Anda di halaman 1dari 20

ECONOMIC VALUE OF TIME

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas : Mata Kuliah :Manajemen Keuangan Syariah

Dosen Pengampu : Dr. Yusran Zainuddin, SE.,MM

Oleh:

Zulkifli Repikasa Asipu (194022018)

PERBANKAN SYARIAH 3B
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
GORONTALO
2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah atas limpahan Rahmat, Taufiq, serta Hidayah Nya sehingga
tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah banyak
memberikan inspirasi kepada penulis sehingga terselesaikanlah tugas makalah ini.
walaupun masih banyak kekurangan, sebagaimana kata pepatah “Tak ada gading yang tak retak”
untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penyusun.

Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang dengan keikhlasan membantu dalam
proses penyelesaian makalah ini. Kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Yusran
Zainuddin, SE.,MM. Selaku dosen mata kuliah Manajemen Keuangan Syariah.

Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi pembaca. Amin……


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................3
BAB I...........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................................................................4
A.      Latar Belakang..............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................................4
BAB II..........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN............................................................................................................................................6
A. Konsep Economic value of time.....................................................................................................6
B. Kritik terhadap penerapan konsep Time value of money................................................................7
C. Perbandingan konsep Time Value of Money dengan Economic Value of Time.............................9
D. Riba Dalam Perspektif ekonomi Islam.........................................................................................10
BAB III.......................................................................................................................................................27
PENUTUP..................................................................................................................................................27
A. Kesimpulan...................................................................................................................................27
B. Saran.............................................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................................28
BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Dalam membicarakan ekonomi pada umumnya, dan ekonomi Islam pada khususnya,
rasanya janggal jika tidak memulainya dengan membahas “uang”. Apalagi, jika pembahasan
ekonomi ini terfokus pada masalah atau topik moneter dan fiskal. Dimana uang adalah alat
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sejak peradaban kuno mata uang logam sudah menjadi
alat pembayaran biasa walaupun belum sesempurna sekarang.
Oleh karena itu, uang oleh sebagian penduduk dipandang sebagai sesuatu yang sangat
penting. Sebab uang dapat dijadikan alat pemenuhan kebutuhan manusia, alat pemudah aktivitas
ekonomi. Dengan adanya uang yang berfungsi sebagai alat pembayaran akan memudahkan
pertukaran barang, sehingga pekerjaan dijalankan lebih mudah. Kebutuhan muncul karena
system barter ternyata banyak menimbulkan kesukaran. Orang tidak bebas memperjual belikan
barang-barang yang mereka perlukan.
Perbedaan sistem ekonomi yang berlaku, akan memiliki pandangan yang berbeda
tentang uang. Sistem ekonomi konvensional memiliki pandangan yang berbeda tentang uang
dibandingkan dengan sistem ekonomi Islam. Keuangan merupakan hal yang penting dalam
kehidupan ekonomi. Ekonomi adalah suatu aktivitas mengelola uang dan modal dalam rangka
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, masalah keuangan ini perlu mendapatkan
perhatian secara serius.
Teori keuangan konvensional mendasarkan argumennya dengan konseptime value of
money. Sedangkan dalam ekonomi Islam dikenal dengan economic value of time. Islam tidak
mengenal konsep time value of money yang artinya nilai uang untuk masa yang akan datang.
Islam hanya mengenal economic value of timeyang bernilai adalah waktu itu sendiri. Hal ini
menjelaskan mengapa Islam membolehkah deferred paymen pada barang dagangan, harga
barang kredit lebih tinggi dari pada pada pembelian tunai. Bukanlah semata mata karena uang,
akan tetapi lebih kepada waktu yang telah dialokasikan, menagih pembayaran menimbulkan
biaya tersendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep ekonomi value of time?
2. Bagaimana kritik atas time value of money?
3. Perbandingan konsep Time Value of Money dengan Economic Value of Time
4. Bagaimana riba dalam perspektif ekonomi islam?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Economic value of time

Dalam teori ekonomi Islam diakui bahwa manusia memiliki kebutuhan sesuai dengan
fitrah dalam dirinya. Namun cara yang ditempuh guna memenuhi kebutuhan tersebut, manusia
tidak bebas boleh melakukan hal apa saja sesuai dengan keinginan. Karena manusia dibatasi
oleh hukum (syariat) dan nilai-nilai yang diyakininya (akidah dan akhlak). Dalam keuangan
Islam tidak terdapat asumsi bahwa sejumlah uang akan memberikan fixed income karena dalam
keuangan Islam tidak memiliki konsep fixed pre-determined return melalui konsep bunga
(interest based economy). Konsep fixed pre-determined return merupakan konsep pemastian
keuntungan atas sejumlah uang, sehingga sangat logis jika orang akan lebih suka memegang
uang saat ini dibanding nanti, karena ada keuntungan pasti dengan memegang uang saat ini, atau
jika seseorang tersebut harus memegang uang tersebut nanti maka harus ada kompensasi atas
keuntungan yang “seharusnya’ dia dapatkan.

