Anda di halaman 1dari 20

HAKEKAT PENDIDIKAN

MULTIKULTURAL
DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

OLEH
NURWAHIDA
LATAR BELAKANG MASALAH

 Indonesia dengan segala kemajemukannya merupakan tantangan


tersendiri bagi para penduduknya. Terlebih bagi umat Islam,
sebagai umat yang mayoritas di negeri ini. Kemajemukan selain
merupakan modal yang sangat besar untuk kemajuan, juga rentan
dengan terjadinya persinggungan akibat kemajemukan tersebut.
Pertikaian karena kemajemukan termasuk di dalamnya antar umat
beragama atau antara aliran dalam agama tertentu sudah sering
terjadi, baik itu dipicu oleh konflik yang benar-benar konflik
agama, ataupun hanya sekedar menjadikan agama sebagai
penyulut konflik.
Wacana tentang pendidikan multikultural semakin mengemuka seiring dengan terus
bergulirnya arus demokratisasi dalam kehidupan bangsa, yang berimplikasi terhadap
penguatan civil society dan penghormatan terhadap HAM.

Demokrasi yang sudah menjadi pilihan bangsa sejak gerakan reformasi pada akhir abad ke-20
yang baru lalu, tidak sekedar tercermin dalam bentuk partisipasi masyarakat pada pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, kebebasan masyarakat untuk menyampaikan pendapat, gagasan
dan kritik sosial mereka terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyangkut kebutuhan
publik, tetapi benar- benar menjadi ruh kehidupan masyarakat dalam
berbangsa dan bernegara ini, membangun persatuan dan kesatuan, membangun kekuatan dalam
kemajemukan, serta menghilangkan sekat-sekat kultur, ras, bahasa dan agama demi kepentingan
bangsa ke depan, yang dituntut untuk semakin kompetitif dalam menghadapi persaingan global.
RUMUSAN MASALAH

1.Bagaimana konsep Pendidikan Multicultural


2.Bagaimana Pendidikan Islam Multikultural
Di Indonesia?
Pembahasan

 1. Konsep Pendidikan Multicultural


 2. Pendidikan Islam Multikultural Di Indonesia
1. Konsep Pendidikan MUltikultural
 Pendidikan multikultural masih diartikan:
sangat ragam, dan belum ada kesepakatan, apakah pendidikan multikultural tersebut berkonotasi
pendidikan tentang keragaman budaya, atau pendidikan untuk membentuk sikap agar menghargai
keragaman budaya.

Kamanto Sunarto menjelaskan bahwa pendidikan multikultural biasa diartikan sebagai pendidikan
keragaman budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan yang
menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan
sebagai pendidikan untuk membina sikap siswa agar menghargai keragaman budaya masyarakat.

Sementara itu, Calarry Sada dengan mengutip tulisan Sleeter dan Grant menjelaskan bahwa
pendidikan multikultural memiliki empat makna (model), yakni:
(1) pengajaran tentangkeragaman budaya sebuah pendekatan asimilasi kultural,
(2) (pengajaran tentang berbagai pendekatan dalam tata hubungan sosial,
(3) pengajaran untuk memajukan pluralisme tanpa membedakan strata sosial dalam masyarakat,
dan
(4) pengajaran tentang refleksi keragaman untuk meningkatkan pluralisme dan kesamaan.
 Gagasan pendidikan multikultural di Indonesia sendiri,
sebagaimana dijelaskan oleh H.A.R Tilaar adalah
pendidikan untuk meningkatkan penghargaan terhadap
keragaman etnik dan budaya masyarakat.
 Sementara Conny R. Semiawan memiliki perspektif
tersendiri tentang pendidikan multikultural, bahwa
seluruh kelompok etnik dan budaya masyarakat
Indonesia memiliki hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang berkualitas, dan mereka memiliki hak
yang sama untuk mencapai prestasi terbaik di bangsa
ini.
2. Pendidikan
Multikultural di Indonesia
A. Kondisi Masyarakat Indonesia

 Bangsa Indonesia terdiri dari banyak etnik, dengan keragaman budaya,


agama, ras dan bahasa.

