Anda di halaman 1dari 15

Kristen Muhammadiyah

(Konvergensi Muslim dan Kristen Dalam Pendidikan)


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendekatan dan Metode Studi Islam

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Zakiyuddin, M.Ag.

Oleh:

AIDA DWI RAHMAWATI


12010180002

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2018
A. Identitas Buku
Judul Buku : Kristen Muhammadiyah
(Konvergensi Muslim dan Kristen
dalam Pendidikan)
Penulis : Abdul Mu’ti & Fajar Riza Ul Haq
Penerbit : Al-Wasat Publishing House,
Jakarta.
Tahun terbit : 2009
B. Latar Belakang
Penelitian yang hadir dengan membawa konsep pendidikan ini, bukan hanya untuk
menjawab tantangan dan hambatan pendidikan agama secara pedagogis dalam era otonomi
daerah. Muhammadiyah dan Kristen menjadi kata kunci yang sekaligus menjadi ciri khas
dari isi buku ini. Buku yang juga merupakan bagian dari disertasi milik salah seorang
penulisnya yaitu, Dr. Abdul Mu’ti, M. Ed. hadir untuk mengulas dinamika Muhammadiyah
melalui institusi pendidikan lokal, dan di luar zona mainstream, dengan menyuarakan fakta
lain terhadap perjuangan Muhammadiyah mengadaptasi pluralitas budaya dan perubahan
sosial. Bagian lain hubungan antara Muhammadiyah dan Kristen apabila dari sejarah selalu
dikaitkan konflik, permusuhan, dan disharmoni. Mulai dari alasan, teologis, historis-politis,
atau alasan Kemuhammadiyahan.
Pengalaman perjumpaan antara Muslim dan Kristen menurut penulis, kerukunan hidup
antar umat beragama di Indonesia dapat terus dikembangkan lebih pada ranah-ranah non
teologis, mencakup ranah etnis, sosial, politis, dan ekonomis. Pengembangan praktek
koeksistensi Muslim dan Kristen membutuhkan kesadaran dari dua belah pihak, hal ini
dinilai dapat memupus kecurigaan, kebencian, dan ketakutan. Sebaliknya, masing-masing
harus menumbuh kembangkan rasa saling percaya, kejujuran, dan keadilan dalam
pengembangan misi agama masing-masing. Pada saat sama, keduanya menunjukkan bentuk
respect dan toleransi terhadap perbedaan yang ada. Sikap optimisme diangkat oleh kedua
penulis tentang pluralisme keagamaan di tanah air di tengah gejala fundamentalisasi agama
yang merambah institusi pendidikan. Mereka menilai bahwa pendidikan agama dinilai gagal
dalam mencetak siswa yang berakhlak mulia dan berjiwa toleran. Maka dari itu penelitian
ini melihat bahwa betapa pentingnya pendidikan agama dalam upaya membangun bangsa
yang berkarakter. Sekaligus ingin mengklarifikasi makna Muhammadiyah sebagai gerakan
dakwah, tujuan penulis ingin memberikan pemahaman kepada pembaca tentang sejarah dan
pola penyebaran agama (dakwah) yang dilakukan gerakan Muhammadiyah di daerah-daerah

1
“mayoritas non Muslim” dan terkesan pinggiran, seperti; Ende (Flores-NTT), Serui (Yapen
Waropen-Papua), dan Putussibau (Kapuas Hulu-Kalbar).
C. Ulasan Buku
BAB 1 - Menemukan Muhammadiyah “Yang Lain”
Didasarkan pada tiga hal: pertama, alasan konstitusional sesuai sila pertama Pancasila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dan pasal 29 (1) UUD 1945: “Negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Kedua, alasan sosiologis untuk memelihara karakteristik bangsa Indonesia
yang relijius. Ketiga, alasan politis agama sebagai hak asasi manusia dan pengalaman politik
Indonesia dengan komunisme. Sedangkan, pendidikan agama di Indonesia tidak berlangsung
sebagaimana mestinya. Keterbatasan guru agama sehingga sekolah memberikan tugas
kepada guru bidang studi lain yang dinilai memiliki kompetensi tersebut untuk mengajar
pendidikan agama. Alasan ideologis, sekolah lebih mengutamakan pendidikan agama
tersendiri karena lebih mengutamakan “misi” agama sebagaimana dikembangkan oleh
Muhammadiyah, Ahmadiyah, Katholik, dan Kristen. Idealnya, sekolah agama dapat
mengintegrasikan tiga fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan, dakwah, dan sosial.
Sebutan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam puritan menyerukan pemurnian Islam
dengan berpegang teguh kepada tauhid yang murni, Al Quran dan Hadits yang shahih sering
mengesankan bahwa gerakan ini radikal dan tidak toleran, terutama terhadap tradisi lokal
dan misionaris Kristen/Katolik. Lalu, Mitsuo Nakamura, James L. Peacock, Achmad Jainuri
dan Alwi Shihab dalam penelitian menunjukkan, pendiri dan tokoh Muhammadiyah
bersikap terbuka dan toleran terhadap tradisi masyarakat dan pemeluk agama lain,
khususnya Kristen/Katolik. Achmad Jainuri menemukan bibit toleransi dan pluralisme
dalam Muhammadiyah. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan reformasi yang menganjurkan
kehidupan berdasarkan tauhid yang murni dan keteguhan berpedoman kepada Al Quran dan
Hadis memiliki ideologi sosial terbuka. Ideologi pluralisme berakar pada prinsip relativisme
pemahaman agama dan ijtihad. Prinsip Muhammadiyah terbuka pada paham dan ide baru.
Dari pembaharuan meliputi: adopsi sistem sekolah model Belanda, pengajaran studi sekuler
dan diterimanya siswa non muslim (Kristen) dan abangan dalam sekolah Muhammadiyah.
Reformasi dibangun berdasarkan pemahaman tentang iman, amal shalih, birr, amar ma’ruf
nahi munkar dan fastabiq al-khairat.
BAB 2 - Kohabilitas Muslim Puritan – Katholik Di Tanah Keuskupan Agung Ende
Muhammadiyah muncul tahun 1926 melalui Sikkha-Maumere bersendi pluralisme
budaya dan agama. Direspon secara reaktif oleh mayoritas masyarakat Muslim, sebagai
organisasi gerakan keagamaan Muslim modernis awal. Pendirian lembaga pendidikan yang
berorientasi modern pada masa awal PCM Ende menegaskan landmark eksistensi gerakan

