Anda di halaman 1dari 148

MAKALAH

MASALAH-MASALAH KEPERAWATAN PADA LANSIA


TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN KOMUNITAS III

Disusun oleh :
Kelompok 4 / Kelas 6B
1. Bella Oktaviani P. (201502044)
2. Gita Mega K. (201502053)
3. Henny Mustika (201502054)
4. Ikhsanul Angga F. (201502055)
5. Nickma Mutia M. (201502063)
6. Pricylia Sofyana R. (201502065)
7. Ratih Kharismawati (201502067)
8. Sofyan Adi S. (201502071)
9. Veranika Ayu D. (201502074)

Dosen Pembimbing : Hariyadi, S. Kp., M. Pd

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Sholawat serta salam tercurah
kepada nabi besar Muhammad SAW.
Penulisan makalah ini dapat terwujud berkat bantuan, bimbingan serta
dorongan dari berbagai pihak, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada
kepada Ibu Hariyadi, S. Kp., M. Pd., selaku dosen pembimbing tugas ini. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, keluarga, dan teman-
teman yang yang tidak mungkin disebutkan satu persatu atas doa dan motivasinya.
Semoga amal baiknya mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini tentunya tidak terlepas dari
segala kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun selalu
diharapkan demi kebaikan dan kesempurnaan makalah ini. Meskipun demikian,
penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

Madiun, 21 Maret 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................................. 1

1.2 RUMUSAN MASALAH............................................................................................. 2

1.3 MANFAAT.................................................................................................................. 2

1.4 TUJUAN PENULISAN............................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 POLA METABOLIK NUTRISI.................................................................................. 4

2.2 POLA ELIMINASI ................................................................................................... 28

2.3 POLA AKTIVITAS................................................................................................... 60

2.4 POLA KOGNITIF PERSEPSI .................................................................................. 99

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN........................................................................................................ 143

3.2 SARAN .................................................................................................................... 143

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dewasa ini, nutris menjadi fokus perhatian pada individu lansia pada setiap
tahap kehidupan. Namun, kebutuhan lansia sehat dan lansia lemah berbeda. Pada
lansia terjadi perubahan normal pada pola metabolik dan nutrisi, perbedaan
kebutuhan nutrisi pada setiap lansia, dan hambatan umum lansia dalam
memperoleh nutris yang adekuat dan intervensi yang tepat untuk mengatasi
hambatan tersebut.
Ulkus dekubitus menjadi ancaman utama lansia yang mengalami imobilisasi
akibat masalah kronis yang dapat menimbulkan komplikasi yang mengancam
jiwa. Selain itu beban financial untuk perawatan kesehatan menjadi masalah yang
cukup besar.
Masalah nutrisi menyebabkan sepertiga sampai setengah masalah kesehatan
pada lansia, dan banyak lansia yang hidup mandiri menunjukkan defisiensi
nutrisi. Komplikasi oral dan hygiene oral yang buruk merupakan masalah yang
sering mengiringi proses penuaan, terutama pada lansia yang menderita penyakit
kronis dan mengalami hambatan fungsi.
Masalah eliminasi melibatkan banyak sumber keperawatan yang
mempernagruhi kesejahteraan psikologik, cira tubu, serta status sosial dan disik
banyak Lansia dan sering kali berkaitan dengan keputusan perawatan di rumah
sakit.
Konstipasi, diare, inkontenensia alvi dan urin merupakan masalah utama yang
dihadapi lansia dalam pola eliminasi. Seiring dengan penuaan, pola eliminasi
pada lansia mulai menunjukkan perubahan yang signifikan. Lansia yang
mengalami hambatan mobilitas menunjukkan perilaku eliminasi yang buruk.
Lansia dengan kondisi dengan penyakit kronis juga menambah masalah elimanasi
pada lansia.
Perubahan fisiologik terkait penuaan yang terjadi pada sistem kardiovaskular,
pernapasan, saraf, dan musculoskeletal serta kondisi kesehatan umum yang
mempengaruhi tingkat aktivitas. Lansia rentan terhadap penurunan perfusi
jaringan karena perubahan yang terjadi pada sistem kardiovaskular seiring

1
penuaan. Etiologi umum yang berhubungan dengan gangguan perfusi: ginjal,
otak, hantung-apri, gastrointestinal, dan perfusi jaringan perifer.
Ketidakefektifan pola nafas dan intoleransi aktivitas sangat berkaitan dengan
perubahan pada lansia. Saat lansia mengalami ketidakefektifan pola nafas
diakibatkan karena peningkatan mucus dan penurunan reflex batuk serta
penurunan oto yang membantu batuk. Lansia mengalami intoleransi aktivitas
yang diakibatkan karena adanya suatu penyakit seperti pengeroposan tulang dapat
menimbulkan berbagai kehilangan peran, pendapatan terhadap suatu aktivitas.
Penurunan kognisi bukan merupakan fenomena yang lazim pada penuaan dan
tidak semua area kognisi mengalami penularan. Gangguan dalam kognisi dan
persepsi mempengaruhi banyak lansia dan dapat menyatakan lansia dirawat.
Intervensi yang tepat harus dilakukan sehingga masalah yang terjadi pada lansia
dapat diatasi.
Konfusi akut dan konfusi kronis, nyeri, gangguan persepsi/ sensoris,
pengabaian unilateral dan deficit pengetahuan merupakan masalah yang paling
sering dialami oleh lansia dalam pola kognitif persepsi. Sangat disayangkan,
ketika banyak lansia yang mengalami Alzhemeir, Demensia yang tidak
mendapatkan penanganan yang tepat dan memadai. Sehingga lebih banyak lansia
yang mengalami gangguan pada kognitif/ persepsi
Pengkajian, hasil yang diharapkan, dan perencanaan yang tepat terhadap pola-
pola masalah keperawatan lansia dimungkinkan bisa menangani masalah dasar
yang terjadi. Pemberian motivasi dan penyuluhan sesering mungkin dapat
merangsang lansia untuk lebih dapat secara mandiri melakukan aktivitas seperti
sebelumnya meskipun tidak senormal dahulu.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja masalah keperawatan Lansia pada Pola Metabolik-Nutrisi?
2. Apa saja masalah keperawatan Lansia pada Pola Eliminasi?
3. Apa saja masalah keperawatan Lansia pada Pola Aktivitas/ Latihan?
4. Apa saja masalah keperawatan Lansia pada Pola Kognitif Persepsi?
1.3 MANFAAT
1. Mengetahui dan memahami masalah keperawatan Lansia pada Pola
Metabolik - Nutrisi
2. Mengetahui dan memahami masalah keperawatan Lansia pada Pola Eliminasi

2
3. Mengetahui dan memahami masalah keperawatan Lansia pada Pola Aktivitas
- Latihan
4. Mengetahui dan memahami masalah keperawatan Lansia pada Pola Kognitif
Persepsi
1.4 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan yang dapat kita peroleh dari penulisan ini makalah
Keperawatan Komunitas 3 adalah sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu tugas Keperawatan Komunitas 3 pada Semester 6 di
STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun.
2. Sebagai bahan literatur untuk semua pihak untuk menambah wawasan
penulis dan pembaca, terutama mengenai konsep penyakit dan asuhan
keperawatan.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 POLA METABOLIK NUTRISI


Nutrisi menjadi fokus perhatian pada individu lansia pada setiap tahap
kehidupan namun, kebutuhan lansia sehat dan lemah berbeda. Masalah nutrisi
menyebabkan sepertiga sampai setengah masalah kesehatan pada lansia dan banyak
lansia yang hidup mandiri menunjukkan defisiensi nutrisi. resiko kurang gizi,
penyakit yan dapat mengganggu status nutrisi dan faktor psikososial dan ekonomi
yang dapat mempengaruhi asupan nutrisi. Wakefeid menekankan peran perawat
dalam pengkajian status nutrisi dan riwayat diet. wakefied juga menyampaikan
pandangan kritis terhadap diagnosis NANDA dan membahas hasil yang diharapkan
serta intervensi terkait diagnosis.
Pada lansia sering terjadi gangguan menelan dan komplikasi oral hygiene yang
buruk merupakan masaah yang sering mengiringi proses penuaan, terutama pada
lansia yang menderita penyakit kronis dan mengalami hambatan fungsi. masalah
metabolik akhir yang umum terjadi pada lansia adalah peningkatan resiko perubahan
suhu inti tubuh. suhu tubuh dalam konteks penuaan dan menguraikan resiko
hipertemia dan hipotermia .
A. PERUBAHAN NORMAL SEIRING PENUAAN
Pada umumnya penuaan harus dilakukan pendekatan terhadap promosi
kesehatan dan kesejahteraan berbeda antara lansia sehat dan lansia lemah.
populasi lansia lemah terus bertambah dan jumlah individu yang berusia dari 85
tahun membutuhkan perawatan jangka panjang diperkirakan meningkat hingga 2,5
juta pada tahun 2020. Nutrisi sangatlah penting dalam kehidupan, tetapi
masalahnya nutrisi berbeda atau populasi lansia sehat dan lansia lemah (Gray
Donald,1995). pada lansia sering sekali tidak mengkonsumsi diet seimbang akibat
isolasi sosial, masalah gigi, depresi , konsumsi obat yang mempengaruhi asupan
nutrisi. penurunan asupan kalori dalam jangka panjang membuat lansia resiko
terhadap defisiensi vitamin dan mineral tertentu. Indeks masa tubuh (IMT) kurang
dari 24kg menunjukkan gangguan status nutrisi.
Pada lansia sering terjadi gangguan penglihatan sering kali menghambat
aktivitasnya dan pada lansia terjadi ketidakmampuan untuk makan sendiri dan
pada lansia yang mengalami penurunan status mental , seperti alzaimer ,pikun,
4
hiperaktivitas ,depresi dan anoreksia. pada lansia sering mengkonsumsi obat-
obatan yaitu anthihipertensi, vitamin, obat kardiovaskulert dan analgesik.
penggunaan aspirin yang dijual bebas dapat menyebabkan anemia defisiensi zat
besi .penyalahgunaan laksatif dapat menyebabkan deplesi natrium dan kalium
serta mengakibatkan diare. antasid dapat menginaktivasi tiamin dan menurunkan
kadar asam folat dan zat besi.
Kesimpulan nya nutrisi pada lansia merupakan isu yang sanagt rumit semakin
banyak individu mendekati, melewati dan hidup sehat setelah melewati usia 65
tahun sehingga tenaga kesehatan profesional harus melakukan tindakan promosi
kesehatan dan asuhan dalam bidang nutrisi. banyak sumber yang tersedi bagi
pelayanann kesehatan yang merawat pasiean geriatrik. The nutritional screening
initiative (callagher-alred ,1993) dapat digunakan sebagai instrumen pengkajian
untuk mengidentifikasi lansia yang beresiko terhadap masalah nutrisi. intervensi
dapat dilakukan oleh perawat , hali gizi, dan tenaga kesehatan yang lain untuk
mencegah masalah yang mengakibatkan gizi buruk dan dehidrasi serta jika perlu
membantu populasi lansia membaik.
B. KERUSAKAN INTEGRITAS KULIT : ULKUS DEKUBITUS
Ulkus dekubitus masih sering terjadi pada lansia di dunia , ulkus dekubitus
secara umum didefinisikan sebagai area nekrosis sel setempat yang terjadi
penonjolan tulang yang mengalami penekanan dalam waktu tertentu. Prevalensi
ulkusdekubitus berdasarkan perhitungan cross-sectinal terhadap jumlah kasus
yang muncul pada waktu tertentu adalah 3%-18% pada pasien yang di rawat di
rumah sakit . perkiraan angka prevalensi jangka panjang sebesar 11%-24% . faktor
yang berhubungan yaitu perubahan biofisiologis akibat proses penuaan
meningkatkan resiko cidera jaringan lunak berkurang selain penuuan juga gaya
hidup yang kurang sehat dapat menjadi salah satu faktor adanyaa ulkus dekubitus.
friksi adalah salah satu faktor lain yang dianggap perpengaruh tergadap
pembentukan ulkus dekubitus meskipun secara umum tidak dipandang sebagai
faktor primer dalam etiologi ulkus dekubitus .
Stadium cidera berdasarkan sistem ini adalah:
1. Stadium I: eritema pada kulit yang utuh tidak pucat saat kulit direnggangkan
lesiawal pada ulserasi kulit.
2. Stadium II: kehilangan sebagian ketebalan kulit yang meliputi epidermis
atau dermis
5
3. Stadium III: kehilangan seluruh ketebalan kulit yang melibatkan kerusakan
atau nekrosis jaringan subkutan
4. Stadium IV: kehilangan seluruh ketebalan kulit dengan kerusakan yang luas,
nekrosis jaringan atau kerusakan otot, tulang dan struktur penyokong
Perbandingan faktor yang berhubungan /etiologi dan batasan
karateristik untuk tiga diagnosis keperawatan yang berhubungan dengan
ulkus dekubitus .
Diagnosa
Etiologi Batasan Karateristik
Keperawatan
Kerusakan Integritas Eksternal (lingkungan) hipertermia atau Kerusakan permukaan
Kulit hipotermia, faktor mekanis. (tekanan kulit , kerusakn lapisan
pararel. restrain). kulit dan invasi struktur
Internal : perubahan nutrisi, status tubuh
metabolik , gangguan pigmentasi
Gangguan Integritas Gangguan sirkulasi status nutrisi Kerusakan atau
Jaringan kurang/lebih dari kebutuhan , defisit
kehancuran jaringan
pengetahuan, habatan mobilitas fisik
(kornea, membran mukosa
,integumen dan subkutan)
Kerusakan Integritas Tekanan X waktu : tekanan paralel: Sebagian ketebalan
Kulit: Ulkus friksi seluruh ketebalan
Dekubitus
1. Hasil Yang Diharapkan
Tubuh berespons terhadap cedera jaringan dengan proses perbaikan serial
yang ditandai dengan tiga fase : inflamasi, poliferasi dan remodelling.
Fase inflamasi penyembuhan ditandai dengan berbagai proses seluler yang
dimulai dengan respons terhadap cedera jaringan. Gangguan seluler dan vaskular
yang menyertai cedera mengakibatkan pajanan darah terhadap kolagen, yang
mengaktivasi faktor koagulasi dan menyebabkan agregasi trombosit
sertapembentukan bekuan darah. (Clark, 1988)
Fase poliferasi penyembuhan tupang tindih dengan fase inflamasi dan
berperan mendeposit jaringan ikatdan pertautan silang kolagen. Fibroblas
memperbanyak diri dan secara aktif menyintesis kolagen, protein esensial jaringan
ikat. Saat luka matur dan sintetis tulang berkurang, saluran veskuler baru
menyusut. Luka mengalami transformasi dari jaringan yang dipenuhi sel dan kaya
akan kapiler menjadi jaringan parut tanpa sel yang kaya akan berkas kolagen dan
relatif avaskuler (goodsoon&hunt, 1980).

6
Pada fase remodelling, fase ini akan berlangsung selama bertahun-tahun,
neurovaskularisasi jaringan granulasi mengalami retraksi dan jaringan parut
berwarna dari merah tua menjadi putih keperakan. Ketebalan jatingan parut
berkurang dan mencapai kuat tegangan, yag mencapai maksimum 80% kekuatan
jaringan normal.
2. Intervensi Keperawatan
Diagnosis
Hasil Yang Diharapkan Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Kerusakan Penyembuhan luka : sekunder Perawatan ulkus
Integritas Kulit: indikator dekubitus
Ulkus Dekubitus Epitelisasi Manajemen tekanan
Batasan Resolusi drainase serosa Irigasi luka
Karateristik : Resolusi drainase sanguinosa Penyuluhan : individu
Ulkus dekubitus Resolusi drainase serosanguinosa Penyuluhan :
sebagian ketebalan Resolusi eritema kulit sekitar prosedur/terapi
kulit. Resolusi edema disekitar luka Penyuluhan :
Resolusi kulit sekiar, yang abnormal keterampilan psikomotor
Resolusi kulit yang melepuh Manajemen nutrisi
Resolusi kulit yang mengalami maserasi Terapi nutrisi
Resolusi ukuran luka Konseling nutrisi
Pengurangan area luka
Penyembuhan luka : sekunder
Ulkus dekubitus Indikator
seluruh ketebalan Granulasi Perawatan ulkus
kulit Epitelisasi dekubitus
Resolusi drainase sanguinosa Manajemen tekanan
Resolusi drainase seronguinosa Irigasi luka
Resolusi eritema kulit sekitar Penyuluhan : individu
Resolusi edema di sekitar luka Penyuluhan :
Resolusi kulit sekitar, yang abnormal prosedur/terapi
Resolusi kulit yang mengalami maserasi Penyuluhan : ketrampilan
Resolusi nekrosis psikomotor
Resolusi kulit yang mengelupas Manajemen nutrisi
Resolusi penerowongan kulit Terapi nutrisi
Resolusi kerusakn kulit Konseling nutrisi
Resolusi pembentukan saluran sinus
Resolusi luka
Resolusi ukuran luka
Pengurangan area lu
Intervensi keperawatan yang dilakukan
untuk ulkus ka

7
a. Melakukan debridement dan membersihkan luka
Jaringan yang mati yang ada pada luka menjadi medium kultur untuk
pertumbuhan bakteri, menunjukkan bahwa bakteri anaerob ditemukan dalam
jumlah besar di jaringan nekrotik. Jika jaringan nekrotik dibersihkan maka
organisme anaerob berkurang drastis.
Empat metode debridement yang digunakan untuk mengangkat jaringan
mati yang melekat pada luka adalah : debridemen tajam,mekanis, kimia.
Debridement tajam meliputi penggunaan skalpel atau gunting untuk
megangkat jaringan nekrotik. Debridement mekanis menggunakan balutan
kassa basah kering untuk mengangkat jaringan mati secara fisik. Debridemen
kimia dilakukan menggunakan agen enzim dengan sasaran jenis nekrotik
tertentu,seperti protein, fibrin, dan kolagen..
b. Menciptakan lingkungan luka yang lembab
Lingkungan luka yang lembab diketahui dapat meningkatkan
reepitelisasi dan penyembuhan. Memajankan luka terhadap udara dalam waktu
yang lama membantu permukaan luka menjadi kering dan membentuk
keropeng.
c. Mengendalikan jumlah bakteri
Penelitian kuantitatif terhadap pasien ulkus diabetikus menyimpulkan
bahwa terdapat hubungan langsung antara jumlah bakteri dan penyembuhan
luka. Bakteri adalah sel aktif yang mengkonsumsi nutrien dan menghasilkan
zat toksik. Agar terjadi penyembuhan luka yang optimum bakteri ini harus
dikendalika dan jumlahhnya harus dikurangi.
d. Mencegah cedera lebih lanjut
Selain intervensi untuk meningkatkan proses biologis normal
penyembuhan luka, pembebasan tekan pada ulkus dapat mendukung
penyembuhan. Tanpa menghilangkan etiologi utama, semua intervensi lain
akan sia sia. Pasien ulkus dekubitus harus diubah posisi sedemikian rupa
sehingga enghindari semua tekanan eksternal pada ulkus. Jika ulkus terdapat
di area sakrum pasien tidak boleh duduk sampai ulkus sembuh. Berbagai
pelindung seperti : kasur, tempat tidur untuk mengurangi tekanan pada area
penonjolan tulang.

8
C. KERUSAKAN INTEGRITAS KULIT: KULIT KERING
1. Definisi
Perawatan integumen tercangkup dalam area praktik keperawatan sejak
masa Nigjtingale(1946)-Nighttingale mendefinisikan perawatan kulit
sebagai"kebersihan personal", yang menunjukkan bahwa mandi yang ideal
mencngkup penggunaan sabun, penggosokan tubuh, dan penggunaan banyak
air bersih yang diabsorbsi kulit
2. Prevalensi
Kulit kering merupakan masalah pada 59% hingga 85% individu
lansia(Beauregard & Gilchrest, 1987:Eliopoulos,1998:Franrz & Kinney, 1986:
Tindall & Smith, 1963). Lebih dari 85% pruritas pada lansia berkaitan dengan
kulit kering(Herman & Gilchrest,1989).
3. Etiologi
a. Kekurangan air, bukan kekurangan minyak kulit
4. Faktor Resiko
a. Eksternal: pajanan matahari yang berlebihan, sabun, radiasi, kurang
perlembapan dan musim dingin.
b. Internal: obat, dehidrasi, stress, proses penyakit seperti DM, penyakit
hati, hipotiroidisme, dan keganasan.
5. Intervensi Keperawatan
a. Mandi merupakan salah satu intervensi dalam NIC edisi ke 3 yaiti
membersihkan tubuh untuk tujuan relaksasi,kebersihan dan penyembuhan,
tetapi juga penyembuhan.
b. Gunakan sabun yang mengandung banyak lemak untuk membersihkan.
c. Gunakan suhu air 32 sampai 40c
d. Rendam tubuh dengan kedalaman air setinggi dada sementara membasuh
seluruh tubuh dengan air atau semprot seluruh bagian tubuh menggunakan
shower selama 10 menit
e. Oleskan minyaak mineral seluruh tubuh
f. Gunakan linen yang benar benar bersih dan detergen dan dicucui tanpa
menggunakan agen antistatik.
g. Kenakan pakaian berbahan katun.

9
D. PERUBAHAN NUTRISI: KURANG DARI KEBUTUHAN TUBUH
Ilmu pengetahuan tentang nutrisi berhubungan dengan kesehatan,
kesejahteraan,serta penyakit pencernaan, absorpsi dan penggunaan makanan dan
zat gizi(Ebersole & Hess,1998: Karkeck & Worthington-Robert, 1993). Survei
National Health and Nutrition Examination survey (NHANES III) melibatkan
individu berusia lebih dari 74 tahun tersebut untuk pertama kalinya dalam sejarah
survei tersebut. (Marwick,1997).
Temuan dari NHANES III bagi Lansia adalah
a. Median asupan kalori harian di bawah angka yang direkomendasikan
Asupan lemak melebihi batas yang direkomendasikan yaitu 30% kalori
b. Asupan kolesterol di bawah kadar yang direkomendasikan
c. Konsumsi golat dan vitamin B lebih tinggi dari yang direkomendasikan,
tetapi konsumsi kalsium lebih rendah dari yang direkomendasikan.
d. Asupan zat gizi menurun pertambahan usia.
1. Faktor Resiko
a. Penyakit
b. Medikasi
c. Penggunaan dan penyalahgunaan alcohol
d. Masalah kesehatan mulut
e. Hambatan fungsi
Hambatan kemampuan motorik dan penglihatan juga dapat membuat
lansia tidak dapat mengolah makanan. Pada penelitian baru, ditemukan
bahwa 4% individu yang berusia 60 hingga 69 tahun tidak mampu
mengolah makanan mereka atau berjalan-jalan disikitar ruangan; dari
seluruh subjek yang berusia 80 tahun, 23% tidak mampu mengolah
makanan mereka dan 17% tidak mampu berjalan ( Marwick, 1977).
Jumlah individu yang memiliki dan mampu mengendarai mobil berkurang
setiap tahun pada individu yang berusia diatas 65 tahun dan transportasi
umum dapat tidak tersedia.
Gangguan sensorik dapat menimbulkan situasi isolasi sosial.
Penurunan fungsi penglihatan dan pendengara biasa terjadi pada lansia.
Penurunan fungsi penglihatan dan pendengaran jika disertai penurunan
bertahap pada fungsi perasa dan pembau, dapat mengakibatkan penurunan
asupan makanan dan kurang gizi. Lansia hanya dapat mendekteksi dan
10
mengenali rasa dan bau tertentu jika rasa dan bau tersebut lebih kuat.
Berbagai penyakit dan obat yang biasa dikomsumsi lansia yang
memengaruhi indra perasa dan pembau yaitu hipertensi, kanker, gagal
ginjal kronis, diabtes miletus deuretik, agens antiinflamasi, fasodilator,
simpatomimetik dan agens hipoglikemik ( Schiffman 1994).
Fungsi kognitif. Gangguan kognitif dapat menggangu status gizi
dalam berbagai cara termasuk ketidakmampuan memperoleh dan
mengelola makanan, penilain yang buruk terhadap pemilihan makanan
atau tidak makan. Individu yang mengalami dimensia terutama beresiko
mengalami kurang gizi karena mengalami kesulitan dalam membuat
keputusan dan beradaptasi dengan lingkungan yang baru ( contoh saat di
panti wreda). Depresi juga dapat disebabkan penurunan asupan makanan
yang berhubungan dengan kemampuan lansia untuk mengatur, memilih
dan memperoleh zat gizi yang cukup ( Ham, 1994).
Fungsi soesial. Hidup sendiri merupakan faktor resiko penting
terhadap status gizi buruk. lansia yang tinggal sendiri tetap memiliki
banyak pilihan makanan, tetapi cenderung mengomsumsi lebih sedikit
kalori (Davis, Randalls, Forthoter, Lee Margen, 1985).Penelitian Roll 1994
menemukan bahwa pria dan wanita muda makan 50% lebih banyak saat
makan dengan teman-temannya; namun makan dengan orang asing lebih
meningkatkan asupan makanan. Penelitian menyimpulkan bahwa
pemanfaatan sosialisasi sebagai sarana meningktkan asupan nutrisi
bergantung pada jenis interaksi sosial. Pemanfaatan sosialisasi teruta
pengaruh berbagai jenis sosialisasi saat makan harus diuji dengan individu
lansia.
Sensus pada tahun 1990 di Amerika Serikat menemukan bahwa sekitar
25% individu yang berusia lebih dari 60 tahun hidup sendiri (Hime Hogan
& Eggebeen 1996). Sebuah statistik yang cenderung berkaitan dengan
status gizi buruk Munro (1985) menemukan bahwa pria yang berusia 65
hingga 69 tahun hidup mandiri selama rata-rata 9,3 tahun. Wanita dalam
kelompok usia sampai hidup mandiri rata-rata selama 10,6 tahun.
f. Masalah Finansial
Sekitar 20% lansia mengalami keterbatasan asupan nutrisi karena
kemiskinan. Pendapatan total setelah pensiun berkurang 50% dari
11
pendapatan semula dan banyak lansia yang hidup dengan pendapatan pas-
pasan yang tidak dapat mengikuti laju inflasi. Lansia menganggarkan rata-
rata 50% lebih banyak untuk makanan dengan perincian untuk membeli
makanan dalam jumlah yang sedikit makan di restoran dan membeli
makan lezat. Mereka juga terpaksa membeli makanan berkualitas rendah.
Faktor diatas membuat mereka beresiko terhadap kekurangan asupan
makanan. Program pemerintah dan program bantuan komunitas food
stamp, Meals on Wheels, makan bersama dan bantuan berbelanja tersedia
di berbagai komunitas. Walaupun tersedia program tersebut tidak selalu
dimanfaatkan. Tempat tinggal yang kumuh yang merupakan dampak
pendapatan rendah tidak dilengkapi dengan fasilitas penyimpanan
makanan dan tidak memiliki area pngolahan makanan yang adekuat.
Perawatan kesehatan juga dapat dipengaruhi oleh pendapatan rendah
terutama perawatan gigi. Akibatnya lansia menjadi ompong. Tidak mampu
membeli gigi palsu dan tidak mampu merawat gigi palsu dengan baik, jika
lansia tidak dapat mengunyah dengan efektif, diet protein serta buah dan
sayur segar kemungkinan menjadi tidak adekuat.
2. Pengkajian
Beberapa perubahan yang biasanya terjadi sering penuaan seperti
penurunan masa otot tanpa lemak, kulit kering dan rambut rontok dapat
menyerupai tanda kurang gizi; hal ini membuat pengkajian kurang gizi
menantang. Bentuk umum kurang gizi pada lanisa adalah kurang energi
protein (KEP) (Ham, 1994). Tanda-tanda KEP meliputi penurunan berat
badan, kulit kering, pucat, terkelupas dan kehilangan masa otot. Penururnan
albumin serum dapat terjadi akibat KEP jangka panjang (Ebersole & Hess,
1998) . Pengkajian nutrisi harus menjadi komponen integral layanan kesehatan
bagi lansia. Pengkajian status gizi dapat dipersulit oleh perubahan normal yang
terjadi seiring penuaan dan oleh kurangnya standar interpretasi pengukuran.
Pengkajian mencankup penilaian kondisi klinis, asupan diet dan status energi,
antroprometrik dan nilai biokimia.
a. Penilaian kondisi klinis
Pengkajian fisik berfokus pada tanda-tanda yang memgindikasikan
kurang gizi. Terjadinya keilosis (radang bibir) atau stomatitis angular
dapat terjadi akibat defisiensi vit B. Mulut kering dapat menjadi tanda
12
dehidrasi demikian pula perubahan turgur kulit. Lapisan lemak subkutan
yang menipis dan kulit yang kendur merupakan tanda penurunan berat
badan. Memar dan penyembuhan luka yang lama dapat mengindikasikan
status gizi buruk. Edema merupakan tanda hipoproteinemia ( Ham, 1994).
Lansia yang sudah lama mengalami gangguan makan biasanya mudah
merasa kenyang (Ham, 1994) yang dapat membuat asupan makanan
semakin berkurang dan memperburuk masalah kurang gizi yang sedang
dialami.
b. Asupan Nutrisi
National Research Council (1989) menerbitkan Recommended Dietary
Allowance (RDA). RDA menetapkan tingkat minimum asupan zat gizi
penting yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi individu
sehat. Versi terbaru RDA menyediakan informasi yang lebih spesifik
untuk lansia dibandingkan RDA terdahulu. Untuk individu dewasa berusia
lebih dari 50 tahun dengan aktivitas ringan smapai sedang 2300 kalori
direkomendasikan pria dan 1900 kalori direkomendasikan untuk wnaita.
Variasi normal 20% berterima sebagaimana pada individu dewasa muda.
Kebutuhan untuk individu berusia lebih dari 75 tahun cenderung lebih
sedkit karena penyusutan ukuran tubuh penggunaan energi residu dan
aktivitas. Hal ini menunjukan bahwa seiring penuaan, makanan yang
diberikan harus lebih berkualitas untuk memenuhi kebutuhan zat gizi.
c. Pengukuran Antropometrik
Saat ini, tersidia beberapa indeks tinggi badan dan berat badan
termasuk IMT (BB [kg]/ TB2[m]) dan rasio pinggang terhadap pinggul.
IMT rendah merupakan indikator sttaus gizi buurk. Individu berusia 65
tahun keatas diharapkan memiliki IMT 24 hingga 29. IMT kurang dari 24
merupakan tanda penting kurang gizi, sedangkan IMT lebih dari 27
merupakan risiko utama untuk obesitas (Ham, 1994). Namun, rasio
pinggang terhadap pinggul dapat menjadi prediktor mortalitas yang lebih
sensitif pada wanita. Wanita yang berisiko paling tinggi terhadap
mortalitas adalah wanita yang memiliki IMT rendah, tetapi rasio pinggang
terhadap pinggul tinggi. Pola ini sma pada wanita perokok maupun
nonperokok (Folsom et al., 1993)

13
d. Nilai laboratorium dan nilai biokimia
Uji laboratorium yang sering dilakukan dalam pengkajian nutrisi
mencakup albumin seum, kapasitas pengikat zat besi total, transferin
serum, hitung limfosit dan kreatin urine 24 jam.
e. Instrumen pengkajian nutrisi
Hasil pengkajian menggunakan MNA menunjukan status gizi lansia
yaiyu: (1) gizi baik atau adekuat, (2) ambangan atau berisiko terhadap
kurang gizi, atau (3) gizi buruk. MNA merupakan pengkajian singkat
yang dapat dilakukan dalam 20 menit atau kurang dan mencakup
pengukuran antropometri sertaserta pertanyaan seputar gaya hidup,
medikasi, mobilitas, asupan makanan, otonomi pemberian makanan, dan
persepsi tentang kesehatan.
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh,
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
4. Intervensi Keperawatan
a. Peningkatan Sosial
Perbaikan ruangan makan dan sosialisasi pada waktu makan dapat
meningkatkan asupan nutrisi. Membuat ruang makan menjadi lebih indah
dan menyenangkan dapat meningkatkan keinginan individu untuk makan
(Ham, 1994:;Irwin 1987).
b. Pendidikan Kesehatan Tentang Nutrisi
Upaya harus diarahkan untuk membantu individu mengganti kebiasaan
makan yang buruk dengan kebiasaan makan yang konstruktif. Pendidikan
kesehatan juga harus meliputi aktivitas dan latihan fisik untuk
membangkitkan selera makan.
c. Terapi Nutrisi
Terapi nutrisi dapat terjadi pada beberapa tingkat, termasuk (1)
modifikasi kandungan dan densitas gizi, (2) modifikasi konsistensi dan
penggunaan suplemen nutrisi, (3) pemberian makan enteral dan (4)
pemberian makanan parenteral (Nutrition Screening Initiative, 1992).
Mendorong penggantian makanan bergizi rendah seperti buncis, kentang,
atau roti tawar dengan makanan kaya nutrisi seperti brokoli, ubi dan roti
gandung yang telah diperkaya; mencoba makan dalam porsi kecil 6 kali
14
sehaari, bukan makan 2 atau 3 kali sehari dalam makan porsi besar; atau
menambahkan suplemen vitamin dan mineral. Cataldi-Betcher, Seltze,
Slocumn, Jone (1984) menemukan tiga jenis komplikasi pada pasien yang
mendapat makanan enteral; 6,2 % mengalami komplikasi gastrointestinal
termasuk diare dan pengosongan lambung yang tidak adekuat, 3,5%
mengalami kompliksi mekanis dan 2% mengalami komplikasi metabolik
termasuk ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (Cataldi-Betcher, Seltze,
Slocumn,Jone 1984).
E. GANGGUAN MENELAN
Gangguan menelan atau disfagia adalah ketidaknyamanan atau kesulitan
menelan. Jika tidak di kelola dengan baik, gangguan menelan dapat
mengakibatkan masalah yang lebih serius, seperti pneumonia aspirasi,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan kurang gizi. Karena makan adalah
bagian penting kehidupan normal sehari-hari, pasien sulit menerima bahwa
sesuatu yang menyeriangkan dapat mengancam jiwa.
Hasil jangka panjang manajemen disfagia adalah mengembalikan fungsi
normal pasien. Namun, pada populasi geriatrik, tujuan ini tidak selalu realistis
karena berbagai masalah medis dan masalah keperawatan kronis yang mereka
alami. Diagnosis gangguan menelan dapat mencangkup gangguan kognitif dan
fisik, sehingga pendidikan kesehatan pasien sulit dilakukan. Oleh, karena itu
penting bagi keluarga diikutsertakan dalam rencana keperawatan, sehingga
mereka memahami pentingnya rencana perawatan dan pengendalian resiko.
Diagnosis keperawatan Gangguan Menelan, yang disetujui dan didefinisikan
oleh NANDA sebagai “fungsi mekanisme menelan abnormal yang dihubungkan
dengan defisit fungsi atau struktur mulut, faring, atau esofagus” (NANDA, 1999,
hlm.98), sangat luas dan mencakup semua tahap menelan (Kotak 14-1). Bab ini
mencantumkan diagnosis berbeda untuk setiap tahap menelan dan
mendeskripsikan tanda dan gejala yang spesifik pada setiap tahap. Penegakan
diagnosis berdasarkan setiap tahap ini membantu menyusu rencana asuhan
keperawatan lansia yang mengalami gangguan menelan.
Tahap akhir proses menelan adalah tahap esofagus. Tahap ini bermula ketika
laring turun, gelombang peristaltic primer mendorong bolus ke sfingter esofagus
bawah, yang mengakibatkan kontraksi otot krikofaring untuk berjaga-jaga bila
sewaktu-waktu terjadi refluks. Jika gelombang peristaltik pertama tidak
15
menuntaskan proses tersebut, gelombang yang lebih kuat dan bertubi-tubi akan
menggerakan bolus ke dalam lambung (Hanak, 1992). Disfagia esofagus
merupakan gangguan yang sering terjadi pada lansia.
Beberapa jenis disfagia dibahas dalam berbagai literatur, termasuk disfagia
mekanis, disfagia paralitik, dan disfagia fungsional (Kadas , 1983: Martin, Holt, &
Hicks, 1985). Pasien disfagia mekanis mengalami gangguan menelan karena
kehilangan panduan sensori struktur yang diperlukan untuk melengkapi proses
tersebut; kondisi ini biasanya menyertai kerusakan atau patologi perubahan fisik
mekanisme menelan, biasanya menyerang tahap mulut (Kadas, 1983: Martin et
al,.1985).
Disfagia pseudobulbarbiasanya terjadi karena kerusakan neuron motor atas,
terutama pada hemisfer kanan. Pasien disfagia pseudobulbardapat mengalami
gangguan kendali korteks terhadap proses menelan. Kondisi ini biasanya
menyerang tahap mulut dan faring ( Kadas, 1983: Martin et al,.1985).
1. Faktor Yang Berhubungan/ Etiologi
Gangguan pada tahap mulut dapat terjadi secara neurologis atau mekanis.
Masalah neurologis pada tahap ini menganggu proses menggiling dan
membentuk makanan serta persiapan bolus ke tahap selanjutnya. Hubungan
era tantara saraf kranial V,VII,IX,X, dan XII, yang digunakan pada tahap
mulut, dapat menimbulkan generalisasi tertentu. Mulut dapat tidak menutup
rapat dan terjadi penurunan sensasi mulut atau wajah. Penurunan tegangan
bukaldapat menyebabkan makanan terakumulasi di pipi. Penurunan
pergerakan mandiboladapat menyebabkan pengunyahan makanan tidak
edukasi. Tersedak atau batuk dapat disebabkan oleh penurunan gerakan lidah
yang mengganggu pembentukan bolus. Masalah lain yang sering terjadi pada
lansia adalah kehilangan atau penurunan sensasi termasuk rasa, suhu,
sentuhan,dan tekstur (Cherney & O’Neill, 1986: Dobie, 1978): kehilangan
sensasi tersebut dapat mengganggu proses menelan. Secara umum, pasien
yang telah mengalami pembedahan mulut tertentu dapat mengalami kesulitan
mengunyah dan membentuk serta mentranspor bolus.
2. Pengkajian
Gangguan menelan yang tidak terkompensasi dapat terjadi dalam berbagai
bentuk karena berbagai etiologi yang dapat menyerang hamper semua tahap
proses menelan. Dalam tahap antisipasi, lansia dapat merasa takut untuk
16
menelan atau tidak tertarik pada makanan. Pasien lansia dapat membutuhkan
stimulasi yang terus menerus untuk mempertahankan keadekuatan
kewaspadaan selama makan ataupun stimulasi lembut untuk menghindari
distraksi saat makan (Cherney& O’Neill, 1986).
Pengkajian proses fisik proses menelan, batuk, dan reflex muntah penting
dilakukan (Price& Dilorio, 1990). Tanda peringatan klasik yang menunjukan
bahwa pasien tersedak adalah batuk protektif. Namun,pasien tidak selalu batuk
walaupun mengalami aspirasi, karena adanya penurunan inervasike mulut dan
esofagus. Aspirasi tersembunyi ini dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.
Pasien yang mengaspirasi lebih dari 10% bolus kemungkinan mengalami
pneumonia aspirasi. Persentasi aspirasi dapat di perkirakan melalui video
fluoroskopi. Pasien yang mengalami aspirasi dapat memiliki frekuensi jantung
dan cepat menjadi kelabu. Megap-megap, tersedak, suara parau, dan suara
deguk di dada, merupakan indicator lain yang harus di pantau oleh perawat
atau tenaga kesehatan lain(Groher, 1984). Aspirasi paru kronis diindikasikan
dengan peningkatan suhu tubuh dan suara paru tambahan (Groher,1984).
Status mental juga harus dievaluasi selama pengkajian dan perawatan
(Lihat Bab 29). Gangguan memori jangka pendek, perhatian mudah teralih,dan
percakapan yang tidak sesuai, dapat mengindikasikan gangguan perseptual
atau hambatan perencanaan motoric, yang dapat mengganggu perhatian dan
perencanaan yang pertu dibuat untuk proses menelan dan makan (Groher,
1984). Gangguan pada tahap faring proses menelan dapat dibuktikan dengan
suara napas “deguk”, penurunan atau ketiadaan sensasi faring, disastria, dan
pelambatan atau ketiadaan reflex muntah.
Pengkajian gangguan menelan diawali dengan mengumpulkan riwayat
masalah saat ini dan jenis kerusakan neurologis. Jika pasien tidak mampu
berkomunikasi, perawat harus mengkaji riwayat dari rekam medis dan/atau
anggota keluarga. Jika memungkinkan, pasien harus dimintai keterangan.
3. Hasil Yang Diharapkan
Hasil NOC yang paling penting bagi individu yang didiagnosis Gangguan
Menelan atau disfagia adalah Status Gizi, Pengendalian Resiko, dan Perawatan
Diri: Makan (Lowa Outcomes Project, 2000). Hasil NOC lain, yaitu
Konsentrasi, Kesehatan Mulut, Kemampuan Kognitif, dan Tingkat
Kenyamanan.
17
Pengendalian resiko dapat dicapai saat lansia mengerti dan menerima
fakta bahwa proses makan dapat beresiko. Seperti yang telah didiskusikan
sebelumnya, demonstrasi strategi yang konsisten untuk mencegah aspirasi dan
tersedak optimal untuk mencegah aspirasi (Hanak, 1992) (lihat Tabel 14/2).
Hasil Kesehatan Mulut dapat terima jika indicator tersebut di penuhi pada
tingkat gangguan ringan atau tidak terdapat gangguan (lihat Tabel 14/2).
Hasil NOC Perawatan Diri: Makan bagi pasien yang mengalami gangguan
pada tahap mulut-faring dapat tercapai jika pasien mampu makan melalui
mulut tanpa mengalami aspirasi. Lansia mungkin tidak mampu menyiapkan
makanan tetapi harus mampu memanipulasi makanan di mulut, mengunyah
makanan, dan menelan makanan secara mandiri untuk mencapai hasil
Perawatan Diri: Makan (Lowa Outcomes Project, 2000). Indikator lain (lihat
Tabel 14/2) dapat tercapai dengan bantuan orang lain, lansia harus mampu
mengikuti tahap menelan dengan benar agar asupan oral aman (Hanak, 1992).
Untuk mencapai hasil Konsentrasi, pasien perlu sering atau secara
konsisten mendemonstrasikan bahwa pasien dapat mempertahankan perhatian
dan memberi respons yang sesuai terhadap isyarat taktil, auditori, dan
olfaktori. Lansia yang tidak dapat memenuhi indicator pada tingkat beresiko
terhadap kurang gizi (Tabel 14/2).
4. Intervensi Keperawatan
Beberapa strategi umum dapat dilakukan untuk memperbaiki proses
menelan. Lansia harus mampu mempertahankan kesejajaran tubuh. Lansia
harus duduk tegak dengan pinggul dan lutut membentuk sudut 90 derajat.
Kepala harus sedikit fleksi untuk melindungi jalan napas. Jika digunakan
untuk mengganjal kepala, bantal harus menyangga hingga ke bahu.
Meletakkan bantal hanya di belakang kepala membuat posisi pasien tidak tepat
dapat menyebabkan reflex abnormal (Groher, 1984; Loustau & Lee, 1985).
Jika memungkinkan, pemberian makan kepada lansia seharusnya tidak di
lakukan di tempat tidur. Jika lansia tidak dapat duduk di kursi, bagian kepala
tempat tidur harus dinaikan setinggi mungkin.
Perawat tidak boleh tergesa-gesa dan harus tetap tenang karena situasi
makan dapat sangat menakutkan bagi pasien lansia (Cole-Arvin, Notich,
Underrhill,1994). Kecuali dikontradisikan perawat harus duduk atau berdiri
tepat di depan pasien saat membantu pasien makan.
18
Program penanganan disfagia biasanya diimplementasikan dalam 3
sampai 4 bulan. Dalam selang waktu tersebut, pasien harus mampu
memperoleh kalori per oral. Jika perbaikan tidak terjadi dalam selang waktu
ini, penanganan disfagia harus dihentikan dan dilakukan metode alternatif.
Penanganan dianggap berhasil jika bolus yang teraspirasi kurang dari 10% dan
tahap mulut faring berlangsung kurang dari 5 detik.
Berbagai intervensi keperawatan khusus dalam NIC (Lowa Interventions
Project, 2000) dapat digunakan untuk mengatasi Gangguan Menelan. Namun,
perawat harus memahami tahap proses menelan yang terganggu untuk memilih
intervensi yang tepat. Oleh karena itu, intervensi khusus di diskhusikan pada
setiap tahap menelan dan diilustrasikan melalui studi kasus.
a. Intervensi Untuk Gangguan Fase Antisipasi
Beberapa faktor dapat menyebabkan ganggguan fase antisipasi. untuk
mencapai keberhasilan pemberian makan, perawat harus
mempertimbangkan status mental pasien. Pasien yang lelah, bingung atau
letargi tidak dapat menciptakan keberhasilan secara pemberian makan. Sesi
terapi pemberian makan sebaiknya dilakukan beberapa saat sebelum waktu
makan pasien, tetapi tidak setelah pemeriksaan sinar X atau terapi lain yang
melelahkan. Proses makan membutuhkan konsentrasi sehingga lansia harus
sepenuhnya sadar dan segar saat makan (Groher, 1984). Makanan
seharusnya dikonsumsi dalam suasana yang menyenangkan, tanpa stimulasi
berlebihan (Cole-Arvin et all., 1994). Saat pasien pertama kali memulai
latihan menelan, pemberian makan harus dilaksanakan dengan satu perawat
menangani satu pasien, di dekat peralatan persiapan isapan guna berjaga-
jaga jika terjadi tersedak. pasien mengalami kemajuan dan perawat
merasakan nyaman dengan kemampuan pasien, lansia dapat makan
Bersama dalam kelompok. Di beberapa tatanan, ahli patologi wicara
memulai proses pemberian makan.
Intervensi:
1) Pengaturan posisi
2) Manajemen lingkungan
3) Manajemen nutrisi
4) Stimulasi kognitif

