Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH KELOMPOK 10

HUKUM ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL


Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Logika dan Penalaran Hukum

Dosen Pengampu : Prof. Drs. Dr. JM. Muslimin, M.A, Ph. D

Disusun Oleh :

Lulu Kamalia (11220440000001)


Fitriah Putri Ahmad Dalili (11220440000020)
M. Assiraj A.K Kunggua (11220440000037)
Muhammad Raihan Rafsanjani (11220440000042)

1
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023

2
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat
serta salam tidak lupa kami ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang telah
membimbing kita dari masa kegelapan hingga masa yang terang-benderang ini. Tak
lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Logika dan
Penalaran Hukum, teman-teman mahasiswa yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini.

Makalah ini di peruntukan untuk tugas kelompok mata kuliah Logika dan
Penalaran Hukum yang berjudul “Hukun Islam dan Perubahan Sosial” dalam
pembuatan makalah ini kami banyak mengalami kesulitan. Namun berkat seizin
Allah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Kami selalu mengingat bahwa tiada gading yang tidak retak, oleh karena itu
kami senantiasa menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan
makalah ini di masa yang akan mendatang, demikian semoga bermanfaat dan terima
kasih.

Ciputat, 22 juni 2023

3
Kelompok 10

4
DAFTAR ISI
COVER...........................................................................................................................................1

KATA PENGANTAR....................................................................................................................2

DAFTAR ISI...................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................4

A. LATAR BELAKANG..........................................................................................................4

B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................................4

C. TUJUAN PENELITIAN.......................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................6

A. HUKUM ISLAM..................................................................................................................6
B. PERUBAHAN SOSIAL........................................................................................................8
BAB III PENUTUP......................................................................................................................25

A. KESIMPULAN...................................................................................................................25
A. SARAN...............................................................................................................................25
DAFTAR PUSAKA.....................................................................................................................26

5
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Telah menjadi sebuah keniscayaan bahwa suatu masyarakat selalu mengalami


perubahan (soekanto, 1984:11-21) yang sering kali diikuti oleh perubahan dalam pola
piker dan tata nilai. Perubahan sosial cepat atau lambat selalu menghendaki perubahan
dan pembaruan dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya hukum dan perundang-
undangan yang merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia (Amin, 1975: 2).
Hukum Islam dikenal sebagai hukum transedental yang memiliki validitas tersendiri dan
sama sekali berbeda dengan hukum buatan manusia. la adalah hukum Allah yang secara
tegas dan jelas didasarkan atas wahyu yang oleh karena itu secara teoritik ia tidak
mungkin untuk diubah (Anderson, 1975: 38). Hukum Islam adalah totalitas religious
yang mengatur perilaku kehidupan kaum muslimin. Jika hal itu dipahami sebagai produk
pemikiran muslim jurist (fuqaha), maka lazimnya disebut fiqih. Namun bila dipahami
sebagai aturan hukum yang diwahyukan Allah, maka disebut syari’ah. Karenanya, apa
yang secara sederhana dinyatakan dengan istilah hukum Islam sebenarnya merupakan
keseluruhan tata kehidupan dalam Islam. Sebagaimana dikemukakan oleh MacDonald
bahwa hukum Islam adalah the science of all things human and divine (pengetahuan
mengenai semua hal yang berkaitan dengan manusia dan tuhan) (MacDonald, 1903: 66).
Begitu pentingnya hukum islam dalam perkembangan agama Islam, membuat Joseph
Schacht sampai kepada suatu kesimpulan bahwa tidak mungkin memhami islam tanpa
memahami hukum Islam.

6
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Hukum Islam?
2. Bagaimana Perubahan Hukum Islam?
3. Apa Pengertian Perubahan Sosial?
4. Mengapa Manusia Mengalami Perubahan Sosial?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui Pengertian Hukum Islam
2. Mengetahui Sejarah Perubahan Hukum Islam
3. Mengetahui Pengertian Perubahan sosial
4. Mengetahui Bentuk Perubahan Sosial yang terjadi

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Islam
Hukum Islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-
Islamy atau dalam konteks tertentu dari as-syariah al-Islamy. Istilah ini menurut ahli
hukum barat disebut Islamic Law. Dalam Al-Qur’an dan Sunah, istilah al-hukm al-Islam
tidak ditemukan. Namun, yang digunakan dengan kata syariat Islam atau yang biasa
dikenal dengan istilah fiqh.1
Sejak periode awal sejarah perkembangan Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin
dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh hukum Islam.2 Aturan-aturan itu, pada
esensinya adalah religius dan terjalin inherent secara religius pula. Karena itu, dalam
pembinaan dan pengembangan hukum Islam selalu diupayakan berdasarkan Alquran
sebagai wahyu ilahi yang terakhir diturunkan kepada manusia, yang aplikasi dan
operasionalnya sebagian besar telah diterangkan oleh sunnah Muhammad, sebagai penjelas
dan penafsir Alquran. Pada mulanya Alquran diwahyukan sebagai respon terhadap situasi
masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang lebih luas lagi. Seiring dengan
berkembangnya Islam ke berbagai penjuru dunia, maka muncul pula persoalan-persoalan
baru yang berbeda dengan persoalan yang dihadapi kaum muslimin di masa Muhammad.
Sedangkan Alquran hanya memuat sebagian kecil hukum-hukum rinci, sementara sunnah
terbatas pada kasus-kasus yang terjadi pada masa Muhammad, maka untuk memecahkan
persoalan-persoalan baru diperlukan adanya ijtihad3,sehingga hukum Islam mampu
menghadapi perkembangan sosial yang terus berubah dan tantangan zaman yang dihadapi.
Produk hukum yang sudah disusun oleh para ulama terdahulu dalam kitab-kitab klasik
tidak dapat dijadikan sebagai acuan utama dalam menetapkan hukum yang muncul pada
1
Zainuddin ali,Hukum Islam: Pengantar ilmu Hukum Islam Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 1
2
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: University Press, 2016), 1; MacDonald,
Development of Muslim Theology Jurisprudence and Constitutional Theory (New York: Charles Scribner’s Sons,
1993), 66
3
2 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic…, 70-71. Bandingkan dengan NJ. Coulson, A History of
Islamic Law (Edinburgh: University Press, 1964), 81.
8
masa modern ini, karena adanya perubahan waktu, sosial politik, tempat dan lingkungan
yang mengitari para penulis hukum tersebut yang sudah terpolarisasi dalam ikatan mazhab-
mazhab tertentu. Semangat ijtihad senantiasa dihidupkan oleh para yuris Islam (fuqâhâ),
meskipun ada di antara mereka yang ingin status quo. Jalâl al-Dîn al-Suyûthi (w. 911
H/1505 M), memberikan kritikan tajam kepada mereka yang mengabadikan taqlîd.4
Sementara Ibnu Taymiyyah (w. 728 H/1328 M), bahkan tidak membenarkan adanya
pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup.5 Sedangkan Iqbal menyatakan bahwa ijtihad dapat
juga dilakukan oleh badan legislatif (parlemen), sebagai institusi yang mengeluarkan
perundang-undangan6.
Pengaturan hukum yang bertalian dengan ibadah bersifat rinci, sedangkan pengaturan
mengenai mu’âmalah, atau mengenai segala aspek kehidupan masyarakat bersifat global,
dan hanya prinsip-prinsip pokok saja yang ditetapkan. Pengembangan dan aplikasi prinsip-
prinsip tersebut diserahkan kepada para ulama dan pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan untuk mengimplementasikan peraturan yang sudah dirumuskan tersebut. Oleh
karena hukum Islam memiliki peranan penting dalam membentuk, membina ketertiban
sosial umat Islam, dan dapat mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka jalan terbaik
yang dapat ditempuh adalah mengusahakan secara ilmiah adanya transformasi asas-asas
dan norma-norma hukum Islam ke dalam hukum nasional sepanjang sesuai dengan
peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia, serta relevan dengan kebutuhan
hidup umat Islam. Sebagaimana kedudukannya sebagai salah satu sumber bahan baku
dalam pembentukan hukum nasional, maka hukum Islam dapat berperan aktif dalam proses
dalam pembangunan hukum nasional.7
Hukum berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan kebiasaan agak sulit
dipahami secara lebih detail, karena dimensi waktu, tempat dan keadaan merupakan dimensi

