Anda di halaman 1dari 123

MODUL MODERASI BERAGAMA

Editor:
Dr. Agus Hermanto, M.H.I

Penulis:
KONSEP MODERASI BERAGAMA
Siti Wuryan, M.Kom.I
Zuhrotul Khulwah, ME
Zulaikhah, M.Sos.I

HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA


Gesit Yudha, M.I.P
Masrukhin, Lc., Ph.D
Rizki Gunawan, M.Pd.I

MULTIKULTURALISME DALAM BINGKAI MODERASI


Rudy Irawan, S.PdI, M.S.I.
Muhammad Adib, M.Pd
Rudi Santoso, M.H.I., M.H

TOLERANSI DALAM BERAGAMA


Suhendar, SE
Nurwahyudi, M.Pd.I
Erik Rahman Gumiri, M.H.I

RADIKALISME DALAM BERAGAMA


Ahmad Muttaqin, M.Ag
Is Iswanto, ME
Muhammad Anas, M.H.I

1
KATA PENGANTAR

Dr. Hj. Erina Pane, SH., M.Hum.


(Ketua LP2M UIN Raden Intan Lampung)

Moderasi beragama adalah salah satu misi Kementerian Agama yang harus
diwujudkan saat ini. Untuk mewujudkan misi tersebut, Kementerian Agama telah
mendorong lembaga pendidikan untuk turut ambil bagian di dalamnya. Salah
satunya dengan keluarnya Surat Edaran Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama
Nomor B-3663.1/Dj.I/BA.02/10/2019 tertanggal 29 Oktober 2019 tentang Edaran
Rumah Moderasi Beragama, Dalam edaran tersebut, setiap Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam Negeri wajib mendirikan Rumah Moderasi Beragama. Bahkan, saat
ini moderasi beragama telah didudukkan sebagai modal sosial dalam RPJMN
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2020-2024 dan menjadi
program prioritas Kementerian Agama dengan ditetapkannya Peraturan Menteri
Agama Nomor 18 Tahun 2020 tentang Renstra (Rencana Strategis) Kementerian
Agama Tahun 2020-2024. Hal ini kemudian diturunkan dalam Rencana Strategis
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Tahun 2020-2024 yang ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 4475 Tahun 2020. Berdasarkan
perkembangan informasi terbaru mengenai hal tersebut, saat ini sudah hamper
seluruh PTKIN baik UIN, IAIN, maupun STAIN yang sudah memiliki atau
mendirikan Rumah Moderasi Beragama. Hal ini tentu menjadi bukti adanya gerakan
secara secara terstruktur di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam di bawah
koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Meskipun demikian sampai saat ini
belum ada kesepakatan atau keseragaman pola pengembangan rumah moderasi yang
ada di PTKIN baik terkait dengan struktur kelembagaannya, program kerjanya,
maupun dukungan lain termasuk aspek finansial. Mayoritas PTKIN masih
menempatkan Rumah Moderasi Beragama sebagai Lembaga Non Struktural setingkat
dengan pusat-pusat studi yang ada di kampus. Sementara jika dilihat dari tuntutan
kinerjanya yang begitu besar, semestinya dapat ditempatkan sebagai unit yang lebih
besar dan posisinya di tingkat universitas/institut di bawah koordinasi langsung dari
Wakil Rektor atau Pembantu Ketua.
2
Banyak fakta terkait dengan masalah moderasi beragama di Indonesia. Salah
satunya hasil riset yang telah dilakukan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2019. Riset ini
mengkaji tentang dinamika moderasi beragama yang dilakukan oleh negara dengan
mengambil fokus 8 (delapan) daerah di Indonesia yang dianggap representatif.
Temuan dari riset ini diantaranya adalah mendorong adanya sosialisasi program
moderasi beragama; perlunya mengangkat nilai-nilai kearifan lokal dalam penguatan
moderasi beragama; dan pelibatan tokoh-tokoh agama, suku, atau kelompok yang
memiliki potensi konflik baik secara fisik, ideologi, maupun pemahaman umat
beragama. Dalam berbagai media massa sering ditemukan fakta tentang kekerasan
yang mengatasnamakan agama. Misalnya adanya pembubaran kegiatan keagamaan
yang dilakukan oleh komunitas atau pemeluk agama tertentu, pelarangan atau
pengusiran seseorang dari masyarakat karena beda agama, dan berbagai kasus
lainnya. Meskipun hal-hal itu dapat saja dianggap sebagai perilaku oknum, tetapi
tentu saja akan berbahaya apabila dibiarkan dan bukan tidak mungkin akan menjadi
permasalahan secara nasional.
Pengembangan moderasi beragama di perguruan tinggi dapat dilakukan
dengan beberapa skema. Pertama, moderasi beragama menjadi mata kuliah yang
diajarkan di perguruan tinggi. Pola ini menempatkan moderasi beragama sebagai
sebuah ilmu dan materi yang perlu diajarkan secara formal sebagai mata kuliah wajib
baik institusional maupun fakultas. Pola ini bagus diterapkan untuk memberikan
kepastian bahwa muatan moderasi beragama benar-benar sampai kepada mahasiswa
dan terukur tingkat pemahaman dan capaian pembelajarannya. Namun demikian
dengan pola ini, bisa berakibat pada minimnya tanggung jawab dari semua pihak di
lingkungan kampus, karena menganggap bahwa moderasi beragama adalah mata
kuliah sehingga pengampunya yang memegang tanggung jawab utamanya.
Kedua, moderasi beragama menjadi muatan baik pengetahuan, sikap, maupun
keterampilan yang diintegrasikan atau diinternalisasikan pada banyak mata kuliah
yang relevan. Dengan demikian moderasi beragama dapat menjadi salah satu chapter
atau pokok pembahasan, atau menjadi issu yang dijadikan fokus kajian yang
dikaitkan dengan pokok-pokok bahasan pada mata kuliah lain. Misalnya, pada mata
3
kuliah Sejarah Peradaban Islam, salah satu pendekatan yang diterapkan adalah
mengkaji berbagai contoh penerapan moderasi beragama dalam perjalanan sejarah
Islam. Pada mata kuliah ilmu kalam, moderasi beragama dapat dijadikan salah satu
muatan sikap dan perilaku yang ditanamkan dengan dikaitkan pemikiran-pemikiran
para tokoh ilmu kalam, pemahaman yang benar terhadap tauhid, dan sebagainya.
Pada mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan dapat dikaitkan dengan
pemahaman sikap toleransi beragama dan penguatan wawasan kebangsaan yang
tidak ekslusif. Hal yang sama dapat dilakukan pada mata kuliah lain baik mata kuliah
ke-Islaman maupun mata kuliah lainnya.
Ketiga, moderasi beragama menjadi lembaga atau unit khusus yang
dikembangkan dengan berbagai program yang diberikan kepada semua civitas
akademika PT, baik kepada dosen, mahasiswa, maupun para tenaga kependidikan.
Dengan demikian moderasi beragama bukan hanya menjadi tanggungjawab sebagian
orang di kampus, tetapi menjadi tanggungjawab semua orang sesuai dengan
kewenangannya masing-masing. Pola ini menjadikan Rumah Moderasi Beragama
menjadi sentral pengembangan moderasi beragama, memberikan pendampingan,
layanan aduan, dan juga pengembangan berbagai referensi dan bahan yang
dibutuhkan. Pola ini lebih bersifat massif dan sistematis ketika rumah moderasi sudah
masuk ke dalam struktur organisasi dan tata kerja (Ortaker) perguruan tinggi.
Lingkup kerja dari Rumah Moderasi Beragama tidak hanya untuk kalangan internal
perguruan tinggi, tetapi juga memberikan layanan kepada masyarakat melalui
berbagai kegiatan riset, pembinaan, pelatihan, pendampingan, dan sebagainya.
Mengingat pentingnya beberapa poin tersebut di atas, maka kami memandang
bahwa kegiatan Workshop Kurikulum Moderasi Beragama ini patut diapresiasi
sebagai bukti komitmen kita dalam mewujudkan pengintegrasian antara kurikulum
dengan moderasi beragama. Semoga apa yang kita lakukan hari ini, akan menjadi
catatan amal baik bagi kita semua. Aamiin

4
KATA PENGANTAR

Allahamdulillahirabbil ‘Alamin, dengan ijin Allah swt., modul modersi beragama


ini dapat terselesaikan dengan baik, walaupun masih terdapat beberapa koreksi, saran
dan kritikan yang membangun tentunya agar karya nyata ini dapat lebih bernanfaat.
Shalawat dan salam senantisa terlimpahkan kepada baginda Rasulullah saw., yang
telah memberikan suri tauladan kepada kita dalam menyampaikan risalah Islamiyyah
bil hanifati samhah (dengan cara yang baik), sehingga menjadi sebuah perdamaian dan
bukan sebaliknya yaitu permusuhan.
Dewasa ini umat Islam menghadapi tantangan internal maupun eksternal yang
sangat kompleks, termasuk Islam di Indonesia. Secara internal, umat Islam masih
berada dalam keterbelakangan pendidikan, ekonomi, dan politik. Sementara pada saat
yang sama, secara eksternal, banyak tuduhan dialamatkan kepada Islam, mulai dari
tuduhan terorisme, anti-kemajuan, memusuhi wanita, dan sebagainya1, kenyataan itu
secara tidak langsung menjadikan Islam berada pada posisi marginal.
Dari faktor internal, yang dihadapi umat Islam saat ini selain keterbelakangan
dalam berbagai sisi, umat Islam saat ini juga terkotak menjadi beberapa golongan
yang berbeda dalam pemahaman keagamaan; pertama, kecenderungan sebagian
kalangan umat Islam yang bersikap ekstrem dan ketat dalam memahami agama
(Islam) serta hukum-hukumnya dan mencoba memaksakan cara tersebut di tengah
masyarakat muslim, bahkan dalam beberapa hal dengan menggunakan kekerasan
yang kemudian sering kita identifikasi sebagai Islam koserfatif kanan; kedua,
kecenderungan lain yang juga ekstrem dengan bersikap longgar dalam beragama dan
tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan
peradaban lain2 kemudian sebaliknya sering kita identifikasi sebagai Islam kiri.
Hal itu disebabkan karena sebagian umat Islam terjebak dalam kekeliruan
memahami beberapa aspek ajaran Islam, akibatnya melahirkan tindakan-tindakan

1 Muklis M. Hanafi, “Peran Al-Azhar dalam Penguatan Moderasi Islam” Paper pada Seminar
Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional (IAAI) cabang Indonesia bekerja sama dengan Kedutaan Besar
Mesir di Jakarta dan Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2 Lihat Achmad Satori Ismail, et.al., Islam Moderat: Menebar Islam Rahmatan lil ‘Alamin,

(Jakarta: Pustaka Ikadi, 2007), cet. ke-1, h. 13-14.


5
yang bertentangan dengan Islam. Beberapa data berikut ini menandakan indikasi
bahaya radikalisme atas nama agama dan intoleransi : hasil survei Pusat Pengkajian
Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta di tahun 2017 menemukan ada 34,3%
responden yang terdiri dari anak muda setuju bahwa jihad adalah gerakan melawan
nonMuslim.
Sedangkan tindakan kekerasaan agama dipicu salah satunya oleh intoleransi
dan dapat berubah menjadi terorisme sebagai bentuk paling akhir (Perkasa 2016).
Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tentang radikalisme di
kalangan siswa dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, Oktober
2010-Januari 2011: hampir 50 % setuju tindakan radikal; 25% siswa dan 21% guru
menyatakan Pancasila tidak relevan; 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan
penerapan Syariat Islam; 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan. CSIS 2012:
33,4% tidak mau bertetangga dengan orang yang berlainan agama; 25% tidak percaya
kepada umat agama lain, dan 68% menentang pembangunan tempat ibadah agama
lain di lingkungannya.The Pew Research Center, 2015: Sekitar 10 juta orang warga
Indonesia mendukung ISIS - sebagian besar dari mereka merupakan anak-anak muda.
Pertengahan tahun 2018, Wahid Foundation dalam laporannya tahun 2014, ditemukan
bahwa dari 230 organisasi yang telah berdiri sejak zaman Orde Lama, 147
diidentifikasi sebagai organisasi intoleran, 49 organisasi memiliki kecenderungan
pada radikalisme, dan 34 organisasi terindikasi sebagai kelompok teror. Jejaring
kelompok radikal ini memiliki basis dukungan yang cukup kuat di Indonesia dan
setidaknya, tiga dari 49 kelompok radikal tadi secara terbuka mencari pendanaan
internasional. Meski demikian, kebanyakan dari organisasi radikal ini hanya memiliki
sedikit dukungan di kawasan dan 63% diantaranya hanya eksis di tingkat lokal pada
provinsi tertentu. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
mengemukakan bahwa tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) top di Indonesia telah
terpapar radikalisme. Ketujuh PTN itu adalah Universitas Indonesia (UI), Institut
Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro
(Undip), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair),
dan Universitas Brawijaya (UB).

6
Survei dari Wahid Institute (2020) menggambarkan bahwa sikap intoleransi di
Indonesia cenderung meningkat dari 46% hingga sekarang menjadi 54%.
Kecenderungan meningkat ini di pengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya;
kontestasi politik, ceramah yang bermuatan ujaran kebencian, dan unggahan
bermuatan ujaran kebencian di media sosial. Meningkatnya sikap intoleransi
berakibat kepada tindakan merusak atau berdampak kepada kelompok lainnya di
tengah kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Data di atas menunjukkan bahwa tren
intoleransi dan radikalisme di Indonesia meningkat dari waktu ke waktu.
Salah satu faktor yang berdampak besar dari meningkatnya intoleransi dan
radikalisme adalah ujaran kebencian melalui media sosial. Meningkatnya intoleransi
dan radikalisme di Indonesia tidak dibarengi dengan tren meningkatnya aksi
terorisme. Sejarah mencatat bahwa aksi teror seringkali dilakukan ketika bulan
Ramadhan. Setidaknya tercatat secara berurutan misalnya, pada 5 Juli 2016 kasus bom
bunuh diri di Mapolres Solo, yang terjadi menjelang Ramadhan; pada 23 Mei 2017
terjadi peledakan bom di Kampung Melayu; pada 13 Mei 2018 terjadi peledakan bom
gereja Surabaya, hari berikutnya ada bom di Mapolrestabes Surabaya, dua hari
setelahnya terjadi serangan teror di Mapolda Riau; dan pada 3 Juni 2019 terjadi
serangan bom di Pos Polisi Kartasura, Jawa Tengah3.
Temuan dari Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) (2017)
menunjukkan keberhasilan kelompok radikal dalam menyebarkan ideologinya.
Adapun cara-cara yang digunakan adalah dengan pola baru misalnya, pola
reproduksi jaringan paham radikal sering kali memanfaatkan tindakan permisif
masyarakat terhadap ideologi radikal yang terjadi ketika persoalan-persoalan
struktur, kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan semakin menghimpit
kehidupan mereka4.
Sejarah islamisme menunjukkan keterkaitan erat antara mobilisasi gerakan
radikal dengan perubahan lanskap sosial politik yang bersifat temporal. Indonesia
pernah diwarnai gerakan Darul Islam yang telah menginspirasi persemaian ideologi

3 Azanella, Luthfia Ayu. 2018. “Inilah Deretan Aksi Bom Bunuh Diri di Indonesia.”
Kompas.com, Mei 14
4 Bagir, Zainal Abidin. 2018. “Laporan CRCS: Alternatif Penanganan Masalah Penodaan

Agama.” CRCS UGM. Diambil (https://crcs.ugm.ac.id/laporan-crcs-penanganan-penodaan-agama/).


7
Islamis yang berhaluan “menentang negara” (van Bruinessen 2002). Pengaruh
globalisasi turut mempercepat berkembangnya paham radikalisme. Globalisasi
berimplikasi terhadap penyebaran paham radikalisme karena bukan saja mengancam
nilai-nilai tradisional masya-rakat, tetapi mempersempit jarak spasial maupun
temporal antara satu negara dengan negara lainnya5.
Salah satu implikasi nyata yang sangat dirasakan saat ini adalah munculnya
cara dan ekspresi beragama yang diperankan secara berlebihan dan cendrung radikal.
Agama hanya dipahami secara harfiah atau tekstual semata. Akibatnya, agama
diekspresikan sesuai teks apa adanya tanpa dilakukan interpretasi, kontekstualisasi
atau tafsir secara universal. Secara ekstrim, pemahaman agama yang radikal tersebut
ketika dibawa ke ruang publik maka dipastikan akan mengabaikan nilai-nilai inklusif
yang egaliter dan demokratis yang harus dikedepankan menjadi terganggu.
Akibatnya benturan menjadi tak terhidarkan dengan aliran dan pemahaman
keagamaanlain yang berbeda. Sehingga menjadikan Islam Indonesia rawan dengan
potensi disintegrasi bangsa.
Oleh karena itu, moderasi beragama menjadi penting. Pemeluk agama harus
melakukan interpretasi dan kontekstualisasi terhadap teks suci.Setiap teks dipastikan
memiliki konteks yang tidak serta merta dipahami secara terletak berdasarkan teks
yang harfiah. Penggalian terhadap teks suci dengan interpretasi yang holistikakan
melahirkan pemaknaan yang universal sesuai dengan konteks. Interpretasi akan
menghasilkan konsep-konsep yang operasional untuk diaktualisasikan dalam konteks
kehidupan berbangsa bernegara yang multikultural seperti di Indonesia.
Konsep moderasi Islam di Indonesia, beberapa tokoh memberikan elaborasi
pemikirannya, diantaranya KH. Hasyim Muzadi. Menurutnya Jika moderasi
dimaknai terlalu sempit, maka tidak cukup untuk bisa mengatasi persoalan bangsa.
Moderasi bukan hanya diterapkan pada doktrin keagamaan atau toleransi lintas
agama , tapi harus ditarik kepada persoalan ekonomi, sosial, budaya, dan peradaban.
Selama ini NU telah menempatkan pada posisi yang tepat sebagai pennjaga NKRI dan

5 Rabasa, Angel dan Cheryl Benard. 2014. Eurojihad: Patterns of Islamist Radicali zation and
Terrorism in Europe. New York: Cambridge University Press.
8
memperkuat konsep kebangsaan melalui sikapnya yang tasamuh (toleran), tawassuth
(moderat), dan tawazun (seimbang).
Di Indonesia, meskipun secara eksplisit tercipta kerukunan, pada kenyataannya
kerukunan tersebut berwajah semu. Dengan kata lain, kerukunan yang terbangun
adalah kerukunan yang diliputi kecurigaan. Secara teologis, memahami agama Islam
misalnya, dan kemudian meyakini pemahaman itu sekaligus mengekspresikannya
merupakan bagian dari manifestasi ajaran yang diyakini dan itu merupakan fitrah
dari setiap tindak keberagamaan.
Islam sebagai agama, menekankan adanya kehidupan yang harmonis terhadap
sesama manusia dan mampu membangun masyarakat berperadaban dengan memiliki
sifat terbuka, demokrstif, toleran, dan damai. Untuk itu dalam kehidupan, masyarakat
kiranya dapat menegakkan prinsip persaudaraan dan mengikis segala betuk
fanatisme golongan ataupun kelompok, sebab pada dasarnya setiap agama berfungsi
menciptakan kesatuan sosial, agar manusia tetap utuh dibawah semangat panji-panji
ketuhanan. Seperti diketahui, konflik dan kekerasan kolektif yang melibatkan agama
telah menjadi masalah yang sering timbul dalam beberapa tahun terakhir ini. Konflik
dan kekerasan tersebut dapat berupa konflik antarumat beragama (interreligious).
Contohnya adalah konflik pembangunan rumah ibadat yang terjadi di berbagai
daerah di Indonesia. Contoh yang lain adalah konflik di ambon dan poso beberapa
tahun lalu. konflik rumah ibadat ini terutama terjadi di antara kaum Muslim dan
Kristen. Ada banyak analisis dan pandangan mengenai fakta tersebut.Salah satu
faktor penyebab konflik ini terjadi karena perbedaan pendapat atara penganut
agama.Pemikiran yang tidak sepaham melahirkan masyarakat yang berkelompok dan
mengakibatkan perpecahan antara masyarakat.
Sikap moderasi merupakan sikap yang menghubungkan antar unsur yang
berbeda atau mencari titik temu diantara unsur-unsur yang berbeda. Kolaborasi
berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, pendidikan,
ilmu pengetahuan dan lain-lain. Tujuan kolaborasi adalah untuk menjawab
permasalahan baru, dengan cara baru, dan untuk menghasikan jawaban baru.
Moderasi beragama menghendaki kolaborasi internal dan eksternal pemeluk agama

9
untuk menjawab berbagai tantangan dunia sehingga ditemukan cara-cara baru dan
sekaligus jawaban baru dalam mengatasi berbagai permasalahan baru.
Maka secara khusus dalam hal ini, Pendidikan tinggi keagamaan islam
terutama yang berada dibawah kemenag memiliki kewajiban untuk terlibat dalam
upaya menafsirkan dan menginterpretasi teks suci tersebut,sekaligus langkah tersebut
merupakan upaya untuk menyiapkan seperangkap pengetahuan praktis operasional
tentang moderasi beragama yang akan dijadikan rujukan dan refrensi bagi
masyarakat luas. Pendididikan tinggi memiliki peran menanamkan nilai,
mengeksplisitkan nilai, dan mengaktualisasikan nilai. Dengan begitu, masyarakat dan
akademisiakan dijaga, akan dilindungi oleh nilai yang dirumuskan menjadi konsep
moderasi beragama. Sehingga pada gilirannya, nilai moderasi beragama tersebut akan
berperan menjadi subjek yang menjaga, mengatur, dan mengendalikan segala
perilaku. Penguatan nilai-nilai moderasi beragama tersebut dapat berbentuk kegiatan-
kegiatan seperti, penelitian, sosialisasi, advokasi, pemberdayaan dan kegiatan lain
yang relevan dalam lingkup pengamalan tri darma perguruan tinggi.
Konsep besar yang diusung dalam praktik moderasi beragama tersebut adalah
kolaborasi yaitu upaya menghubungkan antarunsur yang berbeda atau mencari titik
temu di antara unsur-unsur yang berbeda.Kolaborasi berlangsung dalam berbagai
aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan dan lain-
lain. Tujuan kolaborasi adalah untuk menjawab permasalahan baru, dengan cara baru,
dan untuk menghasilkan jawaban baru. Moderasi beragama menghendaki kolaborasi
internal dan eksternal pemeluk agama, semua elemen bangsa yang ada untuk
menjawab berbagai tantangan dunia. Sehingga ditemukan cara-cara baru dan
sekaligus jawaban baru dalam mengatasi berbagai permasalahan baru tersebut.
Dengan demikian, sudah waktunya pendidikan tinggi keagamaan Islam wajib
terlibat aktif dalam mengkampanyekan dan menda’wahkan pemahaman islam
moderat di tengah masyarakat, yang menunjukkan sikap toleran, inklusif, egaliter,
dan demokratis. Apalagi penguatan moderasi beragama dipendidikan tinggi sudah
menjadi tuntutan dunia global.Apalagi pendidikan tinggi keagamaan atau pendidikan
tinggi yang di dalamnya memiliki program studi agama. Bahkan, moderasi beragama
menjadi tuntutan bagi pendidikan tinggi umum antara lain dengan cara memasukan
10
materi keagamaan ke dalam kurikulum untuk menghasilkan perilaku sivitas
akademik yang moderat. Pendidikan tinggi harus memiliki konsep dan aksi terkait
moderasi beragama tersebut.
PKMB (Pusat Kajian Moderasi Beragama) UIN Raden Intan Lampung sebagai
bagian dari lembaga perlu mengkaji realitas tersebut dengan upaya pengembangan
keilmuan dan kurikulum dengan menggunakan pendekatan ini menempatkan
wilayah agama dan ilmu dalam posisi yang sejajar, serta antar ilmu saling menyapa
satu dengan yang lainnya sehingga menjadi satu bangunan yang utuh. PKMB
memandang dan perlu menempatakan moderasi beragama yang bersumber nilai-
nilaiuniversal Al-Qur’an dan Al-Sunnah dan berkolaborasi atas aspek kehidupan
nilai-nilai kearifan budaya lokal.
Moderasi berarti berfikir yang moderat, yaitu tidak ifrat dan tidak tafrit, (tidak
berlebihan dan idak mengurangi). Konsep moderasi jauh sebelumnya telah digagas
oleh Muhammad bin Mukrim bin Mandhur al-Afriqy al-Mashry,6 Ibnu ‘Asyural-
Asfahany,7 Wahbah al-Zuḥaily,8 al-Thabary,9 Ibnu Katsir10 dan lain. Sedangkan
Menurut Din Syamsuddin, terdapat pula interpretasi wasathiyah sebagai al-Shirath al-
Mustaqim (jalan yang lurus).11 Menurut Hasyim Muzadi; “al-wasathiyatu hiya al-
tawazzunu baina al-‘aqidah wa al-tasamuh” (Wasathiyah adalah keseimbangan antara
keyakinan (yang kokoh) dengan toleransi).12 Cholil Nafis, “al-Islam ‘ala thariqati al-
wasathiyah” dimana artinya yaitu Islam yang mengikuti jalan wasathiyah.13
Moderasi yang berarti berfikir secara moderat, tidak berlebihan dan tidak
mengurangi, tidak cenderung ke kanan dan tidak kekiri yang merupakan jalan tengan

6 Hafidz, Muh. "The Role of Pesantren in Guarding the Islamic Moderation." INFERENSI: Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan 15.1 (2021): 117-140.
7 Khaira, Suci. "Moderasi Beragama (Studi Analisis Kitab Tafsir Al-Muharrar Al-Wajȋz Karya

Ibnu „Athiyyah)." (2020).


8 Majid, Zamakhsyari Abdul. "The Islamic Moderation On Tafsir Al-Munir." Proceeding

International Da'wah Conference. Vol. 1. No. 1. 2020.


9 Islam, Khalil Nurul. "Moderasi Beragama di Tengah Pluralitas Bangsa: Tinjauan Revolusi

Mental Perspektif Al-Qur’an." KURIOSITAS: Media Komunikasi Sosial Dan Keagamaan 13.1 (2020).
10 Maghfuroh, Ulfatul. "Moderasi Dalam Perspektif Al-Qur’an." (2015).
11 Syamsuddin, M. Din. "Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern Indonesia."

Studia Islamika 2.4 (1995).


12 Dahlan, Moh. "Moderasi Hukum Islam dalam Pemikiran Ahmad Hasyim Muzadi." Al-Ihkam:

Jurnal Hukum dan Pranata Sosial 11.2 (2017): 313-334.


13 Khojir, Khojir. "Moderasi Pendidikan Pesantren di Kalimantan Timur." Ta'dib 23.1 (2020): 95-

106.
11
untuk menyelesaikan konflik. Pada masyarakat Lampung, sejatinya banyak terjadi
konflik, baik yang dipacu oleh adat amupun sentimentil agama, yang kemudian
menimbulkan sikap-sikap radikal. Piil pasenggiri merupakan salah satu kearifan lokal
yang dapat meredam terjadinya konflik pada masyarakat Lampung.
Adapun kasus-kasus konflik yang pernah terjadi di Lampung antara lain;
Pertama, Fenomena konflik kerusuhan yang melibatkan Etnik Bali dan Etnik Lampung
pada tanggal 27 sampai 29 Oktober 2012 di Lampung Selatan.14 Ribuan Warga Desa
Kusumadadi dan Desa Buyut Udik, Kabupaten Lampung Tengah, Kecamatan
Gunungsugih, Lampung Tengah, (22/11/2012).15 Bentrok antarkelompok warga di
Desa Sukadana Udik, Kecamatan Bunga Mayang, Lampung Utara, Lampung diduga
dipicu kematian seorang anak berinisial JP (13). JP diketahui hilang pada Senin 25
Januari 2016.16
Etnifikasi atau proses peminggiran penduduk lokal sebagai akibat migrasi di
Lampung menyebabkan ulun Lampung menjadi minoritas di tengah-tengah
heterogenitas budaya pendatang. Dalam menghadapi marjinalisasi ini, mereka
membangkitkan tradisi (invensi tradisi) dalam rangka memperkuat kesadaran kolektif
melalui pemaknaan piil pesenggiri (harga diri) yang direproduksi dan diartikulasikan
sebagai representasi identitas. Penelitian ini bertujuan menjelaskan pemaknaan piil
pesenggiri sebagai kedayatahanan identitas ulun Lampung yang mereposisi
identitasnya, terkait dengan bagaimana piil pesenggiri diolah sebagai modal budaya
dan strategi budaya di dunia sosial mereka.
Identitas ulun Lampung tidak terlepas dari perkembangan dinamika politik
dan budaya dalam ruang dan waktu. Produksi dan reproduksi piil pesenggiri sebagai
invensi tradisi, yang diolah menjadi modal budaya dan strategi identitas merupakan
resistensi terhadap pendatang sebagai reteritorialisasi dan identifikasi diri. Mengubah
stigma negatif piil pesenggiri yang selama ini dijadikan "perisai budaya" dalam
berbagai tindakannya adalah konstruksi ulun Lampung dengan citra baru melalui

Ariestha, Bethra. Akar konflik kerusuhan antar etnik di Lampung Selatan. Diss. Universitas Negeri
14

Semarang, 2013.
15 Akhiri Konflik di lampung Tengah, Ribuan Warga Ikrar Persaudaraan, detikcom, Kamis

malam (22/11/2012).
16 Kronologi Bentrok Kelompok Warga di Lampung Utara, Liputan6.com, Selasa (2/2/2016)

malam.
12
pendidikan, simbol budaya maupun jalur politik, merupakan proses untuk diakui
identitasnya dalam struktur sosial. Reproduksi piil pesenggiri menunjukkan piil
sebagai identitas bukan produk yang statis tetapi kontekstual dan tidak dapat
dipisahkan dari habitus ulun Lampung.17
Masyarakat Lampung dalam bentuknya yang asli memiliki struktur hukum
adat tersendiri. Bentuk masyarakat hukum adat tersebut berbeda antara kelompok
masyarakat yang satu dengan yang lainnya, kelompok-kelompok tersebut menyebar
di berbagai tempat di daerah di Lampung. Secara umum dapat dibedakan dalam dua
kelompok besar yaitu; 1) masyarakat adat Peminggir yang berkediaman di sepanjang
pesisir termasuk adat Krui, Ranau Komering, sampai Kayu Agung, dan 2) masyarakat
adat Pepadun yang berkediaman di daerah pedalaman Lampung terdiri dari
masyarakat adat Abung (Abung Siwo Migo), Pubian (Pubian Telu Suku), Menggala /
Tulang Bawang (Migo Pak) dan Buai Lima. Dalam disertasi ini peneliti hanya terfokus
pada masyarakat adat pepadun.18
Uraian tersebut di atas merupakan beberapa hal yang melatarbelakangi
penyusunan Modul Moderasi Beragama pada PKMBUIN Raden Intan mengacu pada
surat edaran Kementerian Agama mengenai moderasi beragama telah
ditetapkandalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun
2020-2024.
Harapan demi perbaikan modul ini tentunya menjadi harapan kami, semoga
dengan hadirnya modul ini dapat melancarkan program TOT dan Sekolah Moderasi
yang akan dilaksanakan kemudian, amin.

17Irianto, Sulistyowati, and Risma Margaretha. "Piil pesenggiri: Modal budaya dan strategi
identitas ulun Lampung." Hubs-Asia 10.1 (2013).
18 Irianto, Sulistyowati, and Risma Margaretha. "Piil pesenggiri: Modal budaya dan strategi

identitas ulun Lampung." Hubs-Asia 10.1 (2013).


13
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KEPALA LP2M UIN RADEN INTAN LAMPUNG.......................


KATA PENGANTAR..................................................................................................................

BAB I KONSEP MODERASI BERAGAMA


A. Makna Moderasi............................................................................................
B. Moderasi Beragama.......................................................................................
C. Prinsip-Pinsip Moderasi...............................................................................
D. Karakteristik Moderasi Islam.......................................................................
Siti Wuryan, M.Kom.I
TIM Zuhrotul Khulwah, ME
Zulaikhah, M.Sos.I

BAB II HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA


A. Hubungan Agama dan Negara di Inonesia...............................................
B. Agama dan Kebijakan Publik.......................................................................
C. Agama dan Integrasi Nasional....................................................................

Gesit Yudha, M.I.P


TIM Masrukhin, Lc., Ph.D
Rizki Gunawan, M.Pd.I

BAB III MULTIKULTURALISME DALAM BINGKAI MODERASI


A. Bangsa Indonesia............................................................................................
B. Konsep Inklusif...............................................................................................
C. Landasan Beragama yang Inklusif...............................................................
D. Konsep Pemikiran Islam Inklusif Dalam Kehidupan Sosial Beragama..

Rudy Irawan, S.PdI, M.S.I.


TIM Muhammad Adib, M.Pd
Rudi Santoso, M.H.I., MH.

BAB IV TOLERANSI DALAM BERAGAMA


A. Toleransi dalam Islam...................................................................................
B. Dasar-Dasar Toleransi dalam islam............................................................
C. Konsep wasathiyah.......................................................................................
D. Tantangan wasathiyah.................................................................................
E. Penanggulangan Paham radikalisme........................................................

