Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara yang unik, penuh dengan warna budaya, adat, agama, suku dan
bahasa. Semua menjadi satu dalam simbol burung Garuda dan berkibar dalam satu bendera
juga, yaitu sang saka merah putih. Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan memiliki usia
kemerdekaan yang belum ada 1 abad lamanya, namun memiliki potensi sumber daya alam
yang sangat melimpah. Yang seharusnya menjadi negara yang super makmur, memiliki
kekayaan melimpah dan loh jinawi.

Dan yang perlu disorot adalah pendidikan, terutama pendidikan islam. Karena Islam
adalah agama mayoritas bangsa Indonesia. Dalam Islam mengajarkan mengenai long life
education yang juga memiliki makna lain yaitu untuk selalu hidup berpindidikan.

Namun fakta lain mengatakan bahwa Islam di Indonesia memiliki perkembangan


pendidikan yang lambat/lemah. Bahkan meskipun Islam menjadi agama mayoritas, namun
minat masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam sangat minim. Ada yang mengatakan
kalau Islam itu lambat karena kurang memiliki rasa humanis dan sebagian besar tokohnya
masih menganggap pluralisme itu adalah sebuah kemusyrikan.

2. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah makna Islam dan Pluralisme?


2. Bagaimana cara penerapan pendidikan pluralisme?
3. Bagaimana pendidikan Islam dalam tantangan pluralisme di Indonesia?
4. Bagaimana pluralisme sosial dan hubungannya dengan pendidikan Agama di Indonesia?
5. Apa sajakah kegagalan pendidikan Islam/nasional?

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Islam Dan Pluralisme

Islam telah menjadi doktrin menyejarah dalam pluralisme keagamaan. Pluralitas adalah
gejala yang umum terjadi dalam kehidupan manusia, seperti pluralitas dalam berpikir,
berperasaan, bertempat tinggal dan dalam berperilaku. Manusia yang satu dengan manusia
yang lain berbeda-beda dalam pemikiran maupun kehidupan sosial ekonomi, budaya, politik
serta kondisi geografisnya. Namun, sumber dari Islam hanya satu yaitu bersumber dari dan
bersandar pada Allah yang satu. Dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 34 yang memiliki arti:
“Untuk tiap-tiap umat Kami adakan cara peribadatan, supaya kamu menyebut nama Allah,
atas binatang ternak yang telah diberikan Tuhan kepada mereka. Tuhan kamu ialah Tuhan
Yang Maha Esa, sebab itu hendaklah kamu menyerahkan diri kepada-Nya dan sampaikan
kabar gembira kepada orang-orang yang taat.’’

Pluralisme merupakan tantangan bagi agama-agama, sehingga pencarian titik temu


(konvergensi) di antara agama-agama perlu dijadikan agenda. Islam, sebagaimana
diungkapkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 256 dan surat Al-Kafirun ayat 6, secara normatif
mengakui hak dan keberadaan pengikut agama lain atau para ahli kitab. Pengakuan itu
merupakan prinsip utama doktrin Islam terhadap pluralisme agama dan sosial budaya sebagai
sunnatullah (kehendak Tuhan).

Meskipun agama bersifat plural, tapi semuanya menuju pada satu kebenaran, yakni
kebenaran Tuhan. Jadi, kebenaran juga bersifat plural. Bagi kalangan pluralis, semua agama
mengandung kebenaran, sebab pada prinsipnya semua agama dan ilmu berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa. Agama Islam menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran dan tidak
eksklusif terhadap agama lain. Dan hal tersebut merupakan ajaran yang benar dan perlu
dipertahankan dalam bersikap pluralisme atau sikap toleran terhadap agama lain selain agama
Islam.

