Anda di halaman 1dari 66

RAJAWALI PERS

Divisi Buku Perguruan Tinggi


PT RajaGrafindo Persada
DEPOK
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT)
Rena Latifa dan Muhamad Fahri.
Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat/
Rena Latifa dan Muhamad Fahri.—Ed. 1, Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2022.
viii, 56 hlm., 23 cm.
Bibliografi: hlm. 47
ISBN 978-623-372-629-0
1. Notaris I. Judul

347.016

Hak cipta 2022, pada penulis


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit

2022.3638 RAJ
Dr. Rena Latifa, M.Psi.
Muhamad Fahri, M.Pd.
MODERASI BERAGAMA
Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat
Cetakan ke-1, September 2022
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok
Editor : Dzuriyatun Toyibah
Copy Editor : Dhea Aprilyani
Setter : Fazri Ramadhani
Desain Cover : Tim Kreatif RGP
Dicetak di Rajawali Printing

PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Anggota IKAPI
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16456
Telepon : (021) 84311162
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id http://www.rajagrafindo.co.id

Perwakilan:
Jakarta-16456 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162. Bandung-40243,
Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok A1, Jl. Soragan,
Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp. 031-8700819.
Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294,
Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka
Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin
Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511-
3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Hp. 081222805496. Bandar Lampung-35115, Perum. Bilabong Jaya
Block B8 No. 3 Susunan Baru, Langkapura, Hp. 081299047094.
PRAKATA

Istilah ‘Moderasi Beragama’ semenjak masuk ke dalam Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia
tahun 2020–2024, menjadi topik kajian yang banyak diteliti oleh
kalangan akademisi dari berbagai institusi dan lembaga. Namun,
belum ditemukan gambaran umum bagaimana masyarakat Indonesia
memahami moderasi beragama tersebut. Literatur-literatur yang banyak
beredar lebih bersifat Top-Down di mana gagasan moderasi beragama
banyak dirumuskan oleh para ahli, institusi, ataupun lembaga yang
pada akhirnya berharap masyarakat mampu mengimplementasikannya
atau minimal mengidentifikasi apakah masyarakat sudah masuk
dalam kategori moderat. Buku ini mencoba untuk menggali fenomena
moderasi beragama secara Bottom-Up, yang mengeksplorasi bagaimana
konsep moderasi beragama dipahami oleh masyarakat Indonesia,
faktor yang memengaruhi pemahaman tersebut sampai pada intensitas
masyarakat dalam merespons konsep moderasi beragama tersebut.
Konsep dan definisi moderasi beragama memang terkesan
multidisiplin yang mana melibatkan berbagai aspek, baik dalam
keilmuan maupun praktik kehidupan. Sehingga, pada akhirnya, berbagai
konsep dan definisi yang disertai dengan indikator dan dimensi tentang
moderasi beragama dihadirkan oleh para ahli dan lembaga institusi.
Akan tetapi, pertanyaan selanjutnya, apakah masyarakat memahami dan
menyadari hal tersebut ataukah tidak, apakah masyarakat sadar bahwa
mereka moderat atau tidak, ataukah masyarakat dapat membedakan
mana tindakan moderat, ekstrem, dan fundamental. Tentu hal ini tidak

v
dapat dijawab tanpa adanya kajian yang melibatkan masyarakat secara
langsung dalam memotret bagaimana pemahaman mereka tentang
moderasi beragama itu sendiri.
Buku ini mencoba menelusuri perjalanan konsep moderasi
beragama yang mana sudah dikonsepkan dari berbagai macam
konferensi, baik nasional maupun internasional, hingga sampai pada
konsep yang digagas Kementerian Agama tahun 2019. Di samping
itu, yang tidak kalah pentingnya, buku ini mencoba menghadirkan
gambaran secara umum bagaimana definisi dan konsep moderasi
beragama yang dipahami oleh masyarakat Indonesia, serta faktor
apa saja yang memengaruhi intensitas mereka dalam merespons isu
moderasi beragama tersebut.
Sudah barang tentu buku ini masih memiliki banyak kekurangan,
baik dalam penyajian maupun cakupan partisipasi masyarakat dalam
memahami konsep moderasi beragama. Akan tetapi, buku ini diharapkan
mampu menjadi langkah awal dalam menggali pemahaman moderasi
beragama dari masyarakat Indonesia, yang mana secara sadar atau tidak,
mereka sudah memahami dengan gaya bahasa mereka sendiri atau
bahkan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Dalam penyusunannya, penulis banyak berterima kasih kepada
Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen) LP2M UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang sudah mempercayakan penulis untuk
meneliti dan mengkaji isu moderasi beragama ini. Banyak terima kasih
juga penulis tujukan kepada para partisipan dalam penelitian dan
penyusunan yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga
buku ini dapat memberikan kontribusi keilmuan dan pemahaman baru
dalam memahami moderasi beragama serta mengimplementasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Wallahul muwafiq ila aqwam al-thariq.

Ciputat, 3 Agustus 2022

Dr. Rena Latifa, M.Psi. dan


Muhamad Fahri, M.Pd.

vi Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


DAFTAR ISI

PRAKATA v
DAFTAR ISI vii

BAB 1 MODERASI BERAGAMA 1


A. Sejarah Singkat Moderasi Beragama 2
B. Nilai dan Gagasan Moderasi Beragama 14
C. Tujuan Moderasi Beragama 17
D. Kiri, Tengah, Kanan? 18

BAB 2 MASYARAKAT DAN MODERASI BERAGAMA 23


A. Wawasan Masyarakat 23
B. Sikap Masyarakat 27
C. Intensi Masyarakat 29
D. Korelasi Wawasan, Sikap, dan Intensi 29

BAB 3 TOKOH AGAMA DAN MODERASI BERAGAMA 33


A. Potret Tokoh Agama Indonesia 33
B. Antusiasme Masyarakat Terhadap Tokoh Agama 34
C. Syiar Tokoh Agama 35
D. Tokoh Agama Moderat 37
E. Peran Tokoh Agama Moderat 37

vii
BAB 4 MASA DEPAN MODERASI BERAGAMA 41
A. Tantangan Moderasi Beragama 41
B. Partisipasi Aktif Moderasi Beragama 45

DAFTAR PUSTAKA 47
BIODATA PENULIS 55

viii Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


BAB 1
MODERASI BERAGAMA

Moderasi beragama secara ide dan gagasan bukanlah konsep


baru, ia sudah dikenal cukup lama. Terkadang ia dipahami sebagai
jalan kebenaran, tak sedikit pula yang memahami sebagai toleransi.
Ada yang menyebut moderasi beragama merupakan keniscayaan
bagi manusia, ada pula yang mengatakan bahwa konsep tersebut
menunjukkan ketidakkonsistenan dalam beragama. Kadang konsep
dan idenya masuk ke dalam ranah kognivitas seseorang, terkadang pula
dipraktikkan dalam sikap-sikap keagamaan seseorang tanpa pemahaman
akan konsep tersebut. Dalam Islam sendiri, kita mengenalnya dengan
istilah Wasathiyah, yang dekat maknanya dengan ‘pertengahan/tengah’.
Moderasi jika dapat diberi kesamaan, akan sama dengan konsep
‘keadilan’ di mana gagasannya bukanlah hal baru, tetapi definisinya
tidak pernah rampung sampai hari ini. Setiap orang memiliki standar
keadilannya masing-masing. Bagi seorang anak kecil, adil adalah
imbang dan sama rata. Sementara bagi kedua orang tuanya, adil adalah
nilai proporsional sesuai kebutuhan anak-anaknya. Demikian pula
dengan moderasi, setiap orang memiliki standar moderatnya sendiri-
sendiri, sehingga akan sulit jika menebalkan batasan-batasan moderasi
berdasarkan satu sudut pandang (terlebih lagi sudut pandang kita
sendiri). Sebelum jauh membahas hal tersebut, mari kita tengok sekilas
tentang sejauh mana moderasi beragama ini diperbincangkan dunia
(sekalipun dengan menggunakan istilah lain), apa yang mendasarinya,
serta nilai apa yang dikedepankan dalam moderasi beragama.

1
A. Sejarah Singkat Moderasi Beragama
Konsep moderat sudah diperkenalkan dalam Islam dengan turunnya
ayat yang menyinggung hal tersebut.

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat
pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan
kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami
mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang.
Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sungguh, Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS.
Al Baqarah: 143)
Merujuk pada terjemah Kementerian Agama, frasa
diartikan sebagai ‘umat pertengahan’. Ibnu Katsir dalam tafsirnya,
mengemukakan bahwa kata ‘wasath’ di sini dipahami sebagai ‘pilihan
terbaik’, sebagaimana suku Quraish merupakan
(suku yang terbaik dalam bangsa Arab), baik dari nasab maupun
kekeluargaan. Sebagaimana pula di dalam Al-Qur’an terdapat frasa
(dipahami sebagai salat yang paling utama), yaitu
salat Ashar; dan sebagaimana Rasulullah Saw. juga dikenal sebagai «
» (Rasulullah Saw.
merupakan sosok yang paling mulia di antara kaumnya) secara garis
keturunan. Tidak sedikit juga bahwa kata ‘ ’ sepadan dengan kata
‘ ’ (adil), di mana keadilan merupakan konsep/ide yang terbaik
hingga saat ini.

2 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


Dalam perkembangannya di dunia, gagasan moderasi beragama
sudah banyak didiskusikan dan dikembangkan dalam berbagai bentuk
kegiatan, seperti konferensi ilmiah, deklarasi, dan institusi, di antaranya
adalah sebagai berikut.

1. The Charter of Moderation in Religious Practice Singapore


2003
Merupakan piagam moderasi dalam praktik keagamaan yang digagas
oleh Para Ulama dan Guru Agama Islam Singapore (dikenal dengan
PERGAS) dan diadopsi pada Konvensi 13–14 September 2003 dengan
tema ‘Moderasi dalam Islam pada Konteks Masyarakat Muslim
Singapura’. Hal tersebut dipicu oleh penangkapan beberapa warga
Muslim Singapura yang diduga sebagai anggota kelompok militan bawah
tanah yang bernama Jemaah Islamiyah (Kamali, 2015).
Inti dari piagam moderasi tersebut adalah sebagai berikut.
a. Muslim harus mendasari hubungan mereka dengan non-Muslim di
atas fondasi yang positif, bukan pada yang negatif, seperti perang,
kebencian, dan balas dendam.
b. Landasan positif tersebut memelihara berbagai jenis hubungan
lain, seperti kerja sama, serta perasaan cinta dan kasih sayang.
Sebagaimana Islam mengakui adalah hal wajar untuk membentuk
berbagai jenis hubungan dan kerja sama dengan orang-orang.
c. Perbedaan agama tidak membenarkan kebencian terhadap non-
Muslim atau melarang perasaan cinta dan kasih sayang terhadap
mereka.
d. Masyarakat harus dididik tentang pandangan dunia yang
akurat (tasawwur) dan memahami Islam. Hal tersebut meliputi
pembelajaran fikih yang komparatif dan kontemporer untuk
membuka pikiran masyarakat terhadap keragaman pendapat para
ulama tentang suatu permasalahan.
e. Ulama harus mempersempit jarak antara mereka dengan para
pemuda dan pemimpin lainnya. Mereka harus terlibat dengan
kelompok-kelompok ekstremis melalui dialog dan diskusi untuk
mengklarifikasi suatu masalah, serta menghindari tindakan yang
menimbulkan kontroversi dan antagonisme terhadap Islam dan
Muslim.

Bab 1 | Moderasi Beragama 3


2. The International Centre for Moderation (Ar. Al-Markaz
Al-‘Alami lil Wasathiyah) Kuwait 2004
Merupakan sebuah lembaga dari gagasan pemerintah Kuwait yang
dibentuk di bawah pengawasan Dewan Tertinggi Kuwait untuk
mempromosikan konsep wasathiyah dalam Ministry of Awqaf and Islamic
Affairs of Kuwait (Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait) pada
tahun 2004. Lembaga tersebut tampaknya tidak memperlihatkan
kegiatan intelektual dan penelitian semata, tetapi menjadi lembaga
yang menggabungkan kajian intelektual dan penelitian dengan agenda
pragmatis yang melibatkan kegiatan kerja sama dan pelatihan. Gagasan
wasathiyah di dalam lembaga tersebut diproyeksikan bahkan dalam
nomenklaturnya sebagai tujuan. Sebagai organisasi pemerintah,
prioritas lembaga tersebut adalah untuk menyebarluaskan konsep dan
praktik moderasi di Kuwait. Namun, jika dilihat dalam nomenklaturnya,
menunjukkan bahwa lembaga tersebut sebagai lembaga internasional
yang menjalankan program kegiatannya dalam konten internasional
yang lebih luas, terutama mengacu pada hubungan antara dunia Muslim
dan Barat (Kamali, 2015).
Di dalam situsnya, lembaga tersebut menetapkan sejumlah tujuan
yang mencangkup pengembangan budaya moderasi, pendalaman budaya
dialog, dan kontribusi pada pengembangan sumber daya manusia
yang akan mempromosikan tujuan-tujuan dari lembaga tersebut.
Lebih lanjut, lembaga tersebut mengumpulkan dan menyebarluaskan
literatur-literatur pilihan tentang wasathiyah dan menjalin kerja sama
antarberbagai pemangku kepentingan melalui paradigma moderat yang
terhubung dengan ajaran autentik Islam, dan pada saat yang sama
juga mementingkan kebutuhan kontemporer. Lembaga tersebut juga
mengajak orang menuju ajaran Islam yang lurus serta menghadapi
ekstremisme dan perilaku menyimpang (Kamali, 2015). Prinsip-prinsip
dari The International Centre for Moderation (Ar. Al-Markaz Al-‘Alami lil
Wasathiyah) Kuwait adalah sebagai berikut.

Tabel 1.1 Prinsip The International Centre for Moderation Kuwait


No. Prinsip
1. Percaya pada Tuhan Yang Maha Esa; dan Islam sebagai agama yang suci.
2. Universalitas Islam, validitas ajarannya tidak lekang oleh waktu, dan
gagasannya berorientasi pada asas manfaat bagi komunitas dan peradaban
manusia yang lebih besar.

4 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


No. Prinsip
3. Kebebasan hati nurani, kebebasan pribadi, dan rasa tanggung jawab.
4. Kerja sama untuk tujuan yang saling menguntungkan dan pengakuan dari
pihak lain yang berbeda.
5. Perhatian terhadap kenyataan dan mengambil inisiatif yang sesuai atas
kenyataan.
6. Menghormati objektivitas keilmuan dan pengetahuan yang khusus.

