Abstrak
Sekolah sebagai lingkungan pendidikan formal bertanggungjawab atas terselenggaranya pendidikan
karakter bagi peserta didik. Salah satu nilai yang ingin dikuatkan dalam pendidikan karakter adalah
sikap toleransi dalam masyarakat. Tamasya Lintas Agama menjadi salah satu alternatif inovasi
pembelajaran dengan metode Object-Based Learning sebagai sarana untuk menguatkan sikap
toleransi beragama dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti bagi peserta
didik kelas XII. Data yang digunakan dalam tulisan ini diambil dengan metode studi pustaka dan
kuesioner. Kegiatan Tamasya Lintas Agama diharapkan dapat membangun sikap toleransi beragama
agar peserta didik siap untuk terjun dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam.
Kata kunci: Pendidikan Karakter, Tamasya Lintas Agama, Object-Based Learning, Inovasi
Pembelajaran, Toleransi Beragama
Sikap toleransi beragama di Indonesia dalam beberapa tahun ini menjadi semakin penting dan
mendesak. Apalagi, ditambah dengan adanya berbagai kasus sektarianisme, radikalisme, dan
fundamentalisme yang menggerogoti pandangan generasi muda dewasa ini. Berbagai metode dan
1
http://bphn.go.id/data/documents/butir-butir_pancasila_1.doc. Diakses 8 Mei 2021.
pendekatan telah ditempuh, khususnya di ranah formal untuk membangun dan mengembangkan sikap
toleransi beragama. Kementerian Agama telah mengeluarkan suatu terbitan yang diberi judul
Moderasi Beragama sebagai terobosan penting untuk mengembangkan proses memahami sekaligus
mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku yang menyimpang
yang tidak ada di ajarkan di dalam agama. Secara khusus, moderasi beragama dirumuskan sebagai
berikut:
“Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara
pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang
lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik
beragama ini niscaya akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan
sikap revolusioner dalam beragama.”2
Dalam ranah pendidikan, salah satu cara untuk membangun sikap toleransi beragama adalah
melalui pembelajaran secara formal di sekolah, khususnya melalui penguatan pendidikan karakter.
Sekolah sebagai tempat pendidikan formal memiliki tanggung jawab yang besar untuk membangun
pendidikan karakter pada setiap siswa. Apalagi, pemerintah sudah mengeluarkan dasar hukum
berkenaan dengan tanggung jawab sekolah terhadap penguatan pendidikan karakter melalui
Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan
Formal. Melalui aturan tersebut, sekolah diberi kewajiban untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila
untuk membangun dan mengembangkan karakter siswa yang menjadi sasaran pelayannya, seperti
disebutkan sebagai berikut:
Penguatan pendidikan karakter di sekolah memiliki kaitan erat dengan penanaman nilai moral. Di
sekolah, ada beberapa mata pelajaran yang memiliki esensi moral secara kuat antara lain Pendidikan
Kewarganegaraan serta Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Mata Pelajaran Pendidikan Agama
Katolik dan Budi Pekerti, sebagai bagian dari mata pelajaran yang memiliki esensi moral, menjadi
salah satu mata pelajaran yang bertanggungjawab atas penguatan pendidikan karakter siswa di
sekolah.
Salah satu terobosan yang pernah dilakukan dalam mengupayakan sikap toleransi beragama
sebagai salah satu nilai karakter di adalah dengan penggunaan metode Object-Based Learning -
2
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Moderasi Beragama. Jakarta: Kementerian Agama RI. 2019. Hal. 18.
3
Lih. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan
Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal Pasal 2 Ayat 1
selanjutnya disebut dengan OBL - terhadap rumah ibadah atau tempat religius. Penggunaan metode
OBL tempat religius menarik untuk dikaji secara mendalam karena metode ini dirasakan dapat
membuka pemahaman dan wawasan siswa-siswi dalam upaya membangun sikap toleransi beragama.
OBL menjadi semacam “travelling cultures” atau tamasya lintas budaya (dan agama) untuk
membangun sikap toleransi beragama. Dalam perspektif Michael Grimmitt, seperti yang diungkapkan
oleh Purwono Nugroho Adhi, OBL ke tempat religius dapat menjadi jalinan pemahaman inter
subjektif (intersubjective understanding), sehingga bisa menjadi semacam daya konstruktivisme
dalam pendidikan. Artinya, seseorang akan mendapatkan pemahaman baru dari yang telah dilihat dan
dipelajarinya dengan belajar melalui OBL tempat religius, baik benda-benda yang ada, maupun
suasana yang dibangunnya4. Tulisan ini akan memaparkan secara lebih mendalam, bagaimana OBL
tempat religius dapat digunakan untuk membangun sikap toleransi beragama. Tulisan ini akan
menyinggung tawaran metodologis dengan catatan teoritis, contoh praksis yang pernah dilaksanakan
bersama peserta didik kelas XII SMK Negeri 3 Surakarta, serta refleksi mereka atas pengalaman OBL
yang telah mereka lakukan.
4
Th.Aq. Purwono Nugroho Adhi. Penggunaan Object-Based Learning (OBL) Museum Sejarah Bangsa dan Tempat-
tempat Wisata Religius untuk Membangun Kesadaran Multikultural. Pro Manuscripto. Tanpa tempat, tanggal, dan tahun.
