Anda di halaman 1dari 60

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara yang beridentitaskan kemajemukan agama,


suku, dan budaya. Dengan dasar negaranya, Pancasila, bangsa ini telah berhasil
hingga saat ini mempertahankan identitas tersebut. Perbedaan agama, suku dan
budaya justru memperkuat dan mempersatukan bangsa ini untuk melangkah
menuju tujuan bersama yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (UUD RI 1945
Alinea IV).

Tentang keragaman agama, hingga saat ini ada enam agama besar yang
dianut oleh masyarakat yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan
Khonghucu. Keragaman agama ini tidak hanya menjadi kekayaan bangsa tetapi
dapat menjadi potensi konflik antarmasyarakat. Kecenderungan terjadinya konflik
antarumat beragama memang seringkali terjadi karena perbedaan pandangan
dalam ajaran agama itu sendiri. Namun, lebih sering terjadi konflik antar umat
beragama diakibatkan oleh kondisi sosial-ekonomi dan politik (Widyawati,
2014:29). Hal ini perlu menjadi perhatian bangsa ini, karena jika persoalan konflik
antarumat beragama, maka jati diri bangsa ini juga makin terkikis.

Menghadapi persoalan konflik antaragama, peran dari para pemimpin


politik dan agama menjadi penting. Pemerintah dalam hal ini kementerian agama
memegang peran kunci dalam menjaga keadaban bangsa ini menjadi bangsa yang
lebih damai dan toleran. Dalam lingkup lebih kecil, peran para pendidik agama di
sekolah dan penyuluh agama di kota-kota menjadi kunci dari pengajaran dan
teladan toleransi antarumat beragama. Dapat dibayangkan jika para pendidik
2

agama adalah orang-orang yang intoleran dan menjadi provokator, maka bangsa
ini akan runtuh karena konflik antaragama yang berkepanjangan.

Stipar Ende adalah salah satu dari sekian banyak perguruan tinggi yang
berada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dan berkoordinasi
Kementerian Agama untuk pelaksanaan pendidikan. Hadir berada di wilayah
NTT, Stipar Ende hadir di tengah masyarakat yang majemuk dan beragam agama.
Dari data BPS Propinsi NTT Tahun 2020, agama mayoritas adalah agama Katolik
dengan 52, 45 %, menyusul Kristen Protestan, 39, 26%, Islam, 8,09%, Hindhu
0,19% dan Budha 0,01%. Di Ende sendiri, agama mayoritas adalah agama
Kaholik dengan 77,30%, Kristen Protestan 2,24%, Islam 20,39%, dan Hindhu
0,07%.

Dengan keberagaman agama yang dianut oleh masyarakat, Stipar Ende


diharapkan mampu perguruan tinggi yang toleran dan mampu menghasilkan
lulusan yang toleran pula. Hal ini penting mengingat, sebagai penghasil Guru
Agama dan Penyuluh Agama Katolik, Stipar membawa tugas penting untuk
menjaga keutuhan bangsa ini dan menghindarkan masyarakat dari konflik agama.
Untuk mewujudkan tersebut, Stipar Ende telah merancang kurikulum yang
mendukung Sikap Toleransi sesuai rumusan Sikap sesuai Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI) yaitu menghargai keanekaragaman agama dan
kepercayaan, budaya, dan pandangan. Rumusan sikap ini telah ada sepenuhnya
pada kuliah: Hubungan Antariman yang diharapkan menjadikan mahasiswa
memiliki semangat toleransi dengan umat beragama lainnya.

Kuliah Hubungan Antariman selama ini dilaksanakan melalui metode


ceramah dan diskusi kelompok yang dievaluasi kurang memberi dampak dan
mengantar mahasiswa pada kompetensi sikap dimaksud. Untuk meningkatkan
karakter toleransi perlu adanya pendekatan dan model pembelajaran yang dapat
memberi hasil maksimal pada sikap toleransi dimaksud. Pendekatan pembelajaran
yang selama ini dilaksanakan tidaklah cukup. Perlu adanya pendekatan
pembelajaran yang lebih menukik untuk mengatasi persoalan besar bangsa ini
yaitu konflik antarumat beragama. Pola Pendekatan yang dimaksud adalah
3

Pendekatan Inter-Religius. Pendekatan Inter-Religius dan model pembelajaran


yang optimal dan efektif dapat dilaksanakan oleh pendidik tanpa
menghilangkan penghayatan agama masing-masing dari mahasiswa-mahasiswi.
Karena belajar adalah proses bagi peserta didik dalam membangun gagasan dan
sikap sendiri, maka kegiatan belajar mengajar harus memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk terlibat secara aktif dalam aktivitas belajar tersebut.

