Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

TEORI ISTIDLAL HUKUM

TUGAS MAKALAH
DIAJUKAN GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
TEORI HUKUM ISLAM
PASCA SARJANA PROGRAM STUDI HUKUM
DAN TATA NEGARA (HTN)

DISUSUN OLEH :
MTR. ANGGORO, SH. (2030105021)

DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr. Romli SA, M.Ag.

PROGRAM MAGISTER (S2)


FAKULTAS SYARIAH DAN
HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH
PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul
Teori Istidlal Hukum.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih Banyak kekurangan, hal ini karena
keterbatasan, kemampuan dan pengalaman kami, Untuk itu, kami mengharapkan saran dan kritik
yang sifatnya membangun, demi perbaikan makalah ini dalam masa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat sebagai sumbangsih penulis demi menambah
pengetahuan terutama bagi pembaca umumnya dan bagi penulis khususnya.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih dan semoga Allah Swt selalu meridhoi segala usaha kita.
Aamiin.

Tanjungpandan, September 2021

Penulis

2
Daftar Isi
KATA PENGANTAR..................................................................................................................... 2
BAB I................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN............................................................................................................................ 4
A. LATAR BELAKANG........................................................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................................... 4
C. TUJUAN PEMBAHASAN................................................................................................... 5
BAB II.............................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN............................................................................................................................... 6
1. TEORI IJMA........................................................................................................................ 6
A. PENGERTIAN IJMA’................................................................................................... 6

B. MACAM-MACAM IJMA’............................................................................................ 8

C. DASAR HUKUM IJMA................................................................................................ 9

D. SYARAT DAN RUKUN IJMA’.................................................................................. 10

2. TEORI QIYAS.................................................................................................................... 11
A. PENGERTIAN QIYAS................................................................................................ 11

B. DASAR KEABSAHAN QIYAS SEBAGAI LANDASAN HUKUM.........................12

C. RUKUN DAN SYARAT QIYAS................................................................................. 15

D. MACAM-MACAM QIYAS......................................................................................... 16

BAB III........................................................................................................................................... 18
PENUTUP...................................................................................................................................... 18
A. KESIMPULAN................................................................................................................... 18
B. SARAN................................................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................... 19

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakalanya sudah


ditemukan nashnya yang jelas dalam kitab suci Al-Qur'an atau Sunnah Nabi, tetapi
adakalanya yang ditemukan dalam Al-Qur'an atau Sunnah Nabi itu hanya berupa prinsip-
prinsip umum. Untuk pemecahan permasalahan-permasalahan baru yang belum ada nashnya
secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru
terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad
berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur'an atau Sunnah.
Banyak cara dalam mempelajari hukum Islam. Cara yang dilakukan oleh umat muslim di
Indonesia dengan umat muslim luar negeri terkadang berbeda, akan tetapi ada cara yang
diakui secara universal bagi seluruh umat muslim di dunia. Di Indonesia masih sering
dijumpai adanya perbedaan penafsiran suatu ayat Al-Qur'an atau hadist maupun penafsiran
dalam pemecahan masalah yang tidak ada aturan secara jelas di dalam Al-Qur'an maupun
hadist. Hal ini menjadi sebuah permasalahan yang tidak hanya menyangkut kehidupan di
dunia melainkan juga kehidupan setelah mati. Nasib seseorang atau status amal ibadah
maupun perbuatan di dunia akan dipertanyakan kelak di akhirat, salah satunya adalah
penyelesaian suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Terutama bagi umat
muslim yang seharusnya hidup dalam bingkai syariat yang baik sesuai dengan yang
disampaikan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW.
Dalam proses pencarian, Alqur'an menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi
alternatif kedua, ijma' menjadi yang ketiga dan qiyaspilihan berikutnya. Apabila keempat
dalil belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil
yang diperselisihkan para ulama, seperti istihsan, Mashlahah Mursalah, dan lain-lain.
Dengan demikian, teori istidlal merupakan pencarian dalil-dalil diluar keempat dalil
tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan suatu perumusan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Jelaskan mengenai teori Ijma?
2. Jelaskan mengenai teori Qiyas?