5
Rosalind Duhs. “Eyes On! Hands On! Museums and collections for higher order learning” dalam EDUCATIONAL
DEVELOPMENTS, The Magazine of the Staff and Educational Development Association Ltd (SEDA) Issue 10.2 June
2009. https://www.seda.ac.uk/resources/files/publications_113_Educational%20Dev%2010.2%20v2%20(final).pdf.
Diakses 8 Mei 2021.
guru adalah lebih pada memfasilitasi pembelajaran daripada mentransfer pengetahuan. Penerusan
pengetahuan dianggap sebagai suatu hal yang problematis karena pembelajar tidak dapat “disuapi”
oleh pengetahuan orang lain. Pembelajar sudah seharusnya membangun pengetahuan mereka sendiri.
Melalui OBL, peserta didik diberi kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan cara
mengeksplorasi objek sedemikian rupa dan mengakomodasi segala informasi yang ada sehingga
mendapatkan konsep tertentu dan mampu mengorganisasikan konsep tersebut secara mandiri6.
Melalui OBL, peserta didik diajak untuk menggunakan koleksi museum sebagai sarana untuk
menstimulasi dan menginspirasi pembelajaran sehingga mereka dapat membangun pemahaman
pengetahuan pribadi mereka sendiri. Objek menjadi sebuah media dialog untuk merangsang mereka
memahami dan memaknai sesuatu yang lebih besar lagi. Objek menjadi alat untuk berpikir, alat
budaya untuk membangun makna. Satu objek dapat membangkitkan serangkaian aktivitas lanjutan
dan meninggalkan ruang kosong bagi banyak interpretasi seperti dinyatakan dalam Gambar 1 berikut
ini7:
Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menghubungkan objek nyata untuk mengungkap
gagasan abstrak telah menaikkan level pembelajaran pada tingkat yang lebih menantang.
Pembelajaran tingkat yang lebih tinggi lebih mudah dilakukan melalui objek karena objek, meskipun
tampak nyata, sebenarnya mewakili suatu gagasan abstrak yang luas tanpa batas dan mengandung
realitas yang saling berhubungan8. Maka, dapat disimpulkan bahwa OBL merupakan pembelajaran
yang memanfaatkan berbagai objek tertentu untuk pembelajaran.
Dalam OBL, “benda” atau objek bukanlah media belajar, melainkan menjadi sumber belajar.
Objek mempunyai makna tersendiri yang tidak sekedar diinterpretasi, tetapi menjadi sarana untuk
6
Rosalind Duhs. Ibid.
7
Rosalind Duhs. Ibid.
8
Rosalind Duhs. Ibid.
mengembangkan “literasi visual” bagi peserta didik. Literasi visual didefinisikan sebagai kemampuan
untuk membaca, memahami secara utuh, serta menuliskan bahasa visual. Dalam hal ini, peserta didik
diajak untuk mengembangkan kemampuan untuk membaca objek dan merumuskan makna dari
objek. Objek tidak lagi menjadi sekedar benda semata melainkan sebuah pusat perhatian dan intensi
untuk dimaknai. Literasi visual merupakan perluasan dari sekedar objek, karena objek yang dipelajari
dapat menjadi konteks yang dapat berhubungan dengan berbagai isu-isu dari peserta didik itu sendiri,
baik isu kultural maupun cara pandang pribadinya. Membaca bahasa visual memiliki kaitan mendasar
dengan visi seseorang. Memahami bahasa visual berkaitan erat dengan pengenalan atau dengan kata
lain interpretasi dari apa yang dilihat, sedangkan menulis bahasa visual berkaitan erat dengan aksi.
Karena proses “menulis” sangat erat terkait dengan kemampuan kognisi, literasi visual dapat
dimasukkan sebagai salah satu bentuk berpikir kritis. Literasi visual tidak hanya berhubungan dengan
apa yang kita lihat, tetapi juga menyelidiki cara pandang kita, bias-bias dan pemahaman awal yang
mewarnai interpretasi pribadi seseorang terhadap objek. Dengan demikian, literasi visual dapat
digolongkan dalam suatu bentuk metakognisi9.
OBL memberikan makna baru terhadap peran guru dalam pembelajaran. Dalam OBL,
pengalaman peserta didik dibentuk melalui dialog bersama para guru. Idealnya, ketika peserta didik
berinteraksi dengan objek, guru berperan mencari peluang fasilitasi dengan membuat objek tersedia
serta menyediakan waktu untuk mendampingi aktivitas mereka. Aktivitas OBL menyediakan ruangan
untuk berinteraksi bagi peserta didik dan para guru. Proses sharing di antara mereka akan memantik
gagasan-gagasan segar dalam proses pembelajaran serta sangat bermanfaat baik bagi para peserta
maupun para guru.
Berawal dari bidang seni dan budaya, metode OBL dikembangkan sebagai cara untuk
menggunakan benda-benda yang ada dalam kehidupan sehari-hari serta tidak terbatas pada benda-
benda yang ada di museum saja. Dalam konteks tulisan ini, OBL dikembangkan sebagai cara untuk
menggunakan benda lainnya – dalam hal ini adalah tempat religius – sebagai sumber belajar. Langkah
modifikasi penerapan metode OBL ini saya sebut dengan Tamasya Lintas Agama. Tamasya Lintas
Agama merupakan istilah yang didapatkan dari pengalaman mengikuti kegiatan Penguatan Wacana
Pengelolaan Keragaman dan Kompetensi Metode Pembelajaran Inter Religius pada tahun 201710.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Paguyuban Penggerak Pendidikan Inter Religius (PaPPiRus).