Keuntungan dalam konteks ekonomi Islam haruslah diperoleh setelah menjalankan


aktivitas bisnis, yang masih menjadi pertanyaan adalah apa ukuran yang dapat digunakan untuk
menetapkan besarnya keuntungan yang diramalkan?, sedangkan dalam keuangan modern kita
mengenal adanya interest rate yang dilarang oleh Islam. Dalam ekonomi Islam penggunaan
sejenis discount rate dalam menentukan bai’ mu’ajjal (membayar tangguh) dapat dibenarkan
dengan alasan: (1) jual beli dan sewa menyewa adalah sektor riil yang menimbulkan economic
value added (nilai tambah ekonomis) dan (2) tertahannya hak si penjual (uang pembayaran)
yang telah melaksanakan kewajiban (menyerahkan barang dan jasa), sehingga tidak dapat
melaksanakan kewajibannya kepada pihak lainnya. Demikian juga dengan penggunaan discount
rate dalam menentukan nisbah bagi hasil. Nisbah harus dikalikan dengan pendapatan aktual
(actual return) bukan dengan pendapatan yang diharapkan (expected return). Pada prinsipnya
transaksi bagi hasil berbeda dengan transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa. Dalam
transaksi bagi hasil, hubungan yang terjadi adalah hubungan antara pemodal (shahibul maal)
dengan pengelola (mudharib). Hak bagi shahibul maal dan mudharib adalah berbagi hasil atas
pendapatan atau keun tungan yang diperoleh sesuai dengan kesepakatan awal.
Syariah Islam menganjurkan untuk selalu menginvestasikan uang dalam usaha yang
produktif. Investasi dalam usaha yang produktif menjadi inti dari konsep keuangan menurut
syariah Islam. Dalam kegiatan investasi kita tidak dapat menuntut secara pasti pendapatan atau
keuntungan dimasa depan. Karena hasil dari investasi dimasa yang akan datang sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor yang dapat diprediksi maupun faktor yang tidak
dapat diprediksi. Faktor- faktor yang dapat diprediksikan atau dihitung sebelumnya seperti:

a) banyaknya modal yang dibutuhkan,


b) besarnya nisbah yang disepakati,
c) tingkat perputaran modal.

Sedangkan faktor yang tidak dapat dihitung secara pasti adalah return (pendapatan
investasi). Sehingga nilai waktu uang yang diformulasikan dalam bentuk bunga tidak sesuai
dengan syariah Islam, konsep economic value of time menekankan bahwa waktulah yang
memiliki nilai ekonomi bukan uang yang memiliki nilai waktu.

B. Kritik terhadap penerapan konsep Time value of money

Saat ini penerapan konsep time value of money didasarkan pada judgement nilai yang
subyektif dan bauran estimasi. Beberapa kesulitan dalam penerapan konsep time value of money
adalah sebagai berikut:

