Anda di halaman 1dari 14

MODERASI BERAGAMA DI SEKLAH DI ERA REVOLUSI

INDUSTRI 4.0

Achmad Subkhan
Widyaiswara Ahli Madya
Balai Diklat Keagamaan Semarang

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin menyatakan
bahwa sikap moderasi beragama menjadi formula ampuh dalam
merespons dinamika zaman di tengah maraknya intoleransi,
ektremisme dan fanatisme berlebihan yang bisa mencabik
kerukunan umat beragama di Indonesia
(https://www.republika.co.id). Hasil kajian Kementerian Agama
menyebutkan bahwa maraknya intoleransi disebabkan oleh
pengamalan ajaran agama baru sebatas penekanan formalitas,
belum menyentuh nilai-nilai esensial. Di antara nilai esensial itu
misalnya agama tidak semata untuk Tuhan, namun juga untuk
manusia itu sendiri. Bahwa Tuhan menurunkan agama melalui
Nabi adalah untuk menjaga harkat dan martabat manusia yang
harus kita lindungi sesuai dengan konteks kemanusaian
(https://edukasi.kompas.com)
Moderasi di Indonesia harus terus dilakukan karena pada
dasarnya Indonesia memegang moderasi beragama sejak dulu.
Jarang ditemukan ada negara yang begitu kental dan kuat nilai-
nilai agama ikut memengaruhi kehidupan masyarakat selain
Indonesia. Nilai-nilai agama itu menjadi landasan utama dan
pijakan dasar dalam kemajemukan masyarakat menjalani
kehidupan bersama. Moderasi di Indonesia juga menjadi
kekhasan bangsa karena Indonesia dinilai sebagai bangsa yang
religius.
Seiring dengan kemajuan kehidupan berbangsa dan
bernegara, kemajuan teknologi menjadi tantangan tersendiri bagi
masyarakat Indonesia, khususnya dalam kehidupan beragama.
Perlu dipahami bahwa agama-agama yang kita kenal bukanlah
berasal dari Indonesia. Apakah Islam, Katolik, Kristen, Hindu,
Budha dan Konghucu adalah berasal dari luar. Namun, semuanya
dapat hidup dan berkembang karena dapat menyesuaikan diri
dengan unsur-unsur lokal melalui proses akulturasi.
Proses akulturasi tidak terlepas dari struktur sosial yang
ada dalam masyarakat Indonesia. Sedangkan struktur sosial
berfungsi sebagai sistem yang menghubungkan setiap aspek yang
ada dalam kehidupan sehingga kehidupan terasa lebih harmonis
dan juga teratur. Namun demikian, proses interelasi berbagai
aspek dalam kehidupan sosial tidak bisa lepas dari pengaruh
faktor eksternal, misalnya teknologi. Kita tahu bahwa
perkembangan teknologi yang begitu cepat memiliki pengaruh
yang besar dalam kehidupan sosial masyarakat.
Revolusi Industri 4.0 disebut oleh sebagian kalangan
sebagai era disrupsi atau era terjadinya perubahan-perubahan
yang fundamental yang tidak terduga dalam kehiduapan
manusia. Menurut Schawab sebagaimana dikutikp oleh Rosyadi
(2018) menjelaskan bahwa revolusi industri 4.0 secara
fundamental mengubah hidup dan kerja manusia serta memiliki
skala, ruang lingkup dan kompleksitas yang lebih luas. Dengan
penjelasan ini, maka pengaruh revolusi industri 4.0 juga sangat
mungkin masuk ke dalam ranah kehidupan beragama masyarakat
Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil sebuah
rumusan masalah yaitu bagaimana implementasi moderasi
beragama di era revolusi industri 4.0?
Beberapa karya ilmiah tentang keberagamaan yang
berhasil saya temukan antara lain Abdillah (2015), dalam sebuah
artikelnya menyikapi rencana MUI yang akan menyelenggarakan
kongres umat Islam Indonesia. Ia berharap MUI menjadi
lembaga agama yang dapat meneguhkan keberagamaan secara
moderat. Futaqi (2018) yang mengkaji tentang kurikulum
moderasi beragama dalam pendidikan agama Islam. Ia
menawarkan beberapa pendekatan yaitu; moderasi kurikulum,
kontributif, aditif, transformatif dan aksi sosial. Kemudian
Fahrurozi (2015) yang meneliti tentang ekspresi keberagamaan
masyarakat Islam Indonesia. Dalam kesimpulannya, ia
menyatakan bahwa keragaman pemahaman dan pengamalan
agama Islam yang ada di Indonesia menunjukkan komplaksitas
multikulturalisme. Dari ketiga karya tulis ilmiah tersebut di atas,
belum ada yang mengkaji tentang moderasi beragama di era
revolusi industri 4.0.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana moderasi
beragama di era revolusi industri 4.0
C. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, yang
mengambil sejumlah bahan-bahan pustaka terutama artikel dan
buku yang terkait dengan moderasi beragama dan revolusi
industri 4.0 untuk dijadikan sebagai sumber. Langkah berikutnya
yaitu proses analisis atas bahan-bahan pustaka tersebut.
Kemudian, dengan menggunakan metode deskriptif dan
pendekatan kualitatif, diungkap informasi mengenai moderasi
beragama di era revolusi industri 4.0. Untuk melakukan
pengungkapan informasi digunakan teknik content analysis
(analisis isi).
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini untuk menganalisis
bagaimana implementasi moderasi beragama di era revolusi
industri 4.0. Sedangkan manfaat yang diharapkan adalah untuk
meningkatkan wawasan dan pengetahuan bagi aparatur sipil
negara, guru, penyuluh, tokoh agama, peneliti dan masyarakat
pada umumnya agar memahami tantangan beragama di era
revolusi industri 4.0.

