Anda di halaman 1dari 18

PENDIDIKAN AGAMA INKLUSIF VS PENDIDIKAN AGAMA EKSKLUSIF

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Filsafat Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu: Dr. Mahfud Junaedi, M.Ag

Oleh:
Fithrotul Kamilia (2203018010)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2023
PENDIDIKAN AGAMA INKLUSIF VS PENDIDIKAN AGAMA EKSKLUSIF
Fithrotul Kamilia 2203018010
UIN Walisongo Semarang

A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang mempunyai latar belakang negara yang
beragam. Konteks keberagaman sendiri tertuang dan dimuat dalam tujuan nasional
yang selaras dengan kewajiban pemerintah Indonesia dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Tahun 1945 yang bunyinya: "melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban umum.
Berdasarkan amanat tersebut dalam menjaga serta memelihara ketertiban umum, maka
pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap rasa aman
kepada seluruh warga Indonesia dan keheterogenannya. Dengan melihat Indonesia
keberagaman di dalamnya baik dalam aspek agama, suku, adat istiadat dan lainnya
memungkinkan munculnya konflik atau perselisihan di dalam masyarakat, apabila tidak
adanya toleransi akan semua perbedaan tersebut.1
Pasca reformasi 1998, keragaman budaya Indonesia diuji secara serius.
Berbagai konflik kemasyarakatan yang penuh kekerasan seperti Sambas, Ambon, dan
Poso mengancam kohesi bangsa Indonesia. Konflik sosial seputar SARA tidak boleh
dianggap remeh karena memicu konflik di daerah lain. Selain konflik langsung,
perkembangan teknologi informasi juga membawa media baru munculnya konflik
SARA. Salah satu wadah yang digunakan untuk komunikasi antar budaya melalui akses
internet adalah media sosial. Hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyedia Jasa
Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016, menunjukkan bahwa konten media sosial
yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia adalah sebesar 97,4%. Dalam
studi yang sama, aktivitas terbesar di media sosial adalah berbagi informasi, dimana
tingkat penerimaan responden adalah 97,5%.2

1
Rahma Khoirunnnissa dan Syahidin, Urgensi Pendidikan Moderasi Beragama Sebagai Upaya
Menangkal Radikalisme di Kalangan Mahasiswa, dalam Jurnal Penelitian Pendidikan Islam Vol. 10, No. 2, 2022),
hal 183. DOI: https://doi.org/10.36667/jppi.v10i2.1276
2
Mardhiana Anggraini, dkk, Pendidikan Multikultural Sebagai Implementasi Profil Pelajar Pancasila
Melalui Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, dalam Qolamuna: Jurnal Studi Islam Vol. 08
No. 02, 2023, hal 82.

1
Bila kita amati, agama seharusnya dapat menjadi pendorong bagi umat manusia
untuk selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh
umat di bumi ini. Namun, realitanya agama justru menjadi salah satu penyebab
terjadinya kekerasan dan kehancuran umat manusia. Oleh karena itu, diperlukan upaya-
upaya preventif agar masalah pertentangan agama tidak akan terulang lagi di masa yang
akan datang. Misalnya, dengan mengintensifkan forum-forum dialog antar umat
beragama dan aliran kepercayaan (dialog antar iman), membangun pemahaman
keagamaan yang lebih pluralis dan inklusif, dan memberikan pendidikan tentang
pluralisme dan toleransi beragama melalui sekolah (lembaga pendidikan).3
Pendidikan agama sebagai pembentuk moral dan karakter, disadari atau tidak,
berpotensi memproduksi pemikiran dan sikap eksklusivitas agama, yang menjadi titik
pijak fundamentalisme, dan berkembang menjadi radikalisme dan ektrimisme agama.
Pendidikan agama sebagai fondasi moderasi beragama diharapkan memberi solusi agar
setiap siswa berpikir dan bertindak moderat. Moderat sebagaimana dimaksud menunjuk
pada sikap sewajarnya, dan tidak ekstrim, sehingga memungkinkan setiap orang dapat
berinteraksi dan berelasi dalam perbedaan. Pendidikan agama memiliki posisi penting
dan stretegis menjadi modal utama dalam mengelolah keragaman dan membangun
sikap penerimaan terhadap kelompok lainnya, bukan sebaliknya membangun fanatisme
sempit dan eksklusif.4

B. PEMBAHASAN
PENGERTIAN PENDIDIKAN AGAMA INKLUSIF
Inklusif secara etimologis memiliki arti terhitung, global, menyeluruh, penuh,
dan komprehensif. Kata inklusif berasal dari bentukan kata bahasa Inggris inclusive
yang artinya termasuk di dalamnya. Istilah inklusif berkaitan dengan banyak aspek
hidup manusia yang didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu.5
Inklusif merupakan sikap terbuka dan memiliki peluang untuk bekerja menuju
toleransi. Berbeda dengan eksklusifisme yang memonopoli kebenaran dalam
pemahaman agama. Kita tahu bahwa Islam merupakan agama yang dianut oleh

3
Husniyatus Salamah Zainiyati, Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagamaan Inklusif
di Sekolah, dalam ISLAMICA, Vol. 1, No. 2, Maret 2007, 135.
4
Yance Z. Rumahuru dan Johana S.Talupun, Pendidikan agama inklusif sebagai fondasi moderasi
beragama: Strategi merawat keberagaman di Indonesia, dalam KURIOS, Vol. 7, No. 2, Oktober 2021, hal 455-
456.
5
Nasri Kurnialoh, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Inklusif-Pluralis, dalam INSANIA Vol. 18,
No. 3 September - Desember 2013, hal 391.

