Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ASAS HUKUM MUAMALAT

(Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Al-Ahkam
SHAHHA)

Dosen Pengampu: Dr. Suci Ramadhona, Lc, M.HI

Oleh:

1. Abelia 09.22.3106
2. Devischa Nazwa 09.22.3185
3. Dhea puspita 09.22.3186
4. Dimas Prasetyo 09.22.3296
5. Krisna Effendi 09.22.3134

KELAS 4-A

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT SYEKH ABDUL HALIM HASAN BINJAI

2024/ 1445 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karna atas
rahmat dan hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Asas Hukum Muamalat” dengan baik dan lancar.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Al-Ahkam


SHAHHA. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Asas
Hukum Muamalat bagi para pembaca dan juga bagi penyusun.

Dalam makalah ini yang mengulas tentang Asas Hukum Muamalat, atas
dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka
penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Dr. Suci Ramadhona, Lc,
M.HI selaku dosen mata kuliah Tafsir Al-Ahkam SHAHHA, yang memberikan
bimbingan serta ilmu yang sangat bermanfaat untuk penyusun.

Namun tidak lepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa
ada kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa maupun segi lainnya. Oleh
karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka penyusun membuka selebar-
lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada penyusun
sehingga penyusun dapat memperbaiki makalah penganggaran ini tentang konsep
dasar penganggaran. Tegur sapa dari pembaca akan penyusun terima dengan tangan
terbuka demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

Binjai, Maret 2024

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 1

DAFTAR ISI ...................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 3

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 3

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 5

2.1 Definisi Hukum Muamalat ...................................................................... 5

2.2 Prinsip-Prinsip Hukum Muamalat .......................................................... 6

2.3 Penjelasan Ayat Al-Qur’an Mengenai Hukum Muamalat .................... 11

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 18

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 19

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam islam, terdapat aturan yang harus diterapkan dalam amaliyah individu
dengan Allah subhanahu wa ta’ala (ibadah) dan juga amaliyah antara individu
dengan individu lainnya (muamalah). Sehingga muamalah dalam islam merupakan
salah satu cabang ilmu yang perlu dipahami oleh setiap umat islam, agar dapat
menjadikan setiap aktivitas kehidupan dunianya bernilai kebaikan yang berujung
pahala. ‫( جهت انًصبنخ ٔدسء انًفبعذ‬mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan),
demikianlah hakikat diturunkannya syari’at Islam dalam bentuk larangan dan
perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Bahwa setiap yang masuk dalam kategori
perintah yang mesti dikerjakan, pastilah di sana mengandung kemaslahatan bagi
manusia.

Sebaliknya, setiap larangan yang mesti dijauhi, pasti juga terdapat mudarat.
Walaupun acapkali hikmah dari amr ataupun nahy tersingkap jauh setelah nash
diturunkan. Status keharaman al khinzir misalnya, belakangan dibuktikan secara
ilmiah kalau hewan tersebut berdampak buruk bagi kesehatan manusia, baik pisik
maupun psikis. Demikian halnya dengan ketentuan mu’amalah, berbagai ketentuan
yang ada dalam nash, jelas untuk kemaslahatan manusia secara umum. Ketentuan-
ketentuan ini merupakan prototipikal dialektika Islam terhadap kegiatan
perekonomian manusia. Sebagai agama fitrah, Islam tentu tidak akan mengabaikan
aspek penting dalam kesinambungan hidup manusia ini. Walaupun ketentuan
tersebut lebih banyak pada aspek himbauan moral, namun dengan tingginya spirit
keagamaan, ternyata terbukti efektif menjadi as a tool social engenerring di tengah
masyarakat. Dalam prakteknya, konsep ini mampu memvisualisasikan bahwa tidak
hanya kepatuhan yang bersifat transendental saja yang tergambar, namun pada
hakikatnya juga untuk memenuhi naluri kemanusian universal yang immanental.