2. Cara Penerapan Pendidikan Pluralisme

2
Dalam pendidikan, semua aspek kelembagaan dan proses belajar mengajarnya harus
menerapkan sistem dan metode yang dapat menyembuhkan pluralisme serta mampu
menggali sisi perdamaian dan toleransi. Oleh karenanya, diantara langkah yang ditempuh
adalah dengan penentuan pendekatan dan metode. Pendekatan dan metode yang di
kembangkan dalam pembelajaran pendidikan agama berbasis pluralisme seperti ini perlu
diperhatikan adanya beberapa pendekatan yang dapat digunakan antara lain:
1. Pembiasaan
Melaksanakan pembelajaran dengan membiasakan sikap dan perilaku yang baik, terutama
sekali yang berhubungan dengan nilai seperti: tenggang rasa, toleransi, saling mengasihi dan
tolong menolong.
2. Rasional
Pendekatan yang memfungsikan rasio peserta didik, sehingga isi dan nilai yang ditanamkan
mudah di pahami dengan penalaran. Disisi lain pendekatan akademis cenderung
menempatkan proses pendidikan agama pada orientasi objektif.
3. Emosional
Upaya menggugah perasaan peserta didik dalam memahami realitas keanekaragaman budaya
dan agama dalam masyarakat. Sehingga lebih terkesan dalam jiwa peserta didik untuk selalu
menampilkan sikap tenggang rasa dan saling menghormati antara agama satu dengan yang
lainnya.
4. Fungsional
Memfungsikan ajaran masing-masing agama (termasuk agama islam) terutama tentang
pentingnya menghargai perbedaan dengan menekankan segi manfaat dan hikmahnya bagi
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dengan tingkat perkembangannya.

3. Pendidikan Islam Tantangan Pluralisme Di Indonesia

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, bukti-bikti sejarah sangat kaya tentang
itu. Sebelum masuknya agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen di indonesia, masyarakat
Indonesia telah memiliki keyakinan terhadap kekuatan ghaib yang ada di sekitar mereka.
Menurut keyakinan mereka kekuatan itu dapat mendatangkan manfaat dan menolak bencana,
misalnya kekuatan roh dan kekuatan “mana” , kepercayaan itu disebut namanya dengan
animisme dan dinamisme. Kepercayaan itu menunjukkan betapa tebalnya keyakinan
masyarakat Indonesia terhadap kekuatan spiritual yang berada di luar diri mereka. Pandangan
3
hidup religius itu menjadi sikap mental dan pribadi bagi seluruh rakyat Indonesia yang
dengan demikian dijadikan falsafah kehidupan bangsa.

Pendidikan agama telah lama berlangsung di Indonesia, setidaknya setelah masuknya


agama-agama yang datangnya dari luar Indonesia, misalnya agama Islam yang telah masuk
pada abad pertama Hijrah ke Indonesia tentu telah memulai pendidikan agama sejak awal
masuknya Islam di Indonesia. Tujuan pendidikan agama ini adalah mengisi otak (knowledge),
mengisi hati (value), mengisi tangan (psikhomotorik) peserta didik, sehingga seseorang
bertindak dan berperilaku sesuai dengan tuntunan agama.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis baik ditinjau dari segi etnik, budaya,
geografis dan agama. Ditandai dengan kemajemukan geografis dihuni lebih dari 17.000 pulau
besar dan kecil, serta lebih dari 300 suku dan menganut berbagai agama dan kepercayaan.
Kemajemukan ini adalah merupakan kekayaan yang apabila dapat diarahkan kepada nilai-
nilai positif dianya akan mendatangkan nilai positif pula. Akan tetapi, kemajemukan itu juga
apabila ditafsirkan arti sempit bisa membawa kepada perpecahan dan disintegrasi seperti
kasus yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia.

Kemajemukan itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat alami dan kodrati bagi bangsa
Indonesia, artinya bangsa ini tidak bisa mengelakkan dirinya dan keadaan yang plural
tersebut, karenanya bangsa Indonesia bagaimanapun juga tidak bisa menghilangkan
kemajemukan itu sendiri. Oleh karena itu, sikap yang harus di ambil adalah bukan bagaimana
menghilangkan kemajemukan tetapi bagaimana bisa hidup berdampingan secara damai dan
aman penuh toleransi, saling menghargai dan saling memahami antara anak bangsa yang
berbeda suku, bahasa, budaya dan agama. Salah satu diantara upaya perekat itu adalah lewat
pendidikan agama.

4. Pluralisme Sosial dan Hubungannya Dengan Pendidikan Agama di Indonesia

Ada beberapa landasan peraturan dalam bidang pendidikan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah, untuk meghempang semua kegiatan yang mengarah kepada perpecahan bangsa.
1. Landasan konstitusional
a. Penerimaan sebagai peserta didik