 Indonesia memiliki falsafah berbeda suku, etnik, bahasa, agama dan budaya,
tapi memiliki satu tujuan, yakni terwujudnya bangsa Indonesia yang kuat,
kokoh, memiliki identitas yang kuat, dihargai oleh bangsa lain, sehingga
tercapai cita-cita ideal dari pendiri bangsa sebagai bangsa yang maju, adil,
makmur dan sejahtera.
Untuk itu, seluruh komponen bangsa tanpa
membedakan etnik, ras, agama dan budaya,
seluruhnya harus bersatu padu, membangun
kekuatan di seluruh sektor, sehingga tercapai
kemakmuran bersama, memiliki harga diri bangsa
yang tinggi dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain
didunia.
 Oleh sebab itu, mereka harus saling menghargai satu sama
lain, menghilangkan sekat-sekat agama dan budaya. Semua
itu, sebagaimana Azyumardi Azra tegaskan, bukan sesuatu
yang taken for granted tetapi harus diupayakan melalui proses
pendidikan yang multikulturalistik, yakni pendidikan untuk
semua, dan pendidikan yang memberikan perhatian serius
terhadap pengembangan sikap toleran, respek terhadap
perbedaan etnik, budaya, dan agama, dan memberikan hak-hak
sipil termasuk pada kelompok minoritas.
 Dengan demikian, pendidikan multikultural dalam
konteks ini diartikan sebagai sebuah proses
pendidikan yang memberi peluang sama pada
seluruh anak bangsa tanpa membedakan perlakuan
karena perbedaan etnik, budaya dan agama, yang
memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan
yang memberikan hak-hak sama bagi etnik
minoritas, dalam upaya memperkuat persatuan dan
kesatuan, identitas nasional dan citra bangsa di
mata dunia internasional.
B. Pendidikan Islam Berbasis
Multikutural Di Indonesia
 Pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural mengusung
pendekatan dialogis untuk menanamkan kesadaran hidup bersama dalam
keragaman dan perbedaan, pendidikan ini dibangun atas spirit relasi
kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami dan
menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan, serta interdepedensi. Ini
merupakan inovasi dan reformasi yang integral dan komprehensif dalam
muatan pendidikan agama-agama yang bebas prasangka, rasisme, bias dan
stereotip. Pendidikan agama berwawasan multikultural memberi
pengakuan akan pluralitas, sarana belajar untuk perjumpaan lintas batas,
dan mentransformasi indoktrinasi menuju dialog.
 Pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural akan lebih
mudah dipahami melalui beberapa karakteristik utamanya yaitu
belajar hidup dalam perbedaan, membangun saling percaya
(mutual trust), memelihara saling pengertian (mutual
understanding), menjunjung sikap saling menghargai (mutual
respect), terbuka dalam berpikir, apresiasi dan interdepedensi,
resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan (Baidhawy, 2005, p.
58).