19
b. Intervensi untuk Gangguan Fase Faring
Aspirasi adalah masalah utama pada fase faring. Sekitar 40.000
kematian per tahun terjadi karena pneumonia aspirasi pascastroke (Lundy et
al, 1999). Biasanya, perawat tidak diperkenankan memberikan makanan
cair pada lansia yang mengalami aspirasi karena waktu transit makanan dari
bibir ke esofagus terlalu cepat dan cairan sudah mengalir ke belakang lidah
sebelum proses menelan dimulai. Berbagai teknik dapat dilakukan untuk
mengentalkan makanan. Menambah gelatin ke dalam jus atau menambah
susu bubuk ke dalam produk susu dan sup krim merupakan dua metode
yang berhasil hampir di semua tatanan, tanpa biaya tambahan.
Untuk menurunkan resiko aspirasi, perawat dapat mengajarkan pasien
menelan secara supraglotis. Tekni ini sederhana, pasien diinstruksikan
untuk menyeruput cairan, menahan napas,` menempelkan dagu ke dada,
dan menelan. Kemudian, pasien diminta mengangkat dagu dan batuk dua
kali untuk membersihkan tenggorokan. Menundukkan kepala menyebabkan
laring dan trakea menutup, sehingga dapat mencegah aspirasi.
Selain aspirasi, lansia yang mengalami disfagia juga dapat mengalami
stasis dan residu mulut faring. Stasis terjadi jika makanan tetap berada di
esofagus dan faring, sedangkan residu terjadi ketika makanan melekat pada
sisi faring. Perawat dapat mengantisipasi bahwa pasien lansia yang diberi
makanan kental dalam waktu lama merasa bosen terhadap konsistensi dan
rasa makanan tersebut. Jika berterima bagi pasien, makanan ini dapat diberi
bumbu dengan menambah kecap, saus spageti, atau bumbu lain. Perawat
harus menghindari pemeberian makanan yang lengket, seperti selai kacang
yang dapat melekat pada palatum dan menyebabkan tersedak atau muntah.
Setelah makan, posisi lansia dipertahankan tetap tegak selama
sedikitnya 45 sampai 60 menit untuk mencegah refluks, menurunkan risiko
aspirasi, dan mendapat perawatan mulut yang memadai (Price & Dilorio,
1990).
Intervensi:
1) Terapi menelan
2) Kewaspadaan menelan
3) Pengaturan posisi
4) Manajamen nutrisi dan mempertahankan kesehatan mulut
20
c. Intervensi Untuk Gangguan Fase Esofagus
Lansia yang memiliki suara parau, bau napas tak sedap, lidah kotor,
nyeri ulu hati saat makan, sering sendawa, dan peningkatan masalah gigi
dapat mengalami refluks esofagus. Untuk memperbaiki situasi, perawat
dapat menginstruksikan lansia untuk tidak berbaring setelah makan karena
resiko refluks lebih tinggi saat berbaring. Anjurkan untuk makan makanan
dalam porsi yang lebih kecil dan minum 60 sampai 90 ml minuman kola
berkarbonasi saat makan juga dapat membantu. Karbon dioksida yang
terkandung dalam kola menyebabkan tekanan di sfingter esofagus bawah,
yang menahan makanan di lambung.
Selain itu, dianjurkan untuk makan makanan tinggi protein dan
menaikkan kepala tempat tidur setinggi 15 cm. Karena lansia yang
mengalami refluks esofagus rentan terhadap esofagitis. Perawata harus
waspada terhadap masalah ini dan merencanakan perujukan yang tepat ke
dokter atau perawat praktisi untuk mendapat terapi obat.
Intervensi:
1) Terapi Menelan
2) Mempertahankan Kesehatan Mulut
3) Manajemen Nutrisi
F. KERUSAKAN MEMBARAN MUKOSA ORAL
1. Pendahuluan
a. Gigi (Geligi dan Jaringan Padat)
Pada lansia perubahan yang paling umum terjadi adalah penurunan
jumlah gigi. Penurunan kandungan air pada email gigi akibat penuaan
mungkin menjadi pemicu terjadinya perapuhann dentis gigi. (Haugen,
1992)
b. Mukosa Mulut (Jaringan Lunak)
Penggantian serat otot dengan jaringan ikat yang kendur dan lunak
menyebabkan kehilangan pegas jaringan dan kerapatan bentuk jaringan
c. Lidah
Penurunan sensasi rasa pada lansia disebabkan terjadi karena jumlah
reseptor kecap menurun seiring dengan penuaan

21
d. Kelenjar Saliva
Pada lansia terjadi penurunan sekresi saliva yang mengakibatkan
keluhan mulut kering sehingga menimbulkan gangguan makan,
komunikasi, dan interaksi sosial
2. Pengkajian
a. Pengkajian rongga mulut (jumlah gigi yang tanggal, bagian gigi yang
hilang, tepi karang gigi, dan karies)
b. Kebersihan mulut
c. Pemilihan jenis makanan
d. Adanya lesi berdarah/tidak
e. Adanya infeksi jamur/ tidak
3. Diagnosa Keperawatan
“Kondisi Kerusakan Jaringan Lunak dan Jaringan Padat Rongga Mulut”
4. Hasil Yang Diharapkan
a. Kesehatan Mulut:
1) Mengunyah tanpa nyeri
2) Kelembapan lidah dan mukosa mulut
3) Bau napas
4) Kebersihan gigi dan gusi
5) Warna membrane mukosa
Penyertaan indikator nyeri sangat penting karena setiap kerusakan
mukosa mulut atau kerusakan gigi dapat menyebabkan nyeri. Penentuan
pencapaian hasil kesehatan mulut perlu dilakukan melalui pengkajian
ulang terhadap parameter yang sama yang di evakuasi pada pengkajian
keperawatan awal.
5. Intervensi Keperawatan
Higiene mulut harus dilakukan setiap hari untuk mencegah gingivitis
dan perdarahan gusi. Tingkat intervensi kesehatan mulut bergantung pada
kemampuan kognitif, kemampuan neuromuscular, pergerakan skelektal,
keadekuatan penglihatan, dan motivasi lansia.
Rencana keperawatan yang paling sering digunakan adalah:
1. Pemeliharaan Kesehatan Mulut
2. Pengembalian Kesehatan Mulut
3. Promosi Kesehatan Mulut
22
Tindakan pemantauan dapat dikelompokkan ke dalam intervensi
pemantauan mulut. Konsolidasi dan pengelompokan tindakan pemantauan
mulut mempermudah akses terhadap parameter pengkajian mulut, tanpa
memerhatikan tujuan, apakah untuk meningkatkan, memelihara, atau
mengembalikan kesehatan mulut. Tindakan keperawatan lain dapat digabung
ke dalam intervensi kedua, yaitu perawatan hygiene mulut.
Lansia yang mengalami gusi berdarah membutuhkan stimulasi gusi
menggunakan sikat gigi lembut untuk menghilangkan plak gigi yang
menyebabkan perdarahan. Menghindari menyikat area yang berdarah hanya
akan memperparah gingivitis. Alat bantu kimia, seperi pasta gigi berfluorida
merupakan pilihan utama untuk profilaksi karies. Pengunaan klorheksida pada
obat kumur membantu mengurangi pembentukan plak,tetapi tidak efektif
dalam mencegah karies karena hanya berefek singkat pada tingkat mutan
streptokokus. Obat kumur peroksidase merupakan antimikroba untuk
laktobasilus,ragi,dan beberapa virus. Penambahan hydrogen peroksida pada
pasta gigi dilaukan sebagai upaya meningkatkan kerja antimikroba (Tenovo &
soderling,1992).
Peningkatan aliran saliva sangat penting untuk mempertahankan
kesehatan mulut. Permen karet tanpa gula dan lilin paraffin merupakan
stimulasi yang aman untuk gigi. Air dapat member efek terapeutik
(Wiesenfeld, Stewart,& Mason,1983). Perawatan mulut bagi lansia yang
demensia memerlukan adaptasi terhadap respons yang biasa mereka lakukan
terhadap stimulasi. Lansia tersebut dapat tidak membuka mulut jika ia tidak
memahami perintah verbal. Menepukpipi,menyemtuh bibir, atau member
contoh melalui pembukaan mulut pemberi asuhan, dapat mengisyaratkan
tindakan yang harus dilakukan oleh lansia.
Kesehatan mulut yang buruk dapat berdampak negative terhadap
kualitas hidup. Terbebas dari rasa nyeri yang diderita sangat diharapkan oleh
penghuni panti werda,kerabat mereka,dan pemberi asuhan mereka
(Nordenram, Ronnberg, &Winbald.1994). kemampuan mengunya dn
menikmati makanan dn memiliki napas segr serta bicara normal juga dianggap
penting. Masalah makan dan esestika juga lebih sering dialami oleh lansia
karena kehilangan gigi yang banyak (Gift & Redford 1992). Memfasilitasi

23
mulut yang bersih dan segar dapat menjadi salah satu tindakan keperawatan
yang paling penting.
G. KEKURANGAN VOLUME CAIRAN DEHIDRASI : ISOTONIK,
HIPOTONIK, DAN HIPERTONIK
Istilah dehidrasi menunjukkan penurunan jumlah air tubuh total. Penurunan
yang dimaksud dapat mencakup air yang terdapat paa kompartemen ekstraseluler
dan intraseluler atau hanya dari kompartemen ekstrasluler saja. Efek dehidrasi
tidak hanya mengakibatkan masalah morbiditas bagi mereka yang terkena,tetapi
juga member dampak ekonomi. Dehidrasi termasuk dalam daftar diagnosis rawat
inap yang mendapat jaminan medicare pada tahun 1991 dengan angka 236,2 per
10.000 lansia penerima jaminan tersebut; dehidrasi merupakan diagnosis utama
dengan angka 49,7 per 10.000. dehidrasi meningkatkan mortalitas jika digabung
dengan diagnosis lain ( Werren et al.,1991).
1. Karateristik Kompartemen Cairan
Konsep perpindahan cairan antara kompartemen intraseluler dan
ekstraseluler merupakan dasar untuk memahami efek volume cairan dan
keseimbangan konsentrasi. Air mengalir melalui dinding sek secara
pasif,digerakkan oleh gradient konsentrasi cairan disekitar sel harus
mempertahankan keseimbangan osmotic dengan cairan seluler untuk
mencegah perubahan volume seluler. Untuk mempertahankan keseimbangan
osmotic,air dan zat terlalu bergerak masuk dan atau keluar hanya dengan
perubahan sementara pada konsentrasi masing-masing kompartemen.
Kompartemen ekstraseluler dibagi dalam ruang interstisial (area antarsel)
dan ruang vaskuler. Adanya sel darah merah dan konsentrasi protein yan lebih
tinggimembedakan cairan vaskkuler dengan cairan interstisial. Kedua
kompartemen cairan ini sebenarnya bekerja sebagai sebuah unit dengan
pertukaran cairan dan zat terlarut yang relative tanpa hambatan.
Natrium merupakan elektrolit utama yang berpengaruh terhadap tonisitas
kompartemen cairan ekstraseluler. Glukosa dan urea, jika konsentrasinya
cukup, dapat menambah gradient osmotic.konsentrasi natrium terikat kuat
dengan volume cairan dan harus dipertimbangkan dengan menentukan
intervnsi. Aldosteron menentukan volume cairan tubuh sedangkan ADH
mengendalikan konsentrasi cairan tubuh.

24
2. Pengkajian
Dehidrasi menunjukan karakteristik yang umum tanpa memperhatikan
tonisitas. Salah satunya adalah penurunan berat badan yang cepat, yang secara
langsung mencerminkan penurunan volume cairan. Penurunan berat badan
lebih dari 500g per hari halus ditetapkan sebagai kehilangan volume cairan.
Cairan yang terperangkap mempertahankan berat badan, tetapi tidak dapat
mempertahankan peredaran darah. Volume darah sirkulasi yang
efektifmungkin berkurang, menujukan deplesi volume sementara berat badan
tetap atau naik. Penurunan yang lebih dari 15 mmHg pada tekanan darah
sistolik dan peningkatan frekuensi jantung sebesar 15 kali/menit saat berdiri
menunjukan deplesi volume intravaskuler (Briggs, Sawaya, & Schnerman,
1990)
3. Diagnosa Keperawatan
Kekurangan Volume Cairan adalah kondisi penurunan intrvaskular,
interstisial, dan/atau intraselular pada individu. Kondisi ini mengacu pada
dehidrasi, kehilangan air saja tanpa perubahan natrium.
Risiko Kekurangan Volume Cairan adalah kondisi ketika individu
berisiko mengalami dehidrasi vascular, seluler, atau intraseluler
4. Hasil Yang Diharapkan
Hasil keperawatan yang dibuat berdasarkan perubahan pada tanda dan
gejala. Tanda dan gejala tersebut mengindikasikan bahwa masalah nerangsur
hilang saat masalah surut. Saat perubahan hemodinamik terjadi karena
kehilangan cairan, hasil mencakup peningkatan tekanan darah, penurunan
frekuensi nadi.
Dua hasil yang relevan dengan kekurangan volume cairan adalah
Keseimbangan air di kompartemen intraseluler dan ekstraseluler tubuh, hidrasi
5. Intervensi Keperawatan
1) Pemantauan Elektrolit Dan Cairan
2) Terapi Intravena
3) Manajemen Hipovolemia
4) Manajemen Elektrolit: Hipernatremia
5) Manajemen Elektrolit: Hiponatremia

25
a. Dehidrasi: Isotonik
Kehilangan cairan isotonik menurunkan volume kompartemen cairan
ekstraseluler tetapi tidak menurunkan voleme kompertemen intraseluler.
Jika kehilangan darah terjadi cepat dan cukupo banyak syok dapat terjadi
jika kehilangan terjadi perlahan seperti kehilangan melalui sistem
instenstinal. Badan sebanyak 5% sampai 10% dapat mengakibatkan
takikardi dan hipotensi dan penurunan berat badan sebanyak 10%.
Faktor yang berhubungan/ etiologi: kehilangan cairan vascular 1-2
liter, muntah dan diare, obstruksi usu, peningkatan suhu lingkungan, dan
melakukan aktivitas
Tanda dan gejala: hipotensi ortostatik, takikardia, kelemahan, mulut
kering, dan penurunan turgor kulit
Intervensi Keperawatan: pemberian cairan oral sedikit namun sering,
terapi cairan intravena, pemberian cairan sepanjang hari.
b. Dehidrasi Hipotonik( Hiponatria)
Kehilangan natrium yang lebih banyak dari kehilngan air dan dalam
tubuh menyebabkan kekurangan cairan hiponatremik. Pestana (1985)
menjelaskan bahwa tidak ada mekanisme yang dapat menjelaskan
kehilangan cairan dalam tubuh kehilangan cairan hiponatremik terjadi
ketika kehilangan awal cairan isotonik secar parsial digantikan oleh cairan
hipotonik. Kehilangan cairan isoptonik terutama mengakibatkan kontraksi
volume ekstra seluler. Ginjal berespon terhadap perubahn volume ini
dengan merapsopsi lebih banyak dari air daripada natriun. Akibatnya
resistensi air membuat cairan ekstraseluler lebih encer sehinga terjadi
hiponatremia atau pengencengeran natrium
Faktor yang berhubungan/etiologi: Kehilangan natrium dapat terjadi
akibat terapi diuretik muntah diare kehilangan darah insufusiensi adrenal
atau penyakit aldison dan penyakit ginjal. Penurunal aldesteron akibat
infusiensi adrenal atau hipofisis menyebabkan kehilangan garam
mencangkup penyakit ginjal terminal.nefrosis yang mengkakibatkan
garam,asidosis tubulus ginjal. Penurunan kapasitas ginjal dalam
memekatkan urine yang berarti natrium dan air tidak diabsobsi oleh
tubulus ginjal menyebabkan kekurangan volume cairan dengan
hiponetrimia.
26
Tanda dan gejala: Hiponatremia hipovalemik adalh takikardi dan
hipotensi yang memburuk saat akan berdiri kulit yang buruk juga dapat
menyertai deplesi tersebut. BUN meningkat lebih banyak dari peniingkatan
kreatin serum jika ginjal berfungsi normal natrium urine rendah tetapi
kontraksi produksi lain tinggi namun penyakit ginjal dan obstruksi saluran
kemih persial kronis dapat menyebabkan ekresi urine sistolik dengan
natrium pada kondisi ini peningkatan volume urine dan urine encer
merupakan resikpo bukan indikator depresi volume.
Intervensi Keperawatan: koreksi cepat dengan larutan salin
hipertronik intravena dan pemberian loop diuretic,
c. Dehidrasi: Hipertonik (Hipernatremia)
Penurunan asupan air atau peningkatan kehilangan air relatif terhadap
kehilangan natrium mengakibatkan penurunan jumlah air tubuh total dan
peningkatan konsentrasi natrium.
Faktor yang berhubungan/etiologi: ketidakmampuan fisik untuk
memperoleh air meskipun merasa haus, hilangnya rasa haus
mengakibatkan penurunan volume cairan, penyakit ginjal,
Tanda dan Gejala :Hipotensi yang merupakan indikator utama
dehidrasi isotonik dan hipotonik terjadi lambat dalam proses kehilangan
cairan yang disertai hipertonisitas karena volume cairan ekstraseluler
digantika n cairan intraseluler.Dalam hal ini urin dapat menjadi sedikit dan
berwarna pekat.Sebaliknya,jika berbahan zat terlarut pada ginjal tinggi
dapat terjadi peningkatan haluaran urine.Jika kehilangan cairan tubuh terus
berlanjut,demam,rasa panas,dan kemerahan pada area wajah dan
leher,kehilangan melalui keringat,dan kekeringan membran mukosa terjadi
seiring perubahan hemodinamika.Perubahan kepribadian dapat
berkembang menjadi halusinasi,delirium,dan perilaku manik dan pada
akhirnya timbul konvulsi dan koma.
Intervensi Keperawatan: Intervensi berfokus pada pemberian air
untuk asupan.pemberi asuhan harus memberi cairan di antara waktu makan
kepada lansia yang bergantung.Pemberian makan dengan osmolaritas
tinggi harus disertai pemberian air tambahan.Menjadwalkan prosedur yang
mensyaratkan lansia untuk puasa setelah tengah malam dan pada pagi hari
dapat menurunkan kemungkina defisit air.Peningkatan konsumsi air
27
merupakan terapi yang biasa diberikan pada kasus deplesi volume dengan
hipernatremia.Namun,memeberi larutan dekstrosa 5% per intravena untuk
mengatasi deplesi volume berat dapat menyebabkan edema serebri akibat
perubahan gradien osmotik antara kompartemen intraseluler dan
ekstraseluler setelah metabolisme dekstrosa.Philips et
al.(1984b)mengatakan bahwa terapi awal dengan larutan salin isotonik
bukan hanya dengan air saja dapat mencegah resiko edema
serebri.Pemberian lebih banyak air di banding natrium sambil mencegah
perpindahan cairan ke kompartemen intraseluler harus dilakukan.
H. RISIKO PERUBAHAN SUHU TUBUH
1. Hipotermia
2.2 POLA ELIMINASI
A. Perubahan Normal Seiring Penuaan
Inkontinensia merupakan salah satu masalah perawatan kesehatan yang paling
umum terjadi dan paling sering menyebabkan distres pada lansia.
1. Sistem Perkemihan
Inkontinensia urine tidak selalu terjadi bersamaan dengan penuaan, tetapi
beberapa faktor terkait usia turut menyebabkan perkembangan gangguan ini.
Kapasitas dan kontraktilitas kandung kemih menurun, dan terjadi kehilangan
umum tonus oto dasar perineum, uterus, kandung kemih, sfingter, dan uretra.
Volume urine residu teebukti hanya sedikit meningkat. Sensasi dorongan
berkemih menjadi lebih bervariasi pada lansia, terutama pada mereka yang
menerima obat-obatan yabg mengubah fungsi berkemih atau volume urine.
Perkembangan inkontinensia stres (ketidakkompetenan pintu saluran
keluar kandung kemih) pada wanita sering kali terjadi akibat relaksasi otot
panggul dan atrofi jaringan periuretra akibat defisiensi estrogen, pelahiran, dan
pembedahan sebelumnya. Ikontinensia urine pada lansia pria dapat menjadi
pentunjuk hiperplasia prostat jinak ( BPH ), yang menyerang sekitar 40%
sampai 70% pria berusia 65 tahun ke atas ( Garraway dan Kirby, 1994 ).
Pembesaran kelenjar prostat dapat menyebabkan obstruksi aliran kandung
kemih dan mengakibatkan retensi urine dan arau dribbling. Gangguan gaya
hidup atau lingkungan lansia dapat menyebabkan inkontinensia urine.
Perubahan fungsional pada ginjal yang mengalami penuaan dapat
menyebabkan lansia rentan terhadap stres akibat berbagai penyakit dan obat.
28
2. Sistem Pencernaan
Inkontinensia alvi lebih jarang, tetapi terjadi pada 30% hingga 50% pasien
lansia yang mengalami inkontinensia urine yang sering. Inkontinensia alvi
tercatat lebih sering terjadi pada wanita sekunder akibar perubahan
pascamenopause pada jaringan ikat dan akibat kelemahan otot, cedera saraf,
dan kerusakan sfingter anus karena melahirkan ( Wald, 1994 ). Gangguan
anorektal biasanya terjadi setelah melahirkan, dan gejalanya meningkat seiring
penuaan. Feses keras ( atau skibala ) mengiritasi rektum, mengakibatkan
produksi lendir dan cairan yang bocor di sekitar area inpaksi tersebut. Masalah
konstipasi, penggunaan laksatif, atau perubahan status kognitif, seperti
delirium, juga dapat mengakibatkan inkontinensia alvi.
Beberapa perubahan struktural mengakibatkan perubahan fungsi, saluran
cerna meretensi fungsi fisiologis normal selama proses penuaan. Kelemahan
umum otot dasar panggul, gangguan koordinasi anorektal, dan pelambatan
waktu transit di kolon dapat mengganggu defekasi normal dan mengi duksi
konstipasi ( Wald, 1994 )
3. Menata Laksana Perubahan Eliminasi
Langkah pertama dalam menata laksana perubahan eliminasi adalah
identifikasi semua faktor penyebab yang mungkin. Pengkajian yang cermat
dapat membantu perawat mengidentifikasi penyebab yang dapat dikoreksi
serta mengimplementasi intervensi yang tepat. Pengkajian harus mencakup
evaluasi distensi kandung kemih dan pembesaran prostat pada pria. Pilihan
terapeutik lain meliputi modifikasi diet, agens farmakologik, progran perilaku,
dan pembedahan. Rehabilitasi otot dasar panggul dan pelatihan kandung
kemih merupakan dua tipe utama modifikasi perilaku yang diimplementasikan.
Namun, diperlukan komitmen dari pasien dan perawat demi keberhasilan
upaya ini. Perawat harus mendorong asupan cairan dan meninjau kecukupan
serat dalam diet pasien. Apabila nokturia mengganggu, jumlah cairan yang
diminum pada malam hari dapat dibatasi. Eliminasi teratur sangat penting
karena dapat menjadi stimulus untuk mengosongkan usus dan kandung kemih.
Beberapa lansia dapat membutuhkan pengingat untuk mempertahankan
keteraturan jadwal eliminasi. Kursi buang air atau urinal dapat membantu
pasien yang lemah, mengalami masalah imobilitas, atau semakin sering
berkemih.
29
Karena penurunan aktivitas menyebabkan penurunan fungsi usus,
program aktifitas yang teratur dapat membantu peristalsis. Perlu diingat bahwa
posisi yang tidak tepat saat eliminasi, hambatan mobilitas termasuk
penggunaan restrain, dan ketidakmampuan untuk meminta atau mendapatkan
cairan meningkatkan konstipasi dan inkontinensia. Intervensi terstruktur yang
sesuai untuk pasien, pendidikan kesehatan, kontak yang sering, dan pengkajian
kontinu sangat penting untuk mencapai hasil optimal.
B. KONSTIPASI
Peningkatan jumlah lansia yang lemah dalam populasi membuat konstipasi
dipertimbangkan sebagai fenomena yang mengkhawartirkan. Insiden masalah
kesehatan biasanya meningkat seiring penuaan, sehingga individu lansia lebh
rentan terhadap komorbiditas yaitu mengalami kebih dari satu masalah kesehatan
pada satu waktu. Dalam korteks ini konstipasi memiliki makna baru dalam
kehidupan sehari hari, lansia yang lemah dan dapat terjadi sebagai gangguan
sederhana hingga menjadi masalah kesehatan utama (Walsh,
1997;Wolfsen,Barker,dan Mitteness, 1993.
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar,
biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras
dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar
(NIDDK, 2000).
Pasien yang mencari bantuan layanan kesehatan untuk mengatasi konstipasi
dapat memberi banyak tantangan, termasuk hambatan komunikasi, masalah dalam
diagnosis, riwayat terapi yang tidakk tuntas, kondisi yang tidak dapat diperbaikai /
masalah psikiatrik yang mempersulit manajemen.
1. Prevalensi
Penelitian epidemiologic member buki bahwa konstipasi klinis dan
laporan konstipasi meningkat seiring pertumbuhan usia walaupun tidak terjadi
perubahan fisiologis pada usus bawah seiring penuaan normal.
Pada sebuah penelitian hanya 62% yang memenuhi criteria penelitian
terhadap konstipasi spesisfik gejala. “pelapor mandiri” menggunakan laktasif,
pelunak feses, dan enema dua klai lebih sering dibandingkan subjek yang tidak
mengidentifikasi masalah konstipasi secara mandiri. Dalam satu periode
selama satu bulan, 50 % subjek menggunakan sedikitnya satu laktasif,pelunak

30
feses dan enema per hari. Lebih dari setengah pengunaan laktasif (n = 200)
menghabiskan lebih dari 60 dosis per bulan.
2. Faktor Resiko
Faktor yang membuat individu beresiko terhadap konstipasi dapat
dipertimbangkan dalam kategori berikut :
a. Status mental dan status emosi
b. Status fisik
c. Kepercayaan dan perilaku kesehatan
d. Hambatan dalam lingkungan
e. Status ekonomi
Cara lain untuk mengkaji individu “beresiko” adalah mengamati
sekelompok individu yang memliki masalah fisiologis yang meningkatkan
kemungkinan konstipasi. Factor resiko merupakan instrument konseptual yang
lebih kuat dan berperan besar dalam pengkajian, penetapan hasil dan
penyusunan intervensi yang unik. Mengurangi resiko dengan memberi
perhatian terhadap seluruh faktor yang membuat individu beresiko merupakan
pendekatan yang lebih logis untuk mencegah semua jenis konstipasi.
Walaupun tidak selalu mungkin untuk menghilangkan faktor resiko misalnya
pasien kanker yang menerima perawatn paliatif menggunakan obat dosis tinggi
yang dapat menyebabkan konstipasi, pencegahan lebih efektif biaya dan lebih
konsisten dengan kualitas hidup lansia.
Jenis – Jenis Konstipasi
a. Konstipasi Simtomatik: frekuensi defekasi dua kali atau lebih dalam
satu minggu, 25 % disertai mengejan
b. Konstipasi Klinis: retensi feses dalam ampule rectum pada
pemeriksaan menggunaka jari, retensi feses berlebihan didalam kolon
pada sinar X abdomen atau keduanya.
c. Konstipasi Subjektif: pernyataan mengalami konstipasi, tanpa
konstipasi klinis dan konstipasti simtomatik
Penyebab Konstipasi Transit Lambat Pada Lansia
a. Obat : antasida alumunium hidrosida, antikolinergik, penyekat
saluran kalsium, diuretic, suplemen besi, narkotika.

31
b. Penyakit / masalah kesehatan : kanker kolon, dehidrasi, diabetes
mellitus, hiperkalsemia / hipokalemia, imobilitas, diet rendah serat dan
karbohidrat, penyakit Parkinson dan stroke.
3. Pengkajian
Laporan yang diperoleh dari hasil riset dan hasil laporan klinis biasanya
meliputi definisi konstipasi,pedoman riwayat defekasi dan daftar batasan
karakteristik atau tanda gejala, serta faktor penyebab sebagai dasar pembuatan
pengkajian.
4. Diagnosa Keperawatan
NANDA 1999 mendefinisikan konstipasi sebagai “ penurunan frekunsi
normal defekasi indivual, yang disertai kesulitan pengeluaran feses yang tidak
komplet atau pengeluaran feses yang kering dan sangat keras.NANDA juga
menetapkan persepsi konstipasi yaitu kondisi ketika individu menegakkan
diagnosis konstipasi secara mandiri dan memastikan defekasi setiap hari
melalui penyalahgunaan laksatif, enema dan supositoria
5. Hal Yang Diharapkan
Hasil awal penanganan kasus konstipasi adalah mengatasi masalah akut
dengan segera. Pemulihan segera dari konstipasi merupakan prioritas dan
harus dicapai sebelum rencana yang lebih komprehensif dapat dikembangkan
bersama individu untuk mencapai hasil yang ditetapkan bersama. Hasil jangka
panjang mencakup : menetapkan pola defekasi yang teratut, mencegah kasus
konstipasi atau impaksi dimasa yang akan datang, mengeluarkan feses secara
manual, dan mengurangi penggunaan laktasif, supositoria, atau enema untuk
memfasilitasi evakuasi. Indicator yang member bukti pencapaian hasil
bergantung pada laporan pasien, memodifikasi diet, meningkatkan aktifitas
fisik melakukan rutinitas eliminasi tanpa penggunaan obat pencahar,
megeluarkan feses dengan mudah, mengeluarkan feses dengan tuntas, dll (kim,
McFarland, dan MeLane, 1997, Lowa Outcomes Projec, 2000)
6. Intervensi Keperawatan
Program menejemen defekasi yang komprehensif untuk mengatasi
konstipasi mencakup komponen berikut :
a. Modifikasi Diet
Diet tinggi serat direkomendasikan untuk meningkatkan fungsi usus
lansia dan lansia yang lemah. Buah kering dan segar, sayuran mentah dan
32
masak, serta roti gandum utuh adalah cara yang paling sering dilakukan
untuk menambah massa makanan dan kudapan diantara waktu makan.
Perawat mengembangkan beberapa strategi kreatif untuk meningkatkan
massa dalam diet pasien mereka. Pasien yang mengalami pembedahan
vascular diberi kue kismis havermut dan kue muffin blueberry yang kaya
serat untuk mencegah konstipasi dan impaksi pembedahan.
Peningkatan asupan cairan , khususnya air dipertimbangkan sebagai
tambahan serat dalam diet lansia dan lansia yang lemah, walaupun
dukungan dari riset masih kurang. Serat mengikat air dalam bentuk gel
untuk mencegah absorpsi dari usus besar, membuat konsistensi feses lunak
dan padat.
b. Latihan Fisik
Kebijakan konvensional menetapkan peningkatan aktivitas fisik
sebagai satu komponen dala program manejemen defekasi yang
komprehensif. Peningkatan aktivitas fisik biasanya merupakan salah satu
unsure banyak protocol penelitian yang dirancang untuk menganalisis
manfaat program terapi konstipasi yang komprehensif.
Lansia aktif mungkin tidak perlu meningkatkan aktivitas fisik mereka
untuk mencegah atau mengobati konstipasi, tetapi lansia yang lemah serta
individu yang mengalami ketunadayaan mendapat keuntungan dari program
peningkatan aktivitas fisik. Rentang pergerakan sendi aktif maupun pasif
membantu mempertahankan tonus otot pada pasien yang harus berbaring di
temat tidur. Individu yang mengalami ketunadayaan dapat dibei pendidikan
kesehatan perawatan diri dengan bantuan minimum. Berjalan merupakan
aktivitas pilihan untuk lansia yang lemah. Tipe aktivitas serta peningkatan
bertahap dalam aktivitas fisik harus ditentukan oleh status kesehatan umum
dan lingkungan tempat tinggal individu, serta kesehatan dan kebugaran
pemberi asuhan.
c. Pengembangan Dan Implementasi Rutinitas Eliminasi
Beberapa individu memerlukan stimulasi manual untuk menginduksi
relaksasi sfingter anus. Individu yang mengabaikan reflek difikasi mungkin
harus menyusun kembali waktu kebiasaan ke toilet yang konsisten dalam
15 menit setelah mengomsumsi makanan yang memicu defikasi. Banyak
lansia menjalani kehidupan yang sangat sibuk dan harus di motivasi agar
33
tetap menyempatkan waktu untuk memenuhi kebutuhan eliminasi mereka (
Gender, 1996; McLane dan McShane,1992).
Posisi adalah unsur penting dalam menetapkan keteraturan defikasi.
Meletakkan lutut lebih tinggi daripada panggul dalam posisi jongkok
menigkatkan tekanan abdomen dan membantu mengerakkan masa feses ke
dalam rektum. Individu lansia yang menggunakan dudukan toilet yang di
tinggikan dapat memilih posisi yang tepat dengan bantuan pijitan kaki dan
di lengkapi dengan pegangan yang mudah di pasang pada tempatnya.
Individu yang mempunyai otot abdomen lemah dapat di bantu dengan
membungkukan badan pada pingang, menggunakan pengikat abdomen atau
memijat abdomen mulai dari area inguinal kanan, bergerak ke atas dan
menyilang abdomen, dan ke bawah kearah inguinal kiri. Individu yang
menggunakan kursi buang air harus di beri privasi karena yang sifatnya
sangat pribadi.
d. Latihan Dasar Panggul
Latihan dasar panggul bermanfaat dalam menangani banyak disfunksi
usus dan inkontinensia urin. Latihan ini sering di gunakan sebagai bahan
biofeetback dalam terapi gangguan dasar panggul , misalnya disinargia
dasar panggul. Latihan ini harus di lakukan 25 sampai 30 kali, 3 kali sehari.
Kontraksi harus di pertahankan selama tiga sampai empat detik dan
kemudian di ulang dgn irama stakato, tanpa menyebabkan otot bokong,
tungkai, atau abdomen menjadi tegang (Kim, McFlarland, dan McLane,
1997; McCormick dan Burgio, 1984; McLane dan McShane,1992).
e. Anjuran Untuk Pasien Dan Keluarga
Anjuran untuk pasien/keluarga tentang praktek penyelesaian masalah
iliminasi usus merupakan bahagian program managemen yang kontiniu
seluruh komponen program dengan rasional untuk masing-masing
komponen program, harus di jelaskan program kepada pasien dan keluarga
atau pemberi asuhan. Pasien dan pasangan atau pemberi asuhan harus di
ajari cara menginsersi supositeria, melakukan stimulasi manual, memberi
enema, atau mengatasi impaksi jika terjadi.Tinjauan terhadap faktor kepada
individu resiko akan membantu pasien dan keluarga mengenali cara
menemukan resiko tersebut dalam penyelesaian masalah tentang
managemen diare , inkontinensia, atau konstipasi serta memutuskan
34
bilamana harus menghubungi perawat atau dokter untuk mengurangkan
ansietas terkait program managemen defekasi.
7. Dokumentasi
Dokumentasi setiap komponen program eliminasi sangat penting. Catatan
yang komprehensifmencakup tanggal dan waktu,deskripsi defekasi, medikasi,
supositoria, diet, latihan fisik, latihan dasar panggul, bantuan yang dibutuhkan,
serta masalah yang dijumpai. Poin tambahan spesifik individu harus
disertakan. Dokumentasi member ringkasan tentang kemajuan harian atau
mingguan pasien Catatan tersebut berharga untuk pelaporan kepada dokter
atau perawat dan ketika meminta bantuan perawat atau dokter (McLane dan
McShane, 1992).
C. DIARE
Diare merupakan salah satu manifestasi gangguan saluran cerna. Kata “diare”
berasal dari istilah Bahasa Yunani dia (melalui) dan rhein (mengalir) (Krejs dan
Fordtran, 1983). Fine, Krejs, dan Fordtran (1993) mendefinisikan diare sebagai
peningkatan abnormal kecairan feses (berat feses harian lebih dari 200 gram) dan
frekuensi defekasi (lebih dari tiga kali sehari). Bond (1982) mendefinisikan diare
sebagai pengeluaran feses lebih dari 200 gram per hari (jika dibandingkan dengan
berat rata – rata pengeluaran feses harian sebesar 100 sampai 150 gram per hari),
dengan kandungan air dalam feses sebesar 70% sampai 90% (jika dibandingkan
dengan kandungan normal air dalam feses sebesar 60% sampai 80%). Sundaram
(1993) menekankan pentingnya sekresi saluran cerna sebagai faktor penyebab
diare.
Sundaram (1993) mendefinisikan diare akut sebagai diare yang berlangsung
selama dua minggu atau kurang, sedangkan diare kronis adalah diare yang
berlangsung lebih dari tiga minggu. McLane dan McShane (1993) mendefinisikan
diare sebagai masalah akut yang berlangsung dari 24 sampai 48 jam, atau sebagai
masalah kronis yang berlangsung terus – menerus atau intermiten selama beberapa
minggu. Ross (1993) menemukan bahwa definisi subjek diare pada lansia dapat
dikelompokkan kedalam lima kategori :
a. Frekuensi pengeluaran feses
b. Urgensi defekasi
c. Konsistensi feses
d. Gejala, seperti kram atau nyeri abdomen.
35
Dua puluh tiga persen lansia memandang kebiasaan defekasi yang teratur
penting untuk mempertahankan status kesehatan umum.
Pada individu yang mengalami penuaan, sistem saluran cerna mengalami
perubahan fisiologis begitu juga dengan sistem tubuh lain. Penurunan terjadi pada
motilitas, sekresi asam lambung, kandungan asam bebas, produksi asam total,
serta kandungan pepsin. Produksi enzim pencernaan dalam saliva dan pancreas
juga menurun. Seiring penuaan, terjadi penurunan kemampuan sistem imun untuk
beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia lebih rentan terhadap proses infeksi
(Eglow dan Burakoff, 1991; Schmucker dan Daniels, 1986). Perubahan gaya
hidup akibat faktor fisiologik, ekonomi, dan sosiologik (misalnya, kebiasaan
nutrisi dan pola latihan fisik) juga memengaruhi fungsi saluran cerna pada lansia,
Tiga cerna adalah pencernaan, absorpsi, dan metabolisme (Broadwell, 1986).
Diare merupakan fenomena kompleks, dengan berbagai etiologi dan variasi terkait
karakteristik. Akibatnya, Batasan karakteristik dideskripsikan dalam konteks
etiologi tertentu. Angka prevalensi spesifik pada lansia juga dideskripsikan dalam
konteks etiologi tertentu.
1. Faktor Yang Berhubungan/ Etiologi
Penting membedakan diare dengan feses besar dan diare dengan feses kecil.
Table 20 – 1, yang didasarkan pada kajian Krejs dan Fondtran (1983), memuat
daftar beberapa karakteristik pembeda. Etiologi dan batasan karakteristik untuk
diare akut dan diare kronis diuraikan pada tabel 20 – 2 dan dibandingkan
dengan etiologi dan batasan karakteristik yang diidentifikasikan oleh NANDA
(Carroll-Jhonson, 1989).
Tabel 20 – 1 Perbedaan Batasan Karakteristik yang Umumnya Berkaitan
dengan Diare dengan Feses Kecil dan Diare dengan Feses Besar
Diare dengan Feses Kecil Diare dengan Feses Besar
Lokasi Gangguan Atau Kolon kiri dan rektum Usus halus atau kolon
Penyakit Benyebab proksiman
Kualitas Feses Warna gelap Warna terang
Jumlah sedikit dengan frekuensi Jumlah banyak
sering Bau busuk
Jarang berbau busuk Berair, keruh, atau berlemak
Flatus dan lendir kadang – Tidak ada darah yang terlihat
kadang keluar tanpa feses nyata
Ketika dikeluarkan feses encer Mengandung partikel
seperti bubur, bercampur dengan makanan yang tidak dicerna

36
lendir atau darah yang tampak
nyata
Lokasi Nyeri Apabila ada, cenderung Apabila ada, cenderung
dirasakan di hipogastrum, di terasa di daerah
kuadran kiri atau kanan bawah, periumbilikus atau di
atau di regio sacrum kuadran kanan bawah
Kualitas Nyeri Kolik, seperti ditusuk – tusuk, Intermiten, seperti kram,
atau disertai tenesmus (mengejan disertai borborigmus
tidak mengeluarkan feses) (berdeguk, percikan air)
a. Diare Akut
Etiologi diare akut meliputi infeksi, reaksi obat, perubahan diet,
pengolahan makanan yang kurang tepat, makanan basi, pemberian makanan
enteral, keracunan logam berat, impaksi fekal, dan terapi untuk penyakit lain
(Dupont, 1997; Krejs dan Fordtran, 1983; McLane dan McShane, 1993;
Sundaram, 1993)
1) Infeksi
Perubahan terkait usia pada permukaan mukosa, misalnya pada saluran
napas dan saluran cerna, berhubungan dengan peningkatan kerentanan
terhadap penyakit infeksi (Cooper, Shales & Salata, 1994; Schmucker
dan Daniels, 1986; Stolley dan Buckwalter, 1991). Rawat inap
meningkatkan risiko infeksi pada lansia, karena kedekatan dengan lansia
lain yang mungkin mengidap infeksi.
Penyakit infeksi lebih mengancam kehidupan lansia dibandingkan
pasien yang lebih muda (Vartian dan Septimus, 1986). Data statistik dari
WHO (1975) melaporkan peningkatan mortalitas akibat infeksi saluran
cerna pada lansia hingga 400 kali lipat. Penurunan motilitas dan
keasaman lambung yang dapat menyertai penuaan dan terjadi akibat
pembedahan lambung atau penggunaan obat, dapat meningkatkan
kerentanan terhadap pathogen virus (misalnya, rotavirus dana agens
Norwalk) (Sundaram, 1993) dan terhadap agens bakteri (misalnya,
shigella, Clostridium difficile, Salmonella, Campylobacter,
Staphylococcusaureus, Clostridium botulism) (Cunha, 1998; McFarland
dan Stamm, 1986; Sundaram, 1993; Vartian dan Septimus, 1986).
Endotoksin bakteri (misalnya toksin klostridium dan stafilokokus) dapat
terkandung dalam makanan yang diolah secara tidak tepat atau disimpan

37
dalam lemari es dan dapat dibentuk di dalam saluran cerna oleh
organisme, seperti Escherichia coli (Bond, 1982)
Diare infeksius dapat terjadi setelah melakukan perjalanan, khususnya
ke negara asing, tempat kontaminasi bakteri pada pasokan air umum
terjadi. Sekitar setengah populasi lansia yang berusia 70 tahun ke atas
diperkirakan mengalami penyakit diverticular (Balson dan Gibson, 1995;
Burakoff, 1981; Vartian dan Septimus, 1986).
Pengkajian faktor yang spesifik terhadap infeksi sebagai etiologi diare
akut berbeda, bergantung pada apakah organisme tersebut terdapat di
usus halus atau di kolon. Infeksi usus halus biasanya menyebabkan
“diarea cair dan tidak bercampur darah serta demam ringan” (Vartian
dan Septimus, 1986). Infeksi kolon “dapat menyebabkan feses
bercampur darah, berlendir, dan mengandung leukosit, biasanya disertai
demam” (Vartian dan Septimus, 1986)
2) Reaksi Obat
Obat – obatan dapat menyebabkan diare sebagai bagian efek obat yang
diharapkan, misalnya, efek yang ditimbulkan laksatif, atau sebagai efek
samping yang tidak diharapkan. Antibiotik yang paling sering
menyebabkan diare adalah ampisilin, sefalosporin, klimdamisin,
linkomisin, neomisin, dan tetrasiklin (Bond, 1982; Vogel 1995)
Sekitar 15% sampai 25% kasus diare akibat antibiotik disebabkan oleh
Clostridium difficile. Wabah infeksi ini merupakan ancaman khusus bagi
lansia yang menjalani rawat inap karena dapat terjadi di rumah sakit atau
panti wreda.
Prevalensi penyakit kronis pada lansia juga meningkatkan pajanan
mereka terhadap obat – obatan yang digunakan untuk mengatasi kondisi
ini. Beberapa obat yang diprogramkan bagi lansia dapat menyebabkan
diare, termasuk antasid, antibiotik, antihipertensi, agens kemoterapi
kanker, kolkisin, sediaan digitalis, laktulose, suplemen kalium,
propranolol, dan kuinidin.
Mengkaji riwayat asupan obat merupakan langkah penting dalam
mengkaji kemungkinan reaksi obat sebagai penyebab diare akut.