4
C. TUJUAN PEMBAHASAN
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, sekaligus untuk memperjelas saat
mengumpulkan data, dirumuskan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa saja yang terdapat dalam teori Ijma.
2. Untuk mengetahui apa saja yang terdapat dalam teori Qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN

1. TEORI IJMA
A. PENGERTIAN IJMA’
Secara etimologis, ijmak berasal dari akar kata ajma’a, yajmi’u, ijma’an yang wazannya
kata if’alan, yang mengandung dua makna: Pertama, bermakna “ketetapan hati terhadap
sesuatu (al-azam wa at-taṣmim ‘ala al-amr)”.
Pemaknaan ini ditemukan dalam Q.S. Yunus (10): 71:
Artinya: “Maka kepada Allah-lah aku bertawakkal, karena itu bulatkanlah keputusanmu
dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)”.
Dalam pernyataan Rasulullah Saw. ditemukan ungkapan:
Artinya: “Tidak ada puasa bagi orang yang tidak membulatkan niat puasa pada malam
hari sebelum terbit fajar”. 1
Kedua, bermakna “kesepakatan terhadap sesuatu (al-ittifaq ‘ala al-amr)”.
Ijmak dalam pemaknaan ini ditemukan dalam Q.S. Yusuf (12): 15:
Artinya: “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur
(lalu mereka memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan
kepada Yusuf: “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka
ini, sedangkan mereka tidak ingin lagi”.
Dua pemaknaan ijmak tersebut dapat ditegaskan perbedaan stresingnya bahwa,
pemaknaan yang pertama hanyalah terletak pada satu tekad bulat perseorangan dalam
merealisir suatu pekerjaan yang direncanakannya, sedangkan pemaknaan yang kedua
memerlukan konsensus secara bulat dalam merealisir suatu perbuatan yang
diprogramkannya.
Adapun pemaknaan ijmak secara terminologi telah banyak dikemukakan oleh para ahli
uṣul (uṣuliyyin) antara lain: Al-Gazali dan asySyafi’i (w. 505 H) mendefinisikan ijmak
dengan rumusan: “Kesepakatan umat Nabi Muhammad Saw. secara khusus mengenai suatu
permasalahan agama”2. Terminologi ijmak ini menggambarkan bahwa ijmak harus
dilakukan oleh umat Nabi Muhammad Saw. dalam arti oleh seluruh umat Islam, mereka
harus konsensus dalam menyepakati setiap persoalan agama. Tetapi, ia tidak memasukkan
kalimat “setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw (ba’da wafati Muhammadin Saw)”
kelihatannya secara logika, karena ijmak di masa Nabi tidak diperlukan, dan pada masa itu
hak prerogatif dan otoritatif penentu hukum adalah Nabi Muhammad Rasulullah. Al-Amidi
asy-Syafi’i (w. 631
1
Sulaimān ibn al-Asy’as as-Sajastāni al-Azdi Abū Dāwud (selanjutnya ditulis Abū Dāwud), Sunan Abi Dāwud
(Indonesia: Maktabah Dahlān, t.t.), Juz ke 2.
2
Lihat, Ali Jumu’ah, al-Ijmā’ ‘Ind al-Uṣūliyyin (al-Qāhirah: Dār ar-Risālah, 1420 H/2009 M), Cet. ke 2, h. 5
H) mendefinisikan ijmak dengan: “Ungkapan dari kesepakatan sejumlah ahl al-halli wa al -
aqd dari umat Nabi Muhammad pada suatu masa tentang kasus hukum yang terjadi”.
Terminologi ijmak yang dirumuskan oleh al-Amidi ini dapat ditegaskan bahwa yang
dimaksudkannya dengan al-ittifaq, yaitu mereka (ahl alhalli wa al - aqd) sepakat secara
umum baik berupa ungkapan perkataan (alaqwal), perbuatan (al-af’al), bersikap pasif (as-
sukut), dan penetapan (at-taqrir). Dimaksudkan dengan jumlah ahl al-halli wa al - aqd, yaitu
kesepakatan mereka (mujtahidin fi al-ahkam asy-syar’iyyah) secara umum, atau sebagian
mereka. Dimaksudkan dengan min ummati Muhammad, yaitu umat Islam yang ahli dalam
berbagai persoalan keagamaan. Dimaksudkan dengan fi ‘aṣr min al-a’ṣar, yaitu kesepakatan
ahl al-halli wa al - aqd pada semua masa hingga datang kiamat. Sedangkan dimaksudkan
dengan ‘ala hukmin waqi’atin, yaitu peristiwa hukum dari berbagai persoalan secara umum,
baik berupa penetapan, peniadaan, dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’
(asy- syar’iyyat), hukum-hukum logika (al - aqliyyat), dan makna ijmak dalam arti
tradisional (al- ‘urfiyyat).
Imam Syafi’i (150-204 H) dalam karyanya ar-Risalah dalam bab al-Ijma’, ia tidak