3
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan hukum muamalat?
2. Bagaimana asas-asas ataupun prinsip-prinsip hukum muamalat?
3. Apa saja penjelasan ayat Al-Qur’an mengenai hukum muamalat?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk menambah wawasan,
pengetahuan dan memahami secara utuh asas-asas atau prinsip-prinsip hukum
muamalat.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hukum Muamalat


Dalam islam, terdapat aturan yang harus diterapkan dalam amaliyah individu
dengan Allah subhanahu wa ta’ala (ibadah) dan juga amaliyah antara individu
dengan individu lainnya (muamalah). Sehingga muamalah dalam islam merupakan
salah satu cabang ilmu yang perlu dipahami oleh setiap umat islam, agar dapat
menjadikan setiap aktivitas kehidupan dunianya bernilai kebaikan yang berujung
pahala. Dalam islam, terdapat aturan yang harus diterapkan dalam amaliyah
individu dengan Allah subhanahu wa ta’ala (ibadah) dan juga amaliyah antara
individu dengan individu lainnya (muamalah). Sehingga muamalah dalam islam
merupakan salah satu cabang ilmu yang perlu dipahami oleh setiap umat islam, agar
dapat menjadikan setiap aktivitas kehidupan dunianya bernilai kebaikan yang
berujung pahala. Kaidahnya berbunyi:
Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah sah sampai adanya
dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344)

Atau yang serupa dengan itu:

Sesungguhnya hukum asal dari segala ciptaan adalah mubah, sampai tegaknya
dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini. (Imam Asy Syaukani, Fathul
Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dalil kaidah ini adalah:

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah (2): 29)

5
Dalil As Sunnah:

“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah
yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu
termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya:hadits
gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No.
6124. Syaikh Al Albani mengatakan:hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At
Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq dalamShahih
Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi ‘Anhu, No.
1)

Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan manusia.
Mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam
perdagangan, politik, pendidikan, militer, keluarga, dan semisalnya, selama tidak
ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka selama itu pula
boleh-boleh saja untuk dilakukan. Ini berlaku untuk urusan duniawi mereka. Tak
seorang pun berhak melarang dan mencegah tanpa dalil syara’ yang menerangkan
larangan tersebut. Oleh karena itu, Imam Muhammad At
Tamimi Rahimahullah sebagai berikut menjelaskan kaidah itu:

“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka
hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau
mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.”(Imam Muhammad At
Tamimi, Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)

2.2 Prinsip-Prinsip Hukum Muamalat


Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, asas memiliki makna dasar, prinsip,
yang jadi anutan, dan hokum (2001: 82), fundamen (alas, dasar) bangunan asal,
pangkal, dasar, alasan, fundamental, dan prinsip (Munawwir, 1984: 26). Sementara
prinsip adalah sesuatu yang dipegang sebagai anutan yang utama (Badudu dan
Zaim, 2001: 1089). Secara lebih rinci, Fathhurrahman Djamil (2013: 153)

6
mengklasifikasi prinsip muamalah kepada dua, yakni prinsip umum dan prinsip
khusus.

1. Prinsip Umum
Secara umum, prinsip muamalah adalah; pertama, kebolehan dalam melakukan
aspek muamalah, baik, jual, beli, sewa menyewa ataupun lainnya. Dalam kaedah
fiqh disebutkan ْ‫ ًيب رذش عهى نيم د ا ل يذ ا اال دخ ثب االء يهخ انًعب فى صم ال‬Prinsip dasar
muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya (Djazuli, 2011:
130).
Kedua, muamalah dilakukan atas pertimbangan membawa kebaikan (maslahat)
bagi manusia dan atau untuk menolak segala yang merusak (dar al mafasid wa jalb
al masalih). Hal ini sejalan dengan maqasid syari‟ah bahwa tujuan diturunkannya
syariah adalah untuk menjaga lima hal mendasar pada manusia. Al Syatibi
menyebut lima pokok dasar yang menjadi prioritas dijaga dengan diturunkannya
syari‟at; hifzu al din (agama), hifz nafs (jiwa), hifz al aql (menjamin keselamatan
akal), hifzu al mal (harta), dan hifz al nasl (keturunan) (al-Syatibi: 3). Hakikat
kemaslahatan dalam Islam adalah segala bentuk kebaikan dan manfaat yang
berdimensi integral duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual
dan kolektif. Sesuatu dipandang Islam mengandung maslahat jika memenuhi dua
unsur yakni kepatuhan syari‟ah (halal) dan bermanfaat serta membawa kebaikan
(thayyib) bagi semua aspek secara integral yang tidak menimbulkan muharat dan
merugikan pada salah satu aspek (Djamil, 2013: 154).
Ketiga, muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keseimbangan
(tawazun). Konsep ini dalam syariah meliputi berbagai segi antara lain meliputi
keseimbangan antara pembangunan material dan spiritual; pemanfaatan serta
pelestarian sumber daya. Pembangunan ekonomi syariah tidak hanya ditujukan
untuk pengembangan sektor korporasi, namun juga pengembangan sektor usaha
kecil dan mikro yang terkadang luput dari upaya-upaya pengembang-an sektor
ekonomi secara keseluruhan (Djamil, 2013: 155).
Keempat, muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan
menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk muamalah yang mengandung