a. Teknik nilai waktu uang harus diterapkan, kecuali jika kita menilai cash flow yang pertama
(pada project investasi) yang selalu menunjukan tanda negatif, sedangkan semua subsekuen
arus kas masuk (di masa yang akan datang) harus menjadi positif. Jika tidak, kemungkinan
tidak ada tingkat (bunga) yang unik sehingga akan mendiskon flow back kembali ke
investasi semula ( Gambling & Karim, 1991).
b. Konsep time value of money berasumsi bahwa discounting factor harus positif (Gambling &
Karim, 1991). Asumsi ini juga merupakan sesuatu yang tidak riil. Pada kondisi
perekonomian mengalami laju inflasi yang tinggi, discount factor (seperti: tingkat bunga)
dapat menjadi negatif. Sehingga anggapan bahwa nilai uang sekarang selalu lebih besar
dibanding pada masa yang akan datang tidak selalu benar. Hal ini tergantung pada kondisi
pribadi masing- masing, lingkungannya, kemungkinan masa depan dan resiko yang ada pada
masa depan.
c. Konsep time value of money mengasumsikan bahwa ada pasar yang efisien untuk cash flow
pada masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa pasti ada cash flow akan dihasilkan
dimasa yang akan datang dan diinvestasikan secara menguntungkan serta pasti ada pasar
seperti ini. Namun dalam kenyataan hal tersebut hanya sebatas harapan dan belum pasti akan
terjadi dan dilaksanakan.
d. Konsep time value of money beranggapan bahwa perusahaan mampu melakukan ekspansi
yang tidak terbatas pada masa yang akan datang tanpa invalidating model (Gambling &
Karim, 1991).
e. Tidak ada dasar objektif untuk “pengubahan harapan mengenai aliran kas pada masa yang
akan datang kedalam nilai itu sendiri atau ekuivalen tertentu tanpa mengetahui preferensi
resiko pengguna informasi, sehingga penyesuaian yang menggunakan discount rate yang
subyektif secara konseptual adalah tidak cocok (Hendriksen, 1990).
f. Konsep time value of money hanya menerapkan faktor waktu dan aliran kas yang
diharapkan. Maka semua faktor ekonomi, tekhnologi, politik dan sosial lainnya adalah
diabaikan. Sebagaimana diketahui profitabilitas aset atau bisnis sangat tergantung pada
banyak faktor. Oleh karena itu analisis yang didasarkan pada dua faktor tersebut tidaklah
realible.
g. Konsep time value of money tidak cocok untuk akuntabilitas manajemen. Karena metode ini
tidak menjadi jelas, apakah pendapatan yang diharapkan melalui metode ini menunjukan
pada upaya menajemen atau beberapa faktor lainnya.
h. Saat discounting untuk masa depan, hal ini sering kali lupa bahwa perusahaan itu telah
berada pada masa lalu dan sekarang. Kejadian masa lalu dan lingkungan saat ini secara
keseluruhan diabaikan, walaupun pada saatnya faktor tersebut tidak relevan.
i. Tujuan time value of money adalah mengestimasi pendapatan perusahaan, yang merupakan
hasil dari kejadian pada masa yang lalu. Tetapi tidak menggunakan data masa lalu untuk
mengestimasikannya, melainkan menggunakan informasi untuk memprediksi pendapataan
di masa depan. Konsep time value of money tidak memberikan suatu kriteria penilaian
prediksi yang dibuat oleh manajemen (Hendriksen, 1990: 149).
j. Dalam kehidupan nyata, ketidakpastian adalah mutlak, sedangkan harapan merupakan
cerminan dari mood seseorang yang membuat estimasi, yang sangat dipengaruhi oleh
optimisme dan pesimismenya. Bagi manusia adalah sulit untuk melihat masa depan secara
realistik (Muhammad, 2003).
k. Aliran kas yang diharapkan dimasa depan adalah disesuaikan untuk ketidakpastian dengan
menggunakan probabilitas realisasinya. Probabilitas bersifat sangat subjektif. Hal ini akan
sama dengan penyesuaian yang dibuat dengan discount rate atas preferensi risiko
(Muhammad, 2003).
l. Produktivitas aset sering tergantung pada kombinasinya dengan aset yang lain atau aktivitas
itu sendiri. Sehingga dalam praktek, hal ini menjadi amat sulit untuk mengestimasikan aliran
kas yang muncul dari salah satu aset tertentu.

Kondisi riil dalam kehidupan bisnis tentu dihadapkan dalam situasi ketidakpastian baik itu
berkaitan dengan tingkat pendapatan (return) maupun tingkat resiko yang diakan dihadapi.
Sehingga dapat disederhanakan bahwa dalam melakukan aktivitas ekonomi misalnya bisnis
tentu masing-masing orang akan berhadapan dengan kemungkinan mendapatkan positive return,
no return atau bahkan mendapatkan negative return.

Dalam ekonomi konvensional, ketidakpastian return ( no return dan negative return)


akan dikonversikan menjadi kepastian return melalui premium for uncertainty.