memberikan terminologi ijma’ yang jelas dan tegas. Akan tetapi secara implisit dapat
ditemukan dari pernyataan asy-Syafi’i bahwa, “barang siapa berkata pada apa yang
diucapkan (disepakati) jama’ah al-muslimin, maka wajib mereka mengikuti kesepakatan
mereka”.3 Jika pernyataan ini dipandang sebagai rumusan ijma’, maka berarti inilah yang
dimaksudkan gambaran ijmak menurut asy-Syafi’i. Namun demikian, mayoritas ahli uṣul al-
fiqh tidak ada yang mengatakan pernyataan asy-Syafi’i itu sebagai rumusan ijmak.
Terminologi ijmak justru ditemukan dalam karya-karya para pengikutnya, seperti di
antaranya az-Zarkasyi (745-794 H) mengkonstruksi rumusan ijmak dengan “Kesepakatan
para imam mujtahid umat Nabi Muhammad Saw. setelah wafatnya tentang suatu persoalan
peristiwa hukum yang terjadi pada suatu masa”. Terminologi ini menggambarkan bahwa
ijmak dalam pemikiran asy-Syafi’i adalah kesepakatan para imam mujtahid secara totalitas,
tidak termasuk kesepakatan orang awam dan sebagian para imam mujtahid dari umat Nabi
Muhammad yang terjadi setelah beliau wafat, terjadi kesepakatan itu baik dalam persoalan-
persoalan hukum syara’ (asy- syar’iyyat), hukumhukum rasional (al-‘aqliyyat), analisis
kebahasaan (al-lugawiyyat), dan termasuk tradisi yang berkembang di masyarakat
(al-‘urfiyyat), serta tidak saja terjadi pada masa tertentu tetapi terjadi sepanjang masa hingga
hari kiamat.
Dari berbagai terminologi ijmak yang dikonstruksi oleh para ahli uṣul alfiqh tersebut di
atas dapat diringkaskan secara substansial bahwa ijmak akan terjadi bila memenuhi unsur-
3
Al-Imām Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Idris asy-Syāfi’i (selanjutnya ditulis asySyāfi’i), ar-Risālah, pen-tahqiq
Ahmad Muhammad Syākir (Mesir: Dār al-Fikr, t.t.), h. 475.
unsur: (1) Terdapat kesepakatan seluruh mujtahid dari umat Islam (jama’ah al-muslimin).
Dari ungkapan ini, apabila terdapat seorang ulama mujtahid, atau sebagian mereka yang
menolak kesepakatan maka tidak terjadi ijmak, dan hal ini tidak dibatasi oleh wilayah,
daerah, dan bahkan negara, tetapi mujtahid seluruh dunia tanpa kecuali mereka harus
sepakat dalam setiap persoalan agama yang dibahasnya; (2) Kesepakatan yang dilakukan
harus dinyatakan oleh para mujtahid dengan jelas (ṣarih), tidak boleh kesepakatan dengan
cara diam-diam (ijma’ sukuti). Hal ini konsekuensinya tidak akan terjadi ijmak; (3) Mereka
yang melakukan kesepakatan adalah para imam mujtahid, bukan orang awam dan para
mujtahid yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad; (4) Ijmak dilakukan setelah Nabi
Muhammad Saw. Wafat, sebab di masa Nabi hidup tidak pernah terjadi ada ijma’
dikarenakan berbagai persoalan keagamaan kata kunci pemutusnya adalah Rasulullah Saw.
sendiri, dan (5) Sasaran kesepakatan yang dilakukan adalah peristiwa hukum tertentu yang
terjadi.
Salah satu sumber penetapan dalam hukum islam setelah Al-Qur’an dan As Sunnah adalah
ijma, yang memiliki tingkat argumentatif dan menempati tempat ketiga dalam sumber
hukum islam. Kata ijma itu sendiri secara sistematis baru pada masa-masa mazhab awal.
Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama sunni, bahwa ijma adalah kesepakatan para
mujtahidin umat islam di suatu masa sesudah masa Nabi saw terhadap suatu urusan.
Menurut Al Amidi ijma seperti yang dikutip oleh Amir Syarifuddin:
‘’Kesepakatan sejumlah ahlul halil wal aqdi (para ahli yang berkompeten mengurusih
umat) dari masa umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus’’.
Sedangkan menurut jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti abu Zahra dan wahab
khallaf merumuskan ijma dengan kesepakatan atau consensus para mujtahid dari umat
Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya rasulullah saw terhadap suatu hukum
syara’mengenai suatu kasus atau peristiwa. Di rumusan tersebut jelaslah bahwa ijma adalah
kesepakatan dan yang sepakat adalah semua mujtahid musli yang berlaku dalam suatu masa
tertentu sesudah wafanya nabi. 4