Suhendar, SE
TIM Nurwahyudi, M.Pd.I
14
Erik Rahman Gumiri, M.H.I

BAB V PLURALISME DALAM BERAGAMA


A. Pengertian Pluralisme..................................................................................
B. Ruang Lingkup Pluralisme..........................................................................
Ahmad Muttaqin, M.Agi
TIM Is Iswanto, ME
Muhammad Anas, M.H.I

15
SASARAN MODUL

A. Tujuan
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:
1. Mengenal dan memahami istilah-istilah dasar Moderasi beragama dan Moderasi
Islam
2. Menjelaskan misi-misi dasar Moderasi Beragama
3. Memahami makna dan Konsep Moderasi Beragama

B. Pokok Bahasan
1. Makna Moderasi (Wasathiyah) dan Moderasi Beragama (tawashut, tawazun,
i’tidal, tasamuh, musawah, syura, ishlah, aulawiyah, tathawwur wa ibtikar, tahadhur)
2. Prinsip-Prinsip Moderasi Beragama dalam konsep Moderasi beragama
3. Karakteristik Moderasi Islam
4. Tantangan Moderasi Beragama

C. Metode
Curah pendapat dan masukan dari narasumber

D. Media
Laptop, LCD, Sticky cloth, spidol, kertas plano, kertas metaplan dan lakban

E. Waktu
5 Jam (300 Menit)

F. Langkah
Fasilitator menghidupkan suasana pelatihan dengan langkah-langkah
menggaris bawahi kosakata kata penting, sebagai titik tolak/fokusndari materi
konsep dasar moderasi beragama kemudian Fasilitator memberikan kesempatan
kepada narasumber untuk menyampaikan masukan, dengan:

16
1. Narasumber berangkat dari salah satu, atau beberapa kata kunci yang sudah
dikenal para peserta tentang konsep dasar moderasi beragama
2. Narasumber mengawali pembicaraan dengan menjelaskan dasar moderasi
beragama di PT UIN raden Intan lampung dan materi pembahasan

17
BAB I
KONSEP MODERASI (WASATHIYAH)
Siti Wuryan, M.Kom.I
Zuhrotul Khulwah, ME
Zulaikhah, M.Sos.I

A. Makna Moderasi (Wasathiyah)


Moderasi secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yaitu (moderation),
yang berarti sikap sedang atau tidak berlebihan, sehingga ketika ada ungkapan
“orang itu bersikap moderat” berarti ia tidak berlebih-lebihan, bersikap wajar,
biasa-biasa saja dan tidak ekstrim.
Kata moderasidalam bahsa Arab diartiakan al-wasathiyah. Seacara bahasa
al-wasathiyahberasal dari kata wasath. Al-Asfahaniy mendefenisikan
wasathdengan sawa’unyaitu tengah-tengah diantara dua batas, atau dengan
keadilan, yang tengah-tengan atau yang standar atau yang biasa-biasa saja.
Wasathanjuga bermakna menjaga dari bersikap tanpa kompromi bahkan
meninggalkan garis kebenaran agama.19 Sedangkan makna yang sama juga
terdapat dalam Mu‟jam al-Wasit yaitu adulan dan khiyaransederhana dan
terpilih.20
Ibnu Asyur mendefinisikan kata wasath dengan dua makna. Pertama,
definisi menurut etimologi, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah, atau
sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding. Kedua,
definisi menurut terminologi, makna wasath adalah nilai-nilai Islam yang
dibangun atas dasar pola pikir yang lurus dan pertengahan, tidak berlebihan
dalam hal tertentu.21
Dalam Merriam-Webster Dictionary (kamus digital) yang dikutip Tholhatul
Choir, moderasidiartikan menjauhi perilaku dan ungkapan yang ekstrem. Dalam
hal ini, seorang yang moderat adalah seorang yang menjauhi perilaku-perilaku
dan ungkapan-ungkapan yang ekstrem.

19 Al-Alamah al-Raghib al-Asfahaniy, Mufradat al-Fadz al-Qur‟an, (Beirut: Darel Qalam, 2009),
h. 869
20 Syauqi Dhoif, al-Mu‟jam al-Wasith, (Mesir: ZIB, 1972), h. 1061.
21 Ibnu „Asyur, at-Tahrir Wa at-Tanwir, (Tunis: ad-Dar Tunisiyyah, 1984), h. 17-18.
18
Olehkarena itu, dapat disimpulkan bahwa moderasi/wasathiyah adalah
sebuah kondisi terpuji yang menjaga seseorang darikecenderungan menuju dua
sikap ekstrem; sikap berlebih-lebihan (ifrath) dan sikap muqashshir yang
mengurang-ngurangi sesuatu yang dibatasi Allah swt. Sifat wasathiyah umat
Islam adalah anugerah yang diberikan Allah swt secara khusus. Saat mereka
konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah swt, maka saat itulah mereka menjadi
umat terbaik dan terpilih. Sifat ini telah menjadikan umat Islam sebagai umat
moderat; moderat dalam segala urusan, baik urusan agama atau urusan sosial di
dunia.22
Menurut Muhammad bin Mukrim bin Mandhur al-Afriqy al-Misry,
pengertian wasathiyah secara etimologi berarti:

‫ﲔ ﻃَْﺮﻓَـْﻴ ِﻪ‬
َ ْ َ‫ﻴ ِﺊ َﻣﺎﺑـ‬‫ﻂ اﻟﺸ‬
ُ ‫َو َﺳ‬
“Sesuatu yang berada (di tengah) di anatara dua sisi.
Banyak pendapat ulama yang senada dengan pengertian tersebut, seperti
Ibnu asyur al-Afghany, Wahbah Zuhaily, al-Thabary, Ibnu Katsir dan
sebagainya. Sebagai rincian berikut, menurut Ibnu asyur, kata wasath berarti
sesuatu yang ada di tengah, atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang
ukurannya sebanding. Menurut al-Afghani, kata wasath berarti berada di
tengah-tengah antara dua batas (sawa’un) atau berarti yang standar. Kata
tersebut juga bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrat) dan ekstrim
(tafrit). 23
Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menegaskan bahwa kata al-wasath
adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah atau (markazu al-daairah), kemudian
makna tersebut digunakan juga untuk sifat/perbuatan terpuji, seperti pemberani
adalah pertengahan diantara dua ujung. “Demikianlah kami menjadikan kalian
sebagai umat di pertengahan artinya dan demikanlah kami beri hidayat kepada
kalian semua pada jalan yang lurus, yaitu agama Islam. kami memindahkan
kalian menuju kiblatnya Nabi Ibrahim as., dan kami memilihnya untuk kalian,

22 Tholhatul Choir, Ahwan Fanani, dkk, Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 468.
23 TIM Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majlis Ulama Indonesia Pusat. Islam

Wasathiyah, (Jakarta: TKDPM-MUIP, 1999), h. 1


19
kami menjadikan muslimin sebagai umat yang terbaik, adil, pilihan umat-umat,
pertengahan pada setiap hal tidak ifrat dan tafrit dalam urusan agama dan
dunia. Tidak melampaui batas (ghuluww) dalam melaksanakan agama dan tidak
seenaknya sendiri di dalam melaksanakan kewajibannya.24
Al-Tahabari memiliki kecenderungan yang sangat unik yaitu dalam
memberikan makna sering kali berlandaskan riwayat. Terdapat 132 kata yang
menunjukkan kata wasath, bermakna al-adil, disebabkan hanya orang-orang
yang adil saja yang bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai orang
pilihan.25 Di antara redaksi riwayat yang dimaksud:
ِ ِ ٍِ ِ ‫ﻋﻦ أَِﰉ‬
ً‫ ُﻋ ُﺪ ْوﻻ‬:‫ﺎل‬ َ ‫ َﻢ ِﰲ ﻗَـ ْﻮﻟ ِﻪ َوَﻛ َﺬﻟ‬‫ﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠ‬‫ﺻﻠ‬
َ َ‫ﻣ ًﺔ َو َﺳﻄًﺎ ﻗ‬ُ‫ﻚ َﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ أ‬  ِ‫ﺻﺎﻟ ٍﺢ َﻋ ْﻦ أَِﰊ َﺳﻌْﻴﺪ َﻋ ِﻦ اﻟﻨ‬
َ ‫ﱯ‬ َ َْ
“Dari abi Shalih, Abi Sa’id, dari Nabi saw., bersabda: “Dan demikianlah kami
jadikan kalian umat yang wasathan”, beliau berkata: adil”
Secara bahasa Arab yang berarti sama, kesamaan itulah sering dikaitkan
pada hal-hal yang immaterial, dalam bahasa Indonesia adalah; ; Pertama, tidak
berat sebelah, atau tidak memihak pada salah-satu pihak,Kedua, berpihak pada
kebenaran, Ketiga, sepatutnya (tidak sewenang-wenang.
Persamaan yang merupakan akar dari keadilan selalu berpihak pada yang
benar, baik yang benar maupun salah yang benar, semuanya harus diposisikan
kepada hal yang lebih arif. Sehingga ketika memperlakukan seseorang tidak
sewenang-wenang, yaitu dengan cara yang patut. Sebagaimana tertuang dalam
(surat al-an’am:6: 152). Dan surat (al-Baqarah::2:282). Dan (surat al-Hadid :57:
25). Dan (surat al-Baqarah:2: 124), (surat al-Rahman:55:7). Menegakkan keadilan
Islam harus mampu menebarkan rahmat bagi setiap penghuni alam. Menjadi
umat yang sejuh dan teduh, jauh dari wajah angker yang menakutkan atau pun
wajah lembek yang selalu menuruti kemauan yang lain. serta memiliki
kemmpuan memahami teks syari’ah dalam bingkai konteksnya dan
mengamalkan ajaran agamanya secara cermat dan proporsional.
Berdasarkan pengertian tersebut, Allah swt., lebih memilih menggunakan
kata al-wasath daripada kata al-khiyar, karena ada beberapa sebab, yaitu:

24 Wahbah Zuhaily, Tafsīr al-Munīr, (Damaskus: Dâr al-Fiqr, 2007), h. 367-369


25 Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kathir bin Ghalib al-Amiry Abu Ja’far al-Thabariy, Jami’ al-Bayan
fi Ta’wil al-Qur’an, (Mua’asasah al-Risalah, 2000), al-Maktabah al-Syamilah, versi II
20
1. Allah menggunakan kata al-wasath karena Allah akan menjadikan umat Islam
sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain sedangkan posisi saksi mestinya
harus berada di tengah, Agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang
(proposional). Lain halnya jika ia berada di satu sisi, maka dia tidak akan bisa
memberikan penilaian yang baik.
2. Penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri
umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik,
karena mereka berada di tenggah-tengah, tidak berlebihan maupun
mengurangai baik dalam hal aqidah, ibadah maupun muamalah.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa beberapa makna yang terkandung di dalamnya adalah; sesuatu yang
berada di tengah, tidak berlebihan (ifrat) maupun mengurangi (tafrit), terpilih,
adil dan seimbang.
Secara terminology, kata wasathan yaitu pertengahan sebagai
keseimbangan (al-tawazun), yaitu keseimbangan antara dua jalan atau dua arah
yang saling berhadapan atau bertentangan; spriritual (ruhiyyah) dengan material
(maddiyah). Individualitas (furu’iyyah) dengan kolektivitas (jasadiyyah).
Kontekstual (waqi’iyyah) dengan tekstual). Konsisten (sabat_ dengan perubahan
(taghayyur. Oleh karena itu, sesunggihnya keseimbnagan adalah watak alam
raya (universum), sekaligus menjadi watak Islam sebagai risalah abadi. Bahkan
amal menurut Islam bernilai shalih apabila amal tersebut diletakkan dalam
prinsi-prinsip keseimbangan atara theocentris (hambluminallah) dan
antropocentris (habluminannas). 26
Ada tiga istilah yang relevan untuk memaknai moderasi adalah wasat, atau
wasathiyah, orangnya disebut sebagai wasit. Kata wasit itu sendiri terdiri dari tiga
kata, yiatu; Pertama, penengah, Kedua, pelerai, Ketiga, pemimpin pertandingan.
Sedangkan dalam al-Qur’an dijelaskan tentang moderasi adalah (surat al-Isra’:
17: 110). Ayat ini menjelaskan tentang orang yang berdosa besar. Begitu juga
firman Allah dalam (surat al-Furqan: 25: 67). Ayat ini menjelaskan seseorang

26 Ibid., h. 2-3
21
yang berinfaq tidaklah diperbolehkan berlebih-lebihan. Seirama dengan (surat
al-Isra’: 17:29).
Dari definisi di atas, maka pemaknaan moderasi dalam bahasa Arab
memiliki beberapa makna, yaitu; Pertama, term wasat disebut adalam al-Qur’an
sebanyak lima kali. Namun secara makna bahwa wasat adalah berada di antara
dua jalan atau ditengah, artinya tidak cenderung ke kanan dan tidak cenderung
ke kiri, hal ini sebagaimana firman Allah swt., (surat al-Baqarah: 2: 238). Istilah
wustha dalam ayat ini adalah shalat asyar, dalam konteks tasawuf, istilah wasat
juga sebagaimana dijelaskan dalam (surat al-Ma’idah: 5:89). Ayat ini menjelaskan
tentang kafarat kepada orang yang melanggar dengan cara memberikan
makanan kepada fakir miskin sesuai dengan pola maknnya. Kata wasat juga
sering diartikan sebagai adil dan bersih, maka wasit adalah sikap yang mulia,
sebagaimana firman Allah dalam (surat al-Qolam: 68:28). Bahwa kata wasat
sering digunakan oleh orang Arab untuk khiyar, yaitu untuk membedakan antara
dua hal yang harus dipastikan, maka dari situlah umat Islam dikatan ummatan
wasathan, sebagaimana dijelaskan dalam (surat al-Baqarah: 2:143). Dalam ayat ini
term wasat, yang berarti syahid, atau saksi atas kebenaran.
Kedua, mizan yaitu keseimbangan, adanya sebuah keseimbangan dalam
menyikapi sebuah perkara, dalam al-Qur’an terdapat 28x disebut, dalam arti
jujur, adil dalam menyikapi perkara dan cenderung benar serta tidak berlebihan,
tidak belok ke kanan dan tidak ke kiri, sebagaimana dijelaskan dalam (surat al-
A’raf: 7:85). Ada juga yang memiliki makna bukan sebenarnya, seperrti (surat al-
Rahman: 55: 7). Yang dimaksud ayat ini adalah mizan dalam arti keseimbangan
kosmos atau keseimbangan alam raya. Dalam (surat al-Hadid: 57: 25).
Menjelaskan bahwa mizan adalah alat untuk mengukur amal manusia. Selain itu
juga dijelaskan dalam (surat al-Qari’ah: 101: 6-9). Ayat ini mengajarkan kita
untuk bersikap moderat dengan cara bersikap jujur dan adil.
Ketiga, al-adl yaitu adil, atau keadilan dalam menyikapi perkara-perkara
yang ada secara kontekstual, dalam al-Qur’an dijelaskan dalam tiga 28 kali,
yang berarti juga istiqamah, konsisten dalam mnghadapi masalah, musawah, yaitu
adanya persamaan dalam memandang kebenaran dan kebaikan, Tu al-taswiyah,
22
sebagaimana dalam (surat al-An’am: 6: 150). Ayat ini menceritakan tentang
orang yang musyrik berarti ia tidak adil, dijelaskan juga dalam (surat al-Infithar:
82: 7). Menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya rupa,
dalam hal moderasi, al-adl diartikan sebagai keseimbangan, serasi dan tidak
memihak.
Menurut Makruf Amin, Islam Wasathiyyah yaitu keislaman yang mengambil
jalan tengah (tawashut) keseimbangan (tawazun), lurus dan tegas (i’tidal),
toleransi (tasamuh), egaliter (musawah), mengedepankan musyawarah (syura),
berjiwa reformasi (ishlah), mendahulukan yang prioritas (aulawiyah), dinamis dan
inovatif (tathawwur wa ibtikar), dan berkeadaban (tahadhur).27
Menurut Din Syamsuddin, terdapat pula interpretasi wasathiyah sebagai al-
sirat al-mustaqim. Konsep jalan tengah tersebut, tentu tidak sama dengan konsep
the middle way atau the middle path di bidang ekonomi konvensional.
Wasathiyah dalam Islam tertumpu dalam tauhid sebagai ajaran Islam yang
mendasar dan skaligus menegakkan keseimbangan dalam penciptaan dan
kesatuan dari segala lingkaran kesadaran manusia. Hal ini membawa pemahan
tentang adanya korespondensi antara Pencipta dan ciptaan (al-‘alaqah baina khaliq
wa makhluq), sekaligus analogy antara makro kosmor dan microkosmos (al-qiyas
baina alam al-kabir wa shahir) menuju satu spot, titik tengah (median position).28
Menurut Hasyim Muzadi:

‫ﺴ ُﺎﻣ ِﺢ‬ ِ ِ ‫ﻮاز ُن ﺑـﲔ‬‫ﺔُ ِﻫﻲ اﻟﺘـ‬‫اﻟﻮﺳ ِﻄﻴ‬


َ ‫اﻟﻌﻘْﻴ َﺪة َواﻟﺘ‬
َ َ َْ ُ َ َ ََ
“Wasathiyah adalah keseimbangan antara keyakinan (yang kokoh) dengan toleransi”

Syarat untuk merealisasikan wasathiyah yang baik tentu memerlukan


aqidah dan toleransi, sedangkan untuk dapat merealisasikan akidah dan
toleransi yang baik memerlukan sikap yang wasathiyah.29
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, pemaknaan wasathitah dapat
dipadukan bahwa; keseimbangan anatar keyakinan yang kokoh dengan toleransi

27 Ma’ruf Amin, “Islam wasthiyah Solusi Jalan Tengah”, Mimbar Ulama Suara Majlis Ulama
Indonesia, Islam wasathiyah: Ruh Islam MUI, Ed. 327, (Jakarta: tth.), h. 11
28 Din Syamsuddin, “Islam wasathiyah Solusi Jalan Tengah”, Mimbar Ulama Suara Majlis Ulama

Indonesia, Islam wasathiyah: Ruh Islam MUI, Ed. 327, (Jakarta: tth.), h. 7
29 Safiuddin, dakwah bil Hikmah Reaktualisasi Ajaran Walisongo: Pemikiran dan Perjuangan Kyai

Hasyim Muzadi, (Depok: al-Hikmah Press 2012), h. 33


23
yang didalamnya terdapat nilai-nilai Islam yang dibangun atas dasar pola piker
yang lurus dan pertengahan serta tidak berlebihan dalam hal tertentu.
Keseimbngan tersebut dapat terlihatdengan kemampuan mensinergikan
antara dimensi spiritualitas dengan dimensi material, individualitas dengan
kolektivitas, tekstualitas dengan kontekstual, konsistensi dengan perubahan dan
meletakkan amal di atas keseimbangan antara teocentris dan antropocentris,
adanya krespondensi antara Pencipta dan ciptaan sekaligus analogi antara
makrocosmos dan microcosmos menuju satu spot yaitu median position.
Keseimbangan mengantarakan pada al-shirat al-mustaqim tersebut yang
nantinya akan melahirkan umat yang adil, berilmu, terpilih, memiliki
kemampuan agama, berakhlak mulia, berbudi pekerti yang lembut dan beramal
shalih.
Menurut Afiduddin Muhadjir, makna wasathiyah sebenarnya lebih luas
daripada moderasi. Wasathiyah bisa berarti realitas dan identitas. Yaitu Islam
memiliki cita-cita yang tinggi dan ideal untuk mensejahterakan umat di dunia
dan akhirat. Cita-cita yang melangit, tapi jika dihadapkan pada realitas, maka
bersedia untuk turun ke bawah. Wasathiyah yang disebut dalam surat al-
Baqarah ayat 143 dapat juga diartikan jalan di antara ini dan itu. Dapat juga
dikontekstualitaskan Islam wasathiyah adalah tidak liberal dan tidak radikal.
Dapat diartikan pula Islam yang jasmani dan ruhani.30
Dalam kitab-kitab fikih, seorang presiden itu harus mendalam terkait hal
agama, mujtahid dan terpilih secara demokratis. Bagaimana yang menjadi
presiden justru sebaliknya? Apakah kita harus memberontak? Tentu tidak,
memang realitasnya seperti itu.31 Kitab-kitab fikih menyatakan para hakim harus
seorang mujtahid dan memiliki kemampuan untuk menggali hukum-hukum
dari sumbernya. Keputusan hakim adalah kepastian dsnmkeadilan. Tapi apabila

30 Afifuddin Muhadjir dalam diskusi terbatas (Disatas )Anggota Dewan Pertimbangan Presiden
(Wantimpres) RI dengan tema “Moderasi Cegah Dini Radikalisme-Terorisme Menuju Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA), selasa, 1 Maret 2016
31 Afifuddin Muhadjir dalam diskusi terbatas (Disatas )Anggota Dewan Pertimbangan Presiden

(Wantimpres) RI dengan tema “Moderasi Cegah Dini Radikalisme-Terorisme Menuju Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA), selasa, 1 Maret 2016
24
sebaliknya, yaitu justru tidak terlaksana sebagaimana aturannya, apakah kita
harus memberontak? Tentunya tidakkarena memeng realitasnya demikian.32
Meskipun kita harus tetap mengingatkannya, tapi cara yang ditempuh
haruslah baik. Al-wasathiyah disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat
143 dan surat al-Nisa’ ayat 171. Hal ini juga sebagaimana sabda Rasulullah saw:

‫َﺧْﻴـ ُﺮ اﻷ ُُﻣ ْﻮِر أ َْو َﺳﻄُ َﻬﺎ‬


“Sebaiknya perkara itu yang pertengahan”
Realisasi wasathiyah dalam ajaran Islam secara garis besar dibagi tiga;
aqidah, akhlak dan syari’at (dalam pengertian sempit). Ajaran Islam sepaerti
konsep ketuhanan dan keimanan, akhlak berkaitan dengan hati seorang agar
menjadi mulia dan membersihkan hati, sedangkan syari’ah adalah berkaitan
dengan ketentuan-ketentuan praktis hubungan manusia secara sempitdan yang
mengatur antara hubungan manusi dengan Allah swt.33
Wasathiyah dalam bidang manhaj berarti menggunakan nash al-Qur’an dan
hadist yang memiliki hubungan dengan tujuan-tujuan syara’ (maqashid al-
syari’ah). Nash-nash dan tujuan-tujuan syari’atnya memiliki hubungan
sismbiosis mutualisme, yaitu nash-nash yang dapat dijelaskan melalui tujuan-
tujuan syari’ah, sedangkan tujuan syari’ah adalah lahir dari nash-nash Islam.
tujuan-tujuan syari’ah merupakan hasil penelitian ulama’ jaman dahulu,
sedangkan yang menjadi objeknya adalah aturan-aturan yang termaktub dalam
nash-nash al-Qur’an dan hadist, berikut hikmah-himak dan tujuan-tujuan yang
hendak tercapai. Tujuan utama syari’ah adalah kemaslahatan dunia akhirat
dengan mengindahkan kaidah “menarik kemaslahatan dan menolak
kemudharatan”.34

32 Afifuddin Muhadjir dalam diskusi terbatas (Disatas )Anggota Dewan Pertimbangan Presiden
(Wantimpres) RI dengan tema “Moderasi Cegah Dini Radikalisme-Terorisme Menuju Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA), selasa, 1 Maret 2016
33 Afifuddin Muhadjir dalam diskusi terbatas (Disatas )Anggota Dewan Pertimbangan Presiden

(Wantimpres) RI dengan tema “Moderasi Cegah Dini Radikalisme-Terorisme Menuju Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA), selasa, 1 Maret 2016
34Afifuddin Muhadjir dalam diskusi terbatas (Disatas )Anggota Dewan Pertimbangan Presiden

(Wantimpres) RI dengan tema “Moderasi Cegah Dini Radikalisme-Terorisme Menuju Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA), selasa, 1 Maret 2016
25
Maksudnya, apabila sesorang hendak menafsiri nash-nash, maka harus
memperhatikan tujuan-tujuan syari’ahnya. Tentu tujuan yang lahir akan
terbentuk tekstual dan kontekstuan. Secara kaidah, apabila dihadapkan pada
maslahah dan mafsadah, maka yang didahulukan adalah yang maslahah.
Namun apabila dihadapkan dengan maslahah ghairu mahdah (kerusakan tidak
murni), maka pilihannya adalah kemaslahtan yang yang lebih besar. Tujuan
syari’ah melahirkan dalil-dalil primer (al-adilah al-qathiyah) dan skunder (al-adilah
al-furuiyyah). Tujuan syari’ah untuk mewujudkan kemaslahatan, sebenarnya
sama seperti tujuan Negara untuk mewujudkan kemaslahatannya. Setiap Negara
yang telah mampu mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat, maka sudah
dapat disebut sebagai Negara ideal.

‫ﺪﻧْـﻴَﺎ‬ ‫ﺎﺳ ِﺔ اﻟ‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ


َ َ‫ﻳْ ِﻦ َوﺳﻴ‬‫ﻮة ِﰲ ﺣَﺮا َﺳﺔ اﻟﺪ‬ ‫ﺒُـ‬‫ﺿ ْﻮﻋُﺔً ﳋﻼَﻓَﺔ اﻟﻨ‬
ُ ‫ا ِﻹ َﻣ ُﺎم َﻣ ْﻮ‬
“Kepemimpinan adalah melanjutkan tugas kenabian, yakni menjaga agama dan
politik dunia”.

Terdapat beberapa hal yang sering dipertanyakan tentang istilah Islam


wasathiyah ini, adajkalanya mengkritisi pada padanan derivariasi, da nada
pulan yang mengkritisi substansi penggunaannya. Terkait frase, terdapat istilah
yang identic dengan Islam wasathiyah, yaitu wasathiyah Islam yang
mencerminkan sebagai ajaran yang seimbang.
Terkait substansi penggunaannya, sepintas akan menjadi persoalan, terkait
aturan yang termaktub dalam al-Qur’an sjatinya adalah ummatan wasathan
sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 143. Sedangkan yang justru
menjadi hal yang diperjuangkan umat islam yang moderat adalah Islam
wasathiyah. Terkait hal ini, Chalil Nafis mengatakan bahwa untuk membentuk
umat yang wasathan tentu diperlukan adanya ajaran, sehingga membahas ajaran
agama Islam wasathiyah dalam rangka merealisasikan hal tersebut, tentu
menjadi suatu keniscayaan dan keharusan.
Selain mempertimbangkan perihal tersebut, penggunaan istilah Islam
wasathiyah dalam prosesnya juga tidak lepas dari suatu kritik yang menyatakan
bahwa penggunaan yang benar dalam Islam wasathiyah, dalam kata Islam,
disifati dengan kata wasathiy yang dilengkapi dengan ya’ nisbah. Chalil Nafis
26
mengatakan bahwa, penggunaan istilah tersebut menjadi pembungan kata
mu’annat yang asal mulanya (taqdir) yaitu:

‫ ِﺔ‬‫اﻟﻮ َﺳ ِﻄﻴ‬ ِ ِ
َ ‫ﻠﻰ اﻟﻄَﺮﻳْـ َﻘﺔ‬
ِ
َ ‫اﻹ ْﺳﻼَ ُم َﻋ‬
“Islam yang mengikuti jalan wasathiyah”.
Dalam al-Qur’an kata ummatan terulang sebanyak 51 kali dan 11 kali dalam
bentuk umam. Akan tetapi yang satu frase yang disandarkan pada kata
wasathan yaitu terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 143:

ِ ‫ﻣ ًﺔ َو َﺳﻄًﺎ ﻟِﺘَ ُﻜ ْﻮا ُﺷ َﻬ َﺪاءَ َﻋﻠَﻰ اﻟﻨ‬ُ‫ﻚ َﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ أ‬


.‫ﺮ ُﺳ ْﻮ ُل َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َﺷ ِﻬْﻴ ًﺪا‬‫ﺎس َوﻳَ ُﻜ ْﻮ َن اﻟ‬ ِ
َ ‫َوَﻛ َﺬﻟ‬
“Dan yang demikian ini Kami telah menjadikan kalian (umataan wasathan) umat
Islam sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia
dan agar Rasul Muhammad menjadi saksi atas perbuatan kalian” (QS. al-Baqarah:
143).

Apabila dicermati dengan teliti, kata wasathan ini terdapat di tengah dalam
surat al-Baqarah, surat al-baqarah terdapat 286 ayat dan ayat yang membahas
tentang ummatan wasathan terdapat pada pertengahan ayat yautu 143, maka
sesungguhnya, dari sisi penempatannya sudah berada di tengah-tengah.35

B. Moderasi Beragama
Moderasi beragama bukanlah ideologi. Moderasi agama adalah sebuah
cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan ajaran agama agar
dalam melaksanakannya selalu dalam jalur yang moderat. Moderat di sini dalam
arti tidak berlebih-lebihan atau ekstrem. Jadi yang dimoderasi di sini adalah cara
beragama, bukan agama itu sendiri.
Menurut kamus besar bahasa indonesia, agama adalah pengatur (sistem) yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan keyakinan serta pengabdian kepada
Sang Pencipta Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal
dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "Cara Hidup 36
Berdasarkan cara beragamanya:

35Ibid.
36 Menurut kamus Sanskerta-Inggris Monier-Williams (cetakan pertama tahun 1899) pada
entri āgama: ...a traditional doctrine or precept, collection of such doctrines, sacred work [...]; anything
handed down and fixed by tradition (as the reading of a text or a record, title deed, &c.)
27
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara
beragama nenek moyang, leluhur, atau orang-orang dari angkatan
sebelumnya. Pemeluk cara agama tradisional pada umumnya kuat dalam
beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan,
dan tidak berminat bertukar agama.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di
lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara
beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada
umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya
jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara
beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau
masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan
amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan
tampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk
itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya
dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari
orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak
beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan
hati (perasaan) di bawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami
dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran
(dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap
ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh
utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka
mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu
semu
Koentjaraningrat dalam Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (1974)
memaparkan, di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut enam
agama yang diakui resmi negara: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budhisme,
dan Khonghuchu. Selain itu, Koentjaraningrat juga menyimpulkan bahwa agama
28
merupakan rasa percaya seorang manusia agar bisa nyaman ketika menjalani
kehidupan, meliputi kenyamanan jasmani (fisik) dan rohani (jiwa).37

C. Prinsip-Prinsip Moderasi
Adapun prinsip-prinsip moderasi sebagaimana firman Allah swt., wa
kadzalika ja’alnakum ummatan wasathan (QS. al-Baqorah ayat 143), adalah
sebagaimana berikut; Pertama, Tawasut (mengambil jalan tengah, Kedua, Tawazun
(keseimbangan), Ketiga, I’tidal (lurus dan tegas), Keempat, Tasamuh (toleransi),
Kelima, Musawah (egaliter), Keenam, Syura (musyawarah), Ketujuh, Islah
(reformasi), Kedelapan, Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), Kesembilan
Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), Kesepuluh, Tahadhur (berkeadaban).38
1. Tawassuth (Tidak Berlebihan)
Tawassut yang berarti pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrat
(berlebihan dalam beragama) dan tidak tafrit (mengurangi ajaran agama).
Merupakan sikap berharga yang sudah diajarkan al-Qur’an dan dipraktekkan
oleh rasulullah saw., agar umatnya bisa menjadi umat yang terbaik,
sebagaimana firman Allah swt., dalam surat Ali Imran ayat 110.
Rasulullah saw., bersabda sebagaiaman yang disebutkan dalam
beberapa hadist diantaranya, yaitu:

‫َﺧْﻴـ ُﺮ اﻷ ُُﻣ ْﻮِر أ َْو َﺳﻄُ َﻬﺎ‬


“Sebaik-baiknya perkara adalah pertengahannya”
Di samping itu, Rasulullah saw., juga mengingatkan umatnya untuk
menhindari hal-hal yang melampaui batas sebagaimana yang telah dilakukan
oleh umat-umat terdahulu yang mengakibatkan bencana dan adzab menimpa
mereka. Sikap melampaui batas yang bisa menjadi ibrah dari umat terdahulu
melipuiti berbagai bidang;
Pertama, di bidang teknologi sebagaimana kaumnya Nabi Nuh as., yag
dikenal dengan banu Rasib yang mana pada mulanya mereka memiliki iman
kepada Allah swt., namun kemudian bergeser menjadi penyembah selain

37 https://tirto.id/gaHK, diunggah pada tanggal 17 Juli 2021


38 Taujihat Surabaya, Musyawarah Nasional (Munas) Majlis Ulama Indonesia (MUI) ke-IX yang
diselenggarakn apada 08-11 Dzulqa’dah 1436 H/24-27 Agustus 2015
29
Allah swt., yaitu berhala Wudd, Suwaa, Yaqhuth, Ya’qub dan Nasr. Akibat
dari perbuatan mereka diadjab melalui banjir bandang.
Kedua, dibidang munakahat, seperti halnya kaum Luth as., yang dikenal
dengan perbuatan homoseksual, padahal Nabi Lut telah
memperingatkanakibat yang akan diterima umatnya atas perbuatan tersebut.
Kemungkaran tersebut kemudian dibalas dengan adzab berupa hujan batu,
gempa bumi, angina kencang yang menyebutkan mereka binasa.
Ketiga, dibidang perekonomian, seperti halnya kaum Madyan yang
terkenal dengan perbuatan curang dan penuupuan disaat terjadi transsaksi
jual beli. Berulang kali Nabi Syu’aib memperingatkan, tapi terus diabaikan
sesingga mereka mendapatkan adzab dari Allah berupa hawa panas yang
membinasakan mereka.
Keempat, dibidang kekuasaan, seperti halnya raja Fir’aun yang telah
mengaku dirinya sebagai Tuhan, dan teah diingatkan oleh Nabi Musa as.,
akan tetapi tetap saja, yaitu mengikuti hawa nafsunya dan menindas kaum
Israil membunuh anak-anak bayi laki-laki dan seterusnya, sehingga ia dan
bala tentaranya ditenggelamkan dalam lautan.39
2. Tawazun yaitu keseimbangan,
Tawazun yaitu pemahaman dan pengamalan agamanya dilaksanakan
secara seimbang dan meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun
ukhrawi tegas dalam menyatakan prinsip dan dapat membedakan antara
penyimpangan dan perbedaan.Tujuannya adalah untuk mampu
merealisasikan sikap seimbang, tentu harus diawali dengan keseimbangan
dalam melihat beberapa objek kajian.
Dalam al-Qur’an ada beberapa definisi makna tawazun, dalam (surat al-
Kahfi: 18:105). Mawazinuh, dalam (surat al-A’raf:7:8) dan (surat al-Qori’ah:
101:6-8), al-waznu dan al-mizan, (surat al-Rahman: 55:7-9) Mauzun (surat al-
Hijr:15:19 dan al-mizan (surat al-An’am: 6: 152), (surat al-Hud: 11: 84), (surat
al-Syura: 42: 17) dan al-Hadid: 57: 25).