C. Perbandingan konsep Time Value of Money dengan Economic Value of Time

Hal utama yang membedakan konsep time value of money dengan economic value of
time adalah pada konsep time value of money dasar perhitungan pada kontrak adalah
berdasarkan bunga, sedangkan dasar perhitungan pada konsep economic value of time adalah
nisbah. Konsep economic value of time dalam perhitungannya dapat menggunakan konsep
revenue sharing atau profit sharing. Konsep revenue sharing atau profit sharing akan sangat
berdampak pada tingkat nisbah yang menjadi perjanjian pada kontrak kerjasama. Konsep cost of
fund dalam economic value of time menggunakan Islamic Security Market Line dengan variabel
risk free = 0. Adapun value dari pembiayaan atau investasi yang dilakukan menggunakan
metodologi Net Present Value at Risk. Misalkan dalam hal penentuan nisbah bagi hasil, return
on capital harus diperhitungkan dalam hal ini return on capital tidak sama dengan return on
money. Return on capital sangat tergantung pada jenis bisnisnya dan berkaitan dengan sektor
riil. Sedangkan return on money sangat berkaitan dengan interest rate. Penentuan nisbah bagi
hasil dilakukan diawal kerjasama dan mmenggunakan project return sebagai dasarnya. Apabila
ternyata actual return dari investasi yang dibiayai tidak sama dengan proyeksinya karena ada
faktor yang memang tidak dapat diprediksi, maka yang akan digunakan adalah angka actual
return bukan angka proyeksi return. Sehingga dalam hal ini menunjukan bahwa Islam tidak
setuju dengan konsep time value of money yang memastikan tingkat keuntungan dimasa yang
akan datang. Waktu akan memiliki economic value jika dan hanya jika dimanfaatkan untuk
kegiatan produktif sehingga menjadi suatu capital dan memperoleh suatu return.

Dalam keuangan Islam uang bukanlah suatu komoditas, hanya sekedar alat menilai
barang /jasa atau sebagai alat transasksi. Sehingga ada landasan lain yang digunakan sebagai
pijakan dalam pengambilan keputusan keuangan yaitu akhlak, sehingga ketika preferensi
seseorang terhadap uang yang dikaitkan dengan waktu menjadi tidak relevan. Ketika seseorang
mengambil keputusan investasi secara umum akan membandingkan risk-free interest dengan
ekspektasi keuntungan pada suatu projeck investasi, hal hal ini biasanya konsep time value of
money menjadi konsep intinya. Namun jika kita mendasarkannya pada akhlak dan moral Islam,
ibaratnya secara ekstrim seseorang akan tetap berinvestasi meskipun sedikit returnnya atau
bahkan hanya akan BEP (break even point), jika project investasi tersebut telah memberikan
kemanfaatan bagi orang yang menganggur sehingga akan membuka lapangan pekerjaan.

Kuantitas waktu bagi setiap orang adalah sama yaitu 24 jam per hari per tujuh hari per
minggu. Namun “nilai waktu” tidaklah selalu sama bagi setiap orang. Sedangkan faktor yang
menentukan nilai waktu adalah cara seseorang memanfaatkan waktunya, semakin efektif dan
efisien, semakin tinggi nilai waktu nya.

D. Riba Dalam Perspektif ekonomi Islam

a. Definisi dan Jenis-Jenis Riba

Secara etimologis, kata "ar-riba" bermakna zada wa nama', yang berarti bertambah dan
tumbuh (Abadi, 1998: 332). Di dalam al-Qur'an, kata "ar-riba" beserta berbagai bentuk
derivasinya disebut sebanyak dua puluh kali; delapan diantaranya berbentuk kata riba itu sendiri.
Kata ini digunakan dalam al-Qur'an dengan bermacam-macam arti, seperti tumbuh, tambah,
menyuburkan, mengembang, dan menjadi besar dan banyak. Meskipun berbedabeda, namun
secara umum ia berarti bertambah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Saeed, 1996: 20).

Sedangkan secara terminologis, riba secara umum didefinisikan sebagai melebihkan


keuntungan (harta) dari salah satu pihak terhadap pihak lain dalam transaksi jual beli atau
pertukaran barang yang sejenis dengan tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan tersebut
(Al-Jaziri, 1972: 221). Dalam ungkapan yang lain, riba dipahami sebagai pembayaran hutang
yang harus dilunasi oleh orang yang berhutang lebih besar daripada jumlah pinjamannya sebagai
imbalan terhadap tenggang waktu yang telah lewat waktu (Muslim, 2005: 128).