PaPPiRus adalah perkumpulan penggerak pendidikan inter religius yang berkedudukan di Jogjakarta.
Perkumpulan ini berinisiatif mengembangkan model pendidikan agama yang terbuka dengan kerangka
9
Kate Blake. “Learning to Look Across Disciplines: Visual Literacy for Museum Audiences”.
https://visualliteracytoday.org/learning-to-look-across-disciplines-visual-literacy-for-museum-audiences-by-kate-blake/
Diakses 8 Mei 2021.
10
Paulus Widyawan Widhiasta. “Tamasya Lintas Agama Bersama PaPPiRus” dalam
http://kerohaniankatolikskaga.blogspot.com/2017/12/tamasya-lintas-agama-bersama-pappirus.html. Diakses 8 Mei 2021;
“Pelatihan untuk Guru-guru Lintas Agama ke-2” dalam http://www.pappirusindonesia.org/2017/10/pelatihan-untuk-guru-
guru-lintas-agama.html. Diakses 8 Mei 2021.
berpikir bhinneka tunggal ika dan dasar konseptual Pancasila11. Dalam pelatihan yang
diselenggarakan tersebut, salah satu kegiatan yang dilakukan adalah kunjungan ke berbagai tempat
religius untuk memberikan wawasan kepada para peserta mengenai pandangan dan wawasan
berkenaan dengan tempat religius yang dikunjungi dan agama atau kepercayaan yang menjadi induk
tempat religius tersebut. Pengalaman inilah yang menginspirasi sehingga muncullah gagasan untuk
mengujicobakan metode modifikasi OBL ini pada kesempatan pembuatan Tugas Akhir dalam rangka
Ujian Praktek Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti untuk siswa-siswi kelas XII SMK Negeri
3 Surakarta.
Mengapa dipilih istilah Tamasya Lintas Agama? Ada beberapa alasan yang mendasari.
Pertama, pemilihan kata “tamasya” ingin mengungkapkan bahwa kegiatan yang dilakukan ini
merupakan kegiatan yang menyenangkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “tamasya”
berarti “perjalanan untuk menikmati pemandangan, keindahan alam, dan sebagainya.” Siapa yang
tidak tertarik untuk bertamasya? Semua orang pasti ingin melakukannya. Oleh karena itu, kata
“tamasya” tampaknya menjadi pilihan yang tepat. Kedua, frasa “lintas agama” menjadi penanda
khusus kegiatan ini. Berinspirasi pada frasa “lintas budaya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
frasa “lintas agama” dapat diartikan sebagai “pertemuan dua agama atau lebih yang berlangsung
secara cepat.” Didasari dua alasan ini, istilah Tamasya Lintas Agama menjadi pilihan tepat untuk
membingkai upaya modifikasi metode pembelajaran OBL menjadi aktivitas yang menyenangkan
berkaitan dengan perjumpaan dengan agama-agama lain sekaligus menarik minat para peserta didik
untuk melakukannya dengan penuh kegembiraan.
Melihat Praksis Tamasya Lintas Agama sebagai Tugas Akhir Ujian Sekolah Praktek Siswa-
siswi SMK Negeri 3 Surakarta12
Tamasya Lintas Agama yang dilakukan oleh siswa-siswi SMK Negeri 3 Surakarta
dilaksanakan antara bulan Januari sampai Februari 2018. Aktivitas Tamasya Lintas Agama ini
dikaitkan dengan tanggung jawab wajib peserta didik untuk memenuhi persyaratan Tugas Akhir
dalam rangka Ujian Sekolah Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Kaitan
dengan Ujian Sekolah ini dipilih agar setiap peserta didik merasa wajib untuk menyelesaikan aktivitas
Tamasya Lintas Agama yang harus mereka jalani. Kewajiban ini tentu akan berdampak pada nilai
yang akan mereka dapatkan sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan di SMK Negeri 3
Surakarta. Unsur “wajib” yang melekat pada aktivitas ini ternyata membuahkan hasil. Dari 14 peserta
didik yang dilayani di kelas XII pada tahun pelajaran itu, seluruhnya telah memenuhi syarat aktivitas
11
“Perkumpulan Penggerak Pendidikan Interreligius (PAPPIRUS) Indonesia” dalam http://www.pappirusindonesia.org.
Diakses 8 Mei 2021.
12
Gambaran singkat mengenai kisah Tamasya Lintas Agama dapat dilihat melalui Paulus Widyawan Widhiasta.
"Mengumpulkan Serpih-Serpih Kisah #2" dalam https://kerohaniankatolikskaga.blogspot.com/2018/11/mengumpulkan-
serpih-serpih-kisah-2.html. Diakses 10 Mei 2021.
tersebut, dari membuat laporan aktivitas yang berisi paparan dan foto aktivitas serta melakukan
presentasi atas aktivitas yang dilakukan.
Persiapan aktivitas Tamasya Lintas Agama sudah dimulai sejak bulan Desember 2017.