39 Ibid., h. 16-17
30
Keseimbangan atau tawazun menunjukkan sikap moderasisikap tengah
ini tidak cenderung ke kanan dank e kiri, yang merupakan bentuk keadilan,
kebersamaan kemanusiaan, namun juga bukan berarti tidak memiliki
pendapat. Sikap tegas yang bukan berarti sikap keras apalagi ekstrim. Sebuah
sikap yang dalam melakukan sesuai kebutuhan atau secukupnya, tidak
ekstrim, tidak liberal dan tidak berlebih-lebihan. Baik keseimbangan antara
hubungan kepada Allah dan sesame manusia itulah kebutuhan duniawi dan
ukhrawi.
Tawazun berasal dari kata tawazana, yatawazanu, tawazunan, berarti
seimbang atau memberikan sesuatu atas haknya tanpa ada penambahan dan
apalagi pengurangan, dalam hal ini disebut sunah kauniyah, sebagaimana
firman Allah swt., dalam (surat al-Infithar:82:6-7) dan (surat al-Rahman:55: 7).
Dalam hal fitrah insaniyah, sebagaimana firman Allah (surat al-Mulk:67:3).
Keseimbangan juga sesuai dengan forsinya, sebagaimana Rasulullah
mengajarkan dalam hadisnya yang tidak berlebihan dalam makan, berpuasa
dan lainnya (HR. Bukhari Muslim). Keseimbangan merupakan bentuk
perwujudan dari Islam yang sempurna.
3. I’tidal (menempatkan sesuatu pada tempatnya)
I’tidal adalah menempatkan pada tempatnya, melaksanakan hak dan
kewajiban sesuai dengan propoionalnya, prinsip tersebutlah yang dianut oleh
ahlussunah wal Jama’ah, dalam rangka menjaga nilai-nilai keadilan dan sikap
lurus, serta menjauhkan dari segala sikap ekstrim. Sebagaiaman dijelaskan
dalam surat al-Ma’idah ayat 8, surat al-Hadid ayat 25.
4. Tasamuh yaitu toleransi.
Mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik
yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada
kemaslahatan umum (mashlahah ammah) dengan tetap berpegang pada prinsip
al-muhafazhah alaal-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah
(melestarikan tradisi lama yang masih relevan, dan menerapkan hal-halbaru
yang lebih relevan);

31
Tasamuh, sering diterjemahkan dengan istilah toleransi, Hasyaim
Muzadi mendefinisikan toleransi menjadi dua macam, yaitu toleransi secara
teologis dan toleransi secara sosiologis. Dalam teologis, toleransi dibagi pada
dua hal, yaitu internal dan eksternal, internal yaitu sebagaimana prinsip lana
a’maluna w alakum a’malukum, (QS. al-Qasas ayat 55, bagi kami amalan kami
bagi kalian amalan kalian. Sedangkan secara eksternal adalah sebagaiaman
dijelaskan dalam surat al-baqarah ayat 256; “Tidak ada paksaan untuk memeluk
agama Islam” namun demikian, allah juga berfirman dalam surat al-Qasas ayat
56.
Sedangkan toleransi secara sosiologis, sikap menerima pendapat orang
lain, tetap berbuat baik secara muamalah, namun juga tetap menjaga prinsip
sendiri.dengan cara demikianlah Islam dapat diterima oleh segala kultur.
Sebagaimana nabi Muhammad saw., yang hidup di madinah yang bertemu
dengan banyaknya golongan, namun Islam tetap dapat diterima.
Selain itu, melalui pembagian demikian, bisa semakin mengantarkan
seseorang untuk dapat menyadaribahwa betapa pentingnya menerima nasihat
yang datang dari orang lain dan tidak selalu menganggap bahwa dirinyalah
yang paling benar. Sebagaiaman dijelaskan dam suatu kaidah (la yaqbalul
khata’a min nafsihi wala yaqbalul shawaba min ghairihi. (tidak menerima kesalahan
yang mencul dari dirinya sendiri dan tidak mau menerima kebenaran yang datang
dari orang lain”.
Hal ini bersumber dari sabda Rasulullah saw., (innama bu’istu bil hanifati
samhah), “aku diutus untuk membawa agama yang lurus (toleran.melalui
hadis inilah islam dapat diterima oleh semua kalangan baik suku yang
berbeda maupun kultur yang berbeda-beda.
Konsep keadilan, keseimbangan dan tasamuh adalah faham
ahlussunah wal jama’ah (aswaja). Pemikiran ini sejatinya telah dirumuskan
oleh Imam al-Hasan As’yari (w. 260H/873M) dan Abu Mansur al-Maturidi
(w. 324H/935M) di bidang aqidah dan mengikuti salah satu madzhab empat
(Imam Hanafi, Syafi’I, Maliki dan Hanbali).dalam bidang syari’ah dan dalam
bidang tasawuf mengikuti al-Ghazali dan Junaidi al-Baghdadi. Adapun

32
prinsip aswaja adalah dapat beradaptasi satu sama lainnya dalam berdakwah,
tidak jumud, tidak kaku dan tidak ekslusif maupun elastis apalagi ekstrim.
Sebuah kerangka pemikiran yang menghantarkan pada keadilan
(adalah), keseimbangan (tawazun) dan toleransi (tawazun), dapat
menghantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman
yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri atupun ke kanan. Maka aswaja adalah
orang yang mempunyai paham keagamaan dalam seluruh sector kehidupan
yang dibangun di atas prinsip moderasi keseimbangan, keadilan dan
toleransi.
Ada tiha prinsip toleransi, yaitu; Pertama, tidak keluar dari batas
syari’ah, Kedua, tidak memonopoli kebenaran, dan Ketiga, toleransi hanya
dalam hal-hal yang bersifat dhanni.
5. Musawah (egaliter)
Musawah, artinya tidak membeda-bedakan karena factor kultur,
budaya, hal ini sebagaimana dipaparkan oleh firman Allah swt., dalam surat
alHujarat ayat 13.
6. Syura (musyawarah)
Syura adalah musyawarah yaitu suatu jalan untuk mencapai mufakat
dengan cara demokrasi. Mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai
kesepakatan.
7. Islah (reformasi),
Sebagaimana dalam suatu kaidah (al-muhafadzatu ‘ala qadimi shalih wal
akhdu bil jadiidil ashlah) menjaga yang lama yang masih baik dan
memperbaikinya dengan hal yang lebih baik.
8. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas)
Aulawiyah, artinya mendahulukan hal yang lebih baik daripada perkara
yang belum begitu urgen, sebagaimana dalam suatu kaidah (al-musbatu
muqaddamun ‘alaa al-nafi), Sesuatu yang telah ditetapkan (nash0 haruslah
diutamakan daripada hal yang dinasfikannya. Hal ini juga sebagaimana dalam
suatu kaidah (dar’ul mafasidi muqaddamun ‘alaa jalbil mashalih), membuang
kemaslahatan lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan.
33
kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan
daripada yang rendah.

9. Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif)


Selalu terbuka terhadap hal-hal yang baru, selama di batas-batas yang
tidak bertentangan dengan hukum syara’, yaitu suatu perkembangan zaman
selama membawa kemaslahatan bagi manusia.
10. Tahadhur (berkeadaban)
Menjunjung tinggi nilai-nilai akhlakul krimah, karakter, identitas dan
integritas sebagai khairul ummat dalam kehidupan kemanusiaan dan
peradaban.40

D. Karakteristik Moderasi Islam


Islam adalah agama yang moderat yang tidak mengajarkan kekerasan (surat
al-baqarah: 2: 143). Kata wasat dalam al-Qur’an terdapat lima kali semua
menunjukkan arti tengahan, (surat al-adiyat: 100: 5), dan (surat al-Ma’idah:5:89),
dan (surat al-Qolam: 68: 28), dan (surat al-baqarah:2:238). Kata ini menunjukan
makna tidak kecenderungan kekanan atau kekiri. Mau berdialog kepada antar
agama, budaya dan peradaban.
1. Memahami Realitas
Manusia diberikan dua potensi untuk terus berkembang, konsekuensi
dari potensi tersebutlah manusia harus tetap maju dan berkembang. Ajaran
Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah sudah sempurna, artinya
tidak aka nada pemahaman ayat atau hadis yang baru. Dari pemahaman inilah
kemudian ajaran Islam membagi pada dua macam, yaitu ajaran yang berisikan
ketentuan sawabit (tetap), dan hal-hal yang memungkinkan terjadinya perubahan
mutagayyirat. Ajaran Islam yang tsawabit lebih sedikit, yaitu Aqidah, ibadah,,
muamalah dan akhlak. Sedangkan yang bersifat mutaghayyirat bersifat elastis,
fleksibel (murunah) dan dapat difahami sesuai perkembangan zaman.

40 Taujihat Surabaya, Musyawarah Nasional (Munas) Majlis Ulama Indonesia (MUI) ke-IX yang
diselenggarakn apada 08-11 Dzulqa’dah 1436 H/24-27 Agustus 2015
34
2. Memahami Fikih Prioritas
Diantara ajaran Islam moderat adalah pentingnya menetapkan prioritas
dalam beramal sebagaimana dalam (surat al-Taubah: 9: 19-20). Selain keimanan
juga Islam mengajarkan bahwa kita harus peka terhadap social, sebagaimana
diajarkan dalam (surat Saba’:34:24-26). Islam juga melarang kepada ashabiyah
atau ta’asub, yaitu sebuah kesepakatan dalam kebathilan sebagaiamana dalam
(surat al-Fath: 48: 26). Dan untuk tidak pada fanatisme buta, maka Allah swt.,
berfirman dalam (surat al-Zuhruf:21:25). Dalam ayat lain juga (surat al-Taubah:
9: 31).
3. Mengedepankan prinsip kemudahan dalam beragama
Ajaran Islam agalah memudahkan dan tidak menyulitkan, sebagaiama
dalam (surat al-Baqarah:2: 185). Demikian juga dalam (surat al-Nisa’:4:28), (surat
al-Hajj: 22:78). Dalam hadis Rasulullah saw; sesungguhnya agama itu mudah” (HR.
Bukhari), begitu juga hadis rasulullah bahawa: “Permudahlah jangan dipersulit”
(HR. Bukhari).
4. Memahami Teks Keagamaan secara Komprehensip
Islam mengajarkan untuk memahami agama dengan cara komprehensip,
yaitu tidak sebagian, karena al-Qur’an adalah al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu
ba’dhan”. Salah satu metode yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an
adalah tasfir tematik.
5. Keterbukaan dalam Menyikapi Perbedaan
Ajaran Islam mengajarkan keterbukaan dalam beragama, sebagaimana
(surat al-Hud:11:118-119). Pada prinsipnya; 1) mnusia adalah makhluk yang
selalu memiliki sikap ketergantungan, 2) asal kejadian manusia adalah sama, 3)
manusia memiliki tugas yang sama.
6. Komitmen terhadap keadilan dan kebenaran
Islam senantisa mengajarkan kepada komitmen terhadap keadilan dan
kebenaran sebagaimana (surat al-Maidah: 5:8).
7. Moderasi Islam dalam Aqidah
a. Karakteristik Moderasi Islam dan Akidah

35
Islam secara garis besar terbagi pada aqidah dan syari’ah, term pertama
menggunakan istilah iman dan term kedua menggunakan amalushalihat,
seperti dalam (surat al-Kahf:18:107-108), (surat al-Nahl:16:97), (surat al-‘Asr:
103:1-3) dan (surat al-Ahqaf:46:13). Bahwa aqidah merupakan inti dari ajaran
Islam selain syari’ah.
1) Sesuai dengan fitrah dan akal
Bahwa aqidah Islam sesuai dengan fitrah dan akal sehat manusia
sebagaimana (surat al-Rum:30:3). Aqidah Islam dibangun berdasarkan
akal yang fitrah, ajaran Islam sangatlah logis, jika seseorang dapat
menggunakan akal dengan baik, maka sesuangguhnya ia akan selamat.
2) Jelas dan mudah
Ciri-ciri Islam adalah jelas dan mudah, dan Islam tidak
menyulitkan, misalnya tentang keesaan Tuhan (surat al-Anbiya’:21:22),
Allah adalah Esa dan tidak dua, jika Tuhan itu dua, maka aka nada dua
manjer dan akan hancurlah dunia, karena aka nada dua iradah.
3) Bebas dari kerancauan pradoksal
Seandainya al-Qur’an bukan dari Allah, maka akan rancau dan
banyak pertentangan di dalamnya, sebagaimana (surat al-Nisa’:4:82),
bagaimana Allah memaparkar tentang Ketuhanan (surat Taha:20:5), dan
(fatr:35:10) pemaparan Tuhan selain Allah (surat al-Syura’: 42:11), dan
(surat al-Baqarah:2:255).
4) Kokoh dan abadi
Allah senantiasa akan memelihara al-Qur’an dan al-Qur’an adalah
kekal karena di dalamnya dapat menagkal ideology yahudi, Nasrani dan
Majusi (surat al-Hijr: 15:9),
5) Tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan
Al-Qura’an adalah menjadi basis pada semua ilmu pengetahuan
(surat al-‘Alaq; 96:1).
b. Aqidah Islam; Moderasi antara akidah Yahudi dan Nasrani
Agama Islam dibangun atas dasar ketuhanan (al-Ilahiyah), kenabiyah
(al-nubuwwah), spiritualitas (ruhaniyah).
36
1) Ketuhanan
Yahudi meyakini patung sebagai Tuhan, Nasrani meyakini Isa
sebagai anak Tuhan
2) Kenabiyan
Yahudi dan Nasrani meyakini satu Nabi tapi mengingkari Nabi yang
lainnya.
3) Malaikat
Malaikat adalah makhluk allah yang diciptakan dari cahaya,
sedangkan Yahudi menganggap malaikat adalah jin.
4) Kitab suci
Al-Qur’an adalah kitab yang menyempurnakan kitab-kitab
sebelumnya.
8. Moderasi Islam dalam Syari’ah
Apa yang dapat ditangkap sebagai keseimbangan tasyri’ dalam Islam
adalahpenentuan halal dan haram yang selalu mengacu pada asas manfaat-
madharat, suci-najis, serta bersih-kotor. Dengan kata lain, satu-satunya tolak
ukur yang digunakan Islam dalam penentuan halal dan haram adalah maslahah
umat atau dalam bahasa kaidah fiqhiyyahnya: jalbu al-mashalih wa dar‟u al-
mafasid (upaya mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan).
Kenyataan ini tidak sama, misalnya, dengan syariat agama Yahudi yang
cenderung berlebihan dalam pengharaman sesuatu. Bahkan, sebagai azab Tuhan
dari sikap berlebihan ini, 41 sebagimana diisyaratkan al-Qur‟an, Allah
mengharamkan pula atas mereka hal-hal yang semestinya halal. Demikian pula
moderasi dalam arti keseimbangan juga terdapat dalam firman Allah: “Dan
langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan. 8. Agar kamu
jangan merusak keseimbangan itu. 9. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan
adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu. (QS. ar-Rahman/55: 7-
9).

41Lidwa Pustaka i-Software, Kitab 9 Imam Hadits, Sumber: Bukhari, Kitab: Nikah, Bab: Hak
Suami Atas Dirimu, No. Hadist: 4800.
37
Keseimbangan (tawazun) ini bukan hanya berlaku dalam sikap
keberagaman, tetapi di alam raya ini juga berlaku prinsip keseimbangan. Malam
dan siang, terang dan gelap, panas dan dingin, daratan dan lautan, diatur
sedemikian rupa secara seimbang dan penuh perhitungan agar yang satu tidak
mendominasi dan mengalahkan yang lain. Dalam ayat diatas, al-mizan atau al-
wazn adalah alat untuk mengetahui keseimbangan barang dan mengukur
beratnya. Bisa diterjemahkan neraca/timbangan. Kata ini digunakan secara
metafora untuk menunjuk keadilan dan keseimbangan yang menjadi kata kunci
kesinambungan alam raya.
Ketiga ayat di atas disebut dalam konteks surah ar-Rahman yang
menjelaskan karunia dan ni‟mat Allah yang berada di darat, laut, dan udara,
serta karunia-Nya di akhirat. Konteks penyebutan yang demikian menegaskan
bahwa kenikmatan dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh dengan menjaga
keseimbangan (tawazun, wasathiyah) dan bersikap adil serta proporsional.42

E. Tantangan Moderasi
Lawan dari konsep moderasi (wasathiyah) adalah ekstrim. Ekstrim sendiri
berasal dari bahasa Inggris extreme, yang berarti perbedaan yang besar, yang
dimaksud ekstrim adalah dalam bahasa Arab sering disebut ghuluw, yaitu
berlebihan, bisa berlebihan dalam kebenaran atau berlebihan dalam kebutukan,
dan kadang disebut tasydid, yaitu keras, keras dalam arti menyikapi perkara
dengan cara yang keras tanpa mau bertoleransi, sebagaimana dijelaskan dalam
(surat al-Nisa’: 4:171). Ayat ini terlalu berlebihan dalam menyikapi Isa yang
dianggap sebagai anak Tuhan dari Maryam (surat al-Taubah: 9:31), dan (surat
Ma’idah: 5: 72). Begitu juga tentang keyakinan terhadap Tuhan, sebagaimana
dijelaskan (surat al-Maidah: 5: 73). Dalam firman lain juga (surat al-Ma’idah: 5:
77). Ayat di atas menjelaskan al-ghuluw menyangkut tentang aqidah/keyakinan.
Term Yahudi dan Nasrani. Yahudi adalah yang tetap berpegang teguh pada

42Abu Yasid, Membangun Islam Tengah..., h. 45-46. Departemen Agama Republik Indonesia,
Al-Qur‟an Dan Terjemahannya..., h. 773.
38
kitab taurat, sedangkan Isa adalah yang beranggapan bahwa Isa adalah anak
Tuhan.
Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara
moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak
ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme,
ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama,
merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga,
adanya program pengarusutamaan moderasi beragama ini dinilai penting dan
menemukan momentumnya.
Bentuk ektremisme terjewantahkan dalam dua bentuk yang berlebihan. Dua
kutub yang saling berlawanan. Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam
beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan
akal.
Sementara di pihak yang lain justru sebaliknya, sangat longgar dan bebas
dalam memahami sumber ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada
penggunaan akal yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai
tolak ukur kebenaran sebuah ajaran.
Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada teks, namun menutup
mata dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan pemahaman yang
tekstual. Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih
pada akal atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga, dalam
pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru sangat menekankan pada
realitas dan memberikan ruang yang bebas terhadap akal.
Retaknya hubungan antarpemeluk agama di Indonesia saat ini, menurut
Nafik Muthohirin (Sindo: 7 Mei 2018), dilatarbelakangi paling tidak oleh dua
faktor dominan: pertama, populisme agama yang dihadirkan ke ruang publik
yang dibumbui dengan nada kebencian terhadap pemeluk agama, ras, dan suku
tertentu.
Kedua, politik sektarian yang sengaja menggunakan simbol-simbol
keagamaan untuk menjustifikasi atas kebenaran manuver politik tertentu
sehingga menggiring masyarakat ke arah konservatisme radikal secara
39
pemikiran. Populisme agama itu muncul akibat cara pandang yang sempit
terhadap agama, sehingga merasa paling benar dan tidak bisa menerima ada
pendapat yang berbeda

40
DAFTAR PUSTAKA

Al-Alamah al-Raghib al-Asfahaniy, Mufradat al-Fadz al-Qur‟an, Beirut: Darel Qalam,


2009
Afifuddin Muhadjir dalam diskusi terbatas (Disatas )Anggota Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres) RI dengan tema “Moderasi Cegah Dini Radikalisme-
Terorisme Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), selasa, 1 Maret 2016
Din Syamsuddin, “Islam wasathiyah Solusi Jalan Tengah”, Mimbar Ulama Suara Majlis
Ulama Indonesia, Islam wasathiyah: Ruh Islam MUI, Ed. 327, Jakarta: tth.
https://tirto.id/gaHK, diunggah pada tanggal 17 Juli 2021
Ibnu „Asyur, at-Tahrir Wa at-Tanwir, Tunis: ad-Dar Tunisiyyah, 1984
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kathir bin Ghalib al-Amiry Abu Ja’far al-Thabariy,
Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Mua’asasah al-Risalah, 2000, al-Maktabah
al-Syamilah, versi II
Ma’ruf Amin, “Islam wasthiyah Solusi Jalan Tengah”, Mimbar Ulama Suara Majlis
Ulama Indonesia, Islam wasathiyah: Ruh Islam MUI, Ed. 327, Jakarta: tth.
Syauqi Dhoif, al-Mu‟jam al-Wasith, Mesir: ZIB, 1972
Safiuddin, dakwah bil Hikmah Reaktualisasi Ajaran Walisongo: Pemikiran dan Perjuangan
Kyai Hasyim Muzadi, Depok: al-Hikmah Press 2012
Taujihat Surabaya, Musyawarah Nasional (Munas) Majlis Ulama Indonesia (MUI) ke-
IX yang diselenggarakn apada 08-11 Dzulqa’dah 1436 H/24-27 Agustus 2015
Tholhatul Choir, Ahwan Fanani, dkk, Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
TIM Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majlis Ulama Indonesia Pusat.
Islam Wasathiyah, Jakarta: TKDPM-MUIP, 1999
Wahbah Zuhaily, Tafsīr al-Munīr, Damaskus: Dâr al-Fiqr, 2007

41
BAB II
HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA
Gesit Yudha, M.I.P
Masrukhin, Lc., Ph.D
Rizki Gunawan, M.Pd

A. Hubungan Agama dan Negara di Indonesia


Dalam praktik kehidupan kenegaraan masa kini, hubungan antara agama dan
negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni integrated (penyatuan
antara agama dan negara), intersectional (persinggungan antara agama dan
negara), dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara.Bentuk hubungan
antara agama dan negara di negara-negara Barat dianggap sudah selesai dengan
sekularismenya atau pemisahan antara agama dan negara. Paham ini menurut The
Encyclopedia of Religion adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya
dengan sadar mengecam segala bentuk supernaturalisme dan lembaga yang
dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-prinsip non-agama atau anti-
agama sebagai dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi sosial.43
Pemisahan agama dan negara tersebut memerlukan proses yang disebut
sekularisasi, yang pengertiannya cukup bervariasi, termasuk pengertian yang
sudah ditinjau kembali. Menurut Peter L. Berger berarti “sebuah proses dimana
sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat dan budaya dilepaskan dari dominasi
lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan”.44 Proses sekularisasi yang
berimplikasi pada marjinalisasi agama ini bisa berbeda antara satu negara dengan
negara lainnya, yang terutama dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan sejarah
masing-masing masyarakatnya. Negara-negara yang mendasarkan diri pada
sekularisme memang telah melakukan pemisahan ini, meski bentuk pemisahan itu
bervariasi. Penerapan sekularisme secara ketat terdapat di Perancis dan Amerika
Serikat, sementara di negara-negara Eropaselain Perancis penerapannya tidak
terlalu ketat, sehingga keterlibatan negara dalam urusan agama dalamhal-hal
tertentu masih sangat jelas, seperti hari libur agama yang dijadikan sebagai libur

43
The Encyclopedia of Religion, Vol. 13, (New York: Macmillan Publishing Company), h. 159.
44
Lihat Gergely Rosta,“Secularization or Desecularization in the Work of Peter Berger, and the
ChangingReligiosity of Europe”, dalamhttp://www.crvp.org/book/Series07/VII-26/chapter-14.htm.
42
nasional, pendidikan agama di sekolah, pendanaan negara untuk agama,
keberadaan partai agama, pajak gereja dan sebagainya.Bahkan sebagaimana
dikatakan Alfred Stepan kini masih ada sejumlah negara Eropa yang tetap
mengakui secara resmi lembaga gereja (established church) dalam kehidupan
bernegara, seperti Inggris, Yunani dan negara-negara Skandinavia (Norwegia,
Denmark, Finlandia, dan Swedia).45
Sekularisasi politik juga terjadi dalam konteks modernisasi politik di negara-
negara berkembang, termasuk di negera-negara Muslim. Dalam kaitan dengan
halini Donald Eugen Smith beberapa dekade lalu mengatakan, bahwa sebenarnya
sekularisasi politik dan pelibatan agama dalam politik ini berjalan secara simultan.
Namun menurut dia, sekularisasi ini betul-betul merupakan proses yang lebih
mendasar, dan hal ini lambat laut akan melenyapkan fenomena partai politik dan
ideologi keagamaan.46 Sekularisasi politik dalam hal-hal tertentu dan tingkat
tertentu memang terjadi di negara-negara Muslim, seperti pembentukan lembaga-
lembaga negara modern sebagai perwujudan sistem demokrasi yang menggantikan
lembaga-lembaga negara berdasarkan keagamaan, pembentukan partai-partai
politik, penyelenggaraan pemilihan umum, dan sebagainya. Bahkan proses
sekularisasi secara terbatas juga terjadi di negara-negara agama (religious states),
yang mengintegrasikan agama dan negara seperti Arab Saudi dan Iran, dengan
melegislasi aturan-aturan operasional tertentu yang awalnya berasal dari negara-
negara Barat sekuler, seperti peraturan hukum tentang perdagangan internasional,
imigrasi, dan sebagainya.
Namun dalam kenyataannya, umat Islam tetap memperhatikan faktor agama
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, meski negara itu telah melakukan
modernisasi dan sekularisasi politik bersamaan dengan proses globalisasi.Hal ini
sebenarnya tidak terlepas dari karakteristik ajaran Islam itu sendiri, yang tidak
hanya merupakan sistem teologis, tetapi juga cara hidup yang berisi standar etika
moral dan norma-norma dalam kehidupan masyarakat dan negara. Islam tidak

45
Lihat Alfred Stepan, The World’s Religious Systems and Democracy: Crafting The “Twin Tolerations”,
dalam https://mail2.mpil.de/exchange/mboecken /Entw%C3%BCrfe/Project Manager – Constitution Process –
Governance.EML/, h. 6-7.
46
Lihat Donald Eugen Smith, Religion and Political Development, (Boston: Little Brown and Company,
1970), h. 124.
43
membedakan sepenuhnya antara hal-hal sakral dan profan, sehingga Muslim yang
taat menolak pemisahan antara agama dan negara. Oleh karena itu, sekularisasi
yang terjadi di negara-negara Muslim umumnya tidak sampai menghilangkan
orientasi keagamaan masyarakat dan negara. Bahkan adopsi sistem sekuler, seperti
sistem demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, dalam banyak hal dilakukan
dengan pemberian legitimasi keagamaan melalui ijtihad dan penyesuaian-
penyesuaian tertentu.47 Tanpa legitimasi ini, ide-ide atau “sistem sekuler” itu tidak
akan mendapat dukungan sepenuhnya dari warga yang mayoritas beragama Islam.
Ijtihad ini merupakan bagian dari modernisasi pemahaman keagamaan
(modernisme Islam) agar ajaran-ajaran Islam tetap kompatibel dengan
perkembangan masyarakat modern tanpa menyalahi ajaran-ajaran Islam yang
bersifat mendasar dan absolut (qath’i).
Menguatnya kembali orientasi keagamaan dan penolakan terhadap
sekularisme telah menjadi fenomena di seluruh dunia Islam sejak akhir dasawarsa
1970-an, terutama karena semakin tingginya tingkat pendidikan umat Islam
sehingga memunculkan pemahaman dan kesadaran mereka tentang karakteristik
ajaran Islam yang memang tidak memisahkan antara agama dan negara. Bahkan
sejak dasawarsa 1980-an, kebangkitan agama dalam bentuk desekularisasi politik
dan sosial cukup nampak di negara ini sebagai tandingan (counter) terhadap proses
sekularisasi politik tersebut.48 Kecenderungan desekularisasi ini ternyata tidak
hanya terjadi dunia Islam, tetapi juga di banyak negara di dunia, termasuk di
Amerika Serikat, karena manusia tetap membutuhkan nilai-nilai spiritual, meski
mereka hidup dalam masyarakat modern yang menjunjung rasionalitas. Karena
kenyataan itulah sosiolog terkemuka, Peter L. Berger pada akhir dasawarsa 1990-an
menolak teori “secularization”, dan sebaliknya mengemukakan teori
“desecularization of the world”. Hal ini terjadi karena dalam kenyataannya proses
sekularisasi itu menimbulkan reaksi dalam bentuk gerakan-gerakan tandingan

47
Tentang legitimasi keagamaan terhadap demokrasi, misalny, lihat Masykuri Abdillah, Responses of
Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy 1966-1993, (Hambur: Abera Verlag, 1997).
48
Bahkan di Turki, sebuah negara Muslim yang telah menerapkan sekularisme sejak tahun 1924, umat
Islam sejak dua dasawarsa lalu berupaya memiliki kembali orientasi keagamaan, meski militer dengan cara keras
dan represif melakukan pembentengan terhadap ideologi sekularisme dari “rongrongan” agama.
44
sekularisasi yang kuat (poweful movements of counter-secularization).49 Jadi teori
ini merupakan revisi terhadap teorinya sendiri tentang sekularisasi yang
dikemukakan pada akhir dasawarsa 1960-an.50 Hanya saja, perlu dibedakan antara
desekularasi dalam konteks negara (politik) dan desekulariasi dalam kehidupan
masyarakat. Di negara-negara Barat fenomena desekularisasi ini umumnya terjadi
dalam konteks kehidupan masyarakat, sementara negara masih tetap mendukung
sekularisme, walaupun sebagian warga menuntut penghapusan sekularisme.
Desekularisasi juga terjadi di Indonesia pada akhir 1980-an sebagai counter
terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang pada masa-masa awal mendukung
sekularisasi sejalan dengan proses modernisasi dan pembangunan. Sekularsasi
politik itu dilakukan dengan tema “de-ideologisasi politik”, terutama dengan
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang berimplikasi pada pelarangan
simbol-simbol agama dalam politik. Meski terjadi proses sekularasi politik yang
sangat kuat pada saat itu, dalam masyarakat tidak terjadi sekularisasi yang berarti,
karena umat Islam tetap memiliki orientasi keagamaan dan melakukan sosialisai
ajaran-ajaran agama secara kultural. Desekularisasi itu antara lain ditandai dengan
revisi kebijakan pemerintah dengan mengakomodasi sebagian aspirasi umat Islam,
seperti UU Peradilan Agama No. 7 tahun 1989, UU No. 2 Sistem Pendidikan
Nasional tahun 1989 yang mengakomodasi pendidikan agama dan UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan yang mengakomodasi beroperasinya bank dengan sistem
bagi hasil (perbankan syari”ah).
Berakhirnya masa Orde Baru dan munculnya Era Reformasi pada 1998, yang
mendukung kebebasan dan demokrasi, dijadikan sebagai momentum bagi tokoh
Islam untuk mempromosikan kembali politik Islam dengan mendirikan partai-partai Islam
atau berbasis massa ormas Islam. Namun belajar dari sejarah perjuangan masa lalu untuk
menjadikan Islam sebagai dasar negara seperti yang terjadi dalam persiapan kemerdekaan
pada 1945 dan dalam Konstituante pada 1956-1959, mereka tidak mengulangi lagi

49
Lihat Peter L. Berger et al., The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics,
(Washington DC: Ethics and Public Policy Center, 1999), hlm. 1-4. Teori sekularisasi ini antara lain dikemukan
oleh Donald Eugene Smith, sebagaimana dapat dilihat dalam bukunya, Religion and Political Development,
(Boston: Little Brown and Company, 1970), h. 124.
50
Lihat Pippa Norris dan Ronald Inglehart, Sacreed and Secular: Religion and Politics Worldwide, tr.
Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama dan Politik di Dunia Dewasa ini, (Jakarta: Alvabet dan Yayasan Wakaf
Paramadina), h. 4.
45
perjuangan serupa. Memang di awal-awal era reformasi sempat muncul gagasan
dan perdebatan dalam konteks amandermen UUD 1945 untuk memasukkan
semangat Piagama Jakarta atau pelaksanaan syari’at Islam dalam konstitusi, tetapi
gagasan atau usulan itu tidak bisa diterima oleh MPR. Meski demikian, hampir
semua kelompok Islam mendukung modernisasi politik dan demokratisasi, dan
hanya sebagian kecil yang menolaknya.51
Dengan demikian, baik dalam konsep sistem ketatanegaraan maupun realitas
pada saat ini hubungan antara agama dan negara di Indonesia tetap dalam bentuk
yang kedua (intersectional) atau hubungan persinggungan antara agama dan
negara, yang berarti tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuhnya
terpisah. Dalam hubungan semacam ini terdapat aspek-aspek keagamaan yang
masuk dalam negara dan ada pula aspek-aspek kenegaraan yang masuk dalam
atau memerlukan legitimasi agama. Oleh karena itu, seringkali dikatakan bahwa
Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Negara
Indonesia adalah negara yang secara kelembagaan berbentuk sekuler tetapi secara
filosofis mengakui eksistensi agama dalam kehidupan bernegara. Bahkan agama
sebagai dasar negara secara eksplisit disebutkan dalam pasal 29 ayat 1, yakni
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan sila pertama
Pancasila dan pasal 29 inilah sejumlah ahli hukum tata negara, seperti Ismail Suny,
mengatakan bahwa sistem ketetanegaraan Indonesia mengakui tiga bentuk
kedualatan, yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan Tuhan.52
Namun hanya dua kedaulatan yang diakui resmi dan diwujudkan dalam bentuk
lembaga negara, yakni kedaulatan rakyat dalam bentuk Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan kedaulatan hukum dalam bentuk Mahkamah Konstitusi (MK).
Pengakuaan akan eksistensi agama dalam kehidupan bernegara diwujudkan
terutama dalam bentuk pengakuan resmi lembaga-lembaga keagamaan tertentu
dalam negara serta adopsi nilai-nilai dan norma-norma agama dalam sistem

51
Memang sejak beberapa tahun terakhir ini ekspresi kelompok yang menolak demokrasi semakin terbuka.
Mereka antara lain Hizbut Tahrir, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), pengikut Ikhwan Quthbiyyah, kelompok Salafi
dan sebagainya. Pada tahun 2010 kelompok ini menerbitkan sebuah buku berjudul Ilusi Negara Demokrasi yang
didukung oleh Hizbut Tahrir. Kemudian Maret 2013 lalu majalah Al-Wa’ie milik organiasi ini terbit dengan judul
Demokrasi Sistem Kufur.
52
Lihat Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Kita, (Jakarta: Aksara Baru, edisi ke-6., 1987), h. 7-8.
46
nasional dan pengambilan kebijakan publik, seperti legislasi hukum-hukum agama
(Islam) tertentu menjadi hukum nasional. Di samping itu, negara juga mengakui
eksistensi partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa yang berbasis
agama. Hanya saja, kini terdapat perkembangan yang menarik dalam orientasi
politik warga yang sekaligus menggabungkan antara proses sekularisasi dan
desekularisasi. Di satu sisi, terjadi desekularisasi politik dengan munculnya
kembali partai-partai agama (Islam) dan akomodasi nilai-nilai dan norma-norma
agama dalam pengambilan kebijakan publik.

