Anda di halaman 1dari 11

DUA HILAL DI LANGIT BETAWI (2)

Friday, 05 August 2011 10:17

Bantahan yang dilakukan oleh Guru Marzuqi Cipinang Muara terhadap pendapat Guru Manshur Jembatan Lima mengenai hilal dapat dilihat kurang dari tujuh derajat sebenarnya tidak begitu tepat. Sebab, Guru Manshur Jembatan Lima berbasis pada hisab, bukan pada rukyat. Rukyat, bagi Guru Manshur dipahami juga dengan hisab. Jika Hilal sudah wujud (wujudul hilal), maka awal bulan hanya untuk menyandarkannya pada Sullamun Nayyiroin menggunakan sistem/ teori hasil pengamatan yang dilakukan oleh seorang Zij Sulthon (astronom pemerintah) yang bernama Ulugh Beyk as-Samarkand, ahli astronomi yang lahir di Salatin pada tahun 1393 Masehi dan meninggal di Iskandaria 1449 Masehi. Ia hidup pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, tepatnya pada masa kepemimpinan khalifah AlMakmun. Pada masa kepemimpinannya, sang khalifah memerintahkan para ilmuan untuk mendirikan observatorium, salah satunya yaitu di daerah Samarkand yang dikepalai oleh Ulugh Beyk tersebut. Ulugh Beyk adalah seorang astronom yang pandai dan mengepalai penyelidikan-penyelidikan yang menelan biaya yang tidak sedikit. Ulugh Beyk merupakan keponakan dari cucu Hulago dari keluarga Timur Lenk, Hasan Al Araj, Si Pincang. Pada tahun 1437 M, Ia telah berhasil membuat sebuah Zij berdasarkan observasi yang dilakukannya. Pengertian dari Zij itu sendiri adalah tabel keangkaan yang diterapkan kepada planet-planet untuk mengetahui ciri masing-masing, baik jalan gerakannya, kecepatan, kelambatan, kediaman dan geraknya kembali. Ia menamakannya Zij Ulugh Beyk. Tabel-tabel tersebut masih menggunakan model angka Jumali yang merupakan model angka yang biasa digunakan oleh para ulama hisab tempo dulu untuk menyajikan data astronomis benda-benda langit.

Sullamun Nayyiroin (Selamatnya Dua yang Bercahaya) adalah sebuah buku karangan Haji Muhammad Mansur Al-Batawie berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ulugh Beyk tersebut, yang sebelumnya telah ditalhis (dijelaskan) oleh orang tuanya sendiri yang bernama Abdul Hamid Bin Muhammad Damiri Al-Batawie dengan taqrir/ ketetapan dari Syeikh Abdurrahman bin Ahmad Al-Mishrie. Sullamun Nayyiroin Bermarkaz Di Jakarta Secara istilah dijelaskan (Khazin:2005), bahwa pengertian Markaz adalah suatu tempat/ lokasi yang dijadikan pedoman dalam perhitungan. Dalam (Mansur:1925) dijelaskan bahwa data-data yang digunakan pada perhitungan awal bulan hijriyah tersebut memakai markaz Jakarta dengan data geografis 5o 19 12 - 6o 23 54 LS dan 106o 22 42 - 106o 58 18 BT. Dalam pengukuran waktu dunia, Sullamun Nayyiroin mengacu pada tempat yang bernama Jazairul Kholidat/ Kanarichi, suatu tempat di tengah lautan atlantik yang dijadikan titik 0 derajat dalam pengukuran bujur bumi tempo dulu. Ia berposisi pada 35o 11 sebelah barat Greenwich. Dalam (Mansur:1925) dijelaskan pula bahwa antara Kanarichi dan Jakarta mempunyai selisih waktu 142o (1o= 4 menit). Jadi, total selisih waktu keduanya adalah 9 jam 28 menit. Untuk perumpamaan, ketika di Jakarta hari rabu pukul 16.00 WIB, maka di Kanarichi hari rabu pukul 06.22 waktu Kanarichi.[1] Buah tangan Guru Mansur yang amat monumental adalah Sullam an-Nayyirain fi Marifati Ijtimai wal Kusufain. Selain itu juga kitab Khulasah al-Jadawil (ilmu falak), Taqrir al-Mabahits dan al-Mabahits fi Ilmi al-Warits (ilmu waris), dan Abwab al-Tashrif (tentang sharaf). Menurut Kiai Fatahillah, kitab Sullam an-Nayyirain ini sampai sekarang masih terus diajarkan dan dicetak, karena memang banyak yang membutuhkan. Kitab tersebut begitu terkenal sampai ke seantero nusantara dan digunakan sebagai rujukan untuk mempelajari ilmu falak di kalangan pesantren-pesantren di Indonesia dan beberapa perguruan serta lembaga pendidikan Islam di Malaysia sampai hari ini. Kitab ini pertama kali dicetak pada tahun 1344 H atau 1925 M oleh percetakan Borobudur, batavia.