Dengan mengabaikan perbedaan pendapat yang ada, umumnya para fuqaha' menyepakati
akan adanya dua macam riba, yaitu riba fadl (sebagaimana definisi pertama) dan riba nasi'ah
(sebagaimana definisi kedua). Namun, Abu Zahrah dan Rafiq Yunus al-Misri membuat
pembagian riba yang agak berbeda dengan ulama lainnya. Menurut keduanya, riba dibedakan
atas riba yang terjadi pada hutang-pihutang yang disebut dengan riba nasi'ah dan riba yang
terjadi pada jual beli, yaitu riba nasa' dan riba fadl. Al-Mishri menekankan pentingnya
pembedaan antara riba nasi'ah dengan riba nasa' agar terhindar dari kekeliruan dalam
mengidentifikasi berbagai bentuk riba.

Riba nasi'ah dalam definisi sebagaimana yang dipraktekkan masyarakat Arab Jahiliyyah
dengan ciri utama berlipat ganda dan eksploitatif telah disepakati keharamannya oleh para
ulama. Sementara yang kini menjadi perdebatan adalah riba nasi'ah yang tidak berlipat ganda
dan dalam taraf tertentu dipandang tidak eksploitatif, sebagaimana yang banyak
diperbincangkan mengenai bunga bank (interest). Sementara pada riba fadl masih diperdebatkan
hukumnya di antara ulama dan cendekiawan Muslim. Hassan merupakan salah satu ulama yang
tidak setuju dengan pengharamannya dengan berbagai alasan.

Perbedaan-perbedaan di atas umumnya disebabkan oleh beragamnya interpretasi terhadap


riba. Kendati riba dalam al-Qur'an dan al-Hadits secara tegas dihukumi haram, tetapi karena
tidak diberi batasan yang jelas, sehingga hal ini menimbulkan beragamnya interpretasi terhadap
riba. Selanjutnya persoalan ini berimplikasi juga terhadap pemahaman para ulama sesudah
generasi sahabat. Bahkan, sampai saat ini persoalan ini (interpretasi riba) masih menjadi
perdebatan yang tiada henti.

b. Definisi Bunga (Interest)

Secara etimologis, bunga dalam The American Heritage Dictionary of the English
Language didefinisikan sebagai interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of
the amount loaned (Wirdyaningsih, et.al, 2005: 21). Definisi senada dapat ditemukan dalam
Oxford English Dictionary diartikan sebagai money paid for use of money lent (the principal) or
for forbearance of a debt, according to a fixed ratio (rate per cent). Sedangkan dalam the Legal
Encyclopedia for Home and Business didefinisikan sebagai compensation for use of money
which is due (Tim Pengembangan Bank Syariah, 2001:36) sering diterjemahkan dalam bahasa
Inggris sebagai "usury" yang artinya the act of lending money at exorbitant or illegal rate of
interest (Wirdyaningsih, 2005: 25).

Definisi lain dalam Oxford English Dictionary diartikan sebagai the fact or practice of
lending money at interest; especially in later use, the practice of charging, taking or contracting
to receive, excessive or illegal rate of interest for money for loan. Dalam the Legal Encyclopedia
for Home and Business didefinisikan sebagai an excess over the legal rate of interest for money
for loan. Dalam the legal encyclopedia for homw and business didefinisikan sebagai an excess
over the legal rate charged the borrower for the use of money (tim pengembangan bank syariah,
2001:37).

Dalam sejarah ekonomi Eropa dibedakan antara “usury” dan “interest”. Usury
didefinisikan sebagai kegiatan meminjamkan uang “where more is asked than given”. Kata
“usury” berasal dari bahasa latin “usura’ yang berarti “use” berarti menggunakan sesuatu.
Dengan emikian, usury adalah harga yag harus dibayar untuk menggunakan uang. Sedangkan
kata “intrest” berasal dari bahasa latin “intereo” yang berarti untuk kehilangan “to be lost”.
Sebaian lain mengatakan bahwa interest berasal dari bahasa latin “interesee” yang berarti datang
di tengah (to come in between) yaitu kompensasi kerugian yang muncul di tengah transaksi jika
peminjam tidak mengembalikan sesuai waktu (compensation or penalty for delayed repayment
of a loan). Pada perkembangan selanjutnya, “interest” bukan saja diartikan sebagai ganti rugi
akibat keterlambatan pembayaran hutang, tetapi diartikan juga sebagai ganti rugi atas
kesempatan yang hilanng (opportunity loss) (Rivai’, dkk, 2007:762; karim,2007:42).