Selepas pelaksanaan Ulangan Akhir Semester Gasal Tahun Pelajaran 2017/2018, peserta didik kelas
XII mulai diberi informasi awal mengenai model Ujian Praktek yang akan dilangsungkan. Dalam
kesempatan itu, dipaparkan bagaimana Tamasya Lintas Agama akan dilakukan. Saat itu, diberi
gambaran bahwa setiap peserta didik harus mengunjungi sebuah tempat ibadah selain gereja. Jadi, ada
salah satu dari empat jenis tempat ibadah yang akan dikunjungi, yaitu masjid, pura, vihara, dan
klenteng. Penentuan keempat jenis tempat ibadah ini berkenaan dengan pengalaman lintas agama
yang ingin didapatkan. Peserta didik yang berakar pada ajaran yang dibawa oleh Yesus Kristus - yang
dalam hal ini dipercaya sebagai dasar iman agama Kristen dan Katolik - diajak untuk melintas
memahami ajaran agama lain yang tidak berakar pada ajaran Yesus Kristus, yaitu agama Islam,
Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu.
Sebagai prasyarat, peserta didik yang akan mengikuti aktivitas Tamsya Lintas Agama harus
sudah mempelajari materi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Kelas XII
dengan tema “Berdialog dengan Umat Beragama dan Berkepercayaan Lain.” Tema ini memuat
kompetensi dasar berikut: 1.4. bersyukur atas adanya semangat dialog dan kerja sama dengan umat
beragama lain (Sikap Spiritual); 2.4. proaktif dan responsif untuk berdialog serta bekerja sama dengan
umat beragama lain (Sikap Sosial); 3.4. memahami makna berdialog serta bekerja sama dengan umat
beragama lain (Pengetahuan); dan 4.4. melakukan aktivitas (misalnya menuliskan
refleksi/doa/puisi/rangkuman/wawancara dengan tokoh umat) tentang semangat dialog dan kerja sama
dengan umat beragama lain (Keterampilan)13. Tamasya Lintas Agama menjadi alternatif penerapan
Kompetensi Inti Sikap Sosial dan Keterampilan bagi peserta didik.
Awal Januari 2018, dibuatlah Surat Edaran berisi penjelasan yang lebih detail seputar aktivitas
Tamasya Lintas Agama yang akan dilakukan. Demi prinsip keadilan, pembagian aktivitas Tamasya
Lintas dilakukan dengan cara undian. Kepada peserta didik, diberikan kertas yang sudah tergulung
berisi jenis tempat ibadah yang harus mereka kunjungi. Guru menentukan pilihan kategori tempat
ibadat yang harus dikunjungi, sedangkan peserta didik menentukan sendiri tempat ibadah mana yang
akan dikunjungi sesuai kategori yang mereka dapatkan. Penentuan jenis tempat ibadah oleh guru
dibuat dengan mempertimbangkan ketersediaan jenis tempat ibadah yang ada di seputar Kota
Surakarta. Dari hasil pengundian dan keputusan peserta didik, didapatlah hasil yang disampaikan
dalam Tabel 1 ini:
13
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurikulum 2013
pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 971. Jakarta.
29 Juni 2016.
No Nama Siswa / i Nama Tempat Ibadah
Setelah dipastikan mengenai jenis dan nama tempat ibadah agama lain yang akan dikunjungi,
peserta didik kemudian merencanakan kegiatan observasi. Mereka harus membuat jadwal pertemuan
dengan orang-orang yang perlu dihubungi. Mereka mulai merancang pertanyaan-pertanyaan yang
perlu diajukan dalam observasi. Mereka juga harus membuat dokumentasi sebagai bukti fisik bahwa
mereka benar-benar mengunjungi tempat ibadah yang telah mereka pilih sendiri. Setelah observasi,
mereka pun harus membuat laporan dan melakukan presentasi di depan guru untuk membagikan
pengalaman selama proses observasi dalam aktivitas Tamasya Lintas Agama. Beberapa bukti fisik
pelaksanaan observasi tersebut dapat digambarkan dalam Foto 1 berikut:
Foto 1. Para peserta didik bertemu dengan pengurus rumah ibadah
Dari aktivitas observasi tersebut, peserta didik harus membuat narasi untuk memenuhi laporan yang
dipersyaratkan. Berikut ini beberapa kutipan narasi hasil karya peserta didik yang bisa dipaparkan:
“Perkenalkan nama saya Giovanni Battista Rossi Refa Meylianus. Saya salah satu murid
agama Katolik di SMKN 3 Surakarta. Saya melakukan wawancara lintas agama di Vihara
Dhamma Sundara yang beralamatkan di Jl. Ir. H. Juanda No.223B, Pucangsawit, Jebres,
Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Vihara Dhamma Sundara dibangun tahun 2000 dan diresmikan tahun 2002 dibangun oleh
umat Budha dan dibantu oleh umat non Buddhis di lingkungan Pucang Sawit. Tokoh yang
sangat penting dan berperan pada Vihara Dhamma Sundara adalah Bapak Sundara
Hosea. Bapak Sundara Hosea berperan sangat penting dalam pembangunan Vihara
Dhamma Sundara di Pucang Sawit ini dan Beliau penduduk asli dari Kota Solo.
Vihara Dhamma Sundara adalah tempat ibadah untuk umat Buddha dan sekte Theravada.
