Disusun oleh:
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
KOTA MALANG
2023
1
Abstrak
Imkanur Rukyat adalah suatu hasil komperatif dari penyatuan antara hisab
(perhitungan) dalam penentuan awal bulan hijriah dengan rukyat. Persoalan
mengenai kriteria imkanur rukyat (visibilitas hilal) menjadi suatu persoalan yang
sangat sering di bahas oleh para ilmuwan astronomi. Ulama’ fikih kontemporer
juga mengambil tempat untuk membahas hal tersebut. Salah satunya Muhammad
Mansur yang menulis kitab berjudul “Mizan al-I’tidal fi Takmilah Jawab al-Sual
fi Mas’alah Iktilafi al-Mathali’ wa Ru’yah al-Hilal” (sebuah timbangan lurus
dalam melengkapi jawab-soal persoalan perbedaan matha’ dan rukyat hilal).
Beliau menuliskan karya ini menanggapi sebuah pemikiran dari gurunya yaitu
Sayyid Usman al-Batawi yang menjelaskan bahwa visibilas hilal yaitu dengan
ketinngian 7°. Esai ini ditulis untuk menjawab beberapa persoalan mengenai: (1)
Apa latar belakang pemikiran Muhammad Mansur dalam kitab Mizan al-I’tidal
tentang imkan ru’yah? (2) Bagaimana pemikiran Muhammad Mansur tentang
imkān al-ru’yah dalam perspektif astronomi? Permasalahan tersebut dibahas
menggunakan jenis penelitian Pustaka kualitatif. Kitab Mizan al-I’tidal menjadi
referensi utama dan didukung oleh beberapa referensi lain. Karya Muhammad
Mansur tentang imkanur rukyat secara astronomis bersifat dinamis dan naturistic.
2
Pendahuluan
3
teramati bila jarak Bulan-Matahari kurang dari 7° (limit danjon) 6. Hasil diperoleh
7° karena kepekaan mata manusia yang tidak memungkinkan dapat melihat hilal
dibawah 7°. Ulama’ muslim internasional juga tidak sepakat bila ada mathla’
global. Sebab pengamatan dilakukan di tempat yang berbeda, hal itu
mempengaruhi ketebalan atmosfer.7
Dalam penentuan imkanur rukyat Indonesia mengalami dua kali perubahan yaitu
pada tahun 2000 M yang diusulkan oleh Thomas Djamaluddin dengan kriteria
ketinggian 2°, elongasi 3° umur hilal 8 jam. Lalu pada tahun 2022 dengan kriteria
ketinggian 3° elongasi 6,4°. Semua usulan kriteria telah diterima dengan maksud
menjadi patokan umum dalam menentukan awal bulan hijriah, tetapi dilapanganya
hal itu tidak berjalan dengan mulus ada Sebagian golongan yang memiliki dasar
sendiri untuk menentukan awal bulan hijriah.
Pembahasan
Imkān al-ru’yat(Asshidiqi & Rausi, 2021) secara istilah yaitu kriteria hisab
yang memungkinkan Hilal bisa dilihat. Astronomi menyebutnya dengan crescent
visibility atau yang lebih dikenal dengan istilah visibilitas hilal. Dalam
lapangannya, sekalipun menurut hisab Hilal sudah muncul, tetapi tidak
memungkinkan untuk dilihat, maka awal bulan baru belum bisa ditetapkan. 8
Imkān al-ru’yat yaitu salah satu metode dalam penetapan awal bulan Kamariah
selain menggunakan hisab murni dan rukyat murni, tetapi dengan
menggabungkan kedua ilmu tersebut. Fungsi dari adanya imkān al-ru’yat adalah
untuk memberikan kriteria berupa batasan kemungkinan Hilal dapat terlihat
dalam menetapkan awal bulan Kamariah. Teori dan aplikasi imkān al-ru’yat tidak
bisa lepas dari hisab dan rukyah sebagai pedomannya. Ilmu hisab membantu
dalam proses pencarian wujud hilal. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam proses penetapan hasil keputusan imkanur al-rukyat
seperti jarak antara hilal dengan matahari, ketebelan hilal dll. Perlu data-data
6
4
yang valid dalam menetukannya agar tidak terjadi kekeliruan ketika
melaksanakan rukyat.
