INDUSTRI 4.0
Achmad Subkhan
Widyaiswara Ahli Madya
Balai Diklat Keagamaan Semarang
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin menyatakan
bahwa sikap moderasi beragama menjadi formula ampuh dalam
merespons dinamika zaman di tengah maraknya intoleransi,
ektremisme dan fanatisme berlebihan yang bisa mencabik
kerukunan umat beragama di Indonesia
(https://www.republika.co.id). Hasil kajian Kementerian Agama
menyebutkan bahwa maraknya intoleransi disebabkan oleh
pengamalan ajaran agama baru sebatas penekanan formalitas,
belum menyentuh nilai-nilai esensial. Di antara nilai esensial itu
misalnya agama tidak semata untuk Tuhan, namun juga untuk
manusia itu sendiri. Bahwa Tuhan menurunkan agama melalui
Nabi adalah untuk menjaga harkat dan martabat manusia yang
harus kita lindungi sesuai dengan konteks kemanusaian
(https://edukasi.kompas.com)
Moderasi di Indonesia harus terus dilakukan karena pada
dasarnya Indonesia memegang moderasi beragama sejak dulu.
Jarang ditemukan ada negara yang begitu kental dan kuat nilai-
nilai agama ikut memengaruhi kehidupan masyarakat selain
Indonesia. Nilai-nilai agama itu menjadi landasan utama dan
pijakan dasar dalam kemajemukan masyarakat menjalani
kehidupan bersama. Moderasi di Indonesia juga menjadi
kekhasan bangsa karena Indonesia dinilai sebagai bangsa yang
religius.
Seiring dengan kemajuan kehidupan berbangsa dan
bernegara, kemajuan teknologi menjadi tantangan tersendiri bagi
masyarakat Indonesia, khususnya dalam kehidupan beragama.
Perlu dipahami bahwa agama-agama yang kita kenal bukanlah
berasal dari Indonesia. Apakah Islam, Katolik, Kristen, Hindu,
Budha dan Konghucu adalah berasal dari luar. Namun, semuanya
dapat hidup dan berkembang karena dapat menyesuaikan diri
dengan unsur-unsur lokal melalui proses akulturasi.
Proses akulturasi tidak terlepas dari struktur sosial yang
ada dalam masyarakat Indonesia. Sedangkan struktur sosial
berfungsi sebagai sistem yang menghubungkan setiap aspek yang
ada dalam kehidupan sehingga kehidupan terasa lebih harmonis
dan juga teratur. Namun demikian, proses interelasi berbagai
aspek dalam kehidupan sosial tidak bisa lepas dari pengaruh
faktor eksternal, misalnya teknologi. Kita tahu bahwa
perkembangan teknologi yang begitu cepat memiliki pengaruh
yang besar dalam kehidupan sosial masyarakat.
Revolusi Industri 4.0 disebut oleh sebagian kalangan
sebagai era disrupsi atau era terjadinya perubahan-perubahan
yang fundamental yang tidak terduga dalam kehiduapan
manusia. Menurut Schawab sebagaimana dikutikp oleh Rosyadi
(2018) menjelaskan bahwa revolusi industri 4.0 secara
fundamental mengubah hidup dan kerja manusia serta memiliki
skala, ruang lingkup dan kompleksitas yang lebih luas. Dengan
penjelasan ini, maka pengaruh revolusi industri 4.0 juga sangat
mungkin masuk ke dalam ranah kehidupan beragama masyarakat
Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil sebuah
rumusan masalah yaitu bagaimana implementasi moderasi
beragama di era revolusi industri 4.0?
Beberapa karya ilmiah tentang keberagamaan yang
berhasil saya temukan antara lain Abdillah (2015), dalam sebuah
artikelnya menyikapi rencana MUI yang akan menyelenggarakan
kongres umat Islam Indonesia. Ia berharap MUI menjadi
lembaga agama yang dapat meneguhkan keberagamaan secara
moderat. Futaqi (2018) yang mengkaji tentang kurikulum
moderasi beragama dalam pendidikan agama Islam. Ia
menawarkan beberapa pendekatan yaitu; moderasi kurikulum,
kontributif, aditif, transformatif dan aksi sosial. Kemudian
Fahrurozi (2015) yang meneliti tentang ekspresi keberagamaan
masyarakat Islam Indonesia. Dalam kesimpulannya, ia
menyatakan bahwa keragaman pemahaman dan pengamalan
agama Islam yang ada di Indonesia menunjukkan komplaksitas
multikulturalisme. Dari ketiga karya tulis ilmiah tersebut di atas,
belum ada yang mengkaji tentang moderasi beragama di era
revolusi industri 4.0.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana moderasi
beragama di era revolusi industri 4.0
C. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, yang
mengambil sejumlah bahan-bahan pustaka terutama artikel dan
buku yang terkait dengan moderasi beragama dan revolusi
industri 4.0 untuk dijadikan sebagai sumber. Langkah berikutnya
yaitu proses analisis atas bahan-bahan pustaka tersebut.