B. Agama dan Kebijakan Publik


Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa negara mengakui eksistenasi
lembaga-lembaga keagamaan dalam negara dan masyarakat. Hanya saja, terdapat
perbedaan visi dan aspirasi di kalangan warga tentang sejauh mana keterlibatan
agama itu dalam negara.53 Dalam konteks ini, orientasi warga negara tentang
keagamaan dalam konteks kehidupan negara cukup bervariasi, yang secara garis
besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk. Pertama agama sebagai ideologi,
yang didukung oleh mereka yang ingin menjadikan agama sebagai ideologi negara,
yang manifestasinya berbentuk pelaksanaan ajaran agama (syari’ah dalam konteks
Islam) secara formal sebagai hukum positif. Orientasi kelompok ini pada agama
lebih besar daripada orientasinya pada wawasan kebangsaan, sehingga ia akan bisa
menimbulkan dilema jika dihadapkan pada realitas bangsa yang majemuk. Apalagi
secara umum kelompok ini memiliki sikap yang absolutis dan eksklusif dalam
beragama, di samping kadang-kadang melakukan politisasi agama untuk
mendukung cita-cita mereka.
Kedua, agama sebagai sumber etika-moral (akhlak), yang didukung oleh
mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih besar daripada orientasi
keagamaan. Orientasi ini hanya mendukung pelaksanaan etika-moral agama
(religio-ethics), dan menolak formalisasi agama dalam konteks kehidupan

53
Di era reformasi ini muncul pulaorientasi kelompok yang mendukung sekularisme dan liberalisme yang
berarti pemisahan agama dan negara sepenuhnya seperti di negara-negara Barat. Mereka menolak pelibatan agama
dalam negara dan bahkan menolak Pancasila dan UUD 1945 yang menyebutkan agama atau Ketuhanan Yang
Maha Esa.
47
bernegara. Posisi agama sebagai sumber pembentukan etika-moral ini
dimaksudkan agar bangsa ini memiliki landasan filosofis yang jelas tentang etika-
moral, tidak hanya berdasarkan kriteria baik dan buruk yang kadang-kadang bisa
sangat subyektif atau sangat temporal. Di satu sisi orientasi ini membawa hal yang
positif, karena dapat menghilangkan ketegangan antara kelompok Islam dengan
kelompok-kelompok lain serta sangat kondusif bagi terwujudnya integrasi bangsa
yang mejemuk ini. Namun di sisi lain, orientasi ini tidak cukup akomodatif
terhadap aspirasi umat agama tertentu yang berupaya sedapat mungkin
melaksanakan ajaran agama sepenuhnya.
Ketiga, agama sebagai sub-ideologi atau sebagai sumber ideologi jika kata
“sub-ideologi” dianggap bisa menimbulkan penolakan dari sebagian kelompok
masyarakat. Orientasi pertama memang sangat idealistis dalam konteks Islam,
tetapi kurang realistis dalam konteks masyarakat dan bangsa Indonesia yang
sangat plural. Sedangkan orientasi kedua sangat idealistis dalam konteks
kemajemukan di Indonesia, tetapi kurang realistis dalam konteks agama Islam
sebagai agama mayoritas, yang ajarannya tidak hanya berupa etika-moral
melainkan juga sejumlah norma-norma dasar. Tarikan yang kuat ke arah salah satu
orientasi ini akan mengakibatkan semakin kuatnya tarikan ke arah orientasi yang
berlawanan, dan bahkan akan dapat menimbulkan konflik internal yang lebih
besar. Oleh karena itu, diperlukan jalan tengah di antara keduanya, yakni
menjadikan agama sebagai sub-ideologi atau sebagai salah satu sumber ideologi
Pancasila.
Orientasi ketiga tersebut lebih realitis dan moderat, karena meski orientasi
ini berupaya melaksanakan etika-moral serta hukum agama atau prinsip-
prinsipnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ia masih tetap mengakui
Pancasila sebagai ideologi negara. Karena Pancasila ini merupakan ideologi terbuka
dan fleksibel, maka agama dituntut untuk memberikan kontribusi dalam
penjabaran konsep-konsep operasional di berbagai bidang sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan dunia. Dalam hal inilah nilai-nilai dan norma-
norma agama menjadi input dan legitimasi bagi pembentukan dan penguatan
etika-moral serta sistem nasional dan kebijakan publik. Di samping itu, orientasi ini
48
mendukung pluralisme dan toleransi yang tinggi terhadap kemajemukan bangsa
ini, sehingga semua warga negara memiliki kedudukan yang sejajar.
Pelibatan agama dalam penguatan etika-moral (akhlak) bangsa saat ini
sangat dibutuhkan, terutama ketika kondisi akhlak bangsa ini secara umum masih
sangat lemah, seperti maraknya kebohongan, korupsi, penipuan, kekerasan,
radikalisme, pemerkosaan, egoisme, keserakahan dan sebagainya, baik dalam
kehidupan masyarakat maupun kehidupan politik, hukum dan birokrasi. Demikian
pula, kini semakin banyak terjadi kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba,
perkelaian antar kelompok, pergaulan bebas, pornografi, pornoaksi, dan
sebagainya. Penguatan akhlak ini kini menjadi sangat penting untuk memperkuat
etika politik dalam proses konsolidasi demokrasi yang sudah berlangsung sejak
tahun 2004 tetapi kurang berjalan dengan mulus, tidak seperti proses transisi
demokrasi yang telah dilewati dengan sukses antara tahun 1998 sampai 2004.54
Di samping itu, agama menjadi sumber atau input bagi pengambilan
kebijakan publik, agar perundang-undangan dan kebijakan publik itu sejalan atau
tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama (Islam) serta sesuai dengan aspirasi
umat. Dalam kenyataannya, ajaran-ajaran agama itu di samping mengandung nilai-
nilai yang bersifat universal, juga mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat pertikular, dan oleh karenanya, aspirasi umat itu juga adakalanya bersifat umum
(universal) dan adakalanya bersifat khusus (partikualr). Hanya saja, seringkali aspirasi Islam
itu hanya diidentifikasikan pada bentuk aspirasi yang bersifat khusus (partikular), sehingga
gerakan-gerakan Islam yang muncul umumnya menggunakan tema-tema aspirasi khusus
tersebut, yang notabene bersifat ideologis atau “fundamentalistis”. Padahal ajaran Islam itu
tidak hanya mencakup hal-hal yang termasuk dalam aspirasi khsusus, tetapi juga
aspirasi umum (universal). Sebagaimana diketahui filosofi ajaran Islam (maqashid
al-syariah) itu dimaksudkan untuk memelihara dan menghormati lima hal, yakni:
agama, jiwa, akal, kehormatan, harta benda, atau dalam bahasa lain untuk
memelihara dan meningkatkan eksistensi manusia, baik dalam konteks ekonomi,
kesehatan, pendidikan, tempat tinggal maupun makanan.

54
Lihat Harold Chrouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto, (Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies, 2010), h. 35; dan Edward Aspinal and Marcus Mietzner (eds.), Problems of Democratizations in
Indonesia: Elections, Institutions and Society, (Singapore: ISEAS, 2010), h.17.
49
Dalam konteks ini, pelaksanaan hukum agama (syari’ah Islam) sering kali
menjadi perdebatan yang berlanjut, baik ketika masa persiapan kemerdekaan
dengan adanya Piagam Jakarta sampai saat ini.
Sebagaimana disebutkan di atas, dalam amandemen UU 1945 pada tahun
1999, 2000, 2001 dan 2002 muncul kembali aspirasi sebagian kelompok Islam untuk
memberlakukan Piagam Jakarta atau syari’at Islam secara keseluruhan. Namun
aspirasi itu tidak didukung oleh mayoritas anggota MPR dalam pembahasan
amandemen UUD 1945, terutama pasal 29. Bahkan ormas-ormas besar seperti
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pun tidak setuju dengan hal ini. Hal
itu dapat menghindarkan perdebatan yang berkepanjangan, yang bisa
menimbulkan perselisihan dan konflik antara pendukung dan penentang
pelakanaan syaria’at Islam secara keseluruhan (kaffah), yang bisa menjadi ancaman
bagi integrasi nasional.
Dengan demikian, sejalan dengan orientasi ketiga tersebut di atas,
penerapan hukum Islam dalam konteks hukum nasional dilakukan dengan tiga
bentuk, yakni:
1. Pelaksanaan syari’ah secara formal, yakni untuk hukum-hukum privat tertentu,
seperti hukum keluarga, zakat dan haji yang pada saat ini sudah ada UU-
nya, serta wakaf dan perbankan syari’ah.
2. Pelaksanaan syari’ah secara substantif, yakni untuk hukum-hukum privat
selain yang telah disebutkan di atas yang besarnya sebenarnya sudah sesuai
dengan substansi atau materi hukum Islam, dan hukum publik yang
sebagiannya juga sudah sesuai dengan substansi hukum Islam, seperti
hukuman mati bagi tindak pidana pembunuhan yang secara meteriil sama
dengan qishâsh.
3. Pelaksanaan syari’ah secara esensial, jika pelaksanaan secara substantif sulit
diwujudkan dalam konteks masa kini, misalnya hukuman penjara bagi tindak
pidana pencurian, yang secara esensial sudah sesuai dengan hukum Islam,
yakni bahwa pencurian merupakan tindak kejahatan yang harus dikenakan
sanksi. Pelaksanaan secara esensial ini dilakukan dengan memahami filosofi
atau prinsip-prinsip syari’ah, yang meliputi tujuan hukum Islam (maqâshid al-
50
Syarî‘ah dan rahasia yang terdapat dalam suatu hukum tertentu (asrâr al-
tasyrî‘). Pelaksanaan syari’ah secara substanstif atau esensial tersebut
diupayakan melalui integrasi atau penyerapan prinsip-prinsip hokum Islam ke
dalam hukum nasional atau kebijakan publik (public policy) secara umum.
Upaya untuk mengintegrasikan ajaran agama ke dalam sistem nasional ini
sebenarnya bukan hanya untuk Islam, tetapi merupakan hak semua agama
yang ada di Indonesia. Tentu saja upaya ini perlu disertai dengan obyektifikasi
ajaran-ajaran Islam, sehingga pelaksanaan ajaran itu tidak hanya dipahami
semata-mata sebagai bentuk ketundukan umat Islam kepada Allah (ta’abbudî),
tetapi ia memang dibutuhkan sebagai sebuah aturan bersama dan dapat
diterima oleh semua pihak secara rasional (ta’aqqulî). Obyektifikasi ini perlu
mendapatkan perhatian, karena pada prinsipnya peraturan hukum yang baik
dalam sebuah negara adalah peraturan yang dapat diterima oleh seluruh pihak,
dan bukan hanya karena terpaksa mengikuti kelompok mayoritas. Dengan
demikian, berbeda dengan bentuk pelaksanaan yang pertama yang hanya
khusus umat Islam, bentuk pelaksanaan kedua dan ketiga menjadikan hukum
Islam terintegrasi atau terserap ke dalam hukum nasional yang notebene
menjadi peraturan hukum bagi seluruh rakyat. Bentuk pelaksanaan tersebut
merupakan jalan tengah (middle way) di antara yang mendukung pelaksanan
sepenuhnya dan yang menolak sepenuhnya formalisasi hukum Islam. Selama
ini jalan tengah ini sudah berlangsung, misalnya dengan legislasi hukum
keluarga, hukum ekonomi syari’ah, legislasi pengelolaan haji, zakat dan wakaf.
Meski demikian, hal ini dinilai belum ideal oleh sebagian umat, terutama
berkaitan dengan praktik-praktik keagamaan seperti ibadah, cara berbusana
dan baca Al-Qur’an, serta berkaitan dengan kemaksiatan, seperti perzinaan,
minuman keras dan perjudian. Oleh karena itu, sejumlah propinsi dan
kabupaten/kota telah berusahan membuat Peraturan-Peraturan Daerah (Perda)
yang mendorong pelaksanaan ajaran Islam tersebut, seperti Gorontalo, Cianjur,
Solok, Bulukumba, Tangerang dan sebagainya. Secara umum, Perda-Perda
tersebut dinilai tidak bertentangan dengan sistem hukum nasional, karena
aturan-aturan ini berada dalam wilayah hukum privat, sementara pelarangan
51
kemaksiatan dalam Perda itu hanya memperkuat ketentuan hukum dalam
KUHP.55 Perda-Perda itu bukan merupakan hukum syari’ah yang sebenarnya,
melainkan hanya substansi dan esensinya. Khusus untuk Aceh, UU No.
11/2006 tentang Pemerintahan Aceh telah mengamanatkan kekhususan Aceh
dalam melaksanakan syari’at Islam, yang kemudian dijabarkan dalam Qanun
(Perda) Aceh. Hal ini memang sebagai bagian dari solusi damai terhadap
konflik yang berlangsung cukup lama di Aceh.

C. Agama dan Partisipasi Politik Rakyat


Sebagaimana disebutkan di atas, kriteria lain dari modernisasi politik adalah
tingginya tingkat partisipasi rakyat dalam politik atau minimal dalam bentuk
representasi demokratis dalam perumusan dan penetapan alaternatif-alternatif
kebijakan publik. Partisipasi politik muncul disebabkan oleh sejumlah warga
tertentu yang meyakini bahwa aspiraasi atau kepentingan mereka dapat dipenuhi
atau setidaknya dihormati dalam pembuatan kebijakan publik dan penerapannya.
Joel Krieger mendefinisikan partisipasi politik ini sebagai tindakan yang dilakukan
penduduk yang bertujuan mempengaruhi keputusan pemerintah. Partisipasi
politik ini bisa berbentuk individu, kelompok-kelompok kecil, atau aksi massal. Hal
itu mungkin berbentuk kepentingan pribadi yang sempit atau pengorbanan diri
secara sekilas, sporadis, atau terus menerus, spontan atau diatur sedemikian rupa,
kerjasama atau konfrontasional, legal, damai atau kekerasan. Hal ini mengandung
pengertian, bahwa partisipasi politik tidak hanya terdiri dari tindakan positif, tetapi
juga terdiri dari tindakan negatif, termasuk tindakan kekerasan dan melangar
hukum.56
Partisipasi politik yang kongkrit terdiri dari kesempatan memilih dan
berkampanye selama pemilu. Disamping itu, partisipasi juga bisa berbentuk
melakukan lobi, demonstrasi, mogok, protes, petisi, pawai, boikot dan bahkan

55
Pada tahun 2007 tiga warga Tangerang, yaitu Lilis Maemudah, Tuti Rahmawati, dan Hesti Prabowo
mengajukan uji materi(judicial review) Perda Kota Tangerang No. 8/ 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ke
Mahkamah Agung (MA). Namun MA menolak permohonan ini, dan menyatakan bahwa Perda itu tidak melanggar
peraturan yang lebih tinggi,HAM dan UUD 1945. Keputusan ini kemudian dijadikan sebagai preseden, bahwa
Perda-Perda serupa di daerah-daerah lainnya pun tetap berlaku.
56
Joel Krieger (ed.), Journal of Democracy, Vol. 2, No.2, h. 720.
52
kekerasan politik. Kegiatan ini bisa jadi dilakukan secara perorangan atau
berkelompok sebagaimana dalam bentuk partai politik (poltical society), civil
society seperti organisasi profesi dan organisasi massa, maupun kelompok-
kelompok primordial, seperti etnis dan wilayah. Partisipasi politik menjadi salah
satu indikator demokrasi, sehingga semakin banyak partisipasi pada umumnya
dianggap sebagai sesuatu yang baik; dan sebaliknya, semakin kurang partisipasi
dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Dalam masyarakat yang plural dan
multikultur, memenuhi semua aspirasi dan kepentingan bukanlah merupakan hal
yang mudah. Ini berarti bahwa beberapa diantaranya mungkin tidak dapat
dipenuhi dan hal ini dapat menyebabkan kondisi yang tidak memuaskan, yang
kemudian dapat mengarah kepada protes atau bahkan konflik dan kekerasan antar
anggota kelompok sosial atau politik. Hal ini dijadikan dalih oleh pemerintah Orde
Baru untuk membatasi partisipasi rakyat ini oleh sebagian besar pemerintahan
otoriter di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia pada masa Orde
Baru. Pemerintah Orde Baru berusaha menghilangkan konflik tersebut dengan
meniadakan partai-partai oposisi dan menganggap oposisi ini sebagai tidak sesuai
dengan Pancasila. Bahkan kriritk-kritik terhadap pemerintah yang diekspresikan
oleh individu maupun organisasi juga sering dianggap sebagai oposisi, dan oleh
karenanya harus ditekan.
Jatuhnya pemerintah Orde Baru dan munculnya era reformasi, yang
mendukung demokrasi secara substantif, memberikan kebebasan warga untuk
berekspresi dan berasosiasi sebagai bagian dari partisipasi politik, termasuk kritik
dan oposisi terhadap pemerintah. Jika pada masa Orde Baru, oposisi itu dianggap
sebagai bertentangan dengan ideologi negara, maka pada era reformasi opisisi ini
justru dianggap sebagai suatu keniscayaan dalam sebuah demokrasi, karena
pemerintah harus selalu dikontrol agar tidak melakukan kesalahan-kesalahan dan
penyalahgunaan kekuasaan. Tentu saja, oposisi yang dimaksud bukanlah
oposisionalisme melainkan opisisi loyal. Oposisionalisme, yang lazimnya bersifat
destruktif, menggunakan prinsip bahwa setiap persoalan yang berasal dari
pemerintah pasti dianggap salah dan oleh karenanya harus ditolak. Sebaliknya,
oposisi loyal dan konstruktif menggunakan prinsip, bahwa jika kebijakan
53
pemerintah yang diputuskan itu sejalan dengan aspirasi politiknya untuk
menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial, ia harus dianggap benar.57
Pemerintah di era reformasi tidak membatasi partisipasi politik rakyat,
melainkan mengarahkan agar aspirasi itu bisa tersalurkan dengan baik melalui
fungsionalisasi secara optimal partai-partai politik dalam melakukan peran
komunikasi politik (sosialisasi politik serta artikulasi dan agregasi kepentingan);
dan kelompok-kelompok masyarakat warga (civil society) dalam melakukan
perannya sebagai interest group dan pressure group. Di samping itu, proses politik
dalam sistem demokrasi seperti pemilihan umum dan pengambilan kebijakan
publik yang dilaksanakan secara bebas dan terbuka dimaksudkan untuk membuat
konflik seperti itu dapat dikelola dan diselesaikan secara beradab melalui badan
legislatif dan yudikatif. Pemilu-pemilu yang telah berlangsung di era reformasi
cukup baik dan demokratis, sehingga Indonesia dinilai sebagai negara demokratis
tersebesar ketiga di dunia, meski dalam beberapa hal masih muncul kekurangan-
kekurangan dalam pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada, seperti kecurangan,
manipulasi suara, politik uang, konflik dan sebagainya.
Di masa-masa awal era reformasi banyak pemimpin Muslim terkemuka
mendirikan partai politik baru; di antara mereka adalah: Abdurrahman Wahid,
pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) yang mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), Amein Rais, para pemimpin Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat
Nasional (PAN), Deliar Noer mendirikan Partai Ummah (PUI), dan Yusril Ihza
Mahendra mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB). Pembentukan partai politik
Islam ini sempat menjadi bahan diskusi dan perdebatan di antara para pemimpin
dan intelektual Muslim sendiri serta kalangan pengamat politik dan politisi.
Banyak dari mereka setuju pembentukan partai Islam, karena menurut Yusril Ihza
dalam sistem demokrasi partai agama adalah legal dan konstitusional jika
tujuannya tidak bertentangan dengan dasar negara dan demokrasi.58 Namun
Kuntowijoyo tidak setuju dengan pendirian partai Islam, karena antara lain bisa

57
Ismail Suny, “Menegakkan Prinsip Konstitusi”, dalam Denny J.A. (ed.), Menegakkan Demokrasi,
(Jakarta: Kelompok Studi Indonesia), h. 52.
58
Yusril Ihza Mahendra, “Partai Islam yang rasional”, dalam Ummat, No. 50, July 6, 1998; and No. 41,
April 1999.
54
menghentikan mobilitas umat Islam, menciptakan disintegrasi di kalangan umat
Islam, dan mempersempit pemahaman umat Islam tentang Islam.59
Pendirian partai Islam tersebut dianggap sebagai bagian dari artikulasi atau
perjuangan aspirasi umat Islam, yakni untuk melaksanakan ajaran Islam dalam
kehiduapan masyarakat dan negara, meningkatkan pendidikan dan kualitas hidup
mereka pada umumnya, dan untuk meningkatkan kerukunan dan kedamaian
dalam kehidupan masyarakat dan negara. Bahkan hal ini juga dianggap sebagai
bentuk jihad dalam melalakukan amr ma’ruf nahy munkar melalui jalur politik.
Meski demikian, partai Islam tidak dibenarkan melakukan “politisasi agama”,
misalnya menggunakan sentimen atau legitimasi agama untuk memperkuat
kepentingan politik seseorang atau suatu kelompok tertentu dan mendiskreditkan
orang atau kelompok lain dalam hal-hal yang sebenarnya tak ada hubungan secara
langsung dengan agama atau hal-hal yang tidak berdasarkan dalil qath’i (absolut).
Dalam kenyataannya, partai-partai Islam itu mengalami fluktuasi dalam
dukungan umat. Pada Pemilu tahun 1999 partai-partai Islam memperoleh
dukungan yang cukup besar dari umat, yakni PKB mendapatkan 12,61 % suara,
PPP mendapatkan 10,71 %, PAN mendapatkan 7,12 %, PBB 1,94 % dan PK mendapatkan
1,36 %, sedangkan partai nasionalis mendapatkan suara sedikit lebih besar dari pada partai
Islam, yakni PDIP memperoleh 33,74 % dan Golkar memperoleh 22,44 %. Namun dalam
Pemilu tahun 2004 dukungan itu semakin berkurang, yakni PKB mendapatkan 10,67 %
suara, PPP mendapatkan 8,15 %, PKS 7,34 %, PAN mendapatkan 6,44 %, PBB
mendapatkan 2,62 %, sedangkan partai nasionalis: Golkar memperoleh 21,58 % suara, PDIP
memperoleh 18,53 %, dan PD memperoleh 7,45 %. Pada Pemilu tahun 2009 dukungan
bahkan semakin mengecil, yakni PKS mendapatkan 7,88 % suara, PAN mendapatkan 6,01
%, PPP mendapatkan 5,3 %, dan PKB mendapatkan 4,94 %, sedangkan partai
nasionalis: PD memperoleh 20,35 % suara, Golkar memperoleh 14,45 %, PDI-P
memperoleh 14,03 %, Gerindra memperoleh 4,46 % dan Hanura memperoleh 3,77
%.
Hasil pemilihan umum serta pemilihan kepala daerah yang telah
berlangsung menunjukkan bahwa partai-partai Islam pada saat ini kurang

59
Lihat Kuntowijoyo, “Enam Alasan untuk tidak Mendirikan Parpol Islam”, dalam Republika, 18 Juli
1998.
55
mendapatkan dukungan yang besar dari umat. Berkurangnya dukungan terhadap
partai-partai Islam itu disebabkan oleh beberapa faktor, baik internal maupun
eksternal, antara lain: (1) mayoritas umat tidak lagi memahami Islam sebagai
ideologi politik sebagai hasil dari kebijakan deidelogisasi politik pada masa Orde
Baru, (2) ada perubahan karakteristik pemilih menjadi lebih rasional dari pada
emosional, dan lebih pragmatis dari pada idealis, termasuk adanya gejala politik
uang (money politics), (3) keuangan dan kepemimpinan partai-partai nasionalis
relatif lebih kuat dibandingkan dengan partai-partai Islam, (4) munculnya konflik
internal partai Islam yang berakhir pada pemecatan atau pemisahan diri pihak-
pihak yang berbeda pendapat, meski konflik semacam ini juga terjadi pada partai-
partai nasionalis, (5) partai-partai nasionalis mengakomodasi aspirasi dan
kepentingan umat Islam, (6) partai-partai nasionalis juga mengakomodasi sejumlah
pemimpin Islam masuk ke dalam partai-partai nasionalis.
Terlepas dari faktor-faktor tersebut di atas, dukungan umat akan menguat
kembali, jika partai-partai Islam itu mampu merespon aspirasi umat dengan tepat
serta menunjukkannya dalam program-program kongkrit, terutama terkait dengan
peningkatan kesejahteraan mereka. Di samping itu, komitmen partai-partai Islam
terhadap aspirasi khusus (partikular) tetap diperlukan, yang disertai dengan
rumusan-rumusan yang lebih rasional dan kontekstual dengan kondisi di
Indonesia. Dalam beberapa kasus, perjuangan aspirasi khusus ini justru dilakukan
oleh partai nasioanalis, seperti lahirnya sejumlah Perda bernuansa syari’ah yang
umum diinisiasi oleh Golkar dan Partai Demokrat. Respons dan komitmen ini
merupakan bagian dari fungsi partai dalam melakukan agregasi dan artikulasi
politik. Di samping itu, diperlukan pula komitmen partai untuk melakukan
sosialisasi etika dan sistem politik yang demokratis dan beradab, yang dicontohkan
dalam prilaku politik para politisi partai-partai Islam tersebut. Komitmen yang
terakhir ini merupakan bagian dari fungsi partai dalam melakukan sosialisasi atau
pendidikan politik, yang diwujudkan dalam bentuk ekspresi kritis terhadap sikap
dan prilaku pejabat publik yang kurang menunjukkan pemerintahan yang bersih
(clean governance) serta kebijakan-kebijakan publik yang tidak atau kurang
membela kepentingan rakyat kebanyakan.
56
Sebenarnya perjuangan aspirasi umat itu tidak selalu berbentuk partai
politik Islam, melainkan juga melalui organisasi kemasyarakatan atau organisasi
keagamaan. Di Indonesia terdapat banyak ormas keagamaan, bahkan di ataranya
ada yang sudah berdiri sejak sebelum kemerdekaan dan sampai kini masih tetap
menunjukkan eksistensinya dalam dedikasi terhadap umat dan bangsa Indonesia,
seperti Ulama Nahdlatul (NU) dan Muhammadiyah. Organisasi-organisasi massa
Islam itu bisa berperan sebagai civil society atau kelompok kepentingan (interest
group) yang dapat ikut ambil bagian dalam proses membuat kebijakan publik serta
mengkritisi kebijakan publik yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat dan
aspirasi umat. Bahkan pada masa Orde Baru ormas-ormas Islam merupakan
kelompok masyarakat yang paling konsisten dalam melakukan kritik terhadap
pemerintah, di saat-saat lembaga parlemen dan masyarakat politik tidak berdaya
melakukannya.
Meski di era reformasi ini umat Islam dapat mengekspresikan aspirasinya
dengan bebas tanpa ada tekanan dan ancaman serta banyak aspirasi umat yang
diakomodasi oleh negara, ormas Islam masih bisa bersikap kritis terhadap
pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya. Di samping itu, terdapat pula
kelompok atau organisasi Islam yang melakukan oposisi terhadap negara, karena
negara ini belum melaksanakan syari’at Islam secara kaffah. Di antara kelompok
oposisi ini ada yang sangat radikal dan ekstrem, yang tetap menolak dan tidak mau
terlibat dalam sistem yang ada, termasuk dalam pemilihan umum yang dianggap
sebagai sistem thaghut (setan). Bahkan sebagian kelompok ini ada yang melakukan
kekerasan dan teror atas nama jihad terhadap simbol-simbol kekuatan negara-
negara tertentu (Barat) dan negara RI yang dianggap melaksanakan sistem Barat.60
Dengan demikian, hubungan politik umat Islam dan negara/pemerintah di era
reformasi ini mengambil bentuk yang bervariasi, yakni ada yang kooperatif, kritis,
oposisi dan bahkan antagonistik.

60
Dalam perspektif Islam, oposisi itu dalam kondisi normal dibenarkan jikadimaksudkan untuk
melaksanakan amr ma’ruf nahy munkar dan tetap loyal pada asas-asas kehidupan bernegara, yang diekspresikan
secara bijaksana (hikmah) dan beradab (mau’izhah hasanah). Sedangkan terorisme apapun alasannya tidak bisa
dianggap sebagai jihad, tetapi merupakan tindak kriminal terhadap kemanusiaan yang bertentangan dengan ajaran
Islam.
57
D. Agama dan Integrasi Nasional
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa munculnya era reformasi, yang
sejak awal mendukung kebebasan ini, mendorong warga negara untuk
mengekspresikan pendapat, aspirasi dan kepentingan mereka secara bebas dan
terbuka, termasuk ekspresi ideologi yang pada masa Orde sangat dibatasi atau
ditekan. Di antara ekspresi itu ada tindakan yang berlebihan sehingga melahirkan
konflik, perselisihan dan kekerasan dalam masyarakat, baik yang berlatarbelakang
politik, ekonomi, etnis, agama dan sebagainya. Sebagai masyarakat majemuk, sejak
awal bangsa Indonesia selama ini dikenal sebagai masyarakat beragama yang
moderat dan toleran, dan bahkan menjadi contoh toleransi beragama di dunia.
Namun di era reformasi ini, peristiwa konflik antar-warga, termasuk yang
berlatarbelakang agama, justru semakin meningkat dibandingkan dengan pada
masa Orde Baru.
Demikian pula, muncul pula ekspresi kebebasan dalam bentuk kekerasan
dan, radikalisme, yang justru mengganggu harmoni dan kedamaian dalam
kehidupan bangsa dan negara dan bahkan dapat mengancam NKRI dan
kebhinnekaan. Memang, dalam masyarakat yang mejemuk ini adalah tidak mudah
untuk mewujudkan harmoni dan kedamaian ini, karena masing-masing kelompok
bisa memiliki aspirasi dan kepentingan yang berbeda-beda dan bisa berimplikasi
kepada munculnya persaingan. Apalagi jika masing-masing kelompok
mengembangkan politik identitasnya dan egoisme kelompoknya dengan
mengatasnamakan ekspresi kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Perbedaan,
perselisihan dan konflik sebenarnya hal yang tak bisa dihindarkan dalam
kehidupan masyarakat dan negara, tetapi jika konflik itu berkembang menjadi
kekerasan, maka hal ini menunjukkan bahwa sebagian bangsa Indonesia masih
belum beradab, dan hal ini bahkan tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang
ada di Indonesia.
Terdapat beberapa hal yang potensial menimbulkan konflik dan ketegangan
internal agama, terutama Islam, yang dapat diklasifikasikan menjadi: (1)
munculnya faham radikal baik yang bersifat ideologis seperti Jama’ah Islamiyyah
dan Jama’ah Ansharut Tauhid maupun non-ideologis seperti FPI, (2) adanya
58
paham yang dinilai sesat (keluar dari Islam) baik oleh Dunia Islam maupun Majelis
Ulama Indonesia (MUI), seperti Ahmadiyah, (3) munculnya faham keagamaan
yang berbeda dengan mainstream tetapi dunia Islam tetap mengakui sebagai aliran
yang sah, seperti aliran Syi’ah, (4) munculnya kelompok puritan seperti Salafi, yang
menganggap kelompok lain sesat atau bid’ah, dan (5) munculnya aliran-aliran sesat
yang bersifat lokal tetapi mengidentifikasikan diri sebagai Islam, seperti Al-
Qiyadah Al-lslamiyah yang didirikan Ahmad Mushaddeq dan Jama’ah Salamullah
(Eden) yang didirikan Lia Aminuddin.
Aliran-aliran tersebut sangat potensial menimbulkan ketegangan atau
konflik dalam masyarakat, karena umumnya faham-faham baru itu disampaikan
dengan menyalahkan, membid’ahkan atau bahkan mengkafirkan faham yang
diikuti warga masyarakat setempat, sehingga banyak warga yang marah dengan
tuduhan itu. Hal ini bahkan dijadikan sebagai strategi marketing agar aliran/faham
baru itu bisa menarik warga untuk menjadi pengikutnya. Dengan demikian,
persoalannya bukan karena perbedaan faham keagaman semata, kecuali dalam
kasus Ahmadiyah yang memang telah dinyatakan sebagai bukan Islam oleh Rabithah
al-‘Alam al-Islami tahun 1974. Karena Ahmadiyah ini dilarang di sebagian besar negara
Muslim, maka sebagian umat Islam di Indonesia pun menuntut pemerintah untuk
melarangnya. Hanya saja, dalam sistem demokrasi pelarangan itu bukan menjadi
wewenang pemerintah, melainkan wewenang pangadilan. Dalam kasus Syi’ah di
Sampang persoalannya juga bukan semata-mata perbedaan, tetapi dipengaruhi
oleh faktor konflik keluarga dan anggapan terhadap aliran itu yang gemar mencaci
maki (menghina) para sahabat, yang notabene menjadi tokoh-tokoh yang dihormati
oleh kelompok mainstream di daerah itu. Buktinya, kekerasan terhadap pengikut
Syi’ah tidak terjadi di tempat lain, bahkan dakwah yang dilakukan oleh kelompok
Syi’ah di berbagai daerah dapat berlangsung tanpa gangguan. Tuntutan untuk
melarang “aliran sesat” itu sebenarnya tidak hanya muncul di kalangan umat
Islam, tetapi juga di kalangan umat Kristen, dimana sebagian dari mereka
menginginkan pelarangan aliran Saksi Yehovah di Indonesia.
Adapun konflik antar-umat beragama umumnya tidak murni karna faktor
agama, tetapi faktor politik, ekonomi atau lainnya yang kemudian dikaitkan

59
dengan agama, seperti konflik Ambon dan Poso. Sedangkan perselisihan atau
ketegangan yang terkait dengan persoalan agama umumnya dipicu oleh tiga faktor,
yakni persoalan pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama yang tidak sesuai
dengan aturan serta penistaan agama. Persoalan pendirian rumah ibadah
merupakan faktor yang paling banyak mempengaruhi terjadinya perselisihan atau
konflik. Apalagi jika kelompok minoritas itu memiliki banyak aliran, denominasi
atau organisasi yang masing-masing berkeinginan untuk memiliki rumah ibadah
sendiri, walaupun secara teologis sebenarnya tidak ada perbedaan. Dalam
penanganan konflik sosial berlatar belakang agama ini tokoh agama memiliki peran
penting, karena konflik semacam ini tidak bisa diselesaikan hanya melalui
pengadilan. Lahirnya UU No. 7 tahun 2012 Penanganan Konflik Sosial
dimaksudkan untuk dapat mengatasi persoalan semacam ini dengan cepat.
Untuk memperkuat integrasi nasional dalam proses demokratisasi yang
beradab telah dilakukan berbagai upaya penguatan wawasan kebangsaan warga,
terutama dilakukan oleh MPR, melalui penguatan empat pilar kebangsaan, yakni
Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebhinnekaan (kemajemukan). Upaya ini terutama
dilakukan dengan revitalisasi ideologi sebagai suatu platform bangsa Indonesia
yang sangat majemuk ini, sementara tingkat pendidikan dan kesejahteraan mereka
secara umum masih rendah yang berakibat terhadap rendahnya tingkat kesadaran
akan harmoni dan integrasi bangsa. Dalam revitalisasi ini diperlukan rumusan
ideologi Pancasila yang lebih akademik dan sekaligus lebih terbuka, sehingga
penafsiran Pancasila tak akan disakralkan seperti pada masa lalu. Paradigma baru
ini hendaknya mengarah pada pemahaman ideologi yang rasional dan modern
tetapi tetap dalam kerangka filosofi dan konteks masyarakat Indonesia yang
notabene religius dan plural. Pendidikan Pancasila dengan pemahaman seperti ini
tetap diperlukan, bahkan perlu dieksplisitkan dalam peraturam perundangan
sebagai penjabaran UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang hanya menyebutkan pendidikan kewargaan (civic education).
Dalam konteks penguatan wawasan kebangsaan inilah agama dapat
memberikan kontribusi yang positif dalam revitalisasi ideologi Pancasila. Hal ini
berarti bahwa agama semestinya menjadi faktor integratif (pemersatu) dan bukan
60
sebaliknya sebagai faktor disintegratif (pemecah belah) bangsa. Dengan fungsi ini
nilai-nilai agama dan Pancasila menjadi modal sosial bagi harmoni dan integrasi
bangsa. Dan untuk mewujudkan fungsi ini, diperlukan pemahaman keagamaan
yang moderat dengan memperhatikan kondisi obyek masyarakat Indonesia yang
multi-etnik, multi-agama dan multi-kultural. Pemahaman semacam ini akan
menjelma menjadi sikap keberagamaan yang moderat dan toleran terhadap
kemajemukan, bukan sikap keberagamaan yang berwatak absolutis dan radikal.
Sebagai konsekuensinya adalah adanya upaya-upaya counter (kontra) radikalisme,
baik melalui pendekatan keamanaan dan hukum maupun pendekatan agama
(teologis). Pendekatan keamanan atau hukum saja tidak cukup, terutama bagi
radikalisme ideologis, karena para pelakunya justru merasa bangga dikenakan
hukuman dan menganggap diri mereka sebagai pahlawan. Oleh karenanya, di
samping pendekatan keamanan dan hukum, juga dilakukan pendekatan teologis
yang menekankan missi Islam sebagai agama yang mengajarkan harmoni dan
kedamaian.