4
Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, al-Raddu ‘Alâ Man Akhlada Ilâ al-Ardhi Wa Jahila Anna al-Ijtihâda fî Kulli ‘Ashrin
Fardhun (Beirut: Dâr al-Fikr, 2009), 117-119. Dalam karyanya yang lain, al-Suyûyhi mengatakan, ‘nash itu telah
berakhir, dan persoalan-persoalan baru senantiasa muncul berkesinambungan, maka untuk memecahkannya wajib
ijtihad. Lihat lebih lanjut, Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, Taysîr al-Ijtîhad (Makkah: Dâr al-Fikr, t.t.), 22
5
Ibn Taymiyyah mengemukakan pendapatnya itu dengan diperkuat pernyataan Imam Mazhab, yaitu:
Imam Abû Hanifah, Imam Mâlik, Imam al-Syâfi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal yang berisi: (i) mereka tidak
mengklaim bahwa ijtihad mereka itu yang paling benar; (ii) memberikan toleransi besar terhadap terhadap
pemikiran hukum pihak lain; (iii) melarang taqlîd; dan (iv) mengakui keterbatasan masing-masing sebagai manusia
biasa. Lihat, Al-Asimi ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn Qâsim, Majmû’ al-Fatâwâ Syeikh al-Islâm ibn Taymiyyah,
Juz XX (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 221
6
Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (New Delhi: Lahoti Fine Art Press,
2016), 174. Pandangan Iqbal ini dapat juga disebut dengan ‘ijtihad jamâ’i, yaitu pelaksanaan ijtihad yang dilakukan
oleh sekelompok ahli dalam memecahkan suatu persoalan.
7
A. Qodri Azizy, Hukum Nasional: Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum (Jakarta: Teraju, 2004),
139-164. Lihat juga, Ahmar Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 24-35
9
kosong yang rumit untuk dijadikan alasan perubahan hukum, akan tetapi, kaidah tersebut akan
mudah dipahami, apabila dihubungkan dengan faktor-faktor yang merupakan bagian dari proses
ijtihad dan secara signifikan berpengaruh terhadap produk ijtihad. Dan dengan kemungkinan
perubahan hukum Islam, maka sangat mungkin untuk terjadinya eklektisisme dengan sistem
yang lain
M. Thahir Azhary (Azhary, 1987: 48- 52) berpandangan bahwa hukum Islam memiliki
lima sifat dasar yaitu; pertama, berdimensional. Kedua, adil. Ketiga, individualistis dan
kemasyarakatan. Keempat, komprehensif. Kelima, dinamis. Kelima sifat dasar tersebut
memperlihatkan betapa sesungguhnya hakikat hukum Islam. Berdimensi menyeluruh
mencakup seluruh aspek kehidupan. Hukum Islam juga bersifat adil yang berkaitan dengan
sifat menyeluruh tersebut. Individualistik dan kemasyarakatan berarti hukum itu
mempunyai validitas baik bagi perorangan maupun masyarakat8
Dalam proses perubahan dan pembaruan hukum Islam, perlu diperhatikan pernyataan
‘Abd al-Wahhâb Khallâf dan Muhammad ‘Alî al-Sâyis, bahwa hukum Islam dilihat dari
dalil yang menunjukkannya dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian: Pertama, hukum
tentang sesuatu yang bersumber dari nash yang sharîh dan qath’i, terhadap objeknya (unsur
materil) yang tidak tidak memberi peluang kepada akal untuk menemukan hukumnya.
Kedua, hukum Islam tentang sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil zhanni al-dalâlah,
terhadap obyek hukum dan terdapat peluang bagi akal untuk berijtihad (mencari objek lain
yang ditunjuki oleh nash itu), maka dibolehkan ijtihad untuk mencari sasaran yang tepat,
dan tidak boleh keluar dari koridor proses ijtihad; Ketiga, hukum Islam tentang sesuatu,
yang sudah menjadi konsensus para ulama (ijmâ’), jadi peluang ijtihad kecil. kecuali
mengkaji proses terjadinya konsensus tersebut. Keempat, hukum Islam tentang sesuatu
kejadian di tengah-tengah masyarakat, yang belum ditunjukkan secara tegas oleh nash
Alquran, sunnah dan ijmâ’, sehingga memberi peluang besar bagi aktivitas ijtihad untuk
mengkaji perubahan hukum selaras dengan perubahan sosial.9
Persepsi atas konsep hukum di luar Islam semata-mata menekankan pada sisi kehidupan
bermasyarakat, sedangkan kehidupan individu tidak dinamakan hukum melainkan disebut
norma, budi pekerti dan asusila.10