3. The Amman Message (Risalah Amman) 2004


Pada tahun 2004, Raja Abdullah II dari Yordania berkomunikasi dengan
24 dari ulama paling senior yang mewakili ketiga cabang dan mazhab-
mazhab Islam untuk membahas isu-isu ekstremisme dan militansi, serta
menjelaskan tentang hakikat Islam yang sebenarnya, untuk menyatakan
‘apa itu Islam’ dan apa yang bukan, dan ‘tindakan apa yang mewakilinya
dan tindakan apa yang tidak’; serta menekankan nilai-nilai inti Islam
tentang kasih sayang, saling menghormati, penerimaan, dan kebebasan
beragama. Para ulama tersebut diminta untuk menjawab tiga pertanyaan
utama (1) Siapakah seorang Muslim? (2) Bolehkah menyatakan
seseorang murtad (takfir)? (3) Siapa yang berhak mengeluarkan fatwa?
Pendapat para ulama tersebut kemudian menjadi dasar, pada Juli 2005,
dari sebuah konferensi Islam internasional besar yang dihadiri oleh
200 cendekiawan Muslim dari lebih dari 50 negara. Berdasarkan fatwa
yang diberikan oleh tiga otoritas agama Sunni dan Syiah paling senior,
di antaranya Syekh Muhammad Sayyid Tantawi dari Universitas al-
Azhar, Grand Ayatollah Ali al-Sistani Irak, dan Yusuf al-Qaradawi yang
terkenal; para ulama membahas konflik intra-Muslim dan kekerasan,
serta mencoba untuk mendelegitimasi ekstremis yang mengeluarkan
fatwa untuk membenarkan agenda/kegiatan mereka (Kamali, 2015).
Di dalam website resminya, Risalah Amman berisikan tiga poin
utama, yaitu sebagai berikut.
a. Siapa pun yang menganut salah satu dari empat mazhab fikih
Islam Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Hanbali), dua mazhab
Syi’ah fiqh (Ja`fari dan Zaydi), mazhab Ibadi Fiqh Islam, dan mazhab
Thahiri, adalah seorang Muslim. Menyatakan orang itu murtad
adalah mustahil dan tidak diperbolehkan. Sesungguhnya darah,
kehormatan, dan hartanya mulia, tidak dapat diganggu gugat.
Selain itu, sesuai dengan fatwa Syekh Al-Azhar, tidak mungkin

Bab 1 | Moderasi Beragama 5


atau tidak diperbolehkan untuk menyatakan siapa pun yang
menganut akidah Asy`ari atau siapa pun yang mempraktikkan
Tasawuf (Tasawuf) dianggap sebagai murtad. Demikian pula, tidak
mungkin atau tidak diperbolehkan untuk menyatakan siapa pun
yang menganut pemikiran Salafi sejati sebagai murtad. Demikian
pula, tidak mungkin dan tidak diperbolehkan untuk menyatakan
sebagai murtad kelompok Muslim yang beriman kepada Allah Swt.
dan Rasululullah Saw.; serta rukun iman dan mengakui lima rukun
Islam, dan tidak menyangkal prinsip agama yang sudah jelas dengan
sendirinya.
b. Terdapat lebih banyak kesamaan di antara berbagai mazhab hukum
Islam daripada perbedaan di antara mereka. Para penganut delapan
mazhab fikih sependapat tentang prinsip-prinsip dasar Islam.
Semua beriman kepada Allah Swt.; kepada Al-Qur’an adalah
Firman Allah yang Diwahyukan; dan kepada junjungan Nabi
Muhammad Saw. yang merupakan seorang Nabi dan Rasul bagi
seluruh umat manusia. Semua sepakat tentang lima rukun Islam:
dua wasiat iman (syahadat); doa ritual (salat); sedekah (zakat);
puasa Ramadan, dan haji ke rumah suci Allah (di Makkah). Semua
juga sepakat tentang dasar-dasar kepercayaan: kepercayaan kepada
Allah (Tuhan), malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
dan pada Hari Pembalasan, dalam Penyelenggaraan Ilahi dalam
kebaikan dan kejahatan. Perbedaan pendapat di antara para ulama
dari delapan mazhab fikih hanya dalam hal cabang-cabang agama
(furu`) dan bukan mengenai prinsip dan dasar (usul) agama Islam.
Perbedaan pendapat tentang cabang-cabang agama (furu`) adalah
rahmat. Dahulu dikatakan bahwa perbedaan pendapat di antara
para ulama (ulama) “adalah sesuatu yang baik”.
c. Pengakuan mazhab-mazhab fikih (Mazahib) dalam Islam, berarti
berpegang pada metodologi fundamental dalam mengeluarkan
fatwa: tidak seorang pun boleh mengeluarkan fatwa tanpa kualifikasi
pribadi yang disyaratkan, yang ditentukan oleh setiap mazhab fikih
(bagi pemeluknya sendiri). Tidak seorang pun boleh mengeluarkan
fatwa tanpa mengikuti metodologi mazhab fikih. Tidak seorang pun
boleh mengklaim melakukan Ijtihad tanpa batas dan menciptakan
mazhab fikih baru dalam Islam, atau mengeluarkan fatwa-fatwa
yang tidak dapat diterima, yang membawa umat Islam keluar

6 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


dari prinsip-prinsip dan kepastian syariat, serta apa yang telah
ditetapkan sehubungan dengan mazhab-mazhab fikihnya.
Poin tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan utama yang
diajukan diawal pembentukan Risalah Amman itu sendiri. Di samping
itu, Risalah Amman juga mendeklarasikan sikap yang didasari pada nilai-
nilai sejati Islam dalam kehidupan beragama dan sosial kontemporer
ini. Berikut ringkasan sikap Islam yang tertuah pada deklarasi Risalah
Amman 2004.

Tablel 1.2 Pernyataan Sikap Risalah Amman 2004


No. Risalah Amman 2004
1. Islam menghormati dan menghargai setiap manusia tanpa memandang warna
kulit, ras, atau agamanya.
2. Islam menegaskan bahwa cara menyeru (orang lain) kepada Allah Swt.
(berdakwah) harus didasari pada kebaikan dan kelembutan.
3. Tujuan utama Islam adalah menjadi rahmat dan kebaikan bagi semua orang.
4. Islam menyerukan agar memperlakukan orang lain sebagaimana seseorang
tersebut ingin diperlakukan, serta menjunjung tinggi toleransi, rasa maaf
memaafkan, serta kehormatan manusia.
5. Islam menegaskan prinsip keadilan dalam berinteraksi dengan orang lain,
menjaga hak-hak mereka, dan menegaskan bahwa seseorang tidak boleh
mengingkari/merusak hak/milik orang lain.
6. Islam menjunjung tinggi penghormatan terhadap ikrar dan perjanjian,
mematuhi apa yang telah ditentukan, serta melarang pengkhianatan dan
pelanggaran terhadap perjanjian tersebut.
7. Islam memandang derajat kehidupan manusia yang mulia, sehingga tidak
dibenarkan peperangan melawan non-pejuang, warga sipil dan harta benda
mereka, anak-anak, siswa, dan lansia. Penyerangan terhadap kehidupan
manusia dalam bentuk apa pun merupakan pelanggaran terhadap hak hidup di
antara semua manusia.
8. Agama primordial Islam dibangun atas dasar keadilan, keseimbangan,
moderasi, dan kemudahan.
9. Islam senantiasa berperang melawan ekstremisme, radikalisme, dan
fanatisme.
10. Islam menolak ekstremisme, radikalisme, dan fanatisme; serta memandang hal
tersebut merupakan bentuk ketidakadilan.

Jumlah asli dari 24 penandatangan Risalah Amman berkembang


selama beberapa tahun menjadi lebih dari 550 dari 84 negara. Dari
Iran saja, Risalah Amman telah ditandatangani oleh 20 pemimpin

Bab 1 | Moderasi Beragama 7


agama terkemuka di tingkat Grand Ayatollah, serta ulama tingkat tinggi
dan menengah lainnya. Beberapa Ayatollah terkemuka dari Irak juga
menandatangani dan mengeluarkan fatwa untuk mendukung Risalah
Amman (Kamali, 2015). Ini merupakan kumpulan fatwa universal
pertama dalam beberapa dekade oleh para cendekiawan Muslim
terkemuka dari enam madrasah teologi; dan hukum terkemuka
kontemporer yang memiliki pengikut di seluruh wilayah dunia, yang
dirancang untuk meluncurkan proses global dialog intra-iman dan kerja
sama di antara Muslim. Jelas juga bahwa ini harus dimulai dengan kerja
sama intra-iman di masing-masing agama besar dunia. Para pemimpin
terkemuka berkumpul di tengah keprihatinan bersama mereka, bahwa
hubungan intra-agama di antara umat Islam menjadi tegang karena
berbagai alasan; sebagian karena meningkatnya militerisme dan
kekerasan Barat, terutama di Irak, di mana situasi berbahaya kekerasan
sektarian antara Sunni dan Syi’ah telah menjadi sumber keprihatinan, dan
ketakutan bahwa hal ini dapat meningkat melampaui Irak dan melanda
seluruh wilayah. Insiden kekerasan sektarian di Pakistan pun memiliki
kesamaan dari hal itu (Kamali, 2015).
Terlepas dari hal tersebut, Risalah Amman merupakan bentuk
respons komunikatif dunia Muslim terhadap stigmatisasi yang
terjadi terhadap Islam setelah kejadian 9/11 tahun 2001. Akan
tetapi, skeptisisme muncul di kalangan peneliti Barat, seperti Stacey
Gutkowski yang mengemukakan bahwa sementara upaya masyarakat
sipil resmi dan didukung negara Yordania untuk mempromosikan
‘Islam Moderat’ dan dialog antaragama sebagian berasal dari minat
autentik dalam mempromosikan dialog dan perdamaian. Rezim
Hasyimiyah Yordania juga telah menggunakan ‘Amman Message’ untuk
memperdalam kepercayaan politik dengan Amerika Serikat, mencoba
untuk menggunakan otoritas moral agama sebagai bentuk kekuatan
produktif negara. Hal tersebut dilakukan dengan memainkan mitos
(istilah yang digunakan Stacey) moderasi beragama yang telah bergema
di Timur Tengah dan Barat sejak 9/11 (Gutkowski, 2016). Senada
dengan Stacey, Michaelle Browers juga berpendapat bahwa keterikatan
‘Amman Message’ dengan urusan dalam negeri Yordania, dan kepentingan
politik internasionalnya secara tidak langsung melemahkan kekuatan/
otoritas dokumen tersebut sebagai dasar untuk dialog atau tindakan
yang menunjukkan kesopanan dan rasa saling pengertian (Browers,

8 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


2011). Pendapat tersebut menjadikan konsep moderasi yang tertuang
di dalam Risalah Amman 2004 terkadang sulit diterima, dikarenakan
sulit untuk dibedakan di atas kepentingan-kepentingan pragmatis
politik dan hubungan internasional yang ada. Akan tetapi, nilai-nilai
yang terkandung di dalam Risalah Amman 2004 ini dapat menjadi
catatan bagi para akademisi yang menelusuri upaya-upaya moderasi
yang dilakukan para cendekiawan Muslim di dunia.

4. Assembly for Moderate Islamic Thought and Culture


(Jam’iyyatul-Ummat al-Wasath fi al-Fikr wa al-Tsaqafah)
Yordania 2004
Merupakan asosiasi yang beroperasi di bawah perlindungan raja
Yordania yang didirikan pada tahun 2004 sebagai kerangka organisasi
dari The Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, yang dikenal
juga sebutan The Royal Academy of Jordan. Asosiasi tersebut memiliki
seorang sekretaris jenderal dan tiga komite yang terdiri dari tokoh-
tokoh terkenal Islam Yordania dan Internasional, yang sebagian besar
merupakan anggota komite Global Forum for Moderation. Tiga komite
lainnya adalah Komite Tindak Lanjut, Komite Keuangan, dan Komite
Akademik (Kamali, 2015).
Komite Tindak Lanjut dirancang untuk menindaklanjuti resolusi
konferensi internasional, seperti konferensi kedua yang diadakan pada
24–26 April 2006 di Amman dengan topik ‘Peran Praktis Wasathiyah
dalam reformasi dan Kebangkitan Umat’. Konferensi tersebut
menghasilkan serangkaian resolusi yang kemudian diratifikasi oleh
para ulama-ulama dan akademisi yang berpartisipasi, yang selanjutnya
menjadi penandatanganan sebuah konvensi atas nama wasathiyah.
Sementara itu, konferensi pertama asosiasi tersebut diselenggarakan
pada tahun 2004 yang juga berfokus pada wasathiyah, serta menghasilkan
sejumlah prosiding konferensi dan presentasi akademik.
Hal yang termasuk dalam resolusi-resolusi konferensi 2006
adalah bahwa asosiasi/majelis tersebut menyelenggarakan ‘lokakarya
pertemuan’ tahunan tentang ‘gerakan moderasi’, dengan tujuan untuk
memilih dan mengambil tema yang terfokus untuk pengembangan
lebih lanjut (Kamali, 2015). Beberapa topik yang disebutkan dalam
hal ini adalah Peran Lembaga Pendidikan dalam Mempromosikan

Bab 1 | Moderasi Beragama 9


Arus Pemikiran dan Perilaku Moderat; Interaksi dan Dialog dengan
Kaum Muda; Interaksi dan Perjumpaan dengan Barat, Fundamentalis;
Pengembangan Rencana dan Agenda Reformasi; serta Peninjauan Fatwa-
fatwa. Konferensi tersebut mengeluarkan pernyataan detail yang terdiri
dari 25 item agenda kegiatan dan program yang tertera dalam empat
halaman, dan berikut ringkasannya.

Tabel 1.3 Ringkasan Program Kegiatan AMITC Yordania 2004–2006


No. Program Kegiatan
1. Menghadapi pemahaman yang salah tentang Islam melalui pengajaran,
keterlibatan institusional, dan acara-acara di media.
2. Menghadapi segala bentuk ekstremisme dan fanatisme dengan pendekatan
dialogis penelusuran sebab-sebab ekstremisme dan fanatisme berkembang.
3. Bekerja sama dengan organisasi dan individu Islam yang berorientasi moderat
serta mendukung “gerakan moderasi”.
4. Berkorespondensi dengan kepala pemerintahan Arab, Islam, dan liga universitas
Arab untuk mengakreditasi kursus universitas khusus tentang “budaya
moderasi”. Para pemimpin Muslim, Liga Arab, dan Organisasi Konferensi
Islam juga akan diminta untuk mengakreditasi Majelis Moderasi Internasional
(sekarang telah menjadi korporasi) sebagai salah satu lembaga sipil yang
difasilitasi melalui Liga Arab dan OIC (Organisation of Islamic Coorperation).
5. Mencalonkan sejumlah tokoh non-Muslim dari Barat dan Timur melalui
konsultasi dengan pusat-pusat terkait, terutama yang mendorong rasa saling
pengertian, moderasi, dan menerima perbedaan; serta bekerja sama dengan
badan-badan universitas di negeri-negeri Islam untuk berkoordinasi dengan
universitas-universitas Barat dan berdialog dengan mereka.
6. Melakukan kampanye internal berupa dialog di antara umat Islam yang berbeda
gerakan untuk mencapai titik temu melalui pemahaman intelektual Islam.
7. Menegaskan Pesan Amman dan melanjutkan dialog serta koordinasi antara
mazhab fiqih untuk tujuan yang lebih besar kedekatan dan pengertian.
8. Mendorong seniman Arab dan Muslim untuk beralih ke produksi serial film
dan dokumenter yang menyajikan cara wasaṭiyyah Islamic Islami pada tingkat
konsumsi lokal dan praktik pemasaran yang diakui.
9. Melayani Islam melalui “visi tengah” yang bebas dari orientasi partisan dan
pro-kekerasan.

5. The Makkah Declaration, Saudi Arabia 2005


Merupakan deklarasi yang dikeluarkan dari kegiatan Third Extraordinary
Session of The Islamic Summit Conference di Makkah, Saudi Arabia pada
7–8 Desember 2005. Dihadiri oleh para raja, kepala negara dan

10 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


pemerintah, serta para amir dari negara-negara anggota Organisation of
Islamic Coorperation. Deklarasi ini menghasilkan beberapa resolusi dan
pernyataan, berikut ringkasan dari deklarasi Makkah 2005 (Kamali,
2015).
a. Diperlukan refleksi yang tegas dan tulus untuk menghadapi
penyimpangan-penyimpangan yang memutarbalikkan prinsip dasar
Islam tentang cinta, perdamaian, kerukunan, dan perilaku yang
beradab.
b. Reformasi dan pembangunan umat merupakan keyakinan bersama
dan prioritas yang harus dibentuk dalam kerangka sosial masyarakat
Muslim. Kerangka sosial tersebut harus tetap selaras dengan
pencapaian peradaban manusia dan mendalami prinsip konsultasi,
keadilan, dan kesetaraan dalam upaya mewujudkan peradaban
Islam yang berdasarkan pada cita-cita dialogis, moderasi, toleransi,
kebenaran, dan nilai-nilai kemanusiaan yang luruh.
c. Kami menolak secara tegas terhadap segala aksi terorisme,
serta segala bentuk ekstremisme dan kekerasan. Menyuarakan
keprihatinan terhadap fenomena stigmatisasi dan Islamofobia
yang berkembang di dunia, dan menyatakan tekad untuk meredam
fenomena tersebut dengan segala cara yang tersedia.
d. Kami menegaskan bahwa terorisme tidak terbatas pada agama, ras,
atau negara tertentu; dan bahwa terorisme sama sekali tidak dapat
dibenarkan atau dirasionalisasikan. Kami bertekad mengembangkan
undang-undang untuk memerangi setiap praktik teroris dan setiap
praktik yang mengarah pada pendanaan atau hasutan terorisme,
baik secara nasional maupun internasional, termasuk pembentukan
Kontra-Terorisme Internasional sebagaimana disahkan oleh The
Riyadh Intenational Conference on Combating Terorism.
Di samping itu, deklarasi Makkah 2005 juga mengadopsi program
10 tahun tantangan umat Islam di abad kedua puluh satu, sesuai dengan
visi baru dalam dunia Muslim.