61
BAB III
MULTI KULTURALISME DALAM BINGKAI MODERASI
Rudy Irawan, S.PdI, M.S.I.
Rudi Santoso, M.H.I
Adib Fachri, M.Pd

A. Bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kompleks, plural dengan kata
lain sebuah bangsa penuh keanekaragaman suku bangsa, ras, budaya dan agama.
Keanekaragaman ini menjadi modal utama dalam menguatkan bangsa dan
menjadikannya bangsa yang berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Sehinnga
mampu menjadikan Indonesia sebuah negara yang cukup diperhitungkan oleh
bangsa-bangsa lain yang ada di dunia.
Semenjak terjadinya reformasi di tahun 1998 keanekaragaman di indonesia
mulai mendapat ujian yang sangat serius. Dimana banyak terjadi konflik dimana
sebagian besar konflik tersebut diikuti dengan tindak kekerasan. Belum lagi kasus
pengeboman dan bunuh diri yang mengatasnamakan jihad membela agama Islam
dan Negara Islam Indonesia. Melihat semua kenyataan yang ada maka perlu
dipertanyakan kemanakah konsep perwujudan dari konsep Islam sebagai agama
yang rahmatan lil’alamin yang senantiasa membawa kedamaian untuk segenap
penganutnya dan orang orang di sekitarnya?.
Terjadinya konflik yang disertai kekerasan maupun bom bunuh diri atas
nama agama disebabkan anatara lain faktor kegagapan budaya, adanya akumulasi
kebencian dalam masyarakat yang di awali dengan anggapan yang salah terhadap
pemeluk agama lain. Masyarakat Indonesia sendiri telah terjebak dalam budaya
intoleran, tidak mampu menerima pluralitas tradisi, cara berkomunikasi, cara
pandang terhadap kehidupan dan tekanan terhadap tradisi.61
Melihat berbagai konflik dan penyebabnya di Indonesia perlu memiliki
pemahaman yang mendasar dan wawasan yang luas mengenai kehidupan bersama
dalam berbagai perbedaan yang ada. Dalam hal ini terdapat sebuah paradigma
yang di kenal dengan paradigma pemikiran islam inklusif. Secara umum pemikiran

61 Nurul Huda, Multikulturalisme Dalam Bayang-Bayang Histografi Resmi Nasional Dalam Sururin
(ed) Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam, (Bandung : Nuansa,2005), hal.165.
62
islam inklusif ini adalah sebuah pemikiran yang bersifat terbuka. Inklusifisme islam
ini identik dengan sikap keterbukaan, toleransi dan semangat bekerjasama baik
antar pemeluk agama Islam maupun dengan pemeluk agama lainya.

B. Konsep Islam Inklusif


Islam inklusif adalah penanaman keislaman yang toleran, dimana
pemahaman yang seperti itu berangkat dari nilai-nilai dasar islam yaitu islam
adalah agama rahmatan lil alamin. Istilah Islam inklusif ini juga berkaitan dengan
banyak aspek kehidupan manusia yang di dasarkan atas prinsip persamaan,
keseimbangan, dan hak individu.62 Selain itu konsep Islam inklusif sendiri,
sebenarnya tidak terlepas dari sejarah Nabi Muhammad SAW ketika membangun
relasi dengan umat non-Muslim yang melahirkan Piagam Madinah. Isi dari piagam
tersebut diyakini memuat gagasan-gagasan yang dirancang oleh Nabi SAW dalam
rangka membangun masyarakat madani dengan meletakkan prinsif-prinsif
kemanusiaan secara universal.63
Merujuk pada isi piagam madinah tersebut, agar dapat terjalinnya toleransi
yang harmonis di negara Indonesia yang begitu plural, maka perlu dirancang
bangun konsep pemikiran Islam inklusif yang terikat rancangan modernisasi
pendidikan Islam dan pembaruan pendidikan Islam. Dimana ajaran formal Islam
itu harus diutamakan dan kaum muslimin harus dididik mengenai ajaran-ajaran
agama mereka, dan dalam ini yang perlu dirubah adalah cara menyampaikan
kepada peserta didik sehingga mereka mampu memahami dan mempertahankan
kebenaran.
Selanjutnya, dengan konsep pemikiran Islam inklusif diharapkan setiap
muslim dan generasi muslim dibelakangnya dapat memahami dengan baik bahwa

62 Liahat Zain Abidin, ‘’Islam Inklusif”, Jurnal Humaniora Vol.4 No.2 Oktober 2013 dan lihat
juga Nasri Kurniallah,’’Pendidikan Agama Islam Berwawasan Inklusif-Pluralis “ISANIA Vol.18 No. 3
September-Desember 2013
63 Rumusan prinsif dalam Piagam Madinah yaitu prinsif keumatan, prinsif persaudaraan,

prinsif persamaan, prinsif kebebasan, prinsif hubungan antar umat beragama, prinsif perlindungan
terhadap orang yang tertindas, prinsif hidup bertetangga, prinsif perdamaian, prinsif pertahanan,
prinsif musyawarah, prinsif keadilan, prinsif pelaksanaan hukum, prinsif kepemimpinan, dan prinsif
‘amar ma‘ruf nahi munkar. Lihat M. Zainuddin. 2010. Pluralisme Agama; Pergulatan Dialogis Islam-Kristen
di Indonesia. (Malang: UIN-Maliki Press). h. 22-23
63
sesungguhnya Islam adalah : pertama, merupakan agama yang menjadikan sikap
toleransi sebagai bagian yang terpenting, sikap ini lebih banyak teraplikasi dalam
wilayah interaksi sosial sebagaimana yang ditunjukkan dalam sikap Rasulullah
saw. terhadap nonmuslim pada zaman beliau masih hidup. Dengan memiliki sikap
toleransi dalam beragama setiap muslim dan generasi muslim menghargai
keyakinan agama lain dengan tidak bersikap sinkretis yaitu dengan menyamakan
keyakinan agama lain dengan keyakinan Islam itu sendiri dalam menjalankan
keyakinan dan ibadah masing-masing. Karena kita tahu bahwa Islam memberikan
kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan
termasuk keimanan kita dan dalam proses itu membuktikan keampuhan keimanan
kita sendiri.
Kedua, mampu mengembangkan pandangan anti eksklusivisme dalam
beragama, karena dampak yang diberikan akan banyak memunculkan berbagai
peristiwa kerusuhan, kekerasan dan radikalisasi yang berkedok agama di beberapa
tempat. Pada titik ini agama menjadi sumber ketidak adilan dan ketidak
harmonisan antar sesama umat manusia. Agama menjadi faktor pemisah antar
manusia. Pada kondisi yang seperti ini agama telah menjadi institusi yang ekslusif
yang hanya berkutat pada persoalan yang bersifat ideologis serta tidak mampu
berbuat banyak pada kehidupan yang sesungguhnya. Agama telah kehilangan
fungsi sosialnya sebagai penegak kesejahteraan, keharmonisan kehidupan, keadilan
dan kesetaraan.
Ketiga, memberikan dan menginginkan adanya bentuk keterbukaan pada
kehidupan masyarakat Islam yang plural. Dimana Islam menjamin keselamatan
manusia atas lima hal yaitu:
1. Jaminan dasar atas keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani
di luar hukum, dengan ini akan mewujudkan perlakuan adil kepada semua
warga masyarakat tanpa kecuali sesuai hak masing-masing.
2. Keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk
berpindah agama. Sehingga akan ada jaminan dasar dan keselamatan
keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat dan dapat
melandasi hubungan antar warga masyarakat atas dasar sikap saling
64
menghormati yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang
rasa dan saling pengertian yang besar.
3. Keselamatan keluarga dan keturunan. Dengan demikian akan muncul
jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang
sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun dalam
arti kesusilaan.
4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan penggusuran di
luar prosedur hukum, dengan ini akan muncul jaminan dasar akan
keselamatan harta benda merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak
individu secara wajar dan proporsional dalam kaitanya dengan hak-hak
masyarakat atas individu.
5. Keselamatan hak milik dan profesi, yakni jaminan dasar akan keselamatan
profesi menampilkan sosok lain lagi dari inklusifitas ajaran Islam.64
Dengan kata lain konsep inklusifisme beragama adalah menekankan
perjuangan dan penyebaran Islam dengan cara kultural dan hadir dengan wajah
moderat dan toleran terhadap eksistensi agama, ideologi dan paham-paham lain
diluar Islam. Dan sikap insklisif beragama ini akan terus selalu memperjuangkan
terwujudnya wajah islam yang moderat dan inklusif ke tengah-tengah masyarakat
dunia, sehingga akhirnya menjadikan Islam sebagai sumber inspirasi bagi
terciptanya sistem berkeadilan dalam sistem kenegaraan di Indonesia.

C. Landasan Beragama Yang Inklusif


Bersikap Inklusif dalam beragama bukanlah menjadikan seseorang yang
sekuler bahkan meniadakan dalil dalil qoth’i di dalamnya. Justru dalam
melaksanakan sikap inklusif beragama dalam kehidupan sosial merupakan
pengejawantahan dari konsep Islam rahmatan lil’alamin itu sendiri. Adapun landasan
dari pelaksanaan beragama secara inklusif adalah sebagai berikut:
1. Memahami perbedaan sebagai sunnatullah
Firman Allah dalam QS. Al Hujarat :13

64Lihat Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi


Kebudayaan, (Jakarta, The Whid Institut: 2007), h. 5-8
65
‫ن‬ ِ‫ ِﻪ أَﺗْـ َﻘﺎ ُﻛ ْﻢ ۚ◌ إ‬‫ن أَ ْﻛَﺮَﻣ ُﻜ ْﻢ ِﻋْﻨ َﺪ اﻟﻠ‬ ِ‫ﺎ َﺧﻠَ ْﻘﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ذَ َﻛ ٍﺮ َوأُﻧْـﺜَ ٰﻰ َو َﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ ُﺷﻌُﻮﺑًﺎ َوﻗَـﺒَﺎﺋِ َﻞ ﻟِﺘَـ َﻌ َﺎرﻓُﻮا ۚ◌ إ‬‫ﺎس إِﻧ‬
ُ ‫ َﻬﺎ اﻟﻨ‬‫ﻳَﺎ أَﻳـ‬
‫ﻴﻢ َﺧﺒِ ٌﲑ‬ِ
ٌ ‫ﻪَ َﻋﻠ‬‫اﻟﻠ‬
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dari ayat di atas memperlihatkan kepada kita bahwa Allah memerintahkan


kepada umat Islam untuk saling mengenal, antara satu golongan dengan golongan
yang lain, antara suku satu dengan suku yang lain. Ayat ini dengan jelas
menganjurkan suatu interaksi ko-eksistensi yang konstruktif dan penuh kedamaian,
atau bahkan ayat ini mendesak untuk dengan segera menciptakan suatu masyarakat
global yang terintegrasi.65 Dengan kata lain, perintah saling mengenal ini bukan
berarti hanya sebatas tahu dan kenal, tetapi juga perlu adanya keterlibatan aktif antar
suku, agama, ras dan golongan guna menyokong kerukunan, kerjasama dan
perdamaian.
2. Perbedaan sebagai sunnatullah yaitu hukum yang obyektif dan tidak berubah.
Perbedaan pendapat yang dimaksud bukanlah perbedaan yang konfrontatif
ataupun saling memojokkan dan mencerai beraikan. Namun perbedaan pendapat
yang dilakukan dengan jalan hasan (adanya argumentasi yang baik) untuk mencapai
suatu titik temu. Munculnya berbagai perbedaan pendapat dikarenakan oleh banyak
faktor salah satunya tingkat pemahaman manusia. Tingkat daya persepsi dan
pengertian penerima teks membuat perbedaan pemahaman teks lebih runyam lagi.
Karena itu, keragaman pemahaman terhadap teks keagamaan dalam suatu kelompok
keagamaan adalah sangat wajar, dan dapat dimengerti. Apalagi jika perbedaan-
perbedaan itu tidak menyentuh prinsip-prinsip dasar ajaran agama yang
bersangkutan.66
3. Semangat Pluralisme Agama

Nurcholis Madjid. dkk. Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis. (Jakarta:
65

Paramadina, 2004)
66 Alwi Shihab. 1998. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.( Bandung:Mizan,

2004), h. 62
66
Jika menilik fatwa MUI mengenai pluralisme, maka akan ditemukan arti bahwa
paham pluralisme adalah paham yang menyamakan semua agama. Dampak dari
fatwa tersebut adalah sebagian besar orang menganggap bahwa pluralisme agama
merupakan kesesatan yang nyata dan hal tersebut dapat dimaklumi. Namun berbeda
dengan yang dikemukakan oleh Alwi Shihab, Ia tidak menganggap pluralisme agama
sebagai penyamaan semua agama. Mengenai pluralisme agama, Alwi Shihab
memberikan beberapa konsep sebagai berikut:
a. Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap
kemajemukan itu. Seseorang dapat dikatakan pluralis apabila ia dapat
berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.
b. Pluralisme berbeda dengan kosmopolitanisme.
Kosmopolitanis menunjukkan bahwa terdapatnya berbagai macam ras, agama,
bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Seakan seluruh dunia berada di
tempat tersebut. Namun di dalamnya tidak ada interaksi positif antar penduduk,
kalaupun ada sangat minim.
c. Pluralisme tidak sama dengan relitivisme.
Paham relativisme agama memunculkan konsekuensi bahwa setiap doktrin
agama apa pun harus dinyatakan benar atau dapat dikatakan semua agama
adalah sama. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam paham pluralisme
terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim kepemilikan tunggal
(monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut
kepada pihak lain.
d. Pluralisme agama bukanlah sinkretisme agama.
Sinkretisme agama berarti menciptakan suatu agama baru dengan memadukan
unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama
untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Contoh sinkretisme
agama antara lain: Manichaeisme yang mempersatukan Zoroaster, Budha, dan
Kristen; Bahaisme (Yahudi, Kristen, dan Islam).
e. Pluralisme mensyaratkan komitmen yang kokoh terhadap agama masing-
masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi tidak hanya dituntut membuka diri
67
namun juga harus commited terhadap ajaran agamanya untuk menghindari
relativisme agama.
f. Semangat toleransi67
Dari beberapa konsep yang ditawarkan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pluralisme bukanlah paham yang menyamakan semua agama dan bukan
sebuah ajaran baru yang menggabungkan beberapa ajaran, akan tetapi paham yang
menganggap bahwa adanya keragaman agama adalah sebuah bentuk keniscayaan
yang menghiasi sebuah tatanan kehidupan masyarakat majemuk sehingga perlu
adanya rasa toleran dan keterlibatan aktif tiap individu guna menciptakan sebuah
peradaban yang lebih baik. Selain itu, pluralisme menuntut tiap individu memiliki
komitmen terhadap ajaran agamanya masing-masing sehingga konsep pluralisme
tersebut hanya mencakup pada tataran wilayah sosial kemanusiaan dimana individu
tersebut hidup bermasyarakat. Dengan demikian sesuai pengertian pluralisme Alwi
Shihab tersebut menunjukkan bahwa di dalam pluralisme agama terdapat batasan-
batasan tertentu atau dengan kata lain pluralisme yang bersyarat.

D. Konsep Pemikiran Islam Inklusif Dalam Kehidupan Sosial Beragama

67Ibid., h. 41-43. Lihat juga Alwi Shihab, Ibid., h. 187 Menurut Alwi Shihab toleransi beragama
berlandaskan prinsip-prinsip yang meliputi hal-hal sebagai berikut: pertama, Memegang teguh prinsip
dasar agama. Setiap penganut agama terutama Muslim penting untuk selalu memegang akidah serta
keimanan yang diyakininya termasuk ketika seorang Muslim berinteraksi dengan umat lain. Adapun
yang tidak diperbolehkan di sini adalah adanya fanatisme buta. Kedua, Mempunyai kemauan baik
untuk saling mendengarkan, mengerti dan menghargai umat agama lain. Tidak banyak orang yang
memiliki kemauan untuk mendengarkan apalagi mengerti dan menghargai orang lain. Apalagi jika
seseorang sedang berdialog masalah agama, maka dapat dipastikan satu pihak mencoba untuk
mengungguli pihak yang lain dengan cara memberikan argumen-argumen yang secara beruntun
menyerang lawan. Sikap yang seperti ini akan sulit untuk mendapatkan titik temu dalam dialog. Oleh
karena itu perlu ditanamkan pada tiap individu, terutama Muslim, sikap mendengarkan dan mau
memahami orang lain. Kiranya pepatah yang mengatakan “lebih banyak mendengar dan belajar” dapat
dijadikan landasan dalam berinteraksi antar umat beragama. Ketiga, Bersikap kritis terhadap diri
sendiri. Kritis terhadap diri sendiri bukanlah menganggap ajaran agamanya salah, namun lebih di
arahkan pada introspeksi agar ke depannya menjadi lebih baik. Bersikap kritis juga penting dalam
upaya menekan egoisme pribadi dalam berinteraksi dengan orang lain dan, keempat Adanya rasa
tanggung jawab bersama dengan ingat pada kekufuran, sinisme, kezaliman dan kemerosotan moral.
Perlu untuk diipahami oleh segenap pemeluk agama bahwa pertemuan antar agama tidak mungkin
dapat dihindari, berbagai kepentingan bertabrakan dalam suatu komunitas global, sehingga tanggung
jawab bersama dalam satu wadah tersebut perlu dijadikan landasan berperilaku. Dari beberapa agama
yang ada tersebut, pasti ada persamaan-persamaan ajaran yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral,
cinta.
68
Masyarakat Indonesia yang plural menjadikan dialektika kehidupan beragama
yang unik dengan dominasi Islam di dalamnya. Keunikan tersebut diperlihatkan
dengan interaksi berbagai pengikut agama satu dengan yang lain yang memunculkan
sikap apakah masing-masing umat berani hidup berdampingan dengan damai
dengan kelompok yang berbeda agama, atau apakah masing-masing umat harus
membenci dan memusuhi kelompok lain karena berbeda agama. Padahal dalam Islam
sendiri diutusnya Nabi Muhammad adalah sebagai raḥmatan lil ‘ālamīn, Allah
berfirman:
َOPRِ َSUَ ٰ Sْ ‫ﱢ‬X ًZRَ ْ[‫َ`َ إِ ﱠ^ َر‬aٰ Sْ bَ ْ‫ٓ أَر‬efَ ‫َو‬
Artinya: Dan tidaklah kami mengutus engkau (muhammad), melainkan untuk menjadi
rahmat bagi seluruh alam (QS,Al-Anbiya’:107).
Selain itu, agama Islam juga tidak bisa memungkiri bahwa ada agama lain
selain Islam terutama agama samawi yang turun sebelum agama Islam. Dengan kata
lain, Islam sendiri telah mengakui adanya keragaman keyakinan yang kemudian akan
memunculkan beragam pendapat pula dengan di landasan keimanan masing-masing.
Hal tersebut merupakan sunnatullah. Al Quran mengatakan ”Dan jika Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa
berselisih (pendapat). Firman-Nya juga:
ٍ ‫ﻚ ۖ◌ ﻋﻄَﺎء َﻏﻴـﺮ ﳎ ُﺬ‬‫ﻻ ﻣﺎ ﺷﺎء رﺑ‬ِ‫ﺴﻤﺎوات و ْاﻷَرض إ‬ ‫ﺖ اﻟ‬ ِ ‫ﺔ ﺧﺎﻟِ ِﺪ‬ِ ‫اﳉﻨ‬ ِ ِ ‫ ِﺬ‬‫ﻣﺎ اﻟ‬َ‫وأ‬
‫وذ‬ َْ َ ْ ً َ َ َ َ َ َ ُ ْ َ ُ َ َ ِ ‫ﻳﻦ ﻓ َﻴﻬﺎ َﻣﺎ َد َاﻣ‬ َ َ َْ ‫ﻳﻦ ُﺳﻌ ُﺪوا ﻓَﻔﻲ‬
َ َ
Artinya: Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga,
mereka kekal didalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (
yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.(QS. Hud:108)
Berbagai macam perbedaan akan menjadi sesuatu yang lumrah jika disikapi
secara positif. Tidaklah harus dengan jalan saling curiga antara satu pendapat dengan
pendapat lain atau satu ajaran dengan ajaran lain. Harus dilakukan sebuah upaya
untuk menemukan titik temu persamaan diantaranya. Upaya menemukan titik temu
tersebut dilatar belakangi nilai universalitas Islam yang memandang bahwa agama
Islam adalah untuk semua umat manusia, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah
Swt:

‫ﺖ أَﻧْـ ُﻔ ُﺴ ُﻬ ْﻢ َﺧﺎﻟِ ُﺪو َن‬


ْ ‫ﻴﺴ َﻬﺎ ۖ◌ َوُﻫ ْﻢ ِﰲ َﻣﺎ ا ْﺷﺘَـ َﻬ‬
ِ
َ ‫َﻻ ﻳَ ْﺴ َﻤﻌُﻮ َن َﺣﺴ‬
Artinya: mereka tidak mendengar sedikitpun suara api neraka, dan mereka kekal dalam
menikmati apa yang di ingini oleh mereka. (QS. Al-Anbiya’: 102)

69
Hal tersebut akan menimbulkan kesadaran untuk berhubungan dengan agama
lain dengan cara unik dan bijaksana. Tanpa mengurangi keyakinan seorang muslim
akan kebenaran agamanya, sikap dalam hubungan antar agama itu ialah toleransi,
kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan, dan kejujuran.68 Sikap tersebut dapat
dijadikan prinsip dalam berinteraksi dengan pengikut agama lain.
Salah satu kesadaran yang berakar kuat dalam pandangan seseorang muslim
adalah Islam merupakan agama universal, agama untuk sekalian umat manusia.
Sejarah menunjukkan, pandangan ini melahirkan sikap sosial-keagamaan yang unik
dikalangan umat Islam terhadap agama-agama lain atas dasar toleransi, kebebasan,
keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran. Inilah manifestasi konkret nilai-nilai
madani yang terbukti pernah menjadi pilar tegaknya masyarakat madani,
sebagaimana diuraikan Kartanegara tentang nilai-nilai madani yang menyokong
tegaknya masyarakat kosmopolit, meliputi; pertama, inklusivisme, yaitu keterbukaan
diri terhadap “unsur luar” melalui kemampuan melakukan apresiasi dan seleksi
secara konstruktif. Kedua, humanisme, dalam artian cara pandang yang
memperlakukan manusia semata-mata karena kemanusiaannya, tidak karena sebab
lain di luar itu, semisal ras, kasta, kekayaan, dan agama, termasuk sikap egaliter yang
memandang manusia sama derajatnya. Ketiga, toleransi, yaitu adanya
kelapangdadaan dan kebesaran jiwa dalam menyikapi perbedaan. Keempat, demokrasi
yang memberi ruang bagi kebebasan berfikir dan penyampaian kritik.69
Dalam konteks hidup bermasyarakat dan bernegara yang plural, tipe
keberagamaan yang menekankan orientasi kemanusiaan perlu mendapat apresiasi
dan penekanan. Setidaknya terdapat tiga hal yang menegaskan Islam sebagai agama
yang mengusung misi kemanusiaan; 1) Islam adalah agama yang berpijak pada
konsep fitrah, dengan fitrahnya, manusia berkesiapan mengenal Tuhannya dan
mengembangkan kemanusiaannya karena telah dibekali potensi diri sedari lahir; 2)
Islam adalah agama yang mempunyai semangat toleransi yang tinggi, yang bersifat
moderat, adil, dan jalan tengah, prinsip ini menjadi pondasi umat Islam dalam

Nurcholis Majid. Islam Doktrin dan Peradaban. (Jakarta: Paramidana, 1992.)


68
69 Muhammad Aji Nugroho. Pendidikan Islam Berwawasan Multikultural; Sebuah Upaya
Membangun Pemahaman Keberagaman Inklusif Pada Umat Muslim”(Jurnal Kajian Pendidikan Islam, Vol. 8,
No.1, Juni. Mudarrisa, 2016) h.49
70
membangun tata kehidupan harmonis, baik dalam intraagama maupun interagama
dengan mengedepankan dialog dan perdamaian; 3) Islam adalah agama yang
mengutamakan kemaslahatan dan menghindari kemudaratan.70
Peran sosial agama ditandai oleh fungsinya dalam menjaga integrasi sosial.
Dalam fungsi itu agama berusaha mengurangi perbedaan dan pertentangan diantara
berbagai kelompok dan berbagai individu, agar terhindar dari kemungkinan konflik
sosial yang dapat membawa kepada disintegrasi sosial atau bahkan nasional.71
Konflik yang terjadi di Indonesia dikarenakan agama belum dioptimalkan perannya,
yang terbangun saat ini hanya aspek kognitif yang melahirkan doktrin kaku dan
konservatif yang menjadi dasar legitimasi segenap perbuatannya, maka wajar
solidaritas hanya berlaku bagi kelompok yang sepaham atau aliran.

Uraian dan penjelesan ini menegaskan bahwa memang terdapat hubungan


yang kuat antara nilai-nilai (agama) dalam kebangsaan, yang berpijak pada semangat
humanitas dan universalitas Islam, melalui kedua landasan ini akan memunculkan
keberagaman yang inklusif. Sebagai upaya untuk memahami kebenaran yang lain dan
pembaharuan hidup dalam bingkai kebersamaan dengan membiarkan ruang terbuka
bagi munculnya kebebasan positif bagi setiap individu manusia.
Islam yang inklusif, pluralis, multikulturalis, dan humanis dimaknai dengan; 1)
dapat menerima pendapat dan pemahaman agama lain yang memiliki basis
ketuhanan dan kemanusiaan; 2) menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang
mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan;dan 3) mengakui pentingnya
nilai-nilai kemanusiaan, seperti menghormati hak asasi orang lain, peduli terhadap
orang lain, berusaha membangun perdamaian dan kedamaian bagi seluruh umat
manusia, saling mengasihi dan menyayangi, peduli terhadap orang lain yang berbeda
suku dan agama yang bukan berarti harus mengikuti adat istiadat atau keyakinan
serta agama mereka, yang mengikat manusia untuk senantiasa berbuat baik.72

70 Z.Misrowi, Al-qur’an Kitab Toleransi; Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil A’lamin, (Jakarta:
Pustaka Oasis, 2010 ) h.52-55
71 M.l.Sinaga, Agama Memasuki Melenium Ketiga, (Jakarta: Garsindo, .2000) h.28
72 C.F.Yusuf, Eksperimen Pendidikan Agama Berwawasan Kerukunan, (Jakarta: Pena Citasatria,

2008)
71
Sedangkan multikulturalisme memandang bahwa adanya keanekaragaman,
perubahan dan konflik sebagai sesuatu yang positif untuk memperkaya spiritualitas
dan memperkuat iman, keluar dari batas keberpihakan yang destruktif, melintasi
batas konflik untuk memberikan solusi alternatif yang mencerdaskan dan
mencerahkan.73 Bagi pemikiran posmodernisme tidak ada benturan kebudayaan
(kultur), yang ada adalah ruang toleransi yang mengharuskan koeksistensi antar
kebudayaan dan peradaban.74 Dengan dasar ini, peserta didik dapat menolong
bangsanya keluar dari perbedaan penghayatan dan penglihatan antara idealisme
dengan realitas, dan mampu membawa kerukunan dan perdamaian, tanpa ada
konflik dan kekerasan, meski terdapat kompleksitas perbedaan.75
Ajaran agama Islam mengandung unsur inklusif dalam bingkai rahmatan lil
alamin(rahmat bagi seluruh alam) yang menjadi sikap dasar mayoritas umat Islam,
sehingga mampu hidup berdampingan secara damai dan bekerjasama dengan
pemeluk agama lain atas dasar saling memahami, menghargai, dan mempercayai.
Sikap dasar tersebut dipandang sejalan dengan basis teologis, bahwa 1) kemajemukan
merupakan sunnah Tuhan; 2) pengakuan hak eksistensi agama-agama lain; 3) titik
temu atau kontinuitas agama-agama dan 4) tidak ada paksaan dalam agama.
Pendidikan Islam berwawasan multikultural sebagai jalan keluar dari simptom
eksklusivisme dengan keterkaitan yang berlebihan terhadap simbol-simbol agama,
sebagai alat dan kekuatan untuk legitimasi dengan memfungsikan agama sebagai satu
cara dalam meminimalisir, meresolusi dan merekonsiliasi konflik yang akan atau
terjadi, karena agama adalah sistem untuk menata makna individu didalam
masyarakat (seperti etnisitas, ras, gender, daerah, dan suku) yang dapat
mempengaruhi respons terhadap konflik yang terjadi berikut metode resolusinya
entah itu positif maupun negatif.
Pendidikan multikultural dalam Islam berarti penjabaran nilai-nilai yang
terdapat dalam al-Qur’an dan Sunah ke dalam bentuk gagasan, materi, tingkah laku,
dan norma, yang bertujuan untuk membumikan ajaran Islam di tengah-tengah

73 Mahfud, C. Pendidikan Multikultural. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h.104-106


74 H.A.R Tilaar. Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi
Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.h.176
Zubaedi. Islam; Benturan dan Antar Peradaban. (Yogyakarta: Arruzz Media, 2007) h. 58
72
masyarakat, sehingga umat Islam dapat memahami dan mengkaji agama sebagai
ungkapan kebutuhan makhluk budaya dan makhluk sosial. Dengan
mengamalkannya, berarti seorang muslim telah melaksanakan ajaran agamanya
sesuai dengan kulturnya, yaitu dengan berbuat baik melalui perbuatan yang ma’ruf;
sebagai perbuatan yang didasarkan pada kebaikan bersama dan dia meyakininya, dan
meninggalkan yang mungkar; sebagai perbuatan yang didasarkan pada keburukan
secara rasional maupun sosial.

73
DAFTAR PUATAKA

Achmad Satori Ismail, et.al., Islam Moderat: Menebar Islam Rahmatan lil ‘Alamin,
Jakarta: Pustaka Ikadi, 2007, cet. ke-1
Afifuddin Muhadjir dalam diskusi terbatas (Disatas )Anggota Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres) RI dengan tema “Moderasi Cegah Dini Radikalisme-
Terorisme Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), selasa, 1 Maret 2016
Alfred Stepan, The World’s Religious Systems and Democracy: Crafting The “Twin
Tolerations”, dalam https://mail2.mpil.de/exchange/mboecken
/Entw%C3%BCrfe/Project Manager – Constitution Process –
Governance.EML/, h. 6-7.
Al-Alamah al-Raghib al-Asfahaniy, Mufradat al-Fadz al-Qur‟an, (Beirut: Darel Qalam,
2009), h. 869
Azanella, Luthfia Ayu. 2018. “Inilah Deretan Aksi Bom Bunuh Diri di Indonesia.”
Kompas.com, Mei 14
Ariestha, Bethra. Akar konflik kerusuhan antar etnik di Lampung Selatan. Diss. Universitas
Negeri Semarang, 2013.
Akhiri Konflik di lampung Tengah, Ribuan Warga Ikrar Persaudaraan, detikcom,
Kamis malam (22/11/2012).
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, Jakarta, The Whid Institut: 2007
Alwi Shihab. 1998. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.
Bandung:Mizan, 2004
Akhsin Wijaya, Nalar Kritis Epistimologi Islam, (Yogyakarta: Kalimedia, 2017
Afif Muhammad, Agama dan Konflik Sosial Studi Pengalaman Indonesia, (Bandung:
Marja, 2013
American Psychological Association (APA): pluralism. (n.d.). Online Etymology
Dictionary. Retrieved February 20, 2010, from Dictionary.com website:
http://dictionary.reference.com /browse/pluralism
Berlin , Isaiah. Four Essays on Liberty . New York: Oxford University Press, 1969
Bagir, Zainal Abidin. 2018. “Laporan CRCS: Alternatif Penanganan Masalah Penodaan
Agama.” CRCS UGM. Diambil (https://crcs.ugm.ac.id/laporan-crcs-
penanganan-penodaan-agama/).
Christina C from the question, “what is religious pluralism”. Retrieved on 21 February
2010 from Ask.com
Crowder, George. Liberalism and Value Pluralism . New York: Continuum, 2002
C.F.Yusuf, Eksperimen Pendidikan Agama Berwawasan Kerukunan, (Jakarta: Pena
Citasatria, 2008
Din Syamsuddin, “Islam wasathiyah Solusi Jalan Tengah”, Mimbar Ulama Suara Majlis
Ulama Indonesia, Islam wasathiyah: Ruh Islam MUI, Ed. 327, Jakarta: tth.
Donald Eugen Smith, Religion and Political Development, Boston: Little Brown and
Company, 1970
Dahlan, Moh. "Moderasi Hukum Islam dalam Pemikiran Ahmad Hasyim Muzadi." Al-
Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial 11.2 (2017): 313-334.