8
Muhammad Faisol, hukum Islam dan Perubahan Sosial, jurnal ilmiah syari’ah, vol.18,no.1,
januari,2019,hlm.35
9
7 ‘Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî’ fî Mâ lâ Nashsha Fîh (Kuwait: Dâr al-Qalam, 2012), 9-13.
Lihat juga, Muhammad ‘Alî al-Sâyis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâd wa Athwâruh (Mesir: Silsilah al-Buhûts al-Islâmiyyah,
1970), 20-23. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Juz II (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âhir,
1986), 1052.
10
Zainuddin ali,Hukum Islam: Pengantar ilmu Hukum Islam Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 10
10
Perubahan Hukum Islam
Di lihat dari sisi awal pertumbuhannya, kedatangan hukum Islam dapat dikategorikan
pada social engineering dan social control, karena hukum Islam memberikan makna terhadap
tatanan yang masih dianggap relevan dengan nilai- nilai kemanusiaan (fithrah), mengubah
tatanan lama yang sudah mapan, dan memproklamirkan tatanan baru sesuai dengan kehendak
masyarakat. Dalam proses awal pertumbuhannya (masa Nabi), sering pula terjadi perubahan
hukum yang dikategorikan sebagai nasikh-mansukh, sehingga pada posisi ini, hukum berfungsi
sebagai social engineering yang sedikit banyak berkaitan dengan perubahan sosial. Setelah
Muhammad wafat, maka di masa sahabat, perubahan hukum sering pula terjadi dalam bentuk
perubahan penerapan seperti yang dilakukan oleh 'Umar ibn al-Khaththâb yang dipandang
kontroversial dan dalam bentuk jangkauan nash Alquran melalui ijtihad dengan berbagai metode
yang ditempuhnya. Perubahan semacam ini dalam hukum berfungsi sebagai social control,
sdangkan pola násikh-mansukh yang dipandang hukum sebagai social engineenering sudah tidak
terjadi lagi.11
Dengan memperhatikan. pertumbuhan hukum Islam, maka terlihat tiga dimensi dan
wawasan pengembangan hukum Islam. Pertama dimensi pemeliharaan, yang bertujuan untuk
memelihara tatanan hukum yang masih dipandang relevan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua dimensi pembaruan, yang merupakan perubahan hukum lama untuk ditingkatkan dan
disempurnakan. Dan ketiga dimensi pembuatan hukum baru, yang dikehendaki masyarakat untuk
mewujudkan kemaslahatan. Dalam konteks pembangunan hukum nasional Indonesia, ketiga
dimensi tersebut, dapat dijadikan landasan pembangunan hukum nasional, karena sistem hukum
di Indonesia secara garis besar meliputi tiga macam: sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan
sistem hukum Barat.12
Agama Islam memiliki tatanan hukum yang secara substansi meliputi dua bidang, yaitu
bidang ibadah dan mu'amalah. Pengaturan hukum yang bertalian dengan ibadah bersifat rinci,
sedangkan mu'amalah, yang mengenai segala aspek kehidupan masyarakat bersifat global, dan
hanya prinsip-prinsip pokok saja yang ditetapkan. Pemegang kekuasaan untuk
11
Hasan Bisri,” Hukum Islam dan Perubahan Sosial: Telaah atas Ijtihâd Fardi dan Jamâ’i “,Tajdid, Vol. 26, No. 2, 2019
12
5Mohamad Daud Ali, “Pendidikan Syari’ah Dalam Mengisi Kebutuhan Hukum Nasional”. Makalah untuk
seminar pendidikan syari’ah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 17-18 Oktober 2003, 5. Lihat juga, A. Qodri Azizy, Hukum
Nasional: Eklektisisme Hukum Islam Dan Hukum Umum (Jakarta: Teraju, 2004), 138-139
11
mengimplementasikan peraturan yang sudah dirumuskan tersebut. maka hukum Islam dapat
berperan aktif dalam proses dalam pembangunan hukum nasional.13
Dalam proses perubahan dan pembaharuan hukum Islam, perlu diperhatikan pernyataan
'Abd al-Wahhab Khallaf dan Muhammad 'Ali al-Sâyis, bahwa hukum Islam dilihat dari dalil-
dalil yang menunjukkan dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian: Pertama, hukum tentang
sesuatu yang bersumber dari nash yang sharîh dan qathi, terhadap objeknya (unsur material)
yang tidak memberi kesempatan akal untuk menemukan hukumnya, selain hukum yang
ditekankan dalam nash, atau memuat illat qashirah, terbatas pada hukum asalnya, sehingga
ijtihad tidak dapat dilakukan, melainkan harus mengikuti ketentuan nash. Kedua, hukum Islam
tentang sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil zhanni al-dalalah, terhadap obyek hukumnya dan ada
peluang bagi akal untuk ijtihad (mencari obyek lain yang ditunjukkan oleh nash), maka ijtihad
diperbolehkan untuk menemukan sasaran yang tepat, dan tidak dapat keluar dari koridor proses
ijtihad; Ketiga, hukum Islam tentang sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para ulama (ijma'),
sehingga hanya sedikit peluang untuk melakukan ijtihad, kecuali mempelajari proses
kesepakatan tersebut. Keempat, hukum Islam tentang suatu peristiwa di tengah masyarakat yang
belum secara jelas ditunjukkan oleh al-Qur'an, sunnah dan ijmâ', sehingga memberikan peluang
yang besar bagi kegiatan ijtihad untuk mempelajari perubahan hukum yang sejalan dengan
perubahan sosial.14 Karena itu, tidak mengherankan apabila upaya menemukan hukum Islam
terhadap hal-hal yang tidak ditunjuk langsung oleh nash, terus dilakukan oleh para ulama
sepanjang zaman dengan menggunakan proses berfikir induktif dan deduktif sampai ditemukan
hukumnya secara jelas dan pasti. Dan apabila hasil ijtihad bertentangan dengan nash yang sharih,
maka ijtihad tersebut menjadi tertolak dan batal.15
Dalam perspektif sejarah, pembaruan hukum Islam menurut Noel J. Coulson,
menampakkan diri dalam tiga bentuk; pertama pengkodifikasian hukum Islam menjadi undang-
undang yang ditetapkan dan diberlakukan oleh negara secara nasional; kedua ketidakterikatan
umat Islam pada salah satu mazhab hukum secara spesifik, yang kemudian disebut takhayyur,
menyeleksi pendapat mana yang paling dominan dalam masyarakat; ketiga perkembangan
hukum Islam dalam mengantisipasi perkembangan peristiwa hukum yang baru muncul, yang

13
A. Qodri Azizy, Hukum Nasional: Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum (Jakarta: Teraju, 2004),
139-164. Lihat juga, Ahmar Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 24-35
14
‘Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî’ fî Mâ lâ Nashsha Fîh (Kuwait: Dâr al-Qalam, 2012), 9-13.
Lihat juga, Muhammad ‘Alî al-Sâyis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâd wa Athwâruh (Mesir: Silsilah al-Buhûts al-Islâmiyyah,
1970), 20-23. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Juz II (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âhir,
1986), 1052.
15
Ibrahim Hosen, “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru” dalam Haidar Baqir dan Syafiq Basri (eds.),
Ijtihad Dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1988), 27
12
disebut tathbiq, penerapan hukum terhadap peristiwa baru; dan keempat perubahan hukum dari
yang lama kepada yang baru yang disebut lajdîd, pembaruan pemikiran hukum islam. 16
Pembagian bentuk di atas menunjukkan bahwa Coulson mengartikan, perubahan identik dengan
pembaruan, padahal Friedmann seperti yang dikutip Soerjono Soekanto, memandang bahwa
kedua term tersebut merupakan dua konsep yang berbeda. Perubahan hukum adalah tidak
mengubah ketentuan formal, sedangkan pembaruan hukum adalah mengubah ketentuan formal.17
Konsep perubahan dalam tulisan ini adalah pembaruan hukum Islam melalui ijtihad,
dalam rangka mengembangkan hukum yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, dengan
menggunakan prosedur ijtihad, sehingga berbagai persoalan hukum yang muncul, terpecahkan
solusinya. Perubahan dan pembaruan hukum Islam menurut Coulson pada bentuk ke satu, kedua
dan ketiga sudah dimulai sejak dikodifikasikan hukum Islam ke dalam bentuk undang-undang
pada masa modernisasi (tanzimat) di Turki dengan sebutan, al-Majallah al-Ahkâm Al-'Adliyyah
kemudian diikuti oleh Syria, Mesir dan lain-lainnya. Pembaruan hukum bentuk keempat yang
dihasilkan melalui prosedur ijtihad sudah dimulai sejak munculnya gerakan pembaruan pada
penghujung abad ke-19 dan nuansanya makin meningkat pada abad ke-20 untuk merespon
berbagai tantangan dan problem sosial yang terus berkembang sebagai akibat pesatnya kemajuan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta meningkatnya perkembangan ekonomi. Di sinilah, lalu
muncul pembahasan mengenai reinterpretasi terhadap nash wahyu, ijtihad kembali, redefinisi
bermazhab dan sejenisnya. Dengan kata lain, mayoritas ulama dan pemikir hukum Islam
menghendaki keberadaan hukum Islam yang mampu memberi solusi dan jawaban terhadap
perubahan sosial, sehingga upaya ijtihad di masa modern termasuk metodologi yang biasanya
dilakukan dalam masyarakat modern ini terus ditingkatkan dan dikembangkan kualitasnya.18
Inti yang hampir disepakati adalah bahwa hukum Islam pada hakikatnya untuk
menciptakan kemaslahatan umat manusia, yang harus sesuai dengan tuntutan perubahan,
sehingga selalu diperlukan ijtihad yang baru. Jangankan perbedaan antara masa sekarang dengan
masa lebih dari seribu tahun lalu; masa hidup Imam al-Syafi'i saja, memerlukan dua pendapat
berbeda yang disebut dengan qal qadim, pendapat Imam al-Syafi'i ketika di Jazirah Arab,
sebelum pindah ke Mesir, dan qazel jadid, pendapat Imam al-Syafi'i ketika telah berdomisili di
Mesir.19 Oleh karena itu, beberapa kaidah fiqhiyyah juga telah ditulis sejak awal, seperti kaidah,
al-hukm yadúru ma'a illatih wujudan wa adaman. Ibn al-Qayyim al- Jawziyyah (w. 1350 M)
16
Noel J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, terjemahan Hamid Ahmad (Jakarta: P3M,
2007), 175-215