2
pembaharuan Islam di kawasan Indonesia Bagian Timur. Berdirinya SMA Muhammadiyah I
Ende tahun 1970 menempati posisi kunci dalam proses tranformasi orientasi dakwah di
masyarakat yang heterogen. Model pendidikan agama yang diterapkan, sangat
mengedepankan prinsip penghormatan terhadap pluralisme yang menjadi realitas sosiologis
masyarakat Ende. Kebijakan memberikan fasilitas pendidikan agama Kristen bagi siswa
Kristen mencerminkan pikiran masyarakat Muslim Ende dalam ruang kesejarahan
perjumpaan Islam dan Kristen. Oleh karenanya, pembahasan mengenai eksistensi
pendidikan agama diletakkan dalam konteks pluralisme sosial dan pergulatan politik agama
yang terjadi di kawasan Indonesia Timur, pulau Flores khususnya.
Secara administratif, Provinsi NTT terdiri dari: Kabupaten Manggarai-Ruteng,
Kabupaten Ngada-Bajawa, Kabupaten Sikka-Maumere, Kabupaten Flores Timur-Larantuka,
dan Kabupaten Ende. Dari segi demografi penduduk, presentase populasi Muslim sangat
kecil, sekitar 9%, ditingkat provinsi. Sebagian besar wilayah pesisir pantai dihuni mayoritas
Muslim yang merupakan suku pendatang seperti Bugis, Buton, dan Bajo, sehingga dapat
disimpulkan Muslim menguasai perekonomian pesisir. Hal sama terjadi didaerah perkotaan,
dimana pendatang Muslim Jawa, Padang, serta Bugis mendominasi sektor perekonomian
kota. Kampung Solor, Airmata, serta Bonipoi (keturunan Arab) merupakan kantong-kantong
Muslim di kota Kupang. Sekitar 29,21% jumlah penduduk yang menganut Islam. Penduduk
non-Muslim hampir tidak ditemukan di Kecamatan Pulau Ende yang berpenghuni 8621
jiwa. Jumlah penduduk Muslim di pulau ini mencapai 99%. Eksistensi kehidupan
keberagamaan masyarakat Muslim di Kota Ende tercermin dari bangunan masjid dan
mushola di pusat aktivitas seperti Ende Selatan dan Wolowaru. Kecamatan Ende Selatan
menempati dengan jumlah tempat ibadah terbanyak. Di luar daerah tersebut, mayoritas
Muslim bermukim di sepanjang pesisir Pulau Flores Barat, mereka berlatarbelakang etnis
Baji dan Bima. Dilihat dari konsfigurasi politik lokal, dominasi terjadi karena masyarakat
mengagumi sosok Soekarno yang pernah diasingkan di Ende. Perbedaan tingkat ketegangan
relasi Islam-Katholik dan Islam-Protestan, utamanya dilatar belakangi kesejarahan dan
kebijakan politik. Konflik politik berakar sentimen agama yang sama (internal) lebih tajam
bahkan destruktif, baik kasus Kristen (Katolik Protestan) maupun Islam. Walau demikian,
budaya kekerabatan/sedarah yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Flores berperan
menentukan relasi antar agama. Peta sosial, keagamaan di Kabupaten Ende bahkan daratan
Flores secara umum mengikuti pola sosiologis yang dipengaruhi jejak ekspansi kekuatan
politik-agama armada Portugis, VOC Belanda, dan Islam. Hingga saat ini, agama Katholik
merupakan kekuatan politik dominan dalam kehidupan masyarakat di Flores. Adapun Islam