7
unsur penindasan tidak dibenarkan. Keadilan adalah menempatkan sesuatu hanya
pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak, serta
memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. Implementasi keadilan dalam aktivitas
ekonomi berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur riba, zalim,
maysir, gharar, objek transaksi yang haram (Djamil, 2013: 155).

2. Prinsip Khusus
Secara khusus, prinsip muamalah dapat disimplikasi pada hal-hal yang dilarang
dalam praktek muamalah dan hal-hal yang diperintahkan untuk dilakukan. Untuk
hal-hal yang diperintahkan dalam muamalah adalah sebagai berikut: pertama, objek
transaksi mesti halal. Artinya dilarang melakukan bisnis ataupun aktivitas ekonomi
terkait yang haram. Sebagai contoh Islam melarang menjual minuman keras, najis,
alat-alat perjuadian, dan lain-lain. Sehubungan dengan itu berinvestasi pada
perusahaan-perusahaan yang mencampuradukkan barang-barang halal dan haram
juga tak dibenarkan dalam Islam. Investasi tidak halal yang dilakukan oleh suatu
perusahaan sama artinya dengan tolong menolong dalam keburukan sebagaimana
dilarang dalam QS. 5:2. Preferensi seorang muslim bukan sekedar ditentukan oleh
utility semata, tetapi apa yang disebut sebagai mashlahat dengan tanpa
meninggalkan aspek rasionalitas (Djamil, 2013: 155).
Kedua, adanya keridhaan pihakpihak yang bermualamah. Dasar asas ini adalah
kalimat an taradhin minkum (saling rela diantara kalian, QS. AnNisa: 29). Asas ini
menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara
masingmasing pihak. Kerelaan antara pihakpihak yang berakad dianggap sebagai
prasyarat bagi terwujudnya semua transaksi. Jika dalam transaski tidak terpenuhi
asas ini, maka itu artinya sama dengan memakan sesuatu dengan cara bathil yang
dilarang Allah. Transaksi yang dilakukan tidak dapat dikatakan telah mencapai
sebuah bentuk kegiatan yang saling rela diantara yang melakukan transaksi jika di
dalamnya ada tekanan, paksaan, tipuan dan miss-statemen. Jika asas ini
mengharuskan tidak adanya paksaan dalam proses transaksis dari pihak manapun,
kondisi ini diimplementasikan dalam perjanjian yang dilakukan diantaranya dengan

