َّم َرفَ َع َرأ َسهُ ِم ْن الرُّ ُك‬
‫وع فَقَ َرأَ قِ َرا َءةً ُدونَ ْالقِ َرا َء ِة الثَّانِيَ ِة ثُ َّم َر َك َع نَحْ ًوا‬ ْ
ِ ‫نَحْ ًوا ِم َّما قَا َم ثُ َّم َرفَ َع َرأ َسهُ ِم ْن الرُّ ُك‬
‫وع ثُ َّم ا ْن َحد ََر بِال ُّسجُو ِد فَ َس َج َد َسجْ َدتَ ْي ِن ثُ َّم قَا َم فَ َر َك َع أَ ْيضًا‬ ْ
ِ ‫ِم َّما قَا َم ثُ َّم َرفَ َع َرأ َسهُ ِم ْن الرُّ ُك‬
‫ط َو ُل ِم ْن الَّتِي بَ ْع َدهَا َو ُر ُكو ُعهُ نَحْ ًوا ِم ْن‬ ْ َ‫ْس فِيهَا َر ْك َعةٌ إِاَّل الَّتِي قَ ْبلَهَا أ‬ َ ‫ت لَي‬ ٍ ‫ث َر َك َعا‬ َ ‫ثَاَل‬
‫خَلفَهُ َحتَّى ا ْنتَهَ ْينَا َوقَا َل أَبُو بَ ْك ٍر َحتَّى ا ْنتَهَى إِلَى‬ ْ ‫وف‬ ُ ُ‫ت الصُّ ف‬ ْ ‫ُسجُو ِد ِه ثُ َّم تَأ َ َّخ َر َوتَأ َ َّخ َر‬
‫ت‬ْ ‫ض‬ َ ‫ص َرفَ َوقَ ْد آ‬ َ ‫ص َرفَ ِحينَ ا ْن‬ َ ‫النِّ َسا ِء ثُ َّم تَقَ َّد َم َوتَقَ َّد َم النَّاسُ َم َعهُ َحتَّى قَا َم فِي َمقَا ِم ِه فَا ْن‬
‫ت هَّللا ِ َوإِنَّهُ َما اَل يَ ْن َك ِسفَا ِن‬ِ ‫ال َّش ْمسُ فَقَا َل يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ َما ال َّش ْمسُ َو ْالقَ َم ُر آيَتَا ِن ِم ْن آيَا‬
‫صلُّوا َحتَّى‬ َ َ‫ك ف‬ َ ِ‫ت بَ َش ٍر فَإ ِ َذا َرأَ ْيتُ ْم َش ْيئًا ِم ْن َذل‬ ِ ْ‫ال أَبُو بَ ْك ٍر لِ َمو‬ َ َ‫اس َوق‬ ِ َّ‫ت أَ َح ٍد ِم ْن الن‬ ِ ْ‫لِ َمو‬
َ‫ار َو َذلِ ُك ْم ِحين‬ ِ َّ‫صاَل تِي هَ ِذ ِه لَقَ ْد ِجي َء بِالن‬ َ
َ ‫تَ ْن َجلِ َي َما ِم ْن َش ْي ٍء تُو َع ُدونَهُ إِاَّل قَ ْد َرأ ْيتُهُ فِي‬
‫ب ْال ِمحْ َج ِن‬ َ ‫صا ِح‬ َ ‫ْت فِيهَا‬ ُ ‫ُصيبَنِي ِم ْن لَ ْف ِحهَا َو َحتَّى َرأَي‬ ِ ‫ت َمخَافَةَ أَ ْن ي‬ ُ ْ‫َرأَ ْيتُ ُمونِي تَأ َ َّخر‬
‫ق بِ ِمحْ َجنِي‬ َ َّ‫ق ْال َحا َّج بِ ِمحْ َجنِ ِه فَإ ِ ْن فُ ِطنَ لَهُ قَا َل إِنَّ َما تَ َعل‬ ُ ‫ْر‬ِ ‫ار َكانَ يَس‬ ِ َّ‫يَجُرُّ قُصْ بَهُ فِي الن‬
‫ط ِع ْمهَا َولَ ْم‬ ْ ُ‫احبَةَ ْال ِه َّر ِة الَّتِي َربَطَ ْتهَا فَلَ ْم ت‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ْت فِيهَا‬ ُ ‫َب بِ ِه َو َحتَّى َرأَي‬ َ ‫َوإِ ْن ُغفِ َل َع ْنهُ َذه‬
َ‫َت جُوعًا ثُ َّم ِجي َء بِ ْال َجنَّ ِة َو َذلِ ُك ْم ِحين‬ ْ
ْ ‫ض َحتَّى َمات‬ ِ ْ‫اش اأْل َر‬ ِ ‫تَ َد ْعهَا تَأ ُك ُل ِم ْن خَ َش‬
‫ت يَ ِدي َوأَنَا أُ ِري ُد أَ ْن أَتَنَا َو َل ِم ْن ثَ َم ِرهَا‬ ُ ‫ت فِي َمقَا ِمي َولَقَ ْد َم َد ْد‬ ُ ‫ت َحتَّى قُ ْم‬ ُ ‫َرأَ ْيتُ ُمونِي تَقَ َّد ْم‬
‫صاَل تِي‬ َ ‫لِتَ ْنظُرُوا إِلَ ْي ِه ثُ َّم بَدَا لِي أَ ْن اَل أَ ْف َع َل فَ َما ِم ْن َش ْي ٍء تُو َع ُدونَهُ إِاَّل قَ ْد َرأَ ْيتُهُ فِي‬
‫هَ ِذ ِه‬11
Artinya : “dari [Jabir] ia berkata; Pernah terjadi gerhana matahari pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertepatan dengan hari wafatnya Ibrahim
bin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang-orang pun mengatakan,
“Terjadinya gerhana matahari adalah karena kematiannya Ibrahim.” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri menunaikan shalat (gerhana)
bersama para sahabat sebanyak enam raka’at dengan empat kali sujud. Mula-mula
beliau bertakbir, dan membaca ayat dan memanjangkan bacaannya itu. Kemudian
beliau ruku’ lama, lamanya kira-kira selama beliau berdiri itu. Kemudian beliau
mengangkat kepala dari ruku’ (I’tidal), lalu beliau membaca ayat, namun tidak
sepanjang yang pertama. Kemudian beliau ruku’, lamanya kira-kira seperti
lamanya beliau berdiri. Kemudian I’tidal, lalu membaca ayat, tetapi panjangnya
tidak sepanjang yang kedua. Kemudian beliau ruku’, seperti lamanya beliau berdiri.
Kemudian beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ kemudian langsung turun untuk
sujud, dan beliau sujud dua kali. Kemudian beliau berdiri, dan sesudah itu ruku’
pula tiga kali; dan bacaannya setiap raka’at yang dahulu lebih panjang daripada
yang setelahnya. Begitu pula lama ruku’ hampir sama dengan lamanya sujud.
Kemudian beliau mundur, maka mundur pula seluruh shaf di belakang beliau
hingga sampai dekat shafnya kaum wanita. Kemudian beliau maju, dan maju pula
seluruh jama’ah mengikuti beliau, hingga sampai ke tempatnya semula. Sesudah itu,
shalat gerhana selesai, dan matahari telah terang kembali. Di dalam khutbahnya
antara lain beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya matahari
dan bulan adalah dua ayat (bukti) di antara sekian banyak bukti kebesaran Allah.
Dan gerhana pada keduanya itu terjadi bukan karena kematian seseorang. Karena

Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Ilmiyyah,
11

1992), Nomor Hadist 1508, Juz 2, Hlm. 36.

3
itu, apabila kalian melihat gerhana, maka shalatlah, hingga ia terang kembali.
Segala yang dijanjikan Allah telah diperlihatkan kepadaku dalam shalatku yang
sebentar ini. Diperlihatkannya kepadaku neraka; yaitu ketika kalian melihat aku
mundur, karena aku takut terkena jilatannya. Sehingga tampak olehku seorang
pemilik tongkat (yang ujungnya bengkok) sedang menyeret ususnya di neraka,
karena ia (dahulu) pernah mencuri harta jama’ah haji dengan tongkatya tersebut.
Jika ada orang bertanya kepadanya, kenapa kamu mencuri? Ia menjawab, aku tak
sengaja karena menyangkut pada tombakku. Tetapi jika orang lengah, dia mencuri
lagi. Kulihat juga di dalam neraka ada seorang wanita pemilik kucing. Dia
mengikat kucing itu namun tidak diberinya makan, dan tidak pula dilepaskannya
agar kucing tersebut bisa mencari makannya sendiri seperti rumput-rumput kering,
hingga akhirnya kucing itu mati kelaparan. Kemudian diperlihatkan pula kepadaku
surga; yaitu ketika kalian melihatku maju, sehingga meski aku berdiri di tempatku
ini aku ulurkan tanganku untuk memetik buah-buahannya, supaya kamu semua
dapat melihatnya. Tapi ternyata aku tak dapat melakukannya. Tidak ada sesuatupun
yang dijanjikan Allah, melainkan kulihat nyata di dalam shalatku ini.” (Muslim :
1508)

– 1044‫ ع َْن‬،‫ ع َْن أَبِي ِه‬،َ‫ ع َْن ِه َش ِام ب ِْن عُرْ َوة‬،‫ك‬ ٍ ِ‫ ع َْن َمال‬،َ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ ب ُْن َم ْسلَ َمة‬
‫صلَّى‬
َ َ‫ ف‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫ت ال َّش ْمسُ فِي َع ْه ِد َرس‬ ِ َ‫ خَ َسف‬:‫ت‬ ْ َ‫ أَنَّهَا قَال‬،َ‫عَائِ َشة‬
،َ‫ال الرُّ ُكوع‬ َ َ‫ فَأَط‬،‫ ثُ َّم َر َك َع‬،‫ال القِيَا َم‬ َ َ‫ فَأَط‬،‫ فَقَا َم‬،‫اس‬ ِ َّ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِالن‬ َ ِ ‫َرسُو ُل هَّللا‬
ِ ‫ال الرُّ ُكو َع َوهُ َو ُدونَ الرُّ ُك‬
‫وع‬ َ َ‫ ثُ َّم َر َك َع فَأَط‬،‫ال القِيَا َم َوهُ َو ُدونَ القِيَ ِام األَ َّو ِل‬ َ َ‫ثُ َّم قَا َم فَأَط‬
‫ ثُ َّم‬،‫ ثُ َّم فَ َع َل فِي ال َّر ْك َع ِة الثَّانِيَ ِة ِم ْث َل َما فَ َع َل فِي األُولَى‬،َ‫ ثُ َّم َس َج َد فَأَطَا َل ال ُّسجُود‬،‫األَ َّو ِل‬
‫ «إِ َّن‬:‫ ثُ َّم قَا َل‬،‫ فَ َح ِم َد هَّللا َ َوأَ ْثنَى َعلَ ْي ِه‬،‫اس‬
َ َّ‫ب الن‬ َ َ‫ فَخَ ط‬، ُ‫ت ال َّش ْمس‬ ِ َ‫ص َرفَ َوقَ ْد ا ْن َجل‬ َ ‫ا ْن‬
، َ‫ فَإ ِ َذا َرأَ ْيتُ ْم َذلِك‬،‫ت أَ َح ٍد َوالَ لِ َحيَاتِ ِه‬
ِ ْ‫ الَ يَ ْخ ِسفَا ِن لِ َمو‬،ِ ‫ت هَّللا‬ِ ‫َان ِم ْن آيَا‬ ِ ‫س َوالقَ َم َر آيَت‬ َ ‫ال َّش ْم‬
َ ‫صلُّوا َوت‬
‫َص َّدقُوا‬ َ ‫ َو َكبِّرُوا َو‬،َ ‫»فَا ْد ُعوا هَّللا‬12
Artinya : dari [‘Aisyah] bahwasanya dia berkata, “Pernah terjadi gerhana
matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mendirikan shalat bersama orang banyak. Beliau
berdiri dalam shalatnya dengan memanjangkan lama berdirinya, kemudian rukuk
dengan memanjangkan rukuknya, kemudian berdiri dengan memanjangkan lama
berdirinya, namun tidak selama yang pertama. Kemudian beliau rukuk dan
memanjangkan lama rukuknya, namun tidak selama rukuknya yang pertama.
Kemudian beliau sujud dengan memanjangkan lama sujudnya, beliau kemudian
mengerjakan rakaat kedua seperti pada rakaat yang pertama. Saat beliau selesai
melaksanakan shalat, matahari telah nampak kembali. Kemudian beliau
menyampaikan khutbah kepada orang banyak, beliau memulai khutbahnya dengan
memuji Allah dan mengangungkan-Nya, lalu bersabda: “Sesungguhnya matahari
dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidak akan
mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian
melihat gerhana, maka banyaklah berdoa kepada Allah, bertakbirlah, dirikan shalat
dan bersedekahlah.”