38
3) Perubahan Diet
Perubahan diet pada lansia dapat disebabkan oleh berbagai faktor
termasuk masalah keuangan, ketidakmampuan berbelanja makanan
dengan sering, ompong, dan intoleransi atau ketidakmampuan mencerna
makanan secara adekuat. Pada situasi ini, program diet sering kali
meliputi produk buah dan sayuran kaya karbohidrat rantai panjang yang
tidak dapat dicerna secara sempurna di usus halus (Bond, 1982; Laurin,
Brodeur, Bourdages, Vallee, dan Lachapelle, 1994; McLane dan
McShane, 1993)
Faktor ekonomi dapat menghambat lansia untuk membeli makanan
kaya protein yang mahal dan membuat lansia meningkatkan konsumsi
makanan berkarbohidrat. Intoleransi laktosa mengakibatkan kram,
flatuulensi, dan diare (McLane dan McShane, 1993).diare akibat
pemberian makanan melalui slang telah dikaitkan dengan formula
berbahan dasar susu (Walike dan Walike, 1973, 1977).
Interaksi obat – makanan dapat menekan atau menstimulasi selera
makan, mengganggu pencernaan dan absorbsi zat gizi, dan mengubah
metabolisme serta ekskresi zat gizi (Roe, 1986). Penggunaan makanan
formula pada lansia juga dapat mengakibatkan diare. Penyebab yang
disusulkan meliputi komposisi, osmolaritas, dan suhu makanan yang
diberikan serta metode infuse (Taylor, 1982). Pengkajian kebiasaan diet,
dengan perhatian khusus pada perubahan pola makan terkini dan
makanan yang baru dicerna, penting dilakukan dalam menentukan efek
diet pada pola eliminasi.
4) Faktor Lain
Keracunan logam berat dapat menyebabkan diare akut (Krejs &
Fordtran, 1983). Penggunaan alat dapur atau alat makan kesukaan yang
sudah lama, dengan permukaan yang sudah pecah atau retak, dikaitkan
dengan keracunan logam berat akibat kandungan timbel dalam barang
yang terbuat dari tanah liat.
Diare yang terjadi berupa feses cair terdorong dari kolon proksimal
melewati impaksi (Krejs dan Fordtran, 1983). Hal ini merupakan faktor
risiko utama pada lansia akibat perubahan diet, penurunan pola latihan
fisik, dan penurunan fungsi serta sirkulasi saluran cerna. Pemeriksaan
39
sinar – X perlu dilakukan untuk mengonfirmasi impaksi fekal letak
tinggi di usus.
b. Diare Kronis
Sundaram (1993) mengidentifikasikan tiga kategori diare kronis :
1. Diare radang
2. Diare cair tanpa steatorea
3. Steatorea
Diare radang ditandai dengan leukosit dan sel darah merah di dalam feses,
demam, nyeri abdomen, dan hypoproteinemia. Etiologi diare kronis meliputi
spastik kolon, defisiensi lactase, kanker kolon, penyakit radang usus,
pembedahan saluran cerna, gangguan malabsorbsi, penyalahgunaan laksatif, dan
penggunaan alkohol (McLane dan McShane, 1993)
1) Spastik Kolon
Spastik kolon merupakan gangguan motoric yang dimanifestasikan
dengan diare dan konstipasi yang timbul bergantian, nyeri abdomen, dan
ketiadaan patologi organic yang dapat dideteksi. Faktor psikologis dan situasi
hidup yang penuh tekanan telah diajukan sebagai faktor pemicu gejala
tersebut (Schuster, 1983). Lansia mengalami banyak situasi hidup yang
penuh tekanan, seperti pensiun, kematian pasangan, penyakit kronis, dan
kehilangan kemandirian, sehingga dapat mengalami masalah ini sebagai
respons terhadap semua proses kehilangan tersebut. Faktor ini harus dikaji
melalui wawancara dengan pasien dan anggota keluarga yang terlibat dalam
peristiwa hidup yang penting bagi pasien.
2) Defisiensi Laktase
Defisiensi laktase dan intoleransi laktosa yang diakibatkannya
dikaitkan dengan diare, gas, dan kembung setelah ingesti susu, keju, es krim,
atau puding serta saus yang terbuat dari susu atau produk susu (Alpers,
1983). Produk susu sering kali lebih mudah dibeli daripada jenis makanan
lain. Defisiensi laktase juga dapat menimbulkan gangguan usus lain, seperti
spastik kolon atau penyakit radang usus (Bond, 1982). Riwayat diet dapat
dijadikan data pengkajian yang bermanfaat bagi perawat. Insiden intoleransi
laktosa paling tinggi di antara orang Amerika – Afrika, Amerika Asli,
Amerika – Meksiko, dan Yahudi (Englert dan Guillory, 1986).

40
3) Kanker Kolon
Darah samar dalam feses atau perdarahan rectum yang nyata, diare dan
konstipasi yang timbul bergantian, pengeluaran gas yang meningkat, dan
nyeri abdomen merupakan gejala yang muncul. Diet tinggi lemak, protein,
dan daging sapi serta kurang serat diajukan sebagai faktor etiologi.
Keganasan, agens yang digunakan dalam pengobatan keganasan, dan status
luluh imun dapat dianggap sebagai penyebab diare (Ippoliti, 1998;
Sundaram, 1993; Walder et al., 1998). Risiko kanker kolorektal meningkat
tajam pada usia 50 tahun, meningkat dua kali lipat setiap dekade setelah usia
40 tahun (Winawer dan Sherlock 1983).
4) Penyakit Radang Usus
Diare yang terjadi pada kolitis ulseratif disertai kram abdomen,
perdarahan rectum, demam, dan kelemahan (Bond, 1982). Penyebabnya tidak
diketahui, dan kendati penyakit tersebut sering didiagnosis pada individu
muda, insiden awitan pada individu yang berusia lebih dari lima puluh tahun
hamper sama dengan insiden awitan pada individu muda. Etiologi penyakit
Crohn tidak diketahui. Selain itu, walaupun lebih sering terjadi pada individu
yang lebih muda, penyakit Crohn semakin sering didiagnosis pada individu
berusia lebih dari 60 tahun (Foxworthy dan Wilson, 1985). Gejala penyakit
Crohn sama dengan gejala kolitis ulseratif, tetapi perdarahan rectum lebih
jarang terjadi. Ulserasi perianal, fistula, dan abses dikaitkan dengan penyakit
Crohn.
5) Pembedahan Saluran Cerna
Pembedahan untuk mengobati kolitis ulseratif, penyakit Crohn, atau
tumor saluran cerna mengakibatkan berbagai tingkat diare dan malabsorbsi,
bergantung pada bagian sistem saluran cerna yang diangkat. Pembedahan
lambung meningkatkan kecepatan masuknya karbohidrat aktif melalui usus
halus secara osmotik, yang mengakibatkan diare. Reseksi mayor terhadap
usus halus mengakibatkan diare berat dan malabsorbsi (Bond, 1982) akibat
penurunan area permukaan usus halus, yang biasanya digunakan untuk
mengabsorbsi cairan dan zat gizi ke dalam aliran darah.
Tinjauan terhadap catatan, konsultasi dengan tenaga kesehatan
profesional yang merawat pasien, wawancara pasien, dan inspeksi jaringan
parut akibat pembedahan merupakan sumber data pengkajian pagi perawat.
41
6) Gangguan Malabsorbsi
Seriawan seliak merupakan penyakit malabsorbsi zat gizi yang
dikaitkan dengan lesi usus halus dan dengan intoleransi gluten. Gluten adalah
zat yang terkandung dalam gandum sereal. Diare akibat seriawan seliak
berkaitan dengan peningkatan volume dan beban osmotik tehadap kolon
akibat malabsorpsi usus halus. Diare ini diperburuk oleh lemak dalam diet
dan garam empedu (Broadwell, 1986). Pengkajian kebiasaan diet harus
mencakup tinjauan terhadap makanan tertentu yang diduga menyebabkan
diare. Feses pasien yang mengalami gangguan malabsorbsi berwarna gelap,
berbusa, dan mengandung minyak (Krejs dan Fordtran, 1983)
7) Penggunaan Laksatif
Penggunaan dan penyalahgunaan laksatif dapat terjadi akibat
kekhawatiran lansia terhadap frekuensi defekasi yang lebih jarang.
Pengkajian keperawatan riwayat penggunaan obat pasien harus meliputi
tinjauan terhadap penggunaan laksatif.
8) Penggunaan Alkohol
Ingesti alkohol, masalah yang semakin banyak didapati pada pasien
lansia, cenderung menyebabkan malabsorbsi pada pasien lansia (Roe, 1986).
Faktor lain yang mengaitkan penyalahgunaan alkohol dengan diare meliputi
insufiensi eksokrin pancreas, defisiensi vitamin, hipermotilitas, inhibisi air
dalam jejunum, dan absorbs elektrolit (Lipsitz et al., 1981; Martin, Justus,
dan Mathias, 1980). Kerabat terdekat pasien harus diwawancarai untuk
mengkaji penggunaan alkohol sebagai faktor penyebab diare pada lansia.
2. Pengkajian
Pedoman pengkajian 20-1 menyajikan instrumen pengkajian yang
dikembangkan untuk diagnosis keperawatan diare.
3. Diagnosa Keperawatan
Diare adalah kondisi ketika individu mengalami perubahan kebiasaan defekasi
normal, yang ditandai oleh pengeluaran feses encer, cair, dan tidak berbentuk
secara sering” (mclane dan mcshane, 1993, hlm 1480). NANDA mendefinisikan
diare sebagai “pengeluaran feses cair dan tidakberbentuk” (NANDA,1999, hlm.
18). Batasan karakteristik yang disetujui untuk diagnosis keperawatan diare
meliputi: nyeri abdomen, kram,peningkatan frekuensi defekasi, bising usus
hiperaktif, pengeluaran feses cair sekurang-kurangnya tiga kali sehari, dan
42
urgensi defekasi (mclane dan mcshane, 1993; NANDA, 1999, hlm. 18).
Carpenito (1992) menjelaskan bahwa peningkatan frekuensi defekasi dapat
dianggap bermakna jika defekasi terjadi lebih dari tiga kali sehari.
4. Hasil yang diharapkan
Sasaran intervensi keperawatan berkaitan dengan pengkajian faktor penyebab
dan faktor pemberat, pengkajian status cairan dan elektrolit, dan pedidikan
kesehatan secara lengkap sesuai indikasi (carpenito, 1992). Selain itu, McLane
dan McShane (1993) menyertakan hasil peredaan gejala, mengonsumsi obat
dengan benar, memahami mekanisme diare, dan mengingesti cairan dan
makanan dalam jumlah adekuat. Hasil
Eliminasi Usus didefinisikan sebagai "kemampuan saluran cerna untuk
membentuk dan mengevakuasi feses secara efektif" (Iowa Outcomes Project,
2000, hlm. 127). Sasaran hasil akhir adalah lansia memiliki pola eliminasi yang
paling mendekati pola normal: feses lunak dan padat dengan volume dan warna
normal. Hasil tambahan yang diharapkan mencakup sensasi dorongan defekasi
yang utuh, bebas dari nyeri atau kram, dan motilitas serta bising usus normal.
Tabel 20-4 mengaitkan diagnosis, hasil, dan intervensi keperawatan berdasarkan
penjelasan di dalam literatur.
Hasil tambahan yang disusun dalam NOC (Iowa outcomes Project, 2000)
berhubungan dengan faktor penyebab (misalnya, "lemak pada feses dalam
rentang normal" atau "bebas dari darah ....... lendir dalam feses") (lowa
Outcomes Project, 2000). Lihat Tabel 20-2 untuk mengetahui etiologi yang
berhubungan dengan gejala ini. Demikian juga, intervensi keperawatan
tambahan yang diidentifikasi oleh Iowa Intervention Project (2000) akan
berkaitan dengan faktor penyebab yang spesifik (misalnya, “mengambil sampel
feses untuk dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas” akan berhubungan
dengan penyebab infeksi, sementara “anjurkan upaya untuk menghilangkan
makanan yang mengandung laktosa dalam diet" akan berhubungan dengan
kecurigaan terhadap defisiensi laktase). Intervensi tersebut adalah Manajemen
Diare, yang didefinisikan sebagai “manajemen dan peredaan diare" (Iowa
Intervention Project, 2000, hlm. 256).
Pemantauan terhadap asupan dan haluaran, hasil uji laboratorium, dan kualitas
kulit, rambut, dan otot akan memfasilitasi evaluasi yang kontinu terhadap status
nutrisi, cairan, dan elektrolit pasien.
43
5. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Intervensi Pemberian Makan Enteral Melalui Slang
Studi intervensi keperawatan utama berfokus pada pemberian makan
melalui slang. Anderson (1986) menyatakan bahwa pemberian makan
melalui slang dengan cara yang benar tidak menyebabkan diare, tetapi pasien
yang deberi makan melalui slang kadang-kadang mengalami diare akibat
masalah penyebab atau akibat terap. Kurang gizi, osmolalitas, terapi obat,
formula yang terkontaminasi, dan metode pemberian makan dapat dikaitkan
dengan diare pada pasien yang menerima pemberian makan melalui slang.
Protokol pemberian makan bebas laktosa melalui slang telah
dikembangkan untuk kepentingan uji klinis (Horsley, Crane, dan Haller,
1981). Riset tersebut menunjukkan bahwa diare dan gejala lain distres
saluran cerna (misalnya, mual, serdawa, flatulensi) pada individu yang tidak
toleran terhadap laktosa dapat berkurang jika kandungan laktosa dibuang dari
formula pemberian makan melalui slang (Walike dan Walike, 1973, Walike
et al., 1975). Perbaikan nutrisi juga diharapkan teriadi. Secara umum, semua
individu yang mendapat makanan melalui slang dianjurkan diberi diet bebas
laktosa. Karena kebutuhan khusus klien lansia ini, diet bebas laktosa yang
juga rendah natrium, residu, atau protein harus disediakan. Perawat, dokter,
dan ahli gizi harus mengetahui tentang prevalensi, signifikansi klinis, dan
fisiologi intoleransi laktosa pada pasien lansia agar berhasil
mengimplementasi dan mengevaluasi protokol tersebut.
Kurang gizi, yang dapat merupakan akibat penyakit berat atau
pemberian makan yang tidak adekuat, menyebabkan malabsorpsi zat gizi dan
diare. Akibatnya, diare dapat memperburuk masalah kurang gizi tersebut
(Anderson, 1986). Malabsorpsi dapat diatasi dengan pemberian formula asam
amino bebas atau asam amino yang tersusun secara kimiawi untuk
memperbaiki status nutrisi (Konstantinides dan Shironts, 1983). Perlambatan
laju pemberian makan mencapai 20 sampai 30 ml/jam juga dapat membantu
absorpsi zat gizi (Anderson 1986).
Formula pemberian makan melalui slang sering kali diencerkan dengan
air untuk "mengompensasi diare yang diduga disebabkan oleh beban osmotik
formula berkekuatan penuh" (Anderson, 1986, hlm 704). Anderson
menyatakan bahwa pasien sanggup mengabsorpsi beban makanan formula
44
yang tidak diencerkan dan hiperosmotik, kecuali kurang gizi, status protein
visera buruk, dan penurunan mukosa saluran cerna mengganggu gradien
osmotik. Kebanyakan formula bersifat isosmotik (sekitar 300 mOsm/kg
H2O) dan tidak perlu diencerkan (Anderson, 1986). Pasien kurang gizi
dengan kadar albumin serum kurang dari 3 g/dl dapat diberi larutan
hiperosmotik dengan separuh daya dalam kecepatan yang lambat (25 ml/jam)
(Anderson, 1986).
Tabel 20-4 Hasil Yang Diharapkan Dan Intervensi Keperawatan Yang Dianjurkan
DIARE
Diagnosa Keperawatan Hasil Yang Diharapkan Intervensi Keperawatan
Diare Eliminasi usus Manajemen diare
Batasan karakteristik Indikator Tindakan
- Sekurang-kurangnya tiga - Feses lunak dan padat - Anjurkan pasien/anggota
kali defekasi cair per hari - Pola eliminasi dalam keluarga mencatat warna,
- Peningkatan frekuensi rentang yang diharapkan volume, frekuensi, dan
defekasi (diare lebih dari - Sensasi dorongan untuk konsistensi feses
3x) defekasi utuh - Identifikasi faktor yang
- Urgensi - Pengeluaran feses mudah, dapat menyebabakan atau
- Kram; nyeri abdomen tidak ada kram yang nyeri memperburuk diare per
- Bising usus hiperaktif - Bising usus normal hari
- Peningkatan kecairan atau - Motilitas usus dalam - Konsultasi dengan dokter
volume feses rentang yang diharapkan jika tanda dan gejala diare
- Perubahan warna feses - Jumlah feses normal menetap
untuk diet - Ukur haluaran
- Feses lunak dan padat diare/defekasi
- Warna feses berada dalam
batas normal
Antibiotik atau obat lain (misalya, kalium klorida) yang mengubah
osmolalitas formula dapat dikaitkan dengan diare pada pasien yang diberi
makan melalui slang. Antasid , digitalis, dan antidisritmia juga dapat
menyebabkan diare. Preparat laktobasilus dapat membantu dalam melawan
diare akibat obat dengan cara memperlambat motilitas (Anderson, 1986;
Konstanides & shronts,1983).
Metode pemberian formula dapat dikaitkan dengan diare pada pasien
yang diberi makan melalui slang. Mengganti prosedur pemberian makan
intermiten atau melalui bolus dengan prosedur tetesan kontinu, baik
menggunakan aliran gravitasi maupun menggunakan aliran gravitasi maupun
menggunakan pompa pemberian makan mekanis dapat mengurangi resiko

45
efek samping saluran cerna , seperti diare. Taylor (1982), dalam
perbandingan antara pemberian makan melalui slang menggunakan aliran
gravitasi dan menggunakan pompa infusi kontinu pada pasien bedah saraf,
menemukan bahwa diare terjadi pada kedua metode pemberian makan
tersebut. Studi lain terhadap 80pasien menemukan bahwa penggunaan pompa
infusi dapat mengendalikan diare pada 10 pasien yang mengalami gangguan
saluran cerna berat, tetapi kurang berhasil pada pasien yang memiliki
pengosongan menelan (Jones,payne & silk, 1980).
Suhu formula diajukan penyebab diare, sehingga formula harus di
berikan pada suhu ruangan atau dihangatkan mendekati suhu tubuh.
Memanaskan formula dapat menyebabkan diare pada pasien yang lemah.
Intervensi keperawatan untuk mengendalikan infeksi direkomendasikan.
Beberapa study tentang sistem pemberian makan melalui slang menemukan
sumber utama kontaminasi adalah tangan pemberi asuhan study ini
mendukung kebutuhan akan prosedur mencuci tangan yang sangat cermat.
Tindakan tambahan untuk mencegah konteminasi sistem pemberian makan
melalui slang adalah menggantung makanan yang masih segar setiap
4sampai8 jam (jangan menambah formula baru ke formula yang telah
digantung) dan mengganti wadah makanan serta slang yang di gunakan
setiap hari. (konstantinides & shronts, 1983).
Perawat dapat menatalaksana diare akibat pemberian makan melalui
slang dengan menyesuaikan type slang yang digunakan, dengan mamantau
kecepatan innfusi bedasrkan toleransi pasien, dan dengan mencegah
kontaminasi pemberian makanan dengan mencuci tangan secara cermat
ketika akan menyiapkan,pemberi,dan memantau pemberian makan.
b. Intervensi Penyuluhan
Area lain intervensi keperawatan yang dianjurkan untuk diare
mencakup penyuluhan pasien tentang penggunaan dan efek samping obat
yang diprogramkan, manajemen medikasi, diet yang diprogramkan,
pengurangan stres, dan teknik aspetik (carpenito,1992; mclane dan mcshane,
1993). Penyuluhan pasien dapat menjadi tantangan khusus bagi perawat yang
merawat lansia. Penyakit Al-zheimer atau gangguan otak organik lain dapat
menghambat kemampuan belajar pasien. Lansia juga dapat tidak memiliki
sistem dukungan, sementara individu lain dapat diajarkan untuk membantu
46
pasien mengatasi aspek kehidupan ini. Penyuluhan harus benar-benar
digunakan sebagai intervensi bagi lansia, yang dapat memperoleh manfaat
dari tindakan tersebut. Apabila penyuluhan tidak dapat dilakukan , perujukan
ke sistem dukungan yang tepat mungkin perlu dilakukan.
c. Intervensi Lain Yang Dianjurkan
Memantau asupan makanan dan cairan serta mengganti cairan yang
hilang adalah intervensi keperawatan lain yang diusulkan (McLane dan
McShane, 1993). Carpenito (1992) mengusulkan peningkatan asupan oral
guna mempertahankan berat jenis urine pada tingkat (1,003 sampai 1,030)
dan mendorong asupan cairan tinggi kalium dan natrium. Pengganti cairan
dan elektrolit secara intravena perlu dilakukan. Peran perawat dalam
manajemen diare, terutama untuk pasien kanker, dijelaskan secara oleh
Hogan (1998). Perawat dapat memantau berat badan, kondisi kulit, temuan
laboratorium untuk mengkaji nutrisi, hidrasi, dan kadar elektrolit.
Area kulit perirektal dapat ekskoriasi akibat keasaman dan kandungan
enzim pencernaan pada fese ketiika diare (Carpenito, 1992; McLane dan
McShane,1993). Tindakan yang dianjurkan dalam literatur untuk mengatasi
masalah kulit akibat diare meliputi membersihkan kulit secara menyeluruh
menggunakan sabun lembut dan air hangat setelah setiap kali defekasi ketika
diare. Mengoleskan salep atau semprotan yang menyejukkan serta
memanjakan kulit yang teriritasi dengan udara juga dianjurkan (Englert dan
Guillory,1986).
D. INKONTINENSIA ALVI
Inkontinensia alvi merupakan masalah umum pada individu lansia, khususnya
lansia yang menjalani rawat inap atau mengalami penyakit kronis (chassagne et
al., 1999). NANDA mendefinisikan inkontinensia alvi sebagai ‘’keadaan ketika
individu mengalami perubahan kebiasaan defekasi normal, yang ditandai dengan
pengeluaran feses secar involunter’’ (NANDA, 1999). Kapan pun terjadi,
inkontinensia alvi sangat membuat distres lansia serta individu yang merawat
lansia. Selain menimbulkan rasa tidak nyaman dan distres psikologis, inkontinesia
alvi dapat merusak integritas kulit dan mengakibatkan inveksi saluran kemih,
khususnya pada wanita.(Hogstel dan Nelson,1992).
Pengendalian saraf usus terjadi melalui persarafan parasimpatik dan simpatik.
Serabut simpatik pada tingkat vertebra torakal 11 dan 12 (T11 dan T12) dan
47
vertebra lumbal 1 dan 2 (L1 dan L2) membentuk saraf hipogastik (adrenergik).
Sistem simpatik menyebabkan konstriksi sfinger dan menghambat peristalsis.
Serabut parasimpatik yang mengendalikan usus ditemukan pada saraf vagus dan
pada serabut yang berasal dari vertebra sakral 2, 3, dan 4 (S2,S3,dan S4), yang
berjalan melewati pleksus hipogastrik untuk membentuk pleksus yang disebut
saraf pelvik (kolinergik). Defekasi normal meliputi kerja dua reflek (king & harke,
1994). Plekus mientrik inferior dari usus besar bergabung dengan saraf
hipogastrik mengendalikan refleks intriksik. Refleks kedua timbul dari segmen
sakrum medula spinalis (Gambar 21-1). Refleks ini biasanya terpicu setelah
makan, khususnya setelah pertama kali makan, ketika gelombang peristaltik yang
kuat mendorong materi feses kedalam rektum. Distensi pada rektum menstimulasi
refleks defekasi melalui pleksus mientrik untuk memualai gelombang peristaltik
lanjutan dari kolon desenden menuju anus. Sfingter anus interna relakasi ketika
gelombang tersebut mencapaianya,dan jika sfingter anus eksterna juga rileks,
terjadi defekasi. Kendali defekasi volunter dimulai dengan mengontraksi sfingter
eksterna, yang mengurangi peristalsis dan dorongan untuk defekasi. Sfingter anus
eksterna dipersarafi oleh saraf pudendal, saraf motorik volunter yang berasal dari
S2, S3, dan S4.
Defekasi sebenarnya lemah dan tidak efektif, kecuali dibantu oleh refleks
spinal. Stimulasi ke rektum mengawali sinyal melalui saraf ke S2, S3, dan S4
mendula spinalis, yang selanjutnya mengirim impuls untuk memperkuat
gelombang peristaltik. Individu dengan mekanisme kendali normal mampu
merasakan keinginan untuk defekasi ketika feses masuk dan mendistensi rektum.
Refleks spinal dapat terabaikan akibat inhibisi sadar dari regio hipotalamus
anterior otak, sehingga terjadi kontraksi sfingter eksterna. Refleks defekasi akan
hilang dalam beberapa menit, jika individu tersebut justru menahan defekasi.
Refleks tersebut dapat kembali dicetuskan dengan menarik nafas dalam atau
mengejan (meningkatkan tekanan intra abdomen), tetapi refleks yang di
munculkan dengan cara ini tidak seefektif refleks yang muncul ssecara alami.
Inhibisi yang lama mengakibatkan ketidak efektifan progresif refleks defekasi.
Aktivitas fisik dan olahraga teratur penting untuk mempertahankan fungsi
usus normal. Aktivitas fisik membantu tonisitas otot yang dibutuhkan untuk
pembuangan feses dan meningkatkan sirkulasi ke sistem pencernaa, dengan
membantu pembentukan feses yang lebih mudah dikeluarkan dan meningkatkan
48
peristalsis. Kontinesia anorektal mengacu pada kemampunan untuk menahan feses
untuk dikeluarkan pada waktu dan tempat yang tepat. Biasanya, kemampuan
individu untuk mengendalikan defekasi dicapai pada usia sekitar dua tahun.
Fungsi dan kontinensia usus normal bergantung pada beberapa faktor (king
dan harke, 1994; Wald,1986). Pertama, harus terjadi pengiriman feses yang
normal ke rektum. Kedua,sensasi rektum dan anus harus utuh. Ketiga,
kemampuan untuk mengontraksi sfingter anus eksterna dan otot puborektalis
untuk membentuk sudut anorektal harus ada, dan sistem saraf secara umum harus
utuh. Henry (1983) menjelaskan pemeliharaan sudut antara rektum bahwa dan
saluran atas,yaitu sudutb anorektal,merupakan faktor yang paling penting dalam
mempertahankan kontinensia. Faktor keempat adalah motivasi dan kemampunan
kognifitif untuk mengenali stimulasi rektal dan membuat keputusan yang tepat
apakah harus melakukan defekassi atau menunda defekasi, sampai pada waktu
dan tempat yang lebih tepat. Faktor kelima adalah kemampuan rektum untuk
mengakomodasikan penyimpanan feses. Hemoroid ; radang akibat kolitis, infeksi,
atau iradiasi; dan revisi bedah merupakan beberapa penyebab gangguan kapasitas
reservoir (wald, 1986).
Gangguan kontinensia usus pada individu lansia sering kali menimbulkan rasa
malu, dapat menghambat kontak sosial lansia,dan dapat berpengaruh buruk
terhadap harga diri, serta menciptakan tugass pemberian asuhan yang tidak
menyenangkan bagi anggota keluarga atau pemberi asuhan lain. Walaupun
kendali feses dapat diatur untuk menghindari hambatan sosial ,flatus yang tidak
terkendali dapat mengakibatkan perubahan gaya hidup dan hambatan interaksi
sosial.selain itu, inkontinesia alvi dapat menimbulkan dampak buruk seperti
kerusakan intergritas kulit dan infeksi.
1. Prevalensi
Insiden Inkontinensia Alvi yang sering kali disebut inkontinensia
fekal,diperkirakan terjadi pada 10% samai 23% lansia yang dirawat di panti
wreda ( Chassagne et al. 1999;Tobin & Brocklehurst ,1986 ) . Masalah ini
lebih jarang terjadi pada lansia yang tinggal di masyarakat , tetapi meningkat
seiring penuaan ( Gordon et al.,1999 ) . Selain inkontinensia urine,
inkontinensia fekal merupakan masalah utama yang dialami oleh individu
lansia yang menjalani rawat inap ( Chassagne et al. 1999;Tobin &
Brocklehurst ,1986 )
49
2. Faktor Yang Berhubungan / Etiologi
Hanya sedikit informasi yang tercatat tentang sttruktur dan fungsi usus
besar atauperubahan defekasi terkait usia. Tidak ada perubahan motilitas usus
besar yang didokumentasikan , kendali terjadi usus ( Miller,1990 ) . Goldman
(1979) melaporkan bahwa penelitian tentang spesimen feses pada lansia
menunjukkan sedikit bukti tentang zat gizi yang tidak dicerna. Faakta ini
membuktikan bahwa proses pencernaan masih adekuat pada individu lansia
normal.
Penyebab pertama adalah penyakit yang menyebabkan gangguan
kolon,rektum,atau anus misalnya penyakit divertikulum, proktitis, kanker
kolon atau rektum, hemoroid , prolaps, atau kolitis.Konstipasi kronis dengan
impaksi fekal merupakan penyebab utama kedua inkontinensia fekal pada
lansia (Brocklehurst ,1985b; Kinnunen,1991 ). Inkontinensia dapat terjadi
dalam bentuk “tercirit” akibat rektum penuh dan tidak dikosongkan .
Penelitian yang dilaporkan oleh Brocklehurst ( 1985b ) menemukan banyak
lansia yang menderita inkontinensia alvi memiliki rektum yang berisi lebih
banyak feses dibandingkan individu yang tidak mengalami inkontinensia.
Penyebab utama ketiga inkontinensia alvi yang didiskusikan oleh
Brocklehurst ( 1985b ) adalah perubahan neurogenik pada rektum , yang
serupa dengan hiperleksia yang ditemukan pada kandung kemih individu
lansia penderita inkontinensia urine urgensi ( Lihat Bab 22). Pada satu
penelitian yang membandingkan toleransi terhadap balon yang digembungkan
dalam rektum antara lansia pria yang menderita inkontinensia alvi dan pria
yang tidak mengalami inkontinensia alvi,pria yang mengalami inkontinensia
alvi mengeluarkan balon yang digembungkan sebagai respons terhadap
kontraksi rektum , gerakan yang tidak mampu mereka hambat (Brocklehurst
,1985). Etiologi inkontinensia alvi yang paling sering ditemukan pada lansia
dan batasan karateristik yang sesuai,disajikan oleh NANDA ( 1999 ) dan
batasan karateristik lain diuraikan pada tabel 21-1.
3. Faktor Resiko
Banyak lansia yang mengalami gangguan kolon. Gangguan ini dapat
timbul akibat kombinasi berbagai faktor, seperti penyakit, perubahan diet,
lingkungan ,asupan cairan yang tidak adekuat , serat diiet yang tidak adekuat

50
,pengaturan posisi yang tidak tepat, dan obat-obatan
(Matterson,McConnell,dan Linton,1997;Wald,1993).
Insiden penyakit kronis yang lebih tinggi dan penurunan fungsi seiring
penuaan menjadi presdiposisi lansia terhadap peningkatan masalah kontinensia
usus. Lansia bukan hanya cenderung terjangkit penyakit yang mempengaruhi
fungsi usus , melainkan juga lebih rentan terhadap hambatan mobilitas dan
gangguan kognitif ,yang membuat mereka tidak mampu mempertahankan
kendali defekasi mereka.
Apabila menjadi tidak mampu secara mental atau mengalami hambatan
mobilitas ,ia cenderung mengalami inkontinensia.Inkontinensia alvi juga
sering terjadi pada individu lansia penyandang diabetes militus,terjadi pada
hampir 20% indivdu yang mengalami penyakit ini ( Wald,1986 ). Perubahan
diet utama yang dialami oleh lansia adalah penurunan asupan serat dan
peningkatan ampas makanan.
Makanan ini umumnya rendah serat. Hal ini merupakan salah satu
masalah karena asupan serat pentiing untuk diabsorpsi air di dalam usus.
Lansia juga sering kali rentan terhadap dehdrasi karena tidak mampu
memperoleh cairan,kurang pengetahuan tentang pentingnya asupan cairan
yang adekuat,dan penggunaan diuretik dalam manajemen penyakit kronis.
Masalah diet lain ialah intoleransi laktosa,yang sering kali dialami lansia
sebagai penyebab diare dan dapat menyebabkan iritasi usus serta
inkontinensia. Masalah ini dijelaskan lebih perinci pada Bab 20. Faktor
lingkungan sering kali berperan terhadap inkontinensia alvi pada
lansia.Kurang privasi dapat menjadi faktor penghambat utama upaya
mempertahankan defekasi yang teratur dan dapat menyebabkan impaksi atau
“kecelakaan,”khususnya ketika individu lansia menjalani rawat inap.
Perawat harus secara cermat mengkaji faktor lingkungan yang dapat
menghambat lansia mempertahankan kontinensia.Karena pengaruh positif
aktivitas dan latihan fisik pada fungsi defekasi yang teratur,perawat juga harus
memberi pehatian cermat pada kemampuan individu untuk tetap aktif di
dalam lingkungannya. Banyak lansia menggunakan obat yang memiliki efek
samping terhadap fungsi usus. Narkotik,barbiturat, propoksifen, hidroklorida,
obat penenang dan antasid dapat menyebabkan konstipasi.Zat besi dapat
mengakibatkan konstipasi atau diare,dan antasid berbahan magnesium serta
51
preparat digitalis dapat menyebabkan diare. Dengan demikian , pengakjian
yang cermat terhadap obat sangat penting dalam mengatasi inkontinensia alvi.
4. Pengkajian
Pengkajian inkontinensia alvi pada lansia mencakup pertimbangan
beberapa faktor penyebab.Davis ,Nagelhout,Hoban,dan Barnard (1986)
mendeskripsikan lima jenis disfungsi usus: (1) disfungsi usus tak tertahan,
yang terjadi ketika terdapat lesi neuron motorik atas di atas tingkat vertebra
servikal 1 ( C1 ); (2) disfungsi usus refleks , yang menyebabkan kerusakan
neuron motorik atas antara C1 dan L1, (3) disfungsi usus otonom, yang
diakibatkan kerusakan neuron otorik pada tingkat di bawah L1; (4) disfungsi
usus neurogenik sensorik, yaitu terdapat kerusakan komponen sensoris
lengkung refleks (pesan dari usus ke medula spinalis dan kembali lagi ke
usus); dan (5) disfungsi usus neurogenik motorik, yaitu terjadi kerusakan
komponen motorik sistem saraf pusat atau lengkung refleks.
Akibat inkontinensia alvi refleks dan taktertahan, refleks rektum utuh,
tetapi kendali volunter refleks tersebut tidak ada. Pada inkontinensia alvi
otonom, lengkung refleks dapat rusak sebagian atau rusak total. Inkontinensia
alvi sensoris ditandai dengan individu tidak menyadari keberadaan feses di
dalam rektum. Sebaliknya, lansia inkontinensia alvi neurogenik sadar akan
keberadaan feses di dalam rektumnya, tetapi tidak dapat mengeluarkannya.
Pengkajian tonus sfingter anus dapat menentukan adanya lengkung refleks
yang utuh. Wald (1986) melaporkan korelasi yang buruk antara evaluasi secara
manual pada sfingter rektum internal dan uji objektif di dalam laboratorium.
Namun, pengkajian adanya refleks dengan merasakan pengencangan otot
sfingter rektum internal di sekitar jari yang terpasang sarung tangan, yang
diinsersi ke dalam rektum sering kali direkomendasikan pada uji umum dan
memberi pedoman untuk diagnosis yang akurat. Alasan tambahan untuk
pemeriksaan rektum manual adalah untuk memeriksa adanya impaksi feses
dan kelainan rektum lainnya.
Evaluasi inkontinensia alvi harus dimulai dengan melakukan pengkajian
komprehensif tentang frekuensi, durasi, dan keparahan inkontinensia alvi
lansia. Pengkajian harus diwaspadai terhadap perubahan yang dirasakan, yang
berhubungan dengan perubahan dalam kesehatan dan/atau fungsi (Mc- Lane
dan McShane, 1992). Pola inkontinensia harus ditentukan secara cermat.
52
Wawancara dengan klien juga harus menemukan gejala yang menyertai
inkontinensia alvi, seperti ada atau tidak adanya tanda peringatan, waktu
antara sensasi dan defekasi, jumlah menjedan saat defekasi, dan adanya
Konstipasi dan diare. Hal lain yang perlu dikaji meliputi adanya inkontinensia
urine; adanya diabetes; riwayat bedah anus, rektum, dan spinal; adanya defisit
kognitif; dan adanya penyakit usus dan penyakit neurologik lain. Apabila klien
adalah seorang wanita, jumlah dan karakter persalinan per vagina harus
dicatat. Akhirnya, informasi manajemen kesehatan, seperti asupan cairan, pola
dan kebiasaan diet, aktivitas dan latihan fisik yang biasa dilakukan, jenis dan
frekuensi obat yang digunakan, strategi koping, dan pengetahuan klien tentang
fisiologi ususs dan proses defekasi harus dipastikan. Agar pengkajian
menghasilkan diagnosis yang akurat dan terapi yang efektif, faktor lingkungan,
seperti privasi dan akses ke toilet serta kemampuan fungsional lansia untuk
melakukan eliminasi harus ditentukan (pedoman pengkajian 21-1).
5. Diagnosis Keperawatan
NANDA mendefinisikan inkontinensia alvi sebagai "keadaan ketika
individu mengalami perubahan dalam kebiasaan defekasi, yang ditandai
dengan pengeluaran feses secara involunter" (NANDA, 1999). Lihat Tabel 21-
1 untuk faktor yang berhubungan/letiologi dan batasan karakteristik
yangdisebutkan oleh NANDA.
Tabel 21-1 Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan yang Dianjurkan
INKONTINENSIA ALVI
Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan
INKONTINENSIA KONTINENSIA ALVI PERAWATAN
ALVI Indikator INKONTINENSIA ALVI
Defekasi yang dapat Tindakan
diperkirakan Tentukan sasaran program
Defekasi teratur setiap 3 manajemen defekasi bersama
hari pasien/ keluarga.
Bebas dari episode Implementasikan program
inkontinensia pelatihan sesuai kebutuhan.
Ingesti cairan dalam jumlah PELATIHAN DEFEKASI
adekuat Tindakan
Ingesti serat dalam jumlah Pastikan asupan cairan yang
adekuat adekuat
ELIMINASI FEKAL Pastikan latihan fisik yang
Indikator adekuat