17
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1984), 140-142. Bandingkan dengan
Sudjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum.., 84-86
18
Norman Anderson, Law Reform in The Muslim World (London: Athlone Press, 1976), 10-35
13
mencoba mereduksi perubahan dalam sebuah kaidah fikih yang menyatakan bahwa fatwa dapat
berubah karena perubahan keadaan, dengan kata-kata: Taghayyur al-fatwa bi hasab taghayyur al-
izminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-niyyat wa al-'awa'id, perubahan fatwa karena
perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan kebiasaan. Dalam pandangan Ibn al-Qayyim, yang
mengalami perubahan adalah fatwa; dan fatwa adalah termasuk wilayah ijtihad, kemudiani para
ulama mencoba melebarkan perubahan yang tidak hanya dibatasi pada fatwa, tetapi juga kepada
hukum, sehingga disusunlah kaidah yang menyatakan bahwa hukum berubah, karena perubahan
zaman, lá yunkar taghayyur al-ahkam bi taghayyur al- zamán.20 Karena perluasan cakupan
kaidah tersebut, sebagian ulama mempertanya-kan apakah setiap hukum berubah karena
perubahan zaman. Subhi Mahmashani menjelaskan bahwa hukum yang berubah adalah hukum
ijtihadiyah yang didasarkan atas mashlahah, qiyas dan 'adat, seperti dalam perkataan berikut ini:
al-ahkam al-ijtihadiyyah al-mabniyyah 'ala al-mashlahah aw 'ala al-qiyás aze 'ala al-urf, hukum
ijtihadiyyah yang dibentuk berdasarkan mashlahah, analogi atau kebiasaan.21 Hal senada
dikatakan juga oleh Ali al-Nadwi dengan menyederhanakan kaidah di atas sebagai berikut: la
yunkar laghayyur al-ahkám al- mabniyyah 'ala al-mashlahah wa al-'urf bi taghayyur al-zamân,
tidak dapat diingkari bahwa hukum yang didasarkan pada mashlahat dan adat berubah, karena
perubahan zaman.22
Salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya pembaruan hukum Islam adalah
pengaruh kemajuan dan pluralisme sosial budaya dan politik dalam sebuah masyarakat dan
negara. Jika dilihat keadaan yang ada di masa yang awal pertumbuhan mazhab hukum, maka
jelas ada pengaruh elemen- elemen sosial budaya terhadap ulama untuk menentukan hukum
Islam, atau dapat dikatakan, sebagai pengaruh budaya terhadap hukum Islam
Pertama kedudukan non-Muslim, atau re-definisi kebebasan beragama (freedom of
religion). Pada dasarnya Islam tidak membenarkan adanya pemaksaan terhadap seseorang untuk
memeluk Islam, seperti Alquran surat al-Baqarah/2: 256 secara tegas menyatakan, tidak ada
pemaksaan untuk memeluk agama, sesungguhnya sudah jelas jalan yang benar dari jalan yang

19
Mengenai pembahasan qawl qadîm dan qawl jadîd Imam al-Syâfi’i, baca lebih detail dalam buku karya,
Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadîm dan Qawl Jadîd (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa perubahan pendapat Imam al-Syâfi’i yang dikenal
dengan qawl jadîd sebagai koreksi atas pendapat sebelumnya, lebih banyak disebabkan oleh perubahan logika
daripada disebabkan oleh temuan hadis baru yang tidak didapatkan sebelumnya
20
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I’ilâm al-Muwaqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, Juz III (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 4.
Lihat juga, Alî Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2014), 158
21
Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyrî’ al-Islâmi (Beirut: Dâr al-Maliyîn, 1961), 198. Bandingkan dengan
Musthafâ Ahmad Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Islâmi (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2008), 924
22
‘Ali al-Nadwi, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah…, 158. Lihat juga, Jaih Mubarak, Ijtihad Kemanusiaan Di Indonesia
(Bandung: Bani Quraish, 2005), 29-31
14
sesat (lâ ikráha fi al-din qad tabayyana al- rusydu min al-ghayy).23 Dengan penekanan pada
larangan pemaksaan tersebut, Alquran pada hakekatnya memberi prinsip, freedom of religion
and belief, tetapi dalam beberapa literatur klasik, seringkali disuguhi pemahaman yang
diskriminatif terhadap non-Muslim yang menyebabkan sulitnya komunikasi antara kaum
muslimin dengan pemeluk agama lain. Kesulitan ini antara lain dipengaruhi oleh beberapa
pemahaman yang dipandang sebagai doktrin Islam, yaitu hukuman terhadap kemurtadan, kasus
sejarah pengislaman orang-orang kafir Arab dan penerapan pajak (jizyah) terhadap non-Muslim.
Beberapa pemikir Islam modern, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha sudah mencoba
untuk menyelesaikan permasalahan ini, namun gemanya belum menyeluruh ke semua dunia
Islam.24. Dalam sistem pertahanan di suatu negara merdeka sekarang ini, pembelaan dalam
rangka untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, wajib dilakukan oleh pemerintah dan
rakyatnya, untuk menjaga harga diri suaru bangsa. Sementara itu, penaklukan Nabi kepada orang
Badawi Arab dan memaksa mereka untuk berIslam (tunduk dan menyerah) adalah dalam konteks
untuk menegakkan human right (HAM) dan kepentingan kaum muslimin serta bangsa Arab
secara keseluruhan. Dalam realitasnya, Nabi tidak pernah mengIslamkan kelompok Nasrani dari
qabilah Najran, dan Yahudi di Madinah dengan cara paksa. Mereka dibiarkan untuk tetap
beragama Nasrani dan agama Yahudi dalam sebuah kehidupan komunitas bersama-sama dengan
Nabi Muhammad.25 Ini realitas sejarah yang tidak dipungkiri.
Sikap Alquran berbeda dalam menghadapi Ahl al-Kitab di satu pihak, dan ketika
menghadapi kaum kafir (kuffar) serta kelompok musyrik (musyrikin), di pihak lain. Terhadap
kuffar dan musyrkin, sering dijumpai perintah Alquran untuk berjihad. Namun dalam memahami
istilah Alquran tentang kuffår dan musyrikin itu telah terjadi perbedaan dan perkembangan di
antara para ahli fikih dan mujtahid. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa sikap dan istilah
dalam Alquran tersebut dialamatkan kepada kuffår dan musyrikin Quraisy/Arab, tidak untuk
semua bangsa di dunia internasional. Menurut al-Awzâ'i, al-Tsawri dan salah satu pendapat
Imam Malik, bahwa jihâd itu hanyalah untuk masa Nabi ketika itu, sehingga kini sudah tidak lagi
harus dilaksanakan terhadap kuffâr dan musyrikin yang ada. Sedangkan hâd dalam pengertian
yang asli menurut Abû Sulayman, adalah "the active expression of the Islamic commitmen,
responsibility, and sense of duty, wherever it is required in practical life, ungkapan aktif