74
Gergely Rosta,“Secularization or Desecularization in the Work of Peter Berger, and the
ChangingReligiosity of Europe”,
dalamhttp://www.crvp.org/book/Series07/VII-26/chapter-14.htm.
Hafidz, Muh. "The Role of Pesantren in Guarding the Islamic Moderation."
INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 15.1 (2021): 117-140.
https://tirto.id/gaHK, diunggah pada tanggal 17 Juli 2021
Hamid Fahmi Z. Online Etymology Dictionary, Douglas Harper. Modern Language
Association (MLA): "pluralism." Online Etymology Dictionary. Douglas
Harper, Historian. 20 Feb. 2010. <Dictionary.com
http://dictionary.reference.com/browse/pluralism>.
H.A.R Tilaar. Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa Depan Dalam
Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.h.176
https://juz-amma.ayatalquran.net/surah-al-kafirun-ayat-1-6-arab-latin-dan-
artinya/,diunggah pada tanggal 6 September 2018
https://www.zonareferensi.com/pengertian-toleransi/, diunggah pada tanggal 22
September 2018
Harold Chrouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto, (Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies, 2010), h. 35; dan Edward Aspinal and Marcus
Mietzner (eds.), Problems of Democratizations in Indonesia: Elections,
Institutions and Society, Singapore: ISEAS, 2010
Ismail, Roni. "Konsep Toleransi dalam Psikologi Agama (Tinjauan Kematangan
Beragama)." Religi Jurnal Studi Agama-Agama 8.1 (2012)
Ibnu „Asyur, at-Tahrir Wa at-Tanwir, Tunis: ad-Dar Tunisiyyah, 1984
Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Kita, (Jakarta: Aksara Baru, edisi ke-6., 1986
Ismail Suny, “Menegakkan Prinsip Konstitusi”, dalam Denny J.A. (ed.), Menegakkan
Demokrasi, Jakarta: Kelompok Studi Indonesia
Islam, Khalil Nurul. "Moderasi Beragama di Tengah Pluralitas Bangsa: Tinjauan
Revolusi Mental Perspektif Al-Qur’an." KURIOSITAS: Media Komunikasi Sosial
Dan Keagamaan 13.1 (2020).
Irianto, Sulistyowati, and Risma Margaretha. "Piil pesenggiri: Modal budaya dan
strategi identitas ulun Lampung." Hubs-Asia 10.1 (2013).
Joel Krieger (ed.), Journal of Democracy, Vol. 2, No.2, h. 720.
Kronologi Bentrok Kelompok Warga di Lampung Utara, Liputan6.com, Selasa
(2/2/2016) malam.
Kekes, John. The Morality of Pluralism . Princeton, N.J.: Princeton University Press,
1993,
Kuntowijoyo, “Enam Alasan untuk tidak Mendirikan Parpol Islam”, dalam Republika,
18 Juli 1998.
Khaira, Suci. "Moderasi Beragama (Studi Analisis Kitab Tafsir Al-Muharrar Al-Wajȋz
Karya Ibnu „Athiyyah)." (2020).
Khojir, Khojir. "Moderasi Pendidikan Pesantren di Kalimantan Timur." Ta'dib 23.1
(2020): 95-106.
Lidwa Pustaka i-Software, Kitab 9 Imam Hadits, Sumber: Bukhari, Kitab: Nikah, Bab:
Hak Suami Atas Dirimu, No. Hadist: 4800.

75
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kathir bin Ghalib al-Amiry Abu Ja’far al-Thabariy,
Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Mua’asasah al-Risalah, 2000), al-Maktabah
al-Syamilah, versi II
Ma’ruf Amin, “Islam wasthiyah Solusi Jalan Tengah”, Mimbar Ulama Suara Majlis
Ulama Indonesia, Islam wasathiyah: Ruh Islam MUI, Ed. 327, Jakarta: tth.
Majid, Zamakhsyari Abdul. "The Islamic Moderation On Tafsir Al-Munir." Proceeding
International Da'wah Conference. Vol. 1. No. 1. 2020.
Maghfuroh, Ulfatul. "Moderasi Dalam Perspektif Al-Qur’an." (2015).
Muklis M. Hanafi, “Peran Al-Azhar dalam Penguatan Moderasi Islam” Paper pada
Seminar Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional (IAAI) cabang Indonesia
bekerja sama dengan Kedutaan Besar Mesir di Jakarta dan Fakultas Dirasat
Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
M. Zainuddin. 2010. Pluralisme Agama; Pergulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia.
Malang: UIN-Maliki Press
Muhammad Aji Nugroho. Pendidikan Islam Berwawasan Multikultural; Sebuah Upaya
Membangun Pemahaman Keberagaman Inklusif Pada Umat Muslim”(Jurnal Kajian
Pendidikan Islam, Vol. 8, No.1, Juni. Mudarrisa, 2016
M.l.Sinaga, Agama Memasuki Melenium Ketiga, (Jakarta: Garsindo, .2000
Mahfud, C. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Ngainun Naim, Islam dan Pluralisme Agama, (Yogyakarta: Pustaka Aura, 2014
Nurul Huda, Multikulturalisme Dalam Bayang-Bayang Histografi Resmi Nasional Dalam
Sururin (ed) Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam, Bandung : Nuansa,2005
Nurcholis Madjid. dkk. Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis.
(Jakarta: Paramadina, 2004
Peter L. Berger et al., The Desecularization of the World: Resurgent Religion and
World Politics, (Washington DC: Ethics and Public Policy Center, 1999), hlm.
1-4. Teori sekularisasi ini antara lain dikemukan oleh Donald Eugene Smith,
sebagaimana dapat dilihat dalam bukunya, Religion and Political
Development, Boston: Little Brown and Company, 1970
Pippa Norris dan Ronald Inglehart, Sacreed and Secular: Religion and Politics
Worldwide, tr. Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama dan Politik di Dunia
Dewasa ini, Jakarta: Alvabet dan Yayasan Wakaf Paramadina
Qodhoya Alamiyyah Mu’ashiroh: at-Ta’addudiyyah ad-diniyyah. Dr. Ibtisam Ahmad
Baishdiq.
Rabasa, Angel dan Cheryl Benard. 2014. Eurojihad: Patterns of Islamist Radicali zation
and Terrorism in Europe. New York: Cambridge University Press.
Syamsuddin, M. Din. "Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern
Indonesia." Studia Islamika 2.4 (1995).
Syauqi Dhoif, al-Mu‟jam al-Wasith, Mesir: ZIB, 1972
Sanskerta-Inggris Monier-Williams (cetakan pertama tahun 1899) pada entri āgama: ...a
traditional doctrine or precept, collection of such doctrines, sacred work [...];
anything handed down and fixed by tradition (as the reading of a text or a
record, title deed, &c.)
Safiuddin, dakwah bil Hikmah Reaktualisasi Ajaran Walisongo: Pemikiran dan Perjuangan
Kyai Hasyim Muzadi, Depok: al-Hikmah Press 2012.

76
Tholhatul Choir, Ahwan Fanani, dkk, Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Tentang legitimasi keagamaan terhadap demokrasi, misalny, lihat Masykuri Abdillah,
Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy
1966-1993, (Hambur: Abera Verlag, 1997).
TIM Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majlis Ulama Indonesia Pusat.
Islam Wasathiyah, Jakarta: TKDPM-MUIP, 1999
The diversity of meaning of the term “Religious Pluralism”. Retrieved on 21 February
2010 from Religioustolerance.org lihat:
http://www.religioustolerance.org/rel_plur1.htm
Taujihat Surabaya, Musyawarah Nasional (Munas) Majlis Ulama Indonesia (MUI) ke-
IX yang diselenggarakn apada 08-11 Dzulqa’dah 1436 H/24-27 Agustus 2015
The Encyclopedia of Religion, Vol. 13, New York: Macmillan Publishing Company
Taujihat Surabaya, Musyawarah Nasional (Munas) Majlis Ulama Indonesia (MUI) ke-
IX yang diselenggarakn apada 08-11 Dzulqa’dah 1436 H/24-27 Agustus 2015
Umar Sulaiman al-Asyqar, Umat Islam Menyongsong Peradaban Baru, (Jakarta: Amzah,
2008
Wahbah Zuhaily, Tafsīr al-Munīr, Damaskus: Dâr al-Fiqr, 2007
Yusril Ihza Mahendra, “Partai Islam yang rasional”, dalam Ummat, No. 50, July 6,
1998; and No. 41, April 1999.
Zain Abidin, ‘’Islam Inklusif”, Jurnal Humaniora Vol.4 No.2 Oktober 2013 dan lihat
juga Nasri Kurniallah,’’Pendidikan Agama Islam Berwawasan Inklusif-Pluralis
“ISANIA Vol.18 No. 3 September-Desember 2013
Z.Misrowi, Al-qur’an Kitab Toleransi; Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil A’lamin, Jakarta:
Pustaka Oasis, 2010
Zubaedi. Islam; Benturan dan Antar Peradaban. Yogyakarta: Arruzz Media, 2007

77
BAB IV
KONSEP TOLERANSI DALAM BERAGAMA
Ahmad Suhendar, ME
Nurwahyudi, M.Pd.I
Erik Gumiri Rahman, M.H.I

A. Toleransi dalam Islam


Kehidupan yang penuh kedamaian, kenyamanan, dan toleran merupakan
idaman semua orang, baik orang beragama maupun tidak beragama, sepanjang
masa. Karena tidak ada satu agama dan sistem sosial pun yang menganjurkan
kebencian, konflik kekerasan, dan perang, semua manusia memiliki harapan akan
kedamaian dan toleransi antar mereka sekalipun mereka berbeda dalam banyak
hal. Namun harapan tersebut seringkali jauh dari kenyataan, bahkan justru
dilakukan oleh orang-orang yang beragama secara formal.76
Semaraknya kajian Islam yang bernada hujatan, sesat dan menyesatkan
yang dikemas dengan jargon membela Islam dalam dasa warsa terakhir cukuplah
memprihatinkan. Dengan bekal ilmu seadanya, mereka menempakan pihak lain,
terutama yang berfikir progresif liberal sebagai tertuduh dan pendosa yang harus
dieliminasi dari belantika pemikiran Islam Indonesia.
Tindakan seperti ini tentu saja menyebabkan kondisi pemikiran dan
kehidupan beragama di Indonesia menjadi tidak kondusif. Bukan saja tidak
menyebabkan lahirnya tindakan kekerasan fisik sebagaimana kita saksikan akhir-
akhir ini. Yang lebih parah lagi adalah timbulnya kekerasan wacana. Orang lain
tidak boleh berbeda dengan mereka yang sudah mengkampling surge, juga
dilarang berfikir, apalagi berfikir liberal, progresif dan kritis. Untuk mengindari
penghakiman yang membajak orentasi Tuhan ini, perlu kiranya diperbanyak
upaya kongkrit untuk mendesiminasi pijakan dan merevitalisasi tradisi Islam,
klasik, modern maupun kontemporer.77

76 Ismail, Roni. "Konsep Toleransi dalam Psikologi Agama (Tinjauan Kematangan Beragama)."
Religi Jurnal Studi Agama-Agama 8.1 (2012): 1-12.
77 Akhsin Wijaya, Nalar Kritis Epistimologi Islam, (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), h. vii

78
Toleransi adalah suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar
kelompok atau antar individu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya.
Sikap toleransi menghindarkan terjadinya diskriminasi, walaupun banyak
terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu kelompok
masyarakat. Sikap toleransi secara umum antara lain menghargai pendapat
dan/atau pemikiran orang lain yang berbeda dengan kita, serta saling tolong-
menolong untuk kemanusiaan tanpa memandang suku/ ras/ agama/
kepercayaannya.
Istilah toleransi mencakup banyak bidang. Salah satunya adalah toleransi
beragama, yang merupakan sikap saling menghormati dan menghargai penganut
agama lain, seperti; 1) Tidak memaksakan orang lain untuk menganut agama kita;
2) Tidak mencela/menghina agama lain dengan alasan apapun; serta 3) Tidak
melarang ataupun mengganggu umat agama lain untuk beribadah sesuai
agama/kepercayaannya.
Toleransi sudah dipaparkan dalam al-Quran secara komprehenshif, di
antaranya bagaimana Allah menjelaskan dalam Surah al-Kafirun dari ayat 1
sampai ayat 6. Asbabun-nuzul-nya adalah tentang awal permintaan kaum Quraisy
terhadap Nabi Muhammad bahwa untuk saling menghormati antar agama maka
pemuka Quraisy meminta supaya nabi menginstruksikan kepada penganut
Muslim untuk bergiliran penyembahan terhadap dua Tuhan: hari ini menyembah
Tuhan Nabi Muhammad dan esok hari menyembah Tuhan kaum Quraisy.
Dengan adanya keadilan dalam pelaksanaan ibadah dari kedua agama tersebut,
maka menurut pemuka Quraish akan terwujudnya tolerasi antar agama.
Keputusan ini tentunya ditentang oleh Allah, dengan menurunkan Surah al-
Kafirun ayat 1-6. Ternyata dalam agama tidak boleh ada pencampuradukan
keyakinan, lapangan tolerasi hanya ada di wilayah muamalah. Hal ini bisa di lihat
dari rujukan kitab-kitab tafsir, di antaranya Tafisr Al-Maraghi, juz 30 tentang
penafsiran Surah al-Kafirun.78

78 https://juz-amma.ayatalquran.net/surah-al-kafirun-ayat-1-6-arab-latin-dan-
artinya/,diunggah pada tanggal 6 September 2018
79
Toleransi berasal dari kata Tolerare yang berasal dari bahasa Latin yang
berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi secara luas
adalah suatu sikap atau perilakun manusia yang tidak menyimpang dari aturan,
dimana seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain
lakukan. Toleransi juga dapat dikatakan istilah dalam konteks sosial budaya dan
agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi
terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas dalam suatu masyarakat.
Toleransi juga dapat dikatakan istilah pada konteks agama dan sosial
budaya yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi
terhadap golongan-golongan yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas pada suatu masyarakat. Misalnya toleransi beragama dimana penganut
Agama mayoritas dalam sebuah masyarakat mengizinkan keberadaan agama
minoritas lainnya. Jadi toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap manusia
sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati
dan menghargai manusia yang beragama lain.
Istilah toleransi juga dapat digunakan dengan menggunakan definisi
golongan/ Kelompok yang lebih luas, misalnya orientasi seksual, partai politik,
dan lain-lain. Sampai sekarang masih banyak kontroversi serta kritik mengenai
prinsip-prinsip toleransi baik dari kaum konservatif atau liberal.
Pada sila pertama dalam Pancasila, disebutkan bahwa bertaqwa kepada
tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing merupakan hal yang
mutlak. Karena Semua agama menghargai manusia oleh karena itu semua umat
beragama juga harus saling menghargai. Sehingga terbina kerukunan hidup
anatar umat beragama.
Toleransi beragama dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat
mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan
dengan menggunakan definisi “kelompok” yang lebih luas, misalnya partai
politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi
dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi baik dari kaum liberal maupun
konservatif. Jadi toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap manusia
80
sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati
dan menghargai manusia yang beragama lain.
Dalam masyarakat berdasarkan pancasila terutama sila pertama, bertaqwa
kepada tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak.
Semua agama menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama juga
wajib saling menghargai. Dengan demikian antar umat beragama yang berlainan
akan terbina kerukunan hidup.
Dalam bahasa inggris tolerance berarti membiarkan, mengakui dan
menghormati keyakinan orang lain tanpa persetujuan. Dan dalam bahasa Arab
istilah toleransi merujuk pada kata “tasamuh” yaitu saling mengizinkan atau
saling memudahkan. Menurut bahasa, arti toleransi adalah menahan diri,
bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat berbeda dan berhati lapang
terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda. Sedangkan menurut
istilah, arti toleransi yaitu sikap menghargai dan membebaskan orang lain
(kelompok) untuk berpendapat dan melakukan hal yang tidak sependapat atau
sama dengan kita tanpa melakukan intimidasi terhadap orang atau kelompok
tersebut. Yaitu sikap menghargai dan menghormati perbedaan antar sesama
manusia.
Adapun pengertian toleransi secara umum adalah suatu sikap saling
menghormati dan menghargai antar kelompok atau individu dalam masyarakat
atau dalam lingkup kehidupan lainnya. Yaitu memberi kebebasan kepada
individu/kelompk lain untuk menjalankan keyakinannya, mengatur hidupnya
hingga menentukan nasibnya masing masing, asalkan semuanya masih dalam
suatu koridor yang tidak bertentangan dengan syarat-syarat terciptanya
ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat.
Toleransi terjadi dan berlaku karena terdapat perbedaan prinsip,
pemikiran, dan menghormati perbedaan atau prinsip orang lain tanpa harus
mengorbankan prinsip dan pemikiran sendiri. Sikap toleransi ini sangat penting
dan perlu dimiliki oleh setiap individu atau kelompok dalam masyarakat agar
terjalin hubungan sosial yang baik dan mententramkan, juga merupakan syarat
suksesnya proses asimilasi di dalam kehidupan masyarakat. Sikap toleransi
81
mampu menghindarkan terjadinya diskriminasi sekalipun banyak terdapat
kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu kelompok masyarakat.
Tanpa adanya sikap toleransi, maka masyarakat akan susah untuk bersatu
dan akan muncul berbagai masalah dan konflik sosial seperti pertengkaran,
permusuhan, hingga saling mematikan antar kelompok. Selain penjelasan diatas,
ada beberapa ahli dan pakar yang memiliki definisi berbeda mengenai apa itu
tolerasi, berikut ini pengertian toleransi menurut para ahli,
a. Menurut W.J.S Purwadarminta, toleransi adalah sikap atau sifat menenggang
berupa menghargai serta membolehkan suatu pendirian, pendapat,
pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan
pendirian sendiri.
b. Menurut KBBI, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), definisi
toleransi adalah sifat atau sikap toleran; batas ukur untuk penambahan atau
pengurangan yang masih diperbolehkan; penyimpangan yang masih bisa
diterima dalam pengukuran kerja.
c. Menurut Dewan Ensiklopedi Indonesia, arti toleransi dalam aspek sosial,
politik, merupakan suatu sikap membiarkan orang untuk mempunyai suatu
keyakinan yang berbeda. Selain itu menerima pernyataan ini karena sebagai
pengakuan dan menghormati hak asasi manusia.
d. Menurut Ensiklopedi American, toleransi memiliki makna sangat terbatas.
Ia berkonotasi menahan diri dari pelanggaran dan penganiayaan, meskipun
demikian, ia memperlihatkan sikap tidak setuju yang tersembunyi dan
biasanya merujuk kepada sebuah kondisi dimana kebebasan yang di
perbolehkannya bersifat terbatas dan bersyarat.
e. Micheal Wazler (1997), arti toleransi menurut pandangan Michael dapat
diartikan sebagai keniscayaanya dalam ruang individu dan ruang public
karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peaceful
coexistence) diantara berbagai perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan
dan identitas.
f. Djohan Efendy, Menurut djohan, pengertian toleransi adalah sikap
menghargai terhadap kemajemukan. Dengan kata lain sikap ini bukan saja
82
untuk mengakui eksitensi dan hah-hak orang lain, bahkan lebih dari itu,
terlibat dalam usaha mengetahui dan memahami adanya kemajemukan.
g. Heiler, ia menyatakan toleransi yang diwujudkan dalam kata dan perbuatan
harus dijadikan sikap menghadapi pluralitas agama yang dilandasi dengan
kesadaran ilmiah dan harus dilakukan dalam hubungan kerjasama yang
bersahabat dengan antar pemeluk agama.
Sikap toleransi secara umum antara lain: menghargai pendapat
dan/atau pemikiran orang lain yang berbeda dengan kita serta saling tolong-
menolong untuk kemanusiaan tanpa memandang suku/ ras/ agama/
kepercayaannya. Contoh toleransi lainnya adalah; 1) Menghargai perbedaan
antar pemeluk agama. 2) Menghargai pendapat dan pemikiran orang/kelompok
lain yang berbeda dari kita. 3) Membiarkan orang lain menganut
kepercayaannya. 4) Ketika ada orang salah dalam mengerjakan sesuatu, tidak
kita hina dan caci maki.
Islam sendiri mengajarkan toleransi kepada setiap pemeluknya,
dianjurkan kepada pemeluk Islam utnuk bantu membantu dengan segenap
manusia tanpa memandang agama, suku, ras dan golongannya. Islam juga
menghargai perbedaan dan kebersamaan asalkan tidak masuk ke dalam wilayah
aqidah yang tidak bisa diganggu gugat.
Manfaat toleransi adalah; 1) Menciptakan keharmonisan dalam hidup
bermasyarakat, 2) Menghadirkan rasa kekeluargaan, 3) Menghindari perpecahan
dan konflik, 4) mengendalikan ego masing masing, 5) Memunculkan rasa kasih
sayang satu sama lainnya, 6) Menciptakan suatu kedamaian, ketenangan dan
aman.79
Mencermati keragaman di Indonesia memang cukup menarik. Sikap
keragaman masyarakat Indonesia memang sudah masuk pada taraf toleransi,
yang artinya suatu kecenderungan untuk membiarkan perbedaan itu sebagai
fakta sosial yang tidak bisa dihindari. Sikap ini penting karena mengakui
keragamaan sebagai kondisi alamiah yang perlu dihargai.

79 https://www.zonareferensi.com/pengertian-toleransi/, diunggah pada tanggal 22


September 2018

83
Sementara itu, ada lagi satu sikap keragaman yang tidak sekedar
membiarkan adanya keragaman, tetapi juga merawat keragaman itu, yang
disebut sikap pluralis. Sehingga sikap toleransi yang masih pada taraf
membiarkan perbedaan tidak cukup untuk memupuk sikap harmoni antar umat
beragama yang berbeda-beda.
Toleransi itu sikapnya satu tingkat di bawah sikap pluralis. Toleransi
masih memahami kondisi keragaman pada level membiarkan dan menganggap
perbedaan sebagai sesuatu yang mutlak ada. Tetapi sikap semacam ini
betapapun bagus, tidak cukup bagi merawat kondisi-kondisi keragaman yang
begitu banyak memiliki perbedaan antar agama atau kelompok.
Sikap pluralis mengandaikan adanya kemauan yang konsisten untuk
saling mengerti atau memahami perbedaan sebagai suatu identitas yang penting
bagi penghayatan hidup yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu. Tidak
sekedar bagaimana perbedaan itu saling berhadap-hadapan secara harmoni,
tetapi juga saling berdialog, mengisi, dan mengormati sebagai satu entitas yang
sama pentingnya dengan sikap individualisme golongan tertentu.
Dalam konteks keragaman, sikap pluralis memiliki konsistensi yang
tinggi untuk lebih memahami dan mengkaji perbedaan sebagai penghargaan
tertinggi bagi adanya keragaman. Berbeda dengan toleransi, sikap toleran masih
sangat rentan terhadap konflik dan perpecahan, ia mudah sekali dibelokkan dan
dirubah menjadi radikal.
Tetapi sikap pluralis, di samping lebih konsisten, ia tidak mudah untuk
dibawa ke sana kemari atas sikap keragaman yang tinggi dalam menghargai
perbedaan. Karena kaum pluralis menyadari betul bahwa setiap simbol
kebenaran dari agama-agama memiliki nilai yang sama pentingnya dengan apa
yang diyakini oleh setiap individu.
Masalahnya adalah di Indonesia ada banyak sekali kelompok-
kelompok agama tertentu yang tidak mau mengakui perbedaan sebagai bagian
dari keragaman yang ada. Jangankan mengahargai atau saling menjalin dialog,
mengakui saja mereka tidak mau. Sikap ini berawal dari ketidakmauan untuk

84
melakukan proses memahami dan menghormati perbedaan tersebut yang
dianggap tidak penting.
Sebagai contoh, kehadiran kaum Islamis fanatis semakin meresahkan
dan mereka ditengarai telah menghilangkan sikap toleransi keagamaan di
Indonesia. Mereka hanya percaya terhadap satu bentuk penafsiran yang baku
terhadap kebenaran yang mereka yakini, saling mengklaim kafir, murtad, dan
menganggap di luar kelompoknya sudah keluar dari pakem resmi Islam.
Padahal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sikap fanatik mereka
telah mengakibatkan adanya keresahan, konflik, gejolak yang sulit dikendalikan,
ketegangan, dan benturan di tengah masyarakat. Mereka tidak mau menghargai
kebijaksanaan dan kearifan lokal sebagai bagian dari keragaman di Indonesia.
Islam sebagai agama mayoritas yang seharusnya merangkul dan
menjaga, justru menjadi biang kerok atas kegaduhan sosial. Meski aksi dan
gerakan mereka tidak melahirkan bentrok fisik atau kekerasan, tetapi yang
dihawatirkan adalah ketika keberadaan mereka dimanfaatkan oleh partai politik
tertentu yang sangat bersifat pragmatis.
Yang memprihatinkan adalah mereka tidak menyadari bahwa sikap
fanatisnya yang berlebih-lebihan itu sebenarnya berdiri tegak karena adanya
sikap pluralis dan majemuk di tengah masyarakat kita di Indonesia. Namun
demikian, di samping tidak menyadari, mereka justru memusuhi pluralitas yang
sebenarnya dari rahim pluralitas inilah mereka dilahirkan. Sehingga mereka
menginginkan adanya keragaman yang sudah terjalin secara harmoni menjadi
keseragaman.
Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak suku dan agama sudah
selayaknya menjaga persatuan dan kesatuan. Tidak bisa dipungkiri bahwa
perbedaan sangat mudah atau rentan memunculkan konflik. Kita bisa melihat
bagaimana kondisi konflik Timur Tengah yang berkepanjangan, konflik antar
suku, golongan dan kekuatan politik telah memporak-porandakan wilayah
mereka. Kita perlu bejalar dari mereka bahwa betapa pentingnya sikap saling
menjaga dan merawat keragaman itu sebagai entitas yang penting dalam
kehidupan bersama.
85
Indonesia adalah rumah kita bersama, keragaman sebagai fakta yang
tidak bisa dihindari harus dihormati. Ini menjadi tantangan kita bersama untuk
saling menjaga keragaman ini agar keadaan harmonis antar sesama golongan
dan umat beragama dapat dipelihara dan terhindar dari konflik yang tidak
seharusnya terjadi.Indonesia tidak hanya milik satu kelompok atau agama
tertentu.
Indonesia adalah milik kita bersama, milik orang-orang Islam, Kristen,
Hindu, Budha, dan lain sebagainya. Semua golongan memiliki arti penting dan
peran yang sama dalam berpartisipasi dan menciptakan suasana harmonis
dalam berkeagamaan.
Ini adalah tanggungjawab kita bersama untuk merawat, menjaga, dan
memupuk sikap toleransi yang lebih tinggi sekaligus sikap pluralis agar masa
depan Indonesia terhindar dari konflik fanatisme antar golongan yang itu akan
merusak tatanan sosial dan diharapkan lebih mampu menjaga perdamaian
sesama umat.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya rekonstruksif dari berbagai
pihak, baik itu pemerintah dan ormas-ormas untuk lebih peduli dan selalu
menanamkan nilai-nilai kebangsaan, merawat dan memperjuangkan budaya
toleransi dan kebhinekaan di Indonesia, agar negeri yang kita cintai ini terus
damai dan tidak terjerat pada konflik antar golongan di kemudian hari.
Sikap keragaman masyarakat Indonesia memang sudah masuk pada
taraf toleransi, yang artinya suatu kecenderungan untuk membiarkan perbedaan
itu sebagai fakta sosial yang tidak bisa dihindari. Sikap ini penting karena
mengakui keragamaan sebagai kondisi alamiah yang perlu dihargai.Sementara
itu, ada lagi satu sikap keragaman yang tidak sekedar membiarkan adanya
keragaman, tetapi juga merawat keragaman itu, yang disebut sikap pluralis.
Sehingga sikap toleransi yang masih pada taraf membiarkan perbedaan tidak
cukup untuk memupuk sikap harmoni antar umat beragama yang berbeda-beda.
Toleransi itu sikapnya satu tingkat di bawah sikap pluralis. Toleransi
masih memahami kondisi keragaman pada level membiarkan dan menganggap
perbedaan sebagai sesuatu yang mutlak ada. Tetapi sikap semacam ini
86
betapapun bagus, tidak cukup bagi merawat kondisi-kondisi keragaman yang
begitu banyak memiliki perbedaan antar agama atau kelompok.Sikap pluralis
mengandaikan adanya kemauan yang konsisten untuk saling mengerti atau
memahami perbedaan sebagai suatu identitas yang penting bagi penghayatan
hidup yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu. Tidak sekedar
bagaimana perbedaan itu saling berhadap-hadapan secara harmoni, tetapi juga
saling berdialog, mengisi, dan mengormati sebagai satu entitas yang sama
pentingnya dengan sikap individualisme golongan tertentu.
Dalam konteks keragaman, sikap pluralis memiliki konsistensi yang
tinggi untuk lebih memahami dan mengkaji perbedaan sebagai penghargaan
tertinggi bagi adanya keragaman. Berbeda dengan toleransi, sikap toleran masih
sangat rentan terhadap konflik dan perpecahan, ia mudah sekali dibelokkan dan
dirubah menjadi radikal.Tetapi sikap pluralis, di samping lebih konsisten, ia
tidak mudah untuk dibawa ke sana kemari atas sikap keragaman yang tinggi
dalam menghargai perbedaan. Karena kaum pluralis menyadari betul bahwa
setiap simbol kebenaran dari agama-agama memiliki nilai yang sama pentingnya
dengan apa yang diyakini oleh setiap individu.Masalahnya adalah di Indonesia
ada banyak sekali kelompok-kelompok agama tertentu yang tidak mau
mengakui perbedaan sebagai bagian dari keragaman yang ada.
Jangankan mengahargai atau saling menjalin dialog, mengakui saja
mereka tidak mau. Sikap ini berawal dari ketidakmauan untuk melakukan
proses memahami dan menghormati perbedaan tersebut yang dianggap tidak
penting.Sebagai contoh, kehadiran kaum Islamis fanatis semakin meresahkan
dan mereka ditengarai telah menghilangkan sikap toleransi keagamaan di
Indonesia. Mereka hanya percaya terhadap satu bentuk penafsiran yang baku
terhadap kebenaran yang mereka yakini, saling mengklaim kafir, murtad, dan
menganggap di luar kelompoknya sudah keluar dari pakem resmi
Islam.Padahal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sikap fanatik mereka
telah mengakibatkan adanya keresahan, konflik, gejolak yang sulit dikendalikan,
ketegangan, dan benturan di tengah masyarakat. Mereka tidak mau menghargai
kebijaksanaan dan kearifan lokal sebagai bagian dari keragaman di
87
Indonesia.Islam sebagai agama mayoritas yang seharusnya merangkul dan
menjaga, justru menjadi biang kerok atas kegaduhan sosial.
Meski aksi dan gerakan mereka tidak melahirkan bentrok fisik atau
kekerasan, tetapi yang dihawatirkan adalah ketika keberadaan mereka
dimanfaatkan oleh partai politik tertentu yang sangat bersifat pragmatis.Yang
memprihatinkan adalah mereka tidak menyadari bahwa sikap fanatisnya yang
berlebih-lebihan itu sebenarnya berdiri tegak karena adanya sikap pluralis dan
majemuk di tengah masyarakat kita di Indonesia. Namun demikian, di samping
tidak menyadari, mereka justru memusuhi pluralitas yang sebenarnya dari
rahim pluralitas inilah mereka dilahirkan. Sehingga mereka menginginkan
adanya keragaman yang sudah terjalin secara harmoni menjadi
keseragaman.Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak suku dan agama
sudah selayaknya menjaga persatuan dan kesatuan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan sangat mudah atau rentan
memunculkan konflik. Kita bisa melihat bagaimana kondisi konflik Timur
Tengah yang berkepanjangan, konflik antar suku, golongan dan kekuatan politik
telah memporak-porandakan wilayah mereka. Kita perlu bejalar dari mereka
bahwa betapa pentingnya sikap saling menjaga dan merawat keragaman itu
sebagai entitas yang penting dalam kehidupan bersama.Indonesia adalah rumah
kita bersama, keragaman sebagai fakta yang tidak bisa dihindari harus
dihormati. Ini menjadi tantangan kita bersama untuk saling menjaga keragaman
ini agar keadaan harmonis antar sesama golongan dan umat beragama dapat
dipelihara dan terhindar dari konflik yang tidak seharusnya terjadi.Indonesia
tidak hanya milik satu kelompok atau agama tertentu. Indonesia adalah milik
kita bersama, milik orang-orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain
sebagainya. Semua golongan memiliki arti penting dan peran yang sama dalam
berpartisipasi dan menciptakan suasana harmonis dalam berkeagamaan.Ini
adalah tanggungjawab kita bersama untuk merawat, menjaga, dan memupuk
sikap toleransi yang lebih tinggi sekaligus sikap pluralis agar masa depan
Indonesia terhindar dari konflik fanatisme antar golongan yang itu akan
merusak tatanan sosial dan diharapkan lebih mampu menjaga perdamaian
88
sesama umat.Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya rekonstruksif dari
berbagai pihak, baik itu pemerintah dan ormas-ormas untuk lebih peduli dan
selalu menanamkan nilai-nilai kebangsaan, merawat dan memperjuangkan
budaya toleransi dan kebhinekaan di Indonesia, agar negeri yang kita cintai ini
terus damai dan tidak terjerat pada konflik antar golongan di kemudian hari.
Sikap toleransi sangat perlu dikembangkan karena;
a. Karena kita sebagai makhluk social, tidak bisa lepas dari bantuan rang lain. Jadi
sikap toleransi itu sangatlah perlu dilakukan, sebagai makhluk social yang
memerlukan bantuan terlebih dahulu maka kitalah yang hendaknya terlebih
dahulu mengembangkan sikap toleransi itu, sebelum orang lain yang
bertoleransi kepada kita. Jadi jika kita memerlukan bantuan orang lain, maka
dengan tidak ragu lagi orang itu pasti akan membantu kita, karena terlebih
dahulu kita sudah membina hubungan baik dengan mereka yaitu saling
bertoleransi.
b. Sikap toleransi akan menciptakan adanya kerukunan hidup. Jika dalam suatu
masyarakat masing - masing individu tidak yakin bahwa sikap toleransi akan
menciptakan adanya kerukunan, maka bisa dipastikan jika dalam masyarakat
tersebut tidak akan tercipta kerukunan. Sikap toleransi dapat diartikan pula
sebagai sikap saling menghargai, jika kita sudah saling menghargai otomatis
akan tercipta kehudupan yang sejahtera.
Disini terlihat jelas bahwa upaya untuk mempererat hubungan manusia
dengan manusia tidak bisa lepas dari usaha toleransi, karena seperti apa yang
sudah kita ketahui bahwa sikap toleransi sama pengertiannya dengan saling
menghormati dan menghargai satu sama lain dan saling gotong royong membantu
masyarakat lainnya.
Kehidupan gotong royong dapat kita lihat baik dari lingkungan didesa
maupun kota. Sebagai contohnya: Jika ada anggota keluarga yang meninggal
dunia, tanpa diundang tetangga - tetangga pasti akan datang turut
berbelasungkawa. Hal tersebut sudah menunjukkan bahwa sudah terjalinnya sikap
toleransi dalam bermasyarakat.