53
Memperlihatkan jumlah Beri makanan padat dan/atau
yang adekuat yang telah diidentifikasikan
dpat membantu mengatasi
masalah pasien
Evaluasi status usus secara
teratur

MANAJEMEN DEMENSIA
Faktor yang HARGA DIRI Tindakan
berhubungan / Etiologi Indikator Gunakan simbol, bukan tanda
GANGGUAN KOGNISI Perasaan tentang harga diri tertulis, untuk membantu
Batasan karakteristik Bebas dari perasaan malu pasien menemukan ruangan ,
Pada pengukuran status Pemenuhan peran prbadi kamar mandi, atau peralatan
mental didapat nilai yang penting lain
rendah Hindari situasi yang tidak
Tidak mampu mengenali, familier bagi pasien , jika
mengambil tindakan memungkinkan
terhadap rektum yang Beri satu arahan sederhana pada
oenuh ( urgensi ) satu waktu
Tidak mampu menemukan BANTUAN PERAWATAN
kamar mandi DIRI
Tidak mampu mengenali ELIMINASI
dan menyebut nama Tindakan
benda yang ada di toilet Sediakan alat bantu (susur
Kapasitas reservoir rektum tangan)
normal Bantu ke toilet pada interval
Pengencangan rektum waktu tertentu
normal pada pemeriksaan Beri privasi selama eliminasi
secara manual
Kontraksi sfingter anus
normal

Faktor yang KONTINENSIA FEKAL MANAJEMEN DEFEKASI


berhubungan / Etiologi Indikator Tindakan
GANGGUAN Konstipasi tidak ada Pantau tanda dan gejala diare,
SALURAN CERNA Diare tidak ada konstipasi dan impaksi
Batasan karakteristik Ingesti cairan dalam jumlah Motivasi pasien untuk
Kolostomi adekuat mengurangi asupan makanan
Impaksi fekal Ingesti serat dalam jumlah yang dapat membentuk gas
Diare adekuat ,sesuai kebutuhan
Tekanan abdomen Defekasi secara teratur tiap Anjurkan pasien tentang
abnormal tinggi 3 hari makanan tertentu yang
Urgensi Bebas dari episode membantu meningkatkan

54
Ketidakmampuan inkontinensia keteraturan defekasi
menunda defekasi ELIMINASI FEKAL Evaluasi obat terhadap efek
Indikator samping pada saluran cerna
Memperlihatkan jumlah Mulai program pelatihan
yang adekuat defekasi, sesuai kebutuhan
Tidak tejadi kembung PELATIHAN DEFEKASI
Tindakan
Pastikan latihan yang adekuat

Faktor yang KONTINENSIA FEKAL BIOFEEDBACK


berhubungan / Etiologi Indikator Tindakan
Penurunan kendali sfingter Tonus sfingter adekuat Bantu pasien belajar
rektum untuk mengendalikan memoddifikasi respons tubuh
Batasan karakteristik defekasi terhadap petunjuk peralatan
Cacaran feses pada Ingesti cairan dalam jumlah Beri umpan balik terhadap
pakaian dalam adekuat kemajuan setelah setiap ssesi
Mencuucurkan feses terus Ingesti serat dalam jumlah pertemuan
menerus adekuat LATIHAN OTOT PANGGUL
Ketidakmampuan Tidak ada diare Tindakan
mengendaikan flatulensi ELIMINASI FEKAL Anjurkan pasien untuk
Indikator mengencangkan kemudian
Tidak ada kembung merelaksasi lingkaran otot di
sekitar uretra dan anus,
seolah-olah mencoba
menahan mikturisi atau
defekasi
MANAJEMEN DEFEKASI
Tindakan
Motivasi mengurangi asupan
makanan yang membentuk
gas,sesuai kebutuhan
Pantau tanda dan gejala
diare,konstipasi dan impaksi
feses
Mulai laksanakan program
pelatihan defekasi,sesuai
kebutuhan
Ajarkan pasien tentang makanan
khusus yang membantu
meningkatkan keteraturan
defekasi
Evaluasi obat terhadap efek
samping padasaluran cerna

55
6. Hasil Yang Diharapkan
Hasil utama yang diharapkan untuk intervensi inkontinensia alvi, yaitu
klien mencapai pola defekasi yang dapat diprediksi untuk menghindari rasa
tidak nyaman, malu, dan kehilangan harga diri bagi individu lansia. Perasaan
malu dan harga diri penting untuk dipelihara agar hubungan dengan keluarga
dan sumber dukungan sosial lain serta kesempatan untuk berinteraksi sosial
tidak terganggu. Rasa malu dan bau taksedap, yang dapat muncul menyertai
inkontinensia fekal dapat membuat keluarga, teman, dan kontak sosial lain
menghindari lansia tersebut. Mempertahankan integritas kulit adalah hasil
penting yang lain. Nursing Outcomes Classification (NOC) (Iowa Outcomes
Project, 2000) menggunakan beberapa hasil yang sesuai untuk diagnosis
Inkontinensia Alvi: Kontinensia Fekal, Eliminasi Fekal, Harga Diri dan
Integritas Jaringan: Kulit dan Membran Mukosa (Tabel 21-3). Kontinensia
fekal didefinisikan sebagai “kendali pengeluaran feses dari usus" (Iowa
outcomes Project, 2000, hlm. 126). Eliminasi Fekal adalah "kemampuan
saluran cerna untuk membentuk dan mengeluarkan feses secara efektif" (Iowa
outcomes Project, 2000, hlm.217).
7. Intervensi Keperawatan
Inkontinensia alvi merupakan masalah penting yang dapat di tangani
perawat. satu penelitian yang dilakukan baru – baru ini menunjukan bahwa
penanganan kondisi pencetus dan kondisi terkait, seperti pemberian makanan
melalui selang, impaksi, serta penurunan fungsi, lebih penting dari pada
pembedahan korektif sfingter anus (Nelson, Furner, dan Jesudason, 1998).
Semua intervensi yang dapat digunakan untuk menangani berbagai etiologi
Inkontinensia alvi tidak dapat diuraikan karena kerbatasan bab ini, sehingga
kami hanya berfokus pada pelatihan defekasi dan Menejemen Lingkungan,
dua intervensi yang paling sering menjadi pilihan yang tepat.
a. Pelatihan Defekasi
Pelatihan defikasi didefinisikan sebagai “ membantu pasien melatih
pengeluaran feses pada interval tertentu”(lowa Interventions Project, 2000,
hlm 190). Tujuan pelatihan Defekasi adalah melatih defekasi dengan
interval teratur dan pada waktu tertentu yang telah direncanakan bersama
lansian atau keluarga, sehingga meminimalkan insiden defekasi tanpa
disengaja. pelatihan defekasi harus disesuaikan untuk mengakomodasikan
56
setiap masalah fisiologis dan psikososial lansia, lingkungan khusus lansia,
dan kemampuan fungsional lansia.pelatihan kebiasaan, pengendalian diare,
stimulasi manual dan nonmanual refleks gastokolik, reduksi volume feses,
serta biofeedback daalah bentuk khusus pelatihan defekasi yang digunakan
untuk menangani inkontinensia alvi, bergantung pada etiologi masalah.
Brocklehurst (1985) merekomendasikan pembilasan usus
menggunakan enam fosfat selama 7 sampai 10 harisebelum enema fosfat
selama defekasi. ia berpendapat bahwa tindakan ini dapat menyingkirkan
etiologi konstipasi.bilas usus dapat meredakan radang diare jika lansia
tersebut tidak konstipasi. cara ini efektif, terutama jika sumber diare adalah
iritan yang tertelan jika terdapat infeksi intrausus. lansis dapat lebih mudah
mengalami ketiodak seimbangan cairan dan elektrolit dan mengalami
dehidrasi, terutama jika asupan cairan kurang atau dibatasi ketika enema
diberiakan ( Robinson & Demuth, 1985). Biasanya ada sekurang –
kurangnya empat komponen Pelatihan Defekasi. salah satu komponen
tersebut adalah diet dan cairan yang seimbang. asupan cairan biasanya
direkemnedasikan sebanyak 1500 sampai 2000 ml setiap 24 jam, tidak
termasuk kopi, teh dan jeruk, yang memiliki efek deuretik. meminum
segalas air hangat atau air panas sebelum makan memfasilitasi refleks
gastrokolik. makanan tinggi serat juga penting untuk stimulasi refleks
gaskolik nonmanual dan untuk pelatihan kebiasaan karenan dapat
mencegah pembentukan feses yang keras dan meningkatkan peristaltik (
McLane & McShane, 1986).Jika inkontenensia alvi disebabkan oleh
kerusakan kapasitas reservoir, reduksi volume feses merupakan bentuk
pelatihan defekasi yang perli dilakukan. Reduksi volume feses dicapai,
terutama melalui pembatasan serat dan penggunaan obat untuk
meningkatkan waktu translit dan absobsi (wald, 1986).
Komponen kedua pelatihan defekasi adalah, meningkatkan aktivitas
dan latihan fisik ( McLana & McShane, 1986). aktivitas fisik meningkatkan
sirkulasi tubuh, termasuk sirkulasi ke usus, dan meningkatkan pencernaan
serta peristaltik. Latihan dasar panggul, yang dapat melibatkan kontraksidan
relaksasi berulang sfingter anus dan otot puborektalis, dapat dilakukan.
latihan tersebut harus dilakukan tiga kali perhari dengan 25 sampai 30
kontraksi yang masing masing ditahan selama tiga detik (McCormick &
57
Burgo, 1984). stimulasi listrik juga dapat digunakan pada beberapa khasus
untuk melatih dan menguatkan otot yang membantu defekasi dan
kontennensia (King & Harke 1994, McLeod ,1987) dan sering digunakan
bersamaan dengan latihan dasar panggul. arus listrik ini menstimulasi otot
pirenium untuk kontraksi. Waktu merupakan aspek ketiga pelatihandfeksi
yang penting disertakan. Metode ini mencangkup menetapkan waktu yang
teratur untuk duduk diatas toilet biasanya 5 sampai 15 menit di ataur
sedemikian ruap sehingga mendapat manfaat dari refleks gastrokolik.
refleks ini terjadi sebagai respon terhadap asupan makanan dan muncul
paling kuat pada pagi hari( Davis et al, 1986, Lewis 1988).Ouslander,
Simmon,Schnelle,Uman dan Fingold (1996) menemukan bahwa pasien
kontinensia defeksi secara statistik mengalami peningkatan yang bermakna
jika protokol miknutrisi yang tepat jika diuji pada individu lansia yang
rawat inap, walaupun insiden inkontenensia alvi tidak menurun.
Komponen keempat program defekasi meliputi pemberian laksatit,
supositoria, masase sfingter anus, enema dan ati diare untuk meningkatkan
defekais yang teratur dan terencana. pendekatan ini paling tepat dilakukan
ketika bilas usus diindikasikan dan jika terdapat cidera medula spinalis.
supositoria bermafaan jika digunakan dini dalam memulai program
defekasi. supositoria menstimulus refleks gastrokolik yang sama dengan
stimulasi manuala dan merelaksasi sfingter anus. jika terjadi lesi korda
kotor bawah, enema diperlikan untuk mengeluarkan feses. namun, perawat
harus berupaya menetapkan defekasi yang teratur dengan mengajarkan
lansia yang mengejan mendorong otot abdomen atau secara manual
mendorong abdomen bawah jika memungkinkan. individu lansia dapat
diajari untuk masase abdomen pada inguinal kanan kearah atas dan
kemungkinan ke bawah kearah kiri, mengikuti posos anus besar melintang,
sekum dan rektum untuk menstimulasi dan mengencangkan kerja usus
(Cannon 1981).untuk mengendalikan inkontinnensia yang disertai diare
pada individuyang tidak mengalami konstipasi, imodium, dengan dosisi
sampai 4 mg empat kali sehari, terbukti lebih efektif di banding
lomotil.program pelatihan defekasi harus ditetapkan dan dipertahankan
sekurang kuranya 10 sampai 15 hari( Sharpless, 1982) dan biasanya
pembentuka feses yang lunaka dan p[adat dalam satu jam waktu yang
58
dirancang baru dapat dicapai setelah perogram berjalan enam sampai
delapan minggu ( Alterescu, 1986, Davis et al 1986, Hanak 1986)untuk itu,
catatan harian defekasi, yang bmengkaji asupan makanan dan cairan,
laksatif yang digunakan, waktu dan jenis defekasi, serta fasilitas yang
digunakan, harus terus dibuat karena penting untuk mengevaluasi
keefektifan intervensi dan mengidentifikasi bila terdapat masalah.
Biofeedback sebaig tambahan latihan dasar panggul untuk melatih
dasar latihan defekasi telah diselidiki di Nsional Intitute on Aging,
Lboratory of Behavioral Sciences (McCormic & Burgo 1984). Prosedur
biofeedback untuk inkontinensia alvi memberi pasien umpan balik sensori
pada aktivitas sfingter anus ( Wald, 1986). McCormicdan Burgo (1984)
melaporkan dari 13 lansia yang emdapat terapi biofeedback untuk
mengatasi inkontinensia alvi,” empat diantaranya menjadi konten dan tuju
lainya menunjukakan kemajuan sebesar lebih dari 50% (hml.19). seorang
pasien dalam sample penelitian McCormic & Burgo mengalaimi gangguan
kognitif sehiongga tidak dapat menjadi kandidat untuk diberikan
biofeedback. hal ini menunjukakan kerugian penggunaan biofeedback
sebagai intervensi untuk penderita inkontinensis alvi, karena gangguan
kognitif sering dialami lansia yang dirawat inap dan merupaken etiologi
yang sering muncul. Biefeldt, Enack, dan Wienbeck (1990) berpendapat
bahwa dukungan emosi dari staf atau modifikasi perilaku dan teknik
biofeedback sam – sama penting untuk menurunkan inkonintensia alvi pada
lansia.
b. Manajemen Lingkungan
Privasi, kemudahan, kenyamanan, posisi fungsional dan keamanan
merupak fitur struktur lingkungan yang dapat meningkatkan kontinensia
fekal. Lansia khususnya jika dirawat seringkali mengalami eliminasi fekan
dengan prifasi minimal. kondisi ini akan terasa lebih sulit bagi lansia yang
telah terbiasa dengan budaya sopan. kebanyakan individu merasa malu
ketika mereka harus melakukan edfekasi dengan ditemani orang lain.
dengan demikian, kurang privasi yang dapat membuat lansia menghindari
defekasi, yang dapat mengakibatkan konstipasi dan inkontinensia. perawat
juga harus emngkaji kemampuan lansia untuk ambulasi kekamar mandi dan
berjalan menggunkan kursi roda serta kemampuan individu untuk pergi
59
kekamar mandi tepat pada waktunya guna menghindari defekasi sebelum
mencapai program tersebut. alat bantu harus tersedia di kamer mandi
sehingga lansia mendapatkan dukungan yang dibutuhkan ketika akan
berpindah, mengenakan pakaian, dan saat melakukan higiene personal.
defekais cenderung berhasil jika lansia merasa aman dan tidak terancam
jatuh. program defekasi yang dirancang juga harus mempertimbangkan
prinsih bahwa kativitas peristaltik lebih besar ketika posisi individu tegak
lurus, karena pada posisi tersebut gravitasi membantu pengeluaran feses.
program intervensi juga harus menyertakan instruksi kepada staf untuk
responsif terhadap waktu defekasi sehingga menekan kepada staf penting
konsistensi rencana asuhan. perawat juga harus memberi intervensi emosi
dan sosial( misalnnya terapi relaksasi, dukungan sosial) jika depresi dan
ansietas dinilai sebagai etiologi inkontinensia . jika staf yang tidak
menghakimi terhadap lansia yang membutuhkan bantuan atau ketika terjadi
inkontinensia, merupakan aspek penting manejemen lingkungan, tetapi
sering diabaikan.
2.3 POLA AKTIVITAS
A. PERUBAHAN NORMAL SEIRING PENUAAN
Berbagai perubahan fisiologis terjadi pada sistem kardiovaskuler , pernafasan ,
saraf , dan muskuloskeletal selama penuaan normal .Bukti kuat menunjukkan
disuse akibat ketidakaktifan sebagai penyebab utama penurunan mobilitas dan
fungsi fisik (Sullivan, 1997).Jantung dan diafragma menunjukkan lebih sedikit
perubahan seiring penuaan dibandingkan dengan otot volunter, sebuah temuan
yang sejalan dengan keyakinan bahwa penuaan tidak semata – mata menyebabkan
masalah aktivitas pada lansia (Gioiella & Bevil ,1995 ; Harris, 1998). Secara
teoritis , modifikasi gaya hidup ke arah positif , seperti melakukan aktivitas fisik
ringan dan asupan nutrisi yang tepat , menjadi dasar fisiologis untuk
mengoptimalkan kemampuan fisik dan meningkatkan penuaan yang lebih sehat.
1. Sistem Kardiovaskuler
Beberapa perubahan akibat penuaan menurunkan efisiensi sistem
kardiovaskuler . Faktor yang menyebabkan penurunan komplians jantung
mencakup sklerosis endokardium, fibrosis katup jantung , peningkatan
kekakuan miokardium , penurunan serat otot, dan penurunan kekuatan
miokardium . Sel pacemaker yang semakin berkurang dan fibrosis nodus
60
sinoatrial (SA) yang semakin luas dapat menyebabkan gangguan irama jantung
.Hanya 10% sel pacemaker yang terlihat pada usia 20 tahun masih ditemukan
saat usia 75 tahun ( Rowe & Besdine, 1998).
2. Sistem Pernafasan
Beberapa perubahan terkait penuaan terjadi pada sistem pernafasan,
termasuk atrofi otot pernafasan , peningkatan kekakuan sangkar iga, kifosis
postural, progresif, dan kalsifikasi kartilago kosta. Diameter anterior –
posterior dada meningkat karena pendataran diafragma dan elevasi iga , yang
mengakibatkan penampilan dada tong . Faktor ini menurunkan komplians ,
sehingga kemampuan pengembangan dinding dada menurun ( Rowe &
Besdine, 1998). Aliran darah paru menurun sebagai akibat penurunan curah
jantung.
3. Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat juga menunjukkan beberapa perubahan seiring
penuaan. Pada usia 80 tahun masa otak menurun 6% hingga 7% karena
kehilangan sel, terutama pada serebelum dan korteks serebri (Lewis &
Bottomley , 1998). Beberapa neuro transmiter menjadi lebih sedikit pada otak
yang menua , sehingga memperlambat transmisi sinaps (Lewis & Bottomley ,
1998). Pada sistem sistem saraf perifer,neuro atrofi dan semakin sedikit. Serat
bermielin tebal berkurang lebih banyak daripada serat bermielin tipis .
Seiring penuaan , semua indra mengalami perubahan degeneratif dan
menjadi kurang sensitif. Keseimbangan bergantung pada input sistem
penglihatan, propioseptif,dan vestibular (Bonder & wagner, 1998 ; Newman,
1998).
4. Sistem Muskuloskeletal
Perubahan terkait penuaan pada sistem muskuloskeletal mengakibatkan
intoleransi aktivitas dan hambatan mobilitas fisik ( Nesbitt, 1998). Penurunan
kekuatan otot disebabkan oleh atrofi serat otot dan penurunan neurologis
akibat penuaan . Banyak perubahan fisiologik lain terkait penuaan
menyebabkan lebih sedikit pengurangan otot. Faktor lain yang dapat
menyebabkan penurunan kekuatan otot mencakup ketidakcukupan asupan
kalium dalam diet, penurunan neuron , perubahan hormonal, dan penurunan
mobilisasi glukosa saat aktivitas ( Farrell,1998). Otot yang menua

61
menggunakan oksigen secara kurang efisien. Pergerakan motorik kasar yang
lebih lambat disebabkan oleh penurunan perfusi oksigen dan zat gizi ke otot.
Osteoblas terus membentuk deposit tulang baru sampai individu berusia
lanjut, tetapi pada usia 35 dan 40 tahu , individu mulai mengalami penurunan
massa tulang progresif (Brocklehurst et al., 1998 ). Absorpsi cepat bagian
dalam tulang panjang dan tulang pipih lebih dari kecepatan pertumbuhan
tulang baru pada permukaan luar . Akibatnya, bagian dalam tulang menjadi
kopong dan lebih keropos.
B. PENURUNAN JURAH JANTUNG
Fungsi dan viabilitas seluruh jaringan tubuh bergantung pada suplai oksigen
dn zat gizi lain yang disebutadekuat dri darah sirkulasi. Suplai ini terutamma
ditentukan oleh curah jantung, sesuai dengan rumus berikut:
CO = HR x SV
Dengan
CO = Curah Jantung (Cardiac output)

HR = Frekuensi Jantung (Heart rate)

SV = Isi Sekuncup (Stroke volume)

Dengan demikian, isi sekuncup ditentukan oleh preloa,afterload, dan


kontraktilitas. Jika frekuensi jantung normal berkisar dari 60 sampai 100 denyut /
menit dan dikalikan dengan isi sekuncup normal 60 sampai 130 ml, hasilnya
adalah curah jantung normal, yaitu 4 sampai 8 liter/ menit. (Alexander, 1988).
Indeks jantung atau curah jantung dibagi oleh area permukaan tubuh merupakan
pengukuran fuungsi jantung yang lebih individual yang digunakan dalam praktik
klinik, dengan kisaran normal 2.5 sampai 4 liter/menit (Alexander, 1998).
Ketidakmampuan jantung untuk menyuplai sejumlah darah teroksigenasi yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh disebut kegagalan pompa
atau penurunan curah jantung. Metode penguukuran curah jantung telah
disempurnakan selama 20 tahun terakhir menggunakan kateter Swan-Ganz (Swan
et al., 1970)
Selama bertahun-tahun, diperkirakan bahwa terdapat penurunan khas terkait
usia pada ventrikel kiri dan penurunan aliran darah coroner. Hal ini belum
didukung oleh penelitian terkini (Roffe, 1998). Perubahan kardiovaskular seiring
penuaan terjadi secara selektif, bukan secara umum. Tidak ada penurunan umum
62
dalam fungsi jantung secara keseluruhan pada jantung yang menua dengan
normal. Kemampuan otot jantung untuk menghasilkan tegangan masih dapat
dipertahankan dengan baik meskipun terjadi penuaan
Demikian juga aspek Global fungsi ventrikel kiri saat istirahat. respon
terhadap reseptor simpatik beta pada jaringan jantung menurun drastis dan
dimanifestasikan sebagai penurunan respon inotropik otot jantung terhadap
stimulasi katekolamin. penurunan respon frekuensi jantung, dan penurunan
vasodilatasi arteri. selama melakukan latihan fisik, lansia mengalami peningkatan
penggunaan mekanisme Frank- Starling untuk mengkompensasi peningkatan
beban jantung dan status inotropik jantung yang lebih rendah. ( Alexander,
1998). seiring penuaan, terdapat bukti pemanjangan relaksasi dan kontraksi otot
jantung yang mengakibatkan pasar isovolume diastolik memanjang dan pengisian
diastolik ventrikel kiri melambat. tak ada jantung yang menua, dan disertai
penyakit arteri koroner kondisi ini dapat mengganggu aliran darah
subendikardium dan menyebabkan iskemia.
Pada lansia, penyebab potensial penurunan curah jantung dapat dikaitkan
dengan ketidakseimbangan cairan, distritmia, dan penurunan kontraktilitas akibat
infark miokardium atau cedera miokardium yang pernah dialami. (Davies,
1992) Hipotensi sistemik, iskemia miokardium,. da infark lebih prevalen seiring
penuaan dan dapat menyebabkan penurunan fungsi diastolik. (Harizi, Biaco, &
Alpert, 1988; Wong, Gold, Fukuyama, & Banchette, 1989). Perubahan terkait
usia pada tingkat anatomi dan tingkat sel dapat dihubungkan dengan penurunan
fungsi sistolik dan diastolik. perubahan pada pertautan silang jaringan ikat
interseluler menyebabkan peningkatan kekakuan miokardium. (Lakatta, 1990).
Dengan demikian, lansia dapat lebih beresiko terhadap penurunan curah jantung.
Pada lansia, penyebab potensial penurunan curah jantung dapat dikaitkan
dengan ketidakseimbangan cairan, distritmia, dan penurunan kontraktilitas akibat
infark miokardium atau cedera miokardium yang pernah dialami. (Davies,
1992) Hipotensi sistemik, iskemia miokardium,. da infark lebih prevalen seiring
penuaan dan dapat menyebabkan penurunan fungsi diastolik. (Harizi, Biaco, &
Alpert, 1988; Wong, Gold, Fukuyama, & Banchette, 1989). Perubahan terkait
usia pada tingkat anatomi dan tingkat sel dapat dihubungkan dengan penurunan
fungsi sistolik dan diastolik. perubahan pada pertautan silang jaringan ikat

63
interseluler menyebabkan peningkatan kekakuan miokardium. (Lakatta, 1990).
Dengan demikian, lansia dapat lebih beresiko terhadap penurunan curah jantung.
1. Faktor Yang Berhubungan/Etiologi
a. Perubahan Frekuensi Jantung.
Frekuensi denyut jantung diatur oleh kecepatan impuls dan nodus
SA, Impuls dari sistem saraf simpatik dan parasimpatik, kebutuhan
metabolik, dan mekanisme neural lainnya. Stimulasi sistem saraf
simpatik menyebabkan peningkatan frekuensi jantung dan kekuatan
kontraksi melalui pelepasan norepinefrin pada ujung saraf ke otot
jantung. (Guyton, 1981). Peningkatan frekuensi jantung saja dapat
meningkatkan curah jantung hingga 3 kali lipat dalam periode waktu
tertentu. Stimulasi sistem saraf parasimpatik menyebabkan penurunan
frekuensi jantung saja. Bradikardia tidak selalu menyebabkan penurunan
curah jantung, karena isi sekuncup akan meningkat sebagai kompensasi
penurunan frekuensi jantung. pada pasien dengan isi sekuncup terbatas,
frekuensi jantung menyebabkan penurunan curah jantung, demikian juga
pada pasien infark miokardium. (Braunwald, 1997).
Frekuensi jantung yang terlalu lambat, terlalu cepat, atau irregular,
dapat menyebabkan penurunan curah jantung pada pasien gangguan fungsi
jatuh takikardia. (frekuensi jantung >100 kali/menit) menyebabkan
penurunan waktu pengisian dan pengosongan atrium dan ventrikel.
Selama diastol Arteri koroner terisi darah, dengan peningkatan frekuensi
jantung yang mengakibatkan penurunan suplai oksigen ke miokardium.
Bradikardia (frekuensi jantung <60 kali/menit) dapat menyebabkan
penurunan curah jantung, arti dari kompensasi dengan peningkatan isi
sekuncup. disritmia menyebabkan penurunan servis atrioventrikuler
menyebabkan curah jantung menurun hingga 30%. dapat mengalami
gangguan frekuensi jantung Seperti palpitasi limbung, berkunang-kunang
atau sinkope.
b. Perubahan Isi Sekuncup.
Preload adalah volume darah yang mengisi kedua ventrikel saat
diastoe, jantung kanan menerima darah dari sirkulasi sistei kdan jantung
kiri menerima darah dari sirkulasi pulmonal l. faktor yang mempengaruhi
preloaPreload adalah aliran balik Vena sistemik tekanan atau tonus vena,
64
volue vena pulmonalis, tekanan intratoraks, tekanan perikardial, dan
kontaksi atrium (Braunwald, 1997).
Dalam kondisi normal 30% volume pengisian ventrikel dihasilkan
melalui kontraksi atrium yang terjadi pada akhir diastole ventrikel. jika
dorongan atrium ini kurang atau tidak ada, seperti pada disritmia atrium
(fibrilasi atrium, atrial flutter, takikardia atrium paroksismal), atau tidak
tepat waktu, seperti pada blok atrioventrikular (AV), Irama taut, disritmia
ventrikel, atau irama paci ventrikel, curah jantung menurun. Dengan
demikian, faktor yang menyebabkan penurunan preload, berpotensi
menyebabkan penurunan curah jantung.
Peningkatan preload terjadi saat tekanan sistem vena meningkat.
Pasien dapat mengalami edema pada bagian yang menggantung, seperti
saktrum dan ekstrenitas bawah, dan peningkatan berat badan sebanyaj 4.5
kg atau lebih. Seiring penurunan curah jantung, cairan dapat
terakumulasi di rongga perikardium. Penurunan kerja dan kekuatan
ventrikel kanan dengan pengangkatan dinding dada di sepanjang tepi
sternum dapat terjadi. Ventrikel kanan ataupun ventrikel kiri peningkatan
tekanan jantung menyebabkan aposisi katup, yang mengakibatkan murmur.
Preload jantung kanan dikaji melalui tekanan Vena Sentral (central
venous pressure, CVP, normal 2-6mm Hg) right ventricular, stroke work
index (RSVWI, normal 7-12 g/m2/denyut), dan tekanan sistolik arteri
pulmonalis (pulmonary artery systolic pressure, PAS, normal 20-30 mm
Hg) Preload ventrikel kiri, dicerminkan sebagai afterload ventrikel kanan.
Fungsi ventrikel kanan dimanifestasikan oleh pasien dengan edema
perifer, hepatomegali, ekstrenitas dingin, distensi vena jugular, mual dan
muntah, begah, dan nyeri abdomen, keletihan, dan kelemahan.
Kontraktilitas miokardium merupakan kemampuan bawaan otot
jantung atraksi dan dijelaskan melalui hukum Frank-Starling jantung
(Starling, 1926). Kontraktilitas tidak dapat diukur langsung di tempat
tidur tetapi mengindikasikan fungsi ventrikel kiri. Penurunan efisiensi
pemompaan ventrikel kiri menyebabkan efek ke belakang dan ke depan.
efek kedepan yaitu penurunan perfusi jaringan ke organ. wfek ke
belakang adalah peningkatan volume dan tekanan yang di sirkulasi
pulmonal. Karena kemampuam pengosongan sempurna ventrikel
65
berkurang dan curah jantung efektif menurun, darah akan tetap
terkumpul di ventrikel kiri pada akhir sistole. Untuk meningkatkan jumlah
darah yang dipompa dari ventrikel kiri, jantung membesar dan
meningkatkan kecepatan dan kekuatan kontraksinya (Starling, 1926)
Tabel 24-1
Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan yang Dianjurkan
PENURUNAN CURAH JANTUNG
Diagnosis Keperawatan Hasil yang Intervensi Keperawatan
Penurunan Curah Jantung Diharapkan Perawatan Jantung
Batasan Karakteristik Keefektifan Pompa Tindakan
Jantung
Indikator
Variasi pada pembacaan Tekanan darah dalam - Pantau tanda-tanda vital secara
tekanan darah batas normal sering
Peningkatan tekanan arteri Indeks jantung dalam - Kaji adanya perubahan tekanan
pulmonalis batas normal darah
Disritmia Disritmia tidak ada - Dokumentasikan disritmia
jantung
Perubahan EKG Frekuensi jantung - Pantau terhadap disritmia jantung
dalam batas normal - Pantau fungsi pacemaker, jika
perlu
- Evaluasi respons pasien terhadap
pasien ektopi atau disritmia
- Lakukan terapi antidisritmia
sesuai kebijakan ruangan, jika
perlu
- Pantau respons pasien terhadap
obat antidisritmia

Penurunan nadi perifer Denyut nadi perifer - Lakukan penilaian komprehensi


kuat terhadap sirkulasi perifer
Perubahan warna kulit Warna kulit - Pantau keseimbangan cairan
Kulit dingin dan lembab Diaforesis berlebihan
Peningkatan berat badan tidak ada
Edema Edema perifer tidak ada
Oliguria
Distensi vena jugularis Ukuran jantung normal - Evaluasi nyeri dada
Dispnea Angina tidak ada - Jelaskan kepada pasien
Mengi pentingnya segera melaporkan

66
Peningkatan frekuensi ketidaknyamanan dada
pernafasan
Penggunaan otot bantu
pernafasan
Foto rotgen dada abnormal
(kongesti pembuluh darah
paru)
Nyeri dada
Freksi ejeksi <40% Fraksi ejeksi dalam
Enzim jantung abnormal batas normal
Peningkatan frekuensi Bunyi jantung - Kaji efek psikologis terhadap
jantung abnormal tidak ada kondisi yang dialami
Gelisah - Bina hubungan supportif dengan
pasien dan keluarga
Perubahan status mental Toleransi aktivitas - Beri dukungan spiritual kepada
Keletihan dalam batas normal pasien dan keluarga
- Tingkatkan reduksi stres
- Jelaskan kepada pasien dan
keluarga tentang pembatasan
aktivitas dan kemajuanyang
dicapai
- Atur periode aktivitas dan
istirahat untuk menghindari
keletihan
- Pantau toleransi aktivitas pasien
Afterload adalah resistansi yang harus dilawan ketika jantung harus
memompa untuk mengeluarkan darah. Mekanisme ini ditentukan oleh
diameter ateriol pada sirkulasi pulmonal dan sistemik (Paris Ley, 1989)
Afterload ventrikel kanan ditentukan oleh sirkulasi paru. Jika
pembuluh darah paru kontriksi atau terjadi obstuksi aliran darah paru,
dapat terjadi peningkatan resistansi pembuluh darah paru dengan
peningkatan afterload ventikel kanan berikutnya dapat menurunkan
preload jantung kiri (Braunwald, 1997)
2. Diagnosis Keperawatan
Penurunan curah jantung didefinisikan NANDA sebagai “kondisi saat
darah yang dipompa jantung tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh” (NANDA, 1999, hlmn 29). Penyelidikan menggunakan
metode deskriptif, yang hanya melibatkan sedikit sampel, terutama berfokus
pada individu sakit kritis, mengandalkan rekam medis untuk pengumpulan

67
data, dan menggunakan berbagai definisi konsep. Tanpa mempertimbangkan
isu hasil penelitian mencerminkan bahwa usaha NANDA dalam
mendefinisikan penurunan curah jantung memiliki awal yang baik. Revisi
yang diajukan dalam definisi dan batasan karakteristik telah diajukan dan
digabungkan dengan taksonomi NANDA (NANDA, 1999)
3. Hasil Yang Diharapkan
Dari NOC (Iowa Outcome Project, 2000), dua kategori hasil yang
paling menonjol dalam diagnosis Penurunan Curah Jantung adalah
Keefektifan Pompa Jantung dan Status Sirkulasi. Keefektifan Pompa Jantung
didefinisikan sebagai “tingkat pemompa darah dari ventrikel kiri per menit
untuk mendukung tekanan perfusi sistemik” dan termasuk indikator berikut :
(1) tekanan darah (TD) indeks jantung, freksi ejeksi, frekuensi jantung,
toleransi aktivitas dalam batas normal (2) nadi perifer kuat (3) tidak
ditemukan distensi vena leher, disritmia, angina, bunyi jantung abnormal (4)
warna kulit dan ukuran jantung normal (Iowa Out Come Project, 2000,
hlm.136)
4. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan untuk penatalaksanaan penurunan curah jantung
telah dideskripsikan dalam laporan penelitian klinis yang membahas asuhan
keperawatan untuk pasien yang mengalami penyakit arteri koroner.
(Dougherty, 1985; Wesel&Kim, 1984). Pada gagal jantung kongestif dan
syok kardiogenik, Doughrty (1985) mengidentifikasi intervensi mandiri dan
kolaborasi yang digunakan perawat saat mengatasi penurunan curah jantung.
Intervensi psikologik mempengaruhi seluruh parameter fisiologik lain curah
jantung.
Penyakit yang berhubungan dengan jantung dapat menyebabkan respons
kognitif dan emosi, yang perlu dikaji dan dipantau. Mengurangi stres akibat
lingkungan perawatan kritis, mengkaji persepsi sakit, dan mengidentifikasi
respons emosi mengarahkan perawat untuk memfasilitasi ekspresi perhatian
dan kecemasan. Manajemen krisis mungkin diperlukan bagi pasien dan
anggota keluarga mereka (Bumann & Speltz, 1989; Futrell,1990; White &
Roberts, 1992).
Tindakan keperawatan pada tabel 24-1. Perawatan jantung juga
mencakup tindakan yang berhubungan dengan perawatan jantung akut dan
68
tindakan kewaspadaan jantung. Intervensi perawatan jantung akut
diimplementasikan untuk membatasi komplikasi pada pasien yang baru
mengalami gangguan jantung.
C. GANGGUAN PERFUSI JARINGAN
Sirkulasi darah penting untuk pengiriman oksigen dan zat gizi ke jaringan dan
untuk pengeluaran produk sisa metabolik. Lansia khususnya rentan terhadap
Gangguan Perfusi Jaringan akibat perubahan pada sistem kardiovaskular seiring
penuaan. Perawat di tatanan perawatan akut dan jangka panjang harus mengkaji
klien lansia terhadap batasan karakteristik Gangguan Perfusi Jaringan dan
memulai rencana asuhan untuk memodifikasi etiologi. Intervensi promosi
kesehatan dapat membantu mencegah Gangguan Perfusi Jaringan, atau, jika
gangguan sudah terjadi, dapat membantu mempertahankan kemampuan perawatan
diri dan status kesehatan fungsional pada lansia.
1. Faktor Yang Berhubungan / Etiologi
Diagnosis akurat danmanajemen Gangguan Perfusi Jaringan pada
lansia harus berdasar pada faktor fisiologik dan psikososial. Data dasar yang
lengkap sangat penting karena perubahan terkait penuaan pada respons tubuh
terhadap penyakit membuat diagnosis menjadi lebih sulit ditegakkan. Gejala
penyakit bervariasi baik dalam kualitas maupun kuantitas dan dapat hanya
berupa keletihan, anoreksia, konfusi, inkontinensia, hambatan ambulasi,
penurunan berat badan, atau kegagalan tumbuh kembang (Blake,1976, hlm
410)
Spesifikasi etiologi dan batasan karakteristik untuk Gangguan Perfusi
Jaringan ginjal, otak, gastrointestinal, kardiopulmonal, dan perifer membantu
penegakan diagnosis banding dan membantu perawat menentukan apakah
intervensi keperawatan mandiri atau perujukan terhadap terapi medis sudah
tepat.
a. Gangguan Aliran Arteri
Gangguan aliaran darah arteri menurunkan suplai darah teroksigenasi
ke jaringan tubuh. Dua faktor utama yang mempengaruhi keadekuatan
sirkulasi adalah jumlah aliran darah ke jaringan dan kebutuhan metabolik
jaringan tersebut. Pembuluh darah otak dan koroner terutama sensitif
terhadap hipoksemia dan dilatasi untuk memperbaiki perfusi jaringan.
Kondisi hipermetabolik dapat memicu iskemia ketika pembuluh darah
69
tidak mampu dilatasi, atau pompa jantung tidak dapat meningkatkan curah
jantung untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Redistribusi aliran darah
untuk memenuhi kebutuhan jaringan juga dapat menyebabkan iskemia di
area tempat pirau terjadi(Hart, 1981)
Kepatenan pembuluh darah dapat terganggu akibat kondisi yang
menyebabkan obstruksi lumen pembuluh darah, menginduksi
vasokontriksi reflektif, atau menghasilkan tekanan mekanis. Aliran darah
arteri pada lansia paling sering obstruksi oleh arteriosklerosis, sekelompok
pennyakit yang ditandai dengan penebalan dan kehilangan elastisitas
dinding arteri (Fagin-Dubin, 1977).
Kondisi vasospastik yang mengurangi kepatenan biasanya menyerang
pembuluh darah yang diregulasi oleh sistem saraf simpatik dan oleh
substansi lokal, seperti histamin, prostaglandin, dan katekolamin.
Vasopasme tersebu, yang sering kali dicetuskan oleh stes dingin atau
emosi, menimbulkan pucat, sianosis, hiperemia reaktif, dan, jika sangat
berat, dapat menimbulka ulserasidan gangren pada area tubuh yang
terkena (Hart,1981;Jones et al., 1982; Wagner, 1986)
Ginjal. Gangguan perfusi ginjal dapat disebabkan oleh semua masalah
sistemik yang mengakibatkan iskemia pada ginjal: hipovolemia,sepsis,
gagal jatung kongstif, disritmia jantung, dan infark miokardium
(Thompson, McFarland, Hirsh, & Tucker, 1998).
Serebral. Gangguan perfusi serebral dapat disebabkan oleh penurunan
kepatenan pembuluh darah otak dan akibat tekanan mekanis internal.
Hipotensi ortotastik dapat dikaitkan dengan perubahan posisi yang tiba-
tiba (terutama dari posisi berbaring atau duduk ke posisi berdiri), tirah
baring yang lama, gangguan fungsi otot skeletal penuaan, vena varikosa
yang parah, penurunan volume darah atau dehidrasi, dan medikasi,
seperti, antihipertensi, diuretik, vasodilator,dan neuroleptik, terutama
antidepresan trisiklik (Carpenito, 1995)
Kardiopulmonal. Arteri koroner yag mengalami ateroklerosis
menghambat suplai darah ke miokardium, mengakibatkan angina dan
takikardia atau infark miokardium yang disertai penurunan curah jantung.
Emboli atau infark paru dapat mengganggu aliran darah ke dasar kapiler

70
paru, menghambat pertukaran gas di alveoli. Nekrosis jaringan dan
hemoragi terjadi pada sisi infark (Thompson et,al.,1998)
Gastrointestinal. Aterosklerosis atau komplikasi pascabedah dapat
mengoklusi pembuluh darah mesentrika superior sehingga menurunkan
aliran darah ke usus. Jika peristaltik pada segmen distal usus menurun,
saluran cerna menguras isinya melalui muntah (Thompson et al.,1998).
Karena memiliki kecepatan metabolisme tinggi dan terpanjang dengan
toksin pekat,hati merupakan salah satu organ pertama yang rusak akibat
gangguan perfusi sistemik berat. Pankreas berespons dengan mengaktivasi
enzim pankreas dan mengeluarkan toksin, seperti faktor toksik
miokardium, yang menurunkan kontraktilitas miokardium.
Perifer. Emboli dapat mengokulasi arteri perifer, terutama pembuluh
darah diotak, ginjal, limpa, dan ekstremitas bawah. Emboli umumnya
berasal dari katup mitral dan aorta atau dari trombi mural yang
berhubungan dengan fibrilasi atrium dan infark miokardium (Hart,
1981;Jones et al., 1982; sexton, 1977).
b. Gangguan Aliran Vena
Gangguan aliran darah vena menurunkan darah yang kembali ke
jantung. Peurunan kepatenan pembuluh darah dan perubahan komposisi
darah merupakan dua faktor utama yang menggaggu sirkulasi darah vena.
Daun katup yang terlalu meregang akibat tekanan jangka panjang atau
tekanan yang terlalu kuat tidak dapat menutup sempurna dan mencetuskan
aliran balik, kondisi yang dikenal sebagai insufisiensi vena atau statis
vena (Wagner, 1986). Statis vena juga dapat dicetuskan oleh penurunan
aktifitas otot skeletal (Hart, 1981).
Statis vena adalah faktor utama yang memengaruhi pembentukan
trombus, tetapi bukan faktor tunggal pencetus trombosis. Faktor
predisposisi lain, seperti kerusakan dinding pembuluh darah, radang vena,
hiperkoagulabilitas, dan emobilitas, harus ada untuk mencetuskan
perkembangan bekuan (Carpenito, 1995; Doyle, 1986; Hart, 1981; Jones
et al., 1982; Wagner, 1986).