II. PEMBAHASAN
A. Moderasi Beragama
Menurut bahasa, kata ‘moderasi’ berasal dari Bahasa
Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan
dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti “penguasaan diri”
(dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata
‘moderasi’, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n
penghindaran keekstreman.
Moderasi beragama juga mengandung seruan agar agama
tidak dijadikan sebagai alat untuk mendegradasi manusia dan
kemanusiaan. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang
paling sempurna dari makhluk lainnya, baik secara fisik maupun
non fisik. Ini berarti bahwa dalam memahami agama, jangan
sampai seorang individu menjadi kesempurnaannya menjadi
berkurang yang disebabkan kesalahan dalam memahami ajaran
agamanya. Juga bahwa seluruh manusia merupakan makhluk
ciptaan Allah yang Esa. Setiap manusia telah membawa
takdirnya masing-masing yang dimanifestasikan dalam wujud
perbedaan-perbedaan, baik perbedaan suku, ras, warna kulit,
bahasa, budaya, bangsa, maupun agama. Namun demikian,
mereka semua adalah sesama manusia. Maka, pemahaman
agama yang benar akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa
sekalipun mereka bukan saudara sebangsa, bukan saudara
seagama, tetapi mereka adalah sasama saudara dalam
kemanusiaan.
Moderasi beragama merupakan upaya yang
berkelanjutan pemahaman dan pengamalan yang moderat
tentang agama. Bukan agama yang dimoderasi, tapi cara kita
memahami ajaran agama yang kita yakini. Mengapa perlu
moderasi? Agama datang dari yang Maha Sempurna. Sedangkan
karakter manusia adalah memiliki keterbatasan. Maka, sebagai
makhluk yang memiliki keterbatasan, diperlukan sikap hati-hati
dalam memahami (agama) yang sempurna agar tidak
melahirkan pemahaman yang ekstrim. Karena, ketika ada ajaran
agama yang dipahami yang melahirkan pemahaman ingin
merendahkan harkat dan martabat manusia, maka hal itu bukan
pemahaman moderat.
Dalam konteks kehidupan masyarakat plural dan
multikultural seperti Indonesia, moderasi harus dipahami
sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang
paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apapun suku,
etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling
mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih
kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di antara
mereka. Jelas, moderasi sangat erat terkait dengan toleransi.
Istilah toleransi beragama dalam bahasa arab disebut
dengan ikhtimal, tasamuh, yang berarti sikap rela, berlapang
dada dan membiarkan. Toleransi adalah kemauan dan
kemampuan untuk bersedia menghormati dan menghargai
perbedaan yang ada pada pihak lain. Kesediaan seperti itu sama
sekali tidak berarti mengganggu, mengurangi, atau bahkan
menghilangkan keyakinan prinsipil pada diri kita. Justru agama
mengajarkan agar setiap kita bersedia menghormati dan
menghargai perbedaan keimanan atau keyakinan yang ada pada
pihak lain.
“Tenggang rasa tepo seliro” merupakan ajaran yang
berasal dari warisan leluhur. Ajaran tersebut nyatanya mampu
mewujudkan harmoni masyarakat Indonesia yang sangat
majemuk dalam berbagai aspek. Ia merupakan warisan leluhur
yang mengajarkan kita untuk mau dan mampu ikut merasakan
apa yang dirasakan pihak lain yang berbeda dengan kita. Suatu
nilai kearifan lokal yang bersumber dari ajaran agama. Karena
itu, salah satu modal untuk mewujudkan moderasi beragama
adalah sikap toleransi.