12
Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Ilmiyyah,
1992), Nomor Hadist 1044, Juz 2, Hlm. 34.

4
1059‫ ع َْن أَبِي‬،ِ ‫ ع َْن بُ َر ْي ِد ْب ِن َع ْب ِد هَّللا‬،َ‫ َح َّدثَنَا أَبُو أُ َسا َمة‬:‫ قَا َل‬،‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ب ُْن ال َعالَ ِء‬
،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ ِزعًا‬ َ ‫ فَقَا َم النَّبِ ُّي‬، ُ‫ت ال َّش ْمس‬ ِ َ‫ خَ َسف‬:‫ قَا َل‬،‫ ع َْن أَبِي ُمو َسى‬،َ‫بُرْ َدة‬
ُّ َ‫وع َو ُسجُو ٍد َرأَ ْيتُهُ ق‬
‫ط‬ ْ َ ‫صلَّى بِأ‬
ٍ ‫ط َو ِل قِيَ ٍام َو ُر ُك‬ َ َ‫ ف‬،َ‫ْجد‬ ِ ‫ فَأَتَى ال َمس‬،ُ‫يَ ْخ َشى أَ ْن تَ ُكونَ السَّا َعة‬
‫ َولَ ِك ْن‬،‫ت أَ َح ٍد َوالَ لِ َحيَاتِ ِه‬ِ ْ‫ون لِ َمو‬ ُ ‫ الَ تَ ُك‬،ُ ‫ات الَّتِي يُرْ ِس ُل هَّللا‬ُ َ‫ «هَ ِذ ِه اآلي‬:‫ َوقَا َل‬،ُ‫يَ ْف َعلُه‬
‫ فَا ْفزَ ُعوا إِلَى ِذ ْك ِر ِه َو ُدعَائِ ِه‬، َ‫ فَإ ِ َذا َرأَ ْيتُ ْم َش ْيئًا ِم ْن َذلِك‬،ُ‫ف هَّللا ُ بِ ِه ِعبَا َده‬
ُ ‫يُ َخ ِّو‬
ِ َ‫»وا ْستِ ْغف‬
13
‫ار ِه‬ َ
Artinya : “dari [Abu Musa] berkata, “Ketika terjadi gerhana matahari, Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dengan tergesa-gesa seolah akan terjadi hari
kiamat. Beliau lantas mendatangi masjid dan shalat dengan berdiri, rukuk dan
sujud yang paling panjang, yang pernah aku lihat dari yang beliau pernah lakukan.
Kemudian beliau bersabda: “Inilah dua tanda-tanda yang Allah kirimkan, ia tidak
terjadi karena hidup atau matinya seseorang, tetapi ‘(Dia, Allah mempertakuti
hamba-hambaNya dengannya) ‘ (Qs. Az-Zumar: 16). Maka jika kalian melihat
sesuatu padanya (gerhana), maka segeralah untuk mengingat Allah, berdoa dan
minta ampunan.”

-1046‫ ح‬،‫ب‬ ٍ ‫ َع ِن اب ِْن ِشهَا‬،‫ ع َْن ُعقَ ْي ٍل‬،‫ْث‬ ُ ‫ َح َّدثَنِي اللَّي‬:‫ قَا َل‬،‫َح َّدثَنَا يَحْ يَى ب ُْن بُ َكي ٍْر‬
،‫ب‬ٍ ‫ َع ِن ا ْب ِن ِشهَا‬، ُ‫ َح َّدثَنَا يُونُس‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،ُ‫ َح َّدثَنَا َع ْنبَ َسة‬:‫ال‬ َ َ ‫ ق‬،‫ح‬ َ ‫َو َح َّدثَنِي أَحْ َم ُد ب ُْن‬
ٍ ِ‫صال‬
ُ‫ت ال َّش ْمس‬ ِ َ‫ خَ َسف‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ج النَّبِ ِّي‬ ِ ْ‫ زَ و‬،َ‫ ع َْن عَائِ َشة‬،ُ‫َح َّدثَنِي عُرْ َوة‬
‫ فَ َكبَّ َر‬،ُ‫ف النَّاسُ َو َرا َءه‬ َّ ‫ص‬ َ َ‫ ف‬،‫ فَخَ َر َج إِلَى ال َم ْس ِج ِد‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫فِي َحيَا ِة النَّبِ ِّي‬
‫ ثُ َّم‬، ‫ ثُ َّم َكب ََّر فَ َر َك َع ُر ُكوعًا طَ ِوياًل‬،ً‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قِ َرا َءةً طَ ِويلَة‬ َ ِ ‫فَا ْقت ََرأَ َرسُو ُل هَّللا‬
‫ َوقَ َرأَ قِ َرا َءةً طَ ِويلَةً ِه َي أَ ْدنَى ِمنَ القِ َرا َء ِة‬،‫ فَقَا َم َولَ ْم يَ ْس ُج ْد‬،ُ‫ َس ِم َع هَّللا ُ لِ َم ْن َح ِم َده‬:‫قَا َل‬
َ َ‫ ثُ َّم ق‬،‫وع األَ َّو ِل‬ ُ
ُ ‫ َس ِم َع هَّللا‬:‫ال‬ ِ ‫ ثُ َّم َكب ََّر َو َر َك َع ُر ُكوعًا طَ ِوياًل َوهُ َو أَ ْدنَى ِمنَ الرُّ ُك‬،‫األولَى‬
‫ فَا ْستَ ْك َم َل‬،‫ك‬ َ ِ‫ال فِي ال َّر ْك َع ِة اآل ِخ َر ِة ِم ْث َل َذل‬ َ َ‫ ثُ َّم ق‬،َ‫ ثُ َّم َس َجد‬،‫الح ْم ُد‬
َ َ‫ َربَّنَا َولَك‬،ُ‫لِ َم ْن َح ِم َده‬
‫ فَأ َ ْثنَى‬،‫ ثُ َّم قَا َم‬، َ‫ص ِرف‬ َ ‫ت ال َّش ْمسُ قَب َْل أَ ْن يَ ْن‬ ِ َ‫ َوا ْن َجل‬،‫ت‬ ٍ ‫ت فِي أَرْ بَ ِع َس َجدَا‬ ٍ ‫أَرْ بَ َع َر َك َعا‬
َ‫ت أَ َح ٍد َوال‬ ِ ْ‫ الَ يَ ْخ ِسفَا ِن لِ َمو‬،ِ ‫ت هَّللا‬ ِ ‫َان ِم ْن آيَا‬ ِ ‫ «هُ َما آيَت‬:‫َعلَى هَّللا ِ بِ َما هُ َو أَ ْهلُهُ ثُ َّم قَا َل‬
‫صالَ ِة‬َّ ‫ فَإ ِ َذا َرأَ ْيتُ ُموهُ َما فَا ْف َز ُعوا إِلَى ال‬،‫لِ َحيَاتِ ِه‬14»
Artinya : [‘Aisyah radliallahu ‘anhuma] telah mengabarkan kepadanya bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika hari terjadinya gerhana matahari,
Beliau berdiri melaksanakan shalat. Beliau membaca takbir, kemudian membaca
dengan bacaan surat yang panjang, lalu ruku’ dengan ruku’ yang panjang (lama)
lalu mengangkat kepalanya seraya membaca sami’allahu liman hamidah. Lalu
Beliau kembali berdiri sebagaimana sebelumnya dan membaca bacaan yang
panjang namun kurang dari bacaannya yang pertama tadi, lalu ruku’ dengan ruku’
yang panjang namun kurang dari ruku’nya yang pertama tadi, lalu sujud dengan
sujud yang panjang. Kemudian Beliau melakukannya seperti itu pada raka’at yang
akhir lalu memberi salam sementara matahari sudah tampak kembali. Lalu Beliau
menyampaikan khathbah di hadapan manusia dan berkata tentang gerhana