4
Penerimaan seseorang sebgai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan
dengan tidak membedakan jens kelamin, agama , suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat
kemampuan ekonomi dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang
bersangkutan.
b. Tenaga pengajar
Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan ajaran agama yang di
ajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan (UU No. 20 Tahun 2003 penjelasan pasal
12 ayat 1 ).
c. Isi Kurikulum
Pendidikan Agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap
Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang
bersangkutan dengan memperhatikan tutunan untuk menghormati agama lain dan hubungan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
2. Tujuan pendidikan Nasional
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidypan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman bertaqwa kepada
Tuhan yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab ( UU No. 20 Tahun 2003 Bab 2 pasal
3 ).
3. Isi Kurikulum Pendidkan Agama
Dikembangkan isi kurikulum yang menyentuh kesatuan dan persatuan bangsa, sesuai
dengan visi pendidikan agama doi sekolah umum, “ terbentuknya sosok anak didik yang
memiliki karakter watak dan kepribadian dengan landasan iman dan ketaqwaan serta nilai-
nilai akhlaq atau budi pekerti yang kokoh yang tercermin dalam keseluruhan sikap dan
perilaku sehari-hari untk selajutnya memberi corak bagi pembentukan watak bangsa.
4. Pendidikan Non Formal
Kedudukan pendidikan non formal ini tidak kalah peranannya dari pendidikan formal.
Banyak hal yang tidak terjangkau oleh pendidikan formal dapat dilaksanakan lewat
pendidikan non formal. Oleh karena itu pendidikan non formal memegang peranan yang
sangat strategis dalam memberdayakan pendidikan di indonesia.

5. Kegagalan Pendidikan Nasional/Islam


5
Praktik pendidikan Islam di tanah air pada dasarnya memiliki andil besar dalam penguatan
integrasi bangsa. Tetapi, peran pendidikan Islam maupun pendidikan nasional banyak juga
mengalami kegagalan, diantaranya:
1. Kegagalan dalam menciptakan SDM yang berkualitas.
2. Kegagalan pendidikan dalam menghindari ancaman disintegrasi bangsa. Seperti kerusuhan
sosial SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang telah terjadi di berbagai daerah.
3. Kegagalan pendidikan dalam menghasilkan warga negara yang berakhlak.
4. Kegagalan untuk mendorong tingkat partisipasi pendidikan (partisipasi anak wajib sekolah/
belajar).
5. Kegagalan menekan secara signifikan tingkat pengangguran (termasuk di dalamnya
pengangguran terdidik/sarjana).

Bertolak dari realitas sosial sebagai indikasi kegagalan pendidikan nasional dan
pendidikan Islam di atas. Maka, prioritas yang harus dilakukan kedepan adalah perlunya lebih
memfokuskan pengelolaan pendidikan nasional tanpa mengesampingkan sektor-sektor
lainnya secara terencana, terprogam dan profesional. Di samping itu, pendidikan Islam perlu
menyiapkan diri dan proaktif merespon gejala perkembangan zaman agar dapat memberikan
output berkualitas yang memiliki pengetahuan, teknologi dan sains agama serta mampu
berkompetisi dengan bangsa lain dalam era perdagangan bebas.

6. Definisi Pluralisme Agama

Berikut definisi pluralisme menurut beberapa ahli dan pemikir muslim :

a. Menurut pemikir muslim M. Rasjidi, mendifinisikan pluralisme agama sebatas sebagai


realitas sosiologis,bahwa pada kenyataanya masyarakat memang plural. Namun demikian
pengakuan terhadap realitas kemajemukan ini tidak berarti memberikan pengakuan terhadap
kebenaran teologis agama-agama lain.1

b. Mukti Ali dan Alwi Shihab berpendapat pluralisme agama tidak sekedar memberikan
pengakuan terhadap eksistensi agama-agama lain, namun sebagai dasar membangun sikap
menghargai dan membangun keharmonisan antarumat beragama. Dalam konteks ini, kedua
pemikir tersebut berada pada wilayah agree in disagreement (setuju dalam perbedaan).

6
Dengan demikian mereka meyakini kebenaran agamanya sendiri, namun mempersilahkan
orang lain juga meyakini kebenaran agama yang dianutnya.

c. Nurcholis Madjid mengemukakan definisi pluralisme agama adalah bahwa semua agama
adalah jalan kebenaran menuju Tuhan. Dalam konteks ini, Madjid menyatakan bahwa
keragaman agama tidak hanya sekedar realitas social, tetapi keragaman agama justru
menunjukan bahwa kebenaran memang beragam. Pluralisme agama tidak hanya dipandang
sebagai fakta social yang fragmentatif, tetapi harus diyakini bahwa begitulah faktanya
mengenai kebenaran.