2
sebagian besar penduduk Indonesia, sehingga agama Islam memiliki pengaruh yang
cukup besar dalam pengaturan atau menata kehidupan sosial dan nasional di negara
Indonesia. Melihat fakta tersebut, umat Islam perlu sadar bahwa posisi mereka sebagai
umat mayoritas perlu disertai dengan sikap menghargai dan menghormati hak-hak
agama dan mengapresiasi hak-hak sosial-politik kelompok-kelompok di luar agama
Islam. 6
Istilah pendidikan agama sering digunakan sebagai sinonim dari pengasuhan
agama, atau pengasuhan dalam tradisi agama atau kepercayaan tertentu. Namun,
pendidikan agama juga sering digunakan sebagai istilah untuk menunjukkan
pendidikan tentang agama, yang diajarkan sedemikian rupa sehingga memberikan
generasi muda dengan pengajaran secara sensitif, informasi yang akurat, dan
pemahaman tentang bahasa agama. Bentuk pendidikan agama ini dianggap cocok untuk
anak-anak dan remaja dari berbagai latar belakang agama atau non-agama apa pun, dan
terkadang disebut sebagai pendidikan agama inklusif.7
Pendidikan agama inklusif adalah pendidikan yang mengajarkan tentang
bagaimana menghargai perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain dan
peka akan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Pendidikan agama yang inklusif
juga harus memberi wawasan tentang kehidupan secara utuh dan memberikan
kesadaran bahwa tujuan hidup tertinggi adalah mengabdi kepada sesama.8 Pendidikan
agama inklusif merupakan proses transformasi pendidikan agama dari yang
berorientasi pada penguatan doktrin dan keyakinan agama sendiri ke penguatan
karakter dan penerimaan terhadap keanekaragaman, tanpa mengabaikan keyakinan
agama masing-masing.9
Pendidikan agama telah dijadikan mata pelajaran utama di Indonesia mulai dari
Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT), tetapi sikap beragama di Indonesia
menunjukkan bahwa penghargaan terhadap sesama umat beragama jauh dari apa yang
diharapkan. Terhadap hal ini, studi ini menemukan bahwa terdapat beberapa persolaan
substansi yang masih perlu dibenahi, seperti: kurikulum pendidikan agama, materi ajar

6
Muhammad Asrori, dkk. Inklusifisme dan Ekslusifisme Serta Pengaruhnya Terhadap Pendidikan
Multikultural, dalam JALIE, Vol 03, No 01, Maret 2019, hal 117.
7
Robert Jackson, Signposts and the Council of Europe: special issue on the contribution of ‘inclusive’
religious education to intercultural understanding, Intercultural Education, Vol. 30, No. 3, Mei 2019, hal 238.
DOI: 10.1080/14675986.2019.1539356
8
Demsy Jura, dkk, Prosiding “Revitalisasi Indonesia Melalui Identitas Kemajemukan Berdasarkan
Pancasila”, (Jakarta: UKI Press: 2018), hal 180-181.
9
Yance Z. Rumahuru dan Johana S.Talupun, Pendidikan agama inklusif sebagai fondasi moderasi
beragama: Strategi merawat keberagaman di Indonesia, hal 459.

3
pendidikan agama, dan jumlah jam pembelajaran agama yang terasa kurang. Pertama,
terkait eksistensi kurikulum pendidikan agama di Indonesia, diharapkan dapat
membangun kesadaran kritis terhadap realitas kemajemukan. Oleh karena itu, patut
berorientasi pada pengetahuan, sikap dan perilaku terbuka dan menerima perbedaan
sebagai suatu fakta sosial dan keniscayaan yang tidak dapat diabaikan. Kedua, dalam
kaitan dengan perubahan kurikulum maka materi ajar selaku pegangan guru dan siswa
pun patut dikonstruksi menjawab tuntutan pembelajaran agama yang inklusif.
Oleh karena pendidikan agama tidak hanya menekankan aspek pengetahuan
semata tetapi juga perubahan sikap, perilaku dan kreatifitas siswa dalam berelasi
dengan Sang Pencipta, berelasi dengan sesama yang beragam, berelasi dengan alam
maka durasi waktu pembelajaran agama pun patut mendapat perhatian. Pendidikan
agama sudah sepatutnya memiliki posisi penting dan sama dengan pembelajaran sains
lain yang memerlukan waktu praktik dan atau pendalaman sehingga memerlukan waktu
atau jam pembelajaran yang lebih banyak.10
Pendidikan agama inklusif memberi penekanan pada penerimaan terhadap
eksistensi kelompok atau komunitas lain di luar dirinya, sehingga terbangun sikap
saling peduli dan berbela rasa, adanya saling percaya (trust), dan tentu saling menjaga
di antara sesama pemeluk agama. Pendidikan agama inklusif mengakar pada konteks
kemajemukan masyarakat maupun konteks pembelajaran agama itu sendiri yang harus
didekati dari beragam perspektif sehingga tidak menjadikan pembelajaran agama
sempit dan eksklusif.11 Pendidikan agama yang inklusif sangat diperlukan untuk
membangun sikap moderat peserta didik, suatu sikap yang sangat penting dimiliki di
tengah menguatnya radikalisme dan ekstrimisme agama di Indonesia akhir-akhir ini.12
Tujuan dari pendidikan agama yang inklusif adalah mengajak para murid untuk
merefleksikan realitas kemajemukan dan menekankan nilai-nilai pluralism serta
kebersamaan.13
Sikap inklusif dalam beragama adalah hal utama yang perlu untuk
dikembangkan agar masyarakat tidak mudah terpancing dalam berbagai konflik yang

10
Yance Z. Rumahuru dan Johana S.Talupun, Pendidikan agama inklusif sebagai fondasi moderasi
beragama: Strategi merawat keberagaman di Indonesia, hal 459.
11
Yance Z. Rumahuru dan Johana S.Talupun, Pendidikan agama inklusif sebagai fondasi moderasi
beragama: Strategi merawat keberagaman di Indonesia, hal 455.
12
Yance Z. Rumahuru dan Johana S.Talupun, Pendidikan agama inklusif sebagai fondasi moderasi
beragama: Strategi merawat keberagaman di Indonesia, hal 460.
13
Demsy Jura, dkk, Prosiding “Revitalisasi Indonesia Melalui Identitas Kemajemukan Berdasarkan
Pancasila”, hal 181.