71
c. Masalah Pertukaran
Masalah pertukaran terjadi ketika difusi oksigen melintasi membran
kapiler alveoli terganggu. Gangguan difusi terjadi saat distribusi udara
(ventilasi) atau aliran darah kapiler paru (perfusi) ke alveolus tidak
adekuat.
Rasio V/Q rendah (<0,8) terjadi saat ventilasi lebih rendah daripada
perfusi alveoli. Sebaliknya, rasio V/Q tinggi (>0.8) secara langsung
dikaitkan dengan pirau darah dari dasar kapilerparu (Thompson et al.,
1998).
d. Hipovolemia
Hipovelemia, penurunan volume darah intravaskular terkait ukuran
kompartemen intravaskular, disebabkan oleh defisit volume darah,
sedikitnya 15% sampai 25% (Rice, 1981). Kehilangan internal dapat
disebabkan oleh perpindahan cairan ke ruang ketiga, kebocoran cairan
dari kapiler ke lumen usus, fraktur tulang panjang, akumulasi darah di
ruang ekstravaskuker, dan gangguan aliran balik vena. Penurunan volume
intravaskular mengakibatkan aliran balik vena, tekanan pengisian darah.
Pada akhirnya, syok hipovolemik menyebabkan penurunan perfusi ke
jaringan dan organ tubuh (Rice, 1981)
e. Hipervolemia
Hipervolemia (kelebihan beban sirkulasi) merupakan peningkatan
berlebihan pada volume darah inravaskular yangmenyebabkan kelebihan
beban pada seluruh kompartemen cairan termasuk pada ruang
intavaskuler. Kelebihan bean volume dapat terjadi saat larutan isotonik
diberikan terlalu cepat, terutama pada individu sangat muda atau sangat
tua.
2. Pengkajian
Kane dan kane (1981) menyatakan bahwa pengukuran fungsi fisik
paling penting dalam fasilitas perawatan jangka panjang. Penilaian status
kesehatan fungsional pada lansia dikategorikan sebagai kesehatan fisik umum
dan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dan
aktivitas kehidupan sehari-hari aktif. Pengkajian kesehatan fisik termasuk
poin, seperti hospitalisasi, nyeri, tanda dan gejala fisiologik, atau penilaian
kesehatan mandiri, sedangkan kemampuan untuk melakukan aktivitas
72
kehidupan sehari-hari berfokus pada perawatan diri dan aktivitas hidup
mandiri. Ketiga penilaian ini penting untuk pengkajian holistik dan
manajemen Gangguan Perfusi Jaringan pda lansia.
3. Diagnosis Keperawatan
NANDA (1999) mendefinisikan Gangguan Perfusi Jaringan sebagai
“penurunan oksigen yang mengakibatkan kegagalan memberikan nutrisi ke
jaringan pada tingkat kapiler”. Gangguan Perfusi Jaringan dikategorikan
berdasarkan sistem ginjal, serebral, kardiopulmonal, gastrointestinal, atau
perifer
4. Hasil Yang Diharapkan
Tugas penting pada fase perencanaan proses keperawatan adalah
identifikasi hasil atau tujuan yang diharapkan pada klien. Hasil yang
diharapkan adalah tindakan atau perilaku pasien, yang memandu penyeleksian
intervensi keperawatan dan memberi kriteria evaluasi terhadap keefektifan
penanganan dalam mencapai hasil pada inividu klien.
Hasil ini dapat didefinisikan sebagai “keefektifan aliran darah ke
pembuluh darah besar pada jalur sistemik dan pulmonal untuk
mempertahankan fungsi organ dan jaringan”. Indikator utuk mengukur
pencapaian hasil Gangguan Perfusi Jaringan adalah:
1) Frekuesi dan irama jantung dalam rentang yanng diharapkan
2) Frekuensi dan irama pernapasan dalam rentang yang diharapkan
3) Suhu tubuh dalam rentang yang diharapkan
4) Tekanan sistolik, diastolik, dan tekanan darah rata-rata dalam rentang
yang diharapkan
5) Tekanan arteri pulmonal dalam rentang yang diharapkan
6) Tekanan vena sentral dalam rentang yang diharapkan
Judul hasil kedua, yakni Perfusi Jaringan: Perifer, tepat untuk gangguan
perfusi perifer. Hasil ini didefinisikan sebagai “keefektifan aliran darah
padapembuluh darah kecil di ekstremitas dan dalam mempertahankan fungsi
jaringan” (lowa Outcomes Project, 2000)
5. Intervensi Keperawatan
NIC memberi teksonomi 486 intervensi keperawatan yang digunakan
perawat untuk mengatasi diagnosis keperawatan fisiologik dan psikososial.
Masing-masing judul intervensi memiliki definisi dan serangkaian batasan
73
tindakan keperawatan (lowa InterventionProject, 2000). “Intervensi
Keperawatan adalah semua terapi yang dierikan berdasarkan penilaian
klinisdan tuuh pengetahuan, yang dilakukan perawat untuk meningkatkan
hasil pada pasien/klien. Intervensi keperawatan mencakup perawatan
langsung dan tidak langsun; yang ditujukan kepada individu, keluarga, dan
komunitas; termasuk penatalaksanaan yangdiberikan oleh perawat, dokter,
dan tenagakesehatan lain.” (lowa Intervention Project, 2000)
a. Intervensi Pemantauan
Intervensi pemantauan digunakan untuk tujuan pengkajian dan
evaluasi. Tindakan pemantauan ini digunakan untuk mengkaji batasan
karakteristik atau kemungkinan komplikasi Gangguan Perfusi Jaringan.
Sebagai contoh, tiga intervensi keperawatan utama yang berhubungan
dengan pemantauan yang tepat untuk mengatasi gangguan perfusi jaringan
kardiopulmonal adalah Pemantauan Tanda Vital, Pemantauan
Hemodinamika Invasif, dan Pemantauan Keseimbangan Asam-Basa.
Pemantauan juga digunakan untuk mengkaji efektivitas intervensi
keperawatan dan intervensi medis untuk tujuan evaluasi, bukan diagnosis.
Oleh karena itu selain memantau status fisiologik pasien, temuan dari
tindakan pemantauan menjadi indikasi tingkat respons pasien tehadap
intervensi yang ditujukan untuk memodifikasi gangguan status perfusi
b. Intervensi Manajemen
Penatalaksanaan untuk diagnosis keperawatan ditujukan untuk
menghilangkan faktor etiologi masalah kesehatan aktual atau potensial.
Tujuan umum terapi keperawatan untuk Gangguan Perfusi Jaringan
adalah mempertahankan perfusi jaringan dan oksigenasi sel (Hart, 1981;
Thompson et al., 1989). Terapi keperawatan sangat efektif jika etiologi
masalah kesehatan dapat dimodifikasi, tetapi mengubah etiologi
Gangguan Perfusi Jaringan sulit dilakukan pada klien lansia karena
gangguan yang dialami.
D. KETIDAKEFEKTIFAN POLA NAFAS
Fungsi paru-paru maksimum dicapai pada usia antara 20 dan 25 tahun,
kemudian mengalami penurunan secara progresif (Levitzky, 1984). Namun,
pengaruh penuaan sulit dipisahkan dari efek pajanan kronis terhadap polusi udara,
asap rokok, infeksi pernafasan, dan perbedaan gaya hidup. Sebagai contoh,
74
insiden emfisema meningkat seiring penuaan, sehingga pada usia 90 tahun,
hampir semua individu mengalami berbagai tingkat penyakit paru obstruktif
(pretty, 1983). Tanda dan gejala, dispnea atau keletihan, yang sering muncul
seiring penuaan menyebabkan penatalaksanaan kurang maksimal dan, akibatnya,
terjadi pemburukan patologi. Perawat perlu memahami perubahan dasar terkait
penuaan karena berperan mengkaji kemampuan fungsional dan efek perubahan
normal dan patologik pada aktivitas kehidupan sehari-hari (ADL).
1. Faktor Yang Berhubungan/ Etiologi
Berbagai perubahan pada pola napas terjadi pada lansia, sebagai akibat
proses penuaan dan penyakit paru obstruktif dan restriktif. Perubahan ini
terangkum dalam kotak 26-1 dan dibandingkan dengan batasan karakteristik
dan faktor yang berhubungan yang ditetapkan oleh NANDA.
a. Perubahan Fisiologik Terkait Penuaan
Dua fungsi utama sistem pernafasan adalah ventilasi dan pertukaran
gas. Fungsi sistem paru lain yang dapat dipengaruhi oleh penuaan adalah
kendali saraf mekanisme pernapasan dan pertahanan tubuh. Brandstetter
dan kazemi (1983), Levitzky (1984), dan Wahba (1983) menyampaikan
tinjauan tentang efek penuaan pada fungsi sistem pernapasan.
Ventilasi. Jumlah usaha yang dibutuhkan untuk ventilasi ditentukan
oleh komplians, resistansi jalan napas, dan tegangan permukaan alveolar.
Perubahan terkait penuaan terjadi pada komplians dan resistansi jalan
napas, tetapi tidak pada tegangan permukaan alveolar.
Komplians. Fungsi ventilasi paru menurun sekitar dua kali lebih cepat
setalah usia 50 tahun. Perubahan pada volume dan mekanika paru
disebabkan oleh penurunan rekoil elastik paru disebabkan oleh penurunan
rekoil elastik paru dan kekakuan progresif dinding paru.
Resistensi Jalan Napas. Penyusutan diameter jalan napas yang kecil,
penurunan stabilitas, dan peningkatan kapasitas penutupan, menyebabkan
penutupan prematur pada ekspirasi. Efek yang terjadi pada saluran napas
kecil ini di perburuk pada saat paru pada posisi supine. Persepsi resistensi
aliran udara menjadi lebih tumpul pada lansia, membuat perubahan kecil
pada resistensi pernapasan lebih sulit dideteksi. Individu lansia kurang
mampu mempertahankan volume tidal konstan.

75
Pertukaran Gas. Tekanan oksigen arteri menurun tiap dasawarsa,
sebaliknya 𝑃𝑂2 alveolar tetap konstan atau sedikit meningkat. Akibatnya,
𝑃𝑂2 arteri menurun sampai 20 torr sejak usia 20-70 tahun.pirau fisiologik
pada ventilasi alveolar menjadi kurang seragam seiring penuaan
Regulasi Saraf. Peningkatan ventilasi sebagai respons terhadap
hipoksia dan hiperkapnia menjadi tumpul, menurun satu setengahnya pada
usia antara 25 dan 70 tahun.penyebab hipotesis untuk penurunan ini
termasuk penurunan output saraf ke otot pernapasan, menurunkan
sensivitas kemoreseptor sentral dan arteri dan perubahan pusat kendali
pernapasan.
Mekanisme Pertahanan. Penurunan jumlah silia menyebabkan
penurunan efisiensi elevator mukosiliar. Respons refleks terhadap
stimulasi mekanik atau kimiawi saluran napas atas berkurang. Refleks
batuk menjadi kurang efisien dalam hal volume , kekuatan dan kecepatan
aliran karena karena penurunan kekuatan otot pernapasan dan gangguan
mekanika paru dan dinding dada.
Perubahan Struktur. Duktus alveolar dan bronkiolus pernapasan
membesar saat terjadi gangguan pada alveoli, menyebabkan penyempitan
area permukaan alveolar.jumlah dan ukuran fenestra interalveolar
meningkat karena degenerasi serat elastik yang berdekatan.
b. Patologi Paru Pada Proses Penuaan
Perubahan patofisiologik yang berkaitan dengan status penyakit paru
dapat menyebabkan ketidakefektifan pola napas, dan perubahan ini dapat
diperberat oleh perubahan yang dihubungkan dengan penuaan. Penyakit
paru obstruktif (yaitu emfisema, asma, dan bronkitis) dan penyakit paru
restriktif (yaitutuberkulosis) menimbulkan gejala ketidakefektifan pola
napas , meskipun dengan mekanisme yang berbeda.
2. Pengkajian
Guzetta, buton, prinkey, sherer, dan seifert (1989) menerbitkan koleksi
instrumen pengkajian 3 dari instrumen ini dapat berguna saat mengkaji pasien
yang mengalami masalah ketidakefektifan pola napas : pulmonary assesment
tool, medical surgical assesment tool dan gerontologic assesment tool.

76
3. Diagnosis Keperawatan
Ketidakefektifan pola napas terjadi saat pola inhalasi atau ekshalasi
tidak memungkinkan inflasi atau pengosongan paru yang adekuat. Tiga
diagnosis keperawatan pernapasan menurut NANDA yaitu ketidakefektifan
bersihan jalan napas, ketidakefektifan pola napas dan gangguan pertukaran
gas.
4. Hasil Yang Diharapkan
Penanganan pasien ketidakefektifan pola napas bertujuan untuk
mengatasi atau menghindari dispneu , memperbaiki kemampuan untuk
melakukan ADL, meningkatkan kesejahteraan, dan memperbaiki toleransi
terhadap latihan fisik .
5. Intervensi
Perubahan yang disebabkan oleh ketidakefektifan pola nafas sering
kali tidak reversibel akibat efek penuaan atau penyakit kronis. Masalah yang
disebabkan oleh ketidakefektifan pola napas sering kali berupa
ketidakadekuatan ventilasi. sebagai perawat tindakan yang dapat dilakukan
dengan : pendidikan (penyuluhan: proses penyakit , penyuluhan : obat resep,
pendidikan kesehatan ,bantuan menghentikan kebiasaan merokok), latihan
napas (melatih pernapasan), latihan fisik (ambulasi, promosi latihan
fisik,relaksasi otot progresif) , pemberian obat, konservasi energi.
E. INTOLERAN AKTIVITAS
Intoleran aktivitas adalah kategori respon yang luas terhadap berbagai
intensitas aktivitas fisik. Kapasitas aerobik fungsional menurun karena penuaan,
tetapi kecepatan penurunan ini lebih rendah pada individu yang aktif, di banding
dengan individu dengan gaya hidup kurang gerak (Larson & Bruce 1987)
Kurang aktivitas fisik menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas serta
menurunkan kualitas hidup . penurunan pada lansia mengakibatkan peningkatan
pentakit kardiovaskular dan pernafasan peningkatan insiden jatuh dan konfungsi,
peningkatan depreai, dan penurunan performa ,peran dan harga diri , dan
perawatan di panti wreda pada usia yang relatif muda (Reynolds & Gareet 1997)
1. Faktor yang Berhubungan/ Etiologi
a. Tirah baring /imobilitas
b. Kelemahan umum
c. Gaya hidup kurang gerak
77
d. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Williams (1987) mengajukan dua kategori utama faktor yang berhungan pada
intoleran aktivitas .
a. Penyakit akut dan kronis
b. Perilaku gaya hidup sebelumnya
Penyakit akut dan kronik yang menyebabkan intoleran aktivitas melalui
perubahan patologik berkaitan dengan penyakit yang mendasarinya. Patologi
tersebut menyebabkan intoleran aktivitas dengan menghambat produksi energi,
menggangu kendali neurologis terhadap mobilitas dan dengan menganggu sistem
muskuloskeletal secara langsung.
2. Pengkajian
Tidak ada formulir pengkajian komprehensif untuk mengukur
intileransi aktifitas secaralangsung. Tetapi beberapa intusmen dapat membantu
secara langsung . instrumen ini berlandasan laporan mandiri pasien . Observasi
atau laporan pemberi asuhan tentang fungsi fisik terkait aktivitas sehari-hari .
ADL dan aktifitas kehidupan sehari hari aktif (Instrumental activities
of daily ielfing IADL) . Derajat pelaksananaan ADL biasanya dibagi menjadi
3 yaitu :
a. Kemampuan dalam melakukan tugas tanpa bantuan dari individu lain
b. Kemampuan melakukan tugas dengan beberapa bantuan
c. Ketidakmampuan untuk melakukan tugas meskipun dengan bantuan .
3. Diagnosis Keperawatan
Cambels (1978) meningkatkan kategori aktifitas yang dapat ditoleransi
oleh individu . Tingkat minimum toleransi aktivitas didefinisikan sebagai
kemampuan menoleransi semua aktivitas fisik tanpa disertai
ketidaknyamanan. NANDA memilih untuk tidak berfokus hanya pada
toleransi aktivitas, melainkan pada intoleran aktivitas .
4. INTERVENSI KEPERAWATAN
Rangkaian intervensi keperawatan berfokus pada aktivitas fisik,
pengeluaran energi dan penggunaan program latihan fisik individual.
Intervensi tersebut meliputi :
o Promosi Mekanika Tubuh
o Manajemen Energi
o Promosi Latihan Fisik
78
o Terapi Latihan (Ambulasi, Keseimbangan, Mobilitas Sendi, Kendalo
Otot)
o Penyuluhan Program Aktivitas/ Latihan
a. Penelitian Tentang Latihan Fisik Dan Lansia
Manfaat promosi latihan fisik dan terapi latihan fisik pada lansia sudah
terbukti, tetapi hanya 30 % individu usia diatas 65 tahun yang melaporkan
melakukan latihan fisik secara teratur. penelitian tentang latihan fisik pada
lansia berfokus, terutama pada latihan ketahanan, latihan kekuatan,
keseimbangan dan pergerakan, atau beberapa kombinasi aspek tersebut.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa latihan fisik pada lansia dapat
menurunkan insiden jatuh-spesifik terhadap usia.
Dampak positif latihan kekuatan yang terlibat pada lansia meliputi:
perbaikan dalam kekuatan dinamik, kapasitas beban kerja maksimal,
keseimbangan dinamik, velositas berjalan, dan mobilitas fungsional.
Lansia dapat membalik beberapa penurunan kekuatan otot, yang menyertai
penuaan melalui latihan kekuatan dan keseimbangan.
F. HAMBATAN MOBILITAS FISIK
Mobilitas fisik penting untuk mempertahankan kesehatan dan kualitas hidup
semua individu dan terutama penting bagi lansia.mobilitas merupakan aktivitas di
dalam lingkungan individu (england,1985). Menurut milde (1988),mobilitas
memungkinkan individu menghindari bahaya,bertindak untuk merasakan
pengalaman yang menyenangkan,dan mempertahankan homeostasis.banyak lansia
mendefinisikan status kesehatan dan kebugaran fisik terkait mobilitas
mereka.Ambulasi merupakan cara mobilitas yang diharapkan,tetapi bagi
lansia,penggunaan alat bantu,seperti kursi roda dapat lebih memfasilitasi mobilitas
daripada ambulasi (kraft,1992).saat lansia dirawat inap,mobilitas fisik dapat
terhambat karena penyakit yang dialami dan karena faktor yang berhubungan
dengan lingkungan fisik (hogue,1985).intervensi preventif dibutuhkan untuk
memaksimalkan kemampuan fungsional lansia,yang jumlahnya semakin
meningkatb dalam populasi (guralnik&simonsick,1991).
Jika mobilitas fisik dipandang sebagai aspek kesehatan fungsional,
konsekuensi hambatan mobilitas fisik sangat luas, mencakup aspek fisiologik,
psikologik, dan sosioekonomi. Peningkatan kebergantungan fungsi yang
menyertai hambatan mobilitas fisik dan konsekuensinya sering kali dapat
79
dihindari, dikoreksi, dan diminimalkan melalui penegakan diagnosis keperawatan
dan pelaksanaan manajemen keperawatan yang cermat (johnson,stone,larson,&
hromek,1992).
a. Jatuh
Lansia yang mengalami hambatan fisik rentang jatuh akibat perubahan
gaya berjalan, kelemahan, postur gontai,dan penurunan reflek
(woollacott,1993). banyak lansia melaporkan bahwa mereka menghindari
aktivitas karena mereka takut jatuh(tinetti& powel,1993). hambatan mobilitas
juga dapat menyertai penyakit kronis yang lebih umum terjadi pada lansia
hambatan mobilitas dapat di pengaruhi oleh penanganan medis dan
medikasi.Selain itu, lansia, terutama wanita,lebih rentan terhadap fraktur saat
jatuh dibandingkan wanita yang lebih muda, sebab insiden osteoporosis pada
kelompok ini tinggi.Setengah atau lebih lansia yang dapat berjalan sebelum
mengalami fraktur pinggul tidak dapat berjalan sesudahnya (Melton&Rigg
1983).
b. Dampak Fisiologik
Pada situasi tertentu, penurunan mobilitas fisik mengyuntungkan .
Dalam keadaan istirahat konsumsi oksigen dan metabolisme menjadi lebih
lambat dan beban kerja jantung menurun. Banyak penyakit (misalnya
CHF,frakrur) memerlukan berbagai tingkat penghambataktivitas guna
mencapai penanganan yang efektif.Kemampuan fungsi bagian tubuh
berkurang jika bagian tubuh tersebut mengalami cedera atau terserang
penyakit.istirahat dapat fungsional pada kasus ini karena menyeimbangkan
kapasitas metabolik dan kebutuhan metabolik serta meningkatkan
penyembuhan.namun tubuh tidak perlu imobilitas untuk istirahat
(Monicken,1991)Semakin besar hambatan mobilitas fisik,semakin besar pula
kemungkinan timbul masalah fisiologis,jenis penurunan kondisi fisiologis yng
muncul akibat hambatan mobilitas fisik sangat luas dan mencakup penurunan
rentang pergerakan sendi (RPS).
Penurunan Kekuatan Dan Ketahanan Otot. Penurunan kekuatan
dan ketahanan otot terjadi jika kontraksi otot kurang dari 20% tegangan
maksimum setiah hari(kottke,1965).ketahanan otot merupakan fungsi sirkulasi
,nutrisi,dan pengeluaran sampah dari otot.pompa vena pada otot yang

80
imobilisasi menjadi tidak aktif yang menyebabkan penurunan sirkulasi
(kottke,1971).
Penurunan Kekuatan Skeletal. Penurunan kekuatan terjadi akibat
peningkatan reabsorpsi tulang yang menyertai hambatan mobilitas
(harper&lyles,1988).proses ini bergantung pada kontraksi otot dan tegangan
otot untuk meningkatkan deposisi tulang. Tulang oanjang ekstremitas bawah
vertebra paling rentan terhadap kehilangan mineral.kehilangan kalsium
meningkat cepat dari minggu pertama sampai ketiga imobilisasi mencapai
puncak pada minggu kelima atau keenam dan kemudian mencapai plateu pada
tingkat yang lebih rendahmencegah pengeroposan tulang lebih lanjut
Gangguan Kardiovaskuler. Gangguan fungsi kardiovaskuler
terutama dramatis jika hambatan mobilitas menyebabkan lansia harus tirah
baring lama atau hanya dapat duduk-duduk di kursi.kemampuan adaptasi
sirkulasi terhadap posisi yang tegak menurun secara cepat jika individu terlalu
lama tirah baring .setelah tirah baring selama 21 hari,pria muda yang sehat
baru dapat mencapai respons kardiovaskuler normal terhadap posisi tegak lima
minggu setelah memulai kembali aktivitas .lansia dapat mengalami lebih cepat
dan baru dapat pulih setelah memulai kembali aktivitas dalam periode yang
lebih lama.
Semakin lama tirah baring semakin tinggi risiko trombosit
vena(milde,1988). Gerakan tubuh tidak lagi menstimulasi kerja pompa otot
dan pembuluh darah akibatnya terajdi penurunan pengosongan pembuluh
darah akibatnya terjadi penurunan pengosongan pembuluh darah dan
peningkata statis terutama di daerah betis
Ketidakseimbangan Metabolik. Penurunan mobilitas menyebabkan
pemecahan protein dan ekskresi nitrogen dan dapat menyebabkan
ketidakseimbangan metabolik lain terjadi penurunan laju metabolik,
peningkatan cadangan lemak atau karbohidrat. Ulkus iskemik berkembang
pada area tubuh yang menonjol (titik tekanan ) tempat tekanan menghambat
aliran darah yang dibutuhkan untuk memberi nutrisi kepada sel. Selain itu
ulkus iskemik dapat terjadi semua posisi tidur atau tirah baring yang cukup
lama yang dapat memfasilitasi tekanan yang dapat menimbulkan nekrosis sel
(AHCPR 1992).

81
Ulkus Iskemik. Ulkus kulit dan otot dapat menjadi konsekuensi utama
Hambatan Mobilitas Fisik. Ulkus iskemik berkembang pada area tubuh yang
menonjol (titik tekanan). Tempat tekanan menghambat aliran darah yang
dibutuhkan untuk memberi nutrisi pada sel sehingga menurunkan pergerakan
otot.
Gangguan Fungsi Perkemihan. Penurunan fungsi perkemihan yang
paling parah terjadi jika hambatan mobilitas mengakibatkan posisi indibidu
harus terus rekumben yang mengakibatkan aliran urine dari ginjal ke ureter
melawan gaya gravitasi sehingga terjadi stasis urine yang merupakan
predisposisi batu ginjal atau infeksi ginjal
Penurunan Fungsi Pencernaan. Masalah pencernaan yang
berhubungan dengan hambatan mobilitas meliputi ingesti, digesti, dan
eliminasi. Ketidakadekuatan zat gizi, ditambah ganggaun sirkulasi dan
pertukaran zat gizi di sel, mengganggu pencernaan. Penurunan ingesti serat
dan cairan, gangguan digesti, kelemahan otot, dan gangguan motilitas kolon
merupakan alas an utama konstipasi sebagai masalah yang sering dialami
individu yang mengalami hambatan mobilitas.
Gangguan Pernapasan. Gangguan pernapasan akibat hambatan
mobilitas disebabkan, terutama oleh penurunan ventilasi dan ketidak
mampuan mengeluarkan sekresi. Sekresi lebih sulit dikeluarkan pada individu
yang diubah posisi rekumben akibat peningkatan viskosistas mucus, dilatasi
bronkus, penurunan volume dan tekanan udara inspirasi, ketidakefektifan
aktivitas silia, penurunan stimulasi reflex batuk, dan kelemahan otot yang
membantu batuk.
Deficit Sensori. Gangguan sensori juga menyertai imobilitas pada
lansia. Terdapat kecenderungan penurunan stimulus kinestetik, visual,
auditori, dan taktil saat induvidu imobil, teruatam akibat penurunan aktivitas
dan interaksi sosial.
c. Dampak Psikologis
Mobilitas fisik memengaruhi konsep diri,harga diri,dan kemampuan
emosi manusia dalam menghadapi masalah.kemampuan berinteraksi secara
fisik dengan kompoben dalam lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
manusia berkaitan erat dengan konsep diri dan harga diri jika ancaman
terhadap ego dan diri sangat kuat,jika ansietas tinggi memicu engembalian
82
energi psikologik untuk melindungi diri dan jika tidak ada energi untuk
berinteraksi dengan orang dan realitas dalam lingkungan lansia akan
imobilisasi secara psikologis (friedrich & lively,1981) dan tidak mampu
berkoping secara efektif
d. Dampak Sosioekonomik
Hambatan mobilitas fisik dapat mengubah aktivitas peran individu
sebagai pasangan, orang tua, karyawan, teman, dan anggota kelompok sosial
dan komunitas. Akibatnya, jaringan dukungan sosial terganggu, menyebabkan
lansia memiliki kesempatan terbatas untuk dapat mempertahankan fungsi
interaksi dan hubungan sosial yang optimal.
Penurunan mobilitas mengakibatkan kehilangan peran kerja dan
pendapatan, kehilangan kendali asset keuangan, dan kebutuhan perawatan
kesehatan.
1. Faktor Risiko Etiologi
Beberapa faktor yang berhubungan dengan penuaan menjadi predisposisi
lansia terhadap hambatan mobilitas fisik (tinetti.,1986) pada lansia terjadi
penurunan umum pada kekuatan ketahanan dan ketangkasan otot .secara umum
perawat dapat mengidentifikasi Hambatan Mobikitas Fisik tanpa memperhatikan
etiologi tertentu dengan mengobservasi hambatan aktivitas dan pergerakan
mandiri klien identifikasi tanda dan gejala yang mengindikasikan penyebab
tertentu hambatan mobilitas memungkinkan perawat menentukan hasil pada
pasien dan menetapkan intervensi yang lebih efektif
Intoleransi Aktivitas. Intoleransi aktivitas merupakan penurunan energi
akibat kehilangan massa otot dan tonus otot atau karena gangguan aktivitas sel
.lansia mengalami kehilangan massa otot dan tonus otot akibat penuaan
normal,tetapi juga berisiko terhadap kelemahan lebih lanjut akibat sindrom disuse
yang berhubungan dengan penyakit kronis dan penurunan aktivitas dan
pergerakan.
Nyeri. Nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan berat umum atau
setempat.lansia rentan terhadap nyeri kronis dan akut ,baik somatopatik maupun
psikogenik karena memiliki insiden penyakit kronis dan terapi yang lebih tinggi
mengalami peningkatan trauma akibat jatuh dan fraktur dan rentan terhadap
infeksi.

83
Defisit Kognitif Dan Perseptual. Deficit kognitif dan perceptual adalah
penurunan kemampuan untuk memproses input sensori secara mental dan atau
kehilangan sensasi.dibanding kelompok usia lain lansia lebih sering mengalami
penurunan kemampuan menerima input sensori .
Gangguan Neuromuskular. Ganggaun Neuromuskular merupakan
penurunan gerakan otot akibat gangguan sistem saraf pusat atau gangguan
inervasi perifer (Creason et al 1985 ).siatem saraf mengendalikan inervasi dan
fungsi seluruh bagian tubuh dengan demikian kontraksi dan reflek otot
bergantung pada sistem neurologik yang baik.
Gangguan Muskuloskeletal. Ganggun musculoskeletal merupakan
kehilangan atau penurunan fungsi otot dan sistem penyokong skeletal yang
disebabkan faktor mekanis atau struktural (creason et al.1985) penyebab mekanis
adalah peralatan eksternal seperti restrain atau gips yang menghambat pergerakan
.sumber struktural adalah hambatan fisiologik pergerakan
Gangguan Psikologis. Gangguan psikologis merupakan reapons emosi yang
terjadi saat stress melebihi kemampuan individu untuk dapat berkoping secara
efektif.lansia khususnya rentan terhadap kehilangan yang melemahkan kendali
mereka terhadap aspek kehidupan yang biasanya dianggap wajar oleh kaum
muda.
Faktor Iatrogenik. Faktor Iatrogenik yang berkaitan dengan hambatan
mobilitas adalah regimen terapi yang memengaruhi pergerakan lansia, termasuk
tirah baring agens farmaseutika (sedatif obat penenang analgetik anestetik),
lingkungan layanan kesehatan yang restriktif dan asing serta pembedahan restrain
dan terapi lain yang membatasi aktivitas seperti pemberian cairan IV pengisapan
dan pemasangan kateter.
Hambatan Sosiokultural Atau Lingkungan Fisik. Contoh hambatan
sosiokultural adalah konflik peran dan ketidaksesuaian peran ketidakseimbangan
hubungan kekuasaan,hubungan sosial kurang baik hubungan yang tidak cocok
dan nilai budaya yang tidak cocok.
Kurang Pengetahuan. Lansia lebih mudah mengalami defisit kognitif akibat
penyakit seperti stroke dan demensia.
2. Pengkajian
Pengkajian terhadap lansia untuk penegakan diagnosis dan manajemen
Hambatan Mobilitas Fisik harus dilakukan dengan mengumpulkan data tentang
84
kemampuan fisiologis dan psikologis individu lingkungan fisik dan sosial
individu serta interaksi individu dengan lingkungan .banyak instrumen berfokus
hampir sepenuhnya pada dimensi fisik pergerakan saja dan mengabaikan faktor
psikososial faktor lingkungan dan tuntutan tugas yang berhubungan dengan
hambatan mobilitad fisik(Czaja et al 1993)
3. Diagnosis Keperawatan
Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pergerakan fisik tubuh atau
salah satu atau senua ekstremitas yang mandiri dan terarah (NANDA,1999)ata
penurunan kemampuan untuk berpindah dari suatu tempat ketempat lain atau dari
satu posisi ke posisi lain(Kelly 1985).hambatan mobilitas fisik kerap di
definisikan sebagai keterbatasan pergerakan fisik mandiri baik aktual maupun
potensial dalam lingkungan.Diagnosis hambatan mobilitas fisik dobedakan dari
imobilisasi fisik yang merupakan ketidakmampuan total untuk mengerakkan
tubuh atau semua bagian tubuh dari satu tempat ke tempat lain,bergerak dari satu
posisi tubuh ke posisi lain atau memanipulasi semua elemen lingkungan
.Intervensi keperawatan untuk Hambatan Mobilitas Fisik bertujuan mengoreksi
mengompensasi atau mengurangi hambatan mobilitas mencegah hambatan lebih
lanjut dan mencegah atau meminimalkan dampak fisiologik psikologik dan sosio
ekonomik hambatan mobilitas.dalam kerangka kerja diagnosis keperawatan
mobilitas fisik sangat penting untuk melaksanakan ADL memertahankan fungsi
tubuh dan mencapai kebugaran fisik (Houldin,Salstein & Ganley 1987)
4. Hasil Yang Diharapkan
Evaluasi yang paling bermakna terhadap keefektifan intervesi keperawatan
adalah apakah hasil yang diharapkan pada klien terpercayai.untuk hasil yang
diharapkan berdasarkan etiologi Hambatan Mobilita Fisik. Hasil yang diharapkan
dipilih oleh pasien atau oleh anggota keluarga melalui konsultan dengan perawat,
karena hasil tersebut harus berupa habis yang paling penting bagi pasien. Hasil
yang dipilih untuk diagnosis Hambatan Mobilitas Fisik dipilih dari hasil buku
pada pasien yang dikembangkan oleh Outcomes Project (2000).
5. Intervensi Keperawatan
Untuk individu yang mengalami Hambatan Mobilitas Fisik, hasil utama yang
diharapkan adalah peningkatan aktivitas dan mobilitas. Namun, kemampuan
lansia untuk dapat mobil kerap dipersulit oleh beberapa etiologi, yang membuat
mobilitas menjadi sangat nyeri atau membutuhkan usaha lebih banyak. Lansia
85
dapat merasa mobilitas tidak bartujuan atau tidak dapat dicapai. Beberapa bentuk
latihan fisik aktif merupakan satu-satunya intervensi yang dapat memulihkan atau
mempertahankan tonus dan kekuatan otot untuk aktivitas dan mobilitas
maksimum, tetapi perawat mungkin perlu mengintervensi etiologi lain hambatan
mobilitas sebelum lansia dapat atau akan terlibat dalam latihan aktif, perawat
perlu menyuplai latihan fisik untuk lansia saat terdapat defisif yang dapat
menghambat partisipasi lansia dalam latihan fisik aktif.
Keputusan perawat terkait intervensi yang harus digunakan untuk mengatasi
hambatan mobilitas terletak pada penggambaran semua etiologi dan penentuan
prioritas hasil. Berdasarkan etiologi dan prognosis, perawat dapat menentukan
bahwa latihan fisik aktif tidak mungkin dilaksanakan. Hasil umum yang
diharapkan pada Hambatan Mobilitas Fisik adalah mempertahankan atau
meningkatkan mobilitas dan mencegah atau meminimalkan konsekuensi
imobilitas, yang tidak dapat dicapai tanpa latihan fisik, kami memilih latihan fisik
sebagai intervensi pilihan untuk Hambatan mobilitas fisik.
Beberapa faktor yang biasanya tidak reversibel setelah dilakukan intervensi
terbukti berhubungan dengan inaktivitas pada lansia yang tinggal dikomunitas
(Hogue, 1996) Faktor ini adalah usia, jenis kelamin wanita, tinggal dipedesaan,
status sosial ekonomi rendah, dan penyakit kronis. Dengan demikian, rancangan
intervensi latihan fisik untuk meningkatkan aktivitas dan mobilitas lansia
merupakan tugas kompleks, yang harus mempertimbangkan banyak faktor,
termasuk psikologi lansia, kemampuan fungsional individu, dan lingkungan
sosial, ekonomi, serta fisik tempat lansia tinggal. Banyak strategi yang dapat
digunakan untuk mengatasi barier dan dengan demikian intervensi meningkatkan
aktivitas dan latihan fisik pada lansia belum diuji secara sistemis. (Conn, In press
a & b; Hogue,1996).
a. Program Latihan
Dalam penelitian terhadap orang dewasa usia rata-rata 75 tahun yang
tinggal diapartemen bertingkat tinggi, 37% menyatakan tidak pernah
melakukan latihan fisik, dan mayoritas mengatakan hanya menjalani episode
latihan fisik yang terbatas atau singkat (Perry, 1982). Hanya 7,5% individu
dewasa berusia lebih dari 65 tahun melakukan tingkat aktivitas yang sesuai
dengan tujuan Nasional Physial Fitness and Exercise 1990, dan kurang dari
25% individu dewasa usia 65 tahun ke atas yang tinggal dikomunitas
86
berpartisipasi dalam latihan fisik teratur (Caspersen, Christenson, & Pollard,
1986).
Hasil latihan fisik dapat dilihat dari aspek fisiologik dan psikososial.
Manfaat latihan fisik teratur bagi lansia mencakup pelambatan laju penurunan
kemampuan fisik dan kognitif, peningkatan energi, perbaikan pola tidur,
peningkatan selera makan, penurunan nyeri, peningkatan vasodilatasi,
peningkatan curah jantung, dan penurunan stres. Manfaat lain adalah
pengutan dan peningkatan tonus otot, peningkatan RPS dan fleksibulitas, dan
penurunan kebosanan dan isolasi sosial.
Meskipun latihan fisik dapat memperbaiki curah jantung, tidak ada
perubahan kapasitas tampung oksigen darah pada partisipan lansia. Latihan
fisik juga dapat menurunkan resiko stasis vena, trobus, dan emboli. Namun,
manfaat ini sering tidak disadari lansia karena katakutan terdapat cedera,
kurang sumber dan kesempatan motivasi rendah, dan kurang pengetahuan
klien dan pemberian asuhan keperawatan
Latihan fisik dikatakan teraupetik jika dapat menurunkan nyeri otot,
meningkatkan kekuatan, ketahanan, dan fleksibilitas, menciptakan relaksasi,
dan memperbaiki sirkulas. Sebaliknya, latihan fisik menjadi tidak terapeutik
jika meningkatkan ketidaknyamanan, menyebabkan ansietas, atau membebani
jantung (Kamentz, 1971). Dengan demikian, penting bagi perawat mampu
mengkaji kebutuhan latihan fisik, skrining risiko, dan membuat program serta
mengevaluasi program latihan fisik.
Uji stres dianjurkan untuk siapapun yang memiliki riwayat penyakit
jantung (Monicken, 1991). Simpson (1986) menyarankan pemantauan khusus
bagi lansia yang mendapat obat berikut penyekat beta (penurunan frekuensi
jantung), antihipertensi (latihan dapat meningkatkan efek), dan antidepresan
neuroleptik (dapat menyebabkan perubahan tekanan darah postural).
b. Latihan Fisik untuk Kebugaran dan Ketahanan
Tujuan latihan harus individual berdasarkan hasil pengkajian terhadap
kekuatan, kelemahan, dan kepentingan lansia. Latihan fisik aktif untuk lansia
harus diawali dengan periodi pemanasaan untuk mempersiapkan sendi dan
otot. Kebugaran kardiovaskuler merupakan tujuan primer latihan aerobik.
Berlari, berjalan, dan joging adalah bentuk latihan kebugaran paling efektif
dengan curah jantung yang paling efiesen.
87
Tujuan latihan fisik aktif adalah mencapai pengeluran energi sebesar
1000-2000 kalori/minggu. Program latihan kebugaran menggunakan latihan
aerobik harus spesifik terhadap masing-masing lansia. Tipe aktivitas,
intensitas aktivitas, durasi, frekuensi, latihan pernafasaan dan pendingaan,
alasan untuk berhenti atau memodifikasi program, dan metode pemantauan
intensitas harus menggambarkan secara spesifik.
c. Latihan Fisik Untuk Feksibilitas
Latihan feksibilitas bertujuan meningkatkan atau mempertahankan
RPS. Latihan feksibiltas aktif biasanya disebut kalistenik atau latihan RPS
aktif. Kalistenik ayunan lengan, rotasi leher, penekuaan pinggul dan torso,
ayunan tungkai, abduksi paha, dan penekuaan lutut, besamaan dengan pola
nafas dengan inhalasi dan dan ekhalasi dalam dilakukan secara
berirama,biasanya ,mengikuti alunan musik. Latihan fleksibilitas pasif sama
dengan latihan RPS pasif. Latihan ini umumnya mencangkup perenggangan
untuk meningkatkan rentang pergerakan sendi dan otot.
d. Latihan Isometrik Dan Latihan Resistif Untuk Kekuatan
Latihan isometrik terjadi saat otot kontraksi atau meneggang, tanpa
pemendekan atau pergerakan sendi. Latihan isometrik diggunakan untuk
memperkuat kelompok otot. Agar efektif, otot harus mengeluarkan upaya
sebanyak mungkin untuk melawan tahanan selama 5-15 detik, sesuai
program.
Latihan resistif diggunakan untuk memperkuat otot. Tahanan dapat
ditambahkan pada latihan isometrik dengan menganjurkan klien mendorong
sesuatu, seperti tempat tidur, papan kaki, atau tahanan yang diberikan oleh
terapis.
Lansia yang paling lemah sekali pun dapat memperbaiki kekuatan dan
ketahan otot dengan menetapkan program rehabilitasi otot yang spesifik.
Program rehabilitasi otot progresif terbukti lebih pada individu yang
menderita gejala osteoatritis saat dilakukan terus menerus selam 4-8 bulan.
Terjadi perbaikan kekuatan dan performa fungsional yang mendekati 30%
serta perbaikan tingkat kesulitan dan nyeri selama berjalan, berdiri, banggun
dari kursi, dan menaiki tangga.