Dari definisi ini, terlihat jelas bahwa "interest" dan "usury" yang kita kenal saat ini pada
hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam prosentase.
Istilah"usury" muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga
penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap "wajar". Namun setelah
mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu
tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.

c. Kritik Terhadap Teori-Teori Bunga

Dalam sistem ekonomi kapitalis, bunga merupakan unsur yang sangat penting. Bahkan
dapat dikatakan bahwa darah perekonomian sistem kapitalis adalah bunga. Namun ternyata,
berbagai teori bunga tidak mampu menjelaskan secara pasti apakah bunga diperlukan dalam
suatu perekonomian atau apakah bunga berperan mendorong investasi nyata dan bukan
mendorong untuk berspekulasi. Untuk itu perlu dilakukan analisis secara mendalam terhadap
teori-teori bunga.

Secara umum, perkembangan teori bunga dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu
Teori Bunga Murni (Pure Theory of Interest) dan Teori Bunga Moneter (Monetary Theory of
Interest). Para pakar ekonom yang mendukung kelompok teori pertama diantaranya adalah
Adam Smith dan David Ricardo, mereka sebagai penganut Teori Bunga Klasik (Classical
Theory of Interest), N.W. Senior pelopor Teori Bunga Obstinence (Abstinence Theory of
Interest), Marshall sebagai pelopor Teori Bunga Produktivitas (Productivity Theory of Interest)
dan Bohm Bawerk, pelopor teori bunga Austria (Austrian Theory of Interest). Sementara itu,
pendukung kelompok teori kedua adalah A. Lerner sebagai pelopor The Loanable Funds Theory
of Interest dan Keynes pelopor teori bunga keseimbangan kas . (keynesian Theory of Interest)
(tim pengembangan bank syariah, 2001:41-42)

Dalam khasanah ekonomi klasik, tokoh yang terkenal adalah Adam Smith dan David
Ricardo. Penganut teori bunga klasik memandang bahwa bunga sebagai kompensasi yang
dibayarkan kepada pemberi pinjaman oleh peminjam sebagai jasa atas keuntungan yang
diperoleh dari uang pinjaman. Oleh karena itu, bunga sebagai harapan balas jasa atas tabungan.
Karena orang tidak akan menabung tanpa adanya harapan balas jasa tabungan, sehingga teori
bunga ini berpandangan bahwa ekonomi tanpa bunga tidak mungkin bisa berjalan (Muhammad,
2001: 13).

Selain itu, Adam Smith dalam Rahman (2002: 17) memandang masalah bunga sebagai
suatu masalah harga khusus dan menekankan pentingnya bunga dengan 2 (dua) landasan, yaitu
(1) untuk membangkitkan supply modal yang cukup; dan (2) karena pentingnya keuntungan
yang memungkinkan berkelanjutannya modal. Namun ternyata, teori ini memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya adalah tidak setiap penabung berniat meminjamkan uangnya, sehingga
tanpa bunga orang juga bersedia untuk menabung, dan bank ketika meminjamkan uang sama
sekali tidak logis dikatakan sebagai pengorbanan (Muhammad, 2001: 15).

Sementara itu, teori bunga abstinence yang dipelopori oleh Senior berpandangan bahwa
bunga adalah harga yang dibayarkan sebagai tindakan menahan nafsu (abstinence). Menurutnya,
tindakan menahan nafsu ini merupakan tindakan untuk tidak mengkonsumsi atau melakukan
kegiatan produksi sehingga jika seseorang meminjam uang kepada orang lain, maka ia harus
membayar sewa atas uang yang dipinjamnya (Antonio, 2001: 69).
Teori ini dikritik dengan alasan bahwa penderitaan akibat pengorbanan "tahan nafsu"
berbeda menurut tingkat pendapatan penabung. Atau dapat saja penabung tidak memilih untuk
meminjamkan uangnya agar tabungannya tetap likuid. Dengan demikian tidak ada alasan
baginya untuk mendapat bunga (tim pengembangan bank syari’ah, 2001:69).

Pandangan Marshall sebagai pelopor teori bunga produktivitas berbeda dengan


pendahulunya. Teori ini memperlakukan produktivitas sebagai suatu kekayaan yang terkandung
dalam kapital dan produktivitas kapital tersebut dipengaruhi oleh suku bunga. Suku bunga itu
sendiri ditentukan oleh interaksi kurva penawaran dan permintaan tabungan. Jika penawaran
tabungan lebih besar dari permintaan tabungan, maka suku bunga akan turun dan investasi akan
meningkat. Sebaliknya, jika permintaan tabungan lebih besar dari penawaran tabungan, maka
suku bunga akan naik dan investasi akan turun (Muhammad, 2001: 13).