B. MACAM-MACAM IJMA’
Menurut Abdul Wahab Khallaf, ijma’ bila dilihat dari cara mendapatkan hukum melalui
ijma’, maka ijma’ itu ada dua macam: yaitu Ijma’ Sharih (The real ijma’) dan Ijma’ Sukuti
(The silent ijma).
 Ijma sharih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat maupun
perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sharih ini juga sangat langka terjadi,

8
4
Hasbi Ash Shiddieqy, pokok-pokok pengangan Imam Mazhab, Edisi II (Cet.ke -1 Semarang: Pustaka Firdaus, 1997),
h.161

8
bahkan jangankan yang di lakukan dalam suatu majelis pertemuan tidak dalam forum pun
sulit dilakukan.
 Bentuk ijma yang kedua adalah ijma sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui cara seorang
mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya tentang hukum satu masalah dalam
masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar luas serta di ketahui orang banyak dan tidak
ada seorangpun di antara mujtahid lain yang menggungkapkan perbedaan pendapat atau
menyanggah pendapat itu setelah meneliti pendapat tersebut. Ijma sukuti ini pengaruhnya
tehadap hukyuum yang bersifat zhanni (tidak qat’i).
Dalil yang menjadi dasar ijma adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist nabi antara lain: Q.s
An- Nisa 115.
Tentang ijma’ sukuti ada tiga pendapat:
Pertama; Menurut ulama jumhur berpendapat ijma’ sukuti tidak dapat dipakai sebagai
hujjah atau dalil, karena menganggap tidak hanya sebagai pendapat ulama mujtahid saja.
Kedua; menurut ulama Hanafiyah Ijma’ Sukuti dapat dijadikan sebagai hujjah ketika
telah ada ketetapan, bahwa seorang mujtahid yang diam ketika dihadapkan kepadanya
suatu kejadian, dan diutarakan pendapatnya mengenai peristiwa tersebut, posisi diamnya
seorang mujthid bearti dia sedang memberi fatwa.
Ketiga menurut Abu Ali al-Jubba’i (tokoh Muktazilah w.303 H) bahwa ijma’ sukuti
dapat dikatakan ijma’, apabila generasi mujtahid yang menyepakati hukum tersebut sudah
habis. Karena sikap diam mujtahid lain bersikap diam saja terhadap hukum yang
disepakati sebagian mujtahid itu sampai mereka wafat, maka kemungkinan adanya
mujtahid yang membantah hukum tersebut tidak ada lagi.

C. DASAR HUKUM IJMA


Ulama ushul Fiqh sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum, hal
ini didasarkan pada surat an-Nisa’ ayat 115: Dan barang siapa yang menentang Rasulullah
SAW. sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
yang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan
kami masukan ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali. Ayat tersebut memberikan peringatan atau ancaman terhadap golong yang
menentang Rasullullah SAW. dan mengikuti jalan bukan orang mukmin. Menurut
Muhammad Abu Zahrah, menjelaskan wajib hukumnya mengikuti jalan orang mukmin dan
termasuk hasil kesepakatan (ijma’) mereka.
Di dalam surat an-Nisa’ ayat 59: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kamu.

9
Didalam Hadits-hadits Rasulullah, banyak sekali yang menjelaskan kedudukan ijma’ ,
diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Abu Daud danTarmizi:“Laatajtami’u ummati ‘ala
al khatha’ ” ( tidak mugkin umatku akan bersepakat dalam kesesatan), dan dalam hadits lain
yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tabrani: “sa altu ‘azaa wajalla an laa tajtami’u
ummati ‘alaa dholaalah fa a’thaa nihaa”, (aku memohon kepada Allah agar umatku tidak
bersepakat terhadap sesuatu yang sesat, lalu Allah mengabulkannya).