4
bernuansa agama karena pandangan eksklusif beragama yang salah. Langkah-langkah
yang perlu diambil pembangunan paradigma keberagamaan dari eksklusif ke inklusif
melalui sekolah, pengajaran agama seperti pengajian atau kebaktian, dan dialog
antarumat beragama. Semangat inklusif ini bukan untuk mencampuradukkan ajaran
agama (aqidah) yang memang tidak boleh, tetapi lebih bertujuan untuk mengikis
paradigma keagamaan ekslusif yang kaku. Dengan semangat keberagamaan yang
inklusif dan moderat ini diharapkan akan dapat menumbuhkan semangat kerjasama
secara sosial, politis, ekonomis, dan lain-lain diantara pemeluk agama yang berbeda.14

PERAN GURU DAN SEKOLAH DALAM MEMBANGUN KEBERAGAMAAN


INKLUSIF DI SEKOLAH
Guru dalam pandangan Islam adalah seorang pribadi yang mempunyai
kecakapan ilmu dan profesional dalam menjalankan proses pembelajaran.15 Peran guru
diperlukan untuk mengembangkan agama inklusif di sekolah, yaitu:16
1) Seorang guru atau dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap
maupun perkataannya (tidak boleh diskriminatif).
2) Guru atau dosen harus tertarik pada peristiwa tertentu yang ada hubungannya dengan
agama (multicultural minded).
3) Guru atau dosen harus menjelaskan bahwa tujuan ajaran agama adalah menciptakan
kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, dan segala bentuk
kekerasan dilarang dalam agama.
4) Guru atau dosen mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan
diskusi dalam penyelesaian berbagai persoalan yang berkaitan dengan keragaman
budaya, suku, dan agama.
Selain guru, sekolah juga berperan penting dalam membangun lingkungan
pendidikan yang pluralis dan toleran. Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara
lain:17

14
Ulfa Masamah dan Mualimul Huda, Pendidikan Islam, Pendidikan Politik, Dan Dialog Antar Umat
Beragama Di Indonesia, dalam Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 4 Nomor 1, 2016, hal
16. DOI: https://doi.org/10.21043/fikrah.v4i1.1638.
15
Nasri Kurnialoh, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Inklusif-Pluralis, hal 394.
16
N. Hani Herlina, Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagaman Inklusif Di
Madrasah/Sekolah, dalam Sabilarrasyad Vol. II No. 02 Juli – Desember 2017, hal 89-90.
17
M. Agus Kurniawan, Multicultural Inclusive Islamic Education Ideal Format, dalam RI’AYAH, Vol.
7, No. 02, Juli - Desember 2022, hal 259.

5
1) Sekolah harus membuat dan melaksanakan peraturan daerah, yaitu peraturan
sekolah yang khusus diterapkan pada satu sekolah tertentu. Dalam undang-
undang sekolah, tentunya salah satu poin penting yang tercantum adalah larangan
terhadap segala bentuk diskriminasi agama di sekolah;
2) Untuk membangun rasa saling pengertian sejak dini antara siswa yang berbeda
keyakinan, sekolah harus berperan aktif dalam menggalakkan dialog antaragama
dengan bimbingan para guru di sekolah. Dialog lintas agama semacam ini
merupakan salah satu upaya efektif untuk membiasakan siswa berdialog dengan
pemeluk agama yang berbeda;
3) Yang terpenting dalam penerapan pendidikan multikultural adalah kurikulum dan
buku teks yang digunakan dan diterapkan di sekolah. Pada hakekatnya, kurikulum
pendidikan multikultural merupakan kurikulum yang memuat nilai-nilai
pluralisme dan toleransi beragama. Demikian pula buku-buku, khususnya buku-
buku agama yang digunakan di sekolah, hendaknya merupakan buku yang dapat
membangun wacana siswa tentang agama inklusif dan moderat.
Pendidikan tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya kurikulum.
Kurikulum dalam pendidikan Islam yang inklusif dapat terlihat dalam dua aspek
yaitu:18
Pertama, aspek materi. Gagasan paradigma Islam inklusif kaitannya dengan
pendidikan adalah adanya bahasan khusus yang terkait dengan hak minoritas khususnya
minoritas dalam kehidupan sosial beragama. Hal ini penting karena Indonesia adalah
negara majemuk yang terdiri dari berbagai etnis, budaya, dan agama yang berbeda.
Kesadaran menghormati minoritas merupakan keharusan untuk menciptakan kondisi
yang aman dan damai sesuai ajaran agama. Materi lain adalah kebebasan berpikir.
Pendidikan Agama Islam yang sesuai dengan pemikiran Islam inklusif
mengembangkan kebebasan berpikir supaya banyak ide-ide baru yang muncul, bagi
Islam inklusif, pengetahuan, ide, dan gagasan baru akan diperoleh jika adanya
kebebasan berpikir. Dalam konteks ini diharapkan akan melahirkan siswa yang kritis,
merdeka dan menghargai pluralitas. Pendidikan Islam harus membuka diri atas
fenomena global yang saat ini berkembang.19

18
Nasri Kurnialoh, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Inklusif-Pluralis, hal 396.
19
Nasri Kurnialoh dan Sri Suharti, Pendidikan Islam Berbasis Inklusifisme dalam Kehidupan
Multikultur, dalam Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 1, Februari 2016, hal 225.