3
menjadi bagian realitas minoritas masyarakat NTT. Gerakan Islamisasi selalu mengalami
kendala yang bersumber dua arah, yaitu internal dan eksternal umat Islam.
Kehadiran gerakan ini di Flores (Ende) dan Timor (Kupang) mendapat reaksi dari
Muslim setempat. Muhammadiyah tidak mendapat simpati. Ketidaksukaan bangsawan Ende
(Raja Hasan Aroeboesman) disebabkan ketakutan kerajaan akan pengaruhnya. Meskipun
demikian, H. Abdurachman Nggobe, tokoh perintis Muhammadiyah Ende, tetap mendirikan
PCM, 2 Januari 1962. Lalu tahun 1987 berubah status menjadi PDM Kabupaten Ende. Latar
belakang Beliau menjembataninya untuk bertemu dengan tokoh Islam-Muhammadiyah di
Jawa. Di lain sisi, para pastor justru terlibat dalam pengembangan Muhammadiyah dalam
pembangunan SMA Muhammadiyah Ende. Pertemuan para tokoh Muhammadiyah seperti
Abdurachman Nggobe bersama Muhammad Nggobe dengan Kepala Keuskupan Agung
Ende, yaitu Uskup Agung Mgr. Donatus Dagom SVD, untuk meminta dukungan dan
mendapat respon positif. Keberterimaan pemeluk Katolik terhadap Muhammadiyah terkait
keluwesannya dalam merespon gejala modernitas dalam benak mayoritas sebagai ciri utama
masyarakat Barat. Muhammadiyah menerima institusi sosial dari Barat dan mengadopsi
sistem pendidikan Barat. Untuk mengembangkan gerakannya, Muhammadiyah merintis
amal usaha pendidikan sebagai wujud ciri identik organisasi Muslim modernis.
Didirikan SMA Muhammadiyah I sebagai strategi dakwah membuka jalan terjadinya
mobilitias ekonomi-sosial masyarakat biasa sekian lama dikuasai kelas elit sosial-politik.
Dalam pandangan Abdurachman Nggobe, sekolah Muhammadiyah harus memberikan
pendidikan bagi masyarakat Ende, terutama anak-anak Muslim pesisir yang berasal dari
keluarga ekonomi lemah. Salah satu ide genuin diterapkan yaitu mengembangkan program
pendidikan berdasarkan ide Ahmad Dahlan, yaitu sistem pendidikan Islam yang
mengajarkan pemeluknya tidak hanya kepercayaan dan praktek keagamaan namun juga
relevansi dan aplikasinya dalam kehidupan duniawi. Secara filosofis, orientasi pendidikan
Muhammadiyah cenderung bersifat pragmatis karena sosok Dahlan sendiri adalah seorang
pragmatikus.
Pendiriannya mendapat reaksi negatif dari mayoritas Muslim. Penyebabnya, sentimen
anti Muhammadiyah dihembuskan oleh kelompok elit bangsawan Ende. Bahkan, kalangan
kaum tua mendirikan sekolah tandingan yaitu SMA Muthmainnah di bawah Yayasan
Muthmainah. Respon terbalik justru diberikan dari masyarakat non Muslim. SMA ini
semakin berkembang dan menjadi sekolah kebanggaan masyarakat Ende. Intinya, institusi
pendidikan Muhammadiyah berhasil mentransformasikan nilai profetik Islam menjadi aksi
emansipatoris, utamanya dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemungkinan melebarnya
jurang segregasi sosial-politik akibat perbedaan latar belakang agama dan status sosial.

4
Pandangan keagamaan Muhammadiyah di abad 20 dibangun atas filsafah toleransi
keterbukaan, dan pluralitas serta menganut relativitas pandangan keagamaan. Mas Mansur
merumuskan bahwa karakter pandangan keagamaan Muhammadiyah adalah “memperluas
paham”. Menurut Jainuri, konsekuensi dari prinsip relativitas dalam memahami agama
adalah dukungan Muhammadiyah terhadap sikap pluralis dalam masyarakat Muslim.
Perbedaan ideologis dan kultural dijaga dan dihormati selama tidak bertentangan dengan
nilai maupun norma dasar yang ada di masyarakat. Ini menjadi landasan kebijakan sekolah
dalam menerima dan mendidik siswa non muslim. Alasan orang tua siswa non Muslim
menyekolahkan anaknya diantaranya; lokasi sekolah cukup dekat; kualitas anak didik sangat
tergantung pada usaha anak didik; sangat baik bagi anak-anak Katholik untuk mengenal dan
berinteraksi dengan kalangan Muslim karena memperkaya wawasan umat Katholik dalam
berbuat kebaikan; disamping mengajar pendidikan agama Katholik bagi siswa non Muslim
juga memberikan pelajaran Kemuhammadiyahan.
Masyarakat menilai sekolah Muhammadiyah selain ideologis juga fungsional.
Ketakutan menerima siswa non Muslim akan berdampak pada eksistensi dan kekhasan
pendidikan Muhammadiyah, sekolah beragumen: Pertama, secara konstitusional,
Muhammadiyah mengakui hukum negara Indonesia sehingga praktek pendidikan berpegang
kepada perundangan maupun peraturan berlaku; Kedua, secara organisasional,
Muhammadiyah tidak memiliki kebijakan khusus mengatur mengenai boleh-tidaknya siswa
non Muslim di sekolah Muhammadiyah; Ketiga, secara sosiologis, mayoritas penduduk
Katholik memiliki tingkat ekonomi lebih baik dari orang Islam dan di sisi lain sebagian
besar Muslim berada pada level ekonomi lemah; Keempat, secara politik, posisi minoritas
Muslim membuka diri dalam berinteraksi dan bertransaksi dengan mayoritas non Muslim;
Kelima, secara pragmatis, sekolah membutuhkan banyak siswa untuk menopang
pembiayaan operasional sehingga tinggi-rendahnya minat masyarakat (calon siswa) sangat
berpengaruh terhadap keberlangsungan sekolah. Tujuan mendasari kebijakan sekolah
tersebut untuk: Pertama, mendakwahkan Islam kepada kalangan Muslim dan non Muslim
secara tepat, sesuai latar belakang agama. Misalnya, siswa non Muslim tetap mendapat
pelajaran agama sesuai agamanya oleh guru seagamanya. Mereka diwajibkan ikut pelajaran
Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab dimana keduanya tidak berkaitan langsung dengan
doktrin agama Islam. Dan kedua, toleransi dan memberikan kesempatan bagi siswa non
Muslim mengenal gerakan Muhammadiyah sehingga tuduhan Muhammadiyah agama baru
dinetralisir.
Memadukan PAI dan PAK secara konfesional menegaskan orientasi pendidikan
agama di SMA Muhammadiyah berwawasan pluralisme. Selain itu, pendidikan agama juga