D. SYARAT DAN RUKUN IJMA’


Syarat dan Rukun Ijma’ Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah (1) yang
melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad, (2)
kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap
agamanya), (3) Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari
ucapan atau dari perbuatan bid’ah. Keiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama.
Menurut ulama ushul fiqh rukun ijma’ itu ada lima: (a). Yang terlibat dalam pembahasan
hukum syara’ melalui ijma’ adalah seluruh mujtahid, (b) mujtahid yang terlibat dalam
pembahasan hukum adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai
belahan dunia Islam, (c) kesepakatan itu diawali dari masing-masing mujtahid setelah
mereka mengemukan pandangannya, (d), hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’
yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya dalam al-Qur’an ataupun dalam hadits
Rasulullah SAW.

10
2. TEORI QIYAS
A. PENGERTIAN QIYAS
Secara etimologi, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, yang artinya
ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Amir Syarifudin menjelaskan bahwa qiyas berarti
qadara yang artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sebagai
contoh, "Fulan Meng-qiyas-kan baju dengan lengan tangannya", artinya membandingkan
antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti
"menyamakan", dikatakan "Fulan meng-qiyas-kan extasi dengan minuman keras", artinya
menyamakan antara extasi dengan minuman keras.5
Dalam perkembanganya, kata qiyas banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya
penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti
pengqiyasan dua buah buku. Atau pengqiyasan secara maknawiyah, misalnya “Fulan tidak
bisa diqiyaskan dengan si Fulan”, artinya tidak terdapat kesamaan dalam bentuk ukuran.
Adapun arti qiyas secara terminologi menjadi perdebatan ulama, antara yang mengartikan
qiyas sebagai metode penggalian hukum yang harus tunduk pada nash dan yang mengartikan
qiyas sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri di luar nash. Menurut ulama ushul fiqh,
Pengertian qiyas secara terminologi sebagaimana yang dipaparkan Amir Syarifuddin
terdapat beberapa definisi, diantaranya:
1.Al-Ghazali dalam al-Mustasfa mendefinisikan qiyas:
Artinya: “Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam
hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya
disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan
hukum.”
2.Ibnu Subki dalam bukunya Jam’u al-Jawmi memberikan definisi qiyas:
Artinya: “Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena
kesamaannya dalam ’’Illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (Mujtahid).”
3.Imam Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi'iyyah mendefinisikan qiyas:
Artinya: "Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui
dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi
keduanya, baik hukum maupun sifat."
4.Qiyas menurut Abu Zahrah adalah:
Artinya: “Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya
kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘‘Illat
hukum.”
5.DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas:

11
5
Amir Syarifuddin., Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hal. 144

12
Artinya; “Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan
sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘‘Illat antara
keduanya”.
6.Menurut ulama ushul fiqh, qiyas ialah menetapkan hukum dari suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu
kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash
karena ada persamaan ‘‘Illat antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut.

Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para
ulama ushul fiqih diatas, tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum
melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal melainkan hanya
menyingkapkan dan menjelaskan hukum pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.
Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti
terhadap ‘illa dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila ‘‘Illat -nya sama dengan ‘‘Illat
hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah
hukum yang telah ditentukan oleh nash. 6
Jadi qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benarbenar tidak ada
satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Karena itu tugas
pertama yang harus dilakukan oleh seseorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari
apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau
kejadian. Jika telah diyakini benar-benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan
qiyas. Menurut Imam Syafi’i, tidak boleh melakukan qiyas kecuali orang yang telah berhasil
memiliki alat- alat qiyas, yaitu; mengetahui hukum-hukum al-Qur’an yakni fardu
(kewajiban), adab (kesusasteraan), nasikh mansukh (yang menghapus dan yang dihapus),
‘amm-khas (umum- khusus), irsyad (petunjuk) dan nadb-nya (anjurannya).

B. DASAR KEABSAHAN QIYAS SEBAGAI LANDASAN HUKUM


Keabsahan qiyas sebagai landasan hukum, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
ushul fiqh. Jumhur ulama ushul fiqh sepakat, bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai dasar
dalam menetapkan hukum Islam dan sekaligus sebagai dalil hukum Islam yang bersifat
praktis. Sedangkan menurut mazhab Nidzamiyah, Zahiriyah, dan sebagian Syi’ah
berpendapat sebaliknya, yakni qiyas tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.
Adapun argumentasi dari kelompok jumhur di atas adalah sebagai berikut:
1.Surat an-Nisa’ (4): 59

6
Satria Effendi, M. Zein. . Ushul Fiqh , Cet. I; Jakarta: Kencana, 2005, hal. 130

12
‘‘Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.’
Ayat ini menujukkan, bahwa jika ada perselisihan pendapat di antara ulama tentang
hukum suatu masalah, maka solusinya adalah dengan mengembalikannya kepada al-Quran
dan Sunnah Rasulullah saw. Cara mengembalikannya antara lain dengan qiyas.