8
kesepakatan dalam bentuk shigat ijab dan qabul serta adaya hak kiyar (hak opsi)
(Djamil, 2013: 157).
Ketiga, pengurusan dana yang amanah. Amanah mempunyai akar kata yang
sama dengan kata iman dan aman, sehingga mukmin berarti yang beriman, yang
mendatangkan keamanan, juga yang memberi dan menerima amanah. Orang yang
beriman disebut juga al-mukmin, karena orang yang beriman menerima rasa aman,
iman dan amanah. Bila orang tidak menjalankan amanah berarti tidak beriman dan
tidak akan memberikan rasa aman baik untuk dirinya dan sesama masyarakat
lingkungan sosialnya. Dalam sebuah hadis dinyatakan "Tidak ada iman bagi orang
yang tidak berlaku amanah".
Dari pengertian di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa amanah adalah
menyampaikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi
haknya dan tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga maupun jasa.
Amanah merupakan hak bagi mukallaf yang berkaitan dengan hak orang lain untuk
menunaikannya karena menyampaikan amanah kepada orang yang berhak
memilikinya adalah suatu kewajiban.
Dalam berbisnis, nilai kejujuran dan amanah merupakan ciri yang mesti
ditunjukkan karena merupakan sifat Nabi dan Rasul dalam kehidupan sehari-hari.
Terkait ini Nabi bersabda : Pedagang yang jujur dan amanah berada bersama para
Nabi dan para syuhada. Amanah (trust) adalah modal utama untuk terciptanya
kondisi damai dan stabilitas di tengah masyarakat, karena amanah sebagai landasan
moral dan etika dalam bermuamalah dan berinteraksi sosial.
Dalam islam muamalah juga memiliki prinsip, diantaranya yaitu :
a. Hukum muamalah mubah – pada dasarnya segala bentuk muamalah
hukumnya adalah boleh. Kecuali aktivitas atau perbuatan muamalah yang
dilarang dalam terciptanya aneka muamalah baru sesuai perkembangan
zaman.
b. Atas dasar sukarela – pengertian muamalah dalam islam bermakna saling
berbuat, dengan ketentuan tidak ada paksaan diantara pihak yang saling
melakukan perbuatan muamalah tersebut. Hal ini menjamin kebebasan para

9
pihak dalam memilih meneruskan atau menghentikan transaksi, salah satu
contohnya adalah praktek macam-macam khiyar dalam jual beli.
c. Mendatangkan manfaat, menghindari mudharat – hal ini mengarahkan para
pihak yang bermuamalah unutk menghindari perbuatan yang sia-sia dan
mubazir. Serta mewaspadai potensi risiko yang akan terjadi.
d. Memelihara nilai keadilan – muamalah yang dilakukan adalah perbuatan
yang menghindari unsur-unsur penganiayaan dan penindasan. Dan juga
mengambil kesempatan dalam kesulitan orang lain.

Sesuai dengan prinsip muamalah dalam islam, maka pada dasarnya setiap
aktivitas sosial masyarakat, khususnya dalam aktivitas ekonomi boleh dilakukan.
Dengan ketentuan tidak ada larangan agama atas akivitas tersebut. Oleh karena itu,
dalil muamalah merupakan larangan-larangan yang terdapat dalam sumber hukum
muamalah yang utama, yaitu Al-quran dan Al-hadist. Di dalam islam banyak sekali
jenis Muamalah yang di larang, adapun larangan Muamalah dalam islam di
antaranya yakni :

a. Maisyir – merupakan transaksi memperoleh keuntungan secara untung-


untungan atau dari kerugian pihak lain.
b. Gharar – adalah muamalah yang memiliki ketidakjelasan obyek
transaksinya. Seperti barang yang dijual tidak dapat diserah-terimakan,
tidak jelas jumlah, harga dan waktu pembayarannya.
c. Haram–tidak diperbolehkan melakukan transaksi atas benda atau hal-hal
yang diharamkan. Sehingga tidak sah transaksi jual beli jika obyek jual
belinya adalah khamar atau narkoba.
d. Riba – pengertian riba dalam islam adalah tambahan dalam aktivitas hutang
piutang dan jual beli. Terdapat macam-macam riba dalam kehidupan sehari-
hari yang perlu ditinggalkan, seperti riba jahiliyah dan riba nasiah dalam
transaksi perbankan konvensional.
e. Bathil – transaksi bathil dalam muamalah terlarang untuk dilakukan.