Buku ini oleh penyusunnya dibagi menjadi tiga risalah (klasifikasi pembahasan), pertama bertemakan al-Risalah al-Ula fi Marifati Ijtimain Nayyirain, yakni pembahasan mengenai ijtima irtifa hilal, posisi hilal, dan umur hilal. Kedua, al-Risalah al-Tsaniyah fi Marifati Khusufil Qomar yakni memuat tentang perhitungan gerhana bulan dan yang ketiga adalah al-Risalah al-Tsalisah fi Marifati Kusufis Syamsi yang memaparkan perhitungan gerhana matahari. Buku ini sampai sekarang dipakai sebagai salah satu pertimbangan penetapa awal bulan dalam Musyawarah kerja (muker) Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI. Salah satu cucunya, KH Ahmadi Muhammad menyusun sebuah kalender hisab al-Mansuriyah di mana susunan tersebut bersumber dari hasil pemikiran Guru Mansur. Kini, kalender hisab al-Mansuriyah itu masih tetap eksis dan dipergunakan oleh muridmuridnya, masyarakat Betawi, maupun umat Islam lainnya di sekitar Jabodetabek, Pabdeglang, Tasikmalaya, dan bahkan sampai ke Malaysia. Kitab Sullam an-Nayyirain memang begitu dahsyat manfaatnya. Menurut Ustadz Djabir Chaidir Fadhil, Muballigh Betawi yang kerap kali diundang ke beberapa kota Malaysia, menuturkan bahwa kitab ini masih dipelajari di majelis-majelis taklim di negara bagian Terengganu, Malaysia, bahkan sampai hari ini dijadikan rujukan oleh para ulama, cendekiawannya untuk melihat hilal dalam menentukan awal puasa, Idul Fitri, dan 1 Dzulhijjah. Kitab ini pun tak luput dari komentar khusus dari para astronom modern untuk dipelajari dan dikritisi karena memang harus memadukan dengan konsep astronomi modern. Seperti yang dinyatakan seorang astronom Bapak Dr. T. Djamaluddin dari LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), Bandung, yang mengatakan bahwa buku Sullam harus diberikan apresiasi dan kritik konstruktif di dalamnya. Oleh: Rakhmad Zailani Kiki Koordinator Pengkajian JIC [1] Hasan Lutfi at-Tamimy, Sejarah Singkat Madrasah Chairiyah Mansuriyah (Jakarta: Yayasan Pendidikan Al-Mansuriyah, 2010), h. xiii. http://islamic-center.or.id/khasanah/islamic-learnings/betawi-corner/725-dua-hilal-di-langit-betawi-2.htm Tanggal akses 16 januari 2012 jam 01:14 PM