5
menyentuh dimensi demokrasi dan HAM. Tingginya toleransi dan kesadaran, membuktikan
bahwa model pemisahan pendidikan agama berdasarkan agama tidak serta merta
menimbulkan intoleransi.
Perpaduan model pendidikan konfesional (Kemuhammadiyahan untuk non Muslim)
yang dipraktekkan di sekolah ini tidak hanya memenuhi kebutuhan asasi siswa namun
tuntunan sosial untuk memahami yang lain (the Other). Dalam perspektif pencegahan
konflik, model pembelajaran harus menghindari mendialogkan isu sensitif. Terutama di
daerah heterogen dan berpotensi konflik harus dengan sendirinya mengakomodasikan ruang-
ruang dialog yang kemudian diperkaya oleh muatan-muatan lokal, termasuk kebutuhan dan
tuntutan sosiologis-budaya masyarakatnya.
Wujud relasi harmonis Muslim dan non Muslim ditunjukkan dengan terbangunnya
jalinan kerjasama antar pemeluk agama. Mendukung serta berpartisipasi untuk
mengamankan atau mensukseskan acara sosial-keagamaan kelompok. Pilihan pendidikan
sebagai strategi, terbukti efektif sekaligus relevan dengan tuntutan sosiologis masyarakatnya
yang terbelakang. Pluralisme merupakan faktor utama dalam perkembangan pendidikan
Muhammadiyah. Pengakuan Muhammadiyah akan eksistensi dan hak siswa non Muslim
dilandasi falsafah relativitas pandangan keagamaan yang menjunjung tinggi pluralisme.
Kesadaran pihak sekolah untuk menerima siswa non Muslim secara perlahan meruntuhkan
tembok ketidahtahuan, prasangka, dan kebencian. Pada akhirnya, SMA Ende telah berhasil
mempraktekkan dua model pendidikan pluralisme agama secara paralel dan berimbang;
pluralisme agama konfesional (PAI dan PAK) dan pluralisme agama non konfesional
(Kemuhammadiyahan untuk siswa non Muslim).
BAB 3 - Kala Sang Surya Bersinar Di Teluk Cendrawasih
Serui adalah Ibukota Kabupaten Yapen Waropen terletak di Yapen Selatan. Adapun
Kabupaten Yapen Waropen terletak di perairan Teluk Cendrawasih, wilayah Provinsi Papua.
Thomas W. Arnold dalam bukunya, “The Preaching of Islam” (1979 M), yang mengungkap
fakta bahwa pada tahun 1520 M sejumlah daerah seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan
Salawati di Kabupaten Fak-Fak terpengaruh oleh Kesultanan Islam Tidore dan Bacan
Maluku. Pendapat dikuatkan oleh Rutherfor (2003), peta lokasi Papua sudah mulai dikenal
di Eropa sejak abad 16 melalui klaim Kesultanan Tidore atas pulau Cendrawasih. Menurut
McGibbon, arus imigrasi suku Jawa dan Sulawesi Selatan ke daerah Papua dekade 1970-an
merupakan faktor yang mempengaruhi relasi sosial masyarakat. Kedatangan para pendatang
membuat menurunnya presentase jumlah pemeluk Kristen. Hal ini membuat para pemimpin
Kristen merespon ancaman terhadap eksistensi Kristen di Papua. Meski begitu banyak
dijumpai komunitas minoritas Kristen hidup bersama mayoritas Muslim.

6
Perintisan pendirian Muhammadiyah (1986/1987), oleh tiga orang Muslim asal
Sulawesi, yaitu Hakim Sampar Raja, M. Halim, dan Syamsul Bahri namun baru
terealisasikan tahun 2001 dengan didirikannya Pimpinan Daerah Muhammadiyah Yapen
Waropen. Diketuai oleh H. Adnan Arman, Dirman sebagai sekretaris, Musyawarah Daerah I
PDM Yapen Waropen berhasil diselenggarakan tahun 2005. Eksistensi sekolah sebagai
lembaga pendidikan Islam tidak membuat hak siswa Kristen untuk mendapat pendidikan
agama terabaikan. Pada masa awal perkembangannya, mayoritas siswa dari daerah
perkotaan (Serui) dan sisanya berdomisili di luar kota. Mengintesifkan proses rekrutmen
calon siswa, dengan memusatkan promosi sekolah ke transmigrasi dan penduduk lokal. Atas
dasar ini, Muhammadiyah mendirikan Panti Asuhan Muhammadiyah untuk menampung
siswa asal luar Serui tersebut. Mewujudkan sekolah berkelanjutan, maka didirikanlah SMK
sekaligus menjawab kebutuhan tenaga kerja siap pakai. Tantangan muncul dari penolakan
yang dilatarbelakangi motif ekonomi, sentimen agama, politik, serta budaya (karakter). Hak
mendirikan tempat ibadah, mengekspresikan keyakinan, dan menunjukkan identitas agama
seperti mengenakan simbol agama merupakan isu-isu hak asasi manusia yang mengemuka
ketika relasi mayoritas dan minoritas amat mendominasi kehidupan antar agama.
Keterbukaan sekolah terhadap siswa non Muslim, menurut Zain Akhmad (Kepala
Sekolah SMP Muhammadiyah) karena realitas pluralisme agama yang merupakan karakter
dasar masyarakat Yapen Waropen. Pihak sekolah berpendapat bahwa tujuan pokok
penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah ialah membantu tanggung jawab pemerintah
terhadap hak pendidikan kepada semua warga negaranya (education for all). Oleh
karenanya, setiap siswa berhak mendapat pendidikan tanpa tersekat oleh faktor agama, etnis,
dan budaya, termasuk di sekolah Muhammadiyah.
UUSPN No. 20/2003 orientasi pendidikan agama harus menyentuh kepentingan
peningkatan keimanan siswa yang bersangkutan (konfesional). Selain dasar memastikan
bahwa bukan hanya wawasan keagamaan saja yang meningkat namun tingkat penghayatan
keimanannya. Dengan memakai teori Denise Cush, perpaduan pola pendidikan agama
pluralisme konfesional dan non konfesional bagi siswa berbeda agama dalam satu atap
lembaga pendidikan menunjukkan sikap akomodatif sekolah Muhammadiyah terhadap
pluralisme positif. Semangat dakwah Muhammadiyah melalui konsep gerakan dakwah
kultural. Aplikasi dakwah kultural dalam bidang pendidikan di daerah mayoritas non
Muslim sangat erat diseminasi nilai Islami dengan mempertimbangkan masyarakat
majemuk. Terhadap non Muslim, dakwah dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dan
pemahaman mengenai Islam sehingga tumbuh budaya toleransi dan saling pengertian di
antar dua komunitas agama.