B. Revolusi Industri 4.0


Penyebutan istilah ‘revolusi industri 4.0’ merupakan
rangkaian dari beberapa tahap revolusi industri sebelumnya.
Dimulai pada tahun 1784 yang dianggap sebagai revolusi
industri pertama yang terjadi di Inggris, dengan ditemukannya
mesin uap dan sistem mekanik yang menggantikan tenaga
manusia dalam dunia industri secara besar-besaran. Kemudian
berlanjut pada akhir abad ke-19 yang oleh sebagaian kalangan
disebut sebagai Revolusi kedua. Pada era ini, industri-industri
telah banyak yang menggunakan mesin-mesin yang ditenagai
listrik untuk melakukan proses produksi secara masal.
Sedangkan revolusi ketiga dimulai pada tahun 1970 yang
ditandai dengan penggunaan teknologi komputer dalam
perusahaan manufaktur yang didukung dengan sistim otomasi
dalam proses produksinya (Davies, 2015).
Puncak revolusi industri terjadi saat ini dengan lahirnya
teknologi digital yang berdampak masif terhadap hidup manusia
di seluruh dunia, yang dikenal dengan revolusi industri keempat
atau revolusi industri 4.0. Teknologi digital yang dilahirkan
pada era sekarang telah mendorong sistem otomatisasi di dalam
semua proses aktivitas. Menurut Kagermann sebagaimana
dikutip oleh Prasetyo (2018: 18) bahwa secara resmi istilah
Industri 4.0 lahir di Jerman yaitu pada saat berlangsungnya
even Hannover Fair pada tahun 2011. Dalam hal ini, Negara
Jerman memiliki kepentingan yang besar berkaitan dengan
kebijakan rencana pembangunannya yang disebut dengan high
tech strategy 2020. Kebijakan tersebut bertujuan untuk
mempertahankan Jerman agar selalu menjadi yang terdepan
dalam dunia manufaktur.
Bagaimana memahami revolusi industri 4.0 ini? Definisi
tentang revolusi industri 4.0 cukup beragam. Markel (2014)
yang menjelaskan bahwa revolusi industri 4.0 sebagai proses
transformasi komprehensif dari seluruh bidang produksi
industri melalui penggabungan teknologi digital dan Internet
dengan industri konvensional. Hermann et al (2016)
mendefinisikan revolusi industri 4.0 sebagai istilah kolektif
untuk teknologi rantai nilai organisasi dan komponen-
komponen Industri 4.0 dikategorikan; Internet of the Things
(IoT), Cyber Physical Systems (sistem yang menghubungkan
antara fisik dengan dunia maya), Internet of Services (IoS-
Layanan Internet) and Smart Factory.
Intinya bahwa, yang terjadi dalam revolusi industri 4.0
adalah otomatisasi mesin yang dalam pengaplikasiannya tidak
lagi membutuhkan tenaga manusia. Automatisasi menjadi
keniscayaan dalam dunia industri untuk memperoleh efisiensi
waktu, tenaga kerja dan biasa. Di dalam dunia industri,
penerapan sistem yang serba otomatis ini dikenal dengan smart
factory. Di sampung itu, penerapan IoT, CPS, dan IoS telah
mendukung pengambilan ataupun pertukaran data secara real
time dan on time. Sehingga proses produksi dan manajemen
yang berjalan di industri-industri dapat termotorisasi oleh pihak
yang berkepentingan kapan saja dan dimana saja selama
terhubung dengan jaringan internet.
Teknologi internet yang semakin masif dan maju dengan
kecepatan tarnsfer data yang semakin cepat, tidak hanya telah
menghubungkan jutaan manusia di seluruh dunia, tetapi juga
telah menjadi basis bagi transaksi perdagangan, transaksi
keuangan, makanan dan transportasi online. Berkembangnya
teknologi autonomous vehicle (mobil tanpa supir), drone,
aplikasi media sosial, bioteknologi dan nanoteknologi semakin
menegaskan bahwa dunia dan kehidupan manusia telah
berubah secara fundamental, dan inilah yang disebut era
disrupsi.
Era disrupsi merupakan sebuah era ketika perubahan
yang terjadi tidak diduga, bersifat mendasar dan hampir masuk
disetiap aspek kehidupan manusia. Di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebutkan bahwa disrupsi berarti hal yang
tercerabut dari akarnya. Dan benar, bahwa kondisi
ketercerabutan dari akarnya telah terjadi dalam kehidupan
manusia modern saat ini, di hampir seluruh dunia. Struktur
baru menggantikan struktur lama yang tidak sesuai dengan
tuntutan zaman. Era disrupsi telah menginisiasi sebuah
interaksi baru yang bersifat inovatif dan masif yang bergantung
pada teknologi (Bashori, 2018: 288). Dalam era disrupsi, pola
kehidupan manusia yang pada mulanya seluruh aktivitasnya
dilakukan dalam dunia nyata, sebagian besar telah bergeser ke
dalam dunia maya. Sebagian besar waktunya dihabiskan melalui
jaringan internet sebagai media untuk berinteraksi sosial
melalui media-media sosial daring, maupun untuk bertransaksi
ekonomi. Dan yang demikian merupakan sebuah kenyataan
yang tidak bisa dihindari.
Kenyataan yang terjadi dalam era disrupsi ini, tentu
memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan sosial
keagamaan. Interaksi sosial manusia yang lebih banyak
dilakukan melalui dunia maya, akan ikut menyumbang
informasi bagi pelakunya. Gempuran berbagai informasi yang
tanpa melalui seleksi validitas kebenarannya akan semakin
mudah tersedia. Informasi yang semakin banyak tersedia dan
mudah diakses ini, semakin lama akan mengubah pola pikir
manusia. Sebagai manusia yang beragama, diperlukan sikap
yang arif dan bijaksana dalam menyikapi gempuran informasi di
era disrupsi saat ini.