88
G. DEFISIT PERAWATAN DIRI
1. Definisi
Terdapat banyak definisi perawatan diri baik didalam maupun diluar
dimensi keperwatan. Definsi perawatan diri dalam kesehatan menurut WHO
(1984) mencakup refensi terhadap aktivitas yang dilakukan oleh individu,
keluarga, dan komunitas dengan tujuan meningkatkan dan memulihkan
kesehatan, mencegah penyakit, dan membatasi penyakit. Dean menyatakan
bahwa perawatan diri mencerminkan rentang perilaku yang dilakukan oleh
individu untuk meningkatkan atau memuluhkan kesehatan.
Ada ahli yang mengajukan definisi definisi sempit tentang perawatan
diri sebagai respon individu awam terhadap penyakit versus auhan
professional. Tidak hanya menggunakan pandangan konvensional tentang
kepatuhan terhadap pengobatan, peneltian conn dan rekan (1995)
mendokumentasikan proses pengambilan keputusaan yang kompleks melekat
pada manajemen medikasi oleh lansia dan pemberian asuhan. Penggunaan
obat actual, salah satu perilaku perawatan diri, bergantung pada motivasi dan
persepsi lansia. Orem (1995) mendukung gagasan yang lebih umum tentang
perawatan diri sebagai praktik tindakan yang dimulai dan dilakukan individu
demi kepentingan meraka dalam mempertahankan kehidupan, kesehatan, dan
kesejahteraan.
2. Pengkajian
Beberapa instrument penelitian telah dikembangkan untuk mengkaji
perawatan diri. Teori keperawatan diri Orem menjadi dasar sebagian besar
instrument ini. Evaluasi setiap instrument perlu dilakukan dengan mengkaji
dasar konsep dan meninaju psikomotorik instrument tersebut, termasuk
motivasi dan validitasnya.
Instrument yang mengukur perwatan diri pada dasarnya terbagi dalam
dua katagori. Dalam set pertama, penilaian subjektif perawatan diri
berdasarkan pada persepsi kemampuan melakukan tindakan untuk
mempertahankan kehidupan, kesehatan, dam kesejahteraan. Bagian kedua
instrument dikembangkan berdasarkan konsep status fungsional sebagai
ukuran perawatan diri. ADL mengacu pada aktivitas dasar yang penting untuk
mencapai kenyamanan dan kesejahteraan rutin individu, yaitu makan, mandi,
berpakaian, dan lain-lain.
89
Terdapat beberapa keterbatasaan dalam mengukur perawatan dari,
baik perawatan diri subjektif maupun status fungsional. Beberapa kelompok
etnik terwakili dalam laporan yang diterbitkan. Pada dasarnya, orang dewasa
muda, hingga individu paruh baya yang menjadi sample penelitian, sehinga
hanya mengungkapkan sedikit informasi mengenai pengaruh penyakit kronis,
pada aktivitas perawatan diri. Sedikit lansia usia 65 tahun ke atas turut
dilibatkan. Akibatnya, dasar psikomotorik kurang memadai untuk lansia
disepanjang kontinum layanan kesehatan. Mayoritas perkembangan taksonomi
gerontologik dalam aera perawatan diri berfokus pada tatanan institusi dan
pada kebutuhan lansia yang.
3. Diagnosis Keperawatan
Defisit perawatan diri menjadi dasar penegakan diagnosis keperawatan,
yaitu penilaian yang dibuat perawat mengenai pasien dan kebutuhan meraka
yang tidak terpenui. Defisit perawatan diri merukapan diagnosis yang paling
umum ditegakkan di tatanan rehabilitas dan tatanan perawatan jangka panjang.
Pasien yang didiagnosis defesit perawatan diri biasanya berusia lanjut,
memiliki banyak diagnosis keperawatan, membutuhkan lebih banyak bantuan
dalam melakukan ADL. Seiring pertambahan usia, kemampuan dan defisit
dalam area perawatan diri menjadi semakin penting, sering kali hingga
mempengaruhi pilihan yang tersedia bagi lansia.
a. Validasi Defisit Perawatan Diri : Mandi / Higiene
Validasi salah satu diagnosis defisit perawatan diri, yaitu defisit
perawatan diri : mandi / hygiene (didefinisikan sebagai hambatan
kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas mandi/hygiene
secara mandiri menurut NANDA ).
Metzger dan Hiltunene (1987) melakukan penelitian retrospektif
terhadap validasi isi diagnostic, batasaan karakteristik utama dan
penunjang , serta mendukung batasaan kakteristik utama yang disetujui
NANDA 10 diagnositik keperawatan yang sering muncul. Salah satu
diagnosis dari 10 katagori diagnosis keperawatan yang paling sering
muncul adalah adalah defist perawatan diri mandi/hygiene.
b. Konseptualisasi Lain Perawatan Diri
Dengan mempertimbangkan domain perilaku perawatan diri yang
dibutuhkan untuk mepertahankan dan mengembalikan status kesehatan
90
dan fungsi tubuh, terdapat serangkain diagnosis keperawatan dan defisit
perawattan diri actual dan potensial. Analisis konsep jenny (1989) terdapat
diagnosis keperawatan yang menghasilkan tujuh katagori diagnosis
perawatan diri yaitu Hemeostasis Fisiologik, Perawatan Tubuh, Integritas
Ego, Interaksi Sosial, Perlindungan Kesehatan, Pemulihan Kesehatan, dan
Manajement Lingkungan.
Homeostasis Fisiologis meliputi aktivitas perawatan diri yang tidak
disadari. Contoh aktivitas perawatan diri yang disadari yang bertujuan
memperbaiki atau mempertahankan homeostasis fisiologis adalah nafas
dalam dan batuk yang disengaja untuk memperbaiki jalan nafas setelah
pembedahan.
Katagori kedua aktivitas perawatan diri, yang menjadi focus utama
upaya taksonomi keperawatan hingga kini adalah perawatan tubuh.
Katagori ini mencangkup tugas perawatan diri, seperti mandi/hygiene,
berpaikain /berias, makan dan eliminasi.
Katagori kedua sampai keempat secara hiraikis berada pada tingkat
yang sama . katagori kelima dan keenam, perlindungan kesehatan dan
pemulihan kesehatan, berada pada tingkat yang sama.perilaku dalam
katagori ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan, budaya, sumber , dan
pola individual.
Katagori ketujuh, manajemen lingkungan, meliputi tindakan untuk
menyediakan dan mempertahankan lingkungan yang protektif dan
kondusif dan untuk memastikan ketersedian sumber komunitas
(jenny,1989). Rangkaian perilaku perawatan diri ini membutuhkan tingkat
tertinggi maturitas dan dipandang dibangun dari katagori sebelumnya serta
berada pada puncak hirairki.
4. Hasil Yang Diharapkan
Masalah kesehatan utama saat ini adalah kondisi kronis jangka panjang
yang menuntut individu melakukan perawatan untuk mempertahankan dan
memulihkan kesehatan.
Cann dan rekan (1995) menganalisis serangkaian perilaku perawatan
diri yang kompleks pada lansia dan pemberi asuhan dalam mengelola
medikasi. Cann (1991) juga meneliti perilaku perawatan diri pada lansia yang
mengalami influenza dan salesma. Lansia yang tinggal di komunitas
91
mengidentifikasi perilaku perawatan diri dalam area latihan fisik, istirahat,
cairan, dan aktivitas sebagai stratagi yang digunakan dalam menghadapi
penyakit yang dapat sembuh sendiri.
Penelitian lanjutan yang menganlisi perilaku perwatan diri individu
atau system dukungan keluaga/nonprofessional perlu dilakukan. Penelitian
kualitatif dalam perwatan diri juga terbatas dan diangap kurang serius
(dean,1989). Penelitian kualitatif lanjutan penting dilakukan untuk lebih
memahami perilaku perawatan diri diantara lanisa.
Hasil yang diharapkan harus mempertimbangkan hasil yang dapat
diukur pada klien dalam lingkup yang dikekola oleh klien dan pemberi asuhan
keluarga setelah mendap pendidikan kesehatan keluarga dan bimbingan yang
sesuai dari perwatan dan tenaga kesehatan professional lain.
Carpenito (1995) membahas criteria hasil umum untuk defist
perawatan diri yang berhubungan dengan fungsi tubuh , sebagai berikut.
 Mengekspresikan plilhan aktivitas perawatan diri ( waktu dalam sehari,
lokasi, produk hygiene)
 Mendemostrasikan hygiene optimal setelah mendapat bantuan yang sesuai
dalam perawatan.
 Secara verbal dan fisik berpartisipasi dalam perwatan diri , aktivitas makan,
mandi, eliminasi dan berpakaian
Kriteria hasil pada katagori diagnostic perlindungan kesehatan dan
pemulihan kesehatan yang diajukan, yang dinyatakan oleh jenny (1989) antara
lain :
 Partisipasi dalam membuat keputusaan tentang tingkat dan durasi
keterlibatan dan perawat kesehatan rumah dalam merawat diri : merasa
puas dangan tingkat dan durasi keterlibatan tersebut.
 Kembali ke tingkat fungsi sebelumnya ( sebelum fraktur ), mengemban
tanggung jawab terhadap konsumsi obat harian yang benar, melanjutkan
hobi.
 Partissipasi dalam membuat keputuasan tentang munisasi untuk mencegah
infeksi pernafaaan, seperti pneumonia.
 Mempertahankan istirahat, latihan fisik, dan nutrisi yang adekuat untuk
mendukung status kesehatn yang optimal.

92
Hasil keperawatan lain yang berhubungan dengan perawatan diri mencakup :
 Perwatan Diri : ADL : kemampuan melakukan tugas fisik dan aktivitas
perawatan personal yang paling dasar.
 Perawatan Diri : Mandi : kemapuan membersihkan tubuh
 Perawatan Diri : Makan : keampuan menyiapkan dan mengingesti
makanan.
 Perawatan Diri : IADL : kemapuan melakukan aktivitas yang dibutuhkan
untuk funsi dirumah atau di komunitas.
 Perawatan Diri : Medikasi Non Parenteral : kemampuan menggunakan
obat oral dan topical untuk mencapai tujuan terapeutik.
 Perwatan Diri : Hygiene Oral :kemampuan merawat mulut dan gigi
 Perwatan Diri : Medikasi Parenteral : kemampuan mengguankan obat
parenteral untuk mencapai tujuan terapeutik
 Perawatan Diri : Eliminasi : kemampuan melakukan eliminasi
 Perwatan Diri : Hygiene : kemampuan mempertahankan hygiene personal
 Perwatan Diri : Kesehatan : tindakan mempertahankan dan
meningkatkankesejahteraan.
5. Intervensi Keperawatan
Sullivana membuat konsep model keperawatan diri untuk asuhan
keperawatan pada lansia berdasarkan lima bantuan orem (1995) (
bertindak/melakukan sesuatu untuk orang lain, memandu/mengarahkan,
menciptakan/atau mempertahankan lingkungan yang mendukung
perkembangan personal, memberi penyuluhan,.
Sullivana memadukan system empat tingkat perawatan diri berikut
untuk lansia antara lain :
1) Kemandirian
2) Ancaman kemandirian
3) Delegasi kemandirian
4) Ketergantungan
Medel Sullivana juga mengidntifikasi empat subsistem interpersonal
sebagai berikut :
1) System konsultan
2) System aliansi terapeutik

93
3) System perlindungan yang sebagian di delegasikan
4) System perlindungan penuh
a. NIC
Intervensi perwatan diri menurut (lowe intervenstion project, 2000)
yang dikembangkan hingga kini adalah
1) Bantuan Perwatan Diri : membantu orang lain melakukan aktivitas
kehidupan sehari- hari
2) Bantuan Perwatan Diri : Mandi/Hygiene : membantu pasien
melakukan hygiene personal
3) Bantuan Perwatan Diri : Berpakaian /Berhias : membantu pasien
dalam berpakaian dan berhias
4) Bantuan Perwatan Diri : Makan : membantu individu untuk makan.
b. Strategi Lain
Penn (1988) mengidentifikasi strategi keperawatan spesifik yang
berguna dalam mengompensasi defisit perawatan diri klien : reedukasi,
pemantauan mandiri, membuat kontak, kelompok swabantu, dan terapu
nostalgia.
c. Intervensi Spesifik-Populasi
Muchow (1993) mengajukan strategi perawatan diri sebagai instrument
bagi lansia di pedesaan, Individu yang tinggal diperdesaan , terutama lansia,
biasanya bangga terhadap tradisi, mandiri,ulet, dan otonom. Individu yang
tinggal diperdesaan secar simultan mengalami peningkatan kerntanan
terhadap : penyakit kronis, hambatan mengakses pelayanan kesehatan
secara rutin, akut dan gawat darurat, kurang pendidikan, dan Penurunan
sumber ekokonomi, yang mempengaruhi jaminan kesehatan, tempat tinggal
yang layak, dan transportasi.
Berdasarkan temuan penelitian terhadap 366 lansia, lanzt (1985)
mencirikan profil individu lansia yang memiliki kemampuan lebih tinggi
untuk melakukan perawatan diri dengan karakteristik berikut : wanita :
persepsi diri dalam mendapatkan kesehatan baik atau sempurna memiliki
rasa harga diri dan kekuatan diri dan sifat akutalisasi diri , ketidakingginan
menerima kelemahan, tingkat kewaspadaan tinggi , orientasi masa kini
dengan pengalaman masa lalu dan harapan di masa depan dan

94
kecenderungan terhadap kekuatan dan berpegang pada nilai nilai untuk
mendekati dorongan.
Zauszniewski (1996) menganalisa dua bentuk strategi pada 150 lamsia
sehat : strategi swabantu dan perilaku sehat. Ia menemukan bahwa, tedak
seperti perilau sehat strategi swabantu berhubagan dengan fungsi adtif,
kepuasaan hidup, dan ketiadaan depresi kognisi. Tidak ada satu pun
strategi tersebut yang berhungan dengan kesehatan yang dikaji secara
mandiri.
Fiandt, Pullen, dan Walker (1996) melaporkan temuan yang menjadi
dasar perkembangan program intervensi yang berfokus pada modifikasi
persepsi resiko, sebagai landasan peningkatan perilaku perawatan kesahatan
preventif pada lansia wanita.
6. Pertimbangan Intervensi Defisit Perawatan Diri Berdasarkan Usia
Pertambahan usia tidak menyebabkan defisit perawatan diri. Namun,
seiring penuaan, terjadi peningkatan insiden penyakit kronis yang biasanya
disertai gangguan fungsional dan defisit perawatan diri.
Lansia yang tinggal di komunitas harus secara mandiri atau dengan
bantuan maupun melakukan enam ADL, dan dapat membutuhkan bantuan
dalam melakukan ADL penting lain. IADL, seperti aktivitas yang
berhubungan dengan pekerjaan rumah tangga, berbelanja, menyiapkan
makanan, mengkonsumsi obat secara mandiri, manajemen keuangan, dan
transportasi dapat menjadi lebih kompleks dibandingkan dengan ADL dan
terutama membutuhkan bantuan dari luar.
Status fungsional lansia meningkatkan pada decade 1960an sampai
1980an, dan terdapat kesempatan untuk peningkatan lebih lanju, dengan
pengetahuan dan sumber terkini.
Mayoritas, hampir tiga perempat lansia, menilai status kesehatan
mereka sangat baik. Hanya seperlima lansia usia 65 sampai 74 tahun dan
seperempat lansia diusia 75 tahun melaporkan keterbatasaan dalam melakukan
ADL karena menderita penyakit kronis.
Minoritas, sekitar 5% lansia dirawat inap pada satu waktu tertentu. 63
% lansia yang tinggal di panti wreda tidak dapat melakukan ADL dasar
karena mengalami gangguan kognitif. Lansia yang demensia memiliki
berbagai kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri, bergantung
95
pada defisit memori serta kemampuan mengikuti perintah dan memutuskan.
Factor primer yang menyebabkan lansia dirawat mencakup kurang system
dukungan social.
Keyakinan budaya dan keluarga mempengaruhi potensi mengasuh diri
sendiri pada lansia. Pemberi asuhan yang percaya bahwa keberuntungan
merupakan hal yang normal pada lansia dapat meningkatkan
keberuntungannya dan deteriorasi dalam kemampuan perawatan diri.
Beberapa budaya memiliki pola pemberian asuhan yang mencakup sedapat
mungkin melakukan segala hal untuk individu yang sakit sebagai bentuk
perhatian.
Bantuan yang tidak perlu dalam beraktivitas seperti makan dan mandi,
dapat menghambat partipasi aktif lansia dalam program rehabilitasi dan
perawatan diri. Bantuan perawatan tubuh dapat dapat dibatasi pada individu
tertentu ( seperti individu yang memiliki peran tertentu dalam keluarga) oleh
peraturan budaya baik secara implicit maupun eksplisit.
Mempertahankan lansia di komunitas, bukan dirawat di panti wreda,
sangat bermakna bagi masyarakat. Hampir seperempat dari total anggaran
layanan kesehatan di Amarika serikat dihabiskan untuk perawatan di panti
wreda. Medicaid menandai 90% perawatan di panti wreda. Sebagian besar
layanan kesehatan lansia diberikan ditatanan komunitas.
Diluar pertimbangan finansial, kehidupan di komunitas berpontensi
menguatkan kehidupan keluarga, mempertahankan otonomi, dan
mengukuhkan nilai lansia dalam masyarakat. Tujuan keperawatan, yaitu
mempertahankan lingkungam yang tidak terlalu membatasi bagi lansia, dapat
meningkatkan otonomi lansia dan memfasilitasi lansia untuk terus berperan
dalam masyarakat.
H. DEFISIT AKTIVITAS PENGALIHAN
Ide sentral aktivitas pengalihan adalah perubahan dan kenikmatan atau
kesenangan. Pengalihan sebagai perubahan secara sederhana berarti aktivitas yang
berbeda dari aktivitas yang biasa dilakukan individu. Pengalihan sebagai
kesenangan atau keninkmatan berarti aktivitas rekreasional yang dilakukan pada
waktu senggang dengan tujuan menghibur atau mencapai kepuasan. Defisit
aktivitas pengalihan adalah kondisi ketika individu mengalami penurunan
stimulasi dari atau ketertarikan terhadap aktivitas rekreasi atau aktivitas diwaktu
96
senggang. Lansia rentan terhadap defisit aktivitas pengalihan tanpa
memperhatikan kemandirian atau pola hidup yang mereka jalani.
1. Faktor Yang Berhubungan/ Etiologi
Waktu untuk aktivitas diwaktu senggang dapat meningkat karena
kewajiban dalam keluarga dan kewajiban bekerja berkurang seiring penuaan.
Lansia mungkin tidak dapat menjalankan hobi di waktu senggang karena
mengalami hambatan ekonomi atau karena nilai budaya dan religius yang
berhubungan dengan kerja.
Rantz dan miller (1993) mengelompokkan faktor yang berhubungan
dengan defisit aktivitas pengalihan pada lansia ke dalam tiga kategori: pilihan
personal, defisit sensori, atau gaya hidup sebelumnya.
2. Pengkajian
Point penting yang dikaji meliputi : minat, nilai, dan gaya hidup
sebelumnya , kemampuan fungsional mobilitas dan ketahanan, depresi,
dukungan sosial, ansietas, penyakit kronis, gangguan sensori dan gangguan
kognitif
3. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis untuk defisit aktivitas penglihatan mencangkup :
a) Defisit aktivitas penglihatan yang berhubungan dengan defisit sensori
b) Defisit aktivitas penglihatan yang berhubungan dengan kehilangan
jaringan sosial
c) Defisit aktivitas penglihatan yang berhubungan dengan pilihan personal
d) Defisit aktivitas penglihatan yang berhubungan dengan gangguan kognitif
4. Hasil Yang Diharapkan
Hasil dari lowa outcomes project (2000) yang sesuai dengan diagnosis
defisit aktivitas penglihatan adalah :
a) Kemampuan kognitif : kemampuan untuk melaksanakan proses mental
yang kompleks
b) Ketahanan : tindakan energi yang memungkinkan individu beraktifitas
c) Tingkat mobilitas : kemampuan bergerak sesuai tujuan
d) Kualitas hidup : ekspresi kepuasan individu terhadap situasi hidup saat ini
e) Harga diri : penilaian personal terhadap makna diri
f) Ketrampilan interaksi sosial : pengguanan perilaku interaktif individu
yang efektif
97
g) Keterlibatan sosial : frekuensi interaksi sosial individu dengan individu
lain , kelompok atau organisasi
5. Penetapan Tujuan Untuk Mencapai Hasil
Perawat, lansia dan keluarga dapatsetuju dengan berbagai tujuan saat
menyusun tindakan untuk mengatasi diagnosis ini. Tujuan dapat berhubungan
dengan promosi waktu senggang, injteraksi, atau keterlibatan dalam program
aktivitas tertentu yang terstruktur. Contoh bahwa individu akan menyelesaikan
tujuan yaitu :
 Bergabung dengan teman sebaya dalam percakapan dan aktivitas
terapeutik
 Mengawali percakapan
 Mengekspresikan minat dan menghadiri program kreasi terapeutik
6. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang di identifikasi dan dklasifikasikan oleh lowa
nursing intervention classification project (2000) dan efektif untuk diagnosis
dan hasil yang diharapkan untuk defisit aktivitas penglihatan meliputi :
 Terapi aktivitas
 Terapi hewan peliharaan
 Terapi seni
 Promosi latihan fisik
 Humor
 Terapi musik
 Restrain fisik
 Terapi nostalgia
 Peningkatan sosialisasi
7. Penerapan Kasus Untuk Lansia Yang Mengalami Dimensia
Banyak intervensi untuk defisit aktivitas penglihatan diteliti dan
dibuktikan bermanfaat bagi lansia yang mengalami gangguan kognitif kronis,
seperti alzeimer dan dimensia terkait. Aktivitas kelompok dan individu yang
terstruktur menggunakan musik, latihan fisik, relaksasi, nostalgia, dan hewan
peliharaan , dapat meningkatkan sosialisasi, mengurangi agitasi, dan
mempertahankan aktivitas.

98
2.4 POLA KOGNITIF PERSEPSI
A. PERUBAHAN NORMAL SEIRING PENUAAN
1. KOGNISI
Kognisi merupakan proses penerimaan, penyimpanan, pembagian, dan
penggunaan informasi. Tugas-tugas intelektual seperti berpikir, mengingat,
merasakan, mengomunikasikan, menghitung, dan memecahkan masalah
merupakan contoh fungsi kognitif.
Matthews, Cauley, Yaffe, dan Zmuda (1999), menemukan bahwa
pendidikan formal melindungi lansia dari penurunan fungsi kognitif yang
berkaitan dengan penuaan, walaupun pendidikan yang mereka jalani telah
berlangsung selama beberapa tahun sebelumnya. Pendidikan formal juga
diketahui menjadi prediktor yang sangat kuat pada fungsi kognitif di usia tua.
Penurunan fungsi inteleketual telah diketahui terjadi lebih besar pada
lansia yang mengalami penyakit jantung arteriosklerotik daripada lansia yang
sehat. Selain itu emfisema, infeksi akut, nutrisi yang kurang, cedera, dan
pembedahan, dapat memengaruhi tingkat intelegensia lansia secara sementara
atau menetap, kurang terjadi aliran darah ke otak. Jadi penurunan kemampuan
intelektual tidak menurun tajam pada lansia sehat merupakan fenomena yang
dikenal sebagai “Penurunan Akhir”.
Ketakutan yang biasa terjadi pada seseorang yang beranjak tua dan
keluhan yang umum dialami lansia adalah harus menghadapi penurunan
memori.
Age associated memory impairment (AMMI) merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan kondisi defisiensi dalam proses mengingat
yang terjadi seiring penuaan. Tenaga medis seperti perawat dapat sedikit
menyakinkan lansia bahwa AMMI, tidak seperti penyakit demensia, tidak
terjadi secara progresif atau bukanlah suatau bentuk ketidakmampuan. AMMI
dapat dikenali ketika sesorang berada di bawah tekanan. Saat seseorang
sedang dalam keadaan rileks, biasanya ia mampu mengingat infomasi yang
telah dilupakan. Belum ditemukan terapi untuk mengatasi kondisi AMMI.
Dengan menggunakan pengingat dan daftar dalam bentuk tulisan dan daftar,
mengulangi informasi yang diperlukan, serta menyediakan cukup waktu untuk
mengingat informasi kembali biasanya sangat membantu bagi lansia.
Kehilangan memori akibat AMMI dapat diatasi dengan tidak menganggu
99
aktivitas sehari-hari. Saat aktivitas sehari-hari terhambat akibat melupakan
beberapa kejadian singkat dapat dilakukan penyelidikan dan perhatian lebih
lanjut.
2. PERUBAHAN SENSORIS PERSEPSI
Perubahan sistem sensoris yang tidak dapat dikompensasi seiring
penuaan memiliki dampak pada proses intelegensia, pembelajaran, dan
memori. Semua indra memberikan arti pada lansia saat berinteraksi dengan
dan mengintergrasikan dunia. Akibatnya penurunan kemampuan fungsional
sering kali memiliki dampak yang terlihat pada perilaku dan kualitas hidup
yang dialami lansia.
Penurunan ketajaman penglihatan ringan yang disebut presbiopia,
terjadi seiring proses penuaan. Presbiopia disertai dengan kekurangan
kemampuan berfokus pada objek yang dekay dan mulai terjadi pada usia
sekitar 40-an. Disebabkan oleh kehilanagna elastisitas lensa, sehingga tidak
dapat berfokus pada benda yang dekat.
Lansia membutuhkan lebih banyak waktu untuk memfokuskan
kembali saat melihay dari satu jarak ke jarak yang lain karena kehilangan
akomodasi mata serta bertahap; kemampuan untuk membedakan semua detail
juga menjadi lebih sulit. Meningkatkan penerangan merupakan tindakan yang
membantu lansia untuk melihat ketika pencayahaan di ruangan kurang.
Lansia sangatlah rentan terhadap pantulan cahaya matahri ketika
berada di luar rumah, tetapi juga terhadap pantulan permukaan yang
mengkilap seperti berasal dari dinding dan lantai, serata cahaya yang
menyilaukan dari lampu neon. Topi dan penutup kepala lainnya, dapat
membantu mengatasi lansia ini. Sensitifitas terhadap cahay yang menyulaukan
mengindiakasikan adanya katarak yang sedang berkembang, terutama bila
lansia mengalami gejala seperti pusing, kelelahan mata, atau sensai terbakar
pada mata. Para lansia harus didorong untuk menjalani pemeriksaan mata
secara teratur tiap 1 atau 2 tahun setelah 65 tahun, atau lebih sering pada lansia
dengan riwayat penyakti keluarga yang mempengaruhi mata (Mayo Medical
Essay, 1995).
Penurunan pendengaran dialami oleh lansia dengan rata-rata usia
lebih dari 65 tahun. Lansia dengan keluhan pendengaran biasanya
mengeluhkan kesulitan memahami pembicaraan. Kesepian, depresi, dan atau
100
kecenderungan paranoid dapat terjadi jika seorang yang mengalami gangguan
pendengaran menyadari keterbatasan mereka dan menghindari situasi yang
mengharuskan mereka berinteraksi dengan orang lain.
Defisit pendengaran yang umumnya terjadi pada lansia disebut
presbikusi, yakni kehilangan pendengaran sesnsorineural, mulai dari
penurunan mendengar nada tinggi sampai kehilangan pendengaran total.
Presbikusis terjadi secara bertahap, presbikusis sensoris disebabkan karena
atrofi organ Corti dan gangguan pendengaran berfrekuensi tinggi. Presbikusis
neural dikaitkan dengan degenaris sel-sel rambut dan kerusakan saraf koklear.
Kehilangan pendengaran kondusi juga sering terjadi pada lansia,
umumnya melibatkan masalah mekanis memindahkan gelombang suara
melewati telinga bagian luar dan bagian tengah ke gendang telinga. Produksi
serumen pada lansia lebih sedikit, tetapi konsistensinya lebih padat karena
jumlah keratin lebih banyak. Bulu-bulu getar pada lansia semakin kasar dan
kaku , serta kurang aktif dalam mendorong residu ke meatus akustikus
eksternalis.
Indra pengecap lansia yaitu lidah lebih halus daripada dewasa muda,
sehingga hanya sedikit cairan yang memasuki organ pengecap. Produk saliva
menurun pada lansia dan menjadi lebih kental, sehingga memengaruhi
kemampuan untuk mengecap makanan. (Ellipoulus, 1993). Pemaparan zat-zat
toksik yang berlangsung terlalu lama, seperti merokok, diketahui menurunkan
pengecapan. Faktor lain yaitu kemampuan merasakan suhu makanan,
kebersihan mulut, penggunaan gigi palsu yang sering pada lansia, dan
keutuhan indra penciuman.
Indra penciuman sering mengalami masalah seiring penuaan dalam
mengenali dan menikmati makanan, dibandingkan indra pengecepan.
Kemampuan indera pengecapan dipengaruhi oleh pajanan yang berlangsung
lama terhadap zat-zat toksik seperti debu putik sari, dan asap. Penurunan indra
penciuman juga menyebabkan lansia memiliki resiko keselamatan, seperti bau
berbahaya (gas, asap rokok).
Pengaturan Suhu. Kemampuan lansia dalam mengatur suhu tubuh
juga menurun karena berkurangnya jumlah pembuluh darah kecil yang
menyuplai epidermis. Pengurangan deposit lemak dan pengurangan produksi
kelenjar keringat sebagai kondisi; penyerta pada perubahan pembuluh darah,
101
membuat lansia rentan mengalami gangguan pengaturan suhu tubuh dan
ketidakmampuan yang lebih besar dalam menyesuaikan diri terhadap
perbedaan suhu lingkungan yang besar (Saxon & Etten, 1994).
B. KONFUSI KRONIK
Penyakit Alzheimer (PA) merupakan demensia tang paling umum terjadi pada
lansia; walaupun demikian, konfusi kronik merupakan karakteristik seseorang
yang menderita penyakit alzheimer dan gangguan yang berkaitan (PAGB). PAGB
mencakup penyakit Alzheimer itu sendiri dan sejumlah bentuk demensia lainnya,
seperti demensia multi-infark dan penyakit pick. Pada tahun 1997, PA dilaporkan
mengenai 2,32 juta orang di Amerika Serikat (berkisar antara 1,09 sampai 4,58
juta). Jumlah ini diproyeksikan dapat meningkat empat kali lipat lebih banyak
pada tahun 2050 (Brookmeyer, Gray, & Kawas, 1998).
Beberapa individu yang mengalami PAGB memperlihatkan konfusi kronik,
yang akan sangat mempersulit pemberian asuhan keperawatan kepada mereka.
perawatan bagi individu yang mengalami konfusi kronik biasanya dilakukan
dirumah, karena perawatan dirumah sakit hanya untuk jangka pendek dan untuk
mereka yang mengalami kondisi akut. Perawatan bagi individu yang mengalami
konfusi kronik merupakan tanggung jawab yang cukup sulit bagi keluarga.
Pemberi asuhan biasanya mendapatkan dukungan dan latihan yang tidak adekuat
dan dapat mengalami stress emosional, fisik, dan keuangan yang cukup berarti.
Stress yang berhubungan dengan pemberian asuhan pada individu yang
mengalami PAGB berhubungan dengan criteria hasil yang berlawanan, termasuk
kondisi depresi.
1. Faktor Yang Berhubungan/Etiologi
Konfusi kronik yang berhubungan dengan degenerasi progresif korteks
serebral mengindikasikan kurangnya integrasi antara stimulus, persepsi, dan
memori dalam menentukan makna dan respons terhadap stimulus. Patologi
yang menyebabkan degenerasi korteks serebral sangatlah bervariasi.
Walaupun demikian, perilaku yang muncul masih relative sama dengan
banyak penyakit demensia lainnya.
PA mengenai beberapa komponen kimiawi sistem otak yang khusus
atau jaringan sel saraf dalam otak, yang menghasilkan neurotransmitter.
Peneliti lain telah memfokuskan penelitian mereka pada protein fibrosa
abnormal yang dikenal dengan amiloid, substansi yang terakumulasi dalam
102
plak neuritik yang merupakan karakteristik PA. Plak neuritik adalah focus
penting suatu penelitian karena plak ini berkumpul mendekati area
komunikasi otak. Jumlah plak diketahui secara pasti memiliki hubungan yang
positif dengan gangguan fungsi memori dan intelektual.
Faktor lingkungan juga berdampak pada insiden PA. Trauma otak
secara khusus telah dinyatakan sebagai faktor resiko utama PA. Trauma
kepala (terutama trauma yang menyebabkan penurunan kesadaran), anoreksia,
atau cedera lain pada otak (seperti alcohol) telah diperkirakan dapat
menyebabkan pembentukan sejumlah besar precursor amiloid dan
perkembangan plak neuritik.
Sekitar 13% jenis penyakit demensia yang terakhir jarang ditemukan.
Sebagian kecil penyakit ini dapat disembuhkan. Penyakit pick merupakan
demensia progresif yang dikarakteristikkan dengan pembentukan sel pick,
terutama di lobus frontal dan temporal.
Penyakit creutzfeldt-jakob (Penyakit CJ) merupakan penyakit infeksius
yang diperkirakan disebabkan oleh virus lambat dan dikarakteristikkan
dengan awitan dan perkembangan yang cepat.
Normal Pressure Hydrocephalus (NPH) merupakan jenis demensia
yang dapat diatasi, dan dikarakteristikkan dengan awitan awal berupa afasia,
inkontinensia, dan ataksia.
Mengonsumsi zat toksin, seperti alcohol, barbiturate, opioid, kokain,
amfetamin, halusinogen, kafein, dan tembakau yang menyebabkan demensia.
Karbonmonoksida dan beberapa logam, seperti timah, juga dapat
menyebabkan demensia. Pada beberapa kasus, demensia dapat diatasi dengan
mengurangi penyalahgunaan zat.
Gangguan emosional seperti depresi sering disebut dengan
“pseudodemensi” karena memiliki gejala yang menyerupai demensia. Depresi
merupakan gangguan yang dapat diatasi.
Penyakit neurologis seperti Parkinson, ataksia friedreich, penyakit
Wilson, penyakit Huntington dapat menyebabkan kehilangan fungsi kognitif.
Tumor, hematoma subdural, trauma, dan kondisi yang menyebabkan
insufiensi oksigenasi dapat mempengaruhi struktur atau integritas otak.

103
Infeksi, jamur, bakteri, dan virus, termasuk tuberculosis, menginitis,
dan ensefalitis, dapat menyebabkan demensia. Penyakit autoimun seperti
AIDS, arthritis temporal, dan lupus dapat menyebabkan demensia.
Pada akhirnya, gangguan yang terjadi pada konfusi dapat disebabkan
oleh perubahan patofisiologis dalam susunan biologis. Semua gangguan ini
masih dapat pulih bila dilakukan perawatan dengan baik.
2. Pengkajian
Pada tahun 1960-an gejala yang berkaitan dengan PAGB telah
digolongkan kedalam tiga kelompok kehilangan: kognitif, afektif, dan konatif
atau fungsional. Adanya beberapa gejala perilaku yang terdapat pada tiap-tiap
kelompok merupakan indikasi penyakit demensia.
Para peneliti telah memperlihatkan munculnya gejala lain, seperti
konfusi, agitasi, terbangun dimalam hari, keluyuran dan perilaku melawan,
namun mereka gagal untuk menyatukan semua gejala ini ke dalam kelompok
gejala yang telah ada atau membuat gejala kelompok baru.
Identifikasi pada pasien yang menderita penurunan kemampuan
kognitif, membantu perawat dalam menentukan pasien mana yang
mendapatkan manfaat dari lingkungan dan program yang dapat meningkatkan
keamanan dan memaksimalkan fungsi. (Rader & Doan, 1985).
Para perawat seringkali diharapkan memeberikan perawatan bagi
pasien yang mengalami penurunan kognitif ketika didiagnosis medis
demensia belum ditetapkan. Pada beberapa fasilitas perawatan gerontology,
pengisian instrument pengkajian kognitif dibutuhkan untuk tindakan
penapisan dan pengembangan rencana perawatan yang tepat.
Faktor lingkungan mempengaruhi penilaian perawat terhadap konfusi.
Morgan (1985) melaporkan bahwa karakteristik pasien dan fasilitas pelayanan
mempengaruhi persepsi perawat terhadao konfusi mental. Lansia yang berada
di fasilitas pelayanan yang besar kurang senang dikaji tentang konfusi yang
mereka alami dibandingkan lansia yang berada di fasilitas pelayanan yang
kecil. Para perawat lebih cenderung menganggap konfusi dan kesulitan dalam
berkomunikasi, bila subjek bergantung pada orang lain dlam melakukan
kegiatannya sehari-hari atau pasien lebih tua dari pada umur rata-rata pasien
yang berada di nursing home.

104
Konfusi Kronik (NANDA, 1999), adalah Gangguan
interpretasi/berespons terhadap stimulus; bukti klinis kerusakan organic;
gangguan kognitif yang lama/progresif; gangguan personalitas; kerusakan
memori (jangka panjang dan pendek); gangguan dalam bersosialisasi; tidak
ada perubahan dalam tingkat kesadaran.
1) Kehilangan kemampuan kognitif atau intelektual; kehilangan memori
2) Kehilangan afektif atau personalitas
3) Kehilangan kemampuan untuk merencanakan kegiatan
4) Amabang batas stress yang menurun secara progresif.
Penyakit Alzheimer; psikosis korsakoff; demensia multi-infark;
cerebro vascular accident; trauma kepala
1) Penyakit demensia yang ireversibel (degenerative kortaks serebral
progresif): Penyakit Alzheimer, Demensia vascular, Trauma kepala
2) Penyakit demensia reversible yang jarang/kadang-kadang terjadi:
Konsumsi zat racun, Gangguan emosional, Gangguan metabolic, Infeksi,
Penyakit autoimun
Literatur keperawatan medis dan tenaga kesehatan lainnya yang terkait
mengandung berbagai macam instrument dan pengkajian, yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi kerusakan kognitif. Sebagian besar uji
penyaringan yang singkat bagi penderita demensia berfokus pada daya ingat
dan orientasi. Walaupun demikian clock drawing mengkaji fungsi kognitif
spesifik sampai aspek visuospasial, kemampaun konstruksional, dan berpikir
abstrak (sunderland et al, 1989).
Alzheimer’s disease assessment scale (ADAS) adalah instrumen yang
telah digunakan secara luas untuk mengkaji keparahan karakteristik disfungsi
perilaku kognitif dan nonkognitif pada individu yang menderita PA (Rosen,
Mohs, & Davis, 1984). Instrument pengkajian ini dan lainnya dapat
digunakan oleh perawat klinik dan para peneliti untuk menetukan tanda
adanya kerusakan kognitif pasien.
3. Pengkajian Di Rumah
Pengkajian yang dilakukan dirumah memberikan kesempatan untuk
memantau gejala yang muncul saat interaksi individu yang mengalami
gangguan kognitif berinteraksi dengan lingkungan. Riwayat perubahan status
mental harus didapatkan. Menentukan karakter kepribadian pasien sebelum
105
mengalami gangguan, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, hobi, hubungan
dengan keluarga sebelum mengalami penyakit, rutinitas harian, dan metode
untuk mencari relaksasi dapat membantu perawat dan staf dalam
mengidentifikasi makna pola perilaku dan respons yang muncul setelah rawat
rumah sakit.
Awitan perubahan status mental dan beberapa kondisi medis atau
psikiatri yang dapat berperan terhadap semua perubahan yang terjadi seperti,
riwayat penyakit jantung, atau hipotiroidisme, dapat membantu dalam
menentukan kebutuhan terhadap evaluasi medis lebih lanjut sebelum masuk
rumah sakit (Hall & Buckwalter, 1991). Meskipun perubahan status mental
adalah hal yang penting, NANDA tidak berfokus pada kondisi sebelum
mengalami perubahan status mental.
Sebagai bagian dari proses pengkajian, perawat harus mendiskusikan
bersama dengan keluarga tentang karakteristik yang menjelaskan atau
kumpulan gejala, saat kebutuhan akan informasi tambahan teridentifikasi
tambahan. Sebagai contoh, banyak anggota keluarga yang mengganggap
bahwa kehilangan memori merupakan bagian yang normal dari prosen
penuaan dan berkaitan dengan munculnya gejala lainnya, seperti
krtidakmampuan membatasi perilaku, dan memiliki banyak kemauan. Dengan
memberikan contoh perilaku keluarga, perawat dapat mengembangkan
pemahaman yang komprehensif mengnai gejala yang dialami pasien dan
perjalanan penyakit yang akan terjadi.
Pengkajian terhadap keluarga atau pemberi perawatan juga harus
dilakukan. Riwayat psikososial keluarga, bagaimana mereka mengatasi
masalah pada masa lalu, dan persepsi terhadap penempatan di panti werda
akan mempengaruhi perilaku pasien, dan kemudian berdampak pada asuhan
keperawatan.
Pengkajian yang berkelanjutan dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan
berbasis komunitas sama seperti pengkajian yang dilakukan pada seseorang
yang akan dirawat dalam fasilitas perawatan kronik.
4. Penyakit Alzheimer Dan Gangguan Yang Berkaitan
Pada tahun 1973, NANDA mengembangkan diagnosis keperawatan
gangguan proses fikir, yang dijelaskan sebagai “suatu kondisi individu
mengalami gangguan dalam proses dan aktivitas kognitif”.
106
Pada tahun 1994, NANDA menambahkan konfusi kronik ke dalam
daftar diagnosis keperrawatan yang ditujukan secara khusus pada penderita
PAGB.
Pengkajian berkelanjutan pada pelayanan kesehatan berhasil masyarakat
dan fasilitas.
a. Mengetahui orang yang mengalami gangguan.
b. Observasi perilaku nonverbal.
c. Pemahaman terhadap lingkungan.
d. Tingkat fungsional dan partisipasi sosial.
e. Status psikologis.
f. Perilaku yang berkaitan dengan stress.
g. Pengkajian lanjutan terhadap keluarga dan pemberi asuhan.
Tahapan konfusi kronik: penyakit Alzheimer dan gangguan yang berkait
a. Pelupa-klien
b. Konfusi-klien
c. Demensia ambulasi-kehilangan fungsional
d. Tahap akhir-klien
Perilaku cemas terjadi saat pasien mengalami stres. Pasien dapat
mengeluh mengalami perasaan yang tidak mudah. Biasanya tidak ada kontak
mata, dan terjadi peningkatan aktivitas psikomotorik yang tampak nyata saat
pasien mencoba untuk menghindari stimulus ysng mengancam. Sebagai
contoh pasien dapat mencoba untuk meninggalkan atau kembali ke kamar.
Walaupun cemas, pasien masih dapat berkomunikasi dengan staf dan
keluarga.
Kejadian katastrofik merupakan perubahan perilaku yang tiba-tiba, yang
di karakteristikkan dengan kesulitan kongnitif dan sosial. Pasien tidak dapat
berkomunikasi efektif dengan orang lain dan tidak dapat menggunakan
lingkungan sesuai dengan fungsinya (Wolanin&Philips,1981). Sebagian besar
kejadian katastrofik dikarakteristikkan dengan ketakuitan, panik dan
keinginan berlebihan untuk menghindari stimulus yang
mengancam(Krischling&Todd, 1986). Perilaku katastrofik lainnya adalah
konfusi, perilaku keluyuran namun bertujuan, terbangun di malam hari, “sun-
downer’s syndrom, Agitasi, perilaku menentang atau menarik diri tiba-tiba.