KRIPTOGRAFI : NEW MOON DAN MOON SIGHTING


by ISLAMIC UNITED on Thursday, August 25, 2011 at 6:35am

Beragamnya metoda untuk menentukan awal Bulan pada Kalendar Lunar menyebabkan masyarakat Muslim Dunia belum memiliki Kalendar Lunar tahunan yang setara dengan Kalendar Masehi, bersifat universal - termasuk ketidak nyamanan umat karena tidak ada kepastian dalam menentukan mulainya Puasa, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Haji, terutama di Indonesia.. Klasifikasi Tingkat Pemahaman : Sedang. Sejumlah teman meminta saya untuk membantu menjelaskan bagaimana negara-negara tertentu menentukan permulaan bulan Ramadhan dan kapan Hari Raya Idul Fitri terjadi, atau dalam kalendar Lunar yang digunakan Muslim, penentuan 1 Ramadhan (untuk mulai puasa shiyam) dan 1 Syawal (Hari Raya). Bukan persoalan mudah, karena selain tiap negara memiliki kriteria tersendiri juga melibatkan ilmu astronomi posisi Matahari, Bulan dan Bumi serta kecepatan peredaran Bulan dan Bumi dan tentu saja termasuk bentuk Bulan dari waktu ke waktu. Dibawah ini saya akan jelaskan secara ringkas, dibuat sederhana, tanpa terlalu teknis, semoga bisa membantu pemahaman para pembaca. Namun, kalau ada pembaca yang ahli astronomi atau ahli dalam bidang ini, dan menemukan kata-kata yang kurang pas, mohon dimaklum ya.... hehe. Penggunaan kalendar Matahari (Solar) dan Bulan (Lunar) diperkenalkan kembali oleh Kitab Mulia Muslim, sekitar tahun 617 M di Mekkah, misalnya dalam surah ke 10, Yunus (Yonah atau Yonas dalam bahasa Ibrani yang artinya pemuda) penggalan ayat kelima, sangat populer dikalangan ilmuwan astronomi Muslim.

Dialah yang menjadikan Matahari bersinar (dhiyaaan) dan Bulan memantulkan cahaya (nuuran), dan Dialah yang menetapkan (waqaddaruhu) tempat-tempat orbitnya (manaazila), agar kamu mengetahui bilangan (adada) tahun, dan perhitungan waktu (hisaaba)... (Yunus, 10:5) Selain menunjukkan orbit Matahari dan Bulan, ayat diatas juga menegaskan adada, yang artinya dengan hitungan yang teliti dan akurat. Termasuk diadalamnya ilmu hisab, perhitungan astronomi dan matematika untuk menentukan kalendar baik kalendar Matahari maupun Bulan, waktu salat dan sebagai pedoman waktu untuk keperluan lainnya sehubungan dengan posisi Bumi. Tanda-tanda atau manzilah-manzilah mudah dikenali, yaitu ditandai dengan perubahan bentuk-bentuk Bulan dari Sabit Muda ke Purnama, kemudian menjadi Sabit Tua (Al Quran mnyebutnya Pelepah Tua), (Yaa Siin, 36:39). Awal Bulan ditandai dengan bentuk Sabit Muda yang sangat tipis. Itulah penentu waktu (mawaqit). Hilal atau Bulan Sabit juga merupakan penentu waktu ketika ibadah Haji (Al Baqarah/Sapi Betina, 2: 189) Bagaimanapun juga, salah satu ciri abad ke-21 adalah penggunaan teknologi satelit dan peralatan lainnya dalam observasi benda-benda langit yang semakin canggih, makin akurat makin cepat dan mudah digunakan termasuk dalam menentukan bilangan waktu. Salah satu negara yang murni menggunakan ilmu Hisab (matematika dan astronomi) adalah Komunitas Muslim Amerika Utara dan Eropa (kecuali Turki, mungkin) dengan menggunakan data-data dari Satelit secara 'real time', waktu-kewaktu. Mata manusia diganti dengan pengindraan satelit atau teropong bintang. Efektif, cepat dan jauh lebih presisi ketimbang mata manusia yang intensitasnya terbatas. The Fiqh Council of North America atau FCNA dan ISNA (Komunitas Muslim Amerika Utara) berpendapat bahwa perhitungan astronomi adalah metoda yang dapat diterima oleh Syariah Islam disebut 'hisaaba' - (Yunus, 10:5) untuk menentukan permulaan bulan-bulan pada kalendar Lunar termasuk bulan Ramadhan (saat berpuasa) dan Syawal (Hari Raya Idul Fitri). FNCA menggunakan kota Mekkah sebagai titik referensi dan mengambil posisi konjungsi, lahirnya Bulan Baru, harus ditetapkan ketika sebelum waktu terbenamnya Matahari di Mekkah dan terbenamnya Bulan setelah terbenamnya Matahari. Artinya, terbenamnya Bulan belakangan setelah terbenamnya Matahari, walaupun hanya beberapa detik saja. Dengan menggunakan metoda tersebut baik Muslim Amerika Utara maupun Eropa, menetapkan bahwa Hari Raya jatuh tanggal 30 Agustus 2011. Laporan observasi dari Omega HilalSighting dari Moonsighting.com untuk seluruh dunia bisa diperkirakan bahwa 70 % penduduk Bumi dapat melihat Bulan Sabit Muda, dilokasi-lokasi yang tidak terhalang cuaca, pada hari Selasa.