89
Adapun hidup saling membantu dan tolong menolong antar sesama umat
manusia dengan penuh tenggang rasa bersumber dari rasa kemanusiaan dan
merupakan perbuatan yang luhur. Toleransi sangat erat hubungannya dengan
usaha menpererat hubungan manusia dengan manusia, karena adanya toleransi
dalam kehidupan sehari-hari akan tercipta kehidupan yang harmonis, sejahtera an
damai.

B. Dasar Dasar Toleransi dalam Islam


Prinsip toleransi yang ditawarkan Islam dan ditawarkan sebagian kaum
muslimin sungguh sangat jauh berbeda. Sebagian orang yang disebut ulama
mengajak umat untuk turut serta dan berucap selamat pada perayaan non Muslim.
Namun Islam tidaklah mengajarkan demikian. Prinsip toleransi yang diajarkan
Islam adalah membiarkan umat lain untuk beribadah dan berhari raya tanpa
mengusik mereka. Senyatanya, prinsip toleransi yang diyakini sebagian orang
berasal dari kafir Quraisy di mana mereka pernah berkata pada Nabi kita
Muhammad, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada
Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita
bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari
ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami
akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari
tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al Qurthubi, 14:
425).
QS. al-Kafirun(109) : 1-6 Artinya:1) Katakanlah (Muhammad), “Wahai
orang-orang kafir !2) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, 3) dan kamu
bukan penyembah apa yang kamu sembah, 4) dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah, 5) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku
sembah, 6) Untukmu agamau, dan untukku agamaku.
Asbabun nuzul surat ini adalah Salah satu riwayat menyebutkan bahwa
sekelompok pemuka kafir Quraisy datang menemui Rasulullah saw.. Kedatangan
mereka untuk mengajak Rasulullah bersekutu dalam segala hal, termasuk dalam
peribadahan. Mereka akan menyembah apa yang beliau sembah, beliau pun

90
diminta menyembah apa yang mereka sembah. Bahkan mereka akan menganngkat
beliau sebagai pemimpin. Dengan adanya peristiwa tersebut, maka turunlah
wahyu Allah swt., yaitu QS. al-Kafirun.
Pada ayat 2 dan 4, Rasulullah saw., menegaskan bahwa beliau tidak akan
pernah menjadi penyembah apa yang disembah orang kafir, yaitu berhala. Dan
pada ayat 3 dan 5 Rasulullah saw., juga menegaskan bahwa orang kafir pun tidak
akan pernah menjadi penyembah apa yang beliau sembah, yaitu Allah swt.
Pada ayat 6 Rasulullah saw. menegaskan bahwa orang kafir tetap pada
agamanya dan beliau bersama kaum muslimin tetap pada agama tauhid. Dengan
demikian, ayat 6 ini sebagai landasan hukum adanya tasamuh dalam beragama.

Kandungan Surah a) Kebenaran itu sumbernya dari Allah swt.; b)


Manusia diberi kebebasan memilih mau beriman atau kafir bagi orang yang
beriman dan beramal sholeh disediakan Surga dan bagi orang yang kafir
disediakan neraka; c) Jika manusia memilih kafir dan melepaskan keimanan maka
berarti mereka telah melakukan kezhaliman.
QS. al-Bayinah (98): 1-8 Artinya: 1) Orang-orang kafir yakni ahli kitab
dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, 2) (yaitu) seorang
rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang suci
(Al-Qur’an), 3) di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus (benar), 4) Dan
tidaklah terpecah-belah orang-orang Ahli Kitab melainkan setelah datang kepada
mereka bukti yang nyata. 5) Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah,
dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata (menjalankan) agama, dan juga agar
melaksnakan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang
lurus (benar), 6) Sungguh, orang-orang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-
orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk, 7) Sungguh, orang-
orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik
makhluk. 8) Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘adn yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida

91
terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah
(balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya
Asbabun Nuzul ayat tersebut adalah sebenarnya, prinsip nabi-nabi
terdahulu ialah sama dengan prinsip agama Islam yaitu ketauhidan dengan
melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah swt. Meskipun
agama yang dibawa nabi terdahulu sama dengan Islam, tetapi syariatnya berbeda-
beda. Misalnya dalam menjalankan kewajiban dan tata cara beribadah.
Surah Al-Bayinah yang berkaitan dengan toleransi adalah ayat 1-2. Kedua
ayat ini menjelaskan sikap tegas yang dimiliki oleh orang-orang kafir dari golongan
ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan
tidak akan meninggalkan ajaran agama mereka.
QS. Al-Kahfi (18): 29 Artinya: Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran
itu datangnya dari Rabbmu, barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia
beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir. “Sesungguhnya
Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung
mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti
besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Kandungan Surah a) Kebenaran itu sumbernya dari Allah
swt.; b) Manusia diberi kebebasan memilih mau beriman atau kafir bagi orang
yang beriman dan beramal sholeh disediakan Surga dan bagi orang yang kafir
disediakan neraka ; c) Jika manusia memilih kafir dan melepaskan keimanan maka
berarti mereka telah melakukan kezhaliman.
QS. Yunus (10): 40-41 Artinya: 40) Dan diantara mereka ada orang-orang
yang beriman kepadanya (al-Qur’an), dan diantaranya ada (pula) orang-orang yang
tidak beriman kepadanya. Sedangkan Rabbmu lebih mengetahui tentang orang-
orang yang berbuat kerusakan. 41) Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu
(Muhammad), maka katakanlah “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu.
Kamu tidak bertanggung jawab terhadap yang aku kerjakan dan aku pun tidak
bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.

92
Kandungan surah a) Ada golongan umat manusia yg beriman terhadap
al-qur'an dan ada yg tdk beriman kepada al-Qur'an; b) Allah swt. Mengetahui sikap
dan perilaku orang-orang yang beriman yang bertakwa kepada Allah swt. dan
orang-orang yang tidak beriman yang berbuat durhaka kepada Allah swt.;
c) Orang-orang yang beriman kepada Allah swt. harus yakin bahwa Tasul Allah
swt. yang terakhir adalah Nabi Muhammad saw. dan Al-Qur'an adalah kitab suci yg
harus dijadikan pedoman umat manusia sampai akhir zaman.
Hadits Di dalam salah satu hadis Rasulullah saw., beliau bersabda:

ٍ ‫ﲔ َﻋ ْﻦ ِﻋ ْﻜ ِﺮَﻣﺔَ َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬


‫ﺎس‬ ِ ْ‫ﺼ‬
َ ُ‫اﳊ‬ْ ‫ﺎق َﻋ ْﻦ َد ُاوَد ﺑْ ِﻦ‬َ ‫ﻤ ُﺪ ﺑْ ُﻦ إِ ْﺳ َﺤ‬ َ‫ﺎل أﻧﺎ ُﳏ‬
َ َ‫ﻳﺪ ﻗ‬ ُ ‫ﺪﺛَﻨِﺎ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺣﺪﺛﲎ أﰉ ﺣﺪﺛﲎ ﻳَِﺰ‬ ‫َﺣ‬
.ُ‫ﺴ ْﻤ َﺤﺔ‬ ‫ﺔُ اﻟ‬‫اﳊَﻨِ ِﻴﻔﻴ‬ َ َ‫ ِﻪ ﻗ‬‫ﺐ إِ َﱃ اﻟﻠ‬
ْ ‫ﺎل‬  ‫َﺣ‬ ِ
َ ‫ي اْﻷ َْدﻳَﺎن أ‬  َ‫ َﻢ أ‬‫ﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠ‬‫ﻰ اﻟﻠ‬‫ﺻﻠ‬ ِ ِ ِ ِ‫ﺎل ﻗ‬
َ ‫ﻪ‬‫ﻴﻞ ﻟَﺮ ُﺳﻮل اﻟﻠ‬
َ َ َ‫ﻗ‬
Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada
saya Abi telah menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada
kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin al-Hushain dari Ikrimah dari Ibnu
'Abbas, ia berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang
paling dicintai oleh Allah?" maka beliau bersabda: "al-Hanifiyyah al-Samhah (yang
lurus lagi toleran)".
Menciptakan kerukunan umat beragama baik di tingkat daerah, provinsi,
maupun pemerintah merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi
pemerintah lainnya. Mulai dari tanggung jawab mengenai ketentraman,
keamanan, dan ketertiban termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling
menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama bahkan menertibkan
rumah ibadah.
Dalam hal ini untuk menciptakan kerukunan umat beragama dapat
dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Saling tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama
2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu.
3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya
4. Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan
Negara atau Pemerintah.

93
Sikap tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama
merupakan indikasi dari konsep trilogi kerukunan. Seperti dalam pembahasan
sebelumnya upaya mewujudkan dan memelihara kerukunan hidup umat
beragama, tidak boleh memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu.
Karena hal ini menyangkut hak asasi manusia (HAM) yang telah diberikan
kebebasan untuk memilih baik yang berkaitan dengan kepercayaan, maupun
diluar konteks yang berkaitan dengan hal itu.
Kerukunan antar umat beragama dapat terwujud dan senantiasa
terpelihara, apabila masing-masing umat beragama dapat mematuhi aturan-aturan
yang diajarkan oleh agamanya masing-masing serta mematuhi peraturan yang
telah disahkan Negara atau sebuah instansi pemerintahan. Umat beragama tidak
diperkenankan untuk membuat aturan-aturan pribadi atau kelompok, yang
berakibat pada timbulnya konflik atau perpecahan diantara umat beragama yang
diakibatkan karena adanya kepentingan ataupun misi secara pribadi dan
golongan.
Selain itu, agar kerukunan hidup umat beragama dapat terwujud dan
senantiasa terpelihara, perlu memperhatikan upaya-upaya yang mendorong
terjadinya kerukunan secara mantap dalam bentuk. :
1. Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta
antar umat beragama dengan pemerintah.
2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional, dalam bentuk upaya
mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun
dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan
sikap toleransi.
3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif, dalam rangka
memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama,
yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern umat beragama dan
antar umat beragama.
4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan
dari seluruh keyakinan plural umat manusia, yang fungsinya dijadikan sebagai
pedoman bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip berpolitik dan
94
berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap
keteladanan.
5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi
kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai ketuhanan, agar tidak
terjadi penyimpangan-penyimpangan nila-nilai sosial kemasyarakatan maupun
sosial keagamaan.
6. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara
menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan
tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor-
faktor tertentu.
7. Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan
bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat
memperindah fenomena kehidupan beragama.
Dalam upaya memantapkan kerukunan itu, hal serius yang harus
diperhatikan adalah fungsi pemuka agama, tokoh masyarakat dan pemerintah.
Dalam hal ini pemuka agama, tokoh masyarakat adalah figur yang dapat
diteladani dan dapat membimbing, sehingga apa yang diperbuat mereka akan
dipercayai dan diikuti secara taat. Selain itu mereka sangat berperan dalam
membina umat beragama dengan pengetahuan dan wawasannya dalam
pengetahuan agama.
Kemudian pemerintah juga berperan dan bertanggung jawab demi
terwujud dan terbinanya kerukunan hidup umat beragama. Hal ini menunjukkan
bahwa kualitas umat beragama di Indonesia belum berfungsi seperti seharusnya,
yang diajarkan oleh agama masing-masing. Sehingga ada kemungkinan timbul
konflik di antara umat beragama. Oleh karena itu dalam hal ini, ”pemerintah
sebagai pelayan, mediator atau fasilitator merupakan salah satu elemen yang
dapat menentukan kualitas atau persoalan umat beragama tersebut. Pada
prinsipnya, umat beragama perlu dibina melalui pelayanan aparat pemerintah
yang memiliki peran dan fungsi strategis dalam menentukan kualitas kehidupan
umat beragama, melalui kebijakannya.

95
Untuk menjaga dan meningkatkan kerukunan hidup umat beragama dan
keutuhan bangsa, perlu dilakukan upaya-upaya:
1. Meningkatkan efektifitas fungsi lembaga-lembaga kearifan lokal dan
keagamaan masyarakat;
2. Meningkatkan wawasan keagamaan masyarakat;
3. Menggalakkan kerjasama sosial kemanusiaan lintas agama, budaya, etnis dan
profesi
4. Memperkaya wawasan dan pengalaman tentang kerukunan melalui program
kurikuler di lingkungan lembaga pendidikan.

C. Konsep Wasathiyah
Umat Islam adalah umat yang dijadikan satu-satunya yang adil di muka
bumi ini, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 143. Dalam ayat ini
dijelaskan, kata wasatha diartikan dengan tempat yang di tengah-tengah, yang
berada di antara dua ujung, wastha jelasnya diartikan dengan pusat keseimbangan
dan pusat keadilan diantara segala sisi. Dan bukan salah satu dari ujung terlalu
bahaya jika lebih dekat dengannya.
Mengikuti konsep tengah atau yang sering disebut wasathan, manhaj yang
mengajarkan keadilan dan keseimbangan, dapat membimbing orang untuk bisa
hidup qana’ah dengan menikmati rizki yang diberikan kepadanya, dari Allah Swt.,
akan dan mempu menyelesaikan hak dan kewajibannya terhadap Rabbnya,
sehingga orentasi hidupnya adalah pengabdian kepada sang pencipta.
al-Thabari wasathiyah adalah tempat yang berada di tengah, yang
menempati posisi antara dua ujung; seperti tengahnya rumah. Umar Sulaiman al-
Asyqar berpendapat, bhwa Allah Swt., memberi sifat kepada orang Islam sebagai
umat yang tengah, disebabkan mereka selalu adil dalam urusan agama. Mereka
tidak berlebih-lebihan, seperti halnya umat Nasrani yang menyari’atkan kerahibkan
dan berlebih-lebihan dalam menempatkan masalah nabi Isa as., orangorang Yahudi
yang berani mengganti kitab Allah, membunuh para nabi, mendustakan Allah dan
mengingkari-Nya. Umat Islam tidak seperti demikian, mereka adalah umat yang
tengah dan adil dalam mengurus agamanya. Karena itulah Allah SWT., menjadikan
96
mereka sebagai ummatan wasathan, oleh karena itu, perkara yang paling diridhai
Allah adalah yang pertengahan, tidak berlebihan dan tidak pula mengabaikan.80
Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah atau kita sebut dengan
Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW., dan para sahabatnya:
1. Al-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri
ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:

ً‫ﻮل َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َﺷ ِﻬﻴﺪا‬ ِ ‫ﺘَ ُﻜﻮﻧُﻮاْ ُﺷ َﻬ َﺪاء َﻋﻠَﻰ اﻟﻨ‬‫ﻣ ًﺔ َو َﺳﻄﺎً ﻟ‬ُ‫ﻚ َﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ أ‬
ُ ‫ﺮ ُﺳ‬‫ﺎس َوﻳَ ُﻜﻮ َن اﻟ‬ ِ
َ ‫َوَﻛ َﺬﻟ‬
Artinya: “Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat
pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas
(sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi
(ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah:
143).

2. Al-tawāzun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil
'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber
dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:

‫ﺎس ﺑِﺎﻟْ ِﻘ ْﺴ ِﻂ‬


ُ ‫ﻮم اﻟﻨ‬
ِ ِ
َ ‫ﺎب َواﻟْﻤ َﻴﺰا َن ﻟﻴَـ ُﻘ‬
ِ ِ
َ ‫ـﻨَﺎت َوأ‬‫ﻟََﻘ ْﺪ أ َْر َﺳ ْﻠﻨَﺎ ُر ُﺳﻠَﻨَﺎ ﺑِﺎﻟْﺒَـﻴ‬
َ َ‫َﻧﺰﻟْﻨَﺎ َﻣ َﻌ ُﻬ ُﻢ اﻟْﻜﺘ‬
Artinya: “Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti
kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan
neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.
(QS al-Hadid: 25).
3. Al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT., berfirman:
ِ ِ ٍ ِ ِِ ِ ِ ‫ﻮ ِاﻣ‬ ‫ ِﺬﻳﻦ آﻣﻨُﻮاْ ُﻛﻮﻧُﻮاْ ﻗَـ‬‫ﻬﺎ اﻟ‬‫ﻳﺎ أَﻳـ‬
ُ ‫ ﺗَـ ْﻌﺪﻟُﻮاْ ْاﻋﺪﻟُﻮاْ ُﻫ َﻮ أَﻗْـَﺮ‬‫ ُﻜ ْﻢ َﺷﻨَﺂ ُن ﻗَـ ْﻮم َﻋﻠَﻰ أَﻻ‬‫ﲔ ﻟﻠّﻪ ُﺷ َﻬ َﺪاء ﺑﺎﻟْﻘ ْﺴﻂ َوﻻَ َْﳚ ِﺮَﻣﻨ‬
‫ب‬ َ َ َ َ َ
‫ن اﻟﻠّ َﻪ َﺧﺒِ ٌﲑ ِﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن‬ ِ‫ ُﻘﻮاْ اﻟﻠّﻪَ إ‬‫ـ ْﻘ َﻮى َواﺗـ‬‫ﻟِﻠﺘ‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-
orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur
kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum
menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih
mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah:
8).

Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga


mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta

80 Umar Sulaiman al-Asyqar, Umat Islam Menyongsong Peradaban Baru, (Jakarta: Amzah, 2008), h.
9-11
97
menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan
berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam
meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:

‫ﻛ ُﺮ أ َْو َﳜْ َﺸﻰ‬ ‫ﻪُ ﻳـَﺘَ َﺬ‬‫ َﻌﻠ‬‫ﻨﺎً ﻟ‬‫ﻴ‬‫ﻓَـ ُﻘ َﻮﻻ ﻟَﻪُ ﻗَـ ْﻮﻻً ﻟ‬
Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya
(Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan
takut”. (QS. Thāha: 44)

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT., kepada Nabi Musa AS dan
Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir
(701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya
dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan
perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan
supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-
Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa
prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat
Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)
1. Akidah
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi
kafir.
2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as
(sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki
dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3. Tashawwuf/ Akhlak

98
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan
ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani
(antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong
dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok
berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan
menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena
merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat,
selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya
dengan cara yang baik.
6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan
diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima,
dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang
masih relevan (al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
7. Dakwah

99
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi
mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas,
disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah
KH Muhyidin Abdusshomad, Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU

Jember. Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan

Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW., dan para sahabatnya:

Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak


ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:

ً‫ﻮل َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َﺷ ِﻬﻴﺪا‬ ِ ‫ﺘَ ُﻜﻮﻧُﻮاْ ُﺷ َﻬ َﺪاء َﻋﻠَﻰ اﻟﻨ‬‫ﻣ ًﺔ َو َﺳﻄﺎً ﻟ‬ُ‫ﻚ َﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ أ‬
ُ ‫ﺮ ُﺳ‬‫ﺎس َوﻳَ ُﻜﻮ َن اﻟ‬ ِ
َ ‫َوَﻛ َﺬﻟ‬
Artinya: “Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan
(adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan
perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran
penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam


penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil
naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:

‫ﺎس ﺑِﺎﻟْ ِﻘ ْﺴ ِﻂ‬


ُ ‫ﻮم اﻟﻨ‬
ِ ِ
َ ‫ﺎب َواﻟْﻤ َﻴﺰا َن ﻟﻴَـ ُﻘ‬
ِ ِ
َ ‫ـﻨَﺎت َوأ‬‫ﻟََﻘ ْﺪ أ َْر َﺳ ْﻠﻨَﺎ ُر ُﺳﻠَﻨَﺎ ﺑِﺎﻟْﺒَـﻴ‬
َ َ‫َﻧﺰﻟْﻨَﺎ َﻣ َﻌ ُﻬ ُﻢ اﻟْﻜﺘ‬
Artinya: “Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti
kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan
neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS
al-Hadīd: 25)

Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT., berfirman:
ِ ِ ٍ ِ ِِ ِ ِ ‫ﻮ ِاﻣ‬ ‫ ِﺬﻳﻦ آﻣﻨُﻮاْ ُﻛﻮﻧُﻮاْ ﻗَـ‬‫ﻬﺎ اﻟ‬‫ﻳﺎ أَﻳـ‬
ُ ‫ ﺗَـ ْﻌﺪﻟُﻮاْ ْاﻋﺪﻟُﻮاْ ُﻫ َﻮ أَﻗْـَﺮ‬‫ ُﻜ ْﻢ َﺷﻨَﺂ ُن ﻗَـ ْﻮم َﻋﻠَﻰ أَﻻ‬‫ﲔ ﻟﻠّﻪ ُﺷ َﻬ َﺪاء ﺑﺎﻟْﻘ ْﺴﻂ َوﻻَ َْﳚ ِﺮَﻣﻨ‬
‫ب‬ َ َ َ َ َ
‫ن اﻟﻠّ َﻪ َﺧﺒِ ٌﲑ ِﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن‬ ِ‫ ُﻘﻮاْ اﻟﻠّﻪَ إ‬‫ـ ْﻘ َﻮى َواﺗـ‬‫ﻟِﻠﺘ‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang
yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran)
yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu
berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada
taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan”. (QS al-Māidah: 8).

100
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan
sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati
orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti
mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam
meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:

‫ﻛ ُﺮ أ َْو َﳜْ َﺸﻰ‬ ‫ﻪُ ﻳـَﺘَ َﺬ‬‫ َﻌﻠ‬‫ﻨﺎً ﻟ‬‫ﻴ‬‫ﻓَـ ُﻘ َﻮﻻ ﻟَﻪُ ﻗَـ ْﻮﻻً ﻟ‬
Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya
(Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan
takut”. (QS. Thāha: 44).

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT., kepada Nabi Musa AS dan
Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu
Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan,
"Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah
menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal
itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih
berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).

D. Tantangan Wasathiyah
1. Fundamentalisme
Kata fundamentalisme sendiri juga cukup akrap dalam diskursus
fenomena keagamaan kontemporer ia berkaitan dengan gerakan yang umum
dipersepsi secara pejoratif karena berkaitan dengan ekslusifitas, kerap
menggunakan kekerasan, dan pemaksaan terhadap kelompok lainnya. Stigma
atau persepsi semacam ini sesungguhnya tidak selalu tepat. Tidak semua
kelompok fundamentalisme memiliki karakter yang semacam ini.
Walaupun kata fundamentalis termasuk fundamentalis Islam sudah
sering disebut, namun tidak mudah memberikan rumusan definitifnya. Ada
berbagai definisi, batasan, dan karakteristik yang mempengaruhi perumusan
sebuah definisi, kesulitan definisi tersebut karena:
a. Definisi sendiri memang kabur dan makna sesungguhnya memeng
dikaburkan. Kekaburan makna tersebut sesungguhnya telah menunjukkan
bahwa fundamentalisme adalah merupakan sesuatu yang problematic. Hal
101
ini ucap kali, karena banyak orang yang membicarakan fundamentalisme
agama, senantiasa akan mengacu pada pengalaman-pengalaman yang pernah
terjadi di Negara-negara lain, baik di Timur Tengah, Afrika, maupun Asia
Tenggara, serta Amerika dan Eropa. Di samping juga acap kali merujuk
kepada istilah fundamentalisme dalam Kristen ataupun Katolik.
Implikasinya, fundamentalisme agama Islam kemudian dianggap tidak
pernah ada. Istilah fundamentalisme hanya ada dalam agama lain selain
Islam, seperti Kristen, Katholik dan Yahudi.
b. Istilah fundamentalisme memiliki makna yang sangat luas dan sangat
sosiologis, tetap jarang menjadi tafsir yang sangat ideologis dan soiologis.
Fundamentalisme diartikan gerakan sebagai gerakan keagamaan yang
mengacu pada pemahaman dan praktek-praktek zaman salaf (zaman Nabi
dan Sahabat). Praktek-praktek keagamaan yang menyakan dirinya kembali
kepada tradisi-tradisi nabi dan sahabat, berdasarkan pada al-Qur’an dan
hadits nabi. Dari sini istilah fundamentalisme dan radikalisme sebenarnya
biasa saja, menjadi tidak biasa karena fundamentlisme dan radikalisme
dikait-kaitkan dengan problem masyarakat umt beragama ketika mereka
lebih tertarik menggunakan cara-cara pemaksaan, memaksakan pihak lain,
dan mengklaim pihaknyalah yang paling benar. Fundamentalisme dan
radikalisme kemudian menjadi kosa kata yang sangat kurang baik dan
negative, karena agama tampaknya difahami serba tunggal, monolog, keras,
mengancam, dan penuh kekerasan, bahkan bunuh-membunuh atas nama
Tuhan.81
Fundamentalisme keagamaan adalah paham politik yang menjadikan
agama sebagai ideologi berbangsa dan bernegara. Paham ini menjadikan agama
sebagai basis ideologinya dan agama dipakai sebagai pusat pemerintahannya
dan pemimpin tertinggi negara tersebut haruslah seorang petinggi agama.
Segala kegiatan pemerintahan dan hukum-hukumnya juga diambil dari kitab
suci. Dan dasar negara sendiri memakai ideologi agama. Dewasa ini kita
mengenal istilah “fundamentalisme Islam” atau “Islam fundamentalis”. Istilah

81 Ngainun Naim, Islam dan Pluralisme Agama, (Yogyakarta: Pustaka Aura, 2014), h. 84
102
ini cukup populer dalam dunia media massa, baik yang berskala nasional
maupun internasional. Istilah “fundamentalisme Islam” atau “Islam
fundamentalis” ini banyak dilontarkan oleh kalangan pers terhadap gerakan-
gerakan kebangkitan Islam kontemporer semacam Hamas, Hizbullah, Al-
Ikhwanul Muslimin, Jemaat Islami, dan Hizbut Tahrir Al-Islamy. Penggunaan
istilah fundamentalisme yang ‘dituduhkan’ oleh media massa terhadap
gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer tersebut, disamping bertujuan
memberikan gambaran yang ‘negatif’ terhadap berbagai aktivitas mereka, juga
bertujuan untuk menjatuhkan ‘kredibilitas’ mereka di mata dunia.

2. Radikalisme
Radikal berasal dari radic yang berarti akar, dan radikal adalah bersifat
mendasar, atau hingga keakar-akarnya. Predikat seperti ini bisa dikenakan
pada pemikiran atau faham, sehingga muncul istilah pemikiran yang radikal,
dan bisa juga pada gerakan. Berdasarkan itu, radikalisme diartikan dengan
faham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan
politik dengan cara keras atau draktis, dan sikap ekstrim pada suatu aliran
politik. Dengan demikian, Islam radikal adalah faham keislaman yang
menginginkan dilakukannya perubahan sosial dan politik sesuai Syari’ah Islam
yang dilakukan dengan cara kekerasan dan drastis.
Jika definisi di atas dapat diterima, aka disitu ada dua kata kunci yang
harus dilakukan, yaitu; 1) perubahan sosial politik sesuai dengan syari’ah
Islam, 2) dilakukan dengan kekerasan dan drastis. Dengan demikian, Islam
radikal adalah aliran dalam Islam yang mencita-citakan terlaksananya syari’ah
Islam dalam kehidupan sosial-politik, dan untuk mencapai cita-cita itu
dilakukan tindakan-tindakan kekerasan dan drastis.82
Radikalisme dalam artian bahasa berarti paham atau aliran yang
mengingikan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis. Namun, dalam artian lain, esensi radikalisme adalah
konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Sementara itu Radikalisme

82 Afif Muhammad, Agama dan Konflik Sosial Studi Pengalaman Indonesia, (Bandung: Marja, 2013),
h. 63
103
Menurut Wikipedia adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok
orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik
secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Namun bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan
sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat
mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak
jarang penganut dari paham tersebut menggunakan kekerasan kepada orang
yang berbeda paham untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang
dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.
Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan
kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan
mereka. Sementara Islam merupakan agama kedamaian. Islam tidak pernah
membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama,
paham keagamaan serta paham politik.
Dawinsha mengemukakan defenisi radikalisme menyamakannya
dengan teroris.Tapi ia sendiri memakai radikalisme dengan membedakan
antara keduanya. Radikalisme adalah kebijakan dan terorisme bagian dari
kebijakan radikal tersebut. defenisi Dawinsha lebih nyata bahwa radiklisme itu
mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan
melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan
gagasan baru.Makna yang terakhir ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman
negatif dan bahkan bisa menjadi berbahaya sebagai ekstrim kiri atau kanan.
Syaikh Yusuf Qordawi mengungkapkan bahwa kelompok
fundamentalis radikal yang fanatik dapat dicirikan oleh beberapa karakter,
sebagai berikut:
a. Acapkali mengklaim kebenaran tunggal. Sehingga mereka dengan
mudahnya menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat dengannya.
Mereka memposisikan diri seolah-olah "nabi" yang diutus oleh Tuhan
untuk meluruskan kembali manusia yang tak sepaham dengannya.
b. Cenderung mempersulit agama dengan menganggap ibadah mubah atau
sunnah seakan-akan wajib dan hal yang makruh seakan-akan haram.
104
Sebagai contoh ialah fenomena memanjangkan jenggot dan meninggikan
celana di atas mata kaki. Bagi mereka ini adalah hal yang wajib.. Jadi
mereka lebih cenderung fokus terhadap kulit daripada isi.
c. Mereka kebanyakkan mengalami overdosis agama yang tidak pada
tempatnya. Misalnya, dalam berdakwah mereka mengesampingkan metode
gradual, "step by step", yang digunakan oleh Nabi dan Walisanga. Sehingga
bagi orang awam, mereka cenderung kasar dalam berinteraksi, keras dalam
berbicara dan emosional dalam menyampaikan. Tetapi bagi mereka sikap
itu adalah sebagi wujud ketegasan, ke-konsistenan dalam berdakwah, dan
menjunjung misi "amar ma'aruf nahi munkar". Sungguh suatu sikap yang
kontra produktif bagi perkembangan dakwah Islam ke depannya.
d. Mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Mereka mudah
berburuk sangka kepada orang lain yang tak sepaham dengan pemikiran
serta tindakkannya. Mereka cenderung memandang dunia ini hanya
dengan dua warna saja, yaitu hitam dan putih.
e. Menggunakan cara-cara antara lain seperti: pengeboman, penculikan,
penyanderaan, pembajakan dan sebagainya yang dapat menarik perhatian
massa/publik.
3. Terorisme
Menurut Mark Juergensmeyer, terorisme berasal dari bahasa latin,
Terrere yang berarti menimbulkan rasa gemetar dan rasa cemas. Sedang dalam
bahasa Inggris to terrorize berarti menakuti-nakuti. Terrorist berarti teroris,
pelaku teroris. Terrorism berarti membuat ketakutan, membuat gentar. Terror
berarti ketakutan atau kecemasan.
Teror secara etimologi berarti menciptakan ketakutan yang dikalukan
oleh orang atau golongan tertentu. Sementara terorisme adalah paham yang
menggunakan kekerasan untuk menciptakan ketakutan dalam usaha mencapai
tujuan.
Terorisme dapat dipandang dari berbagai sudut ilmu: Sosiologi,
kriminologi, politik, psikiatri, hubung-an internasional dan hukum, oleh karena

105
itu sulit merumuskan suatu definisi yang mampu mencakup seluruh aspek dan
dimensi berbagai disiplin ilmu tersebut.
Ancaman atau penggunaan kekerasan secara ilegal yang dilakukan oleh
aktor non-negara baik berupa perorangan maupun kelompok untuk mencapai
tujuan politis, ekonomi, religius, atau sosial dengan menyebarkan ketakutan,
paksaan, atau intimidasi menjelaskan definisi dari terorisme
Terorisme didasarkan pada kekerasan sistematis dan purposif, yang
dirancang untuk mempengaruhi pilihan politik tiap individu atau aktor, lebih
dari sekedar untuk menimbulkan korban atau kerusakan material. Untuk
mencapai pengaruh politik, terorisme tergantung pada kekuatan untuk
membangkitkan emosi publik, kelompok netral, pendukung, dan kontra
Menurut Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala bentuk
tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud
menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang
atau masyarakat luas.
US Department of Defense tahun 1990. Terorisme adalah perbuatan
melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan
atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau
mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama atau
idiologi.
Terorisme sesungguhnya terkait dengan beberapa masalah mendasar,
antara lain, Pertama, adanya wawasan keagamaan yang keliru. Kedua,
penyalahgunaan simbol agama. Ketiga, lingkungan yang tidak kondusif yang
terkait dengan kemakmuran dan keadilan. Kempat, faktor eksternal yaitu
adanya perlakuan tidak adil yang dilakukan satu kelompok atau negara
terhadap sebuah komunitas. Akibatnya, komunitas yang merasa diperlakukan
tidak adil bereaksi.
Menurut beberapa literatur dan referensi termasuk surat kabar dapat
disimpulkan bahwa ciri-ciri terorisme adalah :
a. Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi & militant

106
b. Mempunyai tujuan politik, ideologi tetapi melakukan kejahatan kriminal
untuk mencapai tujuan.
c. Tidak mengindahkan norma-norma universal yang berlaku, seperti agama,
hukum dan HAM.
d. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk
menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
e. Menggunakan cara-cara antara lain seperti: pengeboman, penculikan,
penyanderaan, pembajakan dan sebagainya yang dapat menarik perhatian
massa atau publik.
Ciri-ciri kepribadian dari para terorisme tersebut:
a. Sangat fanatik kelompok
b. Berasal dari kampung atau desa/Berpendidikan rendah
c. Berpegang teguh makna lahiriyah (tekstual) soal jihad;
d. Ketat dalam beribadah,Terdiri dari pemuda-pemuda Sangat berani mati
e. Menentang kekuasaan pemerintah yang ada
f. Suka membawa al-Qur’an
g. Keras dan beringas/Kuat solidaritas sesame
h. Slogan-slogan keimanan: ”Allahu Akbar”; dan Fanatisme buta.
Ciri-ciri pemikiran politik dan teologi mereka:
a. Setiap muslim harus mengikuti cara dan gaya hidup mereka;
b. Harus menghindar dari pemerintah
c. Khalifah dipilih secara bebas
d. Orang yang bersekutu dengan AS, Inggeris, Australia adalah kafir
e. AS, Inggeris, dan Australia adalah kafir yang harus dibasmi
f. Memutarbalikan nash, dan data keagamaan
g. Pemimpin Negara haruslah Khalifah bukan Presiden, dan
h. Demontrasi, penculikan, intimidasi, anarkisme, peledakan, dan teror fisik
dan pemikiran.
Terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk
kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk
mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme
107
aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang
dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa
yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat
dikatakan sebagai bentuk murni dari Terorisme dengan mengacu pada sejarah
Terorisme modern.Meski istilahTerordan Terorismebaru mulai populer abad
ke-18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru.
Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982),
manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi
baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang
dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai
sistem rezim teror. Kata Terorisme berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang
semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi
Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan
cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti
pemerintah.
Selanjutnya kata Terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan
kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata Terorisme sejak
awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah
maupun kegiatan yang anti pemerintah.Terorisme muncul pada akhir abad 19
dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I, terjadi hampir di seluruh belahan
dunia.Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak dilakukan di
Eropa Barat, Rusia dan Amerika.
Mereka percaya bahwa Terorisme adalah cara yang paling efektif untuk
melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-
orang yang berpengaruh.Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme
Armeniamelawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana
pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada
dekade tersebut, aksi Terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan
sayap kiri yang berbasiskan ideologi.Bentuk pertama Terorisme, terjadi
sebelum Perang Dunia II, Terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan
politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua Terorisme dimulai di
108
Aljazair pada tahun 50an, dilakukan oleh FLN yang memopulerkan “serangan
yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa.
Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai Terorisme
negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun 60-an dan
terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa serangan acak terhadap
siapa saja untuk tujuan publisitas.