d. Hick berpendapat bahwa pluralisme agama merupakan sebuah gagasan yang mengajarkan
bahwa Tuhan sebagai pusat, dikelilingi oleh sejumlah agama. Setiap komunitas mendekati
Tuhn dengan cara masing-masing. Konsepsi nasr tentang islam pluralis, juga didasarkan pada
pemahaman bahwa pada dasarnya setiap agama terstrukturisasi dari dua hal, yakni perumusan
iman dan pengalaman iman.

e. Menurut Diana L. Eck (1999), pluralisme itu bukanlah sebuah paham bahwa agama itu
semua sama. Menurutnya bahwa agama-agama itu tetap berbeda pada dataran simbol, namun
pada dataran substansi memang stara. Jadi yang membedakan agama-agama hanyalah (jalan)
atau syariat. Sedangkan secara substansial semuanya setara untuk menuju pada kebenaran
yang transendental itu.

7. Upaya – upaya memelihara prularisme agama

a. Adanya Kesadaran Islam yang Sehat

Pluralisme dalam masyarakat Islam memiliki karakter yang berbeda dari pluralisme yang
terdapat dalam masyarakat lain. Ciri khas dalam Islam meniscayakan adanya perbedaan baik
itu perbedaan ras, suku, etnis, sosial, budaya dan agama. Dan pluralisme tidak dimaksudkan
sebagai penghapusan kepribadian Islami. Kesadaran Islam yang cerdas merupakan faktor
yang menjamin pluralisme dan menjaganya dari penyimpangan dan kesalahan. Kesadaran
Islam yang cerdas tidak pernah menutup diri dari berbagai kecenderungan yang positif

7
obyektif. Bahkan kecenderungan itu bisa jadi akan menambah keistimewaan agama Islam itu
sendiri.

Kesadaran Islam yang sehat akan mampu melihat dengan jernih sisi kebenaran yang
terdapa dalam agama lain karena semua agama punya nilai-nilai kebenaran yang bersifat
univerasl, tidak panatisme agama secara berlebihan dan selalu membuka diri dengan orang
lain walaupun berbada agama dan keyakinan. Bila sikap seperti ini dimiliki oleh setiap
muslim, maka pluralisme agama dapat berkembang denga baik yang pada akhirnya akan
tercipta kerukunan dan toleransi umat beragama yang baik dan harmonis ditengah-tengah
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b. Dialog Antarumat Beragama

Salah satu faktor utama penyebab terjadinya konflik keagamaan adalah adanya paradigma
keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif (tertutup). Pemahaman keberagamaan ini
tidak bisa dipandang sebelah mata karena pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang
antipati terhadap pemeluk agama lainnya. Pribadi yang tertutup dan menutup ruang dialog
dengan pemeluk agama lainnya. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja
yang paling benar sedangkan agama dan aliran keagamaan lainnya adalah salah dan bahkan
dianggap sesat.Paradigma keberagamaan seperti ini (eksklusif) akan membahayakan
stabilitas keamanan dan ketentraman pemeluk agama bagi masyarakat yang multi agama.

Membangun persaudraan antarumat beragama adalah kebutuhan yang mendesak untuk


diperjuangkan sepanjang zaman. Persaudaraan antarsesama umat beragama itu hanya dapat
dibangun melalui dialog yang serius yang diadasarkan pada ajaran-ajaran normatif masing-
masing dan komonikasi yang intens, dengan dialog dan komonikasi tersebut akan terbangun
rasa persudaraan yang sejati. Dengan terwujudnya rasa persaudaran yang sejati antarsesama
umat, maka akan sirnalah segala sakwa sangka di antara mereka.

