Anda di halaman 1dari 16

TEORI PEMINDAHAN AKAD (TAHAWWUL AQAD) DALAM

MUA’AMALAH

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah: Fiqih Mu’amalah

Dosen Pengampu: H. Amin Farih, M. Ag

Disusun oleh:

1. Rahmatun Nisa’ (1703096024)

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akad merupakan suatu perikatan antara pihak-pihak yang berakad.


Dalam hal ini, akad dapat dipindahkan apabila kad tersebut fasid atau
bathil. Namun perlu kita ketahui, bahwa dalam pemindahan akad haruslah
disertai syarat-syarat tertentu yang menjadi kriteria dari pemindahan akad
tersebut.

Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai pengertian


pemindahan akad serta apa-apa saja yang menyangkut tentang pemindahan
akad tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pemindahan akad (Tahawwul Aqd) ?
2. Apa saja kriteria dan substansi pemindahan akad (Tahawwul Aqd) ?
3. Bagaimana contoh penerapan pemindahan akad (Tahawwul Aqd) dalam
mu’amalah ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian pemindahan akad
(Tahawwul Aqd).
2. Untuk mengetahui apa saja kriteria dan substansi pemindahan akad
(Tahawwul Aqd).
3. Untuk mengetahui contoh penerapan pemindahan akad (Tahawwul
Aqd) dalam mu’amalah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemindahan Akad (Tahawwul Aqd).

Pada umumnya, istilah Tahawwul al-Aqd merupakan suatu


pembahasan fikih yang relatif baru dikenal di Indonesia. Istilah ini muncul
karena para ulama menyaksikan bahwa bisnis yang dilakukan dengan
sistem syariah terkadang dilakukan atas dasar akad yang bathil/fasid,
karena rukun dan syaratnya yang tidak terpenuhi.1

Umumnya akad bathil dengan akad fasid mengandung pengertian


yang sama, yaitu akad yang terdapat kekurangan rukun dan syarat-
syaratnya, sehingga seluruh akad tersebut tidak berlaku dan tidak mengikat
pihak-pihak yang berakad.2 Namun, dalam hal ini, madzhab Hanafiyah
sedikit membedakan pengertian dari akad bathil dan akad fasid tersebut.
Menurut madzhab ini, akad bathil adalah suatu akad yang tidak memenuhi
salah satu rukun akad atau ada larangan langsung dari syara’. Misalnya,
objek jual beli tidak jelas atau terdapat unsur penipuan, seperti menjual
ikan dalam lautan. Adapun akad fasid adalah suatu akad yang disyari’atkan,
tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau
kendaraan yang tidak ditunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah/kendaraan

1 Maulana Hasanuddin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), hlm. 215.
2 Harun Nasution, Fikih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 108.
yang dimaksud, sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan
pembeli.3

Dengan demikian, tujuan diperkenalkannya istilah Tahawwul al-Aqd


adalah agar pembisnis melakukan usaha secara halal, yaitu dengan cara
memindahkan kedudukan akad yang bathil/fasid kepada kedudukan akad
yang shahih. Sebagaimana kaidah ( ‫ ) األصل حل العقد على الصحة‬yang berarti
“hukum pokok akad adalah mendudukkan akad sebagai akad yang sah”.4

Sedang menurut etimologi, arti kata tahawwul adalah al-Intiqal yang


berarti pindah dan al-Taghayyur yang berarti berubah. Yang mana al-Intiqal
berarti perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan al-
Taghayyur yang berarti perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang
lain. Pada akar hukum Islam yang lain, juga dijelaskan bahwa secara
etimologi, al-Tahawwul adalah al-Inqilab, al-Intiqal dan al-Istihalah.

