Anda di halaman 1dari 12

ESSAY

Analisis Kriteria Imkanur Rukyat dalam kitab Mizan al-I’tidal


Karya Syaikh Muhammad Mansur

Disusun oleh:

Dimas Fajar Safa Fadila (215020501111035)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

KOTA MALANG

2023

1
Abstrak

Imkanur Rukyat adalah suatu hasil komperatif dari penyatuan antara hisab
(perhitungan) dalam penentuan awal bulan hijriah dengan rukyat. Persoalan
mengenai kriteria imkanur rukyat (visibilitas hilal) menjadi suatu persoalan yang
sangat sering di bahas oleh para ilmuwan astronomi. Ulama’ fikih kontemporer
juga mengambil tempat untuk membahas hal tersebut. Salah satunya Muhammad
Mansur yang menulis kitab berjudul “Mizan al-I’tidal fi Takmilah Jawab al-Sual
fi Mas’alah Iktilafi al-Mathali’ wa Ru’yah al-Hilal” (sebuah timbangan lurus
dalam melengkapi jawab-soal persoalan perbedaan matha’ dan rukyat hilal).
Beliau menuliskan karya ini menanggapi sebuah pemikiran dari gurunya yaitu
Sayyid Usman al-Batawi yang menjelaskan bahwa visibilas hilal yaitu dengan
ketinngian 7°. Esai ini ditulis untuk menjawab beberapa persoalan mengenai: (1)
Apa latar belakang pemikiran Muhammad Mansur dalam kitab Mizan al-I’tidal
tentang imkan ru’yah? (2) Bagaimana pemikiran Muhammad Mansur tentang
imkān al-ru’yah dalam perspektif astronomi? Permasalahan tersebut dibahas
menggunakan jenis penelitian Pustaka kualitatif. Kitab Mizan al-I’tidal menjadi
referensi utama dan didukung oleh beberapa referensi lain. Karya Muhammad
Mansur tentang imkanur rukyat secara astronomis bersifat dinamis dan naturistic.

2
Pendahuluan

Muhammad Mansyur yang bernama lengkap Syaikh Muhammad Mansur bin


Abdul Hamid atau yang biasa dijuluki Guru Mansur Jembatan Lima. Beliau
ulama’ falak dari daerah Banten. Keilmuannya didapat dari Makkah dan Betawi
yang berguru kepada Abdurrahman Al-Misri.1 Pemikiran beliau didasari dengan
pendapat para ulama’ sebelumnya. Pemikiran tersebut tidak serta merta diambil
secara mentah. Semua pemikiran beliau dituangkan dalam kitab Mizan al-I’tidal
yang memadukan persoalan fikih dan falak. Karena ilmu Falak tidak dapat
berpisah dengan ilmu Fikih. Ilmu falak hanya sebagai membantu menyelesaikan
persoalan fikih, seperti contoh arah kiblat, waktu salat dll.2

Pembahasan mengenai kriteria imkanur rukyat di Indonesia sampai sekarang


masih banyak dibahas baik para ilmuwan atau para ulama’. Pada masa itu
(Muhammad Mansur) banyak ahli falak yang meyerukan imkanur rukyat 7° yang
menganut pendapat dari Sayyid Usman. Hal ini menjadi sebuah persoalan Ketika
ada kedatangan dua tamu laki-laki dari daerah Tangkiran yang bersaksi melihat
hilal bulan Zulhijjah 1350 H dengan ketinggian 5°. Lalu Muhammad Mansur
membenarkan kesaksian tersebut.3 Persoalan ini menjadi ramai diperbincangkan
bahkan orang-orang memojokkan Muhammad Mansur.