Dialog antarumat beragama mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan umat
agama lain yang berbeda pandangan tentang kenyataan hidup. Dialog tersebut dimaksudkan
untuk saling mengenal, saling pengertian, dan saling menimba pengetahuan baru tentang
agama mitra dialog. Dengan dialog akan memperkaya wawasan kedua belah pihak dalam
rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam
8
suatu masyarakat, yaitu toleransi dan pluralisme.Agama Islam sejak semula telah
menganjurkan dialog dengan umat lain, terutama dengan umat Kristen dan Yahudi yang di
dalam al-qur’an disebut dengan ungkapan ahl al-Kitab (yang memiliki kitab suci).
Penggunaan kata ahl al-Kitab untuk panggilan umat Kristen dan Yahudi, mengindikasikan
adanya kedekatan hubungan kekeluargaan antara umat Islam, Kristen dan Yahudi.Kedekatan
ketiga agama samawi yang sampai saat ini masih dianut oleh umat manusia itu semakin
tampak jika dilihat dari genologi ketiga utusan (Musa, Isa dan Muhammad) yang bertemua
pada Ibrahim sebagai bapak agama tauhid. Ketiaga agama ini, sering juga disebut dengan
istilah agama-agama semitik atau agama Ibrahim.
c. Menggali semangat pluralisme dalam masyarakat
Dalam menggali semangat pluralisme kita harus menjaga sikap sikap toleran kepada
umat agama lain. Karena hal ini merupakan landasan agar pluralisme dalam beragama dapat
tercipta dengan baik dan antar umat beragama dapat bermasyarakat dengan baik tanpa saling
mengucilkan atau menjelek jelekan agama lain.
d. Saling menjaga tempat tempat peribadatan.
Dalam hal ini kita harus menjaga tempat peribadatan umat beragama, baik dalam hal
kenyamanan maupun keamanan. Karena jika umat agama lan dapat menjalankan ritual
keagamaannya dengan tentram maka hal itu pula yang akan terjadi pada hubungan antar umat
beragama.
e. Saling meniadakan dalam bentuk konflik antar agama.
Hal ini lebih merujuk kepada kesadaran kelompok agama untuk tidak encampuri
urusan internal umat beragama lainnya, karena hal ini merupakan sebuah privasi bagi suatu
klompok umat beragama yang sedang memiliki konflik intern.
f. Saling menjaga relasi antar umat beragama.
Agama secara normatif-doktriner selalu mengajarkan kebaikan, cinta kasih dan
kerukunan. Dalam hal ini agama mengajarkan untuk menghormati umat agama lain, dan hal
ini sangat ditekankan oleh semua agama terlebih lagi agama Islam. Dalam ajaran islam
penghormatan kepada umat agama lain sangat dianjurkan karena dengan menghormati agama
lain, maka umat agama lain akan memberi apresiasi yang sama terhadap umat Islam.

8. Pengertian Pluralisme

Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok


yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup
9
bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Sebenarnya berbicara
tentang konsep pluralisme, sama halnya membicarakan tentang sebuah konsep kemajemukan
atau keberagaman, dimana jika kita kembali pada arti pluralisme itu sendiri bahwa pluralisme
itu merupakan suatu kondisi masyarakat yang majemuk.
Kemajemukan disini dapat berarti kemajemukan dalam beragama, sosial dan budaya.
Namun yang sering menjadi issu terhangat berada pada kemajemukan beragama. Pada
prinsipnya, konsep pluralisme ini timbul setelah adanya konsep toleransi. Jadi ketika setiap
individu mengaplikasikan konsep toleransi terhadap individu lainnya maka lahirlah
pluralisme itu. Dalam konsep pluralisme-lah bangsa Indonesia yang beraneka ragam ini mulai
dari suku, agama, ras, dan golongan dapat menjadi bangsa yang satu dan utuh.
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran,
agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada
sebuah keinginan untuk melenyapkan klaim kebenaran (truth claim) yang dianggap menjadi
pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta
penindasan atas nama agama

8. Mewujudkan Nilai-Nilai Pluralisme Berdasarkan Pancasila

Sebagai nilai, pancasila memuat suatu daya tarik bagi manusia untuk diwujudkan,
mengandung suatu keharusan untuk dilaksanakan. Nilai merupakan cita-cita yang menjadi
motivasi bagi segala sikap, tingkah laku, dan segala manusia yang mendukungnya. Oleh
karena itu sikap pluralisme terhadap bangsa sangat diperlukan karena tanpa adanya sikap itu,
maka masyarakat hanya mementingkan dirinya sendiri saja kemudian muncul sikap egois dan
berkurangnya sikap toleransi serta sikap saling menghargai antar sesama, walaupun itu dalam
lingkungan keluarga sendiri.

Setelah memahami nilai-nilai pancasila, sebagai yang harus diwujudkan serta


pedoman untuk melaksanakannya, kita masih perlu menata dan menyusun serta mengatur
sistem kehidupan bangsa Indonesia bagi terwujudnya nilai-nilai pancasila. Misalnya dalam
mengusahakan persatuan bangsa Indonesia, kita perlu menyusun dan mengatur interaksi antar
warga Negara yang terdiri dari beraneka ragam suku, golongan, agama serta budaya.
Demikian juga bagaimana mengatur kehidupan beragama agar kebebasan kehidupan
beragama bisa terjamin.