6. Al-Qardhawi’s Center for Islamic Moderation and Renewal,


Doha Qatar 2008
Pusat Moderasi dan Pembaruan Islam Al-Qaradawi didirikan pada tahun
2008 di Doha di bawah payung organisasi Qatar Foundation dan Fakultas

Bab 1 | Moderasi Beragama 11


Studi Islamnya. Lembaga ini dikhususkan untuk mempromosikan
moderasi dan kebangkitan pemikiran Islam melalui penelitian ilmiah
yang membahas isu-isu dalam demokrasi dan ekonomi, hak asasi
manusia, dialog antaragama, yurisprudensi minoritas, status perempuan
dan keluarga, masalah lingkungan, tantangan perang dan perdamaian,
kekerasan, terorisme, dan korupsi. Lembaga tersebut berencana untuk
melakukan kegiatannya bekerja sama dengan sejumlah organisasi
pemerintah dan non-pemerintah lainnya di Qatar dan di luar Qatar.
Serta berencana untuk melakukan penelitian, konferensi, dan seminar
tentang pelatihan cendekiawan Muslim dalam penerbitan fatwa;
mempromosikan moderasi di kalangan pemuda; mendekatkan berbagai
sekolah dan sekte Islam; serta meningkatkan hubungan antara Islam,
agama, dan peradaban lain (Kamali, 2015).

7. Global Movement of Moderates Foundation (GMMF), Kuala


Lumpur Malaysia 2012
GMMF Kuala Lumpu Malaysia dibentuk oleh Perdana Menteri Malaysia,
Najib Razak, pada Januari 2012, yang bertujuan untuk mengejar ‘rasa
hormat’ pada demokrasi, supremasi hukum, pendidikan, martabat
manusia, dan keadilan sosial di negara. GMM berupaya menjadi
penyebar informasi penting tentang moderasi. Tanpa sebuah pusat
untuk menginformasikan dan mengonsolidasikan kaum moderat
(meliputi para ulama, tokoh agama, cendikiawan, akademisi, dan
masyarakat) melalui kampanye yang terinformasi dengan baik, para
ekstremis dibiarkan dengan perangkat mereka sendiri dan keadaan
ketidakpedulian dari masyarakat umum diterima begitu saja. Ketika
ini terjadi, seluruh lingkungan menjadi tidak layak huni. GMMF pun
melakukan kerja sama dengan ASEAN dan mitra dialognya yang lain.
GMM pun melakukan Rencana Aksi yang akan meningkatkan profil
moderasi secara nasional, regional, dan internasional (Kamali, 2015).

8. Institute Wasatiyyah Malaysia (IWM), Malaysia 2013


Sama seperti GMM, Institute of Wasatiyyah Malaysia (IWM) resmi dibuka
oleh Perdana Menteri, Najib Razak, pada Maret 2013. Dipimpin oleh
Cendekiawan Islam Malaysia dan penasihat Perdana Menteri dalam
Urusan Islam, Dr. Abdullah Muhammad Zain, IWM ditugaskan untuk

12 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


mengembangkan dimensi Islam wasathiyah sejalan dengan orientasi
kebijakan pemerintah Malaysia. Berbeda dengan Institut Internasional
Wasatiyyah, IWM aktif secara internal dalam promosi, terutama dari
wasaṭiyyah dalam hubungannya dengan perkembangan domestik di
Malaysia (Kamali, 2015).

9. The Bogor Message (Risalah Bogor), Indonesia 2018


Risalah Bogor merupakan komitmen umat Islam untuk menjunjung
tinggi konsep wasathiyah Islam yang disepakati oleh sekitar 100
tokoh Islam, ulama, serta cendekiawan Muslim dari Indonesia dan
seluruh dunia, termasuk di antaranya, Grand Syekh Al Azhar, Ahmed
Muhammad Ahmed Al-Thayyeb. Komitmen tersebut terbentuk dari
pertemuan yang bertajuk High Level Consultation of World Moslem’s Scholars
on Wasathiyah Islam yang dilaksanakan di Bogor–Indonesia pada 3 Maret
2018 (Sasongko dan Muhyiddin, 2018). Risalah Bogor secara bertahap
dirumuskan dari 12 inti menjadi 7 inti nilai moderasi Islam (wasathiyah),
sebagai berikut (Ramadhan dan Syauqillah, 2018).
a. Tawassuth, yang merupakan sikap untuk senantiasa mengambil
jalan tengah atau jalan yang lurus dengan kebenaran tanpa bersikap
ekstrem (berlebihan) dalam satu opsi/jalan/sudut pandang dan
praktik.
b. I’tidal, yang bermakna keseimbangan dan keadilan yang didasari
pada prinsip keadilan yang proporsional dan tidak ekstrem serta
berlebihan.
c. Tasamuh, dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati
keragaman dalam segala aspek kehidupan.
d. Syura, yaitu bersandar pada konsultasi dan penyelesaian masalah
melalui musyawarah untuk mencapai konsensus.
e. Ishlah, yaitu terlibat dalam reformasi dan perbuatan baik yang
konstruktif untuk khalayak bersama.
f. Qudwah, yaitu upaya merintis inisiatif mulia dan memimpin untuk
kesejahteraan manusia.
g. Muwwatanah, yaitu sikap mengakui negara bangsa (komitmen
terhadapnya) dan menghormati kewarganegaraan.

Bab 1 | Moderasi Beragama 13


10. Moderasi Beragama Kementerian Agama Republik
Indonesia, 2019
Satu tahun setelah Risalah Bogor, Kementerian Agama (Kemenag)
menjadikan moderasi beragama sebagai wacana utama kementerian dan
menjadi kebijakan pemerintahan yang masuk ke dalam RPJMN 2020–
2024. Prinsip dasar moderasi/wasathiyah dalam beragama menurut
Kemenag RI adalah keadilan dan keseimbangan, hal tersebut menjadi
konsep awal yang ada pada semua agama yang sah di Indonesia, serta
dikembangkan dalam beberapa dimensi dan indikator. Di samping itu,
Kemenag RI juga mengagendakan penyebaran pemahaman tentang
moderasi beragama melalui sosialisasi dan literasi moderasi beragama,
mulai dari kalangan pelajar, sampai pada tatanan pemerintahan dan
masyarakat.

B. Nilai dan Gagasan Moderasi Beragama


Gagasan moderasi beragama baru dirumuskan secara terstruktur oleh
Kementerian Agama pada tahun 2019, dan juga menetapkan tahun
tersebut sebagai tahun moderasi beragama. Prinsip dasar dari moderasi
beragama adalah adil dan seimbang dalam memandang, menyikapi,
dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan, seperti akal dan
wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara
kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan
dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara
gagasan ideal dan kenyataan, serta antara masa lalu dan masa depan
(Kementerian Agama, 2019). Adil dalam konsep moderasi berarti bahwa
dalam beragama, seseorang tidak boleh ekstrem pada pandangannya,
melainkan harus selalu mencari titik temu (Kamali, 2015). Sementara
itu, seimbang merupakan istilah untuk menggambarkan cara pandang,
sikap, dan komitmen untuk selalu berpihak pada keadilan, kemanusiaan,
dan persamaan. Kecenderungan untuk bersikap seimbang bukan berarti
tidak punya pendapat. Mereka yang punya sikap seimbang berarti tegas,
tetapi tidak keras karena selalu berpihak kepada keadilan, hanya saja
keberpihakannya itu tidak sampai merampas hak orang lain sehingga
merugikan. Keseimbangan dapat dianggap sebagai suatu bentuk cara
pandang untuk mengerjakan sesuatu secukupnya, tidak berlebihan
dan juga tidak kurang, serta tidak konservatif dan juga tidak liberal
(Kementerian Agama, 2019).

14 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


Adil dan seimbang, akan lebih mudah terbentuk jika seseorang
memiliki tiga karakter utama dalam dirinya, yaitu kebijaksanaan
(wisdom), ketulusan (purity), dan keberanian (courage) (Kementerian
Agama, 2019). Dengan catatan, bahwa kebijaksanaan pada konteks ini
dipahami bukan hanya sebagai kebaikan saja, akan tetapi merupakan
kebaikan yang melimpah dan komprehensif, meliputi kebaikan moral
dan intelektual (Adeel, 2019). Sementara itu, dalam rumusan lain,
dapat dikatakan bahwa ada tiga syarat terpenuhinya sikap moderat
dalam beragama, yakni memiliki pengetahuan yang luas, mampu
mengendalikan emosi untuk tidak melebihi batas, dan selalu berhati­
hati (Kementerian Agama, 2019). Dengan kata lain, moderasi beragama
adalah puncak dari paradigma beragama dari dua prinsip (adil dan
berimbang) tersebut dengan karakteristik-karakteristik yang menjadi
syarat dalam pembentukannya.
Lebih lanjut, diskursus moderasi beragama di Indonesia sering
dikembangkan menjadi tiga pilar utama. Pertama, moderasi pemikiran,
ditandai dengan kemampuan untuk memadukan antara teks dan
konteks secara dinamis, sehingga melahirkan pemikiran keagamaan
yang tidak terlalu tekstual dan tidak terlalu bebas mengabaikan teks.
Kedua, moderasi gerakan, merupakan gerakan penyebaran nilai-nilai
agama yang bertujuan mengajak kepada kebaikan dan menjauhkan diri
dari kemungkaran dan kerusakan dengan cara yang baik pula tanpa
menimbulkan kerusakan baru. Ketiga, moderasi tradisi, atau dapat
dikatakan pula dengan moderasi praktik keagamaan, yakni dengan
menguatkan hubungan antara agama dengan tradisi dan kebudayaan
masyarakat setempat (Kementerian Agama, 2019). Posisi agama
dalam konteks ini tidak dihadapkan secara diametral dengan budaya,
keduanya saling terbuka membangun dialog menghasilkan kebudayaan
baru, sebagaimana agama merupakan salah satu dari tujuh unsur
kebudayaan universal yang tidak akan terlepas dari kebudayaan itu
sendiri (Koentjaraningrat, 1985).
Dimensi dan indikator di dalam moderasi beragama terkadang
masih dirasa tumpang tindih pemahamannya. Jika melihat dari
pemaparan sebelumnya, konsep moderasi beragama dapat dikatakan
konsep yang multidimensi. Sehingga, pengukurannya pun dapat
melibatkan banyak aspek, seperti pengetahuan, wawasan, cara pandang,
sikap, perilaku, serta kebiasaan beragama yang tergolong moderat dan

Bab 1 | Moderasi Beragama 15


tidak ekstrem. Dimensi moderasi beragama bersifat terbuka dan luas
dalam pengukurannya, contohnya seperti dimensi lain yang pernah
dihadirkan adalah moderasi dalam aspek teologi, ibadah, muamalah,
hukum, penciptaan manusia, alam semesta, pemerintahan, dan kuliner
(Ulinnuha dan Nafisah, 2020). Kementerian Agama Republik Indonesia
setidaknya merumuskan empat dimensi yang secara keliru digunakan
istilah indikator moderasi beragama (Zulkifli dan Sa’diyah, 2020).
Terlepas dari itu, konsep moderasi beragama bukanlah gagasan hampa
yang tidak dapat dideteksi ataupun diukur eksistensinya pada setiap
individu yang ada dalam kemajemukan bangsa Indonesia, dan bukan
pula konsep yang hanya masuk ke dalam dimensi tunggal.
Dalam indikator pengukurannya, sebagai bahan perbandingan
belakangan ini sudah mulai banyak peneliti yang mencoba mengukur
tingkat moderasi beragama dalam berbagai dimensi dan indikator. Di
antaranya seperti Muhamadul Bakir Yaakub; Khatijah Othman; dan
Nik Nadian Nik Nazli (2019) yang membuat Islamic Moderation Personal
(IMP) sebagai alat ukur moderasi beragama, yang meliputi paradigma
konseptual, praktik, dan manifestasi sikap (Yaakub, et al., 2019).
Nuraliah Ali (2020) yang menginisiasi pengukuran moderasi beragama
meliputi pengetahuan, perilaku, dan pola pikir keagamaan (Ali, 2020).
Dinar Pratama (2020) yang mengembangkan instrumen sikap moderasi
beragama dalam skala Thurstone Metode Equal Appearing Interval dengan
kriteria psikometrik sebagai skala pengukuran, menurutnya pengukuran
tersebut digunakan untuk mengukur sikap moderasi beragama (Pratama,
2020). Zulkifli dan Sholikhatus Sa’diyah (2020) yang mengembangkan
pengukuran moderasi beragama dengan mengeluarkan dimensi
toleransi, karena menurutnya sesuai dengan apa yang dikemukakan
Kementerian Agama bahwa toleransi beragama adalah hasil dari proses
moderasi beragama, sehingga dalam penelitiannya aspek toleransi
dijadikan variabel dependen kedua (Zulkifli dan Sa’diyah, 2020).
Senada dengan itu, Rakhman Ardi dan lainnya (2021), mengembangkan
dua instrumen, yaitu skema keagamaan (yang meliputi pandangan
kebenaran tentang ajaran agama, sikap keterbukaan, dan xenophobia)
dan skala toleransi dalam penelitiannya terhadap mahasiswa-mahasiswa
di Indonesia (Ardi, et al., 2021).
Di samping itu, moderasi beragama juga diteliti menjadi satu
variabel utuh yang bersanding dengan variabel lainnya. Seperti

16 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


penelitian Moh. Badrul Munir dan Herianto (2020) yang mencoba
menganalisis hubungan antara kesehatan mental, prestasi belajar,
keaktifan berorganisasi, dan moderasi beragama (Munir, 2020). Begitu
pula, penelitian Rabiah Al Adawiyah, Clara Ignatia Tobing, dan Otih
Handayani (2021) yang menganalisis hubungan antara perilaku toleran,
pendidikan agama Islam, dan moderasi beragama (Adawiyah, et al.,
2021).

C. Tujuan Moderasi Beragama


Tujuan utama moderasi beragama adalah merealisasikan indikator/
dimensi utama sebagai berikut.
1. Komitmen kebangsaan, yang merupakan dimensi utama untuk
melihat sejauh mana cara pandang, sikap, dan praktik beragama
seseorang berdampak pada kesetiaan terhadap konsensus dasar
kebangsaan di Indonesia, terutama terkait dengan penerimaan
Pancasila sebagai ideologi negara, sikap terhadap tantangan
ideologi yang menyimpang, serta nasionalisme. Di antara bagian
dari komitmen kebangsaan adalah penerimaan terhadap prinsip-
prinsip berbangsa yang tertuang dalam Konstitusi UUD 1945 dan
regulasi di bawahnya (Kementerian Agama, 2019).
2. Toleransi, yang merupakan sikap untuk memberi ruang dan tidak
mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan
keyakinannya, dan menyampaikan pendapat, meskipun hal tersebut
berbeda dengan apa yang kita yakini. Dengan demikian, toleransi
mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan lembut
dalam menerima perbedaan. Toleransi selalu disertai dengan sikap
hormat, menerima orang yang berbeda sebagai bagian dari diri kita,
dan berpikir positif (Kementerian Agama, 2019).
3. Anti-kekerasan, yang merupakan sikap dan perilaku penolakan
terhadap segala bentuk kekerasan atas nama agama. Istilah
radikalisme atau kekerasan dalam konteks moderasi beragama
ini dapat dipahami sebagai suatu ideologi (ide atau gagasan) dan
paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan
politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ekstrem atas
nama agama, baik kekerasan verbal, fisik, dan pikiran. Inti dari
tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau

Bab 1 | Moderasi Beragama 17


kelompok tertentu yang meng­gunakan cara-cara kekerasan dalam
mengusung perubahan yang diinginkan (Zulkifli dan Sa’diyah,
2020).
4. Akomodatif budaya lokal, yang merupakan sikap kecenderungan
lebih ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam
perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok
ajaran agama. Tradisi keberagamaan yang tidak kaku, antara lain,
ditandai dengan kesediaan untuk menerima praktik dan perilaku
beragama yang tidak semata-mata menekankan pada kebenaran
normatif, melainkan juga menerima praktik beragama yang
didasarkan pada keutamaan. Tentu, sekali lagi, sejauh praktik itu
tidak bertentangan dengan hal yang prinsipil dalam ajaran agama.
Sebaliknya, ada juga kelompok yang cenderung tidak akomodatif
terhadap tradisi dan kebudayaan, karena mempraktikkan tradisi
dan budaya dalam beragama akan dianggap sebagai tindakan yang
mengotori kemurnian agama (Kementerian Agama, 2019).