2. Hadis yang berisi dialog antara Rasulullah saw., dengan sahabat Muadz bin Jabal ketika
Muadz itu dikirim menjadi hakim di Yaman. Dalam dialog itu, Muadz ditanya oleh
Rasulullah saw, bahwa dengan apa engkau akan memutuskan perkara yang dihadapkan
kepadamu? Kemudian Muadz menjawabanya dengan mengatakan bahwa ia akan
memutuskan hukum dengan berdasarkan kitab Allah (al-Quran) dan jika tidak didapatkan
dalam kitab Allah, ia putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah saw. Dan seterusnyadengan
hasil ijtihadnya sendiri jika hukum suatu masalah tidak ditemukan dalam dua sumber hokum
tersebut. Mendengar jawaban itu, Rasulullah saw., mengatakan: Segala pujian bagi Allah
yang telah memberikan taufiq atas diri utusan Rasulullah. (HR. Tirmidzi).
Hadis di atas menurut mayoritas ulama ushul fiqh mengandung pengakuan Rasulullah
terhadap qiyas, karena praktik qiyas adalah satu macam dari ijtihad yang mendapatkan
pengakuan dari Rasulullah saw dalam dialog tersebut.

3. Alasan lain yang dikemukakan oleh jumhur adalah ijma’para sahabat. Dalam praktiknya,
para sahabat menggunakan qiyas, seperti apa yang dilakukan sahabat Abu Bakar terkait
dengan persoalan kalalah yang menurutnya, adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan
anak laki-laki. Pendapat ini dikemukakan Abu bakar berdasarkan pendapat akalnya, dan
qiyas termasuk kedalam pendapat akal. Bahkan dalam kisah yang amat popular juga adalah
bahwa Umar bin al-Khattab menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, ketika ia ditunjuk
sebagai menjadi hakim di Bashrah, Irak. Dalam suratanya yang panjang itu, Umar
menekankan agar dalam menghadapi berbagai persoalan yang tidak ditemukan hukumya
dalam nash, agar Abu Musa menggunakan qiyas. Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, baik
terhadap pendapat Abu Bakar maupun terhadap sikap Umar ibn al-Khattab di atas, tidak satu
orang sahabat pun yang membantahnya.

4. Secara Logika, menurut jumhur Ulama ushul fiqh, bahwa hukum Allah mengandung
kemaslahatan untuk umat manusia dan untuk itulah maka hukum disyariatkan. Apabila

13
seorang mujtahid menjumpai kemaslahatan yang menjadi ‘Illat dalam suatu hukum yang
ditentukan oleh nash dan terdapat juga dalam kasus yang sedang ia carikan hukumnya, maka
ia menyamakan hukum kasus yang ia hadapi dengan hukum yang ada pada nash tersebut.
Dasarnya adalah kesamaan ‘Illat antara keduanya.

Sedangkan argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok penolak qiyas 18 adalah sebagai
berikut:
1. Firman Allah SWT.dalam surat al-Hujurat (49): 1:
‘‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui’’
Ayat ini, menurut mereka, melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak
ada dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Sehingga menurut mereka,
mempedomani qiyas, merupakan sikap beramal dengan sesuatu yang di luar al-Quran dan
Sunnah Rasulullah, dan karenanya dilarang.

2. Sedangkan dasar dari Hadis yang digunakan menurut mereka adalah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Daraquthni yang artinya: ‘Sesungguhnya Allah SWT menentukan
berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan; menentukan beberapa batasan, jangan
kamu langgar; Dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu melanggar larangan itu. Dia juga
mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka
janganlah kamu bahas hal itu.’ (H.R. al-Daraquthni).
Hadis ini menurut mereka, menunjukkan bahwa sesuatu itu adakalanya wajib,
adakalanya haram, dan adakalanya didiamkan saja, yang hukumnya berkisar antara
dimaafkan dan mubah (boleh). Apabila diqiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’kepada
wajib, misalnya, maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang
dimaafkan dan dibolehkan.