7
“Mass migration and economic change (in Papua) have sharpened not only ethnic
cleavages but also religious differences. In fact, indigenous leaders claim that the
government is attempting to Islamize the mainly Christian province” Rodd Mc Gibbon.
Dakwah terhadap non Muslim bertujuan mengenal Islam, bukan meng-Islamkan.
Muhammadiyah dan YAPIS sebagai gerakan Islam memberikan kesempatan luas
kepada masyarakat non Muslim Papua untuk belajar di sekolah Muhammadiyah dan YAPIS.
Bahkan mereka juga menyediakan pendidikan agama Kristen (PAK) untuk siswa-siswi non
Muslim. Proses pendidikan di Muhammadiyah Serui berkorelasi dengan realitas objektif dan
relasi antar pemeluk agama. Proses pendidikan harus merespon sekaligus menjawab
berbagai tantangan dalam hubungan sosial antar pemeluk agama. Tanpa ada tekanan dari
eksternal organisasi, sekolah Muhammadiyah menerima siswa non Muslim, menyediakan
pendidikan agama Kristen beserta guru seagama, dan mempekerjakan guru non Muslim
untuk mata pelajaran non agama seperti Pendidikan Kewargaan. Dalam praktek pendidikan
Kemuhammadiyahan, proses pendidikan bertujuan untuk mengikis kecurigaan, kebencian,
dan membangun pemahaman positif mayoritas (Protestan) terhadap minoritas (Muslim). Isu
pindah agama, selalu menjadi topik ketika relasi antar agama diletakkan dalam wilayah yang
sarat muatan politis, walaupun siswa non Muslim mengaku bahwa pendidikan di sekolah
Muhammadiyah tidak mempengaruhi esensi keyakinannya. Dengan kategorisasi “High
Islam” yang puritan-skripturalis, posisi pandangan keagamaan siswa Muslim mencerminkan
kelompok Kiai Dahlan dalam varian anggota Muhammadiyah. Varian Islam murni Kiai
Dahlan bersifat skripturalis tekstual dalam memahami dan menerapkan ajaran Islam murni
serta bersikap toleran terhadap praktek TBC. Toleransi siswa Muslim nampak pada
dukungan mereka terhadap penyelenggaraan pendidikan agama Kristen dan kerjasama antar
agama. Dari perspektif pendidikan pluralisme, praktek pendidikan Muhammadiyah sedang
membuka “jalan baru” dalam dialog antar agama di Papua. Pada akhirnya, kebijakan sekolah
dalam mengelola pendidikan agama merefleksikan kesadaran yang sangat mendasar dalam
konteks pluralisme agama, yaitu mengakui hak kebebasan beragama siswa agama lain untuk
mendapatkan hak pendidikan agama sesuai jaminan konstitusi. Sebuah kebijakan pendidikan
inklusif yang berorientasi pada pendidikan pluralisme agama konfesional dan non
konfesional.
BAB 4 - Menafsir Ulang Konstruksi Melayu-Muslim Dan Dayak-Kristen
Eksistensi Muhammadiyah di daerah Kalimantan Barat terlihat dari pengakuan
komunitas Dayak terhadap lembaga pendidikan seperti SMA Muhammadiyah Putussibau I,
Kapuas Hulu. Siswa Melayu-Muslim maupun siswa Dayak-Kristen mendapatkan
pendidikan agama di satu atap. Putussibau adalah ibukota Kabupaten Kapuas Hulu,