D. Kiri, Tengah, Kanan?


Paham keagamaan memiliki karakteristik sendiri dalam perkem­
bangannya. Dalam konteks moderasi, kita memahami bahwa moderat
cenderung diberi label ‘tengah’, atau sikap yang tidak ekstrem dalam
kecenderungan berpendapat dan bersikap. Dua sisi di sampingnya kita
kenali sebagai ‘kanan’ dan ‘kiri’. Di Indonesia sendiri, paham keagamaan
‘kanan’ dikenal sebagai paham keagamaan yang cenderung fundamental,
yang memahami agama dengan fokus hanya pada sumber-sumber agama
secara tekstual semata tanpa mengompromikan situasi dan kondisi yang
berkembang. Sementara kiri, kebalikannya. Paham keagamaan ‘kiri’ kita
cenderung mengenal pemahaman agama yang agak ‘liberal’, menjunjung
tinggi kebebasan tanpa batas serta menerobos batasan nilai yang ada.
Pemikiran Kamali (2015) mengemukakan bahwa kata ‘wasathiyah’
dan ‘keadilan’ tidak dapat dipisahkan, sedangkan kata ‘moderasi’
akan mengalami distorsi pemahaman dan makna yang berbeda jika
konteks dan situasinya berbeda (Kamali, 2015). Seperti contoh, jika
dalam konteks hegemoni Amerika dan politik Israel, kata ‘moderasi’
lebih dipahami sebagai labelisasi terhadap ‘Islamis’ yang cenderung
mendukung kebijakan Amerika dan Israel yang terkadang melewati
batas-batas keadilan. James Petras misalnya, di dalam artikel yang

18 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


berjudul ‘The Washington’s ‘Moderate Islam’ Alliance: Containing Rebellion,
Defending Empire’ menggambarkan manipulasi politik dalam kata
‘moderate’ tersebut, ia menyebutkan bahwa ‘Islamis yang berkolaborasi
dengan kekuasaan adalah sekutu yang ‘moderat’. Akan tetapi, jika
mereka menyerang rezim anti-imperialisme, akan menjadi ‘teroris’
dan ‘fundamentalis’. Dengan kata lain, kolaborator dari Islam menjadi
moderat jika mendukung kekuasaan dan kebijakan yang didasari pada
budaya hegemoni Amerika dan Kolonialisasi Israel. Di sisi lain, dalam
konteks tersebut, pemahaman ‘moderasi’ yang muncul dari negara
Muslim seperti Indonesia, dipahami secara sama dengan pemahaman
‘Muslim liberal’ atau sekuler yang tidak memiliki dasar autentik
keislamannya (Kamali, 2015; Petras, 2011).
Distorsi makna kata ‘moderasi’ yang terjadi sesuai dengan konteks
yang ada antara pemahaman dunia barat dan dunia Muslim menjadikan
kata ‘moderasi’ terkadang tidak mewakili kata ‘wasathiyah’ dalam Islam.
Istilah moderasi yang menjadi padanan dengan istilah ‘wasathiyah’
merupakan gagasan ideal prinsip Islam yang tidak hanya digunakan
dalam tatanan praktik dan konteks yang bersifat teknis dan sangat
pragmatis, sarat akan kepentingan satu pihak. Akan tetapi, moderasi
seharusnya dipahami berimbangan dengan konsep ‘keadilan’ yang
sampai sekarang pun masih dalam ruang lingkup gagasan ideal manusia.
Terlepas dari dilema yang dihadapi para sarjana dan komunitas Muslim
dunia dalam menggunakan istilah ‘moderasi’ atau ‘wasathiyah’ di dalam
syiar-nya, Martin Van Bruinessen (2013) sudah mencoba merumuskan
perbedaan dari setiap istilah pergerakan Islam yang ada, terutama
di Indonesia. Menurutnya, Istilah ‘Moderasi’ berbeda dengan istilah
‘Liberal’ karena membawa konotasi yang ditolak oleh banyak pemikir
yang menerapkannya; dan juga karena pendiri Jaringan Islam Liberal
(JIL) di Indonesia mengadopsi istilah tersebut dari antologi teks yang
dipengaruhi oleh para pemikir Muslim modern yang mewakili berbagai
macam posisi intelektual, mereka juga membela liberalisme politik dan
ekonomi, yang menurut sebagian dari mereka tidak dapat dipisahkan
dari liberalisme agama. Alasan lain dikarenakan istilah ‘Islam liberal’
cenderung berasosiasi dengan ‘neoliberalisme’. Kalangan konservatif
menggunakan istilah ‘liberal’ sebagai stigmatisasi terhadap berbagai
pemikiran kritis dan menyamakannya dengan rasionalisme dan tidak
beragama (Bruinessen, 2013).

Bab 1 | Moderasi Beragama 19


Sementara itu, istilah ‘neo-modernis’ digunakan oleh sarjana
Australia, Greg Barton, untuk menggambarkan pemikiran Nurcholish
Madjid dan kawan-kawannya, yang mana hal tersebut tidak membawa
konotasi kebijakan ekonomi dan politik yang sama. Istilah tersebut
dirasa cocok jika dilabelkan untuk mereka seperti Nurcholish yang
dipengaruhi oleh Fazlur Rahman, akan tetapi dirasa tidak terlalu cocok
jika dilabelkan dengan para pemikir seperti Abdurrahman Wahid yang
akar intelektualnya terletak pada tradisionalis dalam spektrum reformis
(Bruinessen, 2013). Istilah yang lain yang ada seperti ‘konservatif’ lebih
dipahami sebagai pandangan yang menolak reinterpretasi modernis,
liberal, dan Islam progresif yang mematuhi doktrin serta tatanan sosial
yang sudah mapan. Kemudian, istilah ‘fundamentalis’ yang menjunjung
tinggi prinsip dasar teks Al-Qur’an dan Hadis dengan menolak
interpretasi modern. Hal tersebut mungkin terlihat sama dengan
‘konservatif’, akan tetapi memiliki jika dipahami lebih dalam keduanya
memiliki perbedaan jika dalam konteks praktik-praktik keagamaan
dan budaya yang sudah mapan yang dijunjung ‘konservatif’, sekalipun
tidak secara tertulis ada di dalam teks-teks suci keagamaan. Terakhir,
istilah ‘Islamis’ lebih dipahami pada pergerakan komunitas Islam dalam
konteks sistem perpolitikan dan tatanan kenegaraan (Bruinessen, 2013).
Dari sini dipahami bahwa penyamaan kata ‘moderasi’ dengan
‘Islamis’ dan ‘Liberalis’ memiliki perbedaan yang cukup signifikan.
Moderasi lebih dekat pada realisasi prinsip dan konsep dari istilah
‘wasathiyah’ yang ada pada Islam itu sendiri. Menurut Wahbah Zuhaili
dalam bahasa umum masyarakat sekarang, ‘wasathiyah’ berarti moderasi
dan seimbang dalam kepercayaan, moralitas, dan karakter dalam konteks
cara memperlakukan orang lain dan dalam menerapkan sistem tatanan
sosial politik dan pemerintahan (Al Zuhaili, 2006 dalam Kamali,
2015). Di dalam Al-Qur’an, kata wasat termaktub sebanyak lima kali,
yaitu dua kali dalam bentuk awsat, satu kali dalam bentuk wasat, satu
dalam bentuk wusta, dan satu kali dalam verba dengan tiga huruf
asli. Sementara itu, kata ‘adl termaktub 28 kali dengan pembagian
proporsional, yaitu 14 kali dalam bentuk ‘adl dan 14 kali dalam bentuk
verba dengan tiga huruf asli. Kata wazan tersebut sebanyak 23 kali,
dengan satu kali diambil dari verba tiga huruf asli (musytaq), 16 kali
dalam bentuk mizan, tiga kali dalam bentuk wazan, dan tiga kali dalam
bentuk verba tiga huruf asli. Hal tersebut mengindikasikan bahwa

20 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


kehadiran Islam sejatinya sudah membawa misi moderasi beragama
di dalamnya. Moderasi juga dapat bermakna ‘peredaan’ atau ‘upaya
menenangkan/meredakan’. Hal tersebut similar dengan beberapa
konsep Islam yang ada pada Al-Qur’an, seperti sabar (Ar. shabr), sikap
lembut (Ar. rifq), dan kasih sayang (Ar. hilm) yang merupakan ajaran
utama Islam yang tidak membuat orang yang menerapkannya menjadi
lemah atau rendah (Kamali, 2015).
Menurut Muhammad Abduh (W. 1905) saat Islam mendedikasikan
dirinya sebagai ‘din al-fitrah’ atau agama yang sesuai dengan fitrah/
kondisi natural manusia. Maka, dengan sendirinya, Islam telah
menunjukkan dirinya sebagai agama yang condong terhadap gagasan
moderasi (Kamali, 2015), karena kondisi natural manusia sejatinya
adalah makhluk sosial yang menerima segala macam perbedaan dan
tidak dapat dipaksakan pada suatu kondisi dan keadaan. Senada dengan
hal tersebut, cendekiawan Tunisia terkenal Muhammad Tahir Ibn ‘Ashur
(W. 1974) memberikan catatan bahwa ‘moderasi’ terdapat pada semua
bentuk kemuliaan (Ar. fadhail); dan hal tersebut merupakan protector/
pelindung yang baik terhadap penyebaran sikap dan perbuatan yang
buruk seperti korupsi. Ia juga mengemukakan bahwa kata ‘al-fitrah’ yang
bermakna kondisi natural manusia, adalah menghindari ekstremisme
dan menyukai moderasi ( Ibn ‘Ashur, 1988 dalam Kamali, 2015). Di
samping itu, Yusuf Al-Qardhawi juga menyatakan bahwa moderasi
merupakan jalan yang benar yang dapat menghantarkan umat menuju
cita-cita mulia dan mendapatkan sesuatu yang baik (materi maupun
spiritual) (Al-Qardhawi, 2004 dalam Kamali, 2015).
Muhammad Kamal Al-Tunisi berpendapat bahwa seseorang
tidak akan memahami ‘moderasi’ dan ‘wasathiyah’ dengan satu aspek
dalam kehidupan dan mengesampingkan aspek lainnya. Hal tersebut
dikarenakan ‘moderasi’ dan ‘washatiyah’ meliputi segala aspek dalam
kehidupan dan semua spektrum ajaran Islam, dari dogma dan keyakinan,
peribadatan dan relasi sosial, manusia dan negara, waktu dan tempat,
serta pemikiran dan praktik kebebasan yang menjadi prinsip dasar
kemanusiaan (Al-Farfur, 1988 dalam Kamali, 2015). Menurut Abd
Al-Latif Al-Farfur, tidak ada solusi terbaik untuk menghindari segala
konsekuensi ekstremisme, kecuali dengan menerima gagasan moderasi/
wasathiyah yang ada dalam ajaran Islam yang didasari pada kebenaran
dan keadilan (Al-Farfur, 1988 dalam Kamali, 2015).

Bab 1 | Moderasi Beragama 21


Menurut Wahbah Al-Zuhaili, wasathiyah juga berarti memberikan
perhatian yang seimbang terhadap hak seseorang dan kewajiban terhadap
orang lain; material dan spiritual. Hal tersebut juga menunjukkan
keseimbangan antara pengampunan dan perlawanan, pemborosan
dan keegoisan, serta penolakan mutlak terhadap ekstremisme dan
terorisme dalam semua realisasinya. Islam menganjurkan nilai-nilai
ini, tidak hanya di kalangan umat Islam sendiri, tetapi juga dalam
hubungan mereka dengan komunitas dan bangsa lain. Wasathiyah dengan
demikian merupakan pilar peradaban Islam. Menurutnya, sebagai
agama wasathiyah, Islam mengambil jalan tengah antara orang-orang
dan bangsa-bangsa, agama-agama wahyu Ilahi, filsafat, dan doktrin
ekonomi; termasuk komunisme, kapitalisme, dan sejenisnya. Islam
berkomitmen untuk membangun sistem kebenaran dan keadilan yang
menghindari kelemahan di satu sisi dan ekstremisme di sisi lain (Al
Zuhaili, 2004 dalam Kamali, 2015).
Dalam dimensi geofisikal dari wasathiyah di dalam Al-Qur’an,
Sayyed Hossein Nashr mengemukakan bahwa sebagaimana Islam
yang mendedikasikan dirinya sebagai ‘jalan tengah’, maka wilayahnya
pun berada di ‘tengah’ dunia antara Atlantik dan Pasifik. Di sini, Islam
bersentuhan dengan peradaban yang bermacam-macam, baik dalam
filosofinya sampai pada keilmuannya, sehingga pandangan dunia
Islam secara tidak langsung mengadaptasi nilai-nilai tradisi peradaban-
peradaban tersebut (Nashr, 2003 dalam Kamali, 2015). Di samping itu,
Ahmad Al-Raysuni seorang profesor dan penulis tentang maqashid al-
syari’ah mengemukakan bahwa moderasi merupakan cita-cita ideal yang
ingin dicapai oleh syariah (hukum Islam) di dalam semua keputusan
hukum yang ada di syariah Islam, dan hal ini akan tercapai dengan
menerapkan ‘jalan tengah’ (adil dan berimbang) di antara dua posisi/
kondisi ekstrem (Al-Raysuni, 2005 dalam Kamali, 2015).
Moderasi dalam kaitannya dengan konsep keseimbangan (al-
tawazun) dan ‘ummatan wasathan’, Al Faruqi berpendapat bahwa kedua
nilai tersebut harus dipandang secara saksama, sehingga memberikan
pemahaman bahwa umat Islam berdasarkan dua nilai tersebut
mengharuskan dirinya untuk menghindari keburukan individualisme
dan kolektivisme. Menolak individualisme absolut dan tribalisme
absolut menjadikan umat Islam berada di posisi tengah dalam ruang
lingkup hubungan antarmanusia (Al-Faruqi, 1982 dalam Kamali, 2015).

22 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


BAB 2
MASYARAKAT DAN
MODERASI BERAGAMA

A. Wawasan Masyarakat
Dalam aspek wawasan, American Psychological Association (APA)
Dictionary, mendefinisikan wawasan sebagai keadaan mengenali sesuatu
atau menyadari keberadaannya yang dihasilkan dari pengalaman atau
pembelajaran (VandenBos, 2015). Yates dan Chandler mengatakan
bahwa wawasan adalah ketersedian informasi yang tersimpan secara
mental di dalam diri seseorang, baik itu dewasa maupun anak-anak.
mereka menjelaskan bahwa wawasan adalah variabel yang dapat
membedakan individu satu dengan yang lain. Wawasan biasanya dinilai
dalam bentuk tes, seperti tes kosakata dan tes prestasi belajar (Yates
dan Chandler, 1991). Sementara itu, Stenberg (Yates dan Chandler,
1991) menjelaskan bahwa wawasan adalah komponen fundamental dari
intelegensi di mana intelegensi dapat membuat seseorang membangun
wawasan yang efektif, sehingga dapat memiliki kemampuan dan
keahlian.  
Plato (Bolisani dan Bratianu, 2018) mengatakan bahwa wawasan
adalah hasil dari proses penalaran manusia tanpa melibatkan
pancaindra. Wawasan hanya bisa didapatkan dari penalaran rasional.
Berbeda dengan Aristoteles (Bolisani dan Bratianu, 2018) yang
mengatakan bahwa wawasan adalah hasil dari sensasi pancaindra
yang diproses dalam pikiran manusia. Mohajan (2016) mengatakan
bahwa wawasan adalah sekumpulan pengalaman, informasi yang
tepat, dan wawasan keterampilan yang menawarkan struktur untuk
memperkirakan dan mengintegrasikan pengalaman dan informasi baru