3. Mereka juga beralasan dengan sikap sebagian sahabat yang mencela qiyas, meskipun
sebagian sahabat lainnya bersikap diam atas celaan sahabat tersebut. Hal ini, menurut
mereka, menunjukan bahwa para sahabat secara diam-diam sepakat (ijama’ sukuti) untuk
mencela qiyas. Umar ibn alKhattab sendiri pernah berkata: Hindarilah orang-orang yang
mengemukakan pendapatnya tanpa alasan, Karena mereka itu termasuk musuh Sunnah
dan hindarilah orang-orang yang menggunakan qiyas. Kisah ini diriwayatkan oleh Qasim
ibn Muhammad, yang menurut para ahli hadis, periwayatannya munqathi’ (terputus para
penuturnya).

14
C. RUKUN DAN SYARAT QIYAS
Para ahli Ushul yang mempergunakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan ketika qiyas itu
telah memenuhi rukunnya. Rukun qiyas ada empat:
a. Ashlun, yaitu merupakan hukum pokok yang diambil persamaan atau sesuatu yang ada
nash hukumnya. Syarat-syarat ashl:
1. Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok. Kalau sudah
tidak ada misalnya, sudah dihapuskan (mansukh) maka tidak mungkin terdapat
perpindahan hukum.
2. Hukum yang ada dalam pokok harus hukum Syara’ bukan hukum akal atau hukum
bahasa.
b. Far’un, yaitu merupakan hukum cabang yang dipersamakan atau sesuatu yang tidak ada
nash hukumnya. Syarat-syarat:
1. Hukum cabang tidak lebih dulu adanya daripada hukum pokok.
2. Cabang tidak mempunyai kekuatan sendiri.
3. ‘‘Illat yang terdapat pada hukum cabang harus sama dengan ‘Illat yang terdapat pada
pokok.
4. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
c. ‘‘Illat, yaitu sifat yang menjadi dasar persamaan antara hukum cabang dengan hukum
pokok. Syarat-syaratnya:
1. ‘Illat harus berupa sesuatu yang terang dan tertentu.
2. ‘Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan maka nash yang didahulukan.
d. Hukum, yaitu merupakan hasil dari qiyas tersebut.
Lebih jelasnya biasa dicontohkan bahwa Allah telah mengharamkan arak, karena
merusak akal, membinasakan badan, menghabiskan harta. Maka segala minuman yang
memabukkan dihukumi haram. Dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Segala minuman yang memabukkan adalah far’un atau cabang artinya yang diqiyaskan.
2. Arak, adalah yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan atau mengqiyaskan
hukum, artinya ashal atau pokok.
3. Mabuk merusak akal, adalah ‘Illat penghubung atau sebab.
4. Hukum, segala yang memabukkan hukumnya haram.

Bahwasanya Allah SWT tidaklah mensyariatkan suatu hukum melainkan untuk suatu
kemaslahatan dan bahwasanya kemaslahatan hamba merupakan sasaran yang dimaksudkan
dari pembentukan hukum. Maka apabila suatu kejadian yang tidak ada nashnya menyamai

15
suatu kejadian yang ada nashnya dari segi ‘Illat hukum yang menjadi mazhinnah al-
maslahah, maka hikmah dan keadilan menuntut untuk dipersamakannya dalam segi hukum,
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan yang menjadi tujuan Syari’ (pembuat hukum) dari
pembentukan hukumnya. Keadilan dan kebijaksanaan Allah tidak akan sesuai jika Dia
mengharamkan minuman khamr karena ia memabukkan dengan maksud untuk memelihara
akal hamba-Nya dan minuman keras lainnya yang didalamnya mengandung ciri-ciri khas
khamr, yaitu memabukkan. Karena acuan larangan ini adalah memelihara akal dari sesuatu
yang memabukkan, sedangkan meninggalkan pengharaman minuman keras lainnya
merupakan suatu penawaran untuk menghilangkan akal dengan sesuatu yang memabukkan
lainnya.
Bahwasanya qiyas merupakan dalil yang dikuatkan oleh fitrah yang sehat dan logika
yang benar, sesungguhnya orang yang dilarang meminum minuman karena minuman itu
beracun. Maka ia akan mengqiyaskan segala minuman yang beracun dengan minuman
tersebut. Maka qiyas merupakan sumber pembentukan hukum yang sejalan dengan kejadian
yang terus menerus datang dan menyingkap hukum Syari’at terhadap berbagai peristiwa
baru yang terjadi dan menyelaraskan antara pembentukan hukum dan kemaslahatan. 7