 Dalam situasi konflik, Pendidikan Agama Islam berwawasan


multikultural menawarkan angin segar bagi perdamaian dengan
menyuntikkan semangat dan kekuatan spiritual, sehingga mampu
menjadi sebuah resolusi konflik.
 Pendidikan agama Islam berwawasan multikultural merupakan
gerakan pembaharuan dan inovasi pendidikan agama dalam rangka
menanamkan kesadaran pentingnya hidup bersama dalam
keragaman dan perbedaan agama-agama, dengan spirit kesetaraan
dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami dan
menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan agama-agama,
terjalin dalam suatu relasi dan interdepedensi dalam situasi saling
mendengar dan menerima perbedaan perspektif agama-agama
dalam satu dan lain masalah dengan pikiran terbuka, untuk
menemukan jalan terbaik mengatasi konflik antaragama dan
menciptakan perdamaian melalui sarana pengampunan dan
tindakan nirkekerasan.
 Memasuki era digital, pendidikan agama Islam
berwawasan multikultural perlu untuk tetap konsisten
berpegang kepada nilai-nilai ajaran agama hingga pada
akhirnya menanamkan nilai religiusitas kepada peserta
didik. Oleh karena itu diperlukan pendidik (guru)
dalam proses pembelajaran Pendidikan agama Islam
berwawasan multicultural yang memiliki types of
religiosity (Nuryatno, 2011, p. 424) agar internalisasi
religiusitas pada peserta didik dapat berlangsung
dengan baik.
c. Unsur-unsur Pembelajaran PAI
Berwawasan Multikultural Di Indonesia
a. Guru dalam Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural
b. Materi Ajar dalam Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural
c. Metode dan Strategi dalam Pendidikan Agama Islam Berwawasan
Multikultural
d. Peserta Didik dalam Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural
e. Evaluasi dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan
Multikultural
f. Media Pembelajaran dalam Pendidikan Agama Islam Berwawasan
Multikultural
3.Faktor Pendukung dan Penghambat Pendidikan
Agama Isam Berbasis Multikultural Di Indonesia
 a. Faktor pendukung :
 (1) adanya landasan kultural dan teologis dari al-Qur`an maupun al-Hadits terhadap nilai-nilai multikultural,
yaitu: nilai kejujuran dan tanggungjawab (al-amanah), keadilan (al-adalah), persamaan (al-musâwah),
permusyawaratan dan demokrasi (al-syurâ atau al- musyawarah), nilai solidaritas dan kebersamaan (al-
ukhuwwah), kasih sayang (al- tarâkhim atau al-talathuf), memaafkan (al-’afw), perdamaian (al-shulh atau al-
silm), toleransi (al-tasamûh) dan kontrol sosial (amr al-ma’rûf nahy ‘an al-munkar);
 (2) nilai-nilai multikultural tersebut telah lama dikenal dan diajarkan di lembaga pendidikan Islam, terutama
penjelasannya dalam teks-teks klasik (al-kutub al-mu’tabarâh) yang lazim digunakan di pondok pesantren;
 (3) rakyat Indonesia telah memiliki sejarah yang panjang mengenai pluralisme dan multikulturalisme karena
bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius dan multikultur, dan;
 (4) terbentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai tempat untuk memecahkan kebekuan
komunikasi dan kerjasama antar umat beragama di beberapa daerah menjadi angin segar terhadap pemahaman
agama yang inklusif, toleran dan sejalan dengan semangat pendidikan multikultural.
 B. Factor Penghambat
(1) masih terbangunnya mindset (kerangka berpikir) yang keliru dalam memahami paham atau aliran-aliran
kontemporer terkait dengan ajaran agama. Munculnya fatwa MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) tentang larangan
atau haramnya paham pluralisme sedikit banyak menghambat upaya pencapaian pendidikan multikultural
tersebut;
 (2) masih merebaknya konflik, baik antarumat agama maupun interumat agama itu sendiri serta
fundamantalisme pemikiran yang masih bertahan pada pemikiran lama yang ekslusif fundamentalis dan
berpandangan bahwa kelompok (agama) lain adalah sesat sehingga harus disatukan;
 (3) lebih menonjolnya semangat keikaan dari pada kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
serta kurangnya pengakuan terhadap keberadaan dan hak agama, suku dan golongan lain; (4) belum
tertanamnya kesadaran bahwa menganggap agama, kelompok atau suku yang satu lebih baik dari yang lain
adalah pandangan sempit yang offensive, dan karenanya harus ditinggalkan;
 (5) pengajaran PAI berwawasan multikultural belum terkonsep dengan jelas terkait dengan kurikulum dan
metodenya;
 (6) guru-guru agama Islam di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan agama nyaris kurang
tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme,
multikulturalisme dan dialog antarumat beragama, dan;
 (7) kurangnya pemahaman terhadap multikulturalisme dan pluralisme sebagai desain Tuhan (design of God)
yang harus diamalkan berupa sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi multikulturalisme dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.

Anda mungkin juga menyukai