Al-Inqilab disini secara etimologi berarti terbalik, yaitu menjadikan


bagian atas dibawah, atau menjadikan bagian bawah di atas, dan Al-Intiqal
secara etimologi berarti perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.
Sedangkan Al-Istihalah secara etimologi berarti perubahan sesuatu dari
berbagai segi, termasuk dari segi caranya.5

Adapun cakupan dari Tahawwul al-Aqd itu meliputi empat hal,


diantaranya:

1. Al-Dzat (Substansi), yaitu perubahan substansi/kandungan


benda, seperti perubahan khamar menjadi cuka.
2. Al-Kayfiyah aw Al-Halah, yaitu perubahan cara melakukan
sesuatu atau perubahan keadaan, seperti perubahan cara shalat
dari berdiri menjadi duduk atau berbaring bagi yang sakit, atau

3 Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeva, 2001),
hlm. 68.
4 Ali Ibrahim al-Rasyid, Al-Tahawwul fi Al-Asyya’ wa Al-Tasharrufat wa Al-Uqud wa Atsaruhu fi Al-

Hukm Al-Syar’i, (Kairo: Universitas Kairo, 2001), Tesis Magister, hlm. 4.


5
Ali Ibrahim al-Rasyid, Al-Tahawwul fi Al-Asyya’ wa Al-Tasharrufat wa Al-Uqud wa Atsaruhu fi Al-
Hukm Al-Syar’i, hlm. 14-15.
kulit bangkai yang berubah dari najis menjadi suci karena
disamak.
3. Al-Makan wa Al-Zaman (tempat dan waktu), yaitu perubahan
fungsi area tertentu, seperti dari tempat olahraga menjadi
masjid, atau orang yang murtad yang melarikan diri ke daerah
musuh (dar al-harb).
4. Al-Hukm (Status hukum), yaitu perubahan dari hukum yang satu
ke hukum yang lain karena perubahan sebab/ilat hukum.

Sehingga dari empat cakupan diatas, dapat diperoleh pengertian


bahwa al-Tahawwul dari segi istilah atau terminologi adalah perubahan
sesuatu dari segi dzatnya, caranya, tempatnya, waktunya dan
hukumnya.6 Dengan demikian, tahawwul al-Aqd secara terminologi
berarti perubahan akad dari akad formal (tertulis) menjadi akad lain
yang tidak tertulis, karena akad tertulis tersebut tidak terpenuhi rukun
atau syaratnya, atau tidak sesuai dengan kedudukannya/kesejatiannya.7

Perlu kita ketahui, kaidah fikih juga mempunyai hubungan


dengan Tahawwul Aqd. Dalam hal ini, Ali Ibrahim al-Rasyid
memperkenalkan beberepa kaidah fiikih yang berhubungan dengan
tahawwul aqd, diantaranya :

1. (‫)العبرة في العقود للمقصود والمعاني ال باأللفاظ والمباني‬8 Kaidah ini


menyatakan bahwa yang dijadikan pegangan/hukum pokok
dalam akad adalah maksud dan makna akadnya, bukan kata-kata
dan susunan kalimatnya. Kaidah ini merupakan pegangan bagi
pembisnis agar dalam menilai akad jangan hanya dari segi
formalnya, tetapi yang lebih penting adalah dari segi substansi
atau isinya.

6 Ali Ibrahim al-Rasyid, Al-Tahawwul fi Al-Asyya’ wa Al-Tasharrufat wa Al-Uqud wa Atsaruhu fi Al-


Hukm Al-Syar’i, hlm. 15-16.
7
Maulana Hasanuddin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), hlm. 216.
8
Syekh Ahmad Ibn al-Syaikh Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qowa’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar
al-Qalam, 1989), hlm. 55
Yusuf al-Qardhawi melengkapi kaidah dengan susunannya
yang artinya “pokok hukum dalam akad adalah maksud dan objek
substansi yang dinamainya, bukan memerhatikan bagian yang
tampak dan namanya saja”.9