8
Kalimantan Barat. Istilah “Melayu” merujuk pada satu ras, suku, bangsa, budaya, dan
bahasa. Istilah “Melayu” berakar dari kata Mo Lo Yoe, yakni sebuah pusat kerajaan di Jambi
yang dalam kitab Negarakertagama dan Pararaton disebut menjalin hubungan akrab dengan
Kerajaan Singosari di Jawa. Tetapi dalam konteks masyarakat Kalimantan Barat, Melayu
merujuk identitas Muslim yang di Kalimantan dengan menggunakan sebutan “Banjar”.
Bandingannya, nama “Dayak” mengidentifikasi pemeluk agama Katholik dan Protestan.
“Senganan” ialah istilah yang ditujukan untuk menyebut orang Islam atau pada penjual
keliling-Muslim yang rata-rata berasal dari Bugis dan Minangkabau. Namun, menurut
Syukri “Senganan” merupakan sebutan untuk orang maupun keluarga Dayak yang baru
masuk Islam (Mualaf). Bangunan pluralisme yang kokoh dalam kehidupan sosial
masyarakat putussibau ini berakar pada kearifan lokal (local wisdom) masyarakatnya, yaitu
budaya “Semagat”. Kehadiran agama besar tidak serta merta menggusur budaya dan
kearifan lokal yang sudah ada sebelum agama itu datang. Pluralitas budaya dan agama di
Kapuas Hulu telah mempengaruhi pola interaksi, khususnya dalam mengelola institusi
pendidikan yang menjadi urat nadi dakwah gerakan Muslim puritan tersebut di pedalaman
perbatasan Indonesia dan Malaysia.
Persyarikatan Muhammadiyah berdiri tahun 1994 melalui pendirian PDM di Kapuas
Hulu. Belum berkembangnya Muhammadiyah disebabkan faktor minimnya SDM, akses
informasi dan transportasi, serta pandangan masyarakat yang menganggap Muhammadiyah
itu agama baru. Menurut Khairus Shalihin, munculnya penilaian masyarakat dipicu adanya
perbedaan paham-praktek keagamaan Muhammadiyah dengan pandangan umum
masyarakat. Organisasi otonom mulai mengembangkan eksistensinya dalam masyarakat,
Pemuda Muhammadiyah misalnya mulai aktif melakukan berbagai kegiatan sosial
keagamaan menggunakan Masjid Kota sebagai pusat kegiatan.
Kebijakan diambil oleh pihak sekolah untuk tidak mempekerjakan tenaga pengajar
non-Muslim (pelajaran agama maupun umum). Dikarenakan pihak sekolah tidak
menyelenggarakan pendidikan agama Kristen bagi siswa non Muslim. Berdasarkan
pertimbangan normatif organisasi bahwa Muhammadiyah merupakan institusi dakwah
Islam. Ini mencerminkan adanya ruang desentralisasi kebijakan pendidikan bagi
Muhammadiyah di berbagai daerah dalam menyelenggarakan pendidikan agama. Namun,
disisi lain sikap demikian justru memperlihatkan kelemahan aspek konsolidasi institusi
pendidikan Muhammadiyah. Adapun faktornya: pertama, kondisi demografis Kapuas Hulu
yang mayoritas merupakan Muslim. Kedua, SMA Katholik Karya Budi yang tidak
memberikan pelajaran agama Islam bagi siswa yang beragama Islam.

9
Orientasi utama dakwah Islam melalui sekolah yang menampung siswa non Muslim
ditunjukan pada dua hal, yaitu memperkuat keimanan siswa Muslim (Konfesional) dan
memberi pengetahuan/wawasan tentang Islam kepada siswa non Muslim (Non Konfesional).
Tujuan pendidikan Al Islam bagi siswa Muslim dan non Muslim memang berbeda namun
dalam prakteknya dilakukan secara bersama-sama dalam satu kelas. Satu sistem pendidikan
agama (Al Islam) untuk tiga iman (Muslim, Katholik, dan Protestan). Yang membedakannya
adalah metode dan titik tekan indikator keberhasilan belajar bagi siswa Muslim dan Non
Muslim. Orientasi pelajaran Al Islam dan Kemuhammadiyahan bagi siswa Muslim
ditekankan pada dimensi penguatan tauhid dan praktek ibadah secara benar, baik dari segi
doa-doanya maupun tatacara pelaksanaanya (kaifiyat). Adapun bagi siswa non Muslim pada
pemahaman agama Islam, pengetahuan bagaimana orang Islam melaksakan serta ibadah
serta kemampuan praktek ibadah seperti thaharah (bersuci) dan shalat dengan pengenalan
dasar bacaan shalat, doa-doa, dan artinya.
Menyusutnya perbedaan dikotomik antara Muslim dan non Muslim sebagai bukti
mencairnya gejala ekslusivitas keberagamaan di kalangan siswa. Tidak ada perbedaan
signifikan antara Kristen dan Muslim kecuali masing-masing menyakini keimanan yang
berbeda. Sikap apresiatif terhadap guru yang berbeda agama, interaksi dengan siswa
Muslim. Hal tersebut membuktikan bahwa model pendidikan agama tidak menimbulkan
perasaan terpinggirkan, terdiskriminasi serta memupuk intoleransi antar siswa. Pada kasus
SMA ini, praktek model “satu pendidikan agama, banyak Iman” tidak selalu menimbulkan
sikap intoleransi justru mekarnya kecenderungan sikap dan pandangan inklusif di kalangan
siswa. Praktek pendidikan agama satu pintu yang diterapkan SMA di pedalaman Kalimantan
Barat ini menawarkan anti-tesis terhadap opini yang menyatakan bahwa pendekatan
pendidikan agama eksklusif berpotensi melahirkan intoleransi.
BAB 5 - Kristen Muhammadiyah
Munculnya varian baru sebagai konsekuensi sosiologis perjumpaan (encounter)
Muslim dan Kristen di lingkungan institusi pendidikan Muhammadiyah: KrisMuha. Mereka
adalah orang Kristen yang sangat memahami, menjiwai dan mendukung gerakan
Muhammadiyah. Modalitas kepercayaan terbangun antara komunitas yang berbeda
keyakinan tidak hanya menjadi perekat kohesivitas namun juga menyembulkan konvergensi
sosial-budaya. Kemunculan institusi pendidikan modern telah memicu terjadinya mobilitas
dan transformasi sosial-ekonomi. Ini mendukung eksistensi pluralisme keagamaan dan
berkorelasi positif dengan melunaknya watak fundamentalisme ideologi Islam murni.
Koeksistensi sosiologis pemeluk Kristen dan Muslim mencapai tingkat kohesivitas sosial
berdampak pada mencairnya sekat formalisme identitas agama. Selain itu, budaya lokal