C. Moderasi Beragama di Era Disrupsi


Moderasi beragama tidak hanya menjadi gagasan
nasional apalagi individu. Kita bisa melihat bahwa semangat
moderasi agama telah menjadi gagasan global. Hal ini dapat
dilihat dalam kesepakatan yang dijalin antara Syaikh Ahmad
Ath-Thoyyib Grand Syaikh Universitas al Azhar Mesir dengan
dengan paus Fransiskus pemimpin Katolik Roma Italia.
Kesepakatan tersebut tertuang dalam sebuah dokumen yang
diberi judul “Watsiqot al-Ikhwah al-Insaniyah min Ajli as-
Salam al-‘Alamy wa al-‘Aisy al-Musytarok” (Kesepakatan
Persaudaraan Kemanusiaan dalam Rangka Mewujudkan
Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama).
Mantra (meminjam istilah dari Lukman H. Saefudin)
‘moderasi’ dan ‘kebersamaan’ sesungguhnya bukan barang baru
dalam kehidupan kita. Kedua istilah itu secara normatif sudah
cukup lama dikumandangkan dan diserukan oleh berbagai
orang dan berbagai zaman, dalam konteks yang berbeda-beda.
Beberapa pertanyaan mendasar terkait moderasi dalam konteks
kehidupan beragama di Indonesia muncul, antara lain mengapa
bersikap moderat dan hidup damai dalam kebersamaan itu
seolah menjadi barang mahal dalam beberapa tahun belakangan
ini? Dan khususnya lagi kalau mencermati isu-isu keagamaan di
media sosial? Mengapa kepercayaan terhadap nilai moderasi
dan kebersamaan tenggelam oleh semacam 'keimanan' terhadap
berita bohong (hoaks)? Salah satu jawabannya adalah bawah
saat ini dunia memasuki era desrupsi yang meniscayakan
keterbukaan yang nyaris tak berbatas (borderless) sebagai
akibat dari perkembangan teknologi informasi yang cepat,
ditambah kondisi politik yang menyebabkan masyarakat
terpolarisasi.
Kemajuan dan kecepatan teknologi informasi yang terjadi
pada era desrupsi ini, turut menyumbang perubahan mendasar
cara umat memperoleh pengetahuan agama. Belakangan ini
pengetahuan agama tidak lagi selalu didapat melalui proses
panjang mengkaji sumber primer yang utama, atau mengikuti
pandangan sang guru yang memiliki keutamaan akhlak dan
kedalaman ilmu, melainkan melalui jalan pintas yang serba
instan, hitam putih, dan sering hanya menyediakan tafsir
kebenaran tunggal dalam beragama. Perubahan serba cepat itu
ternyata belum diimbangi dengan kesiapan para pemegang
otoritas agama dalam menyediakan konten yang sesuai dengan
kebutuhan zaman. Di lain pihak, belum tersedia jembatan yang
dapat menghubungkan kekayaan wawasan pengetahuan mereka
dengan kebutuhan generasi milenial yang sangat cepat dan
dinamis.
Beragama secara moderat di era yang terbuka dan
(nyaris) tak terbatas ini, memerlukan daya seleksi nalar yang
kuat. Hal ini sebagai upaya untuk mengimbangi gempuran
informasi yang juga tak terbatas, terutama informasi yang
terkait dengan tafsiran-tafsiran agama. Memahami ajaran
agama tidak bisa dilakukan secara instan, sementara media
daring menyediakan hal tersebut.