6
Kedua, aspek evaluasi. Rangkaian terakhir dari proses pendidikan adalah
evaluasi, tak terkecuali pada proses pendidikan Islam. Berhasil atau tidaknya
pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi
terhadap output yang dihasilkan. Jika hasilnya sesuai dengan apa yang telah digariskan
dalam tujuan pendidikan Islam, maka usaha pendidikan itu dapat dinilai berhasil, tetapi
jika sebaliknya dinilai gagal.20
Sesuai dengan paradigma Islam inklusif siswa mempunyai hak untuk
membahasakan pengetahuan dengan bahasanya sendiri, kritis dan terbuka terhadap
berbagai perbedaan. Evaluasi dilakukan tidak hanya pada siswa tetapi juga pada guru
dan seluruh stakeholder sekolah agar tidak ada dominasi. Sebab pendidikan merupakan
seluruh satuan yang saling bekerjasama, mengevaluasi, membangun untuk
bekerjasama.21
Di samping materi yang bersifat dialogis dan multiperspektif dengan
menggunakan metode yang bervariasi, maka pembelajaran agama perlu dilengkapi
dengan kegiatan-kegiatan ko dan ekstra kurikuler yang menopang sikap keterbukaan
dan kesediaan untuk bekerjasama dan berkompetisi secara sehat dalam keberbedaan.
Di antara beberapa metode dan kegiatan yang bisa diprogramkan untuk itu adalah:22
1. Metode Dialogis
Program dialog antar agama, misalnya: dialog tentang “puasa” yang bisa
menghadirkan ulama, pendeta, bikhsu, atau bahkan pemuka aliran kebatinan
tertentu. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan
pemahaman kepada peserta didik (mahasiswa) bahwa puasa adalah suatu
mekanisme universal yang dilakukan oleh manusia untuk membersihkan diri dalam
upaya mencapai pencerahan ruhani. Dengan dialog seperti ini, peserta didik akan
menemukan bahwa secara substantif semua keyakinan agama berujung pada suatu
nilai universal yang sama. Bahwa kesamaan inilah yang harus terus dibina dengan
mempersempit setiap celah perbedaan, biarlah perbedaan itu menjadi urusan pribadi
atau kelompok masing-masing dengan Tuhan mereka.

20
Nasri Kurnialoh, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Inklusif-Pluralis, hal 397.
21
Nasri Kurnialoh, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Inklusif-Pluralis, hal 397.
22
Nasri Kurnialoh dan Sri Suharti, Pendidikan Islam Berbasis Inklusifisme dalam Kehidupan
Multikultur, hal 226-227.

7
2. Metode Inovasi
Program road show lintas agama. Program road show lintas agama ini adalah
program nyata untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas
agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan peserta didik (mahasiswa) untuk ikut
kerja bakti membersihkan tempat ibadah agama lain. Melalui kegiatan ini
diharapkan peserta didik semakin dapat merasakan kuasa dan keagungan Tuhan,
karena ternyata Ia disembah dan dipuja di berbagai tempat dengan berbagai cara.
3. Metode Pembelajaran Langsung (Metode Keteladaan)
Pembelajaran langsung menekankan belajar sebagai perubahan tingkah laku
melalui peniruan. Spiritual Work Camp (SWC), dimana peserta didik dari latar
belakang agama yang berbeda disatukan dalam perkemahan. Mereka dibagi dalam
kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri beberapa pemeluk agama yang
berbeda-beda. Melalui kegiatan ini diharapkan mahasiswa dapat bekerjasama
sambil saling bertukar pengalaman ruhaninya masing-masing.
4. Metode Pembelajaran Kooperatif
Kerja sosial bersama, yaitu kegiatan pengabdian kepada masysrakat yang dilakukan
oleh peserta didik yang berasal dari berbagai latar belakang agama. Melalui
kegiatan ini mereka dilatih untuk membuat plat form bersama demi kebaikan
masyarakat, bangsa dan negara tanpa memperhatikan masalah etnis, suku, atau
agama.
Upaya untuk mengadaptasikan nilai-nilai inklusif dalam pendidikan agama
sesungguhnya sudah dilakukan oleh pemerintah. Seperti tertuang dalam UU Sisdiknas
yang salah satu pasalnya mengharuskan setiap lembaga pendidikan (SD, SMP,
SMA/SMK sederajat) mengajarkan pendidikan agama yang sesuai dengan kepercayaan
peserta didik. Mata pelajaran pendidikan agama di lembaga pendidikan tersebut yaitu
Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen, Prndidikan Agama Katolik,
Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Budha dan Pendidikan Agama
Konghucu. Oleh sebab itu pendidikan agama juga seharusnya menanamkan sikap–
sikap terbuka, toleran dan moderat pada peserta didik.23
Pendidikan agama perlu menekankan pada bagaimana mengajarkan tentang
agama yang melibatkan pendekatan kesejarahan dan pendekatan perbandingan. Hal ini