13
Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Ilmiyyah,
1992), Nomor Hadist 1059, Juz 2, Hlm. 39.
14
Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Ilmiyyah,
1992), Nomor Hadist 1046, Juz 2, Hlm. 35.

5
matahari dan bulan bahwa: “Keduanya adalah dua tanda dari tanda-tanda
kebesaran Allah, tidak mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya
seseorang. Maka jika kalian melihat gerhana keduanya, bersegeralah mendirikan
shalat”.

– (901)‫س ع َْن ِه َش ِام ب ِْن عُرْ َوةَ ع َْن أَبِي ِه ع َْن‬ ٍ َ‫ك ْب ِن أَن‬ ِ ِ‫و َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ ب ُْن َس ِعي ٍد ع َْن َمال‬
‫عَائِ َشةَ ح و َح َّدثَنَا أَبُو بَ ْك ِر ب ُْن أَبِي َش ْيبَةَ َواللَّ ْفظُ لَهُ قَا َل َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ ب ُْن نُ َمي ٍْر َح َّدثَنَا‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬َ ِ ‫ت ال َّش ْمسُ فِي َع ْه ِد َرسُو ِل هَّللا‬ ْ َ‫ت خَ َسف‬ ْ َ‫ِه َشا ٌم ع َْن أَبِي ِه ع َْن عَائِ َشةَ قَال‬
‫ال‬َ َ‫ًًّدا ثُ َّم َر َك َع فَأَط‬ÀÁ ‫ال ْالقِيَا َم ِج‬ َ َ‫صلِّي فَأَط‬ َ ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ي‬ َ ِ ‫َو َسلَّ َم فَقَا َم َرسُو ُل هَّللا‬
‫ًًّدا َوهُ َو ُدونَ ْالقِيَ ِام اأْل َ َّو ِل ثُ َّم َر َك َع فَأَطَا َل‬ÀÁ ‫ًًّدا ثُ َّم َرفَ َع َر ْأ َسهُ فَأَطَا َل ْالقِيَا َم ِج‬ÀÁ ‫الرُّ ُكو َع ِج‬
‫وع اأْل َ َّو ِل ثُ َّم َس َج َد ثُ َّم قَا َم فَأَطَا َل ْالقِيَا َم َوهُ َو ُدونَ ْالقِيَ ِام‬ ِ ‫ًدا َوهُ َو ُدونَ الرُّ ُك‬ÁًّÀ ‫الرُّ ُكو َع ِج‬
‫وع اأْل َ َّو ِل ثُ َّم َرفَ َع َر ْأ َسهُ فَقَا َم فَأَطَا َل‬ ِ ‫ال الرُّ ُكو َع َوهُ َو ُدونَ الرُّ ُك‬ َ َ‫اأْل َ َّو ِل ثُ َّم َر َك َع فَأَط‬
‫وع اأْل َ َّو ِل ثُ َّم َس َج َد‬ ِ ‫ال الرُّ ُكو َع َوهُ َو ُدونَ الرُّ ُك‬ َ َ‫ْالقِيَا َم َوهُ َو ُدونَ ْالقِيَ ِام اأْل َ َّو ِل ثُ َّم َر َك َع فَأَط‬
‫اس فَ َح ِم َد‬ َ َّ‫ب الن‬ َ َ‫ت ال َّش ْمسُ فَ َخط‬ ْ َّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوقَ ْد ت ََجل‬ َ ِ ‫ص َرفَ َرسُو ُل هَّللا‬ َ ‫ثُ َّم ا ْن‬
‫ت أَ َح ٍد‬ ِ ْ‫ت هَّللا ِ َوإِنَّهُ َما اَل يَ ْن َخ ِسفَا ِن لِ َمو‬ ِ ‫س َو ْالقَ َم َر ِم ْن آيَا‬ َ ‫ال إِ َّن ال َّش ْم‬ َ َ‫هَّللا َ َوأَ ْثنَى َعلَ ْي ِه ثُ َّم ق‬
‫ص َّدقُوا يَا أُ َّمةَ ُم َح َّم ٍد إِ ْن ِم ْن‬ َ َ‫صلُّوا َوت‬ َ ‫َواَل لِ َحيَاتِ ِه فَإ ِ َذا َرأَ ْيتُ ُموهُ َما فَ َكبِّرُوا َوا ْد ُعوا هَّللا َ َو‬
‫أَ َح ٍد أَ ْغيَ َر ِم ْن هَّللا ِ أَ ْن يَ ْزنِ َي َع ْب ُدهُ أَوْ ت َْزنِ َي أَ َمتُهُ يَا أُ َّمةَ ُم َح َّم ٍد َوهَّللا ِ لَوْ تَ ْعلَ ُمونَ َما أَ ْعلَ ُم‬
‫س َو ْالقَ َم َر آيَتَا ِن‬ َ ‫ك إِ َّن ال َّش ْم‬ ٍ ِ‫ت َوفِي ِر َوايَ ِة َمال‬ ُ ‫ض ِح ْكتُ ْم قَلِياًل أَاَل هَلْ بَلَّ ْغ‬ َ َ‫لَبَ َك ْيتُ ْم َكثِيرًا َول‬
‫اويَةَ ع َْن ِه َش ِام ْب ِن عُرْ َوةَ بِهَ َذا‬ ِ ‫ت هَّللا ِ و َح َّدثَنَاه يَحْ يَى ب ُْن يَحْ يَى أَ ْخبَ َرنَا أَبُو ُم َع‬ ِ ‫ِم ْن آيَا‬
‫ت هَّللا ِ َوزَا َد أَ ْيضًا ثُ َّم َرفَ َع يَ َد ْي ِه‬ ِ ‫س َو ْالقَ َم َر ِم ْن آيَا‬ َ ‫اإْل ِ ْسنَا ِد َوزَا َد ثُ َّم قَا َل أَ َّما بَ ْع ُد فَإ ِ َّن ال َّش ْم‬
ُ ‫فَقَا َل اللَّهُ َّم هَلْ بَلَّ ْغ‬
‫ت‬ 15