Kritik terhadap Smith, Ricardo dan Senior dapat juga dipakai untuk menunjukkan
kelemahan teori Marshall. Sekarang disadari bahwa yang menjamin keseimbangan antara
tabungan dan investasi adalah tingkat pendapatan, bukan suku bunga. Perubahan tingkat suku
bunga pengaruhnya sangat kecil terhadap tabungan. Peningkatan atas tabungan tidak selalu
diikuti oleh peningkatan atas investasi atau dapat dikatakan bahwa investasi tidak dipengaruhi
oleh tinggi rendahnya tingkat suku bunga. Hal ini bisa dibuktikan bahwa dalam kondisi depresi,
misalnya, meskipun terjadi penurunan tingkat suku bunga, tetapi fakta menunjukkan bahwa
investasi tidak meningkat. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa tingkat suku
bunga ditentukan oleh produktivitas kapital adalah alasan yang berputar-putar karena
produktivitas kapital itu sendiri ditentukan oleh tingkat suku bunga (Tim Pengembangan Bank
Syari’ah:42)

Sementara Bohm Bawerk telah mengembangkan teori bunga yang mirip dengan teori
yang dikembangkan oleh Senior. Pelopor teori bunga Austria atau time preference theory ini
berpendapat bahwa produktivitas marginal barang sekarang lebih tinggi daripada produktivitas
marginal barang untuk masa yang akan datang. Teori ini digeneralisasi atas dasar pandangan
psikologis yang sangat subyektif sehingga membuat pemahaman akan teori bunga menjadi salah
kaprah. Pertama, sebagian besar masyarakat menabung bukan atas pertimbangan agar
tabungannya pada masa mendatang akan lebih banyak dibanding dengan waktu sekarang,
melainkan untuk tujuan tertentu, seperti sekolah, perkawinan, masa pensiun, dan sebagainya.
Kedua, masyarakat menengah ke atas melakukan pemupukan kekayaan dengan tujuan untuk
prestise dan kedudukan sosial, jadi bukan karena produktivitas marginal barang sekarang lebih
tinggi daripada barang untuk masa yang akan datang (Tim pengembangan bank syari’ah:43)
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa tidak ada satupun teori bunga murni yang
mampu menjelaskan dan membuktikan bahwa bunga diperlukan dalam suatu aktivitas ekonomi.
Sebagian orang kemudian berpaling ke teori bunga moneter untuk mencoba menjelaskan
bagaimana penentuan tingkat bunga meskipun mereka tidak memiliki dasar yang kuat tentang
definisi bunga itu sendiri. Sedangkan pandangan kelompok teori kedua, yaitu teori Bunga
Moneter, diantaranya adalah Lerner yang menggagas the loanable funds theory. Teori ini
berangkat dari konsep bunga yang berasal dari tabungan dan investasi. Teori ini berpandangan
bahwa bunga ditentukan oleh interaksi penawaran dan permintaan akan dana pinjaman.
Sedangkan teori bunga Keynes berpendapat bahwa tingkat bunga ditentukan oleh permintaan
dan penawaran akan uang.

Oleh karena itu, Keynesian meyakini bahwa tabungan dan investasi selalu sama nilainya
(seimbang). Aliran pertama tidak sependapat dengan hal ini. Menurutnya, mengasumsikan
tabungan yang direncanakan akan selalu sama dengan investasi yang direncanakan adalah tidak
berdasar. Menurut mereka, suku bunga ditentukan oleh harga kredit dan karena itu diatur oleh
interaksi penawaran dan permintaan modal. Teori ini dianggap rancu (Muhammad, 2001: 14)

karena analisisnya mencampuradukkan antara pengertian persediaan (stock) dengan


aliran (flow). Pemikiran teori bunga moneter terakhir dilakukan oleh Keynes. Ia memandang
bahwa bunga bukan sebagai harga atau balas jasa atas tabungan, tetapi bersifat pembayaran
untuk pinjaman uang. Secara umum teori bunga moneter memandang bahwa pembayaran bunga
sebagai tindakan opportunitas untuk memperoleh keuntungan dan tindakan meminjamkan uang.