Vihara Dhamma Sundara dalam satu tahun merayakan 4 hari besar. Perayaan Magha
Puja adalah salah satu perayaan hari besar agama Buddha yang dirayakan pada antara
bulan Februari dan Maret. Perayaan ini memperingati berkumpulnya 1200 seorang
Bhikkhu pada zaman Sang Buddha masih ada. Berkumpulnya 1200 Biksu ini untuk
mendengarkan khotbah Dhamma dari Sang Buddha. Para Bhikkhu berkumpul sendiri
tanpa ada undangan karena karena perbuatan baik Sang Buddha. Perayaan Waisak
adalah perayaan hari besar agama Buddha yang dirayakan pada antara bulan Mei dan
Juni. Perayaan ini memperingati 3 peristiwa penting Lahirnya Sidharta, Sidharta menjadi
seorang Buddha, Buddha meninggal dunia. Perayaan Asadha Puja adalah perayaan hari
besar agama Buddha yang dirayakan pada bulan Juli dan Agustus. Memperingati hari
Dhamma, atau memperingati hari ajaran Buddha. Karena setelah Buddha mencapai
kesempurnaan, Ia mengajarkan Dhamma yang disebut Pemutaran roda Dhamma yang
pertama atau Dhamma cakka pawatan sutta yang diajarkan oleh lima orang murid yang
disebut Pancawakia atau lima orang pertapa dan ini adalah inti dari agama Buddha.”14
“Masjid Jami’ Assegaf atau lebih sering disebut dengan Masjid Assegaf merupakan salah
satu masjid terkenal yang berada di kota Surakarta. Masjid ini terletak di jalan Kapten
Mulyadi No. 190 Pasar Kliwon, Surakarta.
Pada tahun 1344 Hijriyah (sekitar tahun 1925 Masehi) Raja Keraton Surakarta, Paku
Buwono X memberikan hadiah berupa sebidang tanah kepada Al-Habib Abubakar bin
Muhammad Assegaf atas jasa beliau yang telah membantu menyelesaikan permasalahan
14
Giovanni Battista Rossi Refa Meylianus. Laporan Observasi Ujian Sekolah Pendidikan Agama Katolik dan Budi
Pekerti Tahun Pelajaran 2017/2018 (Pro Manuscripto). Surakarta: SMK Negeri 3 Surakarta. 2018.
yang dialami oleh Paku Buwono X. Sebidang tanah itulah yang kemudian diatasnya
dibangun sebuah masjid yang sampai sekarang dikenal dengan nama Masjid Jami’
Assegaf.
Peletakan batu pertama dilakukan oleh Al Habib Al Qutub Abubakar bin Muhammad
Assegaf, yang diteruskan dengan pembangunan masjid tersebut. Ketika selesai dibangun,
beliau mendapat isyarat untuk memberi nama masjid itu dengan nama Masjid Assegaf.
Dalam sejarah perkembangannya, masjid ini mengalami beberapa peristiwa-peristiwa
penting. Yang pertama saat selesai pembangunan Masjid Assegaf ini, beberapa sholihin
bertanya kepada Habib Abubakar Assegaf tentang letak mihrab (bagian dari masjid yang
biasa digunakan sebagai tempat imam memimpin shalat berjamaah), lalu dijawab oleh
beliau Insya Allah besok kita tentukan dimana letaknya. Lalu pada malam harinya beliau
bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dan diberi petunjuk tentang letak
mihrab yang hingga saat ini letaknya tidak pernah berubah. Peristiwa lainnya adalah
ketika wafatnya imam yang keempat, Al-Habib Abdulqadir bin Abdurrahman Assegaf pada
tahun 1981. Beliau wafat dalam posisi sujud terakhir pada saat menjadi imam sholat
jumat. Al-Habib Abdulqadir bin Abdurrahman Assegaf adalah orang yang berjasa dalam
merenovasi bangunan lantai dua masjid Assegaf.
Setelah Al-Habib Abdulqadir bin Abdurrahman Assegaf wafat, imam masjid diganti oleh
Habib Idrus Al idrus untuk sementara, kemudian secara resmi digantikan oleh Habib
Abdillah bin Ali Assegaf selama kurang lebih 18 tahun. Saat ini, yang menjabat imam di
masjid Assegaf adalah putra Al Habib Abdulqadir bin Abdurrahman Assegaf yaitu Habib
Jamal bin Abdulqadir Assegaf.”15
“Pada hari Minggu tanggal 28 Januari 2018 pukul 08.00 WIB saya berkunjung ke Pura
Indra Prasta ditemani oleh Herlina. Waktu itu bertepatan umat Hindu sedang
melaksanakan ibadah mingguan, lalu saya menemui bapak yang sedang duduk di halaman
pura tersebut. Saya mencoba mewawancarai kepada bapak tersebut, bapak itu sangat
ramah sekali.Beberapa pertanyaan yang saya ajukan sudah dijawab namun sayangnya
bapak itu tidak mengetahui detail sejarah pura Indra Prasta. Sesudah selesai wawancara
kemudian saya berfoto dengan bapak itu, tetapi saya lupa menanyakan identitas bapak
tersebut saya buru buru karena ibadah akan segera dimulai dan saya bersama Herlina
berpamitan dan meninggalkan pura. Selanjutnya saya melanjutkan pencarian sejarah lagi
sesudah pulang sekolah bersama Fransiska pada hari Senin tanggal 12 Februari 2018
tetapi waktu tiba di sana terlihat nampak sepi sekali, saya mencoba bertanya kepada
warga setempat untuk menemui pengurus pura tetapi tidak ada, setelah itu saya dan teman
saya pulang dengan rasa kecewa. Selanjutnya saya mencoba mendatangi pura Indra