Artinya : dari [Aisyah] -dalam jalur lain- Dan telah menceritakan kepada kami
[Abu Bakar bin Abu Syaibah] -dan lafazhnya juga darinya- ia berkata, telah
menceritakan kepada kami [Abdullah bin Numair] telah menceritakan kepada kami
[Hisyam] dari [bapaknya] dari [Aisyah] ia berkata; Pada masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah terjadi gerhana matahari, lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat (gerhana). Beliau berdiri lama
sekali, lalu ruku’ dengan lama sekali, kemudian bangun dari ruku’ dan berdiri lama
sekali, namun tidak seperti lama berdirinya yang pertama, lalu beliau ruku’ lama
sekali, namun tidak seperti ruku’nya yang pertama, lalu beliau sujud. Kemudian
beliau berdiri lama, namun tidak seperti lama berdirinya yang pertama, lalu beliau
ruku’ lama namun tidak seperti lama ruku’nya yang pertama. Kemudian beliau
mengangkat kepalanya (bangkit), lalu berdiri lama, akan tetapi tidak seperti lama
berdirinya yang pertama, kemudian beliau ruku’ lama, namun tidak seperti lama
ruku’nya yang pertama, lalu beliau sujud. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam selesai shalat, matahari telah bersinar terang. Lalu beliau menyampaikan
khutbah di hadapan para jama’ah. Beliau pertama-tama memuji dan menyanjung
Allah, kemudian bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebagian
dari tanda kebesaran Allah, dan keduanya tidaklah mengalami gerhana karena
kematian atau kelahiran seseorang. Karena itu, apabila kalian melihat gerhana
matahari atau bulan, maka bertakbirlah dan berdo’alah kepada Allah, serta shalat
dan bersedekahlah. Hai umat Muhammad, sungguh tidak ada kebencian yang
15
Abi al-Husaini Muslim al-Hujaj al-Qasyiri al-Nasburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1998), Juz 2, Nomor Hadist. 901, Hlm. 618

6
melebihi kebencian Allah jika ada hamba-Nya (lelaki atau perempuan) yang
berzina. Hai umat Muhammad, demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang
aku ketahui, niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa. Bukankah
aku telah menyampaikan?” Dan dalam riwayat Malik; “Sesungguhnya matahari
dan bulan adalah dua ayat dari ayat-ayat Allah.” Dan telah menceritakan kepada
kami [Yahya bin Yahya] telah mengabarkan kepada kami [Abu Mu’awiyah] dari
[Hisyam bin ‘Urwah] dengan isnad ini. Dan ia juga menambahkan; “Amma Ba’du,
sesungguhnya matahari dan bulan termasuk dari ayat-ayat Allah.” Ia juga
menambahkan; “Kemudian beliau mengangkat keduanya tangannya dan membaca:
‘Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan?”
Beberapa dalil diatas menggambarkan tentang fenomena gerhana ini ditinjau dari
hukum islam. Dalam beberapa ayat al-quran fenomena ini hanya dijelaskan sebagai
kekuasaan allah saja dan dengan kekuasaan ini kita menyembah hanya kepada-nya.
Sedangkan jika melihat dari beberapa dalil hadist di atas baik dalam kitab shahih bukhari
maupun dalam kitab shahih muslim dan kitab-kitab hadist lainya yang penulis tidak jadikan
refrensi, sudah dijelaskan bentuk ibadah (menyembah Allah) apa saja yang perlu dilakukan
ketika gerhana berlangsung seperti misal-nya melaksanakan shalat sunnah beserta anjuran-
anjuranya, memperbanyak dzikir, shadaqah, berdoa dan lain sebagainya.