Pendekatan Inter-Religius yang dimaksudkan di sini adalah pendekatan


dalam pendidikan agama yang mengarahkan peserta didik untuk menjalin
hubungan antarumat beragama yang positif dan konstruktif. Pendekatan ini
mengantar mahasiswa-mahasiswi pada hubungan dengan pribadi-pribadi atau
jemaat-jemaat dari agama lain, untuk saling memahami dan memperkaya
(Riyanto, 2014: 190). Pendekatan ini perlu ada untuk melengkapi pendekatan
religius yaitu pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penyusunan teori-teori
pendidikan dengan bersumber pada ajaran agama. Pendekatan ini bertolak dari
keyakinan atau iman tentang nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh agama
yang dijadikan sebagai sumber pembelajaran.

Stipar Ende adalah singkatan dari Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa
Ende. Sejak didirikannya, Stipar Ende bertujuan untuk menghasilkan guru-guru
agama Katolik untuk kemajuan iman Katolik dan kemajuan bangsa. Visi Prodi
Pendidikan Keagamaan Katolik adalah menjadi Program Studi yang unggul dan
kompetitif dalam menghasilkan Guru Profesional dan Rasul Awam yang beriman
teguh, pancasilais, serta menghayati etos kerja pada tahun 2025. Profil Lulusan
utama adalah menjadi pendidik PAK yang beriman teguh, berkepribadian,
berpengetahuan, dan inovatif dalam menerapkan teori-teori PAK di Sekolah Dasar
dan Sekolah Menengah. Profil lulusan lainnya adalah Penyuluh Agama yaitu
menjadi penyuluh agama Katolik yang kreatif, inovatif, dan memiliki ethos kerja.

Sejak tahun 2016, Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik telah


memberlakukan Kurikulum Perguruan Tinggi berbasis KKNI (Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia). Selain memperhatikan berbagai undang-undang
dan peraturan yang berlaku, kurikulum ini juga memperhatikan kebijakan lokal
4

Keuskupan Agung Ende dalam menghasilkan guru-guru agama yang professional


dan kontekstual. Lulusan Perguruan Tinggi (PT) yang berkualitas sangat
ditentukan juga oleh tersedianya pola pembelajaran yang sesuai. Karena itu dalam
rentang waktu tertentu dilakukan perubahan kurikulum. Biasanya alasan
perubahan kurikulum berasal dari persoalan intern PT itu sendiri. Namun dewasa
ini alasan perubahan kurikulum tidak hanya berasal dari lingkup internal PT tetapi
juga tuntutan masyarakat. Karena itu sudah sewajarnya jika PT perlu menjawabi
tuntutan tersebut agar output PT tetap memenuhi kebutuhan masyarakat dewasa
ini. Hubungan antarumat beragama yang positif dan konstruktif merupakan
kebutuhan masyarakat dewasa ini.

Sehubungan dengan masalah penelitian di atas, maka peneliti hendak


meneliti hal tersebut dalam judul: PENGEMBANGAN MODEL CONTEXTUAL
LEARNING DENGAN PENDEKATAN INTER-RELIGIUS UNTUK
MENINGKATKAN KARAKTER TOLERANSI MAHASISWA/I DI SEKOLAH
TINGGI PASTORAL ATMA REKSA ENDE.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dapat peneliti ajukan:

1. Apakah model Contextual Learning dengan Pendekatan Inter-Religius


dapat digunakan untuk meningkatkan Karakter Toleransi Mahasiswa di
Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar Ende.

2. Apakah Model Contextual Learning dengan Pendekatan Inter-Religius


dapat meningkatkan Karakter Toleransi Mahasiswa di Prodi Pendidikan
Keagamaan Katolik Stipar Ende.

3. Adakah pengaruh interaksi penggunaan Model Contextual Learning


dengan Pendekatan Inter-Religius dapat Meningkatkan Karakter Toleransi
Mahasiswa di Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar Ende.
5

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penggunaan model


Contextual Learning dengan Pendekatan Inter-Religius untuk meningkatkan
Karakter Toleransi Mahasiswa di Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar
Ende adalah:

1. Menghasilkan model Contextual Learning dengan Pendekatan Inter-


Religius yang layak untuk meningkatkan Karakter Toleransi Mahasiswa
di Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar Ende.

2. Menghasilkan model Contextual Learning dengan Pendekatan Inter-


Religius yang praktis untuk meningkatkan karakter toleransi mahasiswa
di Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar Ende.

3. Menghasilkan model Contextual Learning dengan Pendekatan Inter-


Religius yang efektif dapat meningkatkan karakter toleransi mahasiswa
di Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar Ende.

D. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara


teoritis maupun secara praktis.

1. Secara teoritis, diharapkan dapat menghasilkan prinsip-prinsip


pembelajaran dalam pengembangan model pembelajaran dengan
pendekatan Inter-Religius.