10
semagat, kawin mawin, dan kekerabatan berperan penting dalam interaksi ini. Tingkat
kepercayaan stakeholder masyarakat Kristen terhadap kredibilitas institusi memungkinkan
koeksistensi dialogis dengan menjaga otentisitas keyakinan masing-masing. Sehingga,
varian Kristen-Muhammadiyah merupakan gejala antropologis-sosiologis dari
perkembangan institusi Muhammadiyah mayoritas non Muslim; Katholik dan Kristen. Jika
dari level global, KrisMuha merupakan antitesis terhadap tesis benturan peradaban (clash of
civilizations) Islam dan Barat-Kristen yang dilontarkan Huntington, antara Barat dan Islam,
tidak bisa hidup berdampingan.
Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan Muhammadiyah berhasil membangun
budaya toleransi dan pluralisme agama sehingga mewujudakn kohabitasi sosial pemeluk
Kristen dan Muslim. Pendidikan agama di sekolah penting untuk diberikan bukan sekedar
sebagai pengetahuan kognitif, tetapi keyakinan yang terimplementasi dengan baik. Peran
dan tanggung jawab dari generasi Muslim dan Kristen adalah membangun orientasi
kebangsaan bersama yang ditegakkan atas pengakuan akan perbedaan setiap anak bangsa.
Pluralisme pendidikan agama berkontribusi memperkaya pandangan dan wawasan siswa-
siswi sebagai garda terdepan generasi muda.
Tumbuhnya generasi muda Muslim dan Kristen berkembang dalam kohabitasi sosial
akan memiliki kecakapan bergaul dan berkomunikasi dengan realitas kemajemukan. Mereka
akan keluar dari keterkejutan budaya (cultural shock) di tengah banjir bandang globalisasi.
Konvergensi identitas sosial-keagamaan antar generasi muda Muslim dan Kristen akan
berdampak pada inklusivitas orientasi sosial. Memudarnya dikotomi identitas kelompok
mendorong perluasan radius pergaulan masyarakat dengan mengedepankan prinsip
persamaan (common ground). Tantangan besar mereka adalah mentransformasikan
perbedaan menjadi kekuatan bersama. Generasi muda inklusif berperan aktif dalam proses
mediasi jurang perbedaan sekaligus merekatkan jaring sosial masyarakat. Konvergensi
sosial berporos pada intuisi pendidikan harus diterjemahkan pada ranah etos dan tanggung
jawab kewargaan yang lebih luas. Ini mendorong transformasi konvergensi sosial
masyarakat menjadi kekuatan struktural emansipatif, termasuk generasi muda Muslim dan
Kristen lahir dari semaian budaya pluralisme agama.
D. Model Operasional Studi
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, sumber data utama data kepustakaan
dan lapangan. Data kepustakaan meliputi: a) dokumen resmi organisasi yang berisi
keputusan resmi organisasi menyangkut manhaj pemikiran, peraturan dan statistik dan data
tertulis lainnya; b) pendapat perorangan tokoh sentral; c) undang-undang, peraturan dan
kebijakan pemerintah; d) data dokumentasi sekolah; e) opini perorangan/kelembagaan

11
umum. Data lapangan meliputi: a) praktik penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah
Muhammadiyah; b) motivasi/alasan/pemikiran pertimbangan yang melatarbelakangi model
sistem pendidikan agama bagi siswa Kristen; c) alasan mengapa sikap siswa Kristen masuk
ke sekolah Muhammadiyah; d) pandangan dan sikap siswa Kristen tentang masalah
pluralisme; e) interaksi antara siswa Kristen dengan siswa Muslim; f) pendapat guru agama
Kristen yang mengajar; g) problematika pembelajaran agama dan Kemuhammadiyahan bagi
siswa Kristen. Untuk data lapangan, metode observasi dipadukan angket dan wawancara
mendalam: a) Observasi nonpartisipan untuk mendapatkan data; b) Angket dengan
pertanyaan semi-terbuka; c) Wawancara mendalam untuk data tentang pandangan
Muhammadiyah. Data dianalisis dua pendekatan; historis dan sosiologis. Pendekatan histori:
dimensi historisitas koeksistensi dan interaksi antara Muhammadiyah dengan Kristen
khususnya dalam bidang pendidikan. Adapun pendekatan sosiologis: memeriksa interrelasi
antara agama dan masyarakat serta bagaimana interaksi antar individu dengan sistem
pendidikan agama di tempat berbeda.
Penelitian ini dilakukan di tiga kabupaten yang berlokasi di luar Jawa, 1) Ende, NTT;
2) Putussibau, Kalimantan Barat; dan 3) Serui, Yapen Waropen, Papua. Sampling penelitian
diambil di sekolah Muhammadiyah yang mayoritas siswanya beragama Kristen/Katolik.
Pemilihan sampling didasarkan atas tiga pertimbangan. Pertama, secara politis masyarakat
hidup dalam konteks politik yang berbeda dan mempengaruhi sistem pendidikan mereka.
Kedua, secara sosiologis Muhammadiyah didaerah tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda. Ketiga, secara akademis-paedagogis model sistem pendidikan agama berbeda-
beda.
E. Kelebihan dan Kelemahan
Memetakan sejarah perkembangan dan perjumpaan dengan masyarakat Kristen
(Katholik dan Protestan) di tiga lokasi; Kabupaten Ende; Yapen Waropen, dan Kapuas Hulu.
Pembahasan ini memeriksa proses kohabitasi Kristen-Muslim dimediasi lembaga
pendidikan Muhammadiyah, kontribusi koeksistensi sosial masyarakat lokal, kemunculan
varian KrisMuha sebagai gejala terpenting.
Buku ini sebagian isinya merupakan disertasi, sehingga bahasa yang digunakan
adalah bahasa modern, ilmiah, istilah-istilah yang cocok digunakan sebagai bahan rujukan
kajian keilmuan. Keunggulan buku ini dapat memberikan informasi kepada pembaca
tentang istilah varian Kristen Muhammadiyah. Pembaca diajak untuk menyelami proses
gerakan dakwah Muhammadiyah, terutama dalam institusi pendidikannya. Penyampaian
yang baik menjadikan pembaca membuka mata bahwa pendidikan Muhammadiyah dapat
mempersempit celah interaksi dari dua keyakinan berbeda yaitu Islam dan Kristen.