10
2.3 Penjelasan Ayat Al-Qur’an Mengenai Hukum Muamalat
Terdapat beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menjelaskan mengenai hukum
Muamalat, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Al-Baqarah ayat 29
Allah Swt berfirman,
ٌ‫علِيم‬ َ ٌٌ‫ٌٌوه َُوٌٌبِكُ ِل‬
َ ٌٌ‫ش ْيء‬ َ ‫س َم َوات‬ َ ٌٌ‫س َّواه َُّن‬
َ ٌٌ‫س ْب َع‬ َّ ‫ضٌٌ َجمِي ًعاٌث ُ َّمٌٌا ْست ََوىٌ ِإلَىٌال‬
َ َ‫س َماءٌٌِف‬ ْ ‫ه َُوٌٌالَّذِيٌ َخلَقٌٌَلَكُ ْمٌٌ َماٌف‬
ِ ‫ِيٌاْل َ ْر‬
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian
Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah : 29)
Kandungan Ayat Secara Umum:
ّ ٰ ُ‫ َرحِ َمه‬berkata, ”Dalam ayat
Syakh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin ُ‫ٱَلل‬
ini, Allah Swt mengingatkan para hambanya bahwa Allah Swt telah menciptakan
untuk mereka seluruh yang ada di bumi demi kemaslahatan dan manfaat bagi
mereka baik secara diniyah maupun dunyawiyah. Mereka boleh memanfaatkan apa
yang di bumi itu tanpa dilarang dan tanpa dicegah, kecuali jika ada larangan dari
Allah Swt.
Kemudian Allah Swt menjelaskan bahwa setelah Allah Swt menciptakan
apa yang di bumi, lalu Dia berkehendak menuju ke langit, maka Allah Swt
menyempurnakan penciptaan langit itu, dan Allah menjadikannya tujuh langit.
Bersama dengan itu, Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu, tidak samar baginya
sedikitpun apa yang ada di bumi maupun di langit.1
Dalam kitab Tafsir Al-Muyassar disebutkan, “Allah sendirilah yang
menciptakan untuk kepentingan kalian segala sesuatu yang ada di bumi berupa
kenikmatan-kenikmatan yang kalian manfaatkan, kemudian Dia berkehendak
menciptakan langit-langit, dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan Dia
Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Maka ilmu Allah -Yang Maha Suci- meliputi
seluruh ciptaan-Nya.”2

1
Al-Ilmam bi Ba’dhi Ayati Al-Ahkam Tafsiron wa Istinbathon, Fadhilatu As-Syaikh Al-‘Allamah
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Hal. 31.
2
At-Tafsir Al-Muyassar, Nukhbah min Al-‘Ulama’, Hal. 5.

11
Beberapa Pelajaran dari Ayat Ini adalah sebagai berikut.3
1. Karunia Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya dengan menciptakan segala
yang ada di bumi untuk mereka, maka segala sesuatu yang ada di bumi adalah
untuk kita -segala puji bagi Allah-. Namun yang mengherankan, ada sebagian
manusia yang menundukkan dirinya untuk kepentingan sesuatu yang sebenarnya
telah ditundukkan oleh Allah Swt untuknya, maka orang tersebut justru menjadi
pelayan bagi harta dunia, bukan harta dunia yang melayaninya, dan ia
menjadikan harta dunia sebagai tujuannya yang terbesar, yaitu untuk
mengumpulkan harta, memperoleh kekuasaan dan semisalnya.
2. Hukum asal benda-benda yang ada di bumi adalah halal, baik berupa pepohonan,
air, buah-buahan, hewan, dan selainnya. Ini adalah kaidah yang besar. Oleh
karena itu, jika seseorang memakan suatu tanaman, lalu ada sebagian orang
berkata kepadanya, “Itu makanan haram!” maka orang yang menyatakan haram
tadi dituntut mendatangkan dalil. Demikian pula jika seseorang menemukan
burung yang terbang, lalu ia melemparnya (dengan panah atau semisalnya –pen),
dan mengenainya, lalu burung itu mati kemudian ia memakannya dan ada orang
lain berkata, “Itu haram!” maka orang yang mengharamkan tersebut dituntut
mendatangkan dalil. Maka tidak haram sesuatu yang ada di bumi, kecuali jika
ada dalil yang menunjukkannya.
3. Penetapan perbuatan bagi Allah ‘Azza Wajalla, yaitu Allah Swt mengerjakan
apa yang Dia kehendaki, berdasarkan firman Allah Ta’ala (‫س َماءِ ِإلَى ا ْست ََوى ث ُ ّم‬
ّ ‫)ال‬,
kata ‫ ا ْست ََوى‬adalah fi’il (kata kerja), maka Allah Jalla wa ‘Ala mengerjakan apa
yang Dia kehendaki. Allah Swt mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
bisa dihitung jumlahnya kecuali Allah Swt sendiri, sebagaimana Dia berfirman
dengan perkataan yang tidak bisa menghitungnya kecuali Allah Swt sendiri.
4. Adanya tujuh langit, sebagaimana firman Allah (‫س ْب َع‬
َ ‫“ )سَ َم َوات‬tujuh langit”.
5. Sempurnanya penciptaan langit, berdasarkan firman Allah (‫س ّواه ُّن‬
َ َ‫“ )ف‬Dia
menyempurnakannya.”