23
Menurut Ibn Katsir, ayat tentang larangan pemaksaan agama (Q.S. al-Baqarah/2: 256) sudah me-nasakh
ayat tentang perintah untuk berperang demi agama (Q.S. al-Tawbah / 9: 36). Lihat, Abû al-Fidâ’ al-Hâfizh Ibn Katsîr
al-Dimisqi, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Juz I (Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘ilmiyah, 2007), 464-465
24
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm al-Syahîr bi Tafsîr al-Manâr, Juz III (Beirut: Dâr al-
Ma’rifah, t.t.), 36-37
25
Abdul Hamid Abu Sulayman, The Islamic Theory of International Realations: New Directions for Islamic
Metodology and Thought (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 2007), 100-1001.
15
mengenai komitmen, tanggung jawab dan rasa memiliki kewajiban yang islami, di mana saja hal
itu diharuskan dalam kehidupan yang nyata.26
Dengan pemahaman semacam demikian, maka perang mengangkat senjata, yang sering
menjadi salah arti, karena mengaggap satu-satunya arti, itu hanya sebagian arti dari konsep jihad,
yakni jika sudah sampai pada titik mempertahankan diri dari serangan musuh. Oleh karena itu,
wajar kalau Abu Sulaymân menulis dengan kata-kata: "examples of the Qur'an show the real
danger of fanaticism in relations within Muslim society and with non-Muslims as monorities or
foreign entites.27 Dengan reaktualisasi dan redefinisi kedudukan non-Muslim, maka konsep fikih
klasik tentang dar al-harb, dar al-Islam, dar al-'ahd, kâfir harbi dan kafir dzimmi perlu direvisi
dalam teori atau konsep hukum tata negara Islam dan hukum Internasional Islam yang selama ini
telah dihasilkan oleh para yuris klasik.28 Problematika fikih klasik bila diberlakukan tanpa
pembaruan, akan bertabrakan dengan isu-isu global, seperti hak asasi manusia (HAM),
demokrasi yang memberi kebebasan dalam pilihan politik dan pilihan agama, serta kesetaraan
gender dalam struktur dan fungsi-fungsi sosial-politik.
Kedua, redefinisi posisi perempuan. Dengan munculnya pluralisme, pesatnya kemajuan
pemikiran masyarakat, dan dimotivasi oleh pemikiran global negara-negara maju yang kuat,
posisi perempuan perlu diredefinisi, seperti perempuan menjadi hakim atau pemimpin, bahkan
menjadi kepala negara. Kedudukan perempuan menjadi hakim dalam wacana fikih klasik, secara
garis besar ada tiga pandangan: (i) perempuan sama sekali tidak bisa menjadi hakim. Pendapat
ini dipegang oleh Imam al-Syafi'i yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia; (ii)
perempuan dapat menjadi hakim hanya untuk urusan transaksional dan bukan untuk urusan
pidana. Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah; dan (iii) perempuan dapat menjadi
hakim untuk semua masalah dan kasus. Inilah pendapat Ibnu Jarîr al-Thabari. 29 Pendapat ketiga
ini dalam dunia fikih dipandang sebagai pendapat asing yang tidak populer, yang hampir tidak
pernah diikuti oleh umat Islam. Selain itu, perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin,
apalagi kepala pemerintahan atau negara. Oleh karena itu, pemahaman seperti itu tidak lepas dari
realitas budaya, selain tidak adanya keterlibatan perempuan dalam urusan publik, khususnya
26
Abdul Hamid Abu Sulaymân, The Islamic Theory of …, 23
27
Surah al-Tawbah/9: 36, bukan untuk memerangi kelompok musyrikin, tetapi untuk membela diri atau
setidaknya untuk membalas demi membela diri, sehingga harus memerangi kelompok musyrikin yang telah
memerangi kaum muslimin terlebih dahulu. Lihat lebih lanjut, Abdul Hamid Abû Sulaymân, The Islamic Theory of …,
115
28
Kitab-kitab fikih klasik yang membanas hubungan Muslim dan non-Muslim, lihat, Taqi al-Dûn Abî Bakr
ibn Muhammad al-Husayni, Kifâyah al-Akhyâr fî Halli Ghâyah al-Ikhtishâr, Juz II (Beirut: Dâr al-Fikr, 2014). Lihat
juga, ‘Abd Allâh ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Shâlih Âli Bassâm, Taysîr al-‘Allâm Syarh ‘Umdah al-Ahkâm, Juz II (Makkah
al-Mukarramah: Maktabah wa Mathba’ah al-Nahdhah al-Hadîtsah, 2017).
29
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al-Qurthûbi, Bidâyah al-Mujtahid Fî Nihâyah al-Muqtashid, Juz II
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), 377
16
dunia politik, sehingga ketika kondisi berubah, semestinya ada redefinisi tentang kedudukan
perempuan. Di sisi lain, pemahaman klasik itu sendiri tampak adanya ambivalensi, seperti tidak
sahnya perempuan menjadi saksi di pengadilan, namun pada sisi lain, perempuan syah menjadi
rawi hadis, padahal konsekuensi peran rawi hadis jauh lebih besar dari sekedar menjadi saksi di
pengadilan.
Berkaitan dengan perempuan menjadi pemimpin politik, para ulama klasik, bahkan ulama
kontemporer yang berpikiran ortodoks, larangan perempuan menjadi pemimpin politik atau atau
jabatan lain yang setara dengannya, didasarkan kepada sebuah hadis yang berbunyi: Tidak akan
sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada
perempuan (lan yuflih qawm wallau amarahum imra'atan), 30 Mereka menyatakan bahwa
perempuan menurut petunjuk syara' tersebut, hanya diberi tanggungjawab untuk menjaga harta
suaminya.31 Hadis tersebut tidak lepas dari kondisi sosial politik pada saat itu. Karena itu, untuk
memahami hadis itu, perlu dikaji terlebih dahulu kondisi yang sedang berkembang pada saat
hadis itu disabdakan oleh Muhammad Hadis ini disabdakan ketika Nabi mendengar penjelasan
dari sahabat beliau tentang pengangkatan wanita menjadi ratu di Persia. Peristiwa suksesi terjadi
pada tahun 9 H.32
Menurut tradisi kenegaraan yang berlangsung di Persia sebelum itu, yang diangkat
sebagai kepala negara adalah seorang laki-laki; sedangkan yang terjadi pada tahun 9 H,
menyalahi tradisi tersebut, karena yang diangkat sebagai kepala negara bukan seorang laki-laki,
melainkan seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra bin Barwaiz.
Dia diangkat sebagai ratu (kisrá) di Persia, setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam
rangka suksesi kepala negara. Ketika ayah Buwaran meninggal dunia, anak laki-lakinya, saudara
laki-laki Buwaran, telah mati terbunuh ketika melakukan perebutan kekuasaan. Karena itu,
Buwaran lalu dinobatkan sebagai ratu (kisrá).33 Kakek Buwaran adalah Kisra bin Barwaiz bin
Anusyirawan. Dia pernah dikirimi surat ajakan menjadi Islam dari Muhammad Kisra menolak
ajakan itu dan bahkan merobek-robek surat Muhammad Ketika Nabi menerima laporan tersebut,