Sedangkan hari Rabu tanggal 31 Agustus, 100 % penduduk Bumi mampu melihat Hilal. Tetapi, mungkin ada masalah, dibeberapa negara tertentu yang menggunakan metoda Ruyat konvensional, karena pada tanggal 29 Agustus 2011, tidak semua penduduk Bumi bisa melihat Bulan Sabit dengan mata telanjang, termasuk sejumlah negara di Asia, juga Indonesia dan benua Australia. Sehingga potensi untuk memutuskan Hari Raya tanggal 31 Agustus, cukup besar dinegara-negara yang menggunakan metoda tersebut. New Moon, Dark Moon, atau No Moon jatuh tanggal 29 Agustus 2011 hari Senin jam 6.03.57 waktu Mekkah atau 3.03.57 Universal Time. Hari Senin , tanggal 29 Agustus, waktu terbenamnya Matahari di Mekkah jam 18.40 waktu setempat dan empat menit kemudian, jam 18.44 Bulan terbenam (tidak terlihat sama sekali setelah Bulan Sabit Tua). Oleh karena itu, hari pertama bulan Syawal, atau Hari Raya adalah hari berikutnya, Selasa 30 Agustus 2011. Insya Allah.

Berbeda dengan Indonesia, di negara ini ada dua aliran besar yang belum bisa ditemukan, hingga dalam berbagai kasus, masyarakat Indonesia terbagi dua dalam mengikuti Hari Raya Idul Fitri ada yang awal ada yang belakangan. Sehingga, tentu saja kadang menimbulkan masalah dan keheranan dikalangan Muslim belahan dunia lainnya. (Lho kok enggak kompak ya?). Padahal Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim dunia yang terbesar, yang seharusnya menjadi raw model bagi Muslim di negara lainnya. Perbedaan ini juga berimplikasi, bagi Indonesia tidak mungkin untuk membuat kalendar Islam dalam waktu satu tahun karena ada ketidak pastian terutama saat mulai puasa, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Haji. Implikasi lainnya, Muslim di Bumi tidak akan pernah bisa membuat kalendar Islam yang sama berbeda dengan kalendar Matahari yang diakui negara-negara di dunia. Karena beragamnya atau perbedaan metoda.