23
Demsy Jura, dkk, Prosiding “Revitalisasi Indonesia Melalui Identitas Kemajemukan Berdasarkan
Pancasila”, hal 182.

8
bermanfaat untuk menumbuhkan kesadaran peserta didik mengenai aspek universal dan
partikular ajaran agamanya. Di samping itu, pendekatan tersebut bermanfaat juga untuk
mengatasi kurangnya perhatian selama ini terhadap upaya mempelajari agama-agama
lain dan kurangnya penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antar
umat beragama lantaran sikap overprotective sehingga kecurigaan tetap mewarnai cara
pandang antar penganut agama. Secara psikologis, manfaat dari pendekatan tersebut
bisa mengondisikan peserta didik agar belajar bersikap inklusif dan positif terhadap
agama lain dan kelompok yang berbeda.24
Dalam kaitan pendidikan agama dengan penanaman nilai inklusivisme, seorang
guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk mampu secara professional mengajarkan
mata pelajaran yang diajarkannya. Akan tetapi, mereka juga diharapkan mampu
menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif kepada para siswa. Pada akhirnya
dengan upaya seperti itu, out put yang diharapkan dari sebuah proses belajar mengajar
nantinya adalah para lulusan sekolah atau universitas yang tidak hanya cakap dalam
disiplin ilmu yang ditekuni, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan
dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan
orang lain.25 Oleh karena itu, dipandang penting menggagas pendidikan agama berbasis
inklusivisme dengan menonjolkan beberapa karakter sebagai berikut:26
1. Pendidikan agama harus berdampingan dan berintegrasi dengan pendidikan umum
dengan menyisipkan nilai-nilai agama yang terkait. Artinya, disamping
menonjolkan pendidikannya dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan, namun
karakter keagamaan juga menjadi bagian integral dan harus dikuasai serta menjadi
bagian dari kehidupan siswa sehari-hari.
2. Pendidikan agama juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan yang
berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang diberikan kepada siswa
tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal, termasuk didalamnya juga
pemahaman tentang realitas keberagamaan.

24
Nasri Kurnialoh, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Inklusif-Pluralis, hal 400.
25
Afifuddin, Pendidikan Agama Inklusif dalam Upaya membangun Toleransi dari Sekolah, dalam
Internasional Conference on Islam and Civilizatoins (ICIC), November 29 -December 01, 2019, hal 192.
https://repositori.uin-alauddin.ac.id/16886/4/12-
2%20Pendidikan%20Agama%20Inklusif%20dalam%20Upaya%20Membangun%20Toleransi%20dari%20Seko
lah.pdf
26
Afifuddin, Pendidikan Agama Inklusif dalam Upaya membangun Toleransi dari Sekolah, dalam
Internasional Conference on Islam and Civilizatoins (ICIC), hal 192-193.

9
3. Pendidikan agama harus mempunyai karakter sebagai institusi pendidikan yang
menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang
memberikan keluasaan pada siswa untuk mengekspresikan pendapatnya secara
bertanggung jawab.

MODEL PENDIDIKAN AGAMA INKLUSIF


Model Pendidikan Agama Inklusif melalui dua pendekatan, yaitu: pendekatan
pendidikan inklusif kepada guru agama dan pendekatan pendidikan inklusif berbasis
budaya oleh guru kepada siswa. Pendekatan pendidikan inklusif kepada guru berupa
modul-modul substantif yang isinya mengacu pada prosedur kerja intersubjektif. Amin
Abdullah sebagai dasar untuk menentukan target nilai dan merumuskan kompetensi
dasar dan indikatornya. Menurut Amin Abdullah, untuk mencapai perdamaian abadi
sangat dibutuhkan sikap religius yang dapat mendukung terciptanya perdamaian sejati.
Sikap keberagamaan yang perlu dikembangkan adalah pola keberagamaan
intersubjektif. Salah satu ciri pola keagamaan intersubjektif adalah kemampuan, pola
kepekaan pemeluk agama terhadap kelompok dan masyarakat lain yang juga perlu
dihargai dan dihormati serta dijamin hak-haknya. Menurut Amin Abdullah, cara kerja
pola keagamaan intersubjektif mencakup delapan aspek, yaitu: (1) pola umum dan pola
unik, (2) epoche, (3) visi eidetik (penglihatan eiditik), (4) historisitas agama, (5)
verstehen (pengertian mendalam), (6) empati dan simpati, (7) inklusif-kemitraan-
dialogis, dan (8) mentalitas keagamaan baru yang mencerahkan. Kedelapan aspek
tersebut dianalisis menjadi nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan untuk
membangun karakter religius yang inklusif. Nilai-nilai karakter tersebut meliputi: (1)
nilai kepedulian, (2) nilai pengendalian diri, (3) berpikir positif, (4) kehati-hatian (tidak
tergesa-gesa), (5) nilai amanah, (6) ) nilai empati, (7) nilai kerjasama, dan (8) nilai
toleransi.
Sedangkan pendekatan pendidikan inklusif guru kepada siswa mengacu pada
teori-teori Lickona tentang pengembangan budaya sekolah yang meliputi enam unsur,
yaitu: (1) kepemimpinan dan keteladanan moral, (2) kedisiplinan secara keseluruhan,
(3) kedisiplinan secara keseluruhan. menumbuhkan rasa persaudaraan, (4) suasana