Zaman serba instan seperti sekarang ini, sangat
dimungkinkan meluasnya kompleksitas masyarakat dalam
beragama. Di satu pihak, ada yang terlalu tekstual dalam
memahami ayat-ayat suci disertai fanatisme berlebihan yang
akhirnya mengarah pada gaya beragama yang ekslusivis,
pemahaman yang ekstrim, sehingga dapat menjadi benih
terorisme. Di pihak lain, ada yang secara liberal dan kebablasan
menafsirkan ayat-ayat suci, sehingga tidak bisa lagi
membedakan antara wahyu (ayat suci) dan yang bukan. Yang
lebih ironis lagi ada pula pihak yang mempermainkan pesan-
pesan Tuhan menjadi pesan pribadi yang sarat kepentingan.
Semua persimpangan itu rentan menciptakan konflik yang
dapat mengoyak keharmonisan kehidupan bersama. Pada posisi
ini, moderasi beragama tak lagi sekadar wajib tapi sudah
menjadi kebutuhan untuk diimplementasikan demi kehidupan
beragama yang lebih baik (Saefudin, 2018).
Untuk mewujudkan moderasi beragama dibutuhkan
pemahaman agama yang moderat. Pemahaman agama yang
moderat, melahirkan sikap yang moderat. Moderat tidak datang
begitu saja, tetapi memerlukan upaya-upaya yang sungguh-
sungguh dan serius. Di antara upaya yang diperlukan di era
disrupsi adalah sebagai berikut:
1. Belajarlah agama dari tokoh-tokoh agama yang otoritatif;
Jelas kualifikasi akademik, sanad (jalur) keguruan. Hanya
orang-orang yang berilmu yang layak bicara tentang
keilmuannya. Contoh: kita bisa saja belajar secara otodidak
dan membaca buku-buku kedokteran sampai sampai benar-
benar memahami jenis penyakit dan obatnya. Pertanyaanya,
berbekal otodidak tersebut bolehkah kita membuka praktek
kedokteran? Tentu jawabannya adalah tidak;
2. Media daring (internet) menyiadakan banyak informasi
tentang agama. Namun demikian, kebenaran informasi
tersebut bersifat nisbi. Oleh karena itu, diperlukan
klarifikasi atas sumber-sumber yang dipakai;
3. Bersikap hati-hati terhadap kelompok yang melakukan
klaim kebenaran sepihak dan menyalahkan bahkan
melakukan tuduhan kafir terhadap kelompok yang tidak
sepaham dengannya;
4. Perlu memahami bahwa karakter agama adalah
mengayomi, semangat agama adalah eksklusif (untuk
semua manusia) dan sikap moderat dalam beragama
mewujudkan kerukunan;
5. Melestarikan budaya dan kearifan lokal yang telah
berakulturasi dengan ajaran agama. Di Indonesia, budaya
secara arif telah dijadikan sebagai infrastruktur agama.
Sehingga agama mengakar secara kuat dan dapat
menyelesaiakan permasalahan-permasalahan sosial.
6. Berperan serta mengisi media sosial maupun media daring
dengan konten-konten wawasan keagamaan yang moderat;
7. Semakin tinggi dan terbukanya penggunaan internet, maka
semakin banyak pula hoax (informasi palsu) yang
bertebaran. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk
mengantisipasinya dengan cara meningkatkan literasi.
Semakin tinggi literasi, maka akseptabilitas hoax menurun.
III. PENUTUP