3
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Surah Al Fatihah-Al Baqarah), Fadhilatu As-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin, Hlm. 110-111.

12
6. Penetapan luasnya ilmu Allah Swt, sebagaimana firman-Nya (‫ش ْيء بِكُ ِل َوه َُو‬
َ ‫علِيم‬
َ )
“Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
7. Hendaknya kita bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat tersebut, yaitu nikmat
berupa diciptakannya seluruh apa yang ada di bumi itu untuk kita, karena
Allah Swt tidak menjelaskannya semata-mata sekadar mengabarkan, akan tetapi
supaya kita mengetahui nikmat Allah Swt akan hal itu, maka kita bersyukur
kepada Allah Swt atas nikmat tersebut.
8. Wajibnya takut kepada Allah Swt, karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui atas
segala sesuatu. Allah Swt Maha mengetahui atas segala sesuatu -sampai-sampai
apa yang kita sembunyikan di dalam hati- maka wajib bagi kita untuk menjaga
diri dari hal-hal yang menyebabkan kemurkaan Allah ‘Azza Wajalla, baik
berupa perkataan, perbuatan, ataupun apa yang ada di dalam hati kita.
Di ayat yang lain, Allah Swt berfirman,
“Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya pada waktu
pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya pada waktu sore sama
dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan
sebagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya)
dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari
perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.
Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang
dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-
patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap
(berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur
(kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS.
Saba’ : 12-13)4
Kandungan Ayat Secara Umum:5
Allah Ta’ala mengabarkan kepada kita tentang karunia yang Dia berikan
kepada Nabi-Nya, yaitu Sulaiman bin Dawud berupa kekuasaan yang besar. Yang

4
QS. Saba’ : 12-13
5
Al-Ilmam bi Ba’dhi Ayati Al-Ahkam Tafsiron wa Istinbathon, Fadhilatu As-Syaikh Al-‘Allamah
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Hal. 34.

13
mana Allah Swt telah menundukkan angin untuk Nabi Sulaiman Alaihissalam,
angin itu membawa beliau ke mana saja yang dikehendakinya dengan kecepatan
yang sangat tinggi. Perjalanan sebulan bisa ditempuh selama setengah siang,
dengan tiupan yang tenang tanpa menimbulkan goncangan.
Disebutkan bahwa Nabi Sulaiman Alaihissalam memiliki permadani dari
kayu, beliau meletakkan di atasnya apa saja yang diperlukan untuk dibawa, lalu
beliau menaikinya dan dibawa oleh angin kemana saja beliau inginkan dengan
seizin Allah Ta’ala. Demikian pula, Allah Ta’ala telah menjadikan tembaga cair
dan mengalir supaya mudah untuk dibentuk sesuai keinginan Nabi Sulaiman
Alaihissalam.
Dan Allah Swt telah menundukkan jin untuk Nabi Sulaiman Alaihissalam,
di antara mereka ada yang bekerja di hadapan beliau, ada pula yang bekerja tidak
di hadapan beliau dengan izin Allah ‘Azza Wa Jalla. Mereka bekerja sesuai
keinginan Nabi Sulaiman Alaihissalam untuk membuat bangunan-bangunan yang
kuat dan tinggi, patung-patung yang bagus dan mengagumkan, piring-piring yang
besar dan lebar, serta periuk-periuk yang besar dan kuat.
2. An-Nisa ayat 97