2. ( ‫) اعمال الكالم اولى من اهماله‬10 Arti kaidah ini adalah bahwa


mengamalkan/menjalankan perjanjian atau kontrak itu lebih
utama dari pada menyianyiakannya. Kaidah ini memberikan
bimbingan kepada pembisnis bahwa akad yang dapat
menimbulkan beberapa kemungkinan lebih utamauntuk
dijalankan sesuai dengan pemahaman para pihak, dari pada
disia-siakan.
3. ( ‫) احمال الصحة مقدم على احمال البطالن‬11 Arti kaidah ini adalah
apabila akad mengandung dua kemungkinan (1) batal karena
tidak cukup rukun/syaratnya; (2) kemungkinan sah karena
terpenuhi rukun/syaratnya, maka pandangan yang mengatakan
bahwa akad tersebut sah harus diutamakan, dari pada
pandangan yang menyatakan bahwa akad tersebut batal.
4. ( ‫ ) بدل الشيء يقوم مقامه والبدل يسد مسد األصل ويحل محله‬Kaidah ini
menjelaskan mengenai kedudukan pengganti (badal) terhadap
yang diganti (ashl), kedudukan pengganti sama dengan
kedudukan yang diganti.
5. ( ‫ ) فصحيح العقد واجب مالمكن‬Kaidah ini menjelaskan bahwa ulama
dan qadhi harus memiliki anggapan awal bahwa prinsipnya akad
yang dilakukan oleh para pembisnis adalah sah, bahkan

9
Yusuf al-Qardhawi, al-Qawa’id al-Hakimah Li Fiqh al-Muamalah, (Kairo: Dar al-Syaruq, 2010), hlm.
29.
10
Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qowaid al-Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasy’atuha, Tathawwuruha, Dirasah
Mu’alifatiha, Adillatuha, Muhaimmatuha, Tathbiqatuha, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1994), hlm. 393.
11
Maulana Hasanuddin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), hlm. 217.
hukumnya wajib. Bagi ulama dan qadhi memandang sah akad
yang dilakukan para pembisnis selama memungkinkan.12
B. Substansi dan Kreteria Tahawwul Aqd
1. Substansi Tahawwul Aqd

Pada umumnya, tahawwul aqd juga sering disebut dengan


konvensi akad, yang artinya suatu akad yang batal secara menyeluruh
(buthlanan kullian), tetapi mengandung rangkaian akad lain yang sah,
sehingga akad yang tidak sah tersebut berubah menjadi akad baru yang
sah dan menimbulkan akibat hukum yang sah juga.

Dalam hal ini, tahawwul aqd berbeda dengan tafriq as-shofqoh,


yang merupakan suatu akad yang terdiri dari beberapa bagian akad,
yang mana sebagian akad tersebut sah dan sebagian lainnya tidak sah.
Bagian akad yang sah tersebut dengan sendirinya gugur, sedangkan
bagian akad yang tidak sah tetap berlaku efektif.

Oleh karena itu, tahawwul dikatakan berbeda dengan tafriq as-


shofqoh karena adanya tiga aspek, yaitu:

a. Dalam tahawwul seluruh akad tidak sah, sedangkan dalam tafriq


as-shofqoh sebagiannya yang tidak sah.
b. Secara substansial tahawwul akad adalah mengganti akad yang
tidak sah menjadi akad baru yang sah, sedangkan dalam tafriq as-
shofqoh akad yang lama masih ada kecuali bagian yang tidak sah.
c. Dalam tafriq as-shofqoh dalam akadnya terdiri dari akad yang
terpisah, hal ini berbeda dengan tahawwul yang bagian-bagian
akadnya menyatu.

Teori tahawwul dalam fikih sejatinya sudah dijelaskan oleh para


ulama dalam kitab-kitab terdahulu, jauh sebelum para pakar hukum
positif menjelaskan tentang kaidah tahawwul ini. Diantaranya adalah
dua kiadah fikih berikut ini:
12
Maulana Hasanuddin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), hlm. 219.
1. Kaidah pertama
‫إعمال الكالم أولى من إهماله‬
“Mengambil perkataan lebih baik daripada meninggalkannya”.
2. Kaidah kedua
‫هل العبرة بألفاظ العقود أو بمعانها‬
“Yang menjadi standar dalam akad itu lafadznya atau
maknanya”.