30
Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâri, al-Jâmi’ al-Shahîh, Juz IV, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.),
228, dan Abû ‘Abd Allâh Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Jilid V, (Beirut: al-Makab alIslâmi, 2017),
38 dan 47
31
Ahmad ibn ‘Ali Ibn Hajar al-‘Asqalâni, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri(t.t.: Dâr al-Fikr wa Maktabah
al-Salafiyyah, t.t.), Juz IV, 123
32
Abû al-Falah ‘Abd al-Hayy ibn al-‘Imâd al-Hanbali, Syadzarat al-Dzahab fî Akhbâri man Dzahab, Jilid I
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), 13
33
Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâri, al-Jâmi’ al-Shahîh…, Juz VIII, 128.. Lihat juga, Jalâl al-
Dîn al-Suyûthi, Asbâb al-Wurûd al-Hadîts aw al-Lam’ fî Asbâb al-Hadîts (Beirut: dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1984), 82-
84
17
maka Nabi bersabda: "Siapa saja yang telah merobek-robek surat beliau, maka akan dirobek-
robek diri dan kerajaan orang itu".
Tidak berselang lama, Kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan
yang dilakukan oleh keluarga dekat kepala negara.34
Pada waktu itu, derajat kaum perempuan dalam tatanan kehidupan masyarakat berada di
bawah kaum laki-laki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk terlibat mengurus
kepentingan masyarakat umum, terutama masalah kenegaraan. Hanya laki-laki yang dipandang
mampu mengurus kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan sosial ini tidak hanya terjadi di
Persia saja, tetapi juga di Jazirah Arab pada umumnya. Islam datang untuk mengubah nasib
kaum perempuan. Mereka diberi berbagai hak, kehormatan, dan kewajiban oleh Islam sesuai
dengan harkat dan martabat mereka sebagai makhluk yang bertanggungjawab di hadirat Allah,
baik terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat maupun negara.35
Dalam sejarah peradaban manusia, penghargaan masyarakat kepada kaum perempuan
makin meningkat selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga dalam
beberapa jabatan sosial, politik, ekonomi dan pendidikan, kaum perempuan diberi kedudukan
dan peran yang setara dengan kaum laki-laki. Alquran sendiri memberi peluang sama kepada
kaum perempuan dan laki-laki untuk melakukan segala amal kebajikan. Dalam kondisi
perempuan sudah memiliki kewibawaan, kecerdasan, keterampilan dan kemampuan menegerial
memimpin, serta masyarakat bersedia menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya
seorang perempuan dipilih dan diangkat sebagai pemipin negara. Dengan demikian hadis di atas
harus dipahami secara kontekstual, karena kandungan petunjuknya bersifat temporal.
Dengan demikian, dalam kondisi sosial budaya yang semakin terbuka dan kesempatan
perempuan untuk memperoleh pengetahuan dan prestasi juga semakin terbuka, maka sudah
selayaknya, jika hukum Islam mengenai kedudukan perempuan perlu diperbarui dan diredefenisi
selaras dengan perkembangan zaman. Indonesia merupakan salah satu negara mayoritas muslim,
tampaknya yang memenuhi kriteria keterbukaan kesempatan seperti itu. Di sini orientasinya,
pada prestasi dan kemampuan menjalankan pekerjaan sebagai amanah, sehingga tidak akan
didiskriminasikan amanah itu.36 Dengan kata lain, yang menjadi ukuran adalah profesionalisme,
bukan formalitas jenis kelamin, dalam menduduki jabatan publik tertentu, sehingga diskriminasi
gender dalam kedudukan dan peran di masyarakat serta lembaga-lembaga publik hilang, selaras
dengan tuntutan zaman.
34
Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâri, al-Jâmi’ al-Shahîh…, Juz VIII, 127-128
35
Qasim Amin telah menulis sejarah kedudukan perempuan dan pandangan Islam tentang perempuan
dalam dua buku, yaitu, Tahîr al-Mar’ah (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.t.), 25-289
36
H.M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2014), 64-66
18
B. Perubahan Sosial
Dinamika peradaban manusia dalam sejarahnya selalu tumbuh dan berkembang secara
dinamis sejalan dengan perubahanperubahan yang terjadi dalam setiap sejarah kehidupan
manusia itu sendiri. Sebagai makhluk yang terus mencari dan menyempurnakan dirinya, manusia
senantiasa berusaha dan berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya untuk tetap eksis dan “survive”
di tengah kebersamaannya di tengah manusia lainnya.
Perjuangan memenuhi kebutuhan hidup ini telah memotivasi manusia untuk
menggunakan akal budinya secara maksimal di manapun manusia itu berada. Karena tuntutan
pemenuhan kebutuhan naluri kehidupannya, maka manusia sebagai makluk yang berakal budi
(rational animal) selalu berpikir untuk bagaimana ia menghadapi tuntutan-tuntutan naluriah itu.
Dalam sejarah islam sendiri, pernah terjadi perubahan sosial dan itu bukan hal yang tidak wajar.
Sangat mungkin terjadi perubahan sosial di berbagai kalangan masyarakat dikarenakan manusia
terus berkembang secara ilmu teknologi, kebiasaan, dan perkembangan pikiran.

Pengertian Perubahan Sosial


Untuk memahami maksud dari perubahan sosial, tentu persoalan utama yang perlu
diperhatikankan adalah pembatasan definisi perubahan sosial itu sendiri. 37 Gillin dan Gillin
dalam Abdulsyani mengemukakan bahwa “Perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara hidup
yang telah diterima. Perubahan-perubahan itu terjadi baik karena perubahan-perubahan kondisi
geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, idiologi maupun karena adanya difusi
ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat”.38 Perubahan sosial pada masyarakat
dapat diketahui dengan cara membandingkan keadaan masyarakat pada waktu tertentu seperti
masa sekarang dengan keadaan di masa lampau.

Dinamika Perubahan Sosial dan Hukum Islam


Hubungan antara perubahan sosial dan hukum merupakan hubungan interaksi, dalam arti
terdapat pengaruh perubahan sosial terhadap perubahan hukum, sementara di sisi yang lain,
perubahan hukum juga berpengaruh terhadap perubahan sosial.39 Memang dalam sistem sosial,
sosial dan hukum sabagai sub sistem yang masing-masingnya berjalan sesuai dengan fungsinya,
namun sebagai sistem ada ketergantungan dan keterkaitan antara satu dengan lainnya. Oleh
37
Wilbert E Maore, Order and Change, Essay in Comparative Sosiology (New York: John Wiley & Sons, 1967), 3.
38
Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), 163.
39
Munir Fuady, Sosiologi Hukum Kontemporer Interaksi Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat (Bandung: Citra
Aditya, 2007), 61
19
karena itu, adanya perubahan sosial akan membawa kepada perubahan hukum, dan sebaliknya
adanya perubahan hukum akan membawa kepada perubahan sosial. Adanya hubungan dan
keterkaitan dalam sosial dan hukum, sesuai dengan Teori Sibernetika (Cybernetics) Talcott
Parsons, Pada teori ini sistem sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial
yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan. Bahwa tingkah laku individu tidak
merupakan tingkah laku biologis, tetapi harus ditinjau sebagai tingkah laku yang berstruktur.
Tingkah laku seseorang harus ditempatkan dalam kerangka sistem sosial yang luas yang terbagi
dalam sub sistem-sub sistem.40

Perubahan Sosial dan Al-Qur’an


Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam yang memberikan perhatian yang cukup besar
terhadap perubahan salah satunya perubahan sosial.41 Terdapat enam ayat dalam al-Qur’an yang
menyebut kata-kata perubahan (taghayyur), di antaranya adalah dalam Surah al-Anfal [8] ayat 53
dan Surah al-Ra'd [13] ayat 11. Kata ‘perubahan’ dalam ayat-ayat di atas merupakan
pengungkapan suatu fenomena dan realitas sosial yang dapat berlaku pada manusia dalam proses
berjalannya sejarah. Kedua ayat ini mengungkapkan keterlibatan Tuhan dan manusia dalam suatu
proses terjadinya perubahan. Keterlibatan Tuhan dalam proses terjadinya perubahan haruslah
diartikan dengan suatu keterlibatan yang sesuai dengan hasil ataupun akibat-akibat dari tindakan
dan aktivitas manusia itu sendiri. Tindakan dan aktivitas manusia pada hakikatnya merupakan
batasan-batasan ataupun kondisi-kondisi tertentu yang membuka kesempatan untuk terjadinya
suatu perubahan.

Al-Qur’an menggungkapkan istilah perubahan yang konstruktif misalnya dengan kata al-falah
(kemenangan), alfawz (kemenangan batin), al-barakah (pertumbuhan/perkembangan),
al-ish/alsalah (berbuat baik/kebaikan).42
Untuk ungkapan perubahan yang bersifat netral dan penggunaannya bisa untuk berbagai hal yang
bersifat positif maupun negatif, al-Qur’an menggunakan kata al-ziyadah (bertambah). Bertambah
itu bisa menuju kebaikan, seperti Bertambahnya iman, kebajikan, petunjuk, keuntungan dunia
dan akhirat, ilmu dan atau nikmat dan karunia, di samping juga bertambah bisa juga menjadi
kejelekan seperti bertambahnya azab.