2. Secara praktis diharapkan kesimpulan yang diperoleh memberikan


sumbangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan para calon guru
agama Katolik di Indonesia, diantaranya:

a. Diharapkan dapat digunakan oleh dosen sebagai alternatif


pengembangan model pembelajaran.
6

b. Diharapkan dapat dijadikan bahan acuan pengembangan


pendekatan pembelajaran untuk meningkatkan karakter toleransi
mahasiswa-mahasiswi.

c. Bagi Stipar Ende, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan


dalam upaya pengembangan kurikulum dan pembelajaran secara
optimal, terkait dengan strategi pembelajaran peserta didik dalam
meningkatkan karakter toleransi mahasiswa-mahasiswi.

E. Asumsi Penelitian

1. Pengembangan model Contextual Learning dengan Pendekatan Inter-


Religius dapat meningkatkan Karakter Toleransi Mahasiswa di Prodi
Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar Ende.

2. Kepratisan dan keefektifan model Contextual Learning dengan


Pendekatan Inter-Religius dapat meningkatkan Karakter Toleransi
Mahasiswa di Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar Ende.

F. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Mengingat keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya penelitian maka penelitian


dibatasi dalam beberapa hal yaitu:

1. Penelitian ini hanya dilaksanakan pada kuliah Hubungan Antar Iman


Program Studi (Prodi) Pendidikan Keagamaan Katolik yang mengacu
pada Kurikulum Perguruan Tinggi (KPT) berdasarkan KKNI.

2. Penelitian dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Keagamaan


Katolik Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende (Stipar Ende).

3. Penelitian berfokus pada karakter toleransi dan bukan pada perilaku


dan pemahaman mengenai toleransi sekalipun masih berhubungan
erat..
7

G. Definisi Istilah

Penelitian ini berjudul: Pengembangan Model Contextual Learning Dengan


Pendekatan Inter-Religius Untuk Meningkatkan Karakter Toleransi Mahasiswa/I
Di Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende. Untuk menghindari adanya salah
penafsiran terhadap penelitian ini, maka dapat diuraikan definisi istilah sebagai
berikut:

1. Contextual Learning (CI) adalah konsep belajar yang membantu dosen


mengaitkan isi mata kuliah dengan situasi nyata dalam kehidupan
sehari-hari dan memotivasi mahasiswa untuk membuat keterhubungan
antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari
sebagai anggota masyarakat.

2. Pendekatan Inter-Religius adalah pendekatan dalam pendidikan agama


yang mengarahkan peserta didik untuk menjalin hubungan antarumat
beragama yang positif dan konstruktif

3. Karakter Toleransi adalah kepribadian seseorang yang bersifat


menenggang, yaitu menghargai serta membolehkan suatu pendirian,
pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda
dengan pendirian sendiri.
8

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengembangan Model Contextual Learning Dengan Pendekatan Inter-


Religius Dalam Kawasan Teknologi Pendidikan

Teknologi pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu yang telah


berkembang sebagaimana bidang ilmu. Sebagai suatu ilmu terapan, teknologi
pendidikan juga didukung oleh berbagai konsep teoretis ilmu dasar yang relevan
dengan teknologi pendidikan. Teknologi pendidikan juga berkembang sesuai
dengan perkembangan lmu dan teknologi, sehingga dapat membantu manusia
dalam meningkatkan kualitas pembelajaran yang lebih baik. Sebagai suaru
disiplin lmu yang masih baru, teknologi pendidikan selalu berupaya untuk
mengembangkan konsep dan teori keilrnuwannya. Teknologi pendidikan selalu
mengarah kepada upaya agar manusia memperoleh kesempatan belajar seoptimal
mungkin dengan menggunakan berbagai proses dan aneka sumber belajar.

Menurut AECT (Associanon for Educational Communications Technology)


tahun 2008, Teknologi Pendidikan adalah studi dan etika praktik untuk
memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan,
penggunaan, dan pengaturan proses dan sumber daya. Dari defenisi di atas, maka
Teknologi Pendidikan memiliki beberapa kata kunci, yaitu: Study adalah
pemahaman teoritis yang dibutuhkan di dalam praktik teknologi pendidikan
sebagai konstruksi serta perbaikan pengetahuan melalui penelitian dan refleksi
praktek pembelajaran. Practice yang mengacu pada kesesuaian yang telah
didefinisikan AECT tentang apa yang dilakukan oleh praktisi teknologi
pendidikan. Fasilitating hadir sebagai akibat dari pergeseran paradigma
pembelajaran yang memberikan peran dan tanggung jawab lebih besar kepada
peserta didik sehingga peran teknologi pendidikan berubah menjadi memfasilitasi.
Learning selain berkaitan dengan ingatan tetapi juga berkaitan dengan
pemahaman, tugas pembelajaran dapat dikategorikan berdasarkan taksonomi.
9

Improving berkaitan dengan peningkatan kualitas produk yang menyebabkan


pembelajaran menjadi lebih efektif, perubahan dalam kapabilitas yang membawa
dampak pada aplikasi dunia nyata. Performance berkaitan dengan