23
(Mohajan, 2016). Nasimi, et al. (2013) mengatakan bahwa wawasan
adalah kesadaran, pengidentifikasian, dan penerapan informasi dengan
tujuan mengembangkan umat manusia. Wawasan dibuat dalam
pikiran manusia dan meningkat seiring manusia menggunakannya.
Jadi, wawasan yang sudah dimiliki seseorang dapat meningkatkan
pembentukan wawasan yang baru (Nasimi, et al., 2013).
Alexander dan Judy (De Jong dan Ferguson-Hessler, 1995)
menjelaskan bahwa knowledge dibagi menjadi tiga tipe. Pertama,
declarative, yaitu wawasan faktual mengenai sesuatu. Kedua, procedural,
yaitu pengumpulan wawasan deklaratif ke dalam unit fungsional. Ketiga,
conditional, yaitu memahami kondisi dan situasi ketika suatu fakta atau
prosedur digunakan. Yates dan Chandler (1991) menjelaskan lebih dalam
bahwa wawasan memiliki dua dimensi besar, yaitu declarative knowledge
dan procedural knowledge. Declarative knowledge pada dasarnya wawasan
ini adalah wawasan verbal mengenai sesuatu. Wawasan ini sering kali
berbentuk informasi fakta atau konsep, sehingga dapat dengan mudah
dikomunikasikan lewat verbal. Procedural knowledge adalah perubahan
dari wawasan yang berbentuk informasi, konsep, atau fakta ke suatu
aksi atau perilaku. Wawasan ini pada dasarnya merupakan wawasan
mengenai bagaimana proses sesuatu dapat terjadi. Yates dan Chandler
menambahkan bahwa beberapa peneliti lain membedakan antara
procedural knowledge dengan conditional knowledge. Conditional knowledge
adalah wawasan mengenai kapan dan di mana procedural knowledge
digunakan (Yates dan Chandler, 1991).
Dombrowski, et al. (Bolisani dan Bratianu, 2018) mengatakan
bahwa wawasan dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu experiential knowledge,
skills, dan knowledge claims, di mana ketiganya saling berkaitan tetapi
memiliki ciri khasnya masing-masing. Experiential knowledge adalah
wawasan yang didapatkan dengan cara berhubungan langsung dengan
lingkungan melalui sistem pancaindra, diproses oleh otak manusia
dan bersifat personal. Skills adalah wawasan mengenai bagaimana cara
melakukan sesuatu. Wawasan ini sering kali disebut procedural knowledge.
Wawasan ini berasal dari experiential knowledge yang lebih terstruktur
dengan baik dan berorientasi pada suatu aksi atau perilaku. Wawasan
ini didapatkan dengan cara melakukan suatu tugas berulang-ulang
dan learning by doing. Knowledge claims adalah wawasan yang seseorang
ketahui atau yang seseorang rasa dia mengetahuinya. Wawasan

24 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


eksplisit dibutuhkan agar seseorang dapat mengklaim bahwa dirinya
mengetahui sesuatu, karena wawasan eksplisit adalah wawasan yang
dipelajari seseorang. Wawasan eksplisit sering kali eksis di dalam zona
ketidaksadaran (unconscious zone), dimanifestasikan dalam bentuk intuisi
sehingga membutuhkan cara agar dapat diklaim oleh seseorang. Cara
seseorang mengklaim bahwa dirinya memiliki suatu wawasan adalah
membahasakannya. Seseorang yang membahasakan wawasannya dapat
mengklaim wawasan tersebut, karena bahasa dapat didiskusikan,
dievaluasi, ditanyakan, dan dijelaskan.  
De Jong dan Ferguson-Hessler (1996) menjelaskan bahwa wawasan
dibagi menjadi empat dimensi. Pertama, situational knowledge, yaitu
wawasan mengenai situasi yang biasanya muncul di mana wawasan ini
mengenai masalah yang muncul, sehingga seseorang dapat menemukan
solusi dari permasalah dalam situasi tersebut. Kedua, conceptual knowledge
adalah wawasan mengenai fakta, konsep, dan prinsip yang dapat
diterapkan dalam situasi tertentu. Ketiga, procedural knowledge adalah
wawasan mengenai aksi atau manipulasi yang valid dalam situasi
tertentu. Keempat, strategic knowledge adalah wawasan yang membantu
seseorang dalam mengatur proses penyelesaian masalah dengan
menentukan langkah apa yang harus diambil untuk mendapatkan
sebuah solusi (De Jong dan Ferguson-Hessler, 1995).
Nonaka, Toyama, dan Konno menjelaskan bahwa wawasan dibagi
menjadi dua tipe, yaitu explicit knowledge dan tacit knowledge. Explicit
knowledge adalah wawasan yang dapat dinyatakan secara formal dan
bahasa sistematis; serta dibagi dalam bentuk data, rumus ilmiah,
spesifikasi, manual, dan sejenisnya. Wawasan ini dapat dengan mudah
diproses, dipindahkan, dan disimpan. Tacit knowledge adalah wawasan
yang sangat personal dan sulit untuk dirumuskan. Wawasan ini secara
mendalam berkaitan dengan aksi, prosedur, rutinitas, komitmen, ide-
ide, nilai-nilai, dan emosi (Nonaka, et al., 2000).
Sveiby (Hunt, 2003) mengatakan bahwa wawasan adalah
kemampuan untuk bertindak, bersifat tidak dapat diukur secara
langsung, dan tidak dapat diobservasi secara langsung. Wawasan
secara umum adalah keyakinan bahwa sesuatu itu benar dan terbukti
kebenarannya. Hunt (2003) menyimpulkan dari definisi tersebut,
wawasan dapat diukur menggunakan tes mengenai suatu topik di mana
tes ini harus adil dan tidak bias. Akan tetapi, mengacu pada definisi di

Bab 2 | Masyarakat dan Moderasi Beragama 25


atas, wawasan itu perlu keyakinan bahwa sesuatu itu benar dan terbukti
kebenarannya. Tes saja belum dapat menjadi tolok ukur bahwa seseorang
memiliki wawasan karena seseorang mungkin mengetahui jawaban
tes, tetapi tidak yakin dengan jawabannya. Hunt menemukan metode
pengukuran yang dapat mendeteksi dan mengidentifikasi seberapa yakin
seseorang dengan jawabannya. Metode ini adalah self-assessment computer
analyzed testing (SACAT), yaitu dengan self-assessment yang ditanyakan
sekitar 1–5 detik setelah seseorang memilih jawaban (seberapa yakin
kamu dengan jawaban tersebut?). Hunt mengklaim bahwa SACAT
dapat menyediakan pengukuran wawasan yang komprehensif dengan
mendeteksi dan mengidentifikasi keyakinan seseorang terhadap
wawasan yang dimiliki dan mendeteksi informasi yang salah dari suatu
topik (Hunt, 2003).
Wawasan masyarakat tentang moderasi beragama memiliki variasi
yang cukup beragam, baik dari kalangan moderat itu sendiri maupun
dari kalangan fundamental dan liberal. Berdasarkan hasil focus group
discussion, didapati bahwa masyarakat mengenali dan memahami konsep
moderasi beragama dengan pemahaman dan latar belakang keagamaan
yang mereka yakini. Jika dipetakan dalam sebuah konsep, akan kita
dapati beberapa keyword (kata kunci) yang muncul terkait definisi
moderasi beragama, yakni sebagai berikut.

Hospitality
(Konsep: Meleburnya Definisi Minoritas–Mayoritas)
Cukup Islam apa adanya
tidak perlu istilah lain
Tidak berlebihan
dalam beragama Inti ajaran islam
Al-Qur'an dan sunah
Toleransi Tegas dan 'Radikal'
Mengutamakan
kemanusiaan
Tidak mengusik selama
Beragama yang memudahkan tak diusik
tidak memberatkan
Agama pada posisi Agama diaplikasikan
yang sama Akimodasi agama dalam keseharian
dan budaya Mengurangi
Ketidakjelasan
dalam beragama kekerasan Jalan tengah yang tidak Fundamental
setengah-setengah
Menghormati agama lain Moderat
dalam bentuk perilaku Proses pembelajaran
dan pendewasaan Liberal
Sikap beragama
yang cari aman

Gambar 2.1 Peta Wawasan Masyarakat tentang Moderasi Beragama


(Hasil Focus Group Discusssion, 2021)

26 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


Gambar di atas menunjukkan macam-macam definisi dan
pemahaman masyarakat tentang moderasi beragama, baik yang
diutarakan dari kaum fundamental maupun kaum liberal dan moderat
itu sendiri. Di satu sisi, moderasi dipahami sebagai inti ajaran Islam
yang berpegang pada Al-Qur’an dan Sunah, di sisi lain moderasi
beragama juga dipahami sebagai sikap beragama yang tidak memiliki
kejelasan dan cenderung mencari aman. Kontradiksi wawasan moderasi
beragama tersebut kemudian dianalisis, sehingga menghasilkan
instrumen yang kemudian didistribusikan kembali kepada masyarakat.
Hasilnya tidak mengejutkan, bahwa tingkat wawasan masyarakat
mayoritas tentang moderasi beragama diklasifikasikan ke dalam kategori
rendah. Hal tersebut dikarenakan masyarakat cenderung memahami
konsep moderasi beragama, bukan dari gagasan yang dikemukakan
beberapa cendikiawan Muslim konferensi ilmiah keagamaan maupun
Kementerian Agama sendiri, akan tetapi lebih kepada memahami sesuai
dengan pemahaman keagamaan mereka masing-masing.
Rendahnya wawasan masyarakat terkait moderasi beragama di
atas, tidaklah terpaut selisih yang jauh, kategori rendah 59% dan
kategori tinggi 41% dari semua afiliasi keagamaan dan latar belakang
pendidikan yang mereka miliki. Hal tersebut menunjukkan dugaan
bahwa terdapat kebingungan di kalangan masyarakat dalam menentukan
pilihan terkait mana yang wawasan moderasi beragama dan mana
yang bukan. Sehingga, dari hasil tersebut secara tidak langsung juga
menjelaskan tentang variatifnya wawasan yang dimiliki masyarakat
tentang moderasi beragama. Langkanya kajian atau penelitian yang
menelusuri secara komprehensif tentang wawasan masyarakat terkait
moderasi beragama, menjadikan temuan ini belum mendapatkan
perbandingan yang sepadan untuk dikomparasikan. Seperti yang telah
dijelaskan terdahulu, kebanyakan penelitian moderasi beragama lebih
bersifat top-bottom, sedangkan temuan ini lebih bersifat bottom-up, yaitu
menggali dan mengeluarkan apa yang dipahami masyarakat dalam
kerangka konsep moderasi beragama itu sendiri.

B. Sikap Masyarakat
Dalam skala sikap moderasi beragama, mayoritas masyarakat juga
masuk ke dalam kategori tingkat rendah, dengan persentase 53%
kategori rendah dan 47% kategori tinggi. Sikap moderasi beragama

Bab 2 | Masyarakat dan Moderasi Beragama 27


yang rendah di kalangan mayoritas masyarakat yang menjadi responden,
merupakan perpanjangan tangan dari wawasan yang rendah tentang
moderasi beragama yang dimiliki dan dicerminkan di kalangan
masyarakat. Penelitian tentang sikap moderasi beragama di masyarakat
Indonesia pun masih menyiratkan pertanyaan-pertanyaan mendasar,
seperti apakah sikap moderat yang telah dicerminkan masyarakat itu
dikarenakan masyarakat memahami secara umum tentang moderasi
beragama ataukah masyarakat hanya mengikuti adat dan tradisi lokal
yang sudah ada. Seperti penelitian Pipit Aidul Fitriyana tahun 2020
misalnya, yang mengemukakan bahwa moderasi beragama di Kota
Ternate tidak terlepas dari integrasi agama dan budaya yang tercermin
dalam salah satu aturan dasar, pedoman, dan pengaturan tata nilai; adat
tersebutlah yang menyebabkan masyarakat adat Ternate akomodatif
terhadap budaya dan tradisi lokal (Litbangdiklat Press Kementerian
Agama, 2020). Integrasinya budaya lokal dengan agama di satu sisi
memberikan hal yang positif, tetapi di sisi lain memberikan kesulitan
untuk mengklasifikasikan suatu konsep yang dianut oleh masyarakat
terkait. Temuan penelitian ini mencoba untuk memberikan gambaran
awal kondisi sikap masyarakat terkait moderasi beragama yang ternyata
masih dalam kategori rendah, sekalipun sudah berjalan tiga tahun dari
pembuatan konsep awal serta sosialisasinya kepada masyarakat.
Sekalipun dari pemaparan di atas, diketahui bahwa wawasan dan
sikap mayoritas masyarakat (yang menjadi responden) terkait moderasi
beragama berada pada kategori rendah, hal tersebut tidak membuat
intensi mereka dalam mendukung serta menyukai tokoh-tokoh agama di
media. Hasil statistik deskriptif menunjukkan bahwa intensi masyarakat
terhadap tokoh agama, mayoritas berada pada kategori tinggi dengan
persentase 54%, sedangkan kategori rendah 46%.
Temuan tersebut menyiratkan bahwa, bagaimanapun pemahaman
dan wawasan yang dimiliki masyarakat, bagaimanapun sikap yang
mereka lakukan dalam konteks moderasi beragama, masyarakat tetap
aktif memberikan intensi mereka dalam mendukung tokoh-tokoh
agama yang menyebarkan syiar dan ajaran agama di media yang mereka
anggap moderat sesuai dengan tingkat wawasan dan sikap moderasi
beragama mereka masing-masing. Kenyataan seperti inilah yang terjadi
di kalangan masyarakat.

28 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


C. Intensi Masyarakat
Dalam aspek wawasan tentang moderasi beragama di kalangan
masyarakat, 59% berada pada ketegori rendah dan 41% berada pada
kategori tinggi. Dengan demikian, mayoritas wawasan masyarakat
tentang moderasi beragama berada pada kategori rendah. Dalam
aspek sikap masyarakat terkait moderasi beragama sebesar 53% dalam
kategori rendah dan 47% dalam kategori tinggi, sehingga mayoritas
sikap masyarakat terkait moderasi beragama juga diklasifikasikan
dalam kategori rendah. Sementara itu, intensi masyarakat terhadap
tokoh agama dalam konteks moderasi beragama menunjukkan 46%
tergolong dalam kategori rendah dan 54% termasuk ke dalam kategori
tinggi, sehingga fenomena intensi masyarakat terhadap tokoh agama
berbeda dengan kenyataan wawasan dan sikap mereka terkait moderasi
beragama.

D. Korelasi Wawasan, Sikap, dan Intensi


Melihat keterhubungan antara wawasan, sikap, dan intensi masyarakat,
dapat dikemukakan bahwa wawasan masyarakat tentang moderasi
beragama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sikap moderasi
mereka. Sejalan dengan hal tersebut, bahwa wawasan moderasi
beragama yang rendah membuat sikap masyarakat juga berada pada
kategori rendah dalam moderasi beragama. Di sisi lain, ternyata
aspek demografi (usia, jenis kelamin, dan pendidikan terakhir) tidak
memengaruhi sikap masyarakat dalam moderasi beragama, dalam artian
usia, jenis kelamin, dan pendidikan terakhir tidak menjadikan seseorang
bersikap moderat jika tidak memiliki wawasan dan pemahaman tentang
moderasi beragama juga. Variabel wawasan menjadi satu-satunya
variabel (dalam penelitian) ini yang terbukti secara empiris memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap sikap moderasi beragama di kalangan
masyarakat.
Di samping itu, hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa sikap
moderasi beragama di kalangan masyarakat memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap intensi mereka dalam menyaksikan dan mendukung
tokoh agama yang moderat. Begitu pun dengan variabel wawasan yang
menunjukkan pengaruhnya yang signifikan terhadap intensi masyarakat
dalam menyaksikan dan mendukung tokoh agama yang moderat. Di sisi

Bab 2 | Masyarakat dan Moderasi Beragama 29


lain, jenis kelamin tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
intensi masyarakat dalam menyaksikan dan mendukung tokoh agama
yang moderat, artinya baik wanita dan pria memiliki tingkat intensi yang
sama dalam menyaksikan dan mendukung tokoh agama yang moderat.
Sementara itu, usia memberikan pengaruh negatif yang signifikan
terhadap intensi masyarakat dalam menyaksikan dan mendukung tokoh
agama di media dalam konteks moderasi beragama.
Kemudian, dari latar belakang pendidikan terakhir masyarakat,
menunjukkan bahwa masyarakat yang memiliki latar belakang
pendidikan universitas Islam memiliki intensi lebih tinggi dalam
menyaksikan dan mendukung tokoh agama di media daripada masyarakat
yang berlatar belakang pendidikan universitas umum. Sementara dalam
jenjang sekolah, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara mereka
yang berlatar belakang sekolah Islam dan sekolah umum dalam tingkat
intensi menyaksikan dan mendukung tokoh agama yang moderat di
media. Selanjutnya, masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan
terakhir, universitas umum secara signifikan memiliki intensi kepada
tokoh agama dalam konteks moderasi beragama lebih tinggi dibanding
sekolah umum. Dari kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa intensi
masyarakat terhadap tokoh agama lebih jelas terlihat pada mereka yang
berlatar belakang pendidikan universitas/sekolah tinggi, bukan pada
pendidikan sekolah.
Dari uraian tersebut, dapat kita ketahui bahwa terdapat lima
aspek yang memengaruhi intensi masyarakat dalam menyaksikan dan
mendukung tokoh agama yang moderat di media, yaitu:
1. wawasan mereka tentang moderasi,
2. sikap moderasi beragama mereka,
3. usia,
4. latar belakang pendidikan sekolah (Islam–Umum), dan
5. latar belakang pendidikan universitas (Islam–Umum).
Adapun sekolah Islam ternyata pada kenyataan pengujiannya
belum menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap intensi dalam
menyaksikan dan mendukung tokoh agama yang moderat di media.
Namun, harus dipahami bahwa keterpengaruhan yang diberikan
dari masing-masing variabel terhadap intensi masyarakat dalam
menyaksikan dan mendukung tokoh agama yang moderat memiliki

30 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


proporsi yang berbeda. Aspek sikap moderasi beragama memiliki
proporsi 25,7% dan menjadikan sikap sebagai aspek tertinggi dalam
memengaruhi intensi masyarakat terhadap tokoh agama. Selanjutnya,
terdapat wawasan tentang moderasi beragama yang memberikan
sumbangan sebesar 5,3%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
aspek sikap moderasi beragama yang dimiliki masyarakat lebih
berpengaruh terhadap intensi mereka kepada tokoh agama daripada
wawasan masyarakat tentang moderasi beragama.
Sementara itu, dalam aspek demografi, usia memberikan
sumbangan sebesar 0,1%, universitas Islam memberikan sumbangan
1,1%, dan universitas umum memberikan sumbangan 1,9%. Hal
tersebut menarik, di mana pada kenyataan analisisnya, masyarakat yang
memiliki latar belakang pendidikan universitas umum memberikan
pengaruh lebih tinggi terhadap intensi mereka dalam menyaksikan
dan mendukung tokoh agama yang moderat daripada masyarakat
yang memiliki latar belakang universitas Islam. Dengan demikian,
keterpengaruhan lima variabel tersebut, jika diurutkan sesuai dengan
proporsi sumbangannya, akan menjadi sebagai berikut; sikap moderat,
wawasan moderasi beragama, universitas umum, universitas Islam, dan
usia (secara bertingkat) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
intensi masyarakat dalam menyaksikan dan mendukung tokoh agama
di media.