Kriteria imkān al-ru’yah(Zainuddin & Nawawi, 2021) merupakan salah satu


kajian Astronomi yang terus berkembang, bukan hanya sekedar sebagai penentuan
awal bulan Kamariah bagi umat Islam, tetapi juga sebagai tantangan saintifik bagi
para pengamat Hilal.4 Dua hal penting yang berpengaruh dalam pengamatan hilal
yaitu kondisi fisik hilal akibat iluminasi (pencahayaan) pada Bulan dan kondisi
cahaya latar depan akibat hamburan cahaya Matahari oleh atmosfer di ufuk
(horizon).5 Kondisi iluminasi Bulan sebagai prasyarat terlihatnya Hilal pertama
kali diperoleh Danjon. Kriteria dasar yang dapat digunakan berdasarkan
pengamatan dan model teoritik adalah limit Danjon, bahwa Hilal tidak mungkin

3
teramati bila jarak Bulan-Matahari kurang dari 7° (limit danjon) 6. Hasil diperoleh
7° karena kepekaan mata manusia yang tidak memungkinkan dapat melihat hilal
dibawah 7°. Ulama’ muslim internasional juga tidak sepakat bila ada mathla’
global. Sebab pengamatan dilakukan di tempat yang berbeda, hal itu
mempengaruhi ketebalan atmosfer.7

Dalam penentuan imkanur rukyat Indonesia mengalami dua kali perubahan yaitu
pada tahun 2000 M yang diusulkan oleh Thomas Djamaluddin dengan kriteria
ketinggian 2°, elongasi 3° umur hilal 8 jam. Lalu pada tahun 2022 dengan kriteria
ketinggian 3° elongasi 6,4°. Semua usulan kriteria telah diterima dengan maksud
menjadi patokan umum dalam menentukan awal bulan hijriah, tetapi dilapanganya
hal itu tidak berjalan dengan mulus ada Sebagian golongan yang memiliki dasar
sendiri untuk menentukan awal bulan hijriah.

Pembahasan

1. Imkanur Rukyat (Visibilitas Hilal)

Imkān al-ru’yat(Asshidiqi & Rausi, 2021) secara istilah yaitu kriteria hisab
yang memungkinkan Hilal bisa dilihat. Astronomi menyebutnya dengan crescent
visibility atau yang lebih dikenal dengan istilah visibilitas hilal. Dalam
lapangannya, sekalipun menurut hisab Hilal sudah muncul, tetapi tidak
memungkinkan untuk dilihat, maka awal bulan baru belum bisa ditetapkan. 8
Imkān al-ru’yat yaitu salah satu metode dalam penetapan awal bulan Kamariah
selain menggunakan hisab murni dan rukyat murni, tetapi dengan
menggabungkan kedua ilmu tersebut. Fungsi dari adanya imkān al-ru’yat adalah
untuk memberikan kriteria berupa batasan kemungkinan Hilal dapat terlihat
dalam menetapkan awal bulan Kamariah. Teori dan aplikasi imkān al-ru’yat tidak
bisa lepas dari hisab dan rukyah sebagai pedomannya. Ilmu hisab membantu
dalam proses pencarian wujud hilal. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam proses penetapan hasil keputusan imkanur al-rukyat
seperti jarak antara hilal dengan matahari, ketebelan hilal dll. Perlu data-data
6

4
yang valid dalam menetukannya agar tidak terjadi kekeliruan ketika
melaksanakan rukyat.

Beberapa istilah yang perlu diketahui untuk memperhitungkan kemungkinan hilal


dapat dilihat, yaitu

a) Moon’s age (Age) adalah umur Hilal,


b) Moon’s lag time (lag) adalah jarak waktu antara Matahari terbenam dan
Bulan terbenam atau Matahari terbit dan Bulan terbit,
c) Ketinggian Hilal adalah tinggi Hilal di atas ufuk,
d) Arc of light (ARCL) adalah jarak busur antara Bulan dan Matahari,
e) aD adalah arc of descent atau beda tinggi Bulan dan Matahari atau disebut
dengan arc of vision (ARCV),
f) DAZ adalah difference of azimuth atau beda azimut Bulan dan Matahari,
g) Lebar sabit adalah lebar cahaya Hilal.9