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan


menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan
bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang
tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,

Tafsir Mendalam Tentang Surat An-Nisa Ayat 97

Paragraf di atas merupakan Surat An-Nisa Ayat 97 dengan text arab, latin
dan terjemah artinya. Ada bermacam tafsir mendalam dari ayat ini. Didapati

14
bermacam penjelasan dari beragam pakar tafsir berkaitan isi surat An-Nisa ayat 97,
di antaranya sebagaimana tertera:

 Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia

Sesungguhnya orang-orang yang telah diwafatkan mereka oleh para


malaikat,sedang mereka dalam keadaan menzolimi diri mereka sendiri dengan tetap
tinggal di daerah kafir dan tidak berhijrah,para malaikat bertanya kepada mereka
sebagai bentuk celaan terhadap mereka, ”dalam keadaan bagaimanakah kalian
terkait urusan agama kalian?”maka mereka menjawab, ”kami orang-orang yang
lemah di kampung halaman kami,tidak berdaya untuk menolak kezhaliman dan
penindasan dari diri kami.”maka para malaiakat menjawab untuk mencela mereka,
”bukankah bumi Allah itu luas,sehingga kalian bisa keluar dari daerah kalian
menuju daerah lainnya,dimana nanti kalian akan merasa aman terhadap agama
kalian?” dan mereka,tempat mereka adalah neraka,dan neraka adalah seburuk-
buruk tempat kembali dan tempat berpulang.

 Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah


pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam
Masjidil Haram

97. Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh para malaikat


dalam kondisi menganiaya diri mereka sendiri dengan menolak meninggalkan
negeri yang kafir dan berhijrah ke negeri Islam, maka para malaikat itu akan
mencabut nyawa mereka sebagai teguran keras lantas berkata, “Bagaimana keadaan
kalian dahulu (saat menolak hijrah)? Dan bagaimana kalian mampu membedakan
diri dengan kaum musyrik? Mereka beralasan, “Ketika itu kami dalam keadaan
lemah. Kami tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk melindungi diri kami.”
Lalu para malaikat menegur mereka dengan mengatakan, “Bukankah bumi Allah
itu luas, sehingga kalian bisa pergi ke sana untuk melindungi agama kalian dan diri
kalian dari penindasan dan tekanan?!” Maka orang-orang yang tidak mau berhijrah

15
itu akan menempati tempat tinggal mereka di Neraka. Dan Neraka itu adalah tempat
kembali dan tempat tinggal yang sangat buruk bagi mereka.

 Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman


Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah

97. (Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat)


Yakni diwafatkan malaikat dengan mencabut ruh mereka.

(dalam keadaan menganiaya diri sendiri) Mereka adalah orang-orang


yang tidak berhijrah dari Makkah ke Madinah, dan menetap diantara orang-orang
kafir yang melarang mereka untuk menunjukkan keislaman mereka dan
menjalankan ibadah dan syariat agama, dan bisa jadi mereka akan dibunuh orang-
orang beriman dalam peperangan melawan orang-orang kafir karena mereka tidak
mengetahui bahwa mereka orang-orang yang beriman.

(“Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”) Para malaikat bertanya kepada


mereka: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” sebagai pertanyaan celaan; yakni
bagaimana keadaan kalian dalam urusan agama kalian?. Pendapat lain mengatakan
makna pertanyaan ini adalah “apakah kalian termasuk para sahabat Muhammad
ataukah kalian adalah orang-orang musyrik?”.

( Mereka menjawab: “kami adalah orang-orang yang tertindas


di bumi”) Yakni kami tidak mampu untuk menunjukkan agama kami; maka
malaikat menjawab: bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah?

(“Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat


berhijrah di bumi itu?”) Sehingga kalian dapat terbebas dari kezaliman orang-orang
kafir, dan dapat menyembah Allah bersama orang-orang beriman lainnya.