Bab 2 | Masyarakat dan Moderasi Beragama 31


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB 3
TOKOH AGAMA DAN
MODERASI BERAGAMA

A. Potret Tokoh Agama Indonesia


Eksistensi tokoh agama saat ini telah banyak memanfaatkan media
digital yang berkembang luas. Kata ‘media’ seiring berjalannya waktu
berubah pemahamannya, seperti pada awalnya merupakan bentuk
plural dari ‘medium’ yang memiliki makna ‘intermediasi’; ‘jalan tengah’;
atau ‘perantara’. Namun, dengan popularitas dalam penggunaannya
yang meningkat cepat sejak tahun 1950-an hingga sekarang telah
digunakan sebagai bentuk singular (Williams, 2014). Raymond Williams
menjelaskan setidaknya terdapat tiga dimensi yang dapat dipahami
dari kata ‘media’, yaitu (a) dimensi pemahaman klasik yang memaknai
‘media’ dengan kata ‘intervensi’ atau ‘agen intermediasi’; (b) dimensi
sistem dan teknik, yang memahami ‘media’ hanya pada alat penyebaran
informasi, apakah itu berbentuk print out ataukah audio ataukah video;
(c) dimensi kapitalisasi, yang memahami kata ‘media’ sebagai ‘wadah’
jasa pemberitaan berita, broadcasting, bahkan sampai pada jasa iklan
(advertising) yang sudah disiapkan dan direncanakan (Williams, 2014).
Seiring berkembangnya zaman, media sudah menjadi ruang publik yang
mana semua orang dapat dan berhak menginformasikan satu sama lain.
Media dipahami bukan hanya sebatas wadah penyampaian informasi
saja, akan tetapi dapat dilihat lebih jauh ke dalam konteks yang disajikan,
praktik sosial yang tersirat, ke mana informasi itu akan dikonsumsi, dan
dari mana asal produksinya, serta bagaimana kecenderungan konsumsi
bisa naik atau turun (Hoover, 2016).

33
Perkembangan media sampai hari ini sangatlah drastis, mengingat
media berkembang didukung oleh banyak aspek, seperti perkembangan
keilmuan, dinamika sosial, politik, ekonomi, dan kemajuan teknologi.
Mediamorphosis mungkin menjadi istilah ilmiah yang dapat mewakili
sejarah perjalanan media dari masa ke masa. Berawal dari gagasan
Roger Fidler yang mengenalkan konsep mediamorphosis pada tahun 1990
dan lanjut dengan bukunya yang terbit (Mediamorphosis; Understanding
New Media) di tahun 1997. Roger Fidler mendefinisikan mediamorphosis
sebagai proses transformasi atau perubahan media komunikasi
yang biasanya disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara rasa
kebutuhan, tekanan kompetisi dan politik, serta perubahan sosial dan
inovasi teknologi (Fidler, 1997). Sebagaimana kita ketahui bahwa 35
tahun yang lalu media yang sangat bergengsi hanyalah televisi dan radio,
di mana teknologi fiber optik network, video camera, smartphone, internet,
laptop (komputer), televisi digital, aplikasi sosial media yang berbasis
internet, dan teknologi canggih lainnya yang ada di sekitar kita belum
muncul pada saat itu. Media mengalami perubahan yang sangat drastis
hingga saat ini.

B. Antusiasme Masyarakat Terhadap Tokoh Agama


Dengan perkembangan media di atas, sehingga menimbulkan fenomena
yang disebut proses mediamorphosis yang bukan hanya berdampak pada
ruang lingkup inovasi dan teknologi semata, akan tetapi berpengaruh
pula pada sudut pandang serta perspektif sosial dan keagamaan suatu
masyarakat. Sudah banyak sekali peneliti-peneliti yang membahas
bagaimana media berkontribusi secara masif dalam mendukung
penyebaran nilai-nilai keagamaan. Seperti contoh di Indonesia misalnya,
Amirudin (2018) yang mengemukakan bahwa banyaknya tayangan-
tayangan religi yang ada di televisi Indonesia menunjukkan adanya
interaksi dinamis antara proses religiusitas dan komoditas, serta otoritas
keagamaan yang tampil di ruang media tidak dapat diputuskan relasinya
dengan realitas sosial di ruang nyata (Amirudin, 2018). Di samping itu,
program acara religi dan sinetron yang ditampilkan di televisi Indonesia
dikomersialisasi untuk menarik perhatian khalayak dan meningkatkan
rating. Sehingga, terjadi komodifikasi agama di beberapa media televisi
di Indonesia, terlebih saat momen keagamaan seperti bulan Ramadan,
komodifikasi agama di media televisi Indonesia jauh lebih tampak dan

34 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


banyak (Wibowo, 2020). Penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2021 mengeksplorasi narasi-narasi keagamaan yang ada
di platform-platform televisi Indonesia baik yang konvensional maupun
non-konvensional, hasilnya menyebutkan bahwa tingkatan narasi-narasi
keagamaan yang ada di televisi Indonesia dapat diurutkan (berdasarkan
frekuensi) seperti (1) narasi kesalehan individu; (2) narasi kesalehan
publik; (3) narasi praktik sunah, di mana urutan pertama lebih banyak
hadir daripada urutan-urutan setelahnya. Kemudian, narasi agama yang
hadir di televisi konvensional merupakan ‘agama tayangan’, sedangkan
yang hadir di televisi non-konvensional merupakan ‘agama kontekstual’,
serta narasi yang bermuatan negatif (hukuman) lebih mendominasi
daripada narasi yang bermuatan positif seperti penghargaan (PPIM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2021). Terlepas dari itu semua,
dapat digarisbawahi bahwa televisi baik konvensional maupun non-
konvensional masih menjadi media mainstream di Indonesia yang
digunakan dalam penyebaran pesan-pesan keagamaan (syiar agama)
dengan segala dinamika narasi dan pesan yang disampaikannya.
Media dengan sendirinya menimbulkan antusiasme masyarakat
terhadap tokoh-tokoh agama yang eksis di dalamnya. Hal itu dapat kita
lihat dari maraknya tokoh agama yang tampil dan terkadang mendapat
respons yang tidak sedikit dari masyarakat. Baik dalam konteks positif
maupun negatif. Antusiasme masyarakat terhadap tokoh agama di
media, merupakan hasil dari fleksibelitas tokoh-tokoh agama dalam
memanfaatkan perkembangan media dan teknologi.

C. Syiar Tokoh Agama


Selain televisi, sosial media dan juga media digital seperti website, blog,
dan lain sejenisnya, juga berkontribusi dalam syiar agama. Kehadiran
media digital membawa paradigma baru dalam menyebarkan syiar-syiar
keagamaan, dakwah, dan perilaku beragama masyarakat Indonesia.
Di samping memberikan kemudahan dalam syiar keagamaan, media
digital pun memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap
praktik dan penyebaran pemahamaan keagamaan. Heidi A. Campbell
memperkenalkan teori Religious-Social Shaping of New Media yang
mengemukakan bahwa media digital memberikan dampak yang cukup
signifikan terhadap perilaku beragama masyarakat, di antaranya adalah
pudarnya kepercayaan terhadap lembaga keagamaan, bergesernya

Bab 3 | Tokoh Agama dan Moderasi Beragama 35


otoritas keagamaan, menguatnya perilaku individualisme, dan
perubahan dari pluralisme menjadi tribalisme yang diakomodir
berdasarkan kepentingan praktis (A. Campbell, 2010).
Hal ini dirasakan juga oleh masyarakat Indonesia yang secara aktif
dan masif berkontribusi dalam media digital di kesehariannya. Narasi-
narasi media digital selalu disangkutpautkan oleh narasi keagamaan,
seperti narasi gender dan lingkungan yang dikaitkan dengan paham
keagamaan yang konservatif (Halimatusa’diyah, et al., 2020), sehingga
memunculkan justifikasi sepihak yang bersifat mendominasi ruang
digital. Lebih lanjut, A. Campbell berpendapat bahwa terdapat konsep
networked religion yang setidaknya memiliki lima ciri utama, yaitu
komunitas agama online, identitas bertingkat, pergeseran otoritas,
praktik konvergen, serta realitas multisitus yang memfokuskan diri pada
kajian keagamaan dan tren terkini dalam praktik beragama di dalam
masyarakat (Campbell, 2012).
Dari hal tersebut, dapat dipahami bahwa media membentuk
komunitas agama secara online. Dapat kita saksikan bagaimana media
memberikan wadah kepada komunitas-komunitas agama dari segala
paham keagamaan yang ada, baik fundamental, moderat, bahkan
sampai paham keagamaan yang liberal. Komunitas keagamaan tersebut
cenderung aktif dan memberikan pengaruh dalam menebarkan isi
ajarannya kepada masyarakat secara umum, sehingga tidak dapat
dihindari terkadang menjadi polarisasi atas isu agama yang berkembang.
Dinamika komunitas keagamaan online pun memiliki variasi yang
beragam, mulai dari mereka yang hanya senang dan menyaksikan untuk
pribadi sendiri, sampai pada mereka yang aktif merealisasikan ajaran
dan ajakan keagamaan yang mereka yakini. Satu komunitas keagamaan
dengan komunitas lain terkadang mengalami pergesekan, sehingga
kecenderungan terjadinya distorsi pemahaman agama yang keliru tidak
dapat dihindari.
Penelusuran syiar tokoh agama harus melalui pendalaman yang
komprehensif. Dikarenakan di zaman sekarang, apa pun yang dicari
dan dibutuhkan masyarakat pasti tidak sedikit yang disediakan di
media dengan berbagai figur tokoh agama yang tampil. Tentu ini
sangat membantu terhadap pemenuhan hajat kebutuhan pemahaman
agama masyarakat, tetapi yang perlu dikhawatirkan adalah pandangan

36 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


pragmatis praktis terhadap pemahaman agama yang membutuhkan
pendalaman untuk memahaminya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa
terkadang syiar dan konten ajaran agama mengikuti aspek viralitas isu
yang berkembang di masyarakat.

D. Tokoh Agama Moderat


Tokoh agama yang moderat menjadi suatu keniscayaan dan keharusan
di tengah identitas berjenjang dalam media online terkait konteks
keagamaan merupakan fenomena yang disebabkan oleh masifnya
masyarakat dalam mendukung ataupun berpartisipasi menyebarkan isi
ajaran tokoh-tokoh agama yang digemarinya. Terkadang hal tersebut
memberikan dampak positif, tetapi juga dapat memberikan dampak
negatif jika pada kenyataannya ajaran yang turut disebarkan cenderung
keliru dan menyebabkan perdebatan antarkomunitas agama online.
Intensi aktif yang dilakukan masyarakat terhadap tokoh agama membuat
tokoh agama di era digital cenderung dinilai dari viralitasnya, dan hal
itu yang menyebabkan terjadinya pergeseran otoritas keagamaan pada
masyarakat.

E. Peran Tokoh Agama Moderat


Pergeseran otoritas keagamaan di kalangan masyarakat merupakan
dampak dari masifnya penyebaran narasi-narasi keagamaan di media.
Masyarakat pada umumnya di masa digital ini, saat menghadapi
permasalahan kehidupan, baik itu yang berskala personal maupun
sosial, lebih mengacu dan cenderung mencari pendapat-pendapat
yang diujarkan oleh tokoh agama yang digemarinya di media daripada
harus mengklarifikasikan kepada lembaga-lembaga keagamaan formal,
seperti Majelis Ulama Indonesia misalnya. Hal tersebut di satu sisi
memberikan kesan praktis dan fleksibel dalam menangani permasalahan
keagamaan, tetapi di sisi lain menyiratkan otoritas keagamaan formal
tidak lagi memberikan dampak yang signifikan terhadap paham
keagamaan di masyarakat. Akan tetapi, perlu diketahui bahwasannya
lembaga keagamaan di Indonesia tidaklah tinggal diam saat menghadapi
arus pergeseran otoritas seperti itu. Lembaga-lembaga keagamaan di
Indonesia pun mulai aktif memberikan kontribusi dalam menyebarkan
ajaran keagamaan yang diyakini melalu media online. Hal tersebut bisa

Bab 3 | Tokoh Agama dan Moderasi Beragama 37


kita lihat bahwa kebanyakan lembaga formal memiliki lebih dari satu
media online dalam merealisasikan ajaran dan syira-nya.
Dampak selanjutnya dari media digital menurut kajian A. Campbell
adalah terjadinya praktik konvergen dan multisitus yang dilakukan
masyarakat dalam menanggapi suatu permasalahan agama tertentu.
Masyarakat cenderung melakukan komparasi antarsatu pendapat
dengan pendapat lain, dan memilih pendapat yang dirasa cocok dengan
pribadinya dan mendukung pendapatnya sendiri. Dalam fenomena
seperti inilah, kecenderungan mencari pendapat tokoh agama yang
mendukung pendapat sendiri sering terjadi. Sehingga, lintas pendapat
dan perspektif cenderung tidak berlaku dalam fenomena seperti itu.
Kecenderungan mengikuti isu atau permasalahan keagamaan
dengan pertimbangan tematik dan viralitas pun menjadi kebiasaan di
kalangan masyarakat. Seperti contoh, saat satu media online mengangkat
isu poligami misalnya, maka intensi masyarakat cenderung mengikuti
permasalahan tersebut dan mengklasifikasikan satu pendapat tokoh
dengan pendapat lainnya. Saat muncul isu baru, kecenderungan berubah
lagi. Hal tersebut memberikan kekhawatiran kurangnya penelusuran
dalam mempelajari permasalahan keagamaan secara komprehensif dan
utuh, dan juga membuat isu keagamaan dapat diatur oleh media-media
yang memang sudah memiliki popularitas yang tinggi dan menaungi
komunitas agama yang besar.
Di samping itu, media online tidak hanya memberikan wadah untuk
otoritas dan tokoh agama saja, akan tetapi siapa pun dan kapan pun
orang mampu memberikan pendapat keagamaannya sekalipun tanpa
dasar keilmuan dan pengetahuan yang memadai. Hal tersebut sering
terjadi dan terkadang intensinya cukup untuk menarik perhatian sosial,
baik secara maya maupun nyata. Media online bagaimana pun juga
memberikan dampak positif dan negatif dalam membangun budaya
dan fenomena beragama di kalangan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, jika dihubungkan dengan konteks
moderasi beragama, sudah merupakan keniscayaan bahwa narasi-narasi
moderasi beragama ikut memasuki budaya dan paradigma media digital.
Tokoh-tokoh agama yang aktif di dalam media digital, memainkan
peranan utuh dalam mendistribusikan narasi-narasi keagamaan kepada
masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Kajian terbaru terkait tokoh
agama dipetakan dengan komprehensif oleh Jihye Oh dan Jia Wang

38 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


(2020) secara empiris dari beberapa penelitian satu dekade terakhir.
Mereka mengajukan model tentang tokoh agama, meliputi komponen,
kepribadian tokoh agama, kualitas spiritual, atitude, dan sikap tokoh
agama; ajaran yang diikutinya, media yang digunakan, sampai pada
output baik dalam skala individu maupun organisasi kelembagaan (Oh
dan Wang, 2020). Berangkat dari situ, penelusuran sikap dan pandangan
dari tokoh-tokoh agama di Indonesia menjadi keniscayaan untuk dikaji
dan diteliti lebih lanjut dalam konteks moderasi beragama dan didasari
oleh nilai-nilai objektivitas dan keterkaitannya dengan partisipasi aktif
masyarakat yang mengikuti tokoh-tokoh agama tersebut.