Aliran pertama adalah aliran yang berkeyakinan bahwa satu-satunya metoda yang dapat diterima oleh syariah Islam adalah dengan cara hilal atau Bulan Sabit dan rukyat (melihat dengan mata fisik, telanjang tanpa alat bantu) penampakan Bulan di cakrawala atau Moonsighting. Sesuai yang diajarkan oleh Nabi di abad ke-7. Ilmu Hisab atau astronomi abad ke-21, dengan segala peralatan komputer yang canggih hanyalah sebagai pedoman saja, untuk prediksi. Alasannya sederhana, karena Nabi tidak mengajarkan ilmu astronomi, ilmu hitung, dan penggunaan teropong apalagi teknologi satelit yang dengan mudah merekam dan melaporkan bentuk Bulan serta posisinya dari detik kedetik, secara real time ke Bumi. Informasi tersebut, tersebar luas di masyarakat dunia. Aliran kedua, pada dasarnya serupa dengan metoda yang digunakan oleh masyarakat Muslim di Amerika dan Eropa, kecuali, kalau tidak salah perbedaan waktu antara terbenamnya Matahari (Sunset) dengan tidak terlihatnya Bulan (Moonset), minimal 8 menit. Kasus ekstrim terjadi di sejumlah ormas Islam di Indonesia, yang berpendapat bahwa aliran kedua ini, yang menggunakan metoda Hisab adalah bidah, lebih dekat ke sesat. Guna menyatukan kedua aliran pendapat ini, Kementrian Agama Indonesia menggunakan kedua metoda, tetapi utamanya tetap bahwa Penampakan Bulan Baru pertama kali harus terlihat dengan mata manusia telanjang di ketinggian Horizon minimal 2 derajat. Cara ini serupa dengan di Turki, bedanya mereka sepakat lebih tinggi, yaitu 5 derajat di Horizon tanpa membedakan azimuth lokasi. Repotnya, dalam kasus tertentu, banyak terjadi dimana Moonsighting sudah terjadi, tetapi di wilayah Indonesia belum bisa dilihat oleh para pengamat, yang disebar diseluruh peloksok Indonesia. Tahun 2011 inipun, merujuk laporan MCW (Moonsighting Committee Worldwide), dikelola ilmuwan Muslim di Amerika untuk konsultasi tidak semua wilayah di Bumi bisa melihat dengan mata telanjang, ada yang hanya bisa dengan bantuan teropong biasa dan ada yang harus dengan alat optik khusus misalnya teropong Bintang. Wilayah tersebut, yang mungkin tidak bisa dilihat (kita berharap masih mungkin), adalah benua Australia, Afrika, Eropa dan Indonesia. Islamic Centre di Jakarta, menyebutkan Bulan di ketinggian 2.1 derajat, hari Senin 29 Agustus 2011, bisa terlihat bisa tidak. Jika tidak terlihat, akan terjadi ada yang berhari Raya tanggal 30 Agustus 2011 dan ada yang tanggal 31 Agustus 2011. Sedangkan Muhammadiyah di Jogyakarta, menyebutkan bahwa ketinggian Hilal (Bulan Sabit Muda yang dapat dilihat) pada tanggal 29 Agustus 2011 adalah 1 derajat 45 menit di Jakarta, atau dibawah 2 derajat. Tidak mudah untuk melihat Bulan Sabit Muda dengan

ketinggian seperti itu.Tetapi jika kita mengasumsikan bahwa Bumi ini satu negara, satu kedaulatan - maka para pengamat di Amerika Utara atau di Kepulauan Polinesia, sudah bisa melihat Hilal dengan mata fisik - maka Komite Dunia yang dipercaya - sudah dapat menetapkan bahwa tanggal 1 Bulan Baru adalah 30 Agustus 2011. Sayangnya bukan begitu, tiap negara punya kewenangan tersendiri. Siap-siap saja untuk berbeda (semoga tidak ya...). Nah, kalau sudah terpecah begitu, masyarakat awam juga yang biasanya bingung, dibeberapa tempat menimbulkan ketidak nyamanan. Haha pernah terjadi, mertua dan menantu satu rumah berbeda pemahaman, anaknya (wanita) bingung mau ikut suaminya atau orang tuanya. Diantara jamaah saya ada yang berkomentar: Perbedaankan membawa rahmat pak? Saya respon waktu itu: Benar sih, tapi kalau terus-terusan begini, kapan kita bisa membuat kalendar tahunan yang bisa digunakan bersama. Dewan Fikih Muslim Amerika dan sejumlah negara Eropa sudah punya kalendar Islam tetap hingga tahun 2015, karena menggunakan metoda Hisab dan observasi Satelit. Beberapa Istilah Penting Yang Perlu Diketahui.