5
Mustofa al-Falaky yang menulis kitab Minhāj, Syaikh Mahmud Afandi dalam
kitabnya Muharrar Hukāmah yang berbangsa Mesir mengatakan Hilal di
bawah 7° masih bisa dilihat. Muhammad Mansur menuliskan beberapa
pendapat tentang imkān al-ru’yah:
8في ضبط مقدار إمكانها(فقيل)أقل ما تمكن فيه الرؤية أن يكون مكثه فوق األفق
دقائق فأكثر كذا أثبته الشيخ محمود أفندي فينتيجة للحكومة المصرية وذكر فيها أن
وإذا مكث.دقائق فهو مشكوك في رؤيته8الهالل إذا مكث في األفق بعد غروب الشمس
51وقال)الشيخ مصطفى الفلكي في التواريخ. (دقيقة يرى بيسر إذا لم يوجد مانع اهـ
دقيقة فالبدمنـ رؤيته51الفلكية ولكننا نرى ان القمر متى مكث بعد الغروب نحو
اهـ10
Menurut Mahmud Afandi, batasan imkān al-ru’yat minimal lama hilal setelah
matahri terbenam 8 menit atau setara dengan tinggi hilal 2°. Jika tinggi Hilalnya
2° dan ada yang melihat dengan mata telanjang itu sangat diragukan. Akan tetapi,
jika lama hilal diatas ufuk 15 menit atau setara dengan 3º 45’. Hilal dapat dilihat
secara jelas tanpa adanya penghalang. Menurut Musthofa al-Falaky dalam kitab
Tawarikh Falakiyah bahwa apabila lama hilal diatas ufuk 15 menit atau setara
dengan 3º 45’ maka pasti Hilal akan terlihat. Menurut Syekh At-Tanthowi apabila
lama hilal diatas ufuk 16 menit atau setara dengan 4º untuk kriteria imkān al-
10
6
ru’yah, maka Hilal akan terlihat. Sedangkan Sayyid Usman mengguankan imkan
al-rukyat 7° atau lebih. Pendapat beliau sesuai dengan pendapat Syaikh Ali bin
Qadi. Sebagaimana yang ditulis oleh Sayyid Usman dalam tulisannya Iqāz al-
Niyām fî mā Yata’allaq bi al-Ahillah wa al-Şiyām:
فتنص من ذلك المبحث أن أقل رؤية الهالل سبع درج في بعض األحوال وبعضها ال يرى
إال ثمان درج أو ازيد بحسب األوقات واألوضاع وهللا أعلم11
“Minimum Hilal dapat terlihat yaitu 7° dalam suatu kondisi. Tetapi, dalam kondisi
yang lain, Hilal tidak dapat terlihat kecuali 8° atau bahkan lebih sesuai dengan
keadaan.”
)أن رؤيته الهالل من األمور المشاهدة واألحوال المتغايرة بتقادم العهد و مرورالزمان فال يصح (ومنها
القطع بإمكانها فيما فوق سبع درج وعدم إمكانها فيما دونها بعد طول
المدة إال يتجديد الرصد و تكرير التجارب فيها بدليل فشو الرؤية فيما دون سبع درج فى
أوقات مختلفتة ومواضع متعددة من بلدان الجاوى كما أخبرني بذلك من رأي هالل ذي
فى ليلة الجمعة ووصل لي أخبار5515فى ليلة الخميس و هالل شوال5511الحجة
كثيرة من مواضع متعددة بحصول الرؤية فى تلك الليلة(وقد)أفتى والدي المرحوم اإلمام
عبد الحميد البتاوي بأن رؤية الهالل يتزيد إمكان رؤيته بمرور الزمان12
“Rukyat Hilal suatu hal yang lumrah bilamana keadaan hilal selalu berubah-rubah
sesuai dengan perjalanan waktu. Maka dari itu, kemungkinan Hilal dilihat tidak
11
12
7
bisa dipastikan di atas 7º atau di bawah 7°, kecuali dengan adanya pengamatan
yang dilakukan secara rutin. Hal ini, dikarenakan meluasnya informasi terlihatnya
hilal di bawah 7° pada suatu waktu dan beberapa tempat di tanah Jawa. Seperti
sebuah kasus terlihatnya Hilal Zulhijah tahun 1350 H pada malam Kamis dan
Hilal Syawal tahun 1351H pada malam Jumat. Beberapa tentang kesaksian dari
para perukat yang berhasil melihat hilal pada malam itu telah sampai kepadaku.
Ayahku Abdul Hamid al-Batawi mengatakan bahwa kemungkinan Hilal dilihat itu
tergantung terhadap perjalanan waktu.”
13
8
Matahari 7°, jika kurang maka tidak dapat diamati. Pendapat lain muncul dari ahli
falak Malaysia Muhammad Ilyas, 4° untuk beda azimut yang besar dan 10,4°
untuk beda azimut 0°14.