Yang mana kedua kaidah tersebut menegaskan bahwa, yang


menjadi standar dalam setiap akad atau kesepakatan adalah
keinginan pihak akad dan akibat hukum yang ditimbulkan dari
kesepakatan tersebut, haruslah sesuai keinginan pihak yang
berakad.13

2. Kriteria Tahawwul Aqd

Agar suatu akad dapat diperlakukan tahawwul, maka harus ada


tiga syarat, sebagai berikut:

a. Akad asli menjadi batal secara menyeluruh


b. Akad asli/pertama memang mengandung rangkaian akad yang
sah
c. Ada keinginan untuk melakukan tahawwul (perubahan) dari
pihak yang berakad.14

Tidak hanya itu, Al-Sahili juga menjelaskan bahwa syarat-syarat


tahawwul al-aqd antara lain:

1. Akad pokok atau akad formal yang dilakukan para pihak


termasuk akad yang bathil, karena rukun atau syaratnya tidak
terpenuhi.

13 Oni Sahroni, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan Implementasinya dalam Ekonomi Syariah,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2016),hlm. 219-220.
14
Oni Sahroni, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan Implementasinya dalam Ekonomi Syariah,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2016),hlm. 220-221.
2. Akad formal yang bathil tersebut mencakup rukun dan syarat
yang dari segi akad yang lain terpenuhi rukun dan syaratnya.
3. Kehendak para pihak yang berakad terhadap akad yang baru
muncul karena ‘tahawwul’.

Adapun kehendak para pihak dijelaskan secara lebih detail dalam


hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Pasal-pasal tersebut
diantaranya:

1. Pasal 1342 BW yang berbunyi “jika kata-kata suatu perjanjian


jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya
dengan jalan penafsiran”
2. Pasal 1343 BW yang menyatakan “jika kata-kata suatu perjanjian
dapat diberikan berbagai penafsiran, maka harus dipilih dengan
menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian
tersebut”
3. Pasal 1344 BW yang berbunyi “jika suatu janji dapat diberikan
dua macam pengertian yang sedemikian, maka memungkinkan
janji itu dilaksanakan, daripada memberikan pengertian yang
tidak memungkinkan suatu pelaksanaan”
4. Pasal 1345 BW yang menyatakan bahwa “jika kata-kata dapat
diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertan
yang paling selaras dengan sifat perjanjian tersebut”
5. Pasal 1348 yang menyatakan bahwa “semua janji yang dibuat
dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam hubungan satu
sama lain, dan tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka
perjanjian seluruhnya”
6. Pasal 1350 BW yang berbunyi “meskipun bagaimana luasnya
kata-kata dalam suatu perjanjian disusun, namun perjanjian itu
hanya meliputi hal-hal yang nyata dmaksudkan oleh kedua belah
pihak sewaktu membuat perjanjian”.15

15
Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hlm. 29
Apabila dihubungkan dengan kaidah fikih, maka pasal-pasal
yang terdapat dalam BW tentang metode mengungkap maksud
pihak yang berakad, relevan dengan sejumlah kaidah fikih.

Dalam hukum perjanjian ditegaskan bahwa pembuktian


hukum perdata yang utama adalah meneliti dan
menentukan/menegaskan maksud para pihak.16 Adapun kaidah fikih
yang relevan dengan BW 1350 adalah ( ‫) األ مور بمقاصده‬, yang
artinya “segala sesuatu bergantung pada maksudnya”.

Tidak hanya itu, substansi BW pasal 1342 yang berbunyi “jika


kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk
menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran”. Kaidah fikih
yang relevan dengan pasal ini adalah , ( ‫ ) األصل في الكالم الحقيقة‬yang
artinya, “hukum pokok suatu kalimat adalah makna hakikat”. Dan
( ‫ ) العبرة الداللة في مقابلة التصريح‬yang artinya “suatu perkara yang
sudah jelas arti dan maksudnya, tidak perlu ditafsirkan”.