Bab 3 | Tokoh Agama dan Moderasi Beragama 39


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB 4
MASA DEPAN MODERASI
BERAGAMA

A. Tantangan Moderasi Beragama


Moderasi beragama semenjak digaungkan dan dibukukan oleh
Kementerian Agama pada tahun 2019, bertujuan untuk menghantarkan
masyarakat kepada pemahaman beragama yang moderat, tidak ekstrem
dalam bersikap, dan tidak juga mengagungkan berpikir bebas tanpa
batas dalam rangka merealisasikan kehidupan yang rukun dan damai
dalam keragaman di Indonesia (Kementerian Agama, 2019), terlebih
lagi moderasi beragama masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia tahun 2020–2024. Di dalam
Islam sendiri, moderasi beragama dipahami secara similar dengan
konsep ‘wasathiyah’ yang mana bukanlah hal baru dalam Islam. Jika
dilihat dari perjalanannya, sudah banyak para cendikiawan Muslim
yang mengkaji, mendiskusikan, serta memublikasi pada forum-forum
nasional maupun internasional terkait konsep ‘wasathiyah’ tersebut.
Mulai dari The Charte of Moderation in Religious Practice yang digagas oleh
organisasi PERGAS Singapore tahun 2003; kemudian kita juga mengenal
The International Centre for Moderation di Kuwait tahun 2004; diteruskan
dengan The ‘Amman Message 2004; Assembly for Moderate Islamic Thought
and Culture di Yordania 2004; The Makkah Declaration, Saudi Arabia 2005.
Di samping itu, terdapat juga Al-Qardhawi’s Center for Islamic Moderation
and Renewal di Doha Qatar 2008; Global Movement of Moderates Foundation
(GMMF) di Kuala Lumpur Malaysia 2012; Institute Wasathiyyah Malaysia
(IWM) 2013; The Bogor Message di Indonesia 2018; sampai pada konsep
moderasi beragama yang dirumuskan oleh Kementerian Agama
Republik Indonesia tahun 2019.

41
Konferensi, deklarasi, serta diskusi ilmiah terkait moderasi
beragama, sudah menjadi kekhasan dalam Islam sendiri. Tidak sedikit
peneliti-peneliti yang membahas bangunan konseptual hal tersebut.
Di Indonesia misalnya, wawasan tentang moderasi beragama yang
dihadirkan, baik oleh institusi akademik maupun cendikiawan, cukup
mudah dijumpai. Seperti wawasan moderasi beragama yang dihadirkan
oleh Quraish Shihab dalam bukunya Wasathiyyah; Wawasan Islam tentang
Moderasi Beragama tahun 2020. Ia mencoba menghadirkan bagaimana
konsep wasathiyah Islam dapat menjembatani pemahaman tentang
moderasi beragama melalui pendekatan dan kajian Al-Qur’an. Di sisi lain,
Suhartawan dalam penelitiannya mengemukakan bahwa wawasan yang
terkandung dalam Al-Qur’an tentang moderasi beragama mengarahkan
manusia agar dapat memaksimalkan manfaat kelembagaan agama dan
negara; mendidik generasi mendatang; membangun kerja sama lintas
generasi; meningkatkan serta memperbaiki kualitas pemahaman agama
yang lebih terbuka; dan juga menciptakan budaya dialog antara tokoh
agama dan tokoh negara (Suhartawan, 2021).
Dengan fenomena di atas, yang menjadi permasalahan adalah
bahwa selama ini konsep moderasi beragama terkesan memiliki siklus
top-bottom. Di mana para cendikiawan, negarawan, dan akademisi
menawarkan sebuah konsep tentang moderasi beragama yang sudah
dianggap cukup matang untuk dapat disosialisasikan dan direalisasikan
di dalam kehidupan bermasyarakat tanpa ada pertimbangan menggali
lebih dalam wawasan dan pengetahuan masyarakat terlebih dahulu
tentang konsep moderasi beragama itu sendiri. Penelitian-penelitian
yang melibatkan masyarakat tentang moderasi beragama, selama ini
dirasa masih kurang komprehensif dan cenderung bersifat observasi atas
praktik-praktik agama dan budaya yang sudah kental di masyarakat, tanpa
mendalami lebih lanjut apakah masyarakat memiliki pemahaman dan
wawasan yang memadai dalam memaknai konsep moderasi beragama
tersebut. Kita ambil contoh, beberapa penelitian yang diwadahi oleh
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI tahun 2020 misalnya,
dalam dokumentasi bukunya yang berjudul Dinamika Moderasi Beragama
di Indonesia, beberapa peneliti mencoba menggali praktik moderasi
beragama dengan pendekatan geografis mengikuti konsep yang sudah
dirumuskan oleh Kementerian Agama sendiri (empat dimensi/indikator
moderasi beragama). Secara singkat, laporan penelitian tersebut

42 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


mengemukakan fenomena moderasi beragama di beberapa daerah di
Indonesia (Bangka Belitung, Jawa Timur, Kota Bekasi, Kota Denpasar,
Kota Makassar, Kota Ternate, Kota Tual, dan Kota Lasem) dengan objek
hubungan antarumat beragama, hubungan internal umat beragama,
dan multikulturalisme umat beragama dengan melihat cara pandang,
sikap, dan praktik beragama masyarakat dan menggali relasi antara
agama dan budaya (Litbangdiklat Press, 2020). Hal yang tersirat dari
laporan penelitian tersebut adalah bahwa penelitian tersebut cenderung
bersifat dokumentasi observasi terhadap praktik budaya dan agama
yang mendukung konsep moderasi beragama yang dijadikan pendekatan
dalam melihat fenomena masyarakat tersebut. Tidak menghadirkan
bagaimana masyarakat mendefinisikan serta memahami secara
komprehensif istilah ‘moderasi beragama’. Bukankah definisi terkait
moderasi beragama menurut perspektif masyarakat itu hal patut untuk
dipertimbangkan, bagaimana masyarakat dapat menilai serta melihat
persilangan dimensi antara agama dan budaya? Sejauh penelusuran
penelitian-penelitian belakangan ini, belum didapati penelitian yang
membahas serta mengemukakan pemahaman masyarakat terkait
moderasi beragama itu sendiri. Akan tetapi, yang banyak beredar adalah
penelitian yang mencoba mengeksplorasi bagaimana suatu konsep
moderasi beragama yang dihadirkan (baik itu dari institusi pemerintah
maupun akademik) itu sepadan atau tidak terhadap praktik-praktik
agama ataupun budaya yang ada di masyarakat.
Wawasan masyarakat terkait moderasi beragama perlu digali lebih
jauh mengingat hubungannya dengan sikap masyarakat itu sendiri. Di
sini harus dibedakan antara pemahaman moderasi beragama dengan
pemahaman keagamaan masyarakat. Dikarenakan beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemahaman keagamaan yang baik terkadang belum
merepresentasikan pemahaman dan kesadaran moderasi beragama yang
baik pula. Hasil penelitian terbaru misalnya, yang meneliti generasi
Z dengan anggapan bahwa mereka selalu mengonsumsi informasi
keagamaan melalui media digital menunjukkan bahwa pemahaman
remaja di tiga kota besar Jawa Barat (Bandung, Depok, dan Bogor)
terkait moderasi beragama masih di bawah rata-rata, sedangkan
pemahaman tentang agama mereka dianggap baik (Adawiyah, et al.,
2021). Dari fenomena tersebut, hubungan antara pemahaman agama
seseorang belum dapat dipastikan berkorelasi dengan kesadaran

Bab 4 | Masa Depan Moderasi Beragama 43


mereka tentang moderasi beragama. Masifnya pemahaman keagamaan
yang beragam tidak terlepas dari masifnya penggunaan media dalam
beragama (menyebarkan ajaran keagamaan).
Hadirnya sosial media saat ini, di samping memberikan kemudahan
dalam menyebarkan nilai-nilai keagamaan (Rustandi, 2020), ia juga
mampu menjadi arena kontes dan kompetisi narasi keagamaan yang
bersifat praktis dan cenderung menuju ke arah pemahaman agama
yang eksklusif (Hefni, 2020). Survei PPIM UIN Jakarta tahun 2020
menyebutkan bahwa dalam dunia maya, pemahaman keagamaan lebih
didominasi oleh paham konservatisme daripada pemahaman yang
moderat (Halimatusa’diyah, et al., 2020). Pemahaman keagamaan yang
ekslusif dan konservatif dapat mengarahkan seseorang memiliki pola
pikir yang kaku dan statis, yang kemudian tidak menutup kemungkinan
menimbulkan sikap intoleran dalam kesehariannya.
Media digital laksana meja jamuan narasi keagamaan yang bebas
akses dan sering kali dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk
menyebarkan konflik dan menghidupkan politik identitas yang
ditandai dengan pudarnya afiliasi terhadap lembaga keagamaan,
bergesernya otoritas keagamaan, menguatnya individualisme,
dan perubahan dari pluralisme menjadi tribalisme (Hefni, 2020).
Pengemasan bahasa agama di media digital terkadang merupakan
realitas subjektif, sehingga membuat bahasa agama menjadi sebuah
imagologi keagamaan yang berada pada tatanan ambiguitas (Fakhruroji,
et al., 2020). Dengan fenomena seperti itu, menjadikan media digital
cenderung memproyeksikan masyarakat pada pemahaman keagamaan
yang kurang komprehensif dan jauh dari pemahaman agama yang
substantif dan esensial, moderat, serta toleran. Oleh karena itu,
diperlukan peranan aktif masyarakat dan tokoh-tokoh agama dalam
rangka menumbuhkembangkan gagasan moderasi beragama kepada
masyarakat (Akhmadi, 2019); dan juga mengimbangi narasi keagamaan
yang beredar pesat di media-media digital. Kehadiran tokoh-tokoh
agama yang aktif di dalam media digital merebak pesat, mengingat
media digital sudah menjadi metode kontemporer dalam penyebaran
pesan-pesan dakwah keagamaan secara masif (Rustandi, 2020). Dengan
demikian, kebutuhan akan pemahaman moderasi beragama oleh tokoh
agama dan dengan bimbingan akan hal tersebut, sangat dibutuhkan guna
membina kemajemukan masyarakat yang ada. Akan tetapi, hal tersebut

44 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


mungkin tidak akan cukup disukai oleh kaum fundamentalis (Menski,
2018), terlebih masifnya peranan media elektronik (serta perkembangan
dunia digital sosial media) memainkan narasi keagamaan di masyarakat.
Dapat digarisbawahi, bahwa moderasi beragama bukanlah tujuan
akhir. Melainkan pintu masuk untuk merealisasikan harmonisasi
kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia maupun dunia.
Sehingga, tantangan nyatanya adalah bagaimana moderasi beragama
mampu dipahami oleh mayoritas masyarakat Indonesia dengan
tidak menjadi senjata makan tuan yang dapat merugikan komunitas-
komunitas agama yang ada.

B. Partisipasi Aktif Moderasi Beragama


Berdasarkan hasil penelitian Latifa, et.al (2022), ditemukan wawasan
tentang moderasi beragama di kalangan masyarakat, 59% berada pada
ketegori rendah dan 41% berada pada kategori tinggi. Dengan demikian,
mayoritas wawasan masyarakat tentang moderasi beragama berada
pada kategori rendah. Dalam aspek sikap masyarakat terkait moderasi
beragama sebesar 53% dalam kategori rendah dan 47% dalam kategori
tinggi, sehingga mayoritas sikap masyarakat terkait moderasi beragama
juga diklasifikasikan dalam kategori rendah. Sementara itu, intensi
masyarakat terhadap tokoh agama moderat menunjukkan 46% tergolong
dalam kategori rendah dan 54% termasuk ke dalam kategori tinggi.
Kemudian, berdasarkan hasil uji hipotesis, penelitian tersebut
ditemukan pengaruh yang signifikan pada variabel wawasan moderasi
beragama yang dimiliki masyarakat terhadap sikap moderasi beragama
mereka. Sementara variabel demografi yang meliputi usia, jenis kelamin,
dan pendidikan terakhir tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap sikap masyarakat dalam konteks demografi. Dengan kata lain,
sikap moderasi beragama terbentuk dan terpengaruh secara signifikan
oleh wawasan tentang moderasi beragama itu sendiri, makin tinggi
wawasan moderasi beragama yang dimiliki maka akan berpengaruh
tinggi terhadap sikap moderasi.
Dalam intensi masyarakat terhadap tokoh agama di media secara
signifikan dipengaruhi oleh sikap moderasi, wawasan tentang moderasi,
latar belakang pendidikan terakhir yang meliputi universitas umum
dan universitas Islam, serta usia. Dengan proporsi sumbangan sikap

Bab 4 | Masa Depan Moderasi Beragama 45


25,7%, wawasan 5,3%, latar belakang universitas umum 1,9%, latar
belakang universitas Islam 1,1%, dan usia 0,1%. Dengan kata lain,
intensi masyarakat terhadap tokoh agama yang moderat lebih banyak
dipengaruhi oleh sikap masyarakat yang berkaitan dengan moderasi
beragama. Aspek sikap lebih tinggi proporsi keterpengaruhannya
terhadap intensi masyarakat kepada tokoh agama di media.
Hal tersebut menunjukkan bahwa wawasan dan sikap masyarakat
tentang moderasi beragama berpengaruh secara signifikan terhadap
intensi mereka dalam menyaksikan dan mendukung tokoh agama yang
moderat. Sementara itu, dalam aspek demografinya, hanya variabel usia
dan latar belakang pendidikan (universitas umum dan universitas Islam)
yang berkontribusi memberikan pengaruh terhadap intensi menyaksikan
dan mendukung tokoh agama yang moderat.

46 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


DAFTAR PUSTAKA

A. Campbell, H. (2010). When Religion Meets New Media (First).


Routledge/Taylor & Francis Group.
Abidin, A. Z. (2021). Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam
Permendikbud No. 37 Tahun 2018. Jira: Jurnal Inovasi dan Riset
Akademik, 2(5), 729–736, https://Doi.Org/10.47387/Jira.V2i5.135.
Adawiyah, R. A., Tobing, C. I., & Handayani, O. (2021). Pemahaman
Moderasi Beragama dan Perilaku Intoleran Terhadap Remaja di
Kota-kota Besar di Jawa Barat. Jurnal Keamanan Nasional, 6(2),
161–183, https://Doi.Org/10.31599/Jkn.V6i2.470.
Adeel, M. A. (2019). Epistemology of The Quran: Elements of a Virtue Approach
to Knowledge and Understanding (Vol. 29). Springer International
Publishing, https://Doi.Org/10.1007/978-3-030-17558-0.
Ajzen, I. (1991). The Theory of Planned Behavior. Organizational
Behavior and Human Decision Processes, 50, 179–211, https://Doi.
Org/10.4135/9781446249215.N22.
Ajzen, I. (2005). Attitudes, Personality and Behaviour: Second Edition (2nd
Ed.). Open Univerisity Press.
Ajzen, I., & Madden, T. J. (1986). Prediction of Goal-Directed Behavior:
Attitudes, Intentions, and Perceived Behavioral Control. Journal
of Experimental Social Psychology, 22(5), 453–474, https://Doi.
Org/10.1016/0022-1031(86)90045-4.
Akhmadi, A. (2019). Moderasi Beragama dalam Keragaman Indonesia
Religious Moderation in Indonesia’s Diversity. 13(2), 11.