10
Seperti halnya semboyan Negara kita yaitu “ bhineka tunggal ika”, walaupun berbeda
tetapi tetap satu jua. Dengan adanya perbedaan itu muncul suatu rancangan baru yang pada
akhirnya terbentuklah rasa nasionalisme dan rasa patriotism terhadapa tanah air Indonesia.
Usaha-usaha ekstern, yang diharapkan bagi pelaksanaan nilai-nilai pancasila dalam
kehidupan bersama bangsa indoneasia.

Bila telah di tangkap atau dipahami serta tampak bernilai bagi bangsa Indonesia, nilai-
nilai tersebut akan memberi daya tarik bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkannya. Namun
nilai-nilai pancasila tampaknya masih terlalu umum dan abstrak untuk dapat di tangkap oleh
bangsa Indonesia pada umunya, maka masih perlu dijabarkan agar mudah di pahami dan
tampak bernilai bagi bangsa Indonesia.

9. Pentingnya Pluralisme dan Tantangannya dalam Beragama

Relasi antarumat beragama selama beberapa dekade terakhir ini mengalami


ketegangan yang membuat masyarakat menjadi takut, tidak aman, dan saling curiga. Terkait
dengan itu, Islam adalah agama yang paling banyak diperbincangkan. Pemicunya adalah
bahwa kaum muslim dicurigai berperan penting di balik berbagai teror. Ekstremisme di
kalangan muslim bisa saja bukanlah disebabkan oleh watak internal agama Islam itu sendiri,
melainkan lebih disebabkan oleh eksploitasi politis atas simbol-simbol Islam, serta akibat dari
krisis sosial-ekonomi-politik yang diderita masyarakat Islam. Selama berabad-abad sejarah
interaksi antar umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan
dengan dalih “demi mencapai ridla Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang
bersumber dari Yang Maha Kuasa”. Bahkan agama dijadikan elemen utama sebagai mesin
penghancuran manusia. Suatu kenyataan yang sangat bertentangan dengan ajaran semua
agama di bumi ini.

Tantangan paling besar menurut Ilham Masykuri Hamdie dalam kehidupan beragama
sekarang ini adalah bagaimana seorang beragama bisa mendefinisikan dirinya di tengah
agama-agama lain. Secara garis besar pengertian konsep pluralisme itu tidak semata
menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun perlu adanya keterlibatan
aktif dan interaksi positif terhadap kenyataan majemuk itu. Pluralisme adalah bahwa tiap
pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat

11
dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam
kebhinekaan.

Dewasa ini, agama-agama ditantang untuk mengambil sikap di tengah-tengah


masyarakat pluralis, bagaimana pluralisme memacu agama-agama memberi arti penting bagi
kehidupan dan menjadi jalan bagi manusia untuk mencapai kedamaian, menemukan bahasa
pemersatu yang mampu menyelaraskan hubungan antaragama. Sikap pluralis semakin
diperhatikan dan diterima banyak pemikir dan tokoh agama, meskipun dalam pengertian yang
berbeda-beda. Benih-benih dan unsur-unsur pluralisme juga ditemukan secara terpencar-
pencar dalam berbagai pemikiran dan sikap yang mengedepankan toleransi dan keterbukaan.

Dalam bukunya, Pluralisme: Tantangan bagi Agama-agama (1989), Harold Coward


mengatakan “Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-
agama dunia dewasa ini, meskipun dalam arti tertentu pluralism keagamaan selalu ada
bersama kita. Dalam zaman di mana ada keterbukaan dan kemungkinan komunikasi yang
begitu luas, sudah merupakan tanggung jawab tersendiri bahwa agama-agama bertemu satu
sama lain dan menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sangat kritis mengenai apa yang
disebut dalam teologi sebagai “klaim kebenaran”.

Dewasa ini, saat pluralisme menjadi kenyataan, setiap agama dihadapkan pada
persoalan yang sangat mendasar mengenai klaim “kebenaran” agamanya sendiri dihadapan
agama lain. Tantangan yang kita hadapi bukan bagaimana menyelamatkan agama dari
keaneragaman teologi, misi, dan tradisi, melainkan bagaimana membangun komitmen
menghargai perbedaan itu. Al-Qur'an sendiri hanya menganjurkan agar kita mencari-cari titik
temu (kalimatun sawa'), bukan menyeragamkan perbedaan dalam teologi, ritual atau institusi,
sebab keragaman itu memang desain Ilahi