Gambar 1. Variabel geometri dasar untuk prediksi imkān al-ru’yat

2. Imkanur al-Rukyat dalam Kitab Mizan al’I’tidal

Persoalan pertama yang diangkat dalam kitab Mîzān al-I’tidāl adalah


mengenai batasan Mîzān al-I’tidāl (visibilitas hilal) di bawah 7° yang tidak
dapat dilihat dengan mata telanjang. Ulama’ golongan mutaakhirin seperti
Yusuf yang menulis kitab Kusyūfāt al-Adillah, Ahmad Musa al-Zarqawi yang
mempunyai kitab Zîj Mālikî guru Ilmu Falak di Universitas al-Azhar, serta
9

5
Mustofa al-Falaky yang menulis kitab Minhāj, Syaikh Mahmud Afandi dalam
kitabnya Muharrar Hukāmah yang berbangsa Mesir mengatakan Hilal di
bawah 7° masih bisa dilihat. Muhammad Mansur menuliskan beberapa
pendapat tentang imkān al-ru’yah:

8‫في ضبط مقدار إمكانها(فقيل)أقل ما تمكن فيه الرؤية أن يكون مكثه فوق األفق‬

‫دقائق فأكثر كذا أثبته الشيخ محمود أفندي فينتيجة للحكومة المصرية وذكر فيها أن‬

‫وإذا مكث‬.‫دقائق فهو مشكوك في رؤيته‬8‫الهالل إذا مكث في األفق بعد غروب الشمس‬

51‫وقال)الشيخ مصطفى الفلكي في التواريخ‬. (‫دقيقة يرى بيسر إذا لم يوجد مانع اهـ‬

‫دقيقة فالبدمنـ رؤيته‬51‫الفلكية ولكننا نرى ان القمر متى مكث بعد الغروب نحو‬

‫اهـ‬10

“Pembahasan tentang kriteria imkān al-ru’yah. Minimal Hilal mungkin di ru’yah


bila lama hilal setelah matahari terbenam di atas 8 menit atau lebih. Demikian ini,
pendapat Mahmud Afandi yang dijadikan landasan Pemerintah Mesir. Mahmud
Afandi menyebutkan bahwa jika lama Hilal di atas ufuk setelah Matahari
terbenam 8 menit maka kemungkinan Hilal dapat dilihat masih diragukan. Jika
lama hilal diatas ufuk 15 menit maka kemungkinan Hilal dilihat mudah tanpa
adanya halangan. Jika lama lama hilal diatas ufuk lebih dari 15 menit maka Hilal
akan terlihat dengan jelas tanpa adanya penghalang. Musthofa al-Falaky dalam
kitab Tawārikh Falakiyyah mengatakan tetapi kami berpendapat bahwa jika lama
Hilal setelah matahari terbenam 15 menit, maka Hilal pasti terlihat.”.

Menurut Mahmud Afandi, batasan imkān al-ru’yat minimal lama hilal setelah
matahri terbenam 8 menit atau setara dengan tinggi hilal 2°. Jika tinggi Hilalnya
2° dan ada yang melihat dengan mata telanjang itu sangat diragukan. Akan tetapi,
jika lama hilal diatas ufuk 15 menit atau setara dengan 3º 45’. Hilal dapat dilihat
secara jelas tanpa adanya penghalang. Menurut Musthofa al-Falaky dalam kitab
Tawarikh Falakiyah bahwa apabila lama hilal diatas ufuk 15 menit atau setara
dengan 3º 45’ maka pasti Hilal akan terlihat. Menurut Syekh At-Tanthowi apabila
lama hilal diatas ufuk 16 menit atau setara dengan 4º untuk kriteria imkān al-

10

6
ru’yah, maka Hilal akan terlihat. Sedangkan Sayyid Usman mengguankan imkan
al-rukyat 7° atau lebih. Pendapat beliau sesuai dengan pendapat Syaikh Ali bin
Qadi. Sebagaimana yang ditulis oleh Sayyid Usman dalam tulisannya Iqāz al-
Niyām fî mā Yata’allaq bi al-Ahillah wa al-Şiyām:

‫فتنص من ذلك المبحث أن أقل رؤية الهالل سبع درج في بعض األحوال وبعضها ال يرى‬
‫إال ثمان درج أو ازيد بحسب األوقات واألوضاع وهللا أعلم‬11

“Minimum Hilal dapat terlihat yaitu 7° dalam suatu kondisi. Tetapi, dalam kondisi
yang lain, Hilal tidak dapat terlihat kecuali 8° atau bahkan lebih sesuai dengan
keadaan.”