107
Semua perilaku ini biasanya muncul tiba-tiba dan berlangsung relatif singkat
sehingga menjadikannya suatu tantangan yang besar bagi pemberi asuhan.
Pemberi asuhan biasanya menyebutkan episode disfungsional atau
katastrofik sebagai sebuah alasan untuk menempatkan pasien di panti wreda
atau fasilitas perawatan jangka pendek. Pada sebuah survei yang ditunjukkan
bagi lansia, Aldrich dan Mendkoff(1963) mengidentifikasi peran stres dalam
menimbulkan perilaku disfungsi. Lawton dan Nahemow(1973) mengatakan
bahwa perilaku fungsional cenderung terjadi saat kebutuhan
eksternal(stressor) pada lansia,di sesuaikan pada tingkat saat seseorang dapat
beradaptasi . penderita PAGB membutuhkan lingkungan yang telah
dimodifikasi sebagai potensi terhadap penurunan kemampuan mereka dalam
beradaptasi.
Verwoerdt(1980) menggambarkan perilaku katastofik sebagai
kecemasan primer yang dihasilkan dari stimulus eksternal dan internal yang
berlebihan.verwoerdt menjelaskan perilaku yang disebabkan kecemasan
primer sebagai”respon primetif terhadap kesenangan difus yang
menyakitkan”. Kassu ringan mencangkup kegelisahan, peningkatan tekanan,
dan iribilitas. Kasus berat dimanifestasikan dengan kemarahan yang meledak-
meledak dan upaya defensif untuk membatasi stimulus dengan melakukan
perilaku menghindari seperti represi, mengingkari, bnerfikir baib, dan
memerankan sesuatu. Konsep tentang tindakan yang berbahaya mengalami
gangguan, mempengaruhi perintah yang lebih kompleks seperti mengemudi,
menjalankan mesin, dan membuat pasien rentan terhadap biaya keuangan
yang meningkat. Konsep Cannon “fight or fight”, menyatakan bahwa situasi
tersebut dapat diatasi sengan menyesuaikan dan mengatur lingkungan bagi
pasien sehingga hubungan spasiotemporal tetap konstan dan penurunan rasa
menguasai dapat diminimalkan.
NANDA (1999) mengidentifikasi “Gangguan interpretasi/berespon
terhadap stimulus” sebagai batasan karakteristik Konfusi Kronik. Dampak
stresor sebagai faktor penting dalam perencanaan perawatan masih belum
teridentifikasi.
Adam dan Lidemann(1974) mengidentifikasi 4 mekanisme biologik
yang di butuhkan untuk mengatasi masalah konfusi kronik yaitu produksi
energi, kemampuan merasakan, integrasi serebral. Ketiga mekanisme pertama
108
tersebut gangguan yang normal dalam proses penuaan. Pada awalnya PAGB
menggangu keempat mekanisme tersebut. Ketika proses penyakit
berkembvang, semua mekanisme ini mengalami penurunan, menempatkan
individu tersebut beresiko tinggi mengalami koping fungsional. NANDA
tidak menyebutkan koping disfungsional berhubungan dengan konfusi kronis.
Seiring berkembangnya penyakit dan berkurangnya jumlah sel otak
pasien menjadi kurang mampu dalam menerima dan memproses stimulus dan
informasi. Kondisi kehilangan indra tertentu dan mobilitas melambatnya
respon sinapsis, dan berkurangnya hormon penghasil energi yang bekaitan
dengan penambahan usia normal dapat menggangu kemampuan pasien mejadi
duakali lipat dalam beradaptasi terhadap stzres dan stimulus. Penurunan
progresif yang terjadi bersamaan dengan ambang batas stres yang sangat
bergantungan pada fungsi sereberal yang utuh.
Individu yang menderita PAGB melaporkan peningkatkan tingkat stres
yang berhubungan dengan defisit dalam perencanaan intoleransi raehadap
stimulus yang banyak, dan peningkatan kelelahan saat memproses informasi
dalam lingkungan mereka. Hal ini memperberat potensial munculnya
kecemasan, perilaku menghindar, dan perilaku
katastrofik(Hall&Buckwalter,1987). Berbagai penelitian yang dilakukan
sebelumnya, melakukan manipulasi lingkungan pasien PAGB untuk
meningkatkan sosialisasi atau respon lainnya yang
diharapkan(Hall,Krischlling&Todd, 1986) .
Penemuan Lawton sesuai dengan “Environmental Docility Hypothesis”
(Lawton &Simon, 1968), yang menyatakan bahwa faktor lingkungan
eksternal menjadi perilaku determinan yang semakin penting dan berdampak
saat terjadi penurunan kompetensi.
Prinsip model PLST(Hall&Buckwalter, 1987) Perawatan pasien yang
mengalami konfusi kronik :
a. Mekanisme tingkat fungsi keamanan dengan mendukung semua area yang
mengalami kehilangan, menggunakan cara buatan.
b. Berikan pasien perhatian yang tulus.
c. Gunaklan perilaku yang mengindikasikan kecemasan dan penghindaran
untuk menentukan batasan tingkat aktivitas dan stimulus.

109
Prinsip model PLST(Hall&Buckwalter, 1987) Perawatan pasien yang
mengalami konfusi kronik lanjutan :
a. Ajarkan pemberi asuhan untuk “ mendengarkan” pasien, mengevaluasi
respon verbal dan nonverbal.
b. Modifikasi lingkungan untuk mendukung kehilangan dan
mempertahankan keamanan.
c. Berikan penyuluhan dukungan, dan cara mengatasi masalah kepada
pemberi asuhan secara berkelanjuatn.
5. Manajemen Demensia
Manajemen demensia merupakan intervensi keperawatan utama bagi
seseorang yang mengalami konfusi kronik berhubungan dengan PAGB.
Manajemen Demensia merupakan “Peraturan Lingkungan yang telah di
modifikasi bagi pasien yang mengalami tingkat konsusi keronik”(Lowa
Intervention Project,2000). Kerangka kerja konseptual PLST untuk
manajemen Demensia berdasarkan pada prinsip berikut ini :
a. Memaksimalkan tingkat fungsi keamanan dengan mendukung semua area
yang mengalami kehilangan menggunakan cara buatan yaitu mengganti
yang telah hilang.
b. Memberi perhatian yang tulus.
c. Perilaku cemas diindikasikan sebagai aktivitas atau rangkaian kejadian
yang menimbulkan tekanan yang mengancam.
d. Ajarkan pemberian asuhan untuk mendengarkan pasien, mengevaluasi
respon verbal dan nonverbal pasien.
e. Modifikasi limgkungan untuk mendukung kehilangan dan meningkatkan
keamanan.
f. Berikan pendidikan,dukungan,asyuhan, dan cara mengatasi penyelesaian
masalah bagi pemberi asuhan secara berkelanjutan.
Semua prinsip kepetrawatan tersebut dapat di implementasikan oleh tenaga
kesehatanprofesional ataupun oleh pemberi asuhan keluarga dalam berbagai
tatanan yang bervariasi. Intervensi individu yang mengalami konfusi kronik
berdasarkan pada pengaturan lingkungan yang menbdukung, sehingga dapat
memaksimalkan tingkat fungsi keamanan danb kenyamanan mereka dalam
komunitas panti tanpa menggangu kebutuhan, hak dan kualitas hidup pasien
yang mengalami periode lucid. Hal ini meliputi meningkatkan kualitas
110
kunjungan oleh keluarga dan teman-teman melalui intervensi yang dapat
meningkatkan kewaspadaan, pemahgaman,kenyamanan. Peningkatan
kenyamanan pengunjung mengurangi stresor bagi pasien dan tenaga
kesehatan.
Memaksimalkan tingkat fungsional dapat dicapai dengan mengurangi stres,
sehingga mencegah ketidakmampuan yang berlebihan. Ketidakmampuan yng
berlebih dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi defisit yang reversibel,
yang merupakan kondisi yang lebih tidak mampu daripada kondisi primer.
Ketidakmampuan yang berlebihan akan muncul ketika gangguan dalam
melakukan aktivitas terjadi lebih besar daripada yang dapat muncul akibat
penyakit fisik utama patologi pada otak.
Tujuan memaksimalkan keamanan, kenyamanan, fungsi pasien serta
mencegah komplikasi yang diikatkan dengan penyakit kronis dan
meningkatkan imbilisasi, membutuhkan perhatian yang detail terhadap
lingkungan pasien. Untuk mengatasi hal ini, tenaga kesehatan harus
membantu, pasien mengompensasi kehilangan yang dialami bukan
memberikan pendidikan berulang atau rehabilitas akan kemamouan yang
telah hilang karena akan ningkatkan stres. Ketika tenaga kesehatan membantu
pasien mengompensasi kemampuan yang telah hilang, stres pasien akan
berkurang peningkatan fungsi yang tampak terjadi spontan. Peningkatan ini
dapat memulihkan ketidakmampuan yang berlebihan dengan mengurangi
stres (dawson et al,1986).
Salah satu metode untuk mencapai pemenuhan tenaga kesehatan dan
keluarga terhadap ketidakmampuan yang berlebihan adalah analogika
keadaan ini sebagai kasus . pasien konfusi kronik alami penurunan fungsi
korteks serebral yang merusak kemampuan mereka untuk menginput sensori,
menggunakan daya pikir berespon terhadap lingkungan dengan cara yang
normal. Ketika semua kehilangan pasien akan mengalami frustasi,marah, dan
emningkatkan kesiagaan terhadap batasan yang dialaminya. Selama fase ini
pasien bergantung pada alat pengingat. Tujuan jangka pendek telah disusun
untuk mengompensasi perilaku. Selama fase konfusi , pasien mulai
mengalami cemas, dan reaksi yang kadang muncul. Oleh karena itu dalam
perencanaan perawatan , perawat dapat menimbang berapa banyak stimulus
dabn seberapa banyak stres yang dapat diatasi oelh pasien, dengan cara
111
mendengarkan reaksi pasien dan mengawasi perilaku yang berhubungan
dengan cemas. Perilaku yang berhubungan dengan cemas termasuk
didalamnya dalah peningkatan aktivitas psikomotorikpeningkatan atau
penureunan kemampuan verbal, adanya kontak mata, keluhan terhadap
perilaku tidak nyaman atau gugup atau keinginan untuk menghindari dari
kondidi yang tidak menyenangkan (Nowakowski,1985).
Pasien berada dalam pengawasan selama 24 jam penuh. Asuhan tidak dapat
direncanakan atau dievaluasi berdasarkan pergantian dinas perawat setiap 8
jam. Jika pasien mengalami masalah pada malam hari, beberapa perubahan
perlu dilakukan pada keesokan harinya. Pasien yang mengalami konfusi atau
agitasi tidak merasakan kenyamanan dan harus dinyatakan sedang dalam
keadaan ketakutan. Semua pasien berhak mendapatkan rasa nyaman. Semua
perilaku harus diketahui penyebabnya dan dianggap memiliki makna oleh
karena itu, semua perilaku katastropik dan yang berkaitan dengan stres pasti
memiliki penyebab. Ada beberapa fungsi perawatan dasar tertentu yang tidak
selalu dapat disediakan oleh institusi meskipun institusi ingin selalu yang
terbaik bagi pasien(Buckwalter&Hall,1987).
Semua perilaku katastropik dan yang berkaitan dengan stres pasti memiliki
penyebab. Pemberi asuhan harus merencanakan intervensi yang konsisten
dengan tingkat koping pasien. Istirahat yang teratur sangatlah penting dan
kebiasaan tersebut tidak menyebabkan pasien terjada di malam hari. Tanpa
adanya upaya mengurangi stres dan keletihan dapat diduga bahwa pasien akan
mengalami perilaku kecemasan dan akan timbul saling bergantian antara
perilaku disfungsional akan timbul saling bergantian antara perilaku
disfungsional akan timbul saling bergantian dengan kecemasan sepanjang
hari.
Tingkat stres yang tinggi saat melakukan ADL pada pagi hari. Unttuk
menyeimbangkan situasi keletihan dan stres yang tinggi pasien akan lebih
baik dianjurkan untuk mengikuti suatu program atau kegiatan (oleh tenaga
kesehatan yang dapat diandalkan).
Model PLST memberikan kerangjka kerja pemberi asuhan formal dan
informal dalam memberikan asuhan yang individualistik.

112
6. Intervensi Bersama Anggota Keluarga
Pasien yang mengalami konfusi kronik sering tidak memberikan
masukan yang bermanfaat dalam pembuatan keputusan atau menolak
pelayanan yang dilakukan di rumah, penempatan di masyarakat atau menolak
setiap bantuan dari anggota keluarga atau tenaga kesehatan yang profesional.
Beberapa keluarga menemukan cara melakukan kunjungan yang lebih
bermanfaat seperti perencanaan awal aktivitas yang akan dilakukan selama
kunjungan. Anggota keluarg yang lain mungkin akan menghadiri pertemuan
yang membahas perencanaan asuhan.
Pelibatan keluarga dalam protokol perawatan telah dikembangkan
guna mempermudah melewati masa transisi ini. Meningkatkan hubungan
yang kooperatif antara anggota keluarga dengan tenaga kesehatan serta
meningkatkan kualitas ajukan pada pasien. Hal ini dapat dicapai dengan
menawarkan peran anggota keluarga memiliki proses penjelasan yang
dipahami oleh anggota keluarga(Maas, Buckwalter,1994).
7. Masalah-Masalah Khusus
Walaupun rencana keperawatan telah diidentifikasi pemberi asuhan
keperawatan dapat mengantisipasi masalah dan kebutuhan tambahan yang
akan muncul pada pasien yang mengalami konfusi kronik, seiring
perkembangan proses patofisiologik. Salah satu masalah yang sering muncul
pada tatanan perawatan jangkla panjang adalah reaksi melawan. Episode
melawan berpotensi menimbulkan cedera pada pasien, tenaga kesehatan,
pasien lain serta pengunjung.
Berikut penyebab serangan melawan yang umum :
a. Umpan balik yang diberikan tenaga kesehatan, pasien serta
pengunjung negatif dan terbatas.
b. Restrein.
c. Kesalahan interpretasi stimulus lingkkungan, terutama yang
berasal dari televisi.
d. Ketakutan terhadap air atau menolak aktivitas seperti mandi.
Situasi melawan harus dikahji dan dikendalikan dengan cepat untuk
mencegah cedera dan meminimalkan jumlah intervensi yang dibutuhkan,
seperti medikasi. Pasien yang melawan harus secepatnya dipisahkan dari
stimulus pemicu dengan meminimalkan kontak fisik.
113
Pasien yang melawan harus dianggap sebagai seseorang yang
mengalami ketakutan dan intervensi harus ditunjukkan untuk menyingkirkan
ketakutan. Pasien yang melawan harus diberi kesempatan untuk
mempertahankan rasa pengendaliaan dirinya.dengan cara membatasi
kelonggaran sosialnya.
C. KONFUSI AKUT
Konfusi akut di karakteristikan dengan gangguan kesadaran dan perubahan
dalam proses kognitif yang berkembang dalam waktu yang cukup
singkat(biasanya dari perjam hingga per hari), dan disertai oleh adanya
fisiologis.(merican physchriatry asosiation, 1994).
Konfusi akut dapat terjadi pada setiap kelompok usia atau setiap tatanan,tetapi
paling umum terjadi pada lansia yang berada di rumah sakit dan tatanan perawatan
jangka panjang. Walaupun kondisi ini dapat kembali seperti semula ketika
penyebab kebingungan telah di diagnosa dan telah berasil di atasi,konfusi akut
merupakaan tanda akan terjadinya kematian pada 25% kasus yang muncul (rabins
& folstein,1982)
Konfusi akut dibedakan dari konfusi kronik( kerusakan kognitif kronik seperti
penyakit alzheimer) terutama awitannya yang bersifat cepat dan biasanya
reversible, umumnya berlangsung dari beberapa jam sampai tidak lebih dari satu
bulan( foreman,1993;lipowsky,1990)
1. Prevalensi
Laju prevalensi yang di perkirakan masuk rumah sakit berkisar 10,5%
pasien lansia di ruang medikal bedah di rumah sakit pendidikan(levkoff et
al.,1992) hingga 18% pada lansia yang lemah yang masuk ke unit pemakaian
geriatrik kusus lansia yang lemah ( rockwood,1993) hingga 47,5% pasien
lansia di unit medis umum(foreman,1990). Hanya sedikit penelitian yang telh
mengkaji tentang keadaan konfusi akut yang telah terjadi saat pasien pulng
dari rumah sakit . (levkoff et al . 1992) menemukan bahwa hnya 4% sampel
pasien lansia medicl bedah yang mereka ambil, mengalami perbaikan terhadap
semua gejala baru konfusi akut, terutama sebelum pulang dari rumah sakit, dan
hanya sekitar 17% dan 21% yang mengalami perbaikan terhadap semua gejala
pada 3 dan 6 bulan setelah pulang dari rumah sakit.
Diperkirakan sebanyak 45% penghuni pnti wreda mengalmi konfusi atau
disorientasi pada beberapa bangian kognitf(robert & lincoln,1988) meskipun
114
gambaran ini kemungkinan merupakan gambaran dari campuran antara konfusi
kronis dn akut. Walaupun demikian laporan yang diterima memiliki rentang
yng sangat jauh yaitu 5% (katz,parmelee & brubaker,1991) sampai 84%
(teitelbaum Gins, & hopkins,1991) pada penelitian yang baru baru ini
dilakukan, terhadap 37 penghuni fasilitas veteran, laju prevalensi yang di
temukan adalah sebanyak 40,5% selama lebih dari 14 hari (culp et al., 1997).
2. Faktor Yang Berhubungan/ Etiologi
Umumnya konfusi akut merupakan fenomena yang terjadi pada lansia (
marcantonio et,.al 1994; rockwood, 1989;schor et al,. 1992). Walaupun dapat
terjadi pda kelompok usia berapapun tetapi faktanya adalah dua dari 3 faktor
faktor predisposisi yang ditentukan (usia 60 tahun atau lebih, keruskan otak,
dan penyakit otak kronis seperti alzheimer) sangat jelas relevan terhadap lansia
(lipowski,1990)
Foreman (1993) menyimpulkan etiologi yang pling banyak diidentifikasi
dalam literaturt saat ini. Urutan etiologi yang paling sering adalah pengobatan,
infeksi (terutama infeksi saluran perkemihan dan pernafasan bagian atas),
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan metabolik(contohan ph dan
nutrisi). Masing masing etiologi mungkin dapat menyebabkan individu
mengalami konfusi akut melalui mekanisme fisiologi yang berbeda, namun hal
tersebut tidsk di bahas pada bab ini.
3. Faktor Resiko
Kemungkinan berkembangnya konfusi akut semakin meningkat jika faktor
predisposisi tertentu(pertambahan usia,demensia, kerusakann otak), dan faktor
yang memfasititasi(sensori yang berlebihan atau kurang, imobilisasi, deprevasi
tidur, stres psikologi) muncul (lipowski,1990). Factor resiko yang berhubungan
dengan peningkatan laju terjadinya konfusi akut terdapat dalam tabel 35-1.
Prevalensi konfusi akut enderung lebih tinggi di antar wanita,karena usia
harapan hidup yang lebih panjang. Walaupun demikian laki laki telah diketahui
memiliki faktor resiko pada sedikitnya satu penelitian (schor et al ., 1992)
a. Peningkatan usia
b. Pendidikan
c. Depresi
d. Jenis kelamin
e. Demensia atau kerusakan kognitif
115
f. Infeksi
g. Keseimbangan cairan elektrolit
h. Nyeri
i. Pengobatan(jumlah atau jenis)
j. Asupan alkohol
k. Defisit visual
4. Pengkajian
Beberapa perilaku yang di perlihatkan pada konfusi aku sama seperti
perilaku yang ditemukan pada lansia yang mengalami dimensia atau depresi.
Lipowksi (1983)mengidentifikasikan 3 varian konfusi akut brdasakar pada
perilaku verbal dan non verbal yang di perlihatkan oleh pasien. Semua varian
ini di bedakan dengan istilah hiperkinetik, hipokinetik, dan campuran.pasien
dengn perilku hiperkinetik memperlihtkan perilaku yang paling lazim dikenal
dengan kofusi akut. Hiperaktifikas psikomotor, eksitabilitas yang khas dn
kecenderungan mengalami halusinasi. Pasien dengan gngguan varian
hipokinetik dapat perilaku leiargi, somnolen dan apatis serta dapat mengarah
pada penrunan aktifitas psikomotor, pasien ini disebut dengan
pasien”samar”yaitu pasien yang memiliki diagnosa konfusi akut yang sering
terabaikan. Varian ketiga perikalu campuran mencakup perilaku berfluktuasi
antara pasien hipokinetik dan hiperkinetik (liptzin&levkoff 1992).
a. Skala Pengkajian
Kombinasi antara pengkajian riwayat wal kesehatan dan fisik,
pengkajian status mental dan penggunaan alat baku penilian konfusi akut
yang berkelanjutan. Dapat membantu membdedakan konfusi akut dengan
gangguan kognitif yang lain. ( seperti depresi, tau dimensia). Walaupun
demikian, kondisi konfusi akut pad seseoran yang mengalami dimensia
sangatlah sulit dideteksi, kecuali perawat yang sudah mengetahui perilaku
dasar pasien.
Penggunaan NEECHAM telah di rekomendasikan krena telah di uji
secara luas, mudah untuk di praktikan, dn memberikan nilai numerik yang
dapat digunakan untuk mempelajari konfusi yang di alami oleh
pasien.NEECHAM confusion scale telah di kembangkan untuk
membedakan pemrosesan informasi yang normal, petunjuk awal sebelum
munculnya konfusi dan konfusi akut.nilai korelasi NEECHAM terhdap
116
reilabilitas antar penilai adalah 0.96, koefisien uji-pascauji adalh 0.98,
untuk koefisien internalnya adalah 0.86.( neelon,carlson,& funk. 1996)
Intervensi Keperawatan dari Konfusi Akut:
1) Managemen belirium
2) Identifikasi an atasi etiologi
3) Pertahankan keamanan pasien
4) Berikan dukungan psikologis dan kenyamanan
5) Monitor/dukung status fisik
Gambaran khas delirium (konfusi akut), demensia dan depresi
1) Delirium
Tiba tiba, Berfluktuasi, Berkurang, Umumnya disorientasi,
Gangguan Visual, Peningkatan aktifitas, Inkoheren, lambat atau cepat
2) Dimensia
Insidious, Stabil, Jelas, Umumnya mengalami gangguan, Kadang
kala tidak ada, Kadang kala terganggu, Biasanya normal,tetapi
mungkin berkurang atau berpindah, Kesulitan menemukan kata kata.
3) Depresi
Berminggu minggu, Memburuk pada pagi hari, Masih dapat
berkomunikasi, Menarik diri, Melambat, Delusi, apatis, normal atau
melamban
5. Tujuan Khusus dan Kriteria Hasil Keperawatan
a. Tujuan Khusus Keperawatan
Hasil yang di harapkan pada individu yang mengalami konfusi akut
adalah(Zimberg & berenson 1990) :
1. Mengatasi gangguan fisiologis yang mendasarinya
2. Mengurngi atau mengatasi konfusi
3. Pernyataan anggota keluarga tentang pemahaman konfusi
4. Penceghan cedera
b. Presepsi
Presepsi merujuk pada proses menggali, mengintrepretasikan dan
mengintregrasikan informasi dengan cara yang sicnifikan (lipowski 1990).
Perhtian dperlukan saat memulai melakukan proses presepsi. kewaspaaan
sangat di butuhkan dalam memberikan perhatian, tetapi pasien yang sadar
mungkin tidak perlu melakukn hal ini. Kemampuan seseorang untuk
117
mempertahankan perhatianny harus di tetapkan sebelum fungsi komplek
lain di kaji (strub&black 1993)
c. Memori
Selain intelegensia, secara keseluruhan gangguan memori yang
berkaitan dengan usia juga telah di bahas secara luas, dibanding dengan
aspek kognisi lainya. Memori primer atau memori jangka pendek
(immediate memory, recent memory) adalah kemampuan yang
mempertahankan sedikit informasi selama periode waktu singkat. Memori
sekunder atau memori jangka panjang (remote memory) merupakan
penyimpann memori informasi yang jumlahnya tak terbatas selama periode
waktu teertentu.kedua tipe tersebt dapat mengalami gangguan konfusi akut
pada seseorang yang mengalami awal dimensia.
d. Berfikir
Kemampuan seperti memyelesaikn msalah, proses berfikir abstrak, dan
berhitung termasuk dalam fungsi berfikir atau funsi ingergratif kognitif
yang lebih tinggi kecuali sesaat sebelum kematian ( yang di sebut
penurunan akhir) kemampuan intelegensi cenderung stabil dalam rentang
kehidupan yang tidk disertai adanya penyakit.kurangnya motifasi dn apatis
juga merupakan kondisi yang di temui pada individu yangmenglmi konfusi
akut (lipowksy 1990). Tingkat pendiidikan perlu di pertimbngan dalam
pengkajian status mental karena sebagai alat pengukur subtitusi terhadap
status sosialekonomi dan perkerjan.(frisoni 1993)
Perubahan kognisi saat proses penuaan lebih sering menghubungkan
dengan perubahn anatomi danfisiologis otak. Karena indikaator penurunan
kognitif yang berhubungan dengan usia, sangat spesifk dan beberapa
kemampuan masih dapat dilakukan secara baik.
Perbandingan indikator hasil
Indikator Kognisi Indikator NOC Kognisi
PRESEPSI
Mampu berkonsentrasi Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai
Kemampuan untuk mengali informasi dengan usia dan kemampuan
yan relevan Mendemonstrasikan pengendalian terhadap
kejadian dan situasi tertentu

118
MEMORI
Memori jangka pendek utuh Mampu berkonsentrasi
Memori jangka panjang utuh Orientasi
Memperlihatkan kemapuan immediate,
recent, remote memory
BERFIKIR
Mampu terlibat dalam, penyelesian Memproses informasi
masalah, befikir secara abstrak, Mempertimbangkan alternatif penyelesaian
melakuka perhitungan masalah saat membuat keputusan

6. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawtan yang sesuai drngn konfusi akut adalah memegement
delirium, yang maknanya adalah pemberian lngkungan yang nyaman dan
terapeutik agi pasien yang mengalami tingkt konfusi akut.(lowa intervention
project 2000).menegemen konfusi akutdilakukan pda dua tahap ; (1)
menyingkirkan atau mengatsi penyebab yang mendasarinya, dan 2) melakukan
tindakan yang mendukung dan sesua dengan gejala yang dialami(seperti
istirahat yang cukup, meningkatkan kenyamanan,dukungan dari lingkngan dan
petunjuk seperti pencahayan dn gambar keluarga.(lipowksi 1990).
Rabins (1991) menyarankan tiga tindakan yang dapat digunakan secara luas
untuk memperbaiki asuhan kepada pasien yang mengalam konfusi aku.
Pertama sdiakan lingkungan yang di harapkan dan di kenal.kedua pemakaian
restrein fisik harus di hindari sedapat mungkin dan digunakan untuk resiko
cedera terhadap diri sendiri karena perilaku pasien yang agitasi. Ketiga
penetapan diagnosis konfusi akut yaang tepat dapat digunakan untuk
menjelaskan tingkah laku pada anggota keluarga.
D. NYERI
1. Definisi
Nyeri adalah pengalman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan dan berhubungan dengan kerusakan jaringan yang sifatnya
aktual atau potensial (International Association for the Study of Pain, 1986).
Manajemen nyeri pada lansia memiliki tantangan yang penting dan
unik bagi perawat. Nyeri merupakan keluhan paling umum yang dikeluhkan
pada dokter, gejala penyakit yanag paling umum dan salah satu diagnosis
keperawatan yang paling lazim digunakan dalam praktik keperawatan, dengan
tidak mengindahkan tempatnya. Lansia beresiko tinggi mengalami nyeri akut

119
dan nyeri kronik yang berdampak serius dalam aktivitas mereka sehari-hari
dan kualitas hidup mereka karena terjadi peningkatan insiden penyakit kronik,
jatuh dan masalah kesehatan lain yang berhubungan dengan proses penuaan.
Ruang lingkup dan kompleksitas pengalaman nyeri dijelaskan dalam
konseptualisasi nyeri yang dianjurkan oleh Ahles, Blanchard dan Ruckdeschel
(1983), dan dikembangkan oleh McGuire (1992). Cerminan nyeri sebagai
pengalaman individu yang multidimensi, subjektif dan unik, dijabarkan dalam
enam dimensi berikut: fisiologis, sensori, afektif, kognitif, perilaku dan
sosiokultural.
2. Prevalensi
Walaupun penyelidikan epidemiologi terbatas, penelitian berbasis
populasi pada lansia yang tinggal di masyarakat memperkirakan sebanyak
sebanyak 25% sampai 86% lansia menderita nyeri (Brattberg, Mats & Anders,
1989). Pada tatanan perawatan jangka panjang, telah diperkirakan bahwa
sebanyak 49% sampai 83% pasien lansia menderita nyeri (Brody & Kleban,
1983). Walaupun nyeri merupakan pengalaman yang tidk dapat dihindari
seiring proses penuaan, lansia lebih beresiko mengalami bermacam gangguan
yang berhubungan dengan nyeri. Lebih dari 80% populasi geriatrik telah
teridentifikasi menderita penyakit sendidegeneratif yang berkaitan dengan
nyeri yang signifikan (Davis, 1988), dan sebanyak 60% dari semua
jeniskanker terjadi pada kelompok usia ini (Silverman & Temple, 1992). Nyeri
yang signifikan juga dilaporkan oleh sepertiga pasien yang menderita kanker
dan duapetiga pasien yang menyandang penyakit lanjut (Foley, 1987). Kondisi
lain yang umum terjadi dan berhubungan dengan nyeri pada lansia adalah
penyakit vaskular perifer aterosklerotik, herpes zoster, neuralgia trigeminal,
neuropati diabetik, arteritis temporal, polimialgia reumatika, osteoporosis
dengan kompresi vertebral, dan stenosis spinal lumbal. Jatuh dan fraktur
pinggul merupakan cedera yang lebih umum terjadi pada populasi ini dan
dapat mengakibatkan nyeri akut dan kronik.
3. Faktor Yang Berhubungan
a. Agens Biologis
Sejumlah etiologi yang berhubungan dengan nyeri dapat
diklasifikasikan sebaai agens biologis, seperti inflamasi, neurologik,
iskemia dan muskuloskeletal.
120
1) Kondisi Inflamasi
Nyeri inflamasi berkaitan dengan kombinasi beberapa faktor
yaitu sensitisasi, tekanan, perubahan suhu dan zat kimiawi yang
dilepaskan dari sel yang mengalami cedera. Sebagai contoh, nyeri
yang berkaitan dengan srtritis reumatoid berasal dari proses inflamasi
sendi yang terkena.
2) Kondisi Neurologis
Nyeri yang berasal dari neurologis ditemukan pada kondisi
patologi yang umum terjadi pada lansia, termasuk herpes zoster,
neuralgia trigeminal dan neuropati perifer seperti neuropati diabetik.
3) Kondisi Iskemik
Iskemia jaringan di akibatkan dari ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen. Nyeri iskemik di sebabkan oleh
pembentukan asam laktat dalam jaringan iskemik karena pelepasan zat
kimia seperti bradikinin histamin dari sel yang rusak karena iskemik
nyeri iskemik adalah iskemik miokardium menyebabkan angina dan
penyakit vaskuler perifer
4) Kondisi musculoskeletal
Merupakan etiologi nyeri yang signifikan pada lansia yang
terjadi adalah osteoatritis dan nyeri punggung bawah . Osteoartritis
merupakan penyakit degeneratif sendi dikarakteristikan dengan
deteriorasi kartilago yang terdiri sebagai hasil dari akumulasi dan
trauma sendi.
b. Agens Kimiawi
Bahan-bahan kimiawi yang diketahui dapat meningkatkan transmisi
nyeri adalah histamin, bradikinin, serotonin, kalium dan norepineprin.
Serupa dengan hal itu, prostaglandin, leukotrin dan zat P adalah zat-zat
kimiawi yang dapat meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri (Bonica,
1990).
c. Agens Fisik
Berkurangnya persepsi sensoris dan kerusakan mobilitas membuat
beberapa lansia lebih rentan terhadap cedera, hasilnya adalah peningkatan
insiden cederayang berhubungan dengan trauma fisik.

121
d. Agens Psikologis
Walaupun semua nyeri yang dialami adalah nyata, biasanya faktor
fisiologis dan psikologis turut berperan dalam menimbulkan nyeri tanpa
memperhatikan penyebabnya. Nyeri murni yang berasa; dari psikologis
atau nyeri psikogenik, dapat didefinisikan sebagai sensasi nyeri
terlokalisasi yang hanya disebabkan oleh situasi mental, tanpa adanya
keluhan fisik yang memicu atau menyebabkan nyeri (McCaffery & Beebe,
1989).
7. Pengkajian
Proses pengkajian memberi kesempatan pada perawat mengidentifikasi
batasan karakteristik subjektif dan objektif yang mengindikasikan nyeri.
Mengumpulkan informasi verbal dari lansia mengenai nyeri yang mereka alami
dapat menjadi sulit. Sering kali lansia tidak mengungkapkan nyeri yang mereka
alami karena adanya asumsi yang tidak tepat bahwa lansia tidak boleh
mengungkapkan nyeri. Lansia berfikir bahwa nyeri hal yang wajar muncul saat
proses penuaan dan bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengurangi
nyeri (Ferrel et al, 1990).
Karena pola respons nyeri masing-masing individu bersifat unik, tiap lansia
dapat mengalami tanda-tanda nyeri yang nyata, tetapi tidak tampak. Perawat
harus memantau dengan teliti dan mempertimbangkan perubahan dalam
rutinitas hariannya seperti penurunan aktivitas, penurunan interaksi sosial,
kesulitan tidur, agitasi. Ketika pasien tidak dapat mengungkapkan rasa
nyerinya, ekspresi seperti menangis, merintih, dan merengek dapat
mengindikasikan adanya ketidaknyamanan.
Banyak faktor yang mempersulit pengumpulan dan interprestasi data nyeri
pada populasi lansia, termasuk gangguan sensoris, gangguan kognitif, faktor
sosiokultural, dan polifarmasi.
8. Pengukuran Nyeri pada Lansia
Data yang didapatkan akurat menggunakan cara yang lebih terorganisasi
dapat memberikan gambaran lengkap tentang nyeri lansia. Kriteria dalam
memilih alat pengkajian, terdiri atas pernyataan verbal, fisik dan kemampuan
kognitif lansia.
Single-Item Pain Scales, untuk mengumpulkan informasi tentang intensitas
nyeri, skala nyeri verbal dan nyeri yang cepat digunakan dan diinterpretasikan
122
merupakan skala yang lazim digunakan. Verbal Descriptor Scale (VDS) terdiri
atas satu set angka disertai kata-kata yang menunjukkan tingkat nyeri yang
berbeda, pasien memilih angka atau kata yang paling baik menunjukkan
intensitas nyeri. Numeric Rating Scale (NRS) menyediakan satu seri angka
yang mewakili tingkat nyeri dengan variasi dari 0 sampai 10 atau 0 sampai 100,
lebih sensiti terhadap perubahan karena adanya peningkatan tigkat skala
(Downie et al., 1978).
Pengkajian lengkap harus berisi tentang informasi tentang kesehatan
fungsional pasien. Mengidentifikasi alat yang ditujukan pada komponen
spesifik yang terlibat pada kemampuan berfungsi secara keseluruhan
merupakan hal yang penting, karena intervensi sering kali ditujukan untuk
meningkatkan kemampuan bergerak / kemandirian. Walaupun skala yang
digunakan untuk mengevaluasi. ADL dasar dan ADL aktif dapat dimanfaatkan,
tindakan lain yang lebih kompleks atau tindakan pilihan merupakan keadaan
yang lebih sensitif terhadap perubahan rasa nyeri ( Turk & Melzack, 1992 ).
Beberapa instrumen yang diarahkan pada area fungsional spesifik mencakup
Katz ADL scale ( Katz, Fprd Moskowitz. Jackson, & Jaffe, 1963 ),
Instrumental Activities of Daily Living scale (Lawton & Brody, 1965 ) dan
Barthel Index ( Mahoney & Barthel, 1965 ) dan lainnya.
Penggunaan bagan alur nyeri mungkin tidak bermanfaat dalam mengkaji
dan mengawasi status nyeri. Berbagai macam bagan alur nyeri terdapat dalam
litelatur ( McCaffery & Beebe, 1989), tetapi salah satu bagian luar dapat
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan kelompok individu atau kebutuhan
pasien. Selain memberikan penilaian yang jelas terlihat dalam mengevaluasi
respon pasien terhadap intervensi, bagan alur nyeri juga dapat digunakan
sebagai umpan balik positif terhadap kemajuan pereda nyeri, dapat
mengidentifikasi pola atau situasi yang tidak umum terjadi dapat memperburuk
rasa nyeri dan juga memfasilitasi penyebaran indformasi yang berkaitan dengan
masalah nyeri diantara pemberi asuhan kesehatan.
9. Diagnosa Keperawatan
Karakteristik nyeri yang multidimensi memberikan panduan untuk
menggunakan 2 diagnosa kepderawatan yang diakui North Amercan Nursing
Diagnosis Association (NANDA)yang berhubungan dengan nyeri : nyeri dan
nyeri kronik (NANDA 1999). Kedua diagnosi ini mencerminkan perbedaan
123
mendasar tentang lamanya nyeri, batasan karakteristik dan faktor yang
berhubungan dengan nyeri. Sebagai gambaran dari nyeri aktu, Nyeri kronik
didefinisikan sebagai “ pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan, muncul akibat kerusakan jaringan aktual / potensial, /
dijelaskan dalam pernhyatan beberapa kerusakan ( international asosiation fot
the study of paint, 1986 ) “ awitan tiba-tiba atau lambat dengan intensitas
ringan sampai parah, konstan atau berulang tanpa upaya peredaan yang
diantisipasi atau diprediksi dan memiliki durasi lebih dari 6 bulan “ ( Hlm.
123). Kedua diagnosa ini dihasilkan dengan kaitan terhadap karakteristik yang
menjelaskan dan faktornya berhubungan dalam kotak 36 – 1.
Seperti yang telah dinyatakan oleh Simon, Nolan, dan Bauman (1995),
perawat harus mampu mendiagnosis nyeri dan membedakan antara nyeri akut
dan nhyeri kronik. Nyeri akut dan kronik dapat dibedakan berdasarkan tipe
awitan, durasi dan penyebab nyeri. Nyeri akut dikaitkan dengan awitan yang
berlangsung saat ini dan tiba-tiba serta durasi yang terbatas. Nyeri ini dikaitkan
juga dengan penyakit akut, prosedur perawatan atau pembedahan, atau adanya
trauma. Nhyeri akut biasanya mengalami penurunan saat proses penyembuhan
berlangsung. Sebaliknya, nyeri kronik disebabkan oleh proses patologik yang
kronik difungsi berkepanjangan dan biasanya menetap pada sistem syaraf
perifer atau sistem syaraf pusat, atau oleh keduanya. Dan juga, kebalikan
dengan nyeri akut, penyebab utama nhyeri kronik dapat merupakan
mekanisme. Fisiologis dan / atau faktor lingkungan ( bonika, 1990 )
karakteristik lain yang membedakan nhyeri kronik adalah bahwa area nyeri
sering kali sulit dibedakan, intensitas nyeri menjadi lebih sulit dievaluasi, nyeri
biasanya bertambah seiring waktu batasan, karakteristiknya kurang terlihat, dan
kecenderungan pemulihan total nyeri berkurang ( Mcfarland & Mafarlane,
1997 ).
10. Hasil Yang Diharapkan
Evaluasi terhadap hasil yang diharapkan merupakan aspek penting dalam
ptoses keperwatan. Beberapa bentuk evaluasi nyeri harus digunakan untuk
mendapatkan data dasar, dilakukan sejak awal dan secara periodik, untuk
menentukan kefektifan intervensi manajemen nyeri. Perawat tidak harus
mengabaikan keterlibatak klien dalam mengevaluasi tindakan pereda nyeri,
menekankan keuntungan mentapkan tujuan bersama.
124
Penetapan waktu dan penggunaan bebderapa kriteria evaluasi adalah hal
yang penting untuk nilai keberhasilan atau kegagalan intervensi nyeri untuk
nyeri akut, evaluasi dapat dilakukan sangat cepat (contoh dalam 10 – 30 menit).
Untuk nyeri kronik penilaian saat masuk di RS pada saat pulang, 1 bulan, 3
bulan, dan 6 bulan pasca kepulangan klien dari RS adalah tindakan yang biasa
dilakukan ( Wielde, 1996 ). Mengkaji ulang status batasan karakteristik yang
digunakan untuk mdengidentifikasi nyeri sebagai sebuah masalah adalah
pendekatan sederhana untuk mengevaluasi hasil intervensi yang telah
dilakukan.
11. Evaluasi
a. Subjektif
Intervensi yang berhasil seharusnya menghasilkan pengurangan
tindakan pereda nyeri selama percakapan dan berkurangnya keluhan nyeri
spesifikasi secara keseluruhan. Walaupun nyeri kemungkinan tidak dapat
disingkirkan seluruhnya perawat harus mendengarkan dengan cermat
penjelasan kualitatif yang mengindikasikan pengurangan intensitas nyeri.
Sebagai bagian proses perencanaan, lansia harus dikaji untuk menentukan
tingkat nyeri yang dapat diterima pasien. Sebagai contoh, skala nyeri 0
sampai 10 tingkat nyeri skala berapa yang membuat lansia dapat melakukan
kegiatan yang leluasa saat tujuan untuk meredakan nyeri telah tercapai,
perawat dapat mengevaluasi kembali untuk mengetahui apakah intervensi
telah mencapai tingkat nyeri yang dapat ditoleransi lansia. Selain itu sangat
penting juga untuk menentukan apakah lokasi dan kualitas nyeri sama atau
berbeda, saat perubahan yang terjadi dapat mencerminkan adanya gangguan
pada etiologi dan kebutuhan untuk evaluasi selanjutnya.
b. Objektif
Perawat harus melihat dan merasakan adanya rileksasi pada otot
skeletal, yang mengindikasikan penurunan ketegangan otot dan penurunan
perasaan takut dan cemas. Berkurangnya postur tubuh yang menunjukkan
nyeri, juga merupan indikasi penurunan rasa nyeri, yaitu lansia tidak lagi
perlu melindungi sendi atau tungkai dengan postur yang kaku. Saat otot
rileks, harus terdapat penurunan kekakuan postur yang disertai dengan
peningkatan tingkat aktivitas dan mobilitas. Peningkatan partisipasi dalam
melakukan aktivitas, seperti aktivitas rekreasional dan aktivitas menghibur,
125
bekerja dan hubungan seksual dapat juga mencerminkan penurunan rasa
nyeri atau sedikitnya peningkatan koping terhadap stres akibat nyeri.
Pendekatan lain untuk mengevaluasi hasil pasien yang berhubungan dengan
nyeri asalah penggunaan pengukuran terstandarisasi. Seperti yang telah di
jelaskan sebelumnya dalam bagian pengkajian, skala pengukuran saat ini
memiliki rentang dari yang sederhana yakni skala pengukuran intensitas
nyeri. Pendekatan ketiga untuk mengukur hasil panen adalah
mengidentifikasi tujuan khusus keperawatan pada pasien ( lowa Outcomes
Project, 2000 ) yang memberikan metode penyampaian hasil secara
kuantitatif dengan cara yang memungkinkan penyampaian hasil dalam
tatanan keperawatan dan pelaksanaan individu yang menggunakan hasil
tersebut.
Pengendalian nyeri adalah “ tindakan seseorang untuk mengendalikan
nyeri “. Hasil tingkat nyeri secara khusus berguna untuk mengevaluasi
dampak intervensi terhadap nyeri Akut, karena sebagian besar batasan
karakteristikyang telah diidentifikasi oleh NANDA dimasukan kedalam
indikator hasil. Hasil tersebut dapat menjadi lebih inklusif jika expresi
verbal seperti berbicara dengan jelas menunjukan tanda merintih dan
menangis dan jika disertai mondar-mandir berfokus pada diri sendiri dan
rentang perhatian yang menyempit. Tujuan nyeri : Efek yang Mengganggu
( lowa Outcomes Project, 2000 ), juga sangat penting dalam menangani
klien yang menderita nyeri kronik. Indikator tersebut secara jelas
mengidentifikasi beberapa area dalam kegiatan sehari-hari yang sering kali
terganggu oleh adanya nyeri.
Pada akhirnya hasil tingkat Kenyamanan ( lowe Outcomes Project,
2000 ) memberikan indikator luas terhadap pengendalian nyeri dengan
mengarahkan perasaan menyeluruh tentang kenyamanan psikologis dan
fisik yang sering kali dipengaruhi oleh rasa nyeri, terutama nyeri kronik
yang benigna dan malgina.
12. Intervensi Keperawatan
Lansia dapat mengambil keuntungan yang sangat besar dari berbagai macam
inervensi dalam manajemen nyeri, terutama nyeri kronik. Perkembangan
konseptualisasi dan terapi nyeri mendukung penggunaan pendekatan
multimodal, mencakup intervensi farmakologi dan nonfarmakologi yang
126
menekankan dampaknya pada tingkat sistem perifer dan sistem saraf pusat
yang berbeda ( Butler & Gastel, 1980; Ferrell & Ferrell, 1991; Haley & Dolce,
1986; Harkins, Kwentus & Price, 1984; Jay & Miller, 1990 ). NIC menyajikan
sejumlah vensi umum dan spesifik yang kebanyakan menunjukan untuk
seseorang yang mengalami nyeri vensi utama manajemen Nyeri dijelaskan “
pengurangan atau penurunan nyeri hingga mencapai tingkat kenyamanan yang
dapat diterima pasien “ ( lowa Intervention Project, 2000 ). Walaupun
pengetahuan ilmiah tentang nyeri terus dikembangkan, gate control theory,
yang telah diajukan dan kemjudian dimodifikasi oleh Melzack dan Wall ( 1965,
1982 ), merupakan salah satu teori nyeri yang diterima secara luas dan
memberikan pemberi asuhan keperawatan, suatu fondasi teoritis dalam
menggunakan intervensi manajemen nyeri secara farmakologik dan non.
Mekanisme pintu gerbang dalam kordonalis kolumna spinal mengurangi dan
mengatur nyeri dalam 4 poin :
1. Bagian perifer nyeri.
2. Dalam korda spinal itu sendiri
3. Dalam batang otak
4. Dalam korteks serebral
a. Intervensi Farmakologi
Kurangnya pengetahuan dan keahlian dalam intervensi farmakologik
merupakan penghambat untuk mengoptimalkan manajemen nyeri pada
lansia. Saat digunakan strategi farmakologi ini sering kali kurang adekuat
dalam mengatasi nyeri yang diterima karena penetapan dosis dan pola
pemberian yang tidak efektif baik oleh dokter maupun perawat ( Ferrell et
al., 1990; Roy & Thomas 1986 )
Penggunaan obat anal gesik yang aman dan efektif pada lansi
membutuhkan pemahaman tentang perubahan yang berkaitan dengan usia
yang berdampak pada farmakokinetik dan farmakoninamik obat.
Heterogenitas pada populasi lansia akibat ketidaksesuaian proses penuaan
kronologis, peningkatan insiden penyakit kronik pada lansia, dapat
berdampak pada efek obat dan tingkat oksisitas dan memengaruhi proses
manajemen farmakologi. Pemahaman tentang perubahan umum fisiologis
yang terjadi saat proses penuaan dapat membuat perawat lebih waspada
dalam mengantisipasi dampak negatif pemberian obat analgesik.
127
a. Opioid. Kodein mungkin merupakan opioid lemah yang paling penting
dan dapat digunakan dengan aman pada lansia dalam manajemen
sedang. Oksikodon, opoid sedang yang menagndung bahan analgesik
yang baik, juga relatif aman bagi lansia.
b. Morfin, opioid yang paling diharapkan sering digunakan untuk lansia,
merupakan pilihan untuk mengatasi nyeri hebat karena memiliki waktu
paruh yang singkat memasukan penyesuaian dan yang dibutuhkan secara
cepat, ketika dilakukan titrasi, untuk mendapatkan pengendalian nyeri
yang efektif.
c. Obat analgetik yang harus dihindarkan saat terapi opioid kronik pada
lansia adalah memperindin ( Ferrell, 1996; Jacix et al; 1994 ). Walaupun
opioid digunakan secara luas untuk manajemen nyeri akut dan
manajemen nyeri maligna, namun penggunaan terapi opioid jangka lama
untuk mengatasi nyeri sedang kronik masih merupakan febomena yang
kontroversi.
d. Propoksifen, walaupun digunakan secara luas tidak lebih efektif dari
aspirin dan asetaminofen tetap memiliki peningkatan resiko terhadap
kebergantungan dari efek samping pada sistem saraf pusat ( Ferrell,
1996; McCue, 1998; Schnitzer, 1998 )
e. Non opioid. Analgesik nonopioid, termasuk asetaminofen dan obat-
obatan antiinflamasi non-steroid, sering dipilih untuk terapi nyeri akut
atau nyeri kronik pada lansia. Asetaminofen dalah obat yang lebih aman
daripada obat golongan NSAID dan harus dicoba terlebih dahulu,
kemudian diikuti dengan terapi NSAID saat manajemen nyeri tidak
adekuat ( American Geriatriccs Society Fanel on Cronic Pain In Older
Persons, 1998 )
b. Intervensi Nonfarmakologi
Intervensi nonfarmakologi dapat digolongkan menjadi 2 kategori :
Intervensi Stimulasi fisik atau dan intervensi perilaku kognitif. Intervensi
expulasi fisik dan kutan melibatkan stimulasi pada kulit dan jaringan
dibawahnya untuk menurunkan dan meredskan nyeri. Intervens stimulasi
kutan merupakan metode noninvasif dalam mengatasi nyeri pada lansia.
Salah satu keuntungan intervensi simulasi kutan yang paling penting tetapi
jarang digunakan adalah dapat dilakukan pada bderagam area. Agen Termal
128
sudah tersedia yaitu paket panas dan dingin, hidroterapi ( seperti mandi
rendam / mandi pancuran ) dan mandi parafin ( seperti aplikasi sensasi
panas pada area spesifik dengan cara berendam dalamparafin hangat ).
Sejumlah faktor yang berhubungan dengan proses penuaan memengaruhi
peningkatan resiko kasus cedera ternal :
a. Penurunan reaktivitas sistem termoregulasi
b. Penurunan respons otonomik dan vasomotor
c. Pengurangan sirkulasi dan kehilangan kelenjar keringat yang berkaitan
dengan atrofil kulit
d. Penurunan persepsi terhadap perubahan termal ( Kauffman 1987 )
c. Intervensi Perilaku Kognitif
Dilakukan dengan berbagai teknik yang efektif dalam manajemen
nyeri pada lansia. Intervensi tersebut adalah rileksasi otot progresif,
rileksasi otot pasif, latihan autogenik, meditasi, biofeedback, dan hipnosis
dll. Umunya, iintervensi perilaku kognitif meningkatkan rasa rileksasi dan
pengendalian. Intervensi ini khususnya berguna dalam manajemen nyeri.
Menurut definisi nyeri kronik merupakan pengalaman yang menimbulkan
stress secara kronik yang mampu merangsang respon autonomik dan atau
respon otot yang berhubungan dengan sensasi yang menyakitkan. Terdapat
faktor yang harus dipertimbangkan yang dapat mengganggu penggunaan
intervensi ini, yaitu defisit kognitif, depresi berat, dam ekpresi ketidak
yakinan terhadap asal usul formulasi psikologik beberapa dari intervensi ini
( misalnya teknik imajinasi )
Modifikasi dapat dilakukan saat menggunakan semua intervensi ini
sehingga memungkinkan mereka lebih mudah dipelajari dan digunakan.
Keefe, Beaupre, Weiner, dan Siegler 1996 ). Menyarankan sedikit
perubahan dalam prosedur pelatihan, yaitu meminta lansia tetap membuka
matanya saat mendengarkan kaset rileksasi untuk meminimalkan
kesempatan tidur, mengurangi lamanya pertemuan layihan sehingga
mampu mengurangi keletihan, dan melakukan latihan pada saat klien
kurang cenderung mengalami keletihan.