10. Pengembangan Pluralisme dan Anti Kekerasan Antar-Intra Umat Beragama

Dalam konteks masyarakat pluralistik, maka syariah harus mampu mengakomodir


kepentingan-kepentingan kaum minoritas sebagai bagian dari hak-hak dasar yang harus
diakuinya. Bukan saja pada kelompok mayoritas yakni Islam tetapi sekaligus menempatkan
kaum minoritas bukan sebagai second human, yang derajatnya di bawah kaum muslimin.
Identifikasi problem masyarakat agama dalam realitas pluralisme agama yang ada di
12
Indonesia harus dilakukan secara terbuka, sehingga di antara mereka saling memahami apa
yang menjadi harapan dan ketakutan dalam bermasyarakat.

Kekerasan agama atau sacred violence selain muncul dari adanya teks-teks suci,
dogma, dan tafsir agama, juga disebabkan karena agama dijadikan sebagai barang yang magis
dan serba mutlak. Agama dipandang tidak bisa diinterpretasikan, apalagi disesuaikan dengan
keinginan manusia. Dengan menjadikan agama sebagai berhala-berhala baru, orang beragama
merasa dalam beragamanya paling sempurna sehingga orang lain pasti salah dan harus
dipertobatkan.

Pada akhirnya, keagamaan bertentangan dengan kemanusiaan sebagai bagian


terpenting dari ajaran agama-agama. Agama berubah menjadi sesuatu yang ekstrem dan
kemanusiaan dihadapkan dengan ketuhanan yang serba mutlak. Semua agama menurut Eka
Darmaputera, tidak hanya didesak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul
dengan agama yang lain, tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna
kehadiran agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang lain itu

Dengan hadirnya agama-agama dan menerima pluralisme, maka akan lahir toleransi
dalam kehiupan beragama. Toleransi sendiri merupakan salah satu unsur budaya demokrasi
yang diyakini merupakan faktor menentukan bagi tercitanya konsolidasi demokrasi

Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama. Tidak ada perdamaian agama
tanpa perdamaian dunia. Kita hidup dalam realitas pluralitas yang merupakan sunatullah,
sekaligus menjadi way of life, dari sinilah demokrasi dalam kehidupan beragama akan
tumbuh.

Beberapa jalan keluar yang dimungkinkan dapat mengembangkan pluralisme dan anti
kekerasan dalam beragama di Indonesia yakni:

a. Melalui Upaya Dialog Intern dan Antar Umat Beragama


Upaya mewujudkan suatu dialog bukan persoalan mudah. Ini membutuhkan
perubahan cara pandang dan cara bertindak berkaitan dengan kehadiran berbagai budaya dan
agama. Kunci untuk memahami proses dialog adalah bersandar pada kehendak untuk
membuka diri pada perjumpaan secara otentik, dan pada kehendak untuk muncul secara kritis
13
dan objektif. Dialog antaragama yang berangkat dari ketidakjelasan konsep dan persepsi pada
akhirnya hanya akan membuahkan forum yang saling menghujat, mengadili, dan
membenarkan kelompoknya.

Meluasnya konflik-konflik dan rasa ketakutan terhadap apa yang akan terjadi,
semakin berpengaruhnya rasa tidak percaya kepada orang lain, kecurigaan, sudah selayaknya
akan memberi “semangat” bagi kerjasama antaragama. Kesempatan itu menjadi releven bagi
agama-agama untuk menjadikannya sebagai arena untuk bertemu, bekerja sama, melakukan
dialog-dialog serta komunikasi yang konstruktif.

Dialog kehidupan merupakan bentuk yang paling sederhana dari pertemuan yang
dapat dilakukan oleh umat beragama, baik antar agama berbeda, atau seagama yang
menganut madzhab berbeda. Dialog-dialog tersebut diharapkan, minimal menghasilkan
wawasan emansipatoris, yang “membebaskan”, karena terjadinya pertukaran dan pemahaman
timbal-balik yang lebih baik di antara umat beragama. Harapan ini dapat “membebaskan”
pihak-pihak yang terlibat dalam dialog dari prasangka, bias, persepsi tidak akurat,
kecurigaan, bahkan saling bermusuhan dan saling membenci yang dapat menciptakan
konflik. Seiring merebaknya kelompok-kelompok agama militan-konservatif, bangsa
Indonesia tentunya perlu mengkloning dan melipatgandakan para empu pluralisme dan dialog
agama sejati.

b.Membumikan Nilai-Nilai Pancasila (di Indonesia)


Nurcholish Madjid benar dengan perkataannya bahwa Islam memberikan landasan
teologis yang memadai untuk mencari titik temu antara penganut berbagai agama berkitab
suci (Q.S. Ali ’Imran/3:64). Jika titik temu gagal atau ditolak, maka masing-masing harus
diberi hak untuk secara bebas memperta-hankan sistem keimanan yang dianutnya. Titik temu
antara agama-agama adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila.

Diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional membawa


konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila dijadikan landasan pokok, landasan bagi
penyelenggaraan negara Indonesia. Makna nilai ketuhanan pada sila pertama Pancasila juga
memiliki arti adanya pengakuan akan kebebasan memeluk agama, menghormati
kemerdekaan beragama, serta tidak berlaku diskriminatif antar umat beragama. Membumikan

14
Pancasila berarti menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang hidup dan
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Internalisasi nilai-nilai Pancasila bisa juga melalui pendidikan formal maupun


nonformal (masyarakat). Pada tataran pendidikan formal, perlu revitalisasi mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan, termasuk juga pendidikan agama. Pancasila harus
dimasyarakatkan sebagai rujukan bersama semua golongan agama, ras, suku, dan kelompok
kepentingan. Semua agama harus menjadikan Pancasila sebagai suatu objektivikasi ajaran
agamanya, termasuk Islam.

c. Menanamkan Nilai dan Kultur Pluralisme dalam Pendidikan


Dibutuhkan usaha keras untuk memecah kebuntuan sekaligus kesalahpahaman antar
dan intra umat beragama baik di tingkat elit, lebih-lebih di level akar rumput. Diperlukan
banyak institusi dan program-program yang mampu mendorong proses transformasi agama
ini. Lembaga-lembaga seperti Center for Religious and Cultural Studies (CRCS) di
Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta serta Indonesian Consortium for Religious
Studies yang didirikan UGM, UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana
(UKDW) di Yogyakarta adalah bagian dari usaha intelektual untuk menciptakan kultur
pluralisme di Indonesia yang perlu ditiru lembaga akademik lain. Demikian juga model
“pendidikan agama inklusif” yang diterapkan STIE IBII Jakarta perlu digetoktularkan
perguruan tinggi lain.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam di negeri ini sejak Sekolah Dasar sampai


Perguruan Tinggi perlu ada mata pelajaran cross-cultural yang melibatkan non-Muslim
dalam proses pengajaran supaya terjadi proses penanaman nilai-nilai pluralisme sejak dini.
Demikian juga sekolah-sekolah non-Islam perlu melibatkan para pendidik muslim kredibel
dan pluralis dalam proses pengajaran supaya terjadi proses dialog. Kurikulum pendidikan
yang toleran-pluralis perlu diterapkan sejak dini supaya siswa didik terbiasa dengan
keragaman dan perbedaan dan mampu menyikapi kemajemukan dan perbedaan itu dengan
sikap “dewasa,” peaceful, dan nir-kekerasan. Kaum pendidik diharapkan dapat memaparkan
bahwa agama bisa ditransformasikan sebagai kekuatan penggerak perdamaian, persatuan,
toleransi, dan pluralisme, bukan sebagai motor kekerasan, perpecahan, dan antipluralisme
seperti dilakukan kelompok militan-radikal agama.

15
11. Pluralisme Sosial

Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi
beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan
toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan
hasil tanpa konflik asimilasi.

Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok
sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan
dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.

Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik
dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat
pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.

Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan
menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan
oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di
mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi,
perhimpunan ilmiah.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari makalah ini dapat kami simpulkan bahwa pluralisme adalah suatu penghormatan
dan sikap toleransi terhadap kelompok-kelompok yang lain dan multikulturalisme adalah
keberagaman kebudayaan dan suku bangsa di Indonesia.Pluralisme mempunyai tujuan
menghormati orang lain dengan budaya, agama, ras, dan adat istiadat mereka masing-
masing.

17
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme (diakses pada 19 oktober 2016)

http://mashuditri.blogspot.co.id/2014/01/pendidikan-islam-dan-masyarakat-plural.html
(diakses pada 19 oktober 2016)

http://inigaperludikenang.blogspot.co.id/2015/08/makalah-pluralisme.htm1 (diakses pada 19


oktober 2016)

http://anadianaazam.blogspot.co.id/2012/09/pluralisme-agama-tantangan-dan.html (diakses pada


19 oktober 2016)

18

Anda mungkin juga menyukai