Istilah Konjungsi atau Lahirnya Bulan Baru sama, kadang disebut Dark Moon atau Bulan Gelap, karena sama sekali tidak terlihat, ini terjadi jika Bulan melewati diantara Bumi dan Matahari; tetapi karena Bulan melewati Utara dan Selatan dari garis Bumi-Matahari, khususnya terjadi ketika bidang Bumi-Matahari-Bulan tegak lurus pada bidang orbit Bumi mengelilingi Matahari. Pada titik ini, cahaya Matahari yang ke Bulan tidak sampai ke Bumi terlihat gelap. Arti lain, Bulan Baru adalah sama dengan Tidak ada Bulan. Tidak ada seorangpun yang mampu melihat Bulan, walaupun dengan teleskop canggih. Demikian canggih dan mudahnya sekarang ini, ketika saya mengetik jam 9.00 pagi di Bandung melihat Moonsighting.com saya tahu Bentuk Bulan sekarang, tanggal 24 Agustus 2011 adalah Bulan Sabit Tua, 29 % dari bentuk Bulan Penuh data yang

dipancarkan secara real time untuk berbagai macam keperluan. Jam 6 pagi tadi, hari Rabu, masih 30 %. Makin kecil, hingga 0 %, itulah Konjungsi. "Universal Time" (UT) atau kadang dirujuk sebagai GMT adalah skala waktu yang disebut UTC, atau "Coordinated Universal Time" (UTC), digunakan sebagai dasar sistem dunia untuk khalayak umum. Waktu ini dijaga oleh waktu standar dilaboratorium diseluruh dunia, termasuk Angkatan Laut Amerika, Observatorium yang menggunakan Jam Atom, sangat presisi, canggih dan mahal. Waktu di Jakarta adalah UT + 7, waktu Mekkah UT + 3. Dr Muzammil Siddiqi, Ketua FCNA menjelaskan secara astronomi - jika waktu Bulan Baru sudah diketahui, dari laporan Observatorium atau Satelit NASA dan Eropa yang dirilis, menggunakan UT (Universal Time) - maka tanggal satu Bulan itu bisa diketahui dengan (1) Waktu Bulan Baru terjadi sebelum Matahari terbenam, dan (2) Melihat hitungan apakah terbenamnya Bulan mengikuti terbenamnya Matahari, pada hari itu, walaupun cuma selisih beberapa detik saja (pengukuran sekarang sangat akurat). Tetapi di beberapa negara, seperti Brunai DarusSalam dan Indonesia, untuk peristiwa tertentu, misalnya Hari Raya, menetapkan berbeda. Hilal adalah kata bahasa Arab yang berarti penampakan bulan atau Moonsighting dengan mata telanjang yang paling awal terlihat menghadap bumi setelah bulan mengalami Konjungsi atau New Moon (Dark Moon). Rukyah atau Ruyat adalah metoda penentuan Moonsighting penampakan Bulan Sabit Muda yang tipis umumnya diartikan - dengan mata fisik, telanjang. Namun ilmuwan lebih luas memaknainya, termasuk dengan alat bantu iptek. Hisab adalah metoda perhitungan matematika dan astronomi. Moonsighting atau Penampakan Bulan pertama kali, setelah Bulan Baru, dalam bahasa Arab disebut Ijtimak. Dua derajat adalah ketinggian Hilal (Bulan Sabit Muda) yang tampak di horizon, kadang juga diartikan jarak Matahari dan Bulan di cakrawala. Tanpa membedakan azimuthnya. Demikian penjelasan ringkas sejumlah metoda yang digunakan sejumlah negara, untuk menentukan Penampakan Bulan Sabit (Moonsighting atau ijtimak) setelah New Moon. Bagaimanapun juga, saya termasuk yang sependapat dengan Prof. Dr Thomas Jamaluddin dari LAPAN, bahwa Astronomi Memberi Solusi Menyatukan Umat , baik di Indonesia maupun di seluruh Dunia karena bahasanya universal. Salah satunya adalah untuk membuat Kalendar Lunar yang setara dengan Kalendar Matahari, untuk mendapatkan kenyaman dan kepastian bagi umat.