E. Penanggulangan Faham Radikalisme


Masalah radikalisme dan terorisme saat ini memang sudah marak terjadi di
mana-mana, termasuk di Indonesia sendiri. Pengaruh radikalisme yang merupakan
suatu pemahaman baru yang dibuat-buat oleh pihak tertentu mengenai suatu hal,
seperti agama, sosial, dan politik, seakan menjadi semakin rumit karena berbaur
dengan tindak terorisme yang cenderung melibatkan tindak kekerasan. Berbagai
tindakan terror yang tak jarang memakan korban jiwa seakan menjadi cara dan
senjata utama bagi para pelaku radikal dalam menyampaikan pemahaman mereka
dalam upaya untuk mencapai sebuah perubahan.
Dalam hal ini, tentunya bukan hanya kalangan pemerintah saja yang
harusnya mengambil bagian untuk mencegah dan mengatasinya, namun seluruh
rakyat harusnya juga ikut terlibat dalam usaha tersebut, terutama para kaum
pemudi-pemuda. Hal ini dikarenakan kaum pemudalah yang nantinya merupakan
generasi penerus bangsa ini sekaligus menjadi ujung tombak untuk melakukan
pencegahan dan pemberantasan akan kedua masalah tersebut, yaitu radikalisme
dan terorisme agar tidak menjadi penyebab terjadinya tindakan penyalahgunaan
kewenangan. Hal yang paling mencolok untuk dapat mengambil peran dalam
mengatasi masalah ini ialah para generasi muda, seperti halnya mahasiswa yang
merupakan agent of change bangsa ini. Di samping juga anak-anak yang masih
dalam tahap pembentukan pribadinya sehingga memerlukan bimbingan khusus
dari orang tua tentunya agar nantinya tidak terseret dalam paham radikalisme serta
tindak terorisme.
Berbagai cara mencegah radikalisme dan terorisme agar tidak semakin
menjamur, terutama di bangsa Indonesia ini, antara lain:
109
1. Memperkenalkan Ilmu Pengetahuan Dengan Baik Dan Benar
Hal pertama yang dapat dilakukan untuk mencegah paham radikalisme
dan tindak terorisme ialah memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan
benar. Pengenalan tentang ilmu pengetahuan ini harusnya sangat ditekankan
kepada siapapun, terutama kepada para generasi muda. Hal ini disebabkan
pemikiran para generasi muda yang masih mengembara karena rasa
keingintahuannya, apalagi terkait suatu hal yang baru seperti sebuah
pemahaman terhadap suatu masalah dan dampak pengaruh globalisasi.
Dalam hal ini, memperkenalkan ilmu pengetahuan bukan hanya sebatas
ilmu umum saja, tetapi juga ilmu agama yang merupakan pondasi penting
terkait perilaku, sikap, dan juga keyakinannya kepada Tuhan. Kedua ilmu ini
harus diperkenalkan secara baik dan benar, dalam artian haruslah seimbang
antara ilmu umum dan ilmu agama. Sedemikian sehingga dapat tercipta
kerangka pemikiran yang seimbang dalam diri.
2. Memahamkan Ilmu Pengetahuan Dengan Baik Dan Benar
Hal kedua yang dapat dilakukan untuk mencegah pemahaman
radikalisme dan tindak terorisme ialah memahamkan ilmu pengetahuan dengan
baik dan benar. Setelah memperkenalkan ilmu pengetahuan dilakukan dengan
baik dan benar, langkah berikutnya ialah tentang bagaimana cara untuk
memahamkan ilmu pengetahuan tersebut. Karena tentunya tidak hanya sebatas
mengenal, pemahaman terhadap yang dikenal juga diperlukan. Sedemikian
sehingga apabila pemahaman akan ilmu pengetahuan, baik ilmu umum dan
ilmu agama sudah tercapai, maka kekokohan pemikiran yang dimiliki akan
semakin kuat. Dengan demikian, maka tidak akan mudah goyah dan
terpengaruh terhadap pemahaman radikalisme sekaligus tindakan terorisme dan
tidak menjadi penyebab lunturnya bhinneka tunggal ika sebagai semboyan
Indonesia.
3. Meminimalisir Kesenjangan Sosial
Kesenjangan sosial yang terjadi juga dapat memicu munculnya
pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme. Sedemikian sehingga agar
kedua hal tersebut tidak terjadi, maka kesenjangan sosial haruslah diminimalisir.

110
Apabila tingkat pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme tidak ingin
terjadi pada suatu Negara termasuk Indonesia, maka kesenjangan antara
pemerintah dan rakyat haruslah diminimalisir. Caranya ialah pemerintah harus
mampu merangkul pihak media yang menjadi perantaranya dengan rakyat
sekaligus melakukan aksi nyata secara langsung kepada rakyat. Begitu pula
dengan rakyat, mereka harusnya juga selalu memberikan dukungan dan
kepercayaan kepada pihak pemerintah bahwa pemerintah akan mampu
menjalankan tugasnya dengan baik sebagai pengayom rakyat dan pemegang
kendali pemerintahan Negara.
4. Menjaga Persatuan Dan Kesatuan
Menjaga persatuan dan kesatuan juga bisa dilakukan sebagai upaya untuk
mencegah pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme di kalangan
masyarakat, terbelih di tingkat Negara. Sebagaimana kita sadari bahwa dalam
sebuah masyarakat pasti terdapat keberagaman atau kemajemukan, terlebih
dalam sebuah Negara yang merupakan gabungan dari berbagai masyarakat.
Oleh karena itu, menjaga persatuan dan kesatuan dengan adanya kemajemukan
tersebut sangat perlu dilakukan untuk mencegah masalah radikalisme dan
terorisme. Salah satu yang bisa dilakukan dalam kasus Indonesia ialah
memahami dan penjalankan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila,
sebagaimana semboyan yang tertera di sana ialah Bhinneka Tunggal Ika.
5. Mendukung Aksi Perdamaian
Aksi perdamaian mungkin secara khusus dilakukan untuk mencegah
tindakan terorisme agar tidak terjadi. Kalau pun sudah terjadi, maka aksi ini
dilakukan sebagai usaha agar tindakan tersebut tidak semakin meluas dan dapat
dihentikan. Namun apabila kita tinjau lebih dalam bahwa munculnya tindakan
terorisme dapat berawal dari muncul pemahaman radikalisme yang sifatnya
baru, berbeda, dan cenderung menyimpang sehingga menimbulkan
pertentangan dan konflik. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mencegah agar
hal tersebut (pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme) tidak terjadi ialah
dengan cara memberikan dukungan terhadap aksi perdamaian yang dilakukan,
baik oleh Negara (pemerintah), organisasi/ormas maupun perseorangan.
111
6. Berperan Aktif Dalam Melaporkan Radikalisme Dan Terorisme
Peranan yang dilakukan di sini ialah ditekankan pada aksi melaporkan
kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan apabila muncul pemahaman
radikalisme dan tindakan terorisme, entah itu kecil maupun besar. Contohnya
apabila muncul pemahaman baru tentang keagamaan di masyarakat yang
menimbulkan keresahan, maka hal pertama yang bisa dilakukan agar
pemahaman radikalisme tindak berkembang hingga menyebabkan tindakan
terorisme yang berbau kekerasan dan konflik ialah melaporkan atau
berkonsultasi kepada tokoh agama dan tokok masyarakat yang ada di
lingkungan tersebut. Dengan demikian, pihak tokoh-tokoh dalam mengambil
tindakan pencegahan awal, seperti melakukan diskusi tentang pemahaman baru
yang muncul di masyarakat tersebut dengan pihak yang bersangkutan.
7. Meningkatkan Pemahaman Akan Hidup Kebersamaan
Meningkatkan pemahaman tentang hidup kebersamaan juga harus
dilakukan untuk mencegah munculnya pemahaman radikalisme dan tindakan
terorisme. Meningkatkan pemahaman ini ialah terus mempelajari dan
memahami tentang artinya hidup bersama-sama dalam bermasyarakat bahkan
bernegara yang penuh akan keberagaman, termasuk Indonesia sendiri. Sehingga
sikap toleransi dan solidaritas perlu diberlakukan, di samping menaati semua
ketentuan dan peraturan yang sudah berlaku di masyarakat dan Negara. Dengan
demikian, pasti tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena kita
sudah paham menjalan hidup secara bersama-sama berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang sudah ditetapkan di tengah-tengah masyarakat dan Negara.
8. Menyaring Informasi Yang Didapatkan
Menyaring informasi yang didapatkan juga merupakan salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk mencegah pemahaman radikalisme dan tindakan
terorisme. Hal ini dikarenakan informasi yang didapatkan tidak selamanya
benar dan harus diikuti, terlebih dengan adanya kemajuan teknologi seperti
sekarang ini, di mana informasi bisa datang dari mana saja. Sehingga
penyaringan terhadap informasi tersebut harus dilakukan agar tidak
menimbulkan kesalahpahaman, di mana informasi yang benar menjadi tidak

112
benar dan informasi yang tidak benar menjadi benar. Oleh karena itu, kita harus
bisa menyaring informasi yang didapat sehingga tidak sembarangan
membenarkan, menyalahkan, dan terpengaruh untuk langsung mengikuti
informasi tersebut.
9. Ikut Aktif Mensosialisasikan Radikalisme Dan Terorisme
Mensosialisasikan di sini bukan berarti kita mengajak untuk menyebarkan
pemahaman radikalisme dan melakukan tindakan terorisme, namun kita
mensosialisasikan tentang apa itu sebenarnya radikalisme dan terorisme.
Sehingga nantinya akan banyak orang yang mengerti tentang arti sebenarnya
dari radikalisme dan terorisme tersebut, di mana kedua hal tersebut sangatlah
berbahaya bagi kehidupan, terutama kehidupan yang dijalani secara bersama-
sama dalam dasar kemajemukan atau keberagaman. Jangan lupa pula untuk
mensosialisasikan tentang bahaya, dampak, serta cara-cara untuk bisa
menghindari pengaruh pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme.
Demikian beberapa cara mencegah radikalisme dan terorisme yang
biasanya muncul di kalangan masyarakat, bahkan Negara, termasuk Indonesia
sendiri. Cara pencegahan ini harus diketahui dan dilakukan oleh siapapun,
terlebih generasi muda yang merupakan ujung tombak penerus bangsa di masa
depan. Apalagi mengingat generasi muda masih mudah terpengaruh dengan
pemahaman-pemahaman baru yang biasanya muncul di tengah-tengah
masyarakat sehingga mereka rentang terpancing untuk terpengaruh ke dalamnya.
Sedemikian sehingga mudah tertanam di pikirannya untuk mengikuti
pemahaman-pemahaman radikal yang dapat memicu tidak kekerasan dan
konflik. Oleh karena itu, upaya pencegah juga harus lebih ditetankan dan
dilakukan kepada para generasi muda yang merupakan ujung tombak penerus
bangsa di masa depan.

113
DAFTAR PUSTAKA

Afif Muhammad, Agama dan Konflik Sosial Studi Pengalaman Indonesia, Bandung: Marja,
2013
Akhsin Wijaya, Nalar Kritis Epistimologi Islam, Yogyakarta: Kalimedia, 2017
https://juz-amma.ayatalquran.net/surah-al-kafirun-ayat-1-6-arab-latin-dan-
artinya/,diunggah pada tanggal 6 September 2018
https://www.zonareferensi.com/pengertian-toleransi/, diunggah pada tanggal 22
September 2018
Ismail, Roni. "Konsep Toleransi dalam Psikologi Agama (Tinjauan Kematangan
Beragama)." Religi Jurnal Studi Agama-Agama 8.1 (2012)
Ngainun Naim, Islam dan Pluralisme Agama, Yogyakarta: Pustaka Aura, 2014
Umar Sulaiman al-Asyqar, Umat Islam Menyongsong Peradaban Baru, (Jakarta: Amzah,
2008

114
BAB V
ANCAMAN RADIKALISME DALAM BERAGAMA DAN BERNEGARA
Ahmad Muttaqin
Is Iswanto, M.SE
Muhammad Anas, M.H.I

A. Pengertian Pluralisme
Dari sejarahnya di Barat, pluralisme agama lahir sebagai sebuah reaksi atas
eksklusivisme Katolik yang menurut John Hick menjadi sebab utama konfilk antar
umat beragama ketika itu. Karena dianggap, fanatisme agama adalah sebab
timbulnya konflik, maka tercetuslah ide bagaimana agar seluruh umat beragama,
khususnya katolik dan kristen, dapat lebih menghormati dan menghargai agama
lain yang tak sejalan. Tujuannya sungguh mulia, yakni demi terciptanya sebuah
kerukunan antar umat beragama. Paham ini pun semakin digencarkan
persebarannya, terlebih ketika realita berbicara tentang rentannya praktik
kekerasan atas nama agama. Yang kalau dulu hanya dimonopoli oleh Gereja
dengan inkuisisinya, maka dewasa ini, praktik kekerasan atas nama agama lebih
sering dituduhkan kepada umat Islam. Baik itu dengan tuduhan teroris,
fundamentalis, maupun ekstrimis.
Dalam Dictionary.com disebutkan bahwa Pluralisme secara filosofis bisa
bermakna dua, a) a theory that there is more than one basic substance or principle.
Bandingkan dengan arti dualism (def. 2), dan monism (def. 1a). 83 Dan atau b) a theory
that reality consists of two or more independent elements.84
Sementara dalam the American Heritage, Fourth Edition, disebutkan bahwa
pluralism merujuk pada a) the doctrine that reality is composed of many ultimate
substances. Dan atau b) the belief that no single explanatory system or view of reality can
account for all the phenomena of life.

83 Kata pluralism disebutkan sangat erat kaitannya dengan dualism dan monism. Dualism itu

sendiri berarti, suatu pandangan yang menyatakan bahwa hanya ada dua (dual) substansi; material dan
mental. Sedangkan monism adalah cakupan teori apapun yang menyatakan bahwa hanya ada satu
substansi atau prinsip sebagai landasan sebuah realita, atau dalam bahasa sederhana dikatakan, sebuah
realita terdiri hanya dari satu elemen. http://dictionary.reference.com/browse/pluralism
84 American Psychological Association (APA): pluralism. (n.d.). Online Etymology Dictionary.

Retrieved February 20, 2010, from Dictionary.com website: http://dictionary.reference.com


/browse/pluralism
115
Dan sebagaimana penjelasan Hamid Fahmi, “Dari berbagai kamus, pluralisme
dapat bermakna dua hal: pertama, pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi
terhadap kemajemukan, kedua doktrin yang berisi a) pengakuan terhadap kemajemukan
prinsip tertinggi, b) pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran yang
tunggal atau kebenaran satu-satunya tentang suatu masalah c) ancaman bahwa tidak ada
pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. d) teori yang seirama
dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth). e) pandangan bahwa
disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. (no
view is true, or that all view are equally true). (Lihat, The Golier Webster Int. Dictionary Of
The English Language; Oxford Dictiona ry of Philosophy; Oxford Advanced Lear ners’
Dictionary of Current English).”85
Dari sisi sejarah linguistiknya, kalimat ini pertama kali digunakan pada tahun 1818,
sebagai istilah dalam Lingkup Gereja. Dan pada tahun 1882 digunakan sebagai suatu
istilah dalam filsafat untuk menunjuk pada sebuah teori yang mengakui lebih dari satu
kebenaran prinsip. Sedangkan pada ranah ilmu politik, digunakan sejak tahun 1919
(Harold J. Laski) untuk menunjuk pada kata, “teori lawan dari kekuatan tunggal
politik/negara.” Dan kemudian dipergunakan secara luas sebagai “toleransi dari
keberagaman dalam masyarakat atau politik negara” sejak tahun 1933.86
Untuk mengetahui lebih jelas tentang pluralisme agama, kita akan melihat
pandangan John Hick sebagai tokoh pluralis yang tulisannya sering dikutip baik
oleh orang Kristen maupun pemeluk agama lain. Berikut ini adalah rangkuman
pandangan John Hick:
1. Semua agama adalah respon terhadap keberadaan tertinggi yg bersifat
transenden (Allah-yang disebut The Real).
2. “The Real” itu melampaui konsep manusia sehingga semua agama tidak
sempurna dalam relasinya terhadap “The Real” tersebut.
3. Oleh karena itu, tentang agama-agama John Hick berkata, “agama-agama tidak
mungkin semuanya benar secara penuh; mungkin tidak ada yang benar secara penuh;
mungkin semua adalah benar secara sebagian”

85Toleransi atau Relativisme Pluralisme. Dr. Hamid Fahmi Z.


86Online Etymology Dictionary, Douglas Harper. Modern Language Association (MLA): "pluralism."
Online Etymology Dictionary. Douglas Harper, Historian. 20 Feb. 2010. <Dictionary.com
http://dictionary.reference.com/browse/pluralism>.
116
4. John Hick membedakan “The Real” sebagai realitas ultimat dan “The Real”
yang ditangkap dan dipersepsikan oleh agama-agama sebagai Personae
(berpribadi): Allah, Yahweh, Krisna, Syiwa atau Impersonae (tidak berpribadi):
Tao, Nirguna Brahman, Nirwana, Dharmakaya.
5. Dalam konsep Hick, Personae dan Impersonae adalah penafsiran terhadap The
Real. The Real itu tidak dapat disebut personal atau impersonal, memiliki
tujuan atau tidak memiliki tujuan, baik atau jahat, substansi atau proses,
bahkan satu atau banyak. The Real itu melampaui semua kategori manusiawi
seperti itu.
6. Keselamatan adalah proses perubahan manusia dari berpusat pada diri sendiri
(self-centered) menjadi berpusat pada Realitas tertinggi (Real-centered)
7. Kriteria untuk mengetahui apakah seseorang sudah diselamatkan atau tidak
adalah kehidupan moral dan spiritualnya yang mencerminkan kekudusan.
Diantara kualitas-kualitas itu adalah: belas kasihan, kasih kepada semua
manusia, kemurnian, kemurahan hati, kedamaian batin dan ketenangan,
sukacita yang memancar.
Menurut Dr. Ibtisam Ahmad Bashdiq, pluralisme agama berasal dari kata
plural + isme dan agama. Pengertian agama sendiri sudah cukup jelas, sehingga
beliaupun langsung menuju pada kalimat intinya, yakni pluralisme. Kata plural
dipergunakan baik sebagai sifat atau sebagai kata benda. Dan digunakan untuk
menunjukkan kalimat ‘jama’ atau banyak’, namun sejatinya ia berpusat pada
kalimat ‘banyak’ dan ‘beragam’. Sementara ‘isme’ adalah ideologi, yang
pemakaiannya lebih umum dari agama, filsafat, akhlak dan bahkan politik.87 Dan
karenanya dapat saja digunakan untuk kata pluralisme politik, pluralisme filsafat,
dsb. Lalu secara singkat beliaupun mengatakan, bahwa maksud dari pluralisme
agama ini adalah, “Ma yuqobilu al-wahdaniyyah (monotheisme) wa at-tafarrud, au ma
yustholahu alaihi ‘al-inhishoriyyah ad-diniyyah’ (eksklusifisme) fi muqobili ‘asy-
syumuliyyah’ (inklusivisme).”88

87 Qodhoya Alamiyyah Mu’ashiroh: at-Ta’addudiyyah ad-diniyyah. Dr. Ibtisam Ahmad


Baishdiq.
88 Ibid.
117
Sebelum mengakhiri pergolakan istilah ini, tampaknya ada penengah dari
kalangan Barat yang mencoba merangkul semua perbedaan tersebut. Dari situs
Religioustolerance.org dikutipkan beberapa kesimpulan pengertian dan
penggunaan istilah pluralisme:
1. Pluralisme bermakna religious inclusivism: “.. sebuah pandangan yang
mengklaim bahwa suatu agama tertentu bukanlah pemilik satu-satunya
sumber kebenaran, dan karenanya paling tidak ada beberapa kebenaran nilai-
nilai dan keyakinan yang ada di dalam agama lain.”
2. Pluralisme bermakna religious tolerance: “.. sebuah kondisi damai yang
harmonis dalam perbedaan-perbedaan, yakni antar pemeluk sekte atau agama
yang berbeda.”
3. Pluralisme bermakna religious ecumenism: “.. sebuah pengangkatan derajat
(status sosial), dan saling memahami yang lebih maju antar agama yang
berbeda, dan atau antar sekte yang berbeda dalam suatu agama.”
4. Pluralisme bermakna religious diversity: “.. sebuah bentuk realita dalam
masyarakat, yang di dalamnya terdapat keberagaman agama.”89
Demikian Filologi dan pengertian dasar pluralisme dan beragam perbedaan
dalam konteksnya sebagai konsep pluralisme agama. Yang tak lain, kesemuanya
itu akan mengarah pada, “The acceptance of religion's other than your own. If you
accept religious pluralism, you accept the fact that your religion might not be the sole one
that is true and right.”90 Dengan Kata lain, bahwa Konsep Pluralisme, tak lain
adalah; “ Sikap menerima Agama lain selain agama yang dianut. Ketika kita
menerima Pluralisme agama, kita menerima sebuah kenyataan bahwa agama yang
kita miliki bukanlah satu-satunya kebenaran atau kebaikan”.

B. Ruang Lingkup Pluralisme.


Melihat pada pengertian sebagaimana dipaparkan sebelumnya, Pluralisme
agama bisa dipahami dalam minimum tiga kategori. Pertama, kategori sosial.
Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama berhak untuk ada

89The diversity of meaning of the term “Religious Pluralism”. Retrieved on 21 February 2010
from Religioustolerance.org lihat: http://www.religioustolerance.org/rel_plur1.htm
90 Christina C from the question, “what is religious pluralism”. Retrieved on 21 February 2010

from Ask.com
118
dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan
menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua,
kategori etika atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua
pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita
menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak
menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda,
misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dan lain-
lain. Ketiga, kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ”agama-agama pada
hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Mungkin
kalimat yang lebih umum adalah ”banyak jalan menuju Roma”. Semua agama
menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda.
Pluralisme agama pada hakikatnya berangkat dari pandangan teologis-
filosofis, yang menempatkan agama sebagai sesuatu yang sama, menuju pada
tujuan yang sama, adanya perbedaan hanyalah pada tingkat cara mencapai tujuan
tersebut. Pandangan ini tentu perlu mendapat koreksi dari berbagai sisi, sehingga
pluralisme yang sesungguhnya dimaksudkan untuk menjalin keharmonisan dan
perdamaian dunia justeru terjebak pada relatifisme, yang bahkan pengabaian
terhadap kemajemukan pandangan tentang kebenaran. Enam tesis ‘normatif’
pluralisme ala John Kekes berikut ini agaknya cukup membantu untuk memilah
tumpang-tindihnya dengan relatifisme.
Pertama, pluralitas dan kondisionalitas nilai. Soal moral, kita tahu, adalah
soal nilai-nilai. Buat kaum pluralis, sebagaimana tampaknya, pada hakikatnya nilai-
nilai itu memang plural dan masing-masing berkedudukan sejajar. Pluralisme
menolak adanya (sistem) nilai yang selalu wajib dianggap “unggul” (overriding),
sumber otoritas. Tapi, dengan merujuk pada keserupaan watak dasar manusia
(human nature), pluralisme mengakui adanya nilai-nilai universal, seperti
persahabatan, keadilan dan kemerdekaan, yang bisa ditemui—meski dalam wujud
berbeda—dalam kultur manapun 91
Kedua, ketakterelakan konflik. Pluralisme meyakini bahwa moralitas berikut
nilai-nilainya yang beragam tidaklah bisa saling diperbandingkan. Bagi pluralisme,

91 Crowder, George. Liberalism and Value Pluralism . New York: Continuum, 2002,45-46
119
konflik adalah bagian dari watak dasar manusia yang tak bisa dipungkiri. Lebih
dari sekedar “not all good things are compatible”, menurut “Bapak Pluralisme”, Isaiah
Berlin (1909-1997), nilai-nilai manusia yang fundamental memang bisa, bahkan
sering, saling konflik dan mengharuskan kita untuk membuat pilihan-pilihan sulit.
Baginya, klaim keterpenuhan mutlak manusiawi adalah khayalan metafisik
belaka92. Terkait dengan itu, konflik terbuka terjadi akibat ketiadaan “manajemen”
konflik yang efektif. Sebab, alih-alih sengketa antara benar dan salah, yang
sesungguhnya terjadi dalam banyak konflik nilai adalah pertikaian antara suatu
versi kebenaran dengan versi lainnya.
Ketiga, tersedianya suatu pendekatan resolusi konflik yang masuk akal.
Dengan memahami konflik sebagai benturan antara suatu versi kebenaran dengan
versi lainnya, upaya menemukan yang “terbaik” memang tetap menjadi orientasi
penyelesian konflik. Tapi, alih-alih tertuju pada “kebenaran terbaik”, perhatian
Pluralisme adalah bagaimana mencari “solusi terbaik”. Dengan kata lain, haluan
pandangan kita pun beralih secara mendasar dalam melihat konflik. Yang menjadi
fokus kita bukanlah pertama-tama benturan antar nilai yang bersifat ideologis, tapi
konflik mengenai “cara” menyelesaikan perkara yang bersifat praktis. bagi
pluralisme, absolutisme perlu ‘diatur’, dijinakkan. Sebab, bukankah dengan
menganggap ataupun memperlakukan suatu pemahaman bersifat ‘jahat’, selain
mengingkari kesederajatan diantara ragam kebenaran juga berarti kita menerapkan
standar kebenaran sendiri untuk mengukur pemahaman orang lain?
Keempat, hidup sebagai kemungkinan-kemungkinan. Ketika mengulas
pemikiran J.S. Mill, Isaiah Berlin93 menegaskan bahwa kian luas tersedianya
kemungkinan-kemungkinan segar dan jalur-jalur yang sebelumnya tak terambah
bagi setiap pribadi untuk berolah karakter, semakin lapanglah kemerdekaan
tindakan dan pikiran kita. Imajinasi moral pun bisa tumbuh sehat guna memenuhi
fungsi eksplorasi dan koreksi, melampui batas kemungkinan-kemungkinan yang
disediakan tradisi. Lewat fungsi eksplorasi, kita memperbesar kemungkinan-
kemungkinan, memperluas kemerdekaan, sekaligus meningkatkan apresiasi

92 Berlin , Isaiah. Four Essays on Liberty . New York: Oxford University Press, 1969, h.146-148
93 Ibid, h.179
120
terhadap aneka konsepsi nilai dan moral yang plural. Sedang lewat fungsi koreksi,
kita secara kritis mengadaptasi kemungkinan-kemungkinan yang sesuai dengan
kebutuhan sembari mengembangkan pemahaman yang terbebas dari kepicikan,
fantasi, atau tipu-diri yang selalu membayangi semua tradisi. Kiranya, semula di
sini jugalah posisi para nabi dan kaum pembaharu sebelum diberhalakan
pengikutnya lewat taklid moral yang kerdil dan arogan akibat kemalasan
menggumuli gelora hidup yang terus bergerak dipenuh aneka tantangan.
Dalam kaitan ini, misalnya, terkait sistem kasta dan perbudakan pluralisme
dengan tegas berani menista keduanya sebagai sistem yang memasung
kemerdekaan. Sebagai pilihan, sistem kasta dan demokrasi memang sama-sama
‘sah’, dengan segala konsekuensinya. Tapi, atas dasar tesis ini, konteks kebutuhan
moderen dan keserupaan watak dasar manusia, demokrasi jelas bisa dianggap
memiliki ruang yang lebih lapang buat kemerdekaan.
Kelima, perlunya batas-batas. Dalam hal moral, menurut Kekes94, pluralisme
adalah teori yang mencurahkan perhatiannya demi menemukan resolusi konflik
yang masuk akal diantara aneka macam nilai. Ia bukanlah semata perayaan segala
rupa kemungkinan atau pengumbaran imajinasi moral tanpa tepi. Batas-batas
inilah titik sentral lain yang membedakan pluralisme dengan absolutisme dan
relatifisme. Bagi pluralisme, nilai-nilai universal manusiawi menjadi tapal batas
yang tak boleh diingkari. Karena itu, jor-joran pengembangan senjata nuklir yang
hendak menuruti imajinasi nafsu membunuh tanpa peduli, misalnya, tak bisa
ditenggang. kaum pluralis memiliki pendekatan tersendiri untuk ‘mengukur’ maju-
mundurnya moral suatu masyarakat. Jelas, ini tidak dilakukan dengan memihak
suatu versi kebenaran tertentu, melainkan dengan menilai seberapa teguh
masyarakat yang bersangkutan merawat “aturan main” yang memungkinkan
tumbuhnya aneka nilai yang bersifat
kondisional,incompatible dan incommensurable itu, sehingga masing-masing
pemahaman bisa tumbuh sehat sembari pada saat yang sama juga bergaul secara
mesra satu sama lain.

94 Kekes, John. The Morality of Pluralism . Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1993,h.123
121
Dalam lain ungkapan, kemajuan atau kemunduran moral tidak diukur
menurut jauh-dekatnya kenyataan moral dari pola moral ideal “di atas sana”,
karena pola demikian dianggap tidak ada95.
Dengan demikian Upaya penyeragaman atau menganggap sama agama-
agama adalah justeru bertolak belakang dengan prinsip Pluralisme itu sendiri,
dengan kata lain prinsip mengakui adanya perbedaan keyakinan dan keunikan dari
masing-masing agama justeru itu yang menjadi prinsip dari Pluralisme. Hanya saja
Buat kaum pluralis, sebagaimana tampaknya, pada hakikatnya nilai-nilai itu
memang plural dan masing-masing berkedudukan sejajar. Pluralisme menolak
adanya (sistem) nilai yang selalu wajib dianggap “unggul” (overriding), sumber
otoritas. Tapi, dengan merujuk pada keserupaan watak dasar manusia (human
nature), pluralisme mengakui adanya nilai-nilai universal, seperti persahabatan,
keadilan dan kemerdekaan, yang bisa ditemui—meski dalam wujud berbeda—
dalam kultur manapun.
Pluralisme beranggapan bahwa kedudukan setiap pemahaman tentang
kebenaran adalah sederajat. Tidak ada yang “paling ideal”, apalagi “paling benar”.
“Paling ideal/benar” hanya bisa digunakan jika dibarengi dengan “menurut
(siapa)”. Ini berarti bahwa Pluralisme mengakui terhadap Klaim kebenaran agama,
hanya saja itu, hanya dapat ditujukan pada pemeluk agama tersebut, namun tidak
dapat dipaksakan pada pihak lain yang berbeda pandangan (agama).
Oleh karena itu semestinya tidak pada tempatnya bagi kaum Pluralis
memposisikan diri sebagai kelompok yang memberikan penilaian ‘mana yang
paling benar’ atau juga bahkan menyamaratakan nilai pada semua orang. Karena
setiap agama memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing yang tidak dapat
disamakan terlebih dicampuradukkan (sinkretis) diantara masing-masing.

95 Ibid,h.140-141
122
DAFTAR PUSTAKA

http://dictionary.reference.com/browse/pluralism
American Psychological Association (APA): pluralism. (n.d.). Online Etymology
Dictionary. Retrieved February 20, 2010, from Dictionary.com website:
http://dictionary.reference.com /browse/pluralism
Berlin , Isaiah. Four Essays on Liberty . New York: Oxford University Press, 1969
Christina C from the question, “what is religious pluralism”. Retrieved on 21 February
2010 from Ask.com
Crowder, George. Liberalism and Value Pluralism . New York: Continuum, 2002
Kekes, John. The Morality of Pluralism . Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1993
Online Etymology Dictionary, Douglas Harper. Modern Language Association (MLA):
"pluralism." Online Etymology Dictionary. Douglas Harper, Historian. 20
Feb. 2010. <Dictionary.com
http://dictionary.reference.com/browse/pluralism>.
Qodhoya Alamiyyah Mu’ashiroh: at-Ta’addudiyyah ad-diniyyah. Dr. Ibtisam Ahmad
Baishdiq.
The diversity of meaning of the term “Religious Pluralism”. Retrieved on 21 February
2010 from Religioustolerance.org lihat:
http://www.religioustolerance.org/rel_plur1.htm

123

Anda mungkin juga menyukai