D. MACAM-MACAM QIYAS
Ulama ushul diantaranya al-Amidi dan asy-Syaukani, mengemukakan bahwa qiyas terbagi
kepada beberapa segi, antara lain :
a. Dilihat dari segi kekuatan `illat yang terdapat pada furu`:
1. Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang `illat-nya mewajibkan adanya hukum dan hukum yang
disamakan (cabang) mempunyai kekuatan hukum yang lebih utama dari tempat
menyamakannya (ashal). Misalnya, berkata kepada kedua orang tua dengan
mengatakan “uh”, “eh”, “buset”, atau kata -kata lain yang menyakitkan maka
hukumnya haram. Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Isra ayat 23 berikut:
Artinya maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah”.. (QS. Al – Isra :23)
Maka mengqiyaskan berkata “uh”, “buset”, dan sebagainya bahkan dengan
memukul itu hukumnya lebih utama. Dengan demikian, berkata “uh” saja tidak boleh
apalagi memukulnya, karena memukul tentu lebih menyakitkan.
2. Qiyas musawi, yaitu qiyas yang `illat-nya mewajibkan adanya hukum yang sama
antara hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada furu` (cabang).
Contohnya

16
7
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu…, hlm. 78.

17
keharaman memakan harta anak yatim sesuai dengan firman Allah dalam QS. An –
Nisa ayat 10 berikut:
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya,
maka sesungguhnya mereka itu menelan api neraka ke dalam perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api neraka yang menyala-nyala. (QS. An – Nisa : 10)
3. Qiyas adna, yaitu `illat yang ada pada far`u (cabang) lebih rendah bobotnya
dibandingkan dengan `illat yang ada pada ashal. Misalnya sifat memabukkan yang
terdapat dalam minuman keras seperti bir itu lebih rendah dari sifat memabukkan yang
terdapat pada minuman keras khamr yang diharamkan dalam al-Qur`an.

b.Dilihat dari segi kejelasan `illat hukum.


1. Qiyas jaly, yaitu qiyas yang `illat nya ditegaskan oleh nash bersamaan dengan
penetapan hukum ashal, atau `illat-nya itu tidak ditegaskan oleh nash, tetapi dapat
dipastikan bahwa tidak ada pengaruh dari perbedaan antara ashal dan furu`.
Contohnya, dalam kasus dibolehkannya bagi musafir laki-laki dan perempuan untuk
mengqashar shalat ketika perjalanan, sekalipun diantara keduanya terdapat perbedaan
(kelamin). Tetapi perbedaan ini tidak mempengaruhi terhadap kebolehan wanita
mengqashar shalat. `illat- nya adalah sama-sama dalam perjalanan. Dan mengqiyaskan
memukul orang tua kepada larangan berkata “ah” seperti pada contoh qiyas aulawi
sebelumnya.
2. Qiyas khafy, yaitu qiyas yang `illat-nya tidak disebutkan dalam nash. Contohnya
mengqiyaskan pembunuhan dengan menggunakan benda berat kepada pembunuhan
dengan menggunakan benda tajam dalam pemberlakuan hukum qiyas, karena `illat-
nya sama-sama yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja.

18
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa Ijma berarti kesepakatan atau
konsensus. Ijma terbagi menjadi dua bentuk yaitu Ijma sharih dan Ijma sukuti. Ijma sharih
adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan
terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid tentang
hukum masalah dan tersebar luas, sementara sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja
setelah meneliti pendapat mujtahid yang lainnya, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.
Sedangkan Qiyas adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau
menyamakan sesuatu dengan yang lain. Qiyas memiliki empat rukun yaitu Ashl (wadah
hukum yang diterapkan melalui nash atau ijma'), faru (kasus yang akan ditentukan
hukumnya), illat (motivasi hukum yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid ashl), dan hukm
al-asl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma).

B. SARAN
Setelah membaca makalah ini kita semua diharapkan Bagi umat muslim dalam
pemecahan masalah baik berhubungan dengan hukum maupun tidak hendaknya lebih teliti
dalam melakukan penafsiran solusi. Serta metode istidlal dipergunakan dengan sangat
berhati-hati demi mencegah kesalahan atau kekeliruan terhadap suatu hukum.

19
DAFTAR PUSTAKA

1) https://www.kompasiana.com/febrian00753/5dcee286d541df2ba8785e92/teori-istidlal-
dalam-islam

2) https://media.neliti.com/media/publications/240344-pandangan-imam-syafii-tentang-
ijma-sebag-eccd78f2.pdf

3) https://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/AIJKIS/article/download/110/66

20

Anda mungkin juga menyukai