10
demokratis, (5) kerjasama yang harmonis, dan (6) mengagendakan waktu khusus dalam
membahas masalah-masalah karakter.27
Jack Seymour dan Tabita Kartika Christiani mengemukakan ada tiga model
pendidikan agama terkait dengan upaya membangun sikap toleran dan saling percaya
di kalangan siswa beda agama dan etnik dalam rangka membangun kerja sama lintas
agama yang harmonis. Ketiga model pendidikan agama, yaitu (1) in the wall, (2) at the
wall, dan (3) beyond the wall.
Pertama, pendidikan agama in the wall berarti hanya mengajarkan agama sesuai
agama tersebut tanpa dialog dengan agama lain. Model pendidikan seperti ini
berdampak terhadap minimnya wawasan peserta didik terhadap agama lain, yang
membuka peluang terjadinya kesalahpahaman dan praduga. Model pendidikan agama
in the wall juga dapat menumbuhkan superioritas satu agama atas agama yang lain
sehingga mempertegas garis demarkasi antara “aku” dan “mereka”.
Sikap toleransi, simpati, dan empati terhadap mereka yang beda agama sulit
ditumbuhkembangkan dari model pendidikan agama seperti ini. Model pendidikan
semacam ini memposisikan agama lain atau penganut agama lain sebagai the others
yang akan masuk neraka karena dianggap kafir. Inilah bentuk truth claim yang
berdampak pada monopoli Tuhan dan kebenaran. Seakan-akan kebenaran dan Tuhan
hanya milik individu atau kelompok agama tertentu. Model keberagamaan seperti ini
pada gilirannya berkontribusi dalam menanamkan benih-benih eksklusivisme
keberagamaan yang berpotensi memicu konflik dan kekerasan atas nama agama.
Ironisnya, model pendidikan agama in the wall inilah yang kini mendominasi
pendidikan agama di tanah air.
Kedua, paradigma pendidikan agama at the wall tidak hanya mengajarkan
agama sendiri, tetapi sudah mendiskusikannya dengan agama lain. Model paradigma
pendidikan agama ini merupakan tahap transformasi keyakinan dengan belajar
mengapresiasi orang lain yang berbeda agama dan terlibat dalam dialog antaragama.
Ketiga, pendidikan agama beyond the wall tak sekedar berorientasi untuk
berdiskusi dan berdialog dengan orang yang berbeda agama. Namun lebih dari itu
mengajak peserta didik dari beragam agama untuk bekerja sama mengkampanyekan
perdamaian, keadilan, harmoni, dan keterlibatan mereka dalam kerja-kerja

27
Na’imah, dkk, Developing The Model Of Inclusive Religious Education At Indonesia And Thailand
Elementary Schools, IOSR Journal of Research & Method in Education (IOSR-JRME), Vol 7, Issue 5 Ver. VI
Sep. – Oct. 2017, hal 20. DOI: 10.9790/7388-0705066367

11
kemanusiaan. Semua itu untuk menunjukkan musuh agama bukan pemeluk agama yang
berbeda, melainkan kemiskinan, kebodohan, kapitalisme, kekerasan, radikalisme,
ketidakjujuran, korupsi, manipulasi, kerusakan lingkungan dan sebagainya. Model
pendidikan agama seperti ini juga untuk menunjukkan semua agama mengajarkan
kebaikan, dan bahwa agama adalah untuk kebaikan manusia sesuai misi profetiknya.
Maka pendidikan agama yang saat ini cenderung eksklusif karena hanya mengajarkan
agamanya sendiri (in the wall) perlu digeser kearah inklusif dengan model at dan
beyond the wall. Peserta didik tidak hanya kenal agamanya sendiri, tetapi juga
bersentuhan dengan agama lain untuk melintasi tradisi lain dan kemudian kembali
kepada tradisi sendiri.28

PENGERTIAN PENDIDIKAN AGAMA EKSKLUSIF


Pengertian eksklusivisme, menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata
eksklusivisme terdiri dari dua kata, yaitu: “eksklusif” yang artinya terpisah dari yang
lain, khusus, dan “isme” yang berarti paham.29 Sedangkan KBBI mengatakan bahwa
eksklusivisme berasal dari kata “eksklusif” yang artinya terpisah dari yang lain atau
dapat juga diartikan sebagai paham yang mempunyai kecenderungan untuk
memisahkan diri dari masyarakat.30 Menurut Th. Sumartana yang dikutip oleh Ahmad
Zamakhsari bahwa eksklusivisme merupakan suatu sikap menutup diri dari pengaruh
agama lain, ingin mempertahankan keaslian dan kemurnian pribadinya. Eksklusivisme
merupakan suatu sikap menutup diri sebuah agama dari agama lainnya yang dalam
artian bahwa ada suatu pemahaman bahwa satu agama tersebut menganggap dirinya
benar dan mempertahankan keaslian dan kemurnian pribadinya, dengan kata lain
bahwa sifat eksklusivisme ini memiliki sifat yang fanatis terhadap agama lain.31
Inklusivisme bersifat lebih longgar dan terkesan fleksibel terhadap sesuatu yang
di luar dirinya, tidak kaku dan memberi jalan kepada selain dirinya untuk mengakui
kebenaran mereka. Jadi, asumsi dasar inklusivisme agama adalah mengakui bahwa
kebenaran hanya terdapat dalam agama sendiri, namun memberi kesempatan atau jalan

28
Abdurrohman, Deradikalisasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI): Model Keberagamaan
Inklusif Dikalangan Siswa SMA, dalam Schemata, Vol. 7, No. 2, Desember 2018, hal 118-119.
https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/schemata/article/download/514/246/837
29
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal 379.
30
Poewadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai-Pustaka, 1996), hal. 7-8.
31
Ahmad Zamakhsari, Teologi Agama-Agama Tipologi Tripolar; Eksklusivisme, Inklusivisme Dan
Kajian Pluralisme, dalam Tsaqofah; Jurnal Agama dan Budaya, Vol. 18, No.01, Januari - Juni 2020, hal 39.