Muhammad Mansur terus mencari dan memahami pendapat-pendapat pakar yang


lain mengenai perbedaan-perbedaan imkān al-ru’yat. Kemudian datang dua orang
dari Tangkiran tak lain mereka adalah santri dari Muhammad Mansur ketika di
madrasah yang bersaksi bahwa mereka melihat hilal. Mereka berdua tersebut
membawa sebuah kabar terlihatnya hilal pada bulan Zulhijjah 1350 H pada saat
malam Jum’at. Padahal ketinggian hilal masih 5°. Kabar ini seakan-akan sangat
membawa suatu keilmuan baru dan juga menapikkan pendapat bahwa batas
imkan al-rukyat 7°. Menurut pendapat Muhammad Mansur bahwa hilal tidak
dapat dilihat di bawah 7° sebagaimana yang diyakini oleh Sayyid Usman pada
zaman dahulu dapat berubah-ubah dengan adanya kemajuan teknologi serta dapat
dibuktikan secara ilmiah. Sebagaimana yang beliau tulis dalam kitabnya:

)‫أن رؤيته الهالل من األمور المشاهدة واألحوال المتغايرة بتقادم العهد و مرورالزمان فال يصح (ومنها‬
‫القطع بإمكانها فيما فوق سبع درج وعدم إمكانها فيما دونها بعد طول‬
‫المدة إال يتجديد الرصد و تكرير التجارب فيها بدليل فشو الرؤية فيما دون سبع درج فى‬
‫أوقات مختلفتة ومواضع متعددة من بلدان الجاوى كما أخبرني بذلك من رأي هالل ذي‬
‫فى ليلة الجمعة ووصل لي أخبار‬5515‫فى ليلة الخميس و هالل شوال‬5511‫الحجة‬
‫كثيرة من مواضع متعددة بحصول الرؤية فى تلك الليلة(وقد)أفتى والدي المرحوم اإلمام‬
‫عبد الحميد البتاوي بأن رؤية الهالل يتزيد إمكان رؤيته بمرور الزمان‬12

“Rukyat Hilal suatu hal yang lumrah bilamana keadaan hilal selalu berubah-rubah
sesuai dengan perjalanan waktu. Maka dari itu, kemungkinan Hilal dilihat tidak
11

12

7
bisa dipastikan di atas 7º atau di bawah 7°, kecuali dengan adanya pengamatan
yang dilakukan secara rutin. Hal ini, dikarenakan meluasnya informasi terlihatnya
hilal di bawah 7° pada suatu waktu dan beberapa tempat di tanah Jawa. Seperti
sebuah kasus terlihatnya Hilal Zulhijah tahun 1350 H pada malam Kamis dan
Hilal Syawal tahun 1351H pada malam Jumat. Beberapa tentang kesaksian dari
para perukat yang berhasil melihat hilal pada malam itu telah sampai kepadaku.
Ayahku Abdul Hamid al-Batawi mengatakan bahwa kemungkinan Hilal dilihat itu
tergantung terhadap perjalanan waktu.”