Substansi BW pasal 1343 menyatakan “jika kata-kata suatu


perjanjian dapat diberikat berbagai macam penafsiran, maka harus
dipilihnya terlebih dahulu menyelidiki maksud kedua belah pihak
yang membuat perjanjian itu, dari pada memegang teguh arti kata-
kata menurut huruf”. Kaidah fikih yang relevan dengan ketentuan
tersebut adalah ( ‫) فلعبرة في العقود المقاصد والمعلقي ال لاللفاظ والمبلقي‬,
yang artinya “pokok atau dasar hukum suatu akad adalah maksud-
maksud dan makna-makna dari akad itu sendiri, bukan
memerhatikan kata-kata dan bentuk kalimatnya”.

Substansi pasal 1344 yang berbunyi “jika suatu janji dapat


diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian
yang sedemikian memungkinkan janji itu dilaksanakan, daripada

16R. Wirjono Projodikoro, Azas-Azaz Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Bale Bandung, 1989), hlm.
85.
memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu
pelaksanaan”. Kaidah fikih yang relevan yaitu ( ‫اعمال الكالم اولى من‬

‫)اهماله‬, yang artinya, “pengalaman terhadap suatu kalimat lebih


utama dari pada menyia-nyiakannya”.

Substansi selanjutnya adalah BW pasal 1345 yang


menyatakan, “jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian,
maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat
perjanjian.”

Kaidah fikih yang relevan adalah ( ‫اذا تصنرت الحقيقة والمجاز يصار الى‬

‫)المجاز‬, yang artinya “apabila makna hakikat sulit untuk dimengerti


dan diamalkan, maka makna yang dijadikan hukum adalah makna
yang majasi.”17

C. Contoh Penerapan Pemindahan Akad (Tahawwul Aqd)dalam


Mu’amalah
1. Tahawwul al-Aqd dalam Syirkah-Amwal

Apabila dua orang bersepakat berkongsi untuk melakukan


usahatertentu dengan akad syirkah-amwal, yaitu syarik yang satu
menyerahkan barang/uang kepada syarik yang lainnya untuk dijadikan
modal usaha, namun ternyata syarik yang lainnya mengelola modal
tersebut tanpa menyerahkan modal darinya kecuali ketrampilan usaha
yang dimilikinya. Maka syirkah-amwal tersebut tidak cukup syarat
karena salah satu syarik tidak menyertakan barang/uang untuk
dijadikan modal.

Contoh konkretnya sebagai berikut: Bank Sayriah Alf


menyalurkan dana kepada Koperasi Syariah Mi’ah dengan
menggunakan akad syirkah sebesar satu miliar. Dalam akta perjanjian
dicantumkan bahwa dana bank yang dijadikan modal usaha adalah satu

17
Maulana Hasanuddin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), hlm. 221-222.
miliar, sedangkan dana dari Koperasi adalah nol rupiah. Uang yang
diterima oleh koperasi disalurkan kepada anggotanya dengan akad
murobahah.

Dalam akad syirkah antara Bank Syariah dengan Koperasi


Syariah terdapat kekurangan rukun, yaitu pihak koperasi tidak
menyertakan dana untuk dijadikan modal usaha. Menurut ketentuan
akad (prespektifnya), akad yang rukun/syaratnya tidak terpenuhi
adalah batal. Akan tetapi, apabila dilihat dari substansinya, akan
tersebut terpenuhi rukun dan syaratnya, jika dinyatakan sebagai akad
mudharabah, yang mana Bank Syariah sebagai pemilik modal dan
Koperasi Syariah sebagai pelaku usaha. Sehingga jika kedua belah pihak
bermaksud melakukan akad tersebut, maka disebut akad mudharabah.