12
Kelemahan, bahasa yang digunakan sulit untuk dimengerti oleh pembaca pemula, sebab
menggunakan istilah ilmiah dan bahasa modern yang tinggi.
F. Temuan Penelitian
Dalam buku ini telah dijelaskan bahwa Muhammadiyah hadir sebagai gerakan yang
welcome terhadap pluralitas agama, walau statusnya Islam murni dan modernis.
Muhammadiyah menerima institusi sosial dari Barat dan mengadopsi sistem pendidikan
Barat. Apabila sikap ini terus dijalankan maka akan memperkuat optimisme terhadap masa
depan pluralisme keagamaan di Indonesia serta memusatkan diri sebagai peran sentral
dalam membangun karakter bangsa yang kuat, terbuka terhadap perbedaan, dan integritas
ke-Indonesiaan yang kokoh.
Untuk mengembangkan gerakan dakwahnya, Muhammadiyah merintis amal usaha
pendidikan sebagai wujud ciri identik organisasi Muslim modernis. Gerakan dakwah yang
merangkul serta memayungi kemajemukan sosial dan budaya, terutama dalam kemajemukan
agama. Muslim dan Kristen dalam perjalanan dakwahnya, melahirkan istilah Kristen
Muhammadiyah yaitu orang-orang Kristen yang sangat memahami, mendukung, dan
menjiwai gerakan Muhammadiyah. Latarbelakang dari ketiga kawasan (Ende, Yapen
Waropen, dan Kapuas Hulu) yang berbeda, menjadikan gerakan Muhammadiyah lebih
serius. Lembaga pendidikan Muhammadiyah mampu bermain peran dengan sangat baik
dalam mengkatalisasi tumbuhnya sikap saling menghargai, toleran, keterbukaan,
kebersamaan dan kemauan berbagi antar siswa yang berbeda keyakinan.
. Perpaduan model pendidikan konfesional (Kemuhammadiyahan untuk non Muslim)
yang dipraktekkan tidak hanya memenuhi kebutuhan asasi siswa namun tuntunan sosial
untuk memahami yang lain. Dalam perspektif pencegahan konflik, model pembelajaran
harus menghindari mendialogkan isu sensitif. Terutama di daerah heterogen dan berpotensi
konflik harus dengan sendirinya mengakomodasikan ruang-ruang dialog yang kemudian
diperkaya oleh muatan-muatan lokal, termasuk kebutuhan dan tuntutan sosiologis-budaya
masyarakatnya.
G. Riwayat Penulis
Abdul Mu’ti lahir di Desa Getasrabi, Kudus, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan di
Madrasah Ibtidaiyyah Manafiul Ulum, dilanjutkan dengan menempuh pendidikan di
Madrasah Tsanawiyah Negeri dan Madrasah Aliyah Negeri di Kudus. Kemudian, meraih
gelar sarjana dari Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Semarang. Berbekal beasiswa dari
AusAID, Mu’ti menyelesaikan Master dalam bidang pendidikan di School of Education,
The Flinder University of South Australia, dan menyelesaikan doktor di UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Mu’ti aktif dalam keaktivisan sosial-keagamaan, seperti IMM, atau

13
organisasi dan kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan kerukunan beragama.
Selain aktif mengajar di kampus, ia juga aktif menulis diberbagai media dan kontributor
beberapa buku diantaranya: Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani;
Paradigma Pendidikan Madrasah di Pesantren; Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif;
Islam Madzhab Tengah, dll. Fajar Riza Ul Haq, merupakan kelahiran Sukabumi, 1
Februari 1979. Ia meraih pendidikan S1 di Fakultas Agama Islam, Universitas
Muhammadiyah Surakarta tahun 2002 dan pendidikan Master di Centre For Religious and
Cross Cultural Studi (CRCS), Universitas Gadjah Mada tahun 2006. Disamping itu ia
memiliki latar belakang pengalaman yang banyak di gerakan kemahasiswaan dan
kepemudaan; Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Sukoharjo, Ketua
Dewan Pimpinan Daerah IMM Jawa Tengah, Ketua Dewan Pimpinan Pusat IMM, dan
Sekretaris Bidang Hikmah PP Pemuda Muhammadiyah. Karya-karyanya telah
dipublikasikan, seperti Membangun Keragaman, Meneguhkan Pemihakan: Visi Baru Politik
Muhammadiyah (2004) dan Purifikasi dan Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa:
Muhammadiyah dan Seni Lokal (dkk, 2003), dan masih banyak karya lainnya.

14

Anda mungkin juga menyukai