40
http://alisarjuni.blogspot.co.id/2013/05/teori-hukum-sosiologis.html
41
Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 18, Nomor 1, Januari-Juni 2019,hal.36
42
Al-Baqi, 1981: 527, 118, 410, 518
20
Perubahan Sosial dan Hadits Nabi
Pada kenyataannya syariat Islam yang bersumber dari Allah SWT telah selesai dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW setelah beliau wafat. Namun persoalan yang dihadapi manusia secara
sunnatullah senantiasa berubah dan berkembang tanpa pernah selesai, seiring dengan adanya
berbagai macam penemuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu persoalan-
persoalan yang ada di zaman Rasul tentu akan berbeda dengan persoalan yang dihadapi manusia
di zaman modern sekarang. Pada kondisi yang seperti ini syariah Islam dituntut mesti memiliki
sifat universal agar dapat menjamin terciptanya kemaslahatan manusia di setiap masa dan
tempat. Dengan kata lain, syariah Islam haruslah dapat mempertimbangkan perubahan sosial
yang terjadi di dalam suatu masyarakat.43
Hadis Nabi sebagai nas yang menjadi sumber hukum Islam tidaklah bisa lepas dari upaya
pembaharuan hukum Islam. Apabila pembaharuan hukum tidak menyertakan pembaharuan di
dalam bidang hadis, maka akan mengakibatkan ekses sosial yang cenderung tidak positif.44

Perubahan Sosial dan Ijtihad


Untuk melakukan pembaharuan hukum Islam dalam konteks perubahan sosial, maka dari itu
para Mujtahid melakukan pembaharuan kembali yang dinamakan dengan ijtihad, yaitu dengan
mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki di dalam upaya menetapkan suatu hukum yang
mampu menjawab berbagai macam persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Islam dari akibat
yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan ijtihad adalah menetapkan
hukum terhadap masalah baru yang belum ada ketetapan hukumnya ataupun dengan mengganti
hukum yang lama yang tidak lagi sesuai dengan keadaan dan kemaslahatan manusia sekarang.45
Dengan kata lain, ijtihad disesuaikan dengan kemaslahatan manusia yang timbul. Dalam hal ini
Mahmud Syalthut pernah mengatakan : “Perbedaan suatu mashlahah dalam hukum sangat
tergantung pada perubahan masa, tempat, dan masyarakat. Dan dari sinilah timbul ijtihad”46

Perubahan Sosial dan Qiyas


Qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada
nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Dengan demikian, qivas merupakan

43
Zainal Muttaqin, HADITS DAN PERUBAHAN SOSIAL, Vol.4, Samawat Journal Of Hadith And Quranic Studies, 2020,
hlm. 73-74
44
Ibid, hlm. 75
45
Fathurrahman Azhari, PERJALANAN IJTIHAD DALAM PERKEMBANGAN FIKIH, Vol.14, Jurnal.UIN-Antasari.ac.id,
2014, hlm. 1-2
46
Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Kairo:Dar al-Syuruq, 1979 M.), hlm. 33
21
penerapan hukum analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat
akan melahirkan hukum yang sama pula.47
Dengan demikian, qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak
ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Oleh karena itu, dalam
menghadapi perubahan sosial menggunakan metode qiyas, tugas pertama yang harus dilakukan
oleh seseorang yang akan melakukan qiyas adalah mencari apakah ada nash yang dapat dijadikan
dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar-benar
tidak ada nash yang dimaksud barulah seseorang itu boleh melakukan qiyas.48

Fleksibilitas Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial


Fleksibilitas hukum Islam berarti kelenturan atau penyesuaian aturan hukum Islam dalam
menghadapi persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.Kondisi masyarakat
yang terus berkembang mengikuti perubahan zaman menuntut hukum Islam untuk mampu
menjawab berbagai permasalahan-permasalahan yang timbul dalam berkehidupan
bermasyarakat. Selain itu, ada juga faktor kondisi dan adat kebiasaan masyarakat di setiap
wilayah dan tentunya pasti berbeda-beda. Hal ini menguji bagaimana hukum Islam yang
fleksibel mampu beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya. Fleksibilitas
ini terlihat lebih banyak diterapkan dalam berbagai macam persoalan yang bersifat duniawi,
seperti dalam persoalan teknis praktis dan seni yang lebih banyak menyangkut sarana dan
metodenya. Hal inilah yang dikatakan Rasulullah Saw, dalam sabdanya, “kalian lebih
mengetahui urusan dunia kalian sendiri”.
Begitu pula dengan para sahabat setelahnya. Mereka membuat peraturan-peraturan dan
pekerjaan-pekerjaan yang tidak pernah ada di masa hidup Rasulullah Saw, seperti membuat
kantor-kantor, menentukan batas-batas wilayah, mengumpulkan Al-Qur’an dalam mushaf dan
menyebarkannya ke seluruh wilayah, menunjuk orang khusus untuk jabatan qadhi, pengiriman
pos, dan lain sebagainya yang banyak manfaatnya dan tidak diragukan lagi kemaslahatannya.
Bahkan kemunculannya pun tidak pernah dihalangi oleh agama.49 Sifat fleksibel dari hukum
Islam tersebut terbukti dengan dirumuskannya beberapa kaidah oleh ahli hukum Islam yaitu:
“Hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya 'illat”.50 Maknanya adalah bahwa

47
Asrowi, Ijma dan Qiyas Dalam Hukum Islam, Vol.1, Jurnal Aksioma Al-Musaqoh, 2018, hlm. 35
48
Arifana Nur Kholiq, RELEVANSI QIYAS DALAM ISTINBATH HUKUM KONTEMPORER, Vol.1, ISTI’DAL; Jurnal Studi
Hukum Islam, 2014, hlm. 4
49
Yusuf al-Qardhawi, Min Ajli Shahwatin Râsyidah Tujaddidu ad-Dîn wa Tanhadhu bi ad-Dunyâ, terj. Rusydi Helmi,
Membangun Masyarakat Baru, (Jakarta: Gema Insani Press. 2000), cet. ke-1, h. 85
50
Ali Ahmad al-Nadawiy, Mawsu'ah al-Qawa'id wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah alHakimah li-al-Mu'amalat al-
Maliyah fi alFiqh al-Islamiy, (Riyadh: Dar 'Alam alMa'rifah, 1999), h. 395.
22
jika “illah-nya ada, maka hukumnya pun ada. Sebaliknya, jika “illah-nya tidak ada, maka
hukumnya pun tidak ada. Jika “illah-nya kuat, maka hukumnya pun kuat. Sebaliknya, jika
“illah-nya lemah, maka hukumnya pun lemah. Dalam Kaidah fiqhiyah lainnya juga
menyebutkan: “Perubahan fatwa karena perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan
kebiasaan”51 Kaidah tersebut mengisyaratkan bahwa hal yang harus diperhatikan dari fatwa ialah
faktor-faktor perubahan hukum itu sendiri, yaitu sesuai dengan perubahan zaman, tempat,
keadaan, niat dan kebiasaan. Hal ini mengisyaratkan bahwa sejatinya hukum Islam itu bersifat
fleksibel dan mengikuti perkembangan zaman dalam menghadapi berbagai keadaan dan juga
persoalan yang terjadi di masyarakat. Bahkan jauh sebelum kaidah itu dibuat oleh para ahli
hukum Islam, sifat hukum Islam yang fleksibel itu telah ada pada masa Nabi dan Sahabat,
misalnya pada masa sahabat Abu Bakr. Khalifah Abu Bakr menetapkan hukuman peminum
khamr sebanyak 40 kali cambukan, yang pada masa Rasulullah tidak ada batas tertentu, sampai
Rasulullah berkata “cukup”. Hal itu karena orangorang yang minum khamer pada masa khilafah
Abu Bakar lebih banyak daripada masa Nabi pada waktu itu.52 Kemudian fatwa Ibnu Abbas
tentang taubatnya seorang pembunuh, yakni seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Abbas:
“Apakah orang yang membunuh seorang Mukmin itu mendapatkan taubat?”. Ia menjawab
“Tidak. Ia masuk neraka”. Setelah lelaki itu pergi, kawan-kawan Ibnu Abbas menegur “Mengapa
anda berfatwa seperti itu?, berbeda dengan fatwamu dahulu bahwa pembunuh berhak
mendapatkan taubat?” Maka Ibnu Abbas ra. menjawab: “Karena tampak kulihat ia sedang
membenci seseorang dan ia ingin membunuh”. Lalu mereka diutus untuk memantau lelaki itu,
ternyata memang betul ia membunuh.53 Kisah tersebut adalah bukti bahwa hukum Islam bersifat
fleksibel dengan melihat kondisi orangnya, apakah ia orang yang telah menyesal membunuh dan
dengan ikhlas berniat untuk bertobat, sehingga ia berhak mendapatkan pintu taubat, ataukah
orang yang dalam kondisi marah yang berniat membunuh orang lain, sehingga Ibnu Abbas
mengatakan ia masuk neraka.