Muhammad Mansur menolak pendapat dari Sayyid Usman dengan adanya


kesaksian perukyat yang melihat hilal pada waktu tersebut dengan ketinggian
Hilal di bawah 7° yaitu pada awal bulan Zulhijah tahun 1350 H pada malam hari
Kamis dan awal bulan Syawal tahun 1351 H pada malam Jumat. Kriteria imkān
al-ru’yat dapat diubah dengan adanya pengamatan yang telah dilakukan secara
rutin, dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan disepakati oleh bersama
untuk dijadikan kriteria imkān al-ru’ya. Masalah rukyat Hilal di kalangan para
ulama bahwa imkān al-ru’ya di bawah 7° dan di atas 3° termasuk hukum yang
jelas, sebagaimana halnya pada ketetapan di awal bulan Zulhijah tahun 1350 H
pada malam Jumat dalam satu maţla’ secara berkali-kali. Rukyat di Tangkiran,
Semarang, dan Serang ketinggian Hilal pada malam Jumat lebih rendah 7°
menurut keterangan ahli hisab.13

3. Analisis Astronomi Kitab Mizan al-I’tidal

Perkembangan zaman membuat kriteria imkan al-rukyat menyesuaikan


zaman dan kecanggihan alat bantu. Maka, tidak heran bilamana imkan al-rukyat
bersifat dinamis karena berhubungan dengan ilmu sains dengan penjurusan
astronomi. Kriteria visibilitas hilal didunia sangatlah bervariasi ada beberapa
pendapat dari para ilmuwan tokoh yang menyatakan batas hilal itu dapat terlihat.
Tidak melulu perihal ketinggian saja yang diperdebatkan oleh para ilmuwan
astronomi hal-hal yang membantu dalam terlihatnya hilal juga dibahas. Teori
yang diusulkan oleh Andre Lois Danjon atau yang dikenal dengan limit danjon,
hilal bisa diamati berdasarkan ekstrapolasi data observasi pada jarak Bulan-

13

8
Matahari 7°, jika kurang maka tidak dapat diamati. Pendapat lain muncul dari ahli
falak Malaysia Muhammad Ilyas, 4° untuk beda azimut yang besar dan 10,4°
untuk beda azimut 0°14.

Pendapat lain dikemukan oleh Amir Hasanzadeh, bahwa sudut elongasi yang
sesuai untuk hilal adalah 5°. Data Kamaneasemani, Unprofessional Group of
Crescent Sighting (UGCS) Iran, Islamic Crescent Observation Project (ICOP) dan
74 data yang telah digunakan oleh Danjon dalam pengamatan sebelumnya. Sudut
elongasi 5° juga dikuatkan oleh McNally. Teori ini kemudian mematahkan teori
limit Danjon minimal sudut elongasi untuk Hilal adalah 7°. Seperti yang termuat
dalam table berikut:

Elongasi Tinggi Hilal


5 3,2
5,6 3,4
6,4 3,7
7 3,9
7,5 3,9
10,5 5,6

Melihat tabel di atas yang menunjukkan bahwa elongasi 5° yaitu nilai yang paling
minimum seperti yang dirumuskan oleh McNally dan Sultan. Nilai tinggi Hilal
yang setara dengan elongasi 5° adalah 3,2°. Nilai elongasi 5,6° seperti yang
dirumuskan oleh Thomas Djamaluddin pada tahun 2000, maka nilai tinggi Hilal
yang setara adalah 3,4°. Elongasi 6,4° berdasarkan kriteria Odeh, maka nilai
ketinggian Hilal setara dengan 3,7°. Elongasi 7° seperti yang dikemukakan oleh
Danjon dan Schaefer maka nilai yang sepadan dengan ketinggian Hilal 3,9°.
Elongasi 10,5° seperti yang diusulkan oleh Muhammad Ilyas maka nilai tinggi
Hilal dengan yang setara adalah 5,6°.15

Pemikiran Muhammad Mansur tentang imkān al-ru’yat yang cenderung tidak


membatasi dengan ketinggian Hilal tertentu didasarkan pada prinsip astronomis

14

15

9
bahwa perhitungan perjalanan Matahari dan Bulan termasuk hal-hal yang bersifat
relatif dan terus mengalami berkembang sesuai dengan zaman serta hasil
pengamatan yang dilakukan secara berkelanjutan. Sudah seharusnya menjadi hal
yang perlu dijunjung jika terjadi perbedaan di kalangan para astronom dalam
menentukan batas minimun tinggi hilal. Sebagaimana yang ditulis oleh
Muhammad Mansur dalam kitab Sulam an-Nayyiron

‫فعلم أنه ال يتعين ألقل ما يرى الهالل قدرمخصوص من درج االرتفاع‬16

“Maka dai itu, tidak ada ketentuan khusus tentang batas minimal ketinggian Hilal
dalam imkān al-ru’yat.”