Prasta lagi untuk melengkapi sejarah waktu itu hari Minggu tanggal 18 Februari 2018
saya mengajak teman sekelas pada pukul 11.00 WIB dan ternyata disana pura sudah
tampak lengang, saya menemui bapak yang sedang bersih bersih pura dan bertanya
mengenai pengurus dan bapak itu menyuruh untuk menemui Bapak Ida Bagus selaku
Sekretaris Pura Indra Prasta dan diberi alamat rumahnya untuk pergi kesana, kemudian
saya langsung bergegas menemui bapak Ida di kediaman rumahnya yang beralamat di
belakang SDN 03 Pajang, sesudah tiba disana saya disambut oleh istri bapak Ida tersebut
dan memberitahu bahwa bapak Ida sedang dinas di Polsek Laweyan, lalu saya dan teman
saya pergi ke Polsek Laweyan tersebut untuk menemui bapak Ida Bagus dan sesudah tiba
disana ada bapak polisi yang memberitahu bahwa bapak Ida sedang patroli di suatu
tempat lalu saya diberi nomor telepon bapak Ida oleh bapak polisi tersebut. Setelah saya
mendapatkan informasi nomor telepon bapak Ida, saya sebelum nya mengadakan janji
kepada bapak Ida lewat chatting di whatsapp untuk bertemu di pura pada hari Senin
tanggal 19 Februari 2018 pukul 17.00 WIB di Pura Indra Prasta lagi, bapak Ida pun
15
Andreas Bayu Adhiguna Nugraha. Laporan Observasi Ujian Sekolah Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti
Tahun Pelajaran 2017/2018 (Pro Manuscripto). Surakarta: SMK Negeri 3 Surakarta. 2018.
sudah berkenan untuk datang ke pura pada hari yang sudah dijanjikan. Tiba pada hari
Senin saya mengajak teman sekelas saya bernama Indita sesudah pulang sekolah untuk
menemui bapak Ida di Pura Indra Prasta pukul 17.00 WIB. Setelah saya tiba di pura saya
menunggu bapak Ida datang, tetapi tiba tiba bapak Ida memberi kabar lewat whatsapp
tidak bisa menemui saya dan bapak Ida menyuruh saya untuk menemui bapak Bagio Hadi
yang beralamat di Suronalan RT 05 RW 08, saya kemudian menuju ke alamat tersebut.
Lalu saya langsung bertemu dengan bapak Bagio Hadi selaku Pinandhita (pemimpin
agama Hindu), lalu saya mewawancarai mengenai sejarah pura tersebut bapak itu
bercerita banyak tentang sejarah pura Indra Prasta. Setelah selesai wawancara saya dan
Indita berpamitan untuk pulang dengan rasa lega.
Saya ingin menceritakan tentang pura Indra Prasta. Pura itu beralamat di Mutihan
Sondakan Laweyan. Sejarah mengenai pura tersebut sebelumnya tanah yang dipakai untuk
membangun pura itu pertama milik negara yang digunakan untuk pembuangan sampah.
Luas tanah tersebut kira kira 1100 meter. Tanah milik negara itu kemudian dipercayakan
kepada Pimpinan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) yang bernama bapak
Sunarto. Beliau sangat berjasa juga di Kota Surakarta sebagai caleg DPRD Surakarta.
Pada tahun 1978-1980-an pura dibangun oleh warga dengan kerja bakti secara bertahap.
Pura sendiri berasal dari kata “Pur” artinya Kota / pintukerta / benteng yang disucikan
untuk tempat ibadah. Di pura tersebut terdapat simbol PADMASANA, Padma yang berarti
tempat dan Sana yang berarti tinggal. Jadi, Padmasana memiliki arti tempat tinggal yang
digunakan sebagai rumah Tuhan atau rumah yang memiliki kekuatan Tuhan. Selanjutnya
mengenai sejarah pura tadi, pada tahun 2005 pura mulai dibangun kembali, dan sekitar
bulan Mei tahun 2010 pura diresmikan oleh bapak Walikota. Setiap hari jadi pura tersebut
diadakan peringatan acara Piodalan (hari jadi pura). Piodalan memiliki makna dalam
bahasa jawa yakni “medal”. Ketika memasuki pintu masuk pura tersebut terdapat
bangunan bangsal kanan dan bangsa kiri yang digunakan untuk pertemuan. Nama pura
Indra Prasta diambil dari cerita Mahabharata yang merupakan nama dari suatu kerajaan,
Mahabharata menggambarkan kerajaan Astina (angkara murka) dan Amarta (baik).
Mahabharata sendiri juga menceritakan tentang keturunan pandawa. Di dalam agama
Hindu mempunyai Kitab Weda. Kitab Weda mempunyai 4 bagian yaitu Rigwedha (Kitab
tua sendiri), Yajurweda, Samaweda, Atharwaweda. Kitab Atharwaweda mempunyai
ajaran ilmu pengobatan, tetapi jika menyalahgunakan ilmu ini akan mengakibatkan
celaka, jadi kitab Atharwaweda juga mengandung black magic ilmu hitam jika
disalahgunakan contohnya ilmu penolakan bala. Hari Raya agama Hindu dibagi menjadi
2 sistem yaitu sistem bulan (12 bulan sekali) contohnya Nyepi dan Siwaratri. Hari Raya
nyepi ada istilah pati geni yakni mematikan keangkaramurkaan selama 24 jam, hari raya
nyepi dipusatkan di Prambanan. Lalu ada hari raya Siwaratri yang dimaksudkan adalah
Siwa yaitu Dewa dan ratri yaitu malam. Siwaratri ini merupakan kegiatan sembahyang
untuk memohon ampun dan intropeksi diri atas kesalahan selama 1 tahun sebelumnya.