Pendapat lain dikemukan oleh Amir Hasanzadeh, bahwa sudut elongasi yang
sesuai untuk hilal adalah 5°. Data Kamaneasemani, Unprofessional Group of
Crescent Sighting (UGCS) Iran, Islamic Crescent Observation Project (ICOP) dan
74 data yang telah digunakan oleh Danjon dalam pengamatan sebelumnya. Sudut
elongasi 5° juga dikuatkan oleh McNally. Teori ini kemudian mematahkan teori
limit Danjon minimal sudut elongasi untuk Hilal adalah 7°. Seperti yang termuat
dalam table berikut:
Melihat tabel di atas yang menunjukkan bahwa elongasi 5° yaitu nilai yang paling
minimum seperti yang dirumuskan oleh McNally dan Sultan. Nilai tinggi Hilal
yang setara dengan elongasi 5° adalah 3,2°. Nilai elongasi 5,6° seperti yang
dirumuskan oleh Thomas Djamaluddin pada tahun 2000, maka nilai tinggi Hilal
yang setara adalah 3,4°. Elongasi 6,4° berdasarkan kriteria Odeh, maka nilai
ketinggian Hilal setara dengan 3,7°. Elongasi 7° seperti yang dikemukakan oleh
Danjon dan Schaefer maka nilai yang sepadan dengan ketinggian Hilal 3,9°.
Elongasi 10,5° seperti yang diusulkan oleh Muhammad Ilyas maka nilai tinggi
Hilal dengan yang setara adalah 5,6°.15
14
15
9
bahwa perhitungan perjalanan Matahari dan Bulan termasuk hal-hal yang bersifat
relatif dan terus mengalami berkembang sesuai dengan zaman serta hasil
pengamatan yang dilakukan secara berkelanjutan. Sudah seharusnya menjadi hal
yang perlu dijunjung jika terjadi perbedaan di kalangan para astronom dalam
menentukan batas minimun tinggi hilal. Sebagaimana yang ditulis oleh
Muhammad Mansur dalam kitab Sulam an-Nayyiron
“Maka dai itu, tidak ada ketentuan khusus tentang batas minimal ketinggian Hilal
dalam imkān al-ru’yat.”
Pemikiran Muhammad Mansur (Waliawati & Ni’am, 2022) yang dituliskan dalam
kitab Mizan al-I’tidal sangat membuka wacana yang sangat lebar bagi para
akademisi untuk terus mengulik dan mencari-cari kriteria yang dapat diterima
oleh semua elemen masyarakat. Dengan adanya pembaruan terhadap kriteria
MABIMS atau yang disebut dengan Neo-MABIMS dengan ketinggian 3° dan
elongasi 6,4°. Kriteria baru ini sudah diusulkan oleh para ilmuwan dari anggota
MABIMS di Jakarkat, 21-23 Mei 2014. Usul pembaharuan kriteria ini menuai
respon yang baik. Maka pada pertemuan berikutnya yang di laksanakan Negeri
Sembilan, Malaysia 2016 menyepakati kriteria 3° 6,4°. Selanjutnya Indonesia
mengimplementasikan pada tahun 2022 dalam penentuan awal bulan Ramadhan.
Kesimpulan
16
10
Pemikiran Muhammad Mansur tentang imkān al-ru’yat yang cenderung
tidak membatasi dengan ketinggian hilal tertentu didasarkan pada prinsip
astronomis bahwa perhitungan perjalanan matahari dan bulan termasuk hal-hal
yang bersifat relatif dan terus mengalami berkembang sesuai dengan zaman serta
hasil pengamatan yang dilakukan secara berkelanjutan. Sudah seharusnya menjadi
hal yang perlu dijunjung jika terjadi perbedaan di kalangan para astronom dalam
menentukan batas minimun tinggi hilal. Fleksibilitas zaman dan majunya
teknologi semakin mengembangkan konsep dalam tata cara menentukan hilal
sehingga bisa saja metode yang telah paten harus bisa menyesuaikan dengan
perkembangan yang telah ataupun akan terjadi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Waliawati, & Ni’am, M. I. (2022). Konvergensi Rukyat Tarbi ’ dan Badr dengan
Kriteria Imkanur Rukyat Neo MABIMS ( Praktek Penentuan Awal Bulan
Kamariah di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Garut ). AL-Afaq: Jurnal Ilmu
Falak Dan Astronomi, 4(2), 237–253.
https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/afaq/article/download/5351/2240
12