B. Pandangan Ulama Fiqh Terhadap Fenomena Gerhana Bulan

Sebelumnya penulis sudah uraikan beberapa dalil baik di dalam al-quran maupun
dalam hadist. Secara garis besar tidak semua ulama menafsirkan dalil-dalil tersebut dengan
penafsiran yang sama. Perbedaan mendasar diantara para ulama terletak pada persoalan shalat
sunnah dan amalan lain yang menyertainya. Mengenai persoalan sunnah selain dari shalat
sunnah gerhana seperti hal-nya shadaqah, memperbanyak dzikir (mengingat Allah),
memperbanyak istighfar, dan doa serta amalan lainya tidak terjadi ikhtilaf (Perbedaan
pendapat) di kalangan para ulama fiqh.

Berbicara mengenai perbedaan pendapat ulama terhadap shalat sunnah gerhana


bulan dan amalan lain yang menyertainya. Kira-nya perbedaan ini kita awali dengan
perbedaan hukum pelaksanaan-nya. Jumhur ulama berpendapat hukum shalat sunnah ini ialah
sunnah muakkad (Sunnah yang dianjurkan).16 Pendapat yang berbeda disampaikan oleh
Madzhab Imamiah Syiah, mereka berpendapat bahwa shalat sunnah ini ialah fardhu ain
(wajib bagi setiap orang/individu) bagi setiap mukallaf (setiap muslim yang telah aqil baligh
16
Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Kairo, Darul Hadits, 1431
H/2010 M, juz VI, halaman 106. ‫ر‬À ِ À‫وف ْالقَ َم‬ َ ‫ك َوأَبُو َحنِيَفَةَ ي‬
ِ À‫ُصلِّى لِ ُخ ُس‬ ِ ‫س َو ْالقَ َم ِر ُسنَّةٌ ُمؤَ َّك َدةٌ بِااْل ِ جْ َم‬
َ َ‫اع لَ ِك ْن ق‬
ٌ ِ‫ال َمال‬ ِ ‫ُوف ال َّش ْم‬
ِ ‫صاَل ةُ ُكس‬
َ ‫َو‬
َّ ْ ِّ
‫ُصلي َرك َعتَي ِْن َك َسائِ ِر الن َوافِ ِل‬ ُ
َ ‫ ف َرادَى َوي‬artinya : Menurut kesepakatan para ulama (ijma`) hukum shalat gerhana matahari
dan gerhana bulan adalah sunah mu’akkadah. Akan tetapi menurut Imam Malik dan Abu Hanifah shalat gerhana
bulan dilakukan sendiri-sendiri dua rakaat seperti shalat sunah lainnya

7
dan dikenai hukum).17 Dari pendapat-pendapat tersebut kita bisa siimpulkan bahwa sholat ini
merupakan amalan shalat sunnah yang sangat dianjurkan bahkan sampai diwajibkan oleh
salah satu ulama mazhab.

Waktu berlangsungnya fenomena ini berbeda-beda setiap tahunya tergantung dari


pergerakan bumi, matahari dan bulan pada porosnya. Berbicara mengenai waktu
berlangsungnya gerhana pasti tidak terlepas dari pelaksanaan shalat sunnah gerhana. Menurut
Ibnu Qudamah waktu pelaksanaan shalat sunnah ini ialah ketika masih terjadi gerhana hingga
berakhirnya gerhana, berakhirnya gerhana di sini bisa karena memang piringan bulan keluar
bayangan inti bulan atau karena terbitnya matahari untuk gerhana bulan. Jika waktu gerhana
telah selesai dan shalat masih dilaksanakan maka shalat itu dilanjutkan namun dipersingkat
atau dimudahkan pelaksanaanya.18 Sejalan dengan pendapat Ibnu Qudamah Imam Rafi’i
berpendapat bahwasanya tidak ada shalat gerhana setelah selesainya gerhana secara
keseluruhan.19

Waktu pelaksanaan shalat sunnah ini juga berpengaruh terhadapat tata cara shalat
ini. Ulama Syafiiah dan Hanabilah berpendapat bahwa shalat sunnah gerhana ini berbeda cara
pelaksanaanya dari shalat sunnah lainya, shalat ini dilakukan dalam 2 rakaat dengan 2 kali
berdiri dan 2 kali ruku di setiap rakaatnya20 dalam sumber lain ulama Malikiyah juga
berpendapat sama dengan 2 madzhab ini. Sedangkan menurut ulama hanafiah dan malikiyah
shalat sunnah gerhana ini sama seperti shalat sunnah lainya, ia dilakukan dengan 2, 4 atau
lebih rakaat dengan 1 kali ruku.21 Dan terdapat banyak perbedaan lainya seperti Riwayat
milik Abu Daud dari Ubay bin Kaab yang mengatakan shalat gerhana dilakukan dua rakaat
dan setiap rakaat dilakukan 5 kali rukuk.22 Penambahan rukuk di dalam shalat ini menurut
Abu Bakar bin al-Mundzir dan Ishaq bin Rahawaih bertujuan untuk memanjangkan shalat
hingga gerhana selesai.23

17
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, terj.Afif Muhammad (Jakarta: PT Lentera
Basritama, 1996), Hlm. 129.
18
Qamaruzzaman, “Gerhana Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Astronomi” Jurnal Empirisma Vol.
25 No. 2 Juli 2016, Hlm. 160.
19
Ibnu Qudamah, al Mugni wa al-Syarhu al-Kabir, IV (Beirut: Darul Firi, 1997 ), Hlm. 234.
20
Hassan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, (kakakakakakk),
21
Ibanatul Ahkam
22
Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, terj. Team Darus Sunnah, (Jakarta: Darus Sunnah, cet.
3, vol. 4, 2014), hlm. 790.
23
Isnatun Muna "Analisis Terhadap Pendapat Ulama Ponorogo Tentang Gerhana Bulan (Studi
Komparatif Ulama NU dan Muhammadiyah Tentang Gerhana Bulan Penumbra)". (skripsi hukum keluarga
islam fakultas syariah IAIN Ponorogo 2020) Hlm. 1-2.