Benda Angkasa. Benda angkasa, Bintang (An Najm) , Matahari (As Syam) dan Bulan (al Qamar) ditempatkan sebagai judul dalam Kitab Mulia karena vital. Nomor surahnya terlihat acak, tidak berurutan atau mengelompok. Banyak yang tidak mengerti bahwa nomor surah, sebenarnya sangat teratur, menggunakan kode 11, serupa dengan kode penempatan Nabi dan Rasul dalam judul surah. Lihat saja, Bintang ditempatkan pada no 53, Bulan nomor surah 54 tetapi Matahari ditempatkan dibelakang, nomor urut 91. Anehkan? Penempatan tersebut menggunakan bahasa kripto 11. Perhatikan saja, kombinasi 6 digit angka, yaitu 53, 54, 91 membentuk bilangan kelipatan 11. Bilangan tersebut adalah 5 3 5 4 9 1 atau 11 x 48681. Demikian juga bila dibaca dari kanan kekiri, 1 9 4 5 3 5 merupakan bilangan kelipatan 11 juga, atau 11 x 17685. Bagaimana jika urutan nomor surahnya dari paling besar, bagaimana kombinasinya? Kita lihat, bilangan menjadi 9 1 5 4 5 3 atau 11 x 83223. Ternyata, jika kombinasinya diacak dimulai dari tengah 5 4 5 3 91 juga kelipatan 11, atau 11 x 49581.!! Luar biasa, penjumlahan nomor surahpun sama, kelipatan 11, atau 53+54+91=198 sama dengan 11 x 18. Bagaimanapun juga kita mengetahui bahwa perbedaan Kalendar Masehi dengan Kalendar Lunar adalah 11 hari, fenomena alam di Tata Surya kita. Demikian pula, solar flare atau badai di medan magnit di Matahari, memiliki siklus 11 tahun sekali. Kembali ke Moonsighting yang disebut Ijtimak atau Penampakan Bulan Sabit pertama kali merupakan tanda penting untuk menentukan tanggal satu Bulan Baru. Abad ke-21 ini, untuk mengetahui Ijtimak dngan menggunakan bahasa astronomi tidak sukar, tersedia informasi dari berbagai sumber dan berbagai hitungan di dunia maya yang bisa diakses oleh siapa saja. Sifatnya global, bentuk bulan setiap waktupun dilaporkan real time. Beberapa kalkulator atau "software" dan situs tersedia untuk mengetahui Bulan Baru dan Ijtimak, dengan kesalahan sekitar 2 menit. Berbeda dengan komputer di Observatorium, akurasinya hingga orde detik. Mudah - masukkan kota di map elektronik yang tersedia, tentukan waktu lokal dan tanggal Bulan yang diinginkan, maka akan muncul waktu New Moon, waktu Sunset dan Moonset dalam jam dan menit. Dari sana kita bisa menentukan kapan, tanggal berapa New Moon dan tanggal berapa Moonsighting, termasuk bentuk bulan dalam 2 atau 3 dimensi. Voila!

Salam Arifin Mufti Bandung, West Java. Indonesia.


http://www.facebook.com/notes/islamic-united/kriptografi-new-moon-dan-moon-sighting/212315825488227? ref=nf Tanggal akses 16 Januari 2012 jam 01:17 PM

Anda mungkin juga menyukai