12
bagi mereka yang berlain keyakinan untuk mengakui bahwa agama mereka juga
benar.32
Literatur tentang implementasi pendidikan agama di Indonesia menunjukkan
dua kecenderungan. Pertama, proses pendidikan dengan kurikulum dan materi ajar
yang diberikan kepada siswa lebih menekankan pada pengajaran doktrin agama secara
sempit atau dapat disebut sebagai pendidikan agama yang eksklusif. Pendidikan agama
yang ekslusif secara nyata telah menjadikan tumbuh dan berkembangnya radikalisme,
ekstrimisme, dan terorisme. Kedua, proses pendidikan dengan modifikasi kurikulum
dan pengajaran agama yang mengalami perluasan makna dengan menggunakan
perspektif multikultur dan pendidikan perdamaian, atau dapat disebut pendidikan
agama yang inklusif. Pendidikan agama berbasis multikultur dan pendidikan
perdamaian memungkinkan terjadi penerimaan terhadap yang lain karena mengacu
pada penghargaan terhadap keragaman dan upaya bina damai, suatu potensi yang
sesungguhnya terdapat pada ajaran setiap agama.33
Permasalahan dalam implementasi pendidikan agama dalam lingkungan
multikultural di sekolah dasar di Indonesia, yaitu:34
a. Pemahaman keagamaan yang eksklusif, hal ini dapat dilihat dari:
1) Sebanyak 62% guru meyakini bahwa agamanya adalah agama yang paling
benar dan agama lain salah dan sesat
2) Sebanyak 53% guru meyakini bahwa hanya agamanya saja yang dapat
menjamin keselamatan kehidupan di dunia dan di akhirat.
3) Sebanyak 40% guru merasa kesal pemahaman agamanya dikritik orang lain.
4) Sebanyak 42% guru merasa wajib memperjuangkan agama jika
agama/kepercayaan dihina oleh agama lain
5) Sebanyak 42% guru berpendapat bahwa pemahaman mereka terhadap ajaran
agamanya adalah pemahaman yang paling benar
b. Kehidupan sosial yang masih eksklusif, dapat dilihat dari:
1) Sebanyak 58% guru agama merasa agama lain selalu memanfaatkan kebaikan
agamanya untuk kepentingan agamanya.

32
Ahmad Zamakhsari, Teologi Agama-Agama Tipologi Tripolar; Eksklusivisme, Inklusivisme Dan
Kajian Pluralisme, dalam Tsaqofah; Jurnal Agama dan Budaya, hal 44.
33
Yance Z. Rumahuru dan Johana S.Talupun, Pendidikan agama inklusif sebagai fondasi moderasi
beragama: Strategi merawat keberagaman di Indonesia, hal 454.
34
Na’imah, dkk, Developing The Model Of Inclusive Religious Education At Indonesia And Thailand
Elementary Schools, IOSR Journal of Research & Method in Education (IOSR-JRME), hal 20.

13
2) Sebanyak 64% ustadz sering mengancam keyakinannya terhadap kehidupan
beragama.
c. Pelaksanaan pembelajaran di kelas kurang memberikan bobot nilai pada
penanaman nilai toleransi, mereka hanya memiliki sedikit pemahaman toleransi.
Kultur sekolah lebih menekankan pada keberhasilan aspek kecerdasan, kurang
penanaman nilai-nilai karakter terutama nilai-nilai inklusivitas; serta minimnya
program kegiatan ekstra dan kegiatan lain yang dilakukan dalam rangka
menumbuhkan nilai-nilai inklusivitas bagi siswa yang berbeda latar belakang
sehingga mereka saling mengenal dengan baik.
Sering kali peserta didik hanya diajarkan pemahaman agama secara tekstual
“taken for granted”, bersikap eksklusif akan mengakibatkan penilaian benar dan salah
hanya dilihat dari sudut pandang dari ideologi masing-masing, maka intoleransi akan
terus berkembang di kalangan peserta didik dalam memandang pluralitas eksternal dan
internal.35 Sikap eksklusif cenderung memonopoli kebenaran, tertutup, tidak mau
mendengar dan memahami orang lain serta memiliki indikator bersikap otoriter.36
Pemahaman agama secara eksklusif akan berdampak kepada sikap peserta didik
dalam memandang pluralitas. Mereka hanya melihat sisi kebenaran hanya ada dalam
kelompoknya. Peserta didik akan anti terhadap perbedaan di luar kelompoknya, dan
sering kali merambat pada ranah sosial, politik dan ekonomi. Akibatnya, mereka tidak
mau bekerja sama dengan kelompok lainnya dalam ranah tersebut, karena terbiasa oleh
ideologi atau pemahaman keagamaan yang eksklusif.37 Pendidikan agama yang
memberi perhatian pada doktrin eksklusif membentuk fanatisme sempit dan
memproduksi kelompok-kelompok agama yang memiliki sikap-sikap kebencian
(hatred), kemarahan (anger), tidak toleran (intolerance), dan tindakan diskriminatif
(discrimination). Sikap-sikap ini berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan di
kalangan umat beragama.38 Pendidikan agama yang diajarkan secara eksklusif di
sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah agama sebagai satu-satunya jalan

35
Nasri Kurnialoh, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Inklusif-Pluralis, hal 394.
36
Mohammad Al Farabi, Pendidikan Islam Berbasis Inklusif-Multikultural: Upaya Antisipatif
Menangkal Radikalisme, dalam The Dynamic Of Islamic Education In South East Asia, (Medan: Perdana
Publishing, 2019), hal 67.
37
Nasri Kurnialoh, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Inklusif-Pluralis, hal 393.
38
Rumahuru, “Mengembangkan Pendidikan Agama Inklusif Sebagai Solusi Pengelolaan Keragaman di
Indonesia.” dalam Jurnal Teruna Bhakti, Vol. 1, No 1, Agustus 2018, hal 65.