47
Ali, N. (2020). Measuring Religious Moderation Among Muslim
Students at Public Colleges in Kalimantan Facing Disruption Era.
Inferensi: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 14(1), 1–24, https://Doi.
Org/10.18326/Infsl3.V14i1.1-24.
Aminuddin, A. T. (2017). Instagram: Bingkai Kasus Agama di Media
Sosial. Jurnal The Messenger, 9(2), 163, https://Doi.Org/10.26623/
Themessenger.V9i2.403.
Amirudin. (2018). Antropologi Media: Agama & Produksi Budaya di Layar
Kaca (1st Ed.). Semarang: Undip Press.
Ardi, R., Tobing, D. H., Agustina, G. N., Iswahyudi, A. F., & Budiarti, D.
(2021). Religious Schema and Tolerance Towards Alienated Groups
in Indonesia. Heliyon, 7(7), E07603, https://Doi.Org/10.1016/J.
Heliyon.2021.E07603.
Blakemore, S. J., & Decety, J. (2001). From The Perception of Action to
The Understanding of Intention. Nature Reviews Neuroscience, 2(8),
561–567, https://Doi.Org/10.1038/35086023.
Bolisani, E., & Bratianu, C. (2018). The Elusive Definition of Knowledge.
In Knowledge Management and Organizational Learning (Vol. 4, Issue
December 2017), https://Doi.Org/10.1007/978-3-319-60657-6_1.
Browers, M. (2011). Official Islam and The Limits of Communicative
Action: The Paradox of The Amman Message. Third World Quarterly,
32(5), 943–958, https://Doi.Org/10.1080/01436597.2011.578969.
Bruinessen, M. V. (2013). Contemporary Developments in Indonesian Islam
Explaining The “Conservative Turn”. Iseas Publishing.
Campbell, H. A. (2012). Understanding The Relationship Between
Religion Online and Offline in a Networked Society. Journal
of The American Academy of Religion, 80(1), 64–93, https://Doi.
Org/10.1093/Jaarel/Lfr074.
De Jong, T., & Ferguson-Hessler, M. G. (1995). Types and Qualities of
Knowledge. Educational Psychologist, 31(2), 105–113, https://Doi.
Org/10.4324/9780203764596.
Fahri, M., & Zainuri, A. (2019). Moderasi Beragama di Indonesia. 25(2), 6.
Fakhruroji, Moch., Rustandi, R., & Busro, B. (2020). Bahasa Agama di
Media Sosial: Analisis Framing pada Media Sosial “Islam Populer.”
Jurnal Bimas Islam, 13(2), 203–234, https://Doi.Org/10.37302/Jbi.
V13i2.294.

48 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


Fidler, R. (1997). Mediamorphosis: Understanding New Media. Pine Forge
Press, A Sage Publications Company.
Gusti, A. (2016). The Relationship of Knowledge, Attitudes, and Behavioral
Intentions of Sustainable Waste Management on Primary School Students
in City of Padang, Indonesia. 11(5), 1323–1332.
Gutkowski, S. (2016). We are The Very Model of a Moderate
Muslim State: The Amman Messages and Jordan’s Foreign
Policy. International Relations, 30(2), 206–226, https://Doi.
Org/10.1177/0047117815598352.
Habibi, M. (2018). Optimalisasi Dakwah Melalui Media Sosial di Era Milenial.
12, 16.
Halimatusa’diyah, I., Sutanto, T., Nur Jannah, A., Awaludin, A., & Imam
Fauzy, F. (2020). Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan
Keagamaan di Indonesia (Merit Report No. 1; Vol.1). PPIM UIN Jakarta.
Https://Ppim.Uinjkt.Ac.Id/Wp-Content/Uploads/2020/11/Merit-
Report_Beragama-Di-Dunia-Maya_072320.Pdf.
Hefni, W. (2020). Moderasi Beragama dalam Ruang Digital: Studi
Pengarusutamaan Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam Negeri. Jurnal Bimas Islam, 13(1), 1–22, https://
Doi.Org/10.37302/Jbi.V13i1.182.
Hoover, S. M. (Ed.). (2016). The Media and Religious Authority. Penn State
University Press, https://Doi.Org/10.5325/J.Ctv14gp1zt.
Hunt, D. P. (2003). The Concept of Knowledge and How to Measure
it. Journal of Intellectual Capital, 4(1), 100–113, https://Doi.
Org/10.1108/14691930310455414.
Imelia, R., & Ruswanti, E. (2017). Factors Affecting Purchase Intention of
Electronic House Wares in Indonesia. 6(2), 37–44.
Junaedi, E. (2019). Inilah Moderasi Beragama Perspektif Kementerian Agama.
18(2), 10.
Kamali, M. H. (2015). The Middle Path of Moderation in Islam: The Qurʼānic
Principle of Wasaṭiyyah. Oxford University Press.
Kanas, A., Scheepers, P., & Sterkens, C. (2015). Interreligious Contact,
Perceived Group Threat, and Perceived Discrimination: Predicting
Negative Attitudes Among Religious Minorities and Majorities in
Indonesia. Social Psychology Quarterly, 78(2), 102–126, https://Doi.
Org/10.1177/0190272514564790.

Daftar Pustaka 49
Kementerian Agama (Ed.). (2019). Moderasi Beragama (Cetakan
Pertama). Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI.
Kementerian Agama. (2020). Dinamika Moderasi Beragama di Indonesia.
Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI.
Koentjaraningrat. (1985). Pengantar Ilmu Antropologi (V). Aksara Baru.
Kumar, R., & Ramendran, C. (2014). A Study on Turnover Intention in
Fast Food Industry: Employees’ Fit to The Organizational Culture
and The Important of Their Commitment. Institute for Humanities
and Social Sciences, 15(3), 291–318, https://Doi.Org/10.15818/
Ihss.2014.15.3.291.
Latifa, Rena, Muhamad Fahri, Imam Subchi, and Naufal Fadhil
Mahida. (2022). “The Intention of Becoming Religiously
Moderate in Indonesian Muslims: Do Knowledge and Attitude
Interfere?” Religions 13, No. 6: 540, https://doi.org/10.3390/
rel13060540.
Maghfiroh, S. L., Rohmah, S., & Hamdan Yuwafik, M. (2020).
Reinterpretasi Makna Moderasi Beragama dalam Konteks Era Pasca
Kebenaran (Post-Truth). Hikmah, Uin Sunan Ampel Surabaya, Vol. 14
(No. 2), 199–230.
Maichum, K., Parichatnon, S., & Peng, K. (2016). Application of
The Extended Theory of Planned Behavior Model to Investigate
Purchase Intention of Green Products Among Thai Consumers,
1–20, https://Doi.Org/10.3390/Su8101077.
Mccaffery, K., Wardle, J., & Waller, J. (2003). Knowledge, Attitudes,
and Behavioral Intentions in Relation to The Early Detection of
Colorectal Cancer in The United Kingdom. Preventive Medicine,
36(5), 525–535, https://Doi.Org/10.1016/S0091-7435(03)00016-
1.
Menski, W. (2018). Religion, Governance and The Need for Plurality-
Conscious Moderation. South Asia Research, 38(1), 92–102, https://
Doi.Org/10.1177/0262728017725647.
Mohajan, K. H. (2016). Knowledge is an Essential Element at Present
World Knowledge is an Essential Element at Present World.
International Journal of Publication and Social Studies, 1(1), 31–53.
Mohd Khambali, K., Sintang, S., Awang, A., Mat Karim, K. N., Abdul
Rahman, N. F., Wan Ramli, W. A., Senin, N., Zainal Abidin, A., Ismail,

50 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


A. Z., Wan Ali, W. Z. K., & Md. Noor, R. (2017). Al-Wasatiyyah in
The Practice of Religious Tolerance Among The Families of New
Muslims in Sustaining a Well-Being Society. Humanomics, 33(2),
211–220, https://Doi.Org/10.1108/H-02-2017-0025.
Munir, M. B. (2020). Tingkat Pemahaman Moderasi Beragama serta
Korelasinya Terhadap Pengaruh Kesehatan Mental, Keaktifan
Berorganisasi dan Prestasi Akademik. Prociding Nasional Pascasarjana
IAIN Kediri, Vol. 3.
Nasimi, M. H., Nasimi, S., Kasmaei, M. S., Kasmaei, H. S., Basirian, F.,
& Musapour, H. (2013). Knowledge Management and Competitive
Advantage for Organizations. Kuwait Chapter of Arabian Journal
of Business and Management Review, 2(5), 56–64, https://Doi.
Org/10.12816/0001188.
Nasrullah, R. (2016). Meme dan Islam: Simulakra Bahasa Agama di Media
Sosial. 16.
Nonaka, I., Toyama, R., & Konno, N. (2000). Seci, Ba and Leadership: a
Uni ® Ed Model of Dynamic Knowledge Creation. 33, 5–34.
Oh, J., & Wang, J. (2020). Spiritual Leadership: Current Status and
Agenda for Future Research and Practice. Journal of Management,
Spirituality & Religion, 17 (3), 223–248, https://Doi.Org/10.1080/
14766086.2020.1728568.
Olson, D. R., & Astington, J. W. (1993). Thinking about Thinking: Learning
How to Take Statements and Hold Beliefs. Educational Psychologist,
28(1), 7–23, https://Doi.Org/10.1207/S15326985ep2801_2.
Petras, J. (2011, December 15). The Washington “Moderate Islam”
Alliance: Containing Rebellion Defending Empire-Critical
Analysis. Axis of Logicd, http://Axisoflogic.Com/Artman/Publish/
Article_64158.Shtml.
Pratama, D. (2020). Pengembangan Skala Thurstone Metode Equal
Appearing Interval untuk Mengukur Sikap Moderasi Beragama
Siswa Sekolah Menengah Atas. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan,
11(1), 71, https://Doi.Org/10.26740/Jptt.V11n1.P71-82.
Ramadhan, J., & Syauqillah, M. (2018). An Order to Build The Resilience in
The Muslim World Againsts Islamophobia: The Advantage of Bogor Message
in Diplomacy World & Islamic Studies. 5(2), 22.

Daftar Pustaka 51
Ramayah, T., Lee, J. W. C., & Lim, S. (2012). Sustaining The
Environment Through Recycling: an Empirical Study. Journal
of Environmental Management, 102, 141–147, https://Doi.
Org/10.1016/J.Jenvman.2012.02.025.
Riniti Rahayu, L., & Surya Wedra Lesmana, P. (2020). Potensi
Peran Perempuan dalam Mewujudkan Moderasi Beragama di
Indonesia. Pustaka : Jurnal Ilmu-ilmu Budaya, 20(1), 31, https://Doi.
Org/10.24843/Pjiib.2020.V20.I01.P05.
Rustandi, R. (2020). Cyberdakwah: Internet Sebagai Media Baru dalam
Sistem Komunikasi Dakwah Islam. Nalar: Jurnal Peradaban dan
Pemikiran Islam, 3(2), 84–95, https://Doi.Org/10.23971/Njppi.
V3i2.1678.
Salamah, N., Nugroho, M. A., & Nugroho, P. (2020). Upaya Menyemai
Moderasi Beragama Mahasiswa IAIN Kudus Melalui Paradigma
Ilmu Islam Terapan. Quality, 8(2), 269, https://Doi.Org/10.21043/
Quality.V8i2.7517.
Suhartawan, B. (2021). Wawasan Al-Qur’an tentang Moderasi Beragama.
1(2), 50–64.
Sutrisno, E. (2019). Aktualisasi Moderasi Beragama di Lembaga
Pendidikan. Jurnal Bimas Islam, 12(2), 323–348, https://Doi.
Org/10.37302/Jbi.V12i2.113.
Ulinnuha, M., & Nafisah, M. (2020). Moderasi Beragama Perspektif
Hasbi Ash-Shiddieqy, Hamka, dan Quraish Shihab. Suhuf, 13(1),
55–76, https://Doi.Org/10.22548/Shf.V13i1.519.
Velleman, D. (1991). Philosophical Review Intention, Plans, and
Practical Reason. The Philosophical Review, 100(2), 277–284.
Wahab, N. A., & Muhamad, N. (2019). Media Sosial Sebagai Medium
Dakwah Masa Kini [Social Media As A Medium Dakwah Nowadays]. 2, 11.
Wibowo, A. (2019). Kampanye Moderasi Beragama di Facebook:
Bentuk dan Strategi Pesan. Edugama: Jurnal Kependidikan dan Sosial
Keagamaan, 5(2), 85–103, https://Doi.Org/10.32923/Edugama.
V5i2.971.
Wibowo, A. (2020). Komodifikasi Agama: Studi Analisis Terhadap
Tampilan Agama di Media Televisi. Edugama: Jurnal Kependidikan
dan Sosial Keagamaan, 6(1), 56–74, https://Doi.Org/10.32923/
Edugama.V6i1.1325.

52 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat


Williams, R. (2014). Keywords: A Vocabulary of Culture and Society (New
Edition). Oxford University Press.
Yaakub, M. B., Othman, K., & Nik Nazli, N. N. (2019). Islamic
Moderation (Wasatiyyah) Manifestation of Practices: an Elaboration
of its Degree of Effectiveness. Humanities & Social Sciences Reviews,
7(1), 171–179, https://Doi.Org/10.18510/Hssr.2019.7121.
Yates, G. C. R., & Chandler, M. (1991). The Cognitive Psychology of
Knowledge: Basic Research Findings and Educational Implications.
Australian Journal of Education, 35(2), 131–153, https://Doi.
Org/10.1177/000494419103500203.
Yusnawati, Y., Wira, A., & Afriwardi, A. (2021). Internalisasi Nilai-
nilai Moderasi Beragama di Instagram. Tatar Pasundan: Jurnal
Diklat Keagamaan, 15(1), 01–09, https://Doi.Org/10.38075/
Tp.V15i1.178.
Zuhriah, A. M. (2020). Tokoh Agama dalam Pendidikan Toleransi
Beragama di Kabupaten Lumajang. Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan
Islam, 13(1), 56, https://Doi.Org/10.36835/Tarbiyatuna.V13i1.609.
Zulkifli, & Sa’diyah, S. (2020). Religiusitas, Moderasi dan Toleransi
Beragama Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri.
Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen) LP2M UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 117.

Daftar Pustaka 53
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BIODATA PENULIS

Dr. Rena Latifa, M.Psi., merupakan dosen


Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, kelahiran Jakarta, 29 September 1982.
Sekarang ia menjabat sebagai Ketua Program Studi
Psikologi Strata 1. Jenjang pendidikan yang ia
tempuh sebelumnya adalah S1 Psikologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta; S2 Magister Profesi
Psikologi Klinis Universitas Indonesia; dan S3
Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung. Dalam perjalanannya, ia
aktif menulis berbagai macam artikel ilmiah yang fokus pada kajian
psikologi, pendidikan, dan agama; dan terpublikasi pada jurnal-jurnal
terakreditasi, baik nasional maupun internasional; serta beberapa buku
seperti Bunga Rampai Psikologi Positif, Psikologi Emosi, Modifikasi Perilaku,
Kesehatan Mental, dan lainnya. Di samping itu, dalam pengalamannya,
ia juga aktif secara profesional di lembaga-lembaga internasional dan
nasional, seperti Member of Division 36 American Psychological Association
(APA) (Psychology of Religion); Indonesian Clinical Psychologist Association;
dan lainnya. Ia juga merupakan editor dan reviewer pada jurnal ilmiah
JP3I (Jurnal Pengukuran Psikologi dan Pendidikan Indonesia; SINTA
2), dan reviewer di berbagai jurnal ilmiah lain, seperti Psikis Journal,
UIN Palembang (national accredited, SINTA 2); Journal An-Nafs, IAI
Tribakti Kediri (national accredited, SINTA 2); serta Journal of Religion
and Health (Scopus Q1), Archive of Psychology of Religion (Scopus
Q1), Religions (Scopus Q1), dan lainnya. Di samping itu, ia juga aktif

55
menjalin kerja sama dalam penelitian dan penulisan dengan akademisi,
baik dalam maupun luar negeri.

Muhamad Fahri, M.Pd., merupakan dosen UIN


Syarif Hidayatullah Jakarta, kelahiran Tangerang,
1 September 1992. Telah menyelesaikan pendidikan
pada jenjang S2 Magister Pendidikan Bahasa Arab,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta; S1 Pendidikan Bahasa Arab,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Aktif pada unit Pusat
Pengembangan Bahasa–UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta
memberikan asistensi kepada dosen dan guru besar, baik dalam
pengajaran, penelitian, dan penulisan dalam bidang kebahasaan, kajian
Islam, dan keagamaan.

56 Moderasi Beragama: Potret Wawasan, Sikap, dan Intensi Masyarakat

Anda mungkin juga menyukai