8
Shalat ini memiliki kesunnahan dilaksanakan berjamaah di masjid, pendapat ini
disampaikan oleh Mazhab Maliki, Syafi’I, Hambali dan mayoritas ulama. Pendapat lainya di
sampaikan oleh Iraqiyin (ulama Iraq seperti Abu Hanifah dan teman-temannya) dan Imam
Malik (dalam sumber lain), mereka berpendapat sunnah-nya dilakukan sendiri-sendiri dan
berada di dalam rumah.24

Berkaitan dengan shalat jamaah dalam shalat ini, ada kesunnahan yang
menyertainya yakni khutbah. Dikarenakan perbedaan pendapat ulama tentang kesunnahan
berjamaah maka di dalam kesunnahan khutbah, kita juga akan menjumpai banyak ikhtilaf di
kalangan ulama. Berikut terdapat pendapat ulama dalam salah satu kitab fikih :

(‫)ويَ ْخطُبُ اإْل ِ َما ُم‬َ ‫ور فَاَل‬ ُّ َ‫صلِّي َج َما َعةً ِمن‬
ِ ‫الذ ُك‬ َ ُ‫طبَةُ بِ َم ْن ي‬ ْ ‫أَيْ أَوْ نَائِبُهُ َوتُ ْختَصُّ ْال ُخ‬
‫س بِ ِه َك َما‬ َ ْ‫اح َدةٌ ِم ْنه َُّن َو َو َعظَ ْته َُّن فَاَل بَأ‬ ْ ‫ُخ‬
ْ ‫طبَةَ لِ ُم ْنفَ ِر ٍد َواَل لِ َج َما َع ِة النِّ َسا ِء فَلَوْ قَا َم‬
ِ ‫ت َو‬
ْ ‫فِى ُخ‬25
‫طبَ ِة ْال ِعي ِد‬

Artinya : “Kemudian imam berkhotbah atau orang yang menggantikan imam.


Khotbah dikhususkan bagi orang laki-laki yang yang mengikuti shalat tersebut
secara jamaah. Karenanya, tidak ada khutbah bagi orang yang shalat sendirian
juga bagi jamaah perempuan, (akan tetapi, pent) jika salah satu dari jamaah
perempuan berdiri dan memberikan mauidlah, tidak apa-apa sebagaimana dalam
khotbah shalat ‘ied,”
Kesimpulan dari kitab ini ialah kesunnahan khutbah terletak pada ilat apakah ia
melaksanakan shalat ini dengan jamaah atau tidak, jika berjamaah maka ia dianjurkan untuk
khutbah jika tidak maka tidak ada khutbah. Pendapat yang sama disampaikan oleh Imam
Syafii bahwa shalat gerhana itu disyariatkan berkumpul dan khutbah. Sedangkan imam Malik
berpendapat tidak disunnahkan ber khutbah namun disunnahkan memberi nasihat. 26 Dalam
pendapat lain disebutkan Imam Hambali dan Imam Hanafi berpendapat tidak ada khutbah
setelah shalat gerhana, pelaksanaan khutbah pada masa nabi menurut mereka hanya berlaku
pada zaman tersebut.27 Ulama lainya menanggapi persoalan ini, mereka berpendapat khutbah

24
Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, terj. Team Darus Sunnah, (Jakarta: Darus Sunnah, cet.
3, vol. 4, 2014), hlm. 198.
25
Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatus Syeikh Ibrahim Al-Baijuri, (Indonesia: Darul Kutub Al-Islamiyyah,
1428 H/2007 M), juz I, Hlm. 438.
26
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema
Insani,2010), 484.
27
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema
Insani,2010), 494.

9
di sini ialah khutbah rutin atau incidental, di mana kesunnahan ini terjadi apabila terjadi
gerhana.28

Hemat penulis dalam pelaksanaan shalat ini hanya ada satu persamaan pendapat
dikalangan ulama yaitu tentang tata cara pemanggilannya. Seperti shalat sunnah lainya baik
yang hukum-nya tidak terlalu dianjurkan maupun yang sangat dianjurkan (tahajud, dhuha dan
lain sebagainya), shalat sunnah gerhana ini juga tidak menggunakan adzan ataupun iqamah
sebagai penanda masukkanya waktu shalat atau untuk sebagai tanda untuk melaksanakan
shalat jamaah. Dalam prakteknya Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang untuk
menyerukan atau mengajak umat-nya untuk melaksanakan shalat sunnah gerhana dengan
bacaan as-sholatu jamiah (Mari kita lakukan shalat berjamaah) ketika gerhana sedang
berlangsung.29

Berbicara mengenai beberapa ikhtilaf dikalangan para ulama tersebut, ikhtilaf ini
hanya berlaku ketika gerhana bulan umbra saja, di mana perubahan bentuk bulan terlihat
dengan jelas dengan mata telanjang. Dalam berbagai kasus, awan tebal sering menutupi
fenomena gerhana bulan umbra ini. Menanggapi persoalan ini ulama Muhammadiyah
berpendapat bahwa pelaksanaan shalat sunnah ini tetap berlaku, walaupun terjadi hujan lebat
dan awan tebal. Hal ini karena kata “Raitum” di dalam hadist Aisyah R.A bukan hanya
berarti melihat secara fisik namun juga melihat dengan ilmu atau bisa dibilang mengetahui
akan ada-nya gerhana di daerah tersebut.30

Ikhtilaf ulama tidak berlaku bagi keadaan gerhana bulan penumbra. Menurut jumhur
ulama dalam melasakan shalat dalam keadaan ini hukumnya tidak sunnah. Hal ini
diakibatkan oleh tidak terjadinya perubahan secara signifikan terhadap bentuk bulan, di mana
bulan hanya meredup sinarnya. Menurut Gus Shofiyullah salah satu tokoh ulama Nahdhatul
Ulama dalam menanggapi fenomena ini kita bisa mengacu pada hadist Aisyah R.A, di mana
pada kata “melihat” dalam hadist ini berarti melihat dengan mata, ketika gerhana penumbra

28
Syaikh Muhammad al-Utsmaini, Syarah Riyadhus Shalihin,terj. Asmuni (Mesir Iskandariyah: Daar
Al-Bashirah, Cet.II, 2001), Hlm. 453.
29
Qamaruzzaman, “Gerhana Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Astronomi” Jurnal Empirisma Vol.
25 No. 2 Juli 2016, Hlm. 160. Lihat juga dalam Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim Ibn
alMughirah ibn Bardizbah al-Bukhari al-Ja’fi, Shahih al-Bukhari juz II, (Semarang: Toha Putra, tth), hlm. 24
30
Moh. Arif Mustofa, “Relevansi Gerhana Bulan Penumbra Terhadap Pelaksanaan Shalat Khusuful
Qamar Persfektif Fiqih Kontemporer”, (Skripsi Jurusan Akhwalul Syakhsiyah UIN Malik Ibrahim 2017), Hlm.
70.