14
keselamatan (salvation and truth claim) akan sangat potensial melahirkan konflik dan
ketidakrukunan antar pemeluk agama.39

C. SIMPULAN
Pendidikan agama inklusif adalah pendidikan yang mengajarkan tentang
bagaimana menghargai perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain dan
dan peka akan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Sedangkan, pendidikan agama
yang eksklusif adalah proses pendidikan dengan kurikulum dan materi ajar yang
diberikan kepada siswa lebih menekankan pada pengajaran doktrin agama secara
sempit.
Pendidikan agama yang inklusif sangat diperlukan untuk membangun sikap
moderat peserta didik, suatu sikap yang sangat penting dimiliki di tengah menguatnya
radikalisme dan ekstrimisme agama di Indonesia. Pemahaman agama secara eksklusif
akan berdampak kepada sikap peserta didik dalam memandang pluralitas. Mereka
hanya melihat sisi kebenaran hanya ada dalam kelompoknya. Peserta didik akan anti
terhadap perbedaan di luar kelompoknya, dan sering kali merambat pada ranah sosial,
politik dan ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman, Deradikalisasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI): Model


Keberagamaan Inklusif di Kalangan Siswa SMA, dalam Schemata, Vol. 7, No.
2, Desember 2018.
https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/schemata/article/download/514/246
/837
Afifuddin, Pendidikan Agama Inklusif dalam Upaya membangun Toleransi dari
Sekolah, dalam Internasional Conference on Islam and Civilizatoins (ICIC),
November 29 -December 01, 2019. https://repositori.uin-
alauddin.ac.id/16886/4/12-
2%20Pendidikan%20Agama%20Inklusif%20dalam%20Upaya%20Membangu
n%20Toleransi%20dari%20Sekolah.pdf

39
Ismail Thiob, Menggagas Reformasi Pendidikan Islam: Telaah Filosofi Paradigmatik, dalam (Jurnal
Studi Keislaman ULUMUNA, Vol XI, No. 1 Juni 2007, hal 149-150.

15
Al Farabi, Mohammad, Pendidikan Islam Berbasis Inklusif-Multikultural: Upaya
Antisipatif Menangkal Radikalisme, dalam The Dynamic Of Islamic Education
In South East Asia, Medan: Perdana Publishing, 2019.
Anggraini, Mardhiana, dkk, Pendidikan Multikultural Sebagai Implementasi Profil
Pelajar Pancasila Melalui Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi
Pekerti, dalam Qolamuna: Jurnal Studi Islam Vol. 08 No. 02, 2023.
Asrori, Muhammad, dkk. Inklusifisme dan Ekslusifisme Serta Pengaruhnya Terhadap
Pendidikan Multikultural, dalam JALIE, Vol 03, No 01, Maret 2019.
Herlina, N. Hani, Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagaman Inklusif
Di Madrasah/Sekolah, dalam Sabilarrasyad Vol. II No. 02 Juli – Desember
2017.
Jackson, Robert, Signposts and the Council of Europe: special issue on the contribution
of ‘inclusive’ religious education to intercultural understanding, Intercultural
Education, Vol. 30, No. 3, Mei 2019. DOI: 10.1080/14675986.2019.1539356
Jura, Demsy, dkk, Prosiding “Revitalisasi Indonesia Melalui Identitas Kemajemukan
Berdasarkan Pancasila”, Jakarta: UKI Press: 2018.
Khoirunnnissa, Rahma, dan Syahidin, Urgensi Pendidikan Moderasi Beragama Sebagai
Upaya Menangkal Radikalisme di Kalangan Mahasiswa, dalam Jurnal
Penelitian Pendidikan Islam Vol. 10, No. 2, 2022. DOI:
https://doi.org/10.36667/jppi.v10i2.1276
Kurnialoh, Nasri, dan Sri Suharti, Pendidikan Islam Berbasis Inklusifisme dalam
Kehidupan Multikultur, dalam Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 1, Februari 2016.
Kurnialoh, Nasri, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Inklusif-Pluralis, dalam
INSANIA Vol. 18, No. 3 September - Desember 2013.
Kurniawan, M. Agus, Multicultural Inclusive Islamic Education Ideal Format, dalam
RI’AYAH, Vol. 7, No. 02, Juli - Desember 2022.
Masamah, Ulfa, dan Mualimul Huda, Pendidikan Islam, Pendidikan Politik, Dan
Dialog Antar Umat Beragama Di Indonesia, dalam Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah
dan Studi Keagamaan Volume 4 Nomor 1, 2016, hal 16. DOI:
https://doi.org/10.21043/fikrah.v4i1.1638.
Na’imah, dkk, Developing The Model Of Inclusive Religious Education At Indonesia
And Thailand Elementary Schools, IOSR Journal of Research & Method in
Education (IOSR-JRME), Vol 7, Issue 5 Ver. VI, Sep. – Oct. 2017. DOI:
10.9790/7388-0705066367
16
Poewadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai-Pustaka, 1996.
Rumahuru, “Mengembangkan Pendidikan Agama Inklusif Sebagai Solusi Pengelolaan
Keragaman di Indonesia.” dalam Jurnal Teruna Bhakti, Vol. 1, No 1, Agustus
2018.
Rumahuru, Yance Z. dan Johana S.Talupun, Pendidikan agama inklusif sebagai fondasi
moderasi beragama: Strategi merawat keberagaman di Indonesia, dalam
KURIOS, Vol. 7, No. 2, Oktober 2021. https://www.sttpb.ac.id/e-
journal/index.php/kurios/article/view/323
Thoib, Ismail, Menggagas Reformasi Pendidikan Islam: Telaah Filosofi Paradigmatik,
dalam Jurnal Studi Keislaman ULUMUNA, Vol XI, No. 1 Juni 2007.
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Zainiyati, Husniyatus Salamah, Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun
Keberagamaan Inklusif di Sekolah, dalam ISLAMICA, Vol. 1, No. 2, Maret
2007.
Zamakhsari, Ahmad, Teologi Agama-Agama Tipologi Tripolar; Eksklusivisme,
Inklusivisme Dan Kajian Pluralisme, dalam Tsaqofah; Jurnal Agama dan
Budaya, Vol. 18, No.01, Januari - Juni 2020.

17

Anda mungkin juga menyukai