Oleh karena itu, Keynes menyebutnya sebagai motif spekulasi. Motif ini didefinisikan
sebagai usaha untuk menjamin keuntungan di masa yang akan datang. Dalam teori ini, aktivitas
spekulasi yang dilakukan pelaku ekonomi akan mempengaruhi suku bunga dan silih berganti,
dan akhirnya akan mempengaruhi investasi, tingkat produksi dan kesempatan kerja
(Muhammad, 2001: 14-15).

Sementara itu, Islam melarang segala bentuk spekulasi karena aktivitas dapat
dikategorikan sebagai maysir (gambling). Jika dicermati, beberapa teori bunga di atas, baik dari
kelompok teori bunga murni maupun teori bunga moneter ternyata memiliki sejumlah
kelemahan. Kedua kelompok teori tersebut tidak mampu menjelaskan secara pasti apakah bunga
diperlukan dalam suatu perekonomian atau apakah bunga berperan mendorong investasi nyata
dan bukan mendorong untuk berspekulasi. Oleh karena itu, gugatan mulai muncul berkenaan
dengan teori bunga tersebut sampai akhirnya muncullah tawaran solusi alternatif dengan
munculnya teori bagi hasil di perbankan syari'ah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa, Ekonomi Islam adalah
ekonomi yang berbasis bagi hasil. Dalam ekonomi bagi hasil, maka yang digunakan untuk
mekanisme ekonominya adalah nisbah bagi hasil dan returnusaha yang terjadi secara riil. Inilah,
maknanya ajaran islam yang menganjurkan menggunakan konsep Economic Value of Time.
Artinya, waktulah yang memiliki nilai ekonomi, bukan uang memiliki nilai waktu.

faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu.
Semakin efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), maka akan semakin tinggi nilai waktunnya.

B. Saran

Sebagai muslim, kita dituntut untuk menerapkan keislaman dalam seluruh aspek kehidupan,
termasuk dari aspek ekonomi. Maka mempelajari ekonomi Islam adalah suatu keharusan, agar
setiap kegiatan ekonomi yang kita lakukan tidak bertentangan dengan apa yang ada di dalam Al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
DAFTAR PUSTAKA

Gambling. T. & R.A.A Karim. 1991. Islam and Social Accounting. Journal of Business
Finance and Accounting. Vol. 13. 1.

Hendriksen, Eldon S. 1990. Accounting Theory. Homewood. Illionis: Richard D. Irwin.

Karim, Adiwarman A. 2007. Ekonomi Makro Islami. Rajawali Press. Jakarta. Muhammad.
2003. Pengantar Akuntansi Syariah. Jakarta: Salemba Empat Tim Penyusun. 1999. Kamus
Perbankan. Jakarta: Kerjasama BI, IBI dan Pusat Pengembangan Bahasa.

Frank E.Vogel dan Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance: Religion, Risk, and Return,
terj. M. Sobirin, dkk, Bandung: Nusamedia, 2007.
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos
Publishing House, 1995.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah, Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
Mannan, Muhammad Abdul, Islamic Economic, Theory and Practice, terj. Nastangin,
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997.
Masyhuri, dkk., Teori Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada bank Syari'ah, Yogyakarta:
UUI Press, 2001.
---------------, Manajemen Bank Syari'ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005.
--------------, Dasar-Dasar Keuangan Islam, Yogyakarta: 2005.
Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta:
Kencana, 2006. Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE,
2007.
Muslihun Muslim, Fiqh Ekonomi, Mataram: LKIM, 2005.
Nispan Rahmi, "Konsep Ibnu Qayyim al-Jawziyah Tentang Riba", dalam Tesis
Magister Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001.
Ridha, Al-Manar, Mesir: Mathba'ah M. Ali Shihab wa Abduh, 1374 H.
Tim Pengembangan Perbankan Syari'ah Institut Bankir Indonesia, Bank
Syari'ah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan,
2001.
Ugi Suharto, “Paradigma Ekonomi Konvensional dalam Sosialisasi Ekonomi
Islam”, dalam ISEFID Review, Vol.3, No.3, 2004.
Veithzal Rivai, dkk, Bank and Financial Institution Manajement Conventional
and Sharia System, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar
al-Fikr, 1989. Wirdyaningsih, et.al, Bank dan Asuransi Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
Zainul Arifin, Memahami Bank Syari’ah, Jakarta: Alvabet, 1999.
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance, Wiley:
John Wiley and Sons (Asia) Pte Ltd, 2007.

Anda mungkin juga menyukai