Apabila maksud para pihak memang demikian, maka kerugian


yang timbul bukan karena kelalaian Koperasi, dan kerugian tersebut
hanya dibebankan kepada pemilik modal yaitu Bank Syariah, dan
keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan.

Dalam ilustrasi tersebut, akad syirkah-amwal yang dilakukan


antara kedua belah pihak, berpindah menjadi akad mudharabah.
Apabila didudukkan sebagai akad syirkah, maka syirkah tersebut batal
krena tidak terpenuhi rukunnya, dan menjadi tidak batal apabila akad
tersebut didudukkan sebagai akad mudharabah, karena terpenuhi
rukun dan syaratnya.18

2. Akad Mudharabah yang berubah bentuk menjadi akad Qord (Pinjaman)

Jika seseorang pemiliki modal berkata kepada pengelola


modalnya “ambillah modal ini dan seluruh keuntungan yang menjadi hak
anda”. Apakah dengan syarat tersebut akad mudharabah berubah
menjadi akad qord?

18
Maulana Hasanuddin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), hlm. 224-225.
Para ulama berbeda pendapat tentang hal berikut:

a. Menurut Hanafiyah dan Malikiyah akad tersebut berubah


menjadi akad qord.
b. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah dalam satu pendapatya,
akad mudharabahnya menjadi fasid.
c. Menurut Imam Malik dan Syafi’iyah dalam salah satu
pendapatnya, akad mudharabahnya tetap sah.

Dari ketiga pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa


pendapat yang rajih adalah pendapat pertama. Karena dengan akad
mudharabah berubah menjadi akad qord, dengan pertimbangan bahwa
akad tersebut telah memenuhi ketentuan rukun dan syarat qorb,
disamping itu melegalkan akad itu lebih baik dari pada
membatalkannya.

3. Akad Istishna yang berubah menjadi akad Salam

Jika ada akad Istishna untuk membuat baju misalnya, maka akad
Istishna tersebut berubah menjadi akad salam, karena pakaian tidak
boleh dijadikan objek akad Istishna. Disamping itu, akad Istishna
dibolehkan dengan dalil Istishna agar masyrakat mudah mendapatkan
kebutuhannya, dan juga karena akad tersebut menjadi akad Istishna
yang fasid, maka harus dimaknai dengan akad salam yang sah.

4. Akad IMBT (Ijarah Muntahiya Bit Tamlik) berubah menjadi Akad Jual
Beli

Akad IMBT adalah suatu akad dimana pihak pemilik barang


menyewakan barang kepada pihak lain (penyewa) untuk dimanfaatkan
dengan pembayaran secara berangsur, sehingga pada akhir masa
angsuran barang disewa tersebut sudah menjadi milik penyewanya.

Jika penyewa tidak mampu membayar angsurannya, maka


pemilik barang tersebut berhak memiliki total angsuran yang sudah
dibayarkan dan mengembalikan manfaat atau layanan yang sudah
diterima oleh penyewa.

Dalam hal ini, menurut sebagian ulama kontemporer format akad


ini adalah akad ijarah tetapi substansinya adalah akad ba’i dan akad
rahn dengan upah yang dibayarkan sebagai harga beli.

Dengan akad ini, maka hak milik atas barang ini berpindah dari
pihak yang menyewakan (penjual) kepada penyewa (pembeli). Karena
maksud/keinginan pihak akad tersebut adalah menjual objek manfaat
secara angsuran (tidak tunai) walaupun nama yang tertulis dalamakad
adalah ijarah.

5. Ba’i al-Wafa

Ba’i al-wafa adalah suatu transaksi, dimana penjual menjual


suatu komoditas tertentu dan memberikan syarat kepada pembeli, jika
mengambilkembali uangnya maka penjual mengambil kembali
barangnya.