51
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I‟lâm AlMuwâqqi‟în, (Beirut : Dar al-Fikr. tth.), jil. 3, h. 3
52
Al-Qardhawi, Membumikan, h. 228.
53
ibid, h. 246.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, bahwa kehidupan social dan hukum Islam memng saling brkaitan
satu sama lain. Perubahan hukum islam tersebut membawa kepada perubahan social,
apabila hukum Islam itu telah menjadi adat bagi suatu masyarakat. Begitu juga apabila
hukum Islam itu telah diserap menjadi hukum positif seperti UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Ekonomi Islam, dan berbagai fatwa

24
DSN/ MUI tentang ekonomi syariah. Sedangkan perubahan sosial membawa kepada
perubahan hukum Islam. Untuk melakukan upaya pembaharuan pemikiran hukum Islam
diperlukan beberapa syarat. Pertama, adanya tingkat pendidikan yang tinggi dan
keterbukaan dari pihak masyarakat muslim. Kedua, hukum Islam harus dilihat sebagai
variasi suatu keragaman yang bersifat partikular yang selalu dibatasi oleh dimensi ruang
dan waktu. Ketiga, memahami faktor sosio kultural dan juga setting politik yang
melatarbelakangi lahirnya produk hukum supaya dapat memahami partikularisme dari
pemikiran hukum tersebut. Keempat, mengorientasikan penggalian hukum dari aspek
qawlan (materi hukum) kepada aspek manhajan (kerangka metodologis).

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Sulthon, M. (2019). Hukum Islam dan perubahan sosial: studi epistemologi hukum Islam
dalam menjawab tantangan zaman. JURNAL ILMIAH UNIVERSITAS BATANGHARI JAMBI
(JIUBJ), 19(1), 27-34.
Bisri, H. (2008). Hukum Islam dan Perubahan Sosial: Telaah atas Ijtihâd Fardi dan
Jamâ’i.
Dirdjosisworo, Soedjono. Sosiologi Hukum: Studi Tentang Perubahan Hukum dan
Sosial. Jakarta: CV Rajawali, 2009
Coulson, Noel J. Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, trj. Hamid Ahmad. Jakarta:
P3M, 2007.
Al-‘Umari, Nâdiyah Syarif. al-Ijtihâd fî al-Islâm: Ushûluh, Ahkâmuh Âfâquh. Beirut:
Muassasah al-Risâlah, 2001.
Muttaqin, Z. (2020). HADIS DAN PERUBAHAN SOSIAL. SAMAWAT: JOURNAL OF
HADITH AND QURANIC STUDIES, 4(2).
25
Kholiq, A. N. (2014). Relevansi Qiyas Dalam Istinbath Hukum Kontemporer. Istidal:
Jurnal Studi Hukum Islam, 1(2), 170-180.
Abdullah Nashih ‘Ulwan. Syari’at Islam yang Abadi. Bandung: Usamah Press, 1992.
Sanggalang, Karina M. “Hubungan Perubahan-Perubahan Sosial Dengan Hukum”. Jurnal
Ilmu. 1 April, 2013.
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama . Cet. III. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000
Abdurrahman, Asjmuni. Sorotan Terhadap Beberapa Masalah Sekitar Ijtihad, Pidato
Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta:
IAIN SUKA, 2016.
Asrowi, A. (2018). Ijma dan Qiyas dalam Hukum Islam. Aksioma Al-Musaqoh: Journal
of Islamic Economics and Business Studies, 1(1).
Iqbal, M. (2013). The reconstruction of religious thought in Islam. Stanford University
Press.
Al-Nadawiy, Ali Ahmad. "Mawsu’ah al-Qawa’id wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah al-
Hakimah li-al-Mu’amalat al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islamiy." Riyadh, Dar Alam al-
Ma’rifah (1999).
Al-Qardlawi, Y. (1996). Al-Ijtihad Fi al-Syari’ah al-Islamiyyah Ma’a Nazharat
Tahliliyyah Fi al-Ijyihad al-Mu’asir. Kuwait: Dar al-Qalam.
Al-Qahthani, M. bin A. bin M. (2003). Manhaj Istinbath Ahkam al-Nawazil al-Fiqhiyyah
Soekanto, S. (1984). Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Ghalia
Syarifuddin, A. (1990). Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam (Cet. X). Padang:
Angkasa Rayas.
Rusyd, A. al-W. M. bin A. I. (2004). Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid (Juz
I). Kairo: Dar al-Hadits
Hassan, A. (1994). Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Penerjemah Agah Garnadi. Bandung:
Pustaka.
Al-Baqi, M. F. A. (1981). Al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfazh al-Qur'an al-Karim. Beirut:
Dar al-Fikr.
H.M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 2014)
Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007)

26
Munir Fuady, Sosiologi Hukum Kontemporer Interaksi Hukum, Kekuasaan, dan
Masyarakat (Bandung: Citra Aditya, 2007)

Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 18, Nomor 1, Januari-Juni 2019

Zainal Muttaqin, HADITS DAN PERUBAHAN SOSIAL, Vol.4, Samawat Journal Of


Hadith And Quranic Studies, 2020

Fathurrahman Azhari, PERJALANAN IJTIHAD DALAM PERKEMBANGAN FIKIH,


Vol.14, Jurnal.UIN-Antasari.ac.id, 2014

Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Kairo:Dar al-Syuruq, 1979 M.)


Asrowi, Ijma dan Qiyas Dalam Hukum Islam, Vol.1, Jurnal Aksioma Al-Musaqoh, 2018

Arifana Nur Kholiq, RELEVANSI QIYAS DALAM ISTINBATH HUKUM


KONTEMPORER, Vol.1, ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, 2014

Ali Ahmad al-Nadawiy, Mawsu'ah al-Qawa'id wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah alHakimah


li-al-Mu'amalat al-Maliyah fi alFiqh al-Islamiy, (Riyadh: Dar 'Alam alMa'rifah, 1999)

Yusuf al-Qardhawi, Min Ajli Shahwatin Râsyidah Tujaddidu ad-Dîn wa Tanhadhu bi ad-
Dunyâ, terj. Rusydi Helmi, Membangun Masyarakat Baru, (Jakarta: Gema Insani Press. 2000),

27

Anda mungkin juga menyukai