10
terjadi mata tidak dapat melihat atau membedakan apakah terjadi gerhana oleh sebab itu
melaksanakan shalat ketika ini ialah tidak sunnah.31

31
Moh. Arif Mustofa, “Relevansi Gerhana Bulan Penumbra Terhadap Pelaksanaan Shalat Khusuful
Qamar Persfektif Fiqih Kontemporer”, (Skripsi Jurusan Akhwalul Syakhsiyah UIN Malik Ibrahim 2017), Hlm.
75.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Gerhana adalah sebuah fenomena biasa yang tidak berkaitan dengan meninggalnya
seseorang serta menggambarkan tentang kekuasaan Allah dan ibadah-ibadah sebagai bentuk
penyembahan total ke pada allah. Fenome ini allah ceritakan dalam firmanya surah al-
qiyamah ayat 8, surah Maidah ayat 5, surah fushilat ayat 31, yasin ayat 38-40 dan allah
wasilahkan kepada nabinya melalui hadist-hadist baik shahih bukhari, shahih muslim dan
kitab-kitab hadist lainya. Dalam dalil-dalil tersebut berbicara tentang fenomena dan syariat-
syariat yang menyertainya seperti shalat, zikir, shadaqah dan berdoa.

Ulama fiqh dalam menanggapi dalil-dalil nash tersebut banyak terdapat ikhtilaf
seperti hal-nya hukum shalat sunnah ini ada yang mengatakan sunnah muakkad ada yang
mengatakan wajib, cara pelaksanaanya ada yang menggunakan 2 ruku setiap 1 rakaat ada
yang menggunakan 1 ruku seperti shalat sunnah biasa bahkan ada yang menggunakan 5 kali
ruku setiap rakaat, untuk kesunnahan dalam berjamaah dan dilakukan di masjid ada yang
mengatakan memang sunnah dan ada yang mengatakan sunnah di rumah dan tidak
berjamaah, lalu untuk khutbah ada yang mengatakan sunnah, ada yang mengatakan tidak
sunnah dan ada yang mengatakan sunnah incidental atau sunnah karena suatu keadaan
tertentu. Namun ikhtilaf ini hanya berlaku ketika keadaan gerhana umbra saja, dan Ketika
fenomena gerhana penumbra jumhur ulama sepakat bahwa tidak ada kesunnahan di
dalamnya.

B. Saraan

Pengetahuan masyarakat tentang fenomena gerhana ini sangat sedikit dan minim,
Sebagian besar dari kita hanya mengetahui pelaksanaanya dengan cara berjamaah di masjid
dan menggunakan dua ruku setiap rakaatnya. Penjelasan lebih lanjut mengenai ikhtilaf dan
lain sebagainya tidak dapat kita akses secara mudah, hanya orang akademisi atau yang sangat
ingin tau persoalan ini yang mendapatkan informasi. Penulis berharap kepada para pakar
falak khususnya di Indonesia untuk menyebarkan informasi mengenai fikih gerhana lebih
massif lagi dan secara terbuka bukan dalam beberapa tulisan yang tidak bisa diakses orang

12
awam agar masyarakat memiliki kemampuan yang komperehensif tentang persoalan ini dan
tidak saling salah menyalahkan jika terjadi perbedaan dalam pelaksanaanya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Farid Azmi, Ahmad Adib Rofiuddin, Ahmad Ainul Yaqin, “Prediksi Pergerakan
Bayangan Bumi Saat Terjadi Gerhana Bulan Menggunakan Ephemeris Hisab
Rukyat”, AL-MARSHAD: JURNAL ASTRONOMI ISLAM DAN ILMU-ILMU
BERKAITAN, December 2018

Muhammad Jayusman, “Fenomena Gerhana Dalam Wacana Hukum Islam dan Astronomi”,
AL-‘ADALAH, Vol. X, No. 2 Juli 2011

Qamaruzzaman, “Gerhana Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Astronomi” Jurnal


Empirisma Vol. 25 No. 2 Juli 2016

Moh. Arif Mustofa, “Relevansi Gerhana Bulan Penumbra Terhadap Pelaksanaan Shalat
Khusuful Qamar Persfektif Fiqih Kontemporer”, Skripsi Jurusan Akhwalul
Syakhsiyah UIN Malik Ibrahim 2017

Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta, Buana Pustaka, 2008

Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al Kitab al
‘Ilmiyyah, 1992), Nomor Hadist 1046, Juz 2,

Abi al-Husaini Muslim al-Hujaj al-Qasyiri al-Nasburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1998), Juz 2, Nomor Hadist. 901

Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Kairo, Darul Hadits, 1431 H/2010 M,
juz VI

Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, terj.Afif Muhammad Jakarta: PT Lentera
Basritama, 1996

Ibnu Qudamah, al Mugni wa al-Syarhu al-Kabir, IV (Beirut: Darul Firi, 1997 ), Hlm. 234.

Hassan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, (kakakakakakk

Isnatun Muna "Analisis Terhadap Pendapat Ulama Ponorogo Tentang Gerhana Bulan (Studi
Komparatif Ulama NU dan Muhammadiyah Tentang Gerhana Bulan Penumbra)".
skripsi hukum keluarga islam fakultas syariah IAIN Ponorogo 2020

14
Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, terj. Team Darus Sunnah, (Jakarta: Darus
Sunnah, cet. 3, vol. 4, 2014)

Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatus Syeikh Ibrahim Al-Baijuri, (Indonesia: Darul Kutub Al-
Islamiyyah, 1428 H/2007 M), juz I, Hlm. 438.

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta:
Gema Insani,2010), 484.
Syaikh Muhammad al-Utsmaini, Syarah Riyadhus Shalihin,terj. Asmuni (Mesir
Iskandariyah: Daar Al-Bashirah, Cet.II, 2001), Hlm. 453.

15

Anda mungkin juga menyukai