Dan sistem yang kedua yakni sistem Pawukon dari wuku contohnya ada hari raya
Galungan (diperingati setiap 210 hari merupakan perayaan kemenangan
Dharma/kebenaran melawan Adharma/kejahatan) Kuningan, Pagerwesi (membentengi
diri supaya pikiran dan perbuatan keluar dari kejahatan), Saraswati (diperingati setiap
210 hari dan merupakan peringatan hari turunnya wahyu). Umat Hindu bersembahyang 3
x yakni pagi, siang, sore. Adapun kegiatan yang dilaksanakan diluar ibadah ada acara
pertemuan/rapat, kerja bakti, mengunjungi umat yang sakit, bakti sosial.”16
16
Millenia Eka Putri. Laporan Observasi Ujian Prakter Agama Katholik Bertempat di Pura Indra Prasta (Pro
Manuscripto). Surakarta: SMK Negeri 3 Surakarta. 2018.
Alamat Tempat Ibadah: Jalan RE. Martadinata No.14 Sudiroprajan, Jebres, Surakarta,
Jawa Tengah
Refleksi atas Aktivitas Tamasya Lintas Agama dalam Rangka Mengembangkan Sikap
Toleransi Beragama
Setelah kegiatan observasi dan presentasi berlalu, peserta didik diajak untuk merefleksikan
pengalaman Tamasya Lintas Agama. Dari 14 peserta didik yang diminta untuk mengisi kuesioner, ada
13 yang mengembalikan respon atas kuesioner tersebut. Dari 13 responden kuesioner tersebut
didapatkan hasil penelitian sebagai berikut:
1. Pengalaman Pertama Mengunjungi Tempat Ibadah Agama Lain
Sebanyak 84,6 % responden mengatakan bahwa mereka belum pernah mengunjungi (dalam arti
hanya bertandang dan tidak melakukan observasi) tempat ibadah agama lain sebelumnya.
Meskipun demikian, ada 92,3 % responden yang mengatakan bahwa aktivitas Tamasya Lintas
Agama merupakan aktivitas perdana mereka untuk melakukan observasi terhadap tempat ibadah
agama lain. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami Tamasya Lintas
Agama sebagai pengalaman pertama.
2. Kesan saat Mengunjungi Tempat Ibadah Agama Lain
Sebanyak 69, 2 % responden mengatakan bahwa mereka merasa senang saat bisa mengunjungi
tempat ibadah agama lain, sedangkan 30,8 % memiliki kesan kagum, menarik, takjub, dan kikuk.
Kesan tersebut muncul karena mereka bisa menambah wawasan (46,1 %), menjadi pengalaman
pertama (15,4 %), keinginan mengunjungi tempat ibadat lain tercapai (7,7 %), disambut hangat
(7,7 %), mendukung minat (7,7 %), narasumber ramah (7,7 %), dan pernah melakukan ibadah di
sana sebelum menjadi Katolik (7,7 %). Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki kesan senang karena bisa menambah wawasan mengenai agama lain yang tidak
dianutnya.
3. Keraguan atau Ketakutan saat Mengunjungi Tempat Ibadah Agama Lain
Sebanyak 53,8 % responden mengatakan bahwa mereka mengalami perasaan takut, cemas,
gamang, ragu-ragu atau semacamnya saat menjalani Tamasya Lintas Agama. Penyebab dari
perasaan itu adalah takut mengganggu karena kedatangannya, takut menyinggung karena
memberi pertanyaan (diungkapkan oleh 2 responden), takut tidak diterima dan tidak diberi
informasi, takut karena tempat ibadat tergolong besar dan pengurusnya berbeda suku bangsa,
takut karena baru pertama kali dan takut karena merasa bukan tempat yang diakrabinya.
17
Catharina Vivi Wijayanti. Laporan Observasi Tempat Ibadah “Klenteng” Ujian Praktek Sekolah Pendidikan Agama
Katolik dan Budi Pekerti Tahun Pelajaran 2017/2018 (Pro Manuscripto). Surakarta: SMK Negeri 3 Surakarta. 2018.
Sementara itu, alasan dari responden yang tidak merasakan ketakutan, cemas, gamang, ragu-ragu
atau semacamnya (46,2 %) adalah karena kunjungan bisa menambah pemahaman dan toleransi
terhadap agama lain, karena sudah akrab dengan narasumber (diungkapkan oleh 2 responden),
karena merasa bahwa tujuannya baik, karena akan disambut dengan baik, dan karena merasa akan
memetik hal positif.
4. Frekuensi Kunjungan ke Tempat Ibadah Agama Lain
Sebanyak 15,4 % responden menyatakan bahwa proses observasi dilaksanakan dalam satu kali
kunjungan. Sebanyak 61, 5 % responden menyatakan bahwa mereka melakukan kunjungan untuk
observasi sebanyak 2 kali. Sementara itu, ada 23,1 % responden melakukan kunjungan sebanyak
3 kali untuk keperluan observasi. Data ini menunjukkan bahwa kebanyakan diperlukan lebih dari
sekali kunjungan untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan berkenaan dengan observasi
Tamasya Lintas Agama yang sedang dijalani.