16
Yang dimaksud dengan bumi disini adalah semua negeri yang dapat dijadikan
tempat untuk berhijrah. Adapun yang dimaksud dengan kata ‘bumi’ yang pertama
-yakni dalam kalimat “kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi” adalah
semua negeri yang harus berhijrah darinya.

(Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam) Yakni mereka tidak


memiliki tempat tinggal kecuali di nereka Jahannam.

Ayat ini merupakan dalil diwajibkannya berhijrah dari negeri kafir menuju
negeri Islam bagi orang yang tidak mampu menjalankan agamanya disana.

Secara umum setiap Muslim wajib hijrah dari negeri orang kafir bilamana
di negeri tersebut tidak ada jaminan kebebasan melakukan kewajiban agama dan
memelihara agama. Tetapi bilamana ada jaminan kebebasan beragama di negeri itu
serta kebebasan membina pendidikan agama bagi dirinya dan keluarganya, maka ia
tidak diwajibkan hijrah.

17
BAB III

3.1 Kesimpulan
Secara general, terdapat dua prinsip atau asas dalam muamalah yakni
prinsip umum dan prinsip khusus. Dalam prinsip umum terdapat empat hal yang
utama, yakni;
1) setiap muamalah pada dasarnya adalah mubah kecuali ada dalil yang
mengharamkannya;
2) mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan;
3) keseimbangan antara yang transendent dan immanent;
4) keadilan dengan mengenyampingkan kezaliman.
Sementara itu prinsip khusus memiliki dua turunan yakni yang diperintahkan dan
yang dilarang.
Adapun yang diperintahkan terdapat tiga prinsip, yakni;
1) objek transaksi haruslah yang halal;
2) adanya kerihdaan semua pihak terkait;
3) pengelolaan asset yang amanah dan jujur.
Sedangkan yang dilarang terdapat beberapa prinsip juga:
1) riba
2) gharar;
3) tadlis;
4) berakad dengan orang-orang yang tidak cakap hukum seperti orang gila,
anak kecil, terpaksa, dan lain sebagainya.
Kaidah hukum muamalat ini memiliki makna yang sangat besar dalam
kehidupan manusia. Mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya
baik dalam perdagangan, politik, pendidikan, militer, keluarga, dan semisalnya,
selama tidak ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka
selama itu pula boleh-boleh saja untuk dilakukan. Ini berlaku untuk urusan duniawi
mereka. Tak seorang pun berhak melarang dan mencegah tanpa dalil syara’ yang
menerangkan larangan tersebut.

18
DAFTAR PUSTAKA

https://alhikmah.ac.id/segala-sesuatu-urusan-dunia-dan-muamalah-adalah-sah-
dan-mubah-selama-tidak-ada-dalil-yang-mengharamkan-dan-membatalkannya/

https://alukhuwah.com/2022/03/15/tafsir-surat-al-baqoroh-ayat-29-hukum-asal-
benda-benda-di-bumi-adalah-mubah/

https://khairujalis.com/alquran/4-97/

https://quranhadits.com/quran/4-an-nisa/an-nisa-ayat-97/

https://tafsirweb.com/1629-surat-an-nisa-ayat-97.html

https://camatmandau.bengkaliskab.go.id/web/cetakberita/1016#:~:text=Muamalah
%20adalah%20peraturan%2Dperaturan%20Allah,interaksi%20hidup%20bertetan
gga%20atau%20berteman.

Al-Ilmam bi Ba’dhi Ayati Al-Ahkam Tafsiron wa Istinbathon, Fadhilatu As-Syaikh


Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Hal. 31.

At-Tafsir Al-Muyassar, Nukhbah min Al-‘Ulama’, Hal. 5.

Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Surah Al Fatihah-Al Baqarah), Fadhilatu As-Syaikh


Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Hlm. 110-111.

QS. Saba’ : 12-13

Al-Ilmam bi Ba’dhi Ayati Al-Ahkam Tafsiron wa Istinbathon, Fadhilatu As-Syaikh


Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Hal. 34.

19

Anda mungkin juga menyukai