Sejak sebelum berdiri menjadi sebuah negara bangsa,


Nusantara telah memiliki nilai-nilai luhur yang mampu
mewujudkan harmoni kehidupan. Nilai-nilai luhur tersebut
menjadi sebuah kearifan lokal bagi masyarakat untuk menghadasi
segala pengaruh yang masuk. Sehingga sejarah mencatat, agama-
agama besar dapat masuk di bumi nusantara dengan mudah.

Masyarakat Indonesia merupakan manusia beragama. Setiap


agama memiliki unsur esoteris yang hanya dapat dipahami oleh
pemeluknya. Namun demikian, agama juga memiliki unsur
eksoteris bagi pihak lainnya. Oleh karena kedua unsur itulah,
dibutuhkan sikap moderat dalam beragama sebagai konsekuensi
logis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di era disrupis,
era keterbukaan dan nyaris tanpa batas ini, tantangan mewujudkan
kerukunan hidup beragama semakin besar. Padahal, kerukunan
hidup beragama merupakan salah satu modal untuk mewujudkan
kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka, moderasi
beragama di era disrupsi saat ini merupakan sebuah kebutuhan
agar eksistensi harmoni kehidupan masyarakat Indonesia tetap
lestari.

Untuk meneguhkan moderasi beragama dalam masyarakat,


disarankan:

1. Pendidikan moderasi beragama kepada aparatul sipil negara


dan masyarakat umum;
2. Pendidikan moderasi beragama melalui kurikulum pendidikan
sekolah/ madrasah;
3. Pendidikan penggunaan media daring/ media sosial yang aman
dari ekstrimisme dan liberalisme.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. (2015). Meneguhkan Moderasi Beragama. Artikel
dipublikasikan di http://graduate.uinjkt.ac.id/?p=17325. Diunduh
5 Juni 2019
Bashori, Khoiruddin. (2018), Pendidikan Politik Era Disrupsi, Sukma:
Jurnal Pendidikan, Volume 2 Issues 2. Juli-Desember.
Davies, R. (2015). Industry 4.0 Digitalisation for productivity and
growth.
http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/BRIE/2015/568
337/EPRS_BRI(2015)568337_EN.pdf, diunduh pada 12 Juni
2019.
Fahrurozi. (2015). Ekspresi keberagamaan masyarakat Islam
indonesia:mozaik Multikulturalisme indonesia. Jurnal Toleransi.
Volume 7 Nomor 1.
Futaqi, Sauqi. (2018). Konstruksi Moderasi Islam Wasathiyyah)
Dalam Kurikulum Pendidikan Islam. Proceedings 2nd Annual
Conference for Muslim Schoolars. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Hermann, M. et al. 2016, Design Principles for Industrie 4.0 Scenarios:
A Literature Review. Available at:
https://www.computer.org/csdl/proceedings/hicss/2016/5670/0
0/5670d928.pdf, diunduh 12 Juni 2019
Markel, Angela (2014). https://www.bundesregierung.de/breg-
en/chancellor/speech-by-federal-chancellor-angela-merkel-to-
the-oecd-conference-477432. Diunduh, 12 Juni 2019
Muhammadiyah, Hilmi. Moderasi Beragama.
https://www.republika.co.id/berita/kolom/wacana/19/02/07/pm
ka35440-moderasi-beragama. Diunduh 10 Juni 2019.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/01/20/20425971/menag-
imbau-generasi-milenial-pahami-moderasi-agama. Diunduh 10
Juni 2019
Prasetyo, Hoedi, dkk. (2018). Industri 4.0: Telaah Klasifikasi Aspek
Dan Arah Perkembangan Riset. J@ti Undip: Jurnal Teknis
Industri, Vol. 13, No. 1, Januari.
Saefudin, Lukman H., (2018). Moderasi untuk Kebersamaan Umat.
Makalah pidato Rapat Kerja Nasional Kementerian Agama Tahun
2018.

Anda mungkin juga menyukai