129
E. GANGGUAN SENSORIS/PERSEPSI
1. Definisi
Persepsi merupakan proses menerima, mengintegrasikan,
mengklasifikasikan, membedakan, dan memberikan pemahaman terhadap
stimulus yang datang melalui reseptor sensoris lalu bertindak sebagai
mekanisme umpan balik yang bertujuan untuk menyesuaikan diri terhadap
lingkungan ( avant & helson, 1973 )
2. Faktor Yang Berhubungan / Etiologi
Menurut NANDA, 1999 ;
a. Gangguan persepsi sensori
b. Stimulus lingkungan yang berlebihan
c. Stress psikologis
d. Gangguan resepsi sensoris
e. Transmisi
f. Integrasi
g. Stimulus lingkungan yang tidak mencukupi
h. Ketidakseimbangan biokimiawi terhadap distorsi sensoris (seperti ilusi dan
halusinasi)
i. Ketidakseimbangan elektrolit
j. Perubahan propriosepsi
Terjadi pada lansia berkaitan dengan banyak penyebab. Proses penuaan
normal yang berhubungan dengan penurunan ketangkasan dan keterapilan otak
dapat dihindari dengan asupan nutrisi yang seimbang dan tetap aktif dlam
melakukan kegiatan. Terhambatnya aktifitas (ADL) dapat mengakibatkan
kehilangan fungsi aktual yang berkaitan dengan pusing, jatuh, atau penurunan
rentang pergerakan, disertai nyeri dan kekauan akibat penyakit sendi
Masalah Prioseptif : Merupakan salah satu atau kombinasi dari
penyesuaian terhadap berat badan atau ukuran alat bantu, perubahan status
mental, pengobatan (vasodilator, alcohol, penyalahgunaan obat, agen
psikoaktif, atau antihipertensi), penyakit kronik dan akibat pengaruh
neuromuscular atau skeletal (DM, hipertensi, penyakit kardiovaskuler,
arthritis dan perubahan pendengaran dan penglihatan).
Perubahan Penglihatan: Terjadi konjungtiva menipis dan menjadi
berwarna kuning, duktus lakrimalis mengalami penurunan kapasitas dalam
130
menghasilkan airmata dan melubrikasi mata, pupil mengecil dan
kemampuannya berkontriksi berkurang, lensa kaku dan menjadi lebih buram
Kehilangan Pendengaran : Kehilangan penndengaran pada lansia
disebabkan oleh pembentukan kartilago yang terus- menerus serta kehilangan
keelastisan kulit, kanalis ouditorius menyempit, terdapat penurunan
sensitivitas vestibular dan degenerasi sendi osikular, kelenjar serumen atrofi /
serumen cenderung mongering dan mengeras, memadat serta menutupi jalan
masuk.
Indra Penciuman: Sebagai bagian dari penurunan fungsi reseptor nervus
olfaktorius pada tahap awal penuaan. Bisa diakibatkan dari obat seperti
analgesic opioid, beberapa agen antitiroid, beberapa agen kardiovaskuler,
tetrasiklin, obat tetes atau semprotan hidung. Indra perasa sangat berkaitan
dengan penciuman, pada lansia mengalami penurunan jumlah saraf akhir,
papilla dan sensoris perasa serta penurunan kemampuan untuk membedakan
ke empat rasa utama ( pahit, manis, asam, dan asin )
Sensasi Taktil: Sensasi taktil / sentuhan saling berkaitan dengan semua
indra lain karena masing – masing fungsi dari sensasi yang lain dapat
mempengaruhi sensasi sentuhan, mengakibatkan lansia susah membedakan
suhu tubuh dan rasa nyeri.
3. Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Riwayat kesehatan pasien
c. Pemeriksaan fisik
d. Pemeriksaan penglihatan (sulit melihat benda kecil, sulit membedakan
warna, sulit memfokuskan penglihatan pada benda sehingga lansia
mengalami beberapa tingkat isolasi social yang akhirnya dapat berdampak
pada kemampuan persepsi sensoris)
e. Pemeriksaan pendengaran (adanya obstruksi mekanis pada kanalis
auditorius , sulit mendengar dan sulit membedakan suara yang dibeda
disekitar lansia dapat mengubah persepsi sesorang terhadap
pemangalamannya)
f. Pemeriksaan indra kinstesia (reflek pada otot mata dan leher menurun,
tulang dan persendian pada ekstremitas dala mempertahankan postur tubuh

131
dalam berjalan dan berdiri mangalami penurunan, keseimabngan tubuh
lansia juga menurun)
g. Pemeriksaan indra pengecap dan penghidung (kesulitan merasakan gula dan
garam, penurunan nafsu makan, kesulitan membedakan bau kopi bawang
putih cuka dll)
h. Pemeriksaan indra taktil (penurunan respon sentuhan dari lingkungan
sekitar, sulit membedakan suhu)
4. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Sensoris / Persepsi : Defisit Tidak Terkompensasi
b. Gangguan Sensoris / Persepsi : Kelebihan Masukan (Kelebihan Sensoris)
c. Gangguan Sensoris / Persepsi : Defisit Masukan
Batasan karakteristik :
a. Gangguan sensoris / persepsi (spesifik : penglihatan, pendengaran,
kinesthesia, pengecapan, taktil, penghidung) tidak mengalami perubahan
b. Tidak terorientasi dengan waktu, tempat atau dengan orang lain
c. Gangguan dalam membayangkan dan konseptualisasi
d. Perubahan kempuan dalam menyelesaikan masalah
5. Hasil Yang Diharapkan
Pengendalian kecemasan, citra tubuh, kemampuan kognitif,
pengendalian pola pikir yang distorsi dan pemulihan energi. Keseimbangan
cairan, istirahat dan tidur.
6. Intervensi Keperawatan
Perawat dapat mengajarkan lansia berbagai teknik untuk
mengkompensasi gangguan yang mereka alami, Perawat dapat membahas
strategi lingkungan, mendorong lansia untuk menggunakan berbagai indra
atau mengganti penggunaan indra dan membantu mereka untuk berfokus pada
petunjuk lain yang berada dalam lingkungan.
Diagnosa
Tujuan Keperawatan Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Gangguan 1. Konsentrasi 1. Pencapaian komunikasi :
sensoris/ persepsi: 2. Upaya memproses informasi defisit pendengaran
pendengaran 3. Kemampuan komunikasi 2. Penyuluhan : kemampuan
4. Perilaku keamanan : diri sendiri psikomotorik
5. Pengetahuan: keamanan diri 3. Manajemen lingkungan :
sendiri keamanan

132
6. Citra tubuh 4. Pendidikan: keamanan diri
7. Pelibatan social sendiri
8. Kesendirian 5. Peningkatan citra tubuh
9. Kualitas kehidupan 6. Peningkatan sosialisasi
Gangguan 1. Kemampuan berkomunikasi 1. Peningkatan komunikasi :
sensoris/ persepsi: 2. Orientasi kognitif defisit penglihatan
penglihatan 3. Perawatan diri sendiri : 2. Fasilitas proses
aktivitas Kehidupan sehari- pembelajaran
hari ( ADL ) 3. Penyuluhan : perawatan
4. Perawatan diri sendiri : diri
aktivitas kehidupan sehari- 4. Petunjuk antisipasi
hari aktif ( IADL ) 5. Pengurangan kecemasan
5. Pengendalian cemas 6. Peningkatan olahraga
Gangguan 1. Tingkat mobilitas 1. Terapi olahraga :
sensoris/ persepsi 2. Perilaku aman : pencegahan keseimbangan
: kinestesia jatuh 2. Peningkatan olahrga
3. Pengetahuan keamanan : diri – 3. Pencegahan jatuh
sendiri 4. Penyukuhan : keamanan
4. Perawatan diri sendiri : diri sendiri
aktivitas
5. Kehidupan sehari- hari aktif
(ADL)
Gangguan 1. Kesejahteraan 1. Dukungan emosional
sensoris/ persepsi; 2. Perilaku keamana : diri – 2. Peningkatan keamanan
taktil sendiri sentuhan
3. Pengetahuan ; keamanan diri – 3. Manajemen lingkungan
sendiri 4. Penyuluhan : keamanan
Gangguan 1. Perilaku keamanan : 1. Manajemen lingkungan
sensoris/ persepsi: lingkungan fisik rumah 2. Penyhan keamanan : diri –
penciuman 2. Perilaku keamanan : diri – sendiri
sendiri 3. Konseling nutrisi
3. Status nutrisi 4. Manajemen nutrisi

Gangguan 1. Status nutrisi 1. Penyuluhan : modifikasi


sensoris/ pesepsi: 2. Kuallitas kehidupan makanan
pengecapan 2. Peningkatan nafsu makan
3. Manajemen cairan
a. Intervensi manajemen lingkungan
Intervensi Penglihatan : Tujuan untuk mempertahankan interaksi
social dan mengoptimalkan fungsi fisik. Dengan demikian berbagai
macam aktivitas dapat pada kategori manajemen lingkungan. Penggunaan
warna terang tidak menyilaukan meningkatkan kontras warna dan

133
membantu lansia mengidentifikasi lingkungan tempat tinggal, suatu
ruangan, dan tangga rumah.
Intervensi Pendengaran : berbagai tindakan keperawatan dapat
dilaksanakan untuk meningkatkan status pendengaran. Dalam berbagai
interaksi dengan lansia yang mengalami gangguan pendengaran, perawat
perlu menarik perhatian lansia melalui sentuhan sebelum memulai
percakapan, berbicara berlahan dengan lafal pengucapan kata- kata yang
yang sangat hati – hati, dan menurunkan nada suara, sementara itu tidak
menambah nada suara.
Intervensi Pengecapan Dan Penghidu : pemasangan gigi palsu yang
tepat dan tetap menjaga kebersihannya dapat meningkatkan cita rasa pada
makanan. Lingkunga juga harus dikendalikan dalam meningkatkan cita
rasa pada makanan. Makanan yang disajikan dengan baik terlihat menarik,
berbau sedap, dan meningkatkan selera serta yang disajikan pada
lingkungan yang menyenangkan dan dimakan bersama-sama, dapat
meningkatkan kenikmatan makan malam, cita rasa dan nafsu makan.
Intervensi Kinestesia : untuk meyakinkan keamanan seseorang yang
mengalami defisit kinestesia, benda – benda berbahaya harus dijauhkan
dari lingkungan . individu juga harus dilindungi dari pemaparan yang
berlebihan terhadap panas dan dingin.
b. Intervensi Konseling
Intervensi Penglihatan Dan Pendengaran : merupakan bagian yang
penting pada proses rehabilitasi yang mencakup pendidikan dan konseling
lansia serta anggota keluarganya. Perawat harus memiliki petunjuk tentang
perawatan dan penggunaan yang tepat alat bantu penglihatan dan
pendengaran yang adaptif.
Intervensi Pengecapan Dan Penghindu : instruksi dipilih dapat
disarankan bagi lansia sebagai cara untuk meningkatkan persepsi
pengecapan mereka. Mengatur warna, tekstur, dan suhu makanan juga
dapat mmembantu mempertahankan kenikmatan makanan,
Intervensi Kinestesia Dan Taktil : perawat dapat membantu dengan
memberi petunjuk pada lansia untuk meningkatkan kemampuan indra
mereka yang lain, misalnya penggunaan berbagai tekstur dalam
lingkungan rumah dapat meningkatkan pengenalan benda.
134
Intervensi Rujukan : peran perawat dalam perawatan lansia adalah
merujuk pada spesialis yang tepat, seperti audiologist, optalmogis,
optometris, terapis fisik untuk mendapatkan pengkajian yang lebih
spesifik.
F. PENGABAIAN UNILATERAL
1. Definisi
Pengabaian unilateral adalah suatu kondisi yang berkaitan dengan persepsi
saat individu tidak menyadari dan tidak perhatian salah satu dari sisi tubuhnya
(Carrol Johnson, 1994). Kondisi ini disebabkan oleh cedera otak yang
mengganggu persepsi dan dapat dihubungi dengan masalah perseptual lainnya.
Lesi paling sering terjadi pada lobus parietal kanan, dengan perkiraan
perbandingan lesi di lobus kanan dengan lobus kiri yang terendah adalah 3:1,
dan yang tertinggi adalah 16:1 (Riddoch & Humphreys, 1983 ; Weinstein dan
Friedland, 1997). Oleh karena itu, Pengabaian Unilateral paling sering
dihubungkan dengan hemiplegia kiri karena CVA (Cerebrovascular Accident)
pada hemisfer kanan. Terkadang gejalanya cepat sekali dikenali setelah lesi
terjadi yang kemudian akan mereda, disertai dengan pemulihan fungsi lain.
terdapat, terbukti yang menyatakan bahwa pria lebih cenderung mengalami
gejala dengan jelas, yang mungkin berkaitan dengan fungsi-fungsi yang diatur
secara kaku oleh hemister pada pita, yaitu fungsi verbal pada hemisfer kiri dan
fungsi spasial pada hemisfer kanan. (Greshwind & Behan, 1952). Penyakit
Alzheimer juga menjadi penyebab terjadinya pengabaian unilateral
(Bartolomeo et al, 1998)
Jika pengabaian unilateral pada lansia tidak di diagnosis dan tidak diatasi,
kemungkinan akan terjadi cedera pada sisi yang mengalami gangguan akibat
trauma atau lebih pengabaian terhadap faktor kebersihan
Teori-teori tentang defisit yang dapat menyebabkan pengabaian unilateral
adalah gangguan pada (1) input sensoris; (2) representasi interal tentang ruang;
dan (3) perhatian terhadap stimulus kontralateral dan lesi. Pengabaian
unilateral dipersulit oleh berbagai defisit yang menyertai atau memiliki
beberapa dampak seperti Anosognia, Hemianopsia, Pengabaian
Hemispasial, Kurang Perhatian Visual, Dan Penurunan Kemampuan
Propiosepsi.

135
a. Anosognia berarti ketidaksadaran atau pengingkaran terhadap hemiplagia
(secara teknis berarti ketidaksadaran terhadap penyakit)
b. Hemianopsia adalah kehilangan setengah lapang pandang, biasanya pada
sisi yang mengalami gangguan. Kondisi ini umumnya terjadi pada lesi
posterior di kiasma optikum.
c. Pengabaian hemispasial adalah ketidakperhatian terhadap satu sisi tubuh
terhadap setengah sisi tubuh. Lansia yang menderita defisit ini akan
mengabaikan suara-suara atau objek pada sisi yang mengarah ganngguan.
d. Kurang perhatian visual, yang dapat menjadi bagian dari pengabaian
hemispasial , dapa menyebabkan lansia gagal membaca kata-kata pada sisi
yang mengalami gangguan. Namun, saat perhatian ditujukan pada kata-
kata yang mengabaikan, mereka dapat membaca tanpa mengubah arah
pandang atau menggerakkan kepala mereka. Karakteristik membedakan
tidak perhatian visual dan hemianopsia, yaitu kata-kata tidak terlihat jika
kepala lansia tidak diputar atau arah pandangan diubah untuk dapat
menggunakan separuh fungsi dari matanya.
e. Propiosepsi adalah kemampuan untuk mengetahui posisi tungkai melalui
input sensori, tanpa melihatnya atau merasakannya pada ekstremitas lain.
Defisit terkait yang perlu dibedakan dari pengabaian unilateral dan dapat
mempersulit perilaku pengabaian adalah agnosia dan apraksia. Agnosia adalah
kegagalan otak untuk mengenali input dari sensasi tunggal seperti penglihatan,
pendengaran propiosepsi, atau sentuhan. Apraksia adalah ketidakmampuan
untuk melaksanakan pergerakan volunter yang dipelajari atau merencanakan
dan melakukan pergerakan saat pemahaman dan kemampuan motorik masih
utuh. Beberapa defisit lain yang umum terjadi pada cedera hemisfer kanan
adalah kurangnya hambatan, ketidasesuaian sosial, dan lontaran kata yang
berlebihan.
2. Faktor yang berhubungan/ etiologi
CVA mungkin menjadi penyebab paling umum pengabaian unilateral
pada lansia, tapi tiap lesi pada lobus perietal, terutama di hemisfer kanan,
dapat menyebabkan terjadinya pengabaian unilateral. Sesekali cedera pada
bagian lain di otak menyebabkan terjadinya pengabaian unilateral, tapi tidak
konsisten seperti cedera di lobus parietal kanan. (Heilman & Valenstien 1977)

136
3. Pengkajian
Indikator utama pengabaian unilateral adalah kurang perhatian yang
konsisten terhadap stimulus pada sisi yang mengalami gangguan. Hal ini
biasanya perawatan diri yang tidak adekuat pada sisi tubuh yang mengalami
gangguan, kurangnya pergantian posisi dan/atau tindakan kewaspadaan
keamanan yang berkaitan dengan sisi tubuh yang mengalami gangguan, dan
pengabaian terhadap makanan atau bahan bacaan pada sisi tubuh yang
mengalami gangguan.
NANDA (Carrol-Johnson, 1994) Weitzel
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN/ ETIOLOGI
Dampak gangguan Cedera otak: trauma, tumor, atau masalah serebrovaskular
kemampuan Gangguan input sensoris, representasi interlan akan ruang, perhatian
perseptual kebutaan terhadap stimulus yang kontralateral dengan sisi lesi
di satu sisi penyakit Keterbatasan atau tidak ada pergerakan pada ekstermitas yang
atau trauma mengalami gangguan
neurologis kehilangan setengah pandang, biasanya pada sisi yang mengalami
gangguan
Kehilangan kemampuan utuk mengetahui posisi anggota tubuh
melalui input sensoris, tanpa melihat atau menyentuhnya
Persepsi stimulus pada sisi yang mengalami gangguan, sebagai
stimulus yang datang dari sisi sebaliknya
Pada saat stimulus diberikan pada kedua ekstremitas, persepsi yang
ditangkap hanya pada stimulus yang berasal dari sisi yang tidak
mengalami gangguan
Tidak mengenali sisi yang mengalami gangguan sebagai bagian dari
tubuh
Tidak sadar terhadap keterbatasan fungsi
Tidak perhatian terhadap separuh bidang pandang dan juga terhadap
separuh bagian tubuhnya

BATASAN KARAKTERISTIK
Tidak perhatian secara konsisten Pengingkaran
terhadap stimulus-stimulus pada sisi Fungsi tidak mengalami perbaikan dengan meminta
yang mengalami gangguan perhatian pada sisi yang diabaikan
Perawatan diri tidak adekuat Tidak perhatian
Pemberian posisi dan/atau tindakan Gagal membaca kata-kata pada sisi halaman yang
kewaspadaan perlindungan pada sisi mengalami gangguan ; saat perhatian diminta pada
yang mengalami gangguan kalimat yang terlewatkan, mereka dapat membaca
kata tersebut tanpa mengubah arah pandangan atau
menggerakkan kepala

137
Tidak melihat pada sisi yang Indikator mayor
mengalami gangguan
Meninggalkan makanan di piring Tidak perhatian yang konsisten terhadap stimulus
pada sisi yang mengalami gangguan pada sisi yang mengalami gangguan
Perawatan diri tidak adekuat pada sisi yang
mengalami gangguan
Kurangnya pemberian posisi dan/atau tindakan
kewaspadaan keamanan pada sisi yang mengalami
gangguan
Tidak melihat ke arah sisi yang mengalami gangguan
Mengabaikan makanan atau mengurang materi
bacaan pada sisi yang mengalami gangguan
4. Diagnosis keperawatan
Pada tahun 1987 dalam konferensi ketujuh NANDA (NANDA,1999) .
Masalah pengabaian unilateral ditambahkan sebagai subdiagnosis Gangguan
Sensoris/Persepsi. Pengabaian unilateral didefinisikan sebagai “suatu kondisi
individu tidak menyadari dan tidak perhatian secara perseptual terhadap salah
satu sisi tubuhnya” (NANDA, 1999, hlm. 115). Pengabaian unilateral
dibedakan dari gangguan sensoris/persepsi pada lansia karena pengabaian
unilateral desebabkan oleh kondisi patologis, bukan suatu proses penuaan
normal. Pengabaian unilateral disebabkan oleh cedera pada jaringan otak dan
bukan disebabkan oleh gangguan pada lingkungan. Pengabaian unilateral
dapat disebabkan oleh beberapa perilaku seperti yang ditemukan pada
gangguan persepsi sensoris lainnya, namun hanya berhubungan dengan
peresepsi terhadap separuh tubuhnya; hal ini biasanya dihubungkan dengan
hemiplagia , heminopsia atau defisit sensori lain ( Heilman & Valenstien,
1977)
5. Intervensi Keperawatan
a. Intervensi Umum
1) Pengendalian Input Sesori
2) Dukungan Psikososial
3) Dukungan Keamanan
4) Keterlibatan Keluarga
b. Intervensi Spesifik untuk Perilaku Tidak Perhatian
1) Pemberian Isyarat

138
G. DEFISIT PENGETAHUAN
Defisit pengetahuan adalah diagnosis keperawatan yang paling sering
digunakan untuk orang dewasa pada semua tingkat usia dan penyuluhan adalah
salah satu tindakan keperawatan yang paling sering dilakukan. Defisit
pengetahuan muncul saat individu memiliki informasi kognitif yang tidak cukup
atau memiliki keterampilan psikomotor yang berkaitan dengan topik spesifik
seperti kondisi tertentu atau rencana terapi.
Kurang pengetahuan dapat menyebabkan kurangnya perilaku pencegahan
primer seperti aktivitas tidak adekuat, kurangnya pencegahan sekunder seperti
kurangnya perilaku pencegahan tersier pada penderita diabetes yang kurang
mencegah kerusakan kulit.
Tujuan umum intervensi keperawatan defisit pengetahuan pada lansia adalah
untuk meningkatkan pengetahuan. Peningkatan pengetahuan, justru dapat
berpengaruh terhadap peningkatan keterampilan perawatan diri dan manajemen
diri.
Lansia adalah pasien yang paling sering mendapat penyuluhan karena defisit
pengetahuan biasanya diikuti dengan diagnosa lain, tapi penyuluhan dapat
menjadi tindakan yang sesuai untuk beberapa diagnosis lain tersebut. (Carpenito,
1995)
1. Faktor Yang Berhubungan
a. Penyakit penyerta, seperti diabetes
b. Terapi baru yang dianjurkan
c. Tidak berpengalaman dalam keterampilan psikomotor
d. Kurangnya paparan dengan informasi
e. Kesalahan dalam interpretasi informasi
f. Adanya permasalahan dalam penglihatan
g. Keterbatasan kognitif
2. Pengkajian
Pengkajian lansia yang mengalami defisit pengetahuan harus
ditunjukan untuk mengetahui apa saja yang sudah klien ketahui. Pengkajian
yang sering dilakukan adalah memantau ketrampilan pasien dan pertanyaan
verbal tentang pengetahuan pasien. Pengkajia juga harus ditujukan pada
kesiapan untuk belajar. Kesiapan untuk belajar dipengaruhi oleh suatu
rangkain faktor-faktor yang kompleks.
139
Lansia memiliki kesulitan dalam belajar mengenai medikasi selama
hospitalisasi. Gangguan terkait memori yang beragam umumnya terjadi pada
lansia, meskipun masalah memori yang dilaporkan sendiri oleh lansia tidak
berkolerasi baik dengna kesulitan yang ditemukan. (Davis, 1992)
3. Intervensi Keperawatan
Penyuluhan kepada pasein adalah intervensi utama defisiensi
pengetahuan. Tujuan pemberian pendidikan adalah meningkatkan
pengetahuan; perawat sering memberikan penyuluhan, untuk meningkatkan
pengetahuan (Lorig, 1996). Penyuluhan mendukung untuk berfungsi secara
psikososial, memfasilitas perubahan perilaku gaya hidup, dan dimulai sebagai
respons terhadap diagnosis keperawatan Defisit Pengetahuan.
4. Prinsip Penyuluhan dan Pembelajaran
Banyak prinsip penyuluhan pasien sesuai untuk lansia, karena tingkat
kecemasan tinggi dapat diatasi dengan teknik relaksasi atau dengan intervensi
lain agar orises belajar dapat dilaksanakan didukung dengan lingkungan yang
kondusif. Umpan balik mengenai pembelajaran memberikan informasi kepada
klien.
a. Penuhi kebutuhan pasien yang tidak terpenuhi
b. Ciptakan lingkungan yang kondusif
c. Kecepatan pemberian materi penyuluhan
d. Struktur pendidikan
e. Lakukan pengulangan untuk mencapai pembelajaran
f. Kaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan sebelumnya
g. Pemberian informasi pada hal yang penting
h. Ajarkan informasi yang penting terlebih dahulu dan dari yang sederhana
i. Berikan umpan balik
j. Beri pujian
k. Gunakan berbagai kanal multisensori
l. Gunakan berbagai sumber edukasi
m. Dorong interaksi antara peserta didik dan pemberi materi
5. Intervensi Keperawatan Pada Lansia
Penyuluhan pada lansia membutuhkan individualisasi proses
pembelajaran untuk mengompensasi setiap gangguan yang mungkin dialami
lansia. Hubungan interpersonal antara perawat dengan klien harus tetap
140
menjunjung rasa hormat, penerimaan, dan kesabaran. Penyuluhan kepada
lansia harus disampaikan dengan sikap optimis terhadap lansia.
Penyajian materi pada penyuluhan terhadap lansia harus menggunakan
berbagai indera, penggunan huruf yang besar dengan warna kontras yang tidak
menyilaukan mata dan didukung dengan pencahayaan yang cukup dapat
membantu lansia memahami materi yang disampaikan. Berbicara dengan
perlahan dan jelas dapat meningkatkan komunikasi kepada lansia yang
mengalami gangguan pendengaran. Kemudian dengan bertatap muka dengan
lansia, dapat membuat lansia lebih memahami materi penyuluhan yang
disampaikan.
Hambatan yang didapatkan ketika melakukan penyuluhan pada lansia
beragam, misal pada lansia dengan gangguan penglihatan yaitu penurunan
ketajaman mata dan penggunaan kacamata yang kurang baik, lansia dengan
gangguan pendengaran adalah adanya presbikusis. Kemudian lansia dengan
masalah kognitif seperti masalah memori, penurunan konsentrasi, dan
melambatnya kemampuan memproses informasi.
Strategi yang harus dilakukan ketika menghadapi hambatan seperti di
atas, yaitu:
a. Gunakan materi dengan visual yang tidak membutuhkan kegiatan
membaca
b. Gunakan kata yang paling umum digunakan
c. Gunakan kalimat pendek
d. Gunakan contoh secara bebas dan nyata
e. Libatkan orang terdekat dalam pengalaman belajar
Dengan pemberian motivasi kepada lansia diharapkan lansia dapat
lebih berpikir secara terbuka, dengan memberikan pertanyaan sesering
mungkin pada lansia akan memberikan gambaran yang lebih luas terhadap
lansia dengan gangguan memori.
Adanya kesulitan pembelajaran mengakibatkan motivasi belajar pada
lansia menjadi turun, seperti (Doak et.al: 1996):
a. Kesulitan memproses gambar dan simbol
b. Kecenderungan untuk mengartikan penjelasan secara harfiah
c. Kecenderungan berpikir tentang hal yang spesifik dan kesulitan berpikir
secara konsep
141
d. Keterbatasan kosa kata
e. Ketakutan untuk mengajukan pertanyaan
f. Kesulitan membaca grafik
6. Strategi Berbeda Pada Pembelajaran Lansia
a. Penggunaan teknologi untuk menyediakan pembelajaran yang menarik
b. Komputer adalah guru yang sabar dan tidak mengenal lelah
c. Penggunan grafik untuk meningkatkan stimulasi visual, pembelajaran melalui
pertanyaan dan memberikan umpan balik.
d. Penggunaan media video dapat meningkatkan minat pembelajaran

142
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Pola metabolik-nutrisi membahas mengenai masalah keperawatan yaitu,
kerusakan integritas kulit: ulkus dekubitus dan kulit keringg, perubahan nutrisi
kuramh dari kebutuham tubuh, gangguan menelan, kerusakan membrane mukosa
oral, kekurangan volume cairan-dehidrasi: isotonic, hipotonik, dan hieprtonik, serta
risiko perubahan suhu tubuh.
Masalah keperawatan yang terjadi pada pola eliminasi mencakup konstipasi,
diare, inkontinensia alvi, dan inkontinensia urin: fungsional, istrogenik, overflow,
refleks, stress, total, dan Urgensi.
Sedangkan pada pola aktivitas dan latihan yaitu penurunan curah jantung,
gangguan perfusi jaringan, ketidakefektifan pola napas, intoleransi aktivitas,
hambatan mobilitas fisik, deficit perawatan diri, dan deficit aktivitas pengalihan.
Pada pola Kognitif Persepsi masalah keperawatan yang muncul meliputi
konsfusi kronik, konfusi akut, nyeri, gangguan sensoris persepsi, pengabaian
unilateral dan deficit pengetahuan.
3.2 SARAN
Demikian makalah ini kami susun sebagaimana mestinya. Kami sebagai
penyusun menyadari akan kekurangsempurnaan dalam makalah ini, baik dari isi,
materi dan bahasa.
1. Semoga bisa menjadi pemenuhan tugas yang tepat terhadap mata kuliah
Keperawatan Komunitas 3 semester 6 STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun.
2. Semoga dari pihak-pihak atau instansi lain dapat memberikan kritik dan saran
terhadap makalah tersebut di atas.

143
DAFTAR PUSTAKA

Adams, J.,&lindemann,E(1974)Coping long tern disability. Dalam G.,Cornelus


Hambung&J.Adams(Eds) , coping and (pp.127-138). New york : Basic books .
Advisory panel on Alzheimer’s Disease second report of the advisory panel on
disease,1990(DHHS Pub. No.(ADM). Wasington,DC superindependent of U.S
Goverenmen printing office.
Aldrich,C, & Mendkoff,E. (1963). Relocatin aged and disabled: A mortality study, the
American Geriatrics Society,11(3) 185-194.
Alterescu,V.(1986). Theoritical fondations for an approach to fecal inkontinence. The
Journal of Entrostoma Therapy, 13-44-48.
Bielefeld, K.,Enck, P., & Wienbeck, M. (1990). Diagnosis and treatment of fecal
inkontinence. Degestive Diseases, 8, 179-188.
Blainey, C. (1986). Diabetes militus. Dalam D. Carnevali & M. Patric (Eds), Nursing
management for the eldery (2nd ed., pp.403-422). Baltimore. Lippincott wiliams &
Wilkins.
Brocklehurst, J. (1985). Textbook of geriatric midicine and gerontology ( 3rd ed). new
York : Churchill livingstone.
Carpenito, L. (1995). Nursing Diagnosis: Application to Clinic Practice (6th ed).
Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins
Doak, C., Doak, L., & Root. J. (1996). Teaching Patients With Low Literacy Skills (2nd
ed). Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins
J. E. Hirsch, S. M. Tucker, & A. C, Bowwers (Eds), Clinical Nursing (pp. 2059-2075).
st.Louis, MO: Mosby.
Kinnunen, O. (1991) Study of constipation in a geriatric hospital, day hospital, old
people’s home, and at home. agiong , 3,161-170.
Lewis, N(1988). Nursing management of altered patterns of elimination. journal of home
healt care practice, 1,35-42.
Matteson, M., McConnell, E., & Linton, A. (1997). Gerontological nursing: Concepts and
practice (2and ed) Philadelphia: W.B. Saunders.
McCormick, K., & Burgio, K . (1984). Incontinence. An update on nursing care
measures.journal of gerontological Nursing, 10 (10), 16-19,22,23.
McLane, A., & McShane, R. (1986). Elimination Dalam J. M. Thompson , G.K.
McFarland,
McLane, A., & McShane, R. (1992). Bowel management. Dalam G. Bulechek & J.
McCloskey (Eds), Nursing interventiouns: Essential nursing treatments (2nd ed., pp.
73 – 85 ). Philadelphia : W. B. Saunders.
McLeod, J. (1987). Managemen of anal incontinence by biofeedback. Gastroentrology,
93, 291 – 294.
Miller, C. (1990). nursing care of older adults : theory & practice. Glenview, IL:Scott
Foresman.
Nelson, R, Furner, S., & Jesudason. , V. (1998). Fecal incontinence in Wiscosin nursing
homes : Prevalence and associations. Disease of the Colon & Rectum, 41(10) ,
1226-1229.
North American Nursing Diagnosis Association, (1999) Nursing diagnoses: Definitioons
and clasification 1999-2000. philadelphia: Author.
Ouslamder, J., Simmons, S, Schnelle , J., Uman, G.,& Fingold, S.(1996). Effects of
prompted voiding on fecal continence among nursing home residents. Journal of the
american Geriatrics society, 44, 424-428.
Redman, B. (1993). The process of Patient Education (7th ed). St. Louis, MO: Mosby
Robinson, S., & Demuth, P. (1985). Diagnostic studies for the aged: what are the denger?
Journal of Gerontological Nursing ,11960, 7-12.
Sharkey , E,. & hanlon , D. (1989). Bowel elimination Dalam S. Dittmar (Ed), Process of
rehabilitation nursing . St. Louis, MO: Mosby.
Sharpless, J. (1982). A. prpblem oriented approach to stroke rehabilitation. Springfield, IL:
Charles C Thomas.
Smith, A. (1996). Memory. In J. Birren & K. Schaie (Eds.), Handbook of the Psychology
of Aging (4th ed., pp. 236-250). San Diego, CA: Academic Press
Tobin, G. W., & Brocklehurst, J .C.(1986). Fecal incontinence in residential homes for the
elderly: Prevelence, etiology and management. Age & Ageing, 15, 41-46.
Wald, A. (1986). Fecal incontinence: Effective nonsurgical treatments. Postgraduate
Medicine, 80(3), 123-130.
Wald, A. (1993). Constipation in eldery patients: Pathogeneses and managment. Drugs &
Aging, 3(3), 220-231.

Anda mungkin juga menyukai