5. Kolaborasi dalam Aktivitas Kunjungan ke Tempat Ibadah Agama Lain
Sebanyak 84,6 % responden menyatakan bahwa mereka mengajak kawan lain dalam kegiatan
Tamasya Lintas Agama. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar peserta didik merasa perlu
melakukan kolaborasi bersama dengan orang lain dalam kegiatan yang mereka jalani, entah itu
hanya sebagai teman perjalanan, mengurus dokumentasi, atau keperluan yang lain.
6. Menyikapi Kesulitan dan Tantangan dalam Kunjungan ke Tempat Ibadah Agama Lain
Sebanyak 92,3 % responden menyatakan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam menjalankan
aktivitas Tamasya Lintas Agama. Meskipun demikian, dengan berbagai cara, mereka berhasil
mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Ini dibuktikan dengan bahwa mereka bisa menyusun
laporan dan menyampaikan presentasi di depan kelas dengan baik.
7. Manfaat Kunjungan ke Tempat Ibadah Agama Lain terhadap Sikap Toleransi Beragama
Sebanyak 46,1 % responden menyatakan bahwa Tamasya Lintas Agama membuat mereka
semakin bisa lebih memahami agama lain. Sebanyak 30,8 % responden mengatakan bahwa
Tamasya Lintas Agama membuat mereka bisa semakin menghargai dan menghormati agam lain.
Selain itu, ada yang menyatakan bahwa Tamasya Lintas Agama membuat mereka lebih
berpikiran terbuka kepada agama lain (7,7 %), mendapatkan pengalaman baru (7,7 %), mengubah
pandangan terhadap agama lain (7,7 %), dan semakin akrab dengan agama lain (7,7 %).
Daftar Pustaka
Andreas Bayu Adhiguna Nugraha. Laporan Observasi Ujian Sekolah Pendidikan Agama Katolik dan
Budi Pekerti Tahun Pelajaran 2017/2018 (Pro Manuscripto). Surakarta: SMK Negeri 3
Surakarta. 2018.
Anonim. “Butir-butir Pancasila” dalam http://bphn.go.id/data/documents/butir-butir_pancasila_1.doc.
Diakses 8 Mei 2021.
Anonim. “Perkumpulan Penggerak Pendidikan Interreligius (PAPPIRUS) Indonesia” dalam
http://www.pappirusindonesia.org. Diakses 8 Mei 2021.
Anonim. “Pelatihan untuk Guru-guru Lintas Agama ke-2” dalam
http://www.pappirusindonesia.org/2017/10/pelatihan-untuk-guru-guru-lintas-agama.html.
Diakses 8 Mei 2021.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Moderasi Beragama. Jakarta: Kementerian Agama
RI. 2019. Hal. 18.
Catharina Vivi Wijayanti. Laporan Observasi Tempat Ibadah “Klenteng” Ujian Praktek Sekolah
Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Tahun Pelajaran 2017/2018 (Pro Manuscripto).
Surakarta: SMK Negeri 3 Surakarta. 2018.
Giovanni Battista Rossi Refa Meylianus. Laporan Observasi Ujian Sekolah Pendidikan Agama
Katolik dan Budi Pekerti Tahun Pelajaran 2017/2018 (Pro Manuscripto). Surakarta: SMK
Negeri 3 Surakarta. 2018.
Kate Blake. “Learning to Look Across Disciplines: Visual Literacy for Museum Audiences”.
https://visualliteracytoday.org/learning-to-look-across-disciplines-visual-literacy-for-museum-
audiences-by-kate-blake/ Diakses 8 Mei 2021.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar
Pelajaran pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 971. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 29 Juni 2016.
_____. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018
tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal. Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 782. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. 21 Juni 2018.
Millenia Eka Putri. Laporan Observasi Ujian Prakter Agama Katholik Bertempat di Pura Indra
Prasta (Pro Manuscripto). Surakarta: SMK Negeri 3 Surakarta. 2018.
Paulus Widyawan Widhiasta. “Tamasya Lintas Agama Bersama PaPPiRus” dalam
http://kerohaniankatolikskaga.blogspot.com/2017/12/tamasya-lintas-agama-bersama-
pappirus.html. Diakses 8 Mei 2021.
_____. "Mengumpulkan Serpih-Serpih Kisah #2" dalam
https://kerohaniankatolikskaga.blogspot.com/2018/11/mengumpulkan-serpih-serpih-kisah-
2.html. Diakses 10 Mei 2021.
Rosalind Duhs. “Eyes On! Hands On! Museums and collections for higher order learning” dalam
EDUCATIONAL DEVELOPMENTS, The Magazine of the Staff and Educational Development
Association Ltd (SEDA) Issue 10.2 June 2009.
https://www.seda.ac.uk/resources/files/publications_113_Educational%20Dev%2010.2%20v2%
20(final).pdf. Diakses 8 Mei 2021.
Th.Aq. Purwono Nugroho Adhi. Penggunaan Object-Based Learning (OBL) Museum Sejarah Bangsa
dan Tempat-tempat Wisata Religius untuk Membangun Kesadaran Multikultural. Pro
Manuscripto. Tanpa tempat, tanggal, dan tahun.