Kemudian, dengan menggunakan metode deskriptif dan
pendekatan kualitatif, diungkap informasi mengenai moderasi
beragama di era revolusi industri 4.0. Untuk melakukan
pengungkapan informasi digunakan teknik content analysis
(analisis isi).
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini untuk menganalisis
bagaimana implementasi moderasi beragama di era revolusi
industri 4.0. Sedangkan manfaat yang diharapkan adalah untuk
meningkatkan wawasan dan pengetahuan bagi aparatur sipil
negara, guru, penyuluh, tokoh agama, peneliti dan masyarakat
pada umumnya agar memahami tantangan beragama di era
revolusi industri 4.0.
II. PEMBAHASAN
A. Moderasi Beragama
Menurut bahasa, kata ‘moderasi’ berasal dari Bahasa
Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan
dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti “penguasaan diri”
(dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata
‘moderasi’, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n
penghindaran keekstreman.
Moderasi beragama juga mengandung seruan agar agama
tidak dijadikan sebagai alat untuk mendegradasi manusia dan
kemanusiaan. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang
paling sempurna dari makhluk lainnya, baik secara fisik maupun
non fisik. Ini berarti bahwa dalam memahami agama, jangan
sampai seorang individu menjadi kesempurnaannya menjadi
berkurang yang disebabkan kesalahan dalam memahami ajaran
agamanya. Juga bahwa seluruh manusia merupakan makhluk
ciptaan Allah yang Esa. Setiap manusia telah membawa
takdirnya masing-masing yang dimanifestasikan dalam wujud
perbedaan-perbedaan, baik perbedaan suku, ras, warna kulit,
bahasa, budaya, bangsa, maupun agama. Namun demikian,
mereka semua adalah sesama manusia. Maka, pemahaman
agama yang benar akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa
sekalipun mereka bukan saudara sebangsa, bukan saudara
seagama, tetapi mereka adalah sasama saudara dalam
kemanusiaan.
Moderasi beragama merupakan upaya yang
berkelanjutan pemahaman dan pengamalan yang moderat
tentang agama. Bukan agama yang dimoderasi, tapi cara kita
memahami ajaran agama yang kita yakini. Mengapa perlu
moderasi? Agama datang dari yang Maha Sempurna. Sedangkan
karakter manusia adalah memiliki keterbatasan. Maka, sebagai
makhluk yang memiliki keterbatasan, diperlukan sikap hati-hati
dalam memahami (agama) yang sempurna agar tidak
melahirkan pemahaman yang ekstrim. Karena, ketika ada ajaran
agama yang dipahami yang melahirkan pemahaman ingin
merendahkan harkat dan martabat manusia, maka hal itu bukan
pemahaman moderat.
Dalam konteks kehidupan masyarakat plural dan
multikultural seperti Indonesia, moderasi harus dipahami
sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang
paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apapun suku,
etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling
mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih
kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di antara
mereka. Jelas, moderasi sangat erat terkait dengan toleransi.
Istilah toleransi beragama dalam bahasa arab disebut
dengan ikhtimal, tasamuh, yang berarti sikap rela, berlapang
dada dan membiarkan. Toleransi adalah kemauan dan
kemampuan untuk bersedia menghormati dan menghargai
perbedaan yang ada pada pihak lain. Kesediaan seperti itu sama
sekali tidak berarti mengganggu, mengurangi, atau bahkan
menghilangkan keyakinan prinsipil pada diri kita. Justru agama
mengajarkan agar setiap kita bersedia menghormati dan
menghargai perbedaan keimanan atau keyakinan yang ada pada
pihak lain.
“Tenggang rasa tepo seliro” merupakan ajaran yang
berasal dari warisan leluhur. Ajaran tersebut nyatanya mampu
mewujudkan harmoni masyarakat Indonesia yang sangat
majemuk dalam berbagai aspek. Ia merupakan warisan leluhur
yang mengajarkan kita untuk mau dan mampu ikut merasakan
apa yang dirasakan pihak lain yang berbeda dengan kita. Suatu
nilai kearifan lokal yang bersumber dari ajaran agama. Karena
itu, salah satu modal untuk mewujudkan moderasi beragama
adalah sikap toleransi.