Jika kita melihat tujuan pihak akad, maka sesungguhnya


substansi transaksi tersebut adalah pinjaman yang diikat dengan
agunan, yaitu harga yang diserahkan pembeli kepada penjual adalah
pinjaman, sedangkan barang yang diterima pembeli dari penjual adalah
agunan.

Oleh karena itu, transaksi jual beli ini adalah transaksi formalitas
yang tidak melahirkan akibat hukum jual beli tetapi akibat hukum yang
terjadi adalah akad qord dengan agunan.19

BAB III

PENUTUP

19 Oni Sahroni, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan Implementasinya dalam Ekonomi Syariah,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2016),hlm. 221-223.
A. Kesimpulan
1. Pada umumnya, istilah Tahawwul al-Aqd merupakan suatu pembahasan
fikih yang relatif baru dikenal di Indonesia. Istilah ini muncul karena
para ulama menyaksikan bahwa bisnis yang dilakukan dengan sistem
syariah terkadang dilakukan atas dasar akad yang bathil/fasid, karena
rukun dan syaratnya yang tidak terpenuhi. Tahawwul al-Aqd secara
terminologi berarti perubahan akad dari akad formal (tertulis) menjadi
akad lain yang tidak tertulis, karena akad tertulis tersebut tidak
terpenuhi rukun atau syaratnya, atau tidak sesuai dengan
kedudukannya/kesejatiannya.
2. Agar suatu akad dapat diperlakukan tahawwul, maka harus ada tiga
syarat yang merupakan kriteria dari tahawwul aqd, yaitu sebagai
berikut: (a) Akad asli menjadi batal secara menyeluruh; (b) Akad
asli/pertama memang mengandung rangkaian akad yang sah; (c) Ada
keinginan untuk melakukan tahawwul (perubahan) dari pihak yang
berakad.
3. Sebagai substansi dari tahawwul aqd, maka tahawwul dikatakan
berbeda dengan tafriq as-shofqoh karena adanya tiga aspek, yaitu:
a. Dalam tahawwul seluruh akad tidak sah, sedangkan dalam tafriq
as-shofqoh sebagiannya yang tidak sah.
b. Secara substansial tahawwul akad adalah mengganti akad yang
tidak sah menjadi akad baru yang sah, sedangkan dalam tafriq as-
shofqoh akad yang lama masih ada kecuali bagian yang tidak sah.
c. Dalam tafriq as-shofqoh dalam akadnya terdiri dari akad yang
terpisah, hal ini berbeda dengan tahawwul yang bagian-bagian
akadnya menyatu.
6. Contoh penerapan tahawwul aqd dapat diketahui melalui: Tahawwul al-
Aqd dalam Syirkah-Amwal, Akad Mudharabah yang berubah bentuk
menjadi akad Qord (Pinjaman), dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qowaid al-Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasy’atuha,

Tathawwuruha, Dirasah Mu’alifatiha, Adillatuha, Muhaimmatuha, Tathbiqatuha,

(Damaskus: Dar al-Qalam), 1994.

Aziz Dahlan, Abdul, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Hoeva), 2001.

Darus, Mariam, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hlm. 29

R. Wirjono Projodikoro, Azas-Azaz Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Bale

Bandung), 1989.

Hasanuddin, Maulana dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2012.

Ibrahim, Ali al-Rasyid, Al-Tahawwul fi Al-Asyya’ wa Al-Tasharrufat wa Al-Uqud wa

Atsaruhu fi Al-Hukm Al-Syar’i, (Kairo: Universitas Kairo), 2001, Tesis Magister.

Nasution, Harun, Fikih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2007.

Sahroni, Oni, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan Implementasinya dalam

Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers), 2016.

Syekh Ahmad Ibn al-Syaikh Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qowa’id al-Fiqhiyyah,

(Damaskus: Dar al-Qalam), 1989.

Yusuf al-Qardhawi, al-Qawa’id al-Hakimah Li Fiqh al-Muamalah, (Kairo: Dar al-

Syaruq), 2010.

Anda mungkin juga menyukai