Pemikiran Muhammad Mansur (Waliawati & Ni’am, 2022) yang dituliskan dalam
kitab Mizan al-I’tidal sangat membuka wacana yang sangat lebar bagi para
akademisi untuk terus mengulik dan mencari-cari kriteria yang dapat diterima
oleh semua elemen masyarakat. Dengan adanya pembaruan terhadap kriteria
MABIMS atau yang disebut dengan Neo-MABIMS dengan ketinggian 3° dan
elongasi 6,4°. Kriteria baru ini sudah diusulkan oleh para ilmuwan dari anggota
MABIMS di Jakarkat, 21-23 Mei 2014. Usul pembaharuan kriteria ini menuai
respon yang baik. Maka pada pertemuan berikutnya yang di laksanakan Negeri
Sembilan, Malaysia 2016 menyepakati kriteria 3° 6,4°. Selanjutnya Indonesia
mengimplementasikan pada tahun 2022 dalam penentuan awal bulan Ramadhan.

Kesimpulan

Dalam prakteknya, imkanur rukyat memiliki beberapa perpektif yang sangat


menarik untuk dibandingkan dan diteliti terutama pada pembahasan pemikiran
Muhammad Mansur dalam kitab Mizan Al – I’tidal yang menerangkan bahwa
visibilitas hilal yaitu minimal 7ᵒ dan apabila kurang dari minimal tersebut maka
terdapat beberapa perbedaan pendapat namun memang pendapat dari Syaikh
Muhammad Mansur tersebut banyak diperkuat terutama oleh guru beliau sendiri
yaitu Sayyid Usman yang menyatakan bahwa visibilitas hilal juga minimal 7°.

16

10
Pemikiran Muhammad Mansur tentang imkān al-ru’yat yang cenderung
tidak membatasi dengan ketinggian hilal tertentu didasarkan pada prinsip
astronomis bahwa perhitungan perjalanan matahari dan bulan termasuk hal-hal
yang bersifat relatif dan terus mengalami berkembang sesuai dengan zaman serta
hasil pengamatan yang dilakukan secara berkelanjutan. Sudah seharusnya menjadi
hal yang perlu dijunjung jika terjadi perbedaan di kalangan para astronom dalam
menentukan batas minimun tinggi hilal. Fleksibilitas zaman dan majunya
teknologi semakin mengembangkan konsep dalam tata cara menentukan hilal
sehingga bisa saja metode yang telah paten harus bisa menyesuaikan dengan
perkembangan yang telah ataupun akan terjadi.

11
DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqi, I. U., & Rausi, F. (2021). Pemikiran Muhammad Mansur Tentang


Imkān al- Ru ’ yah dalam Kitab Mîzān al- I ’ tidāl. Jurnal Ilmu Falak Dan
Astronomi, 3(1), 1–24.

Waliawati, & Ni’am, M. I. (2022). Konvergensi Rukyat Tarbi ’ dan Badr dengan
Kriteria Imkanur Rukyat Neo MABIMS ( Praktek Penentuan Awal Bulan
Kamariah di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Garut ). AL-Afaq: Jurnal Ilmu
Falak Dan Astronomi, 4(2), 237–253.
https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/afaq/article/download/5351/2240

Zainuddin, M. Z., & Nawawi, M. S. A. M. (2021). Kriteria Imkanur Rukyah Yang


Baru 1443 Hijrah. Webinar Falak Nusantara 1443H (Bulan Falak Malaysia)
1, 1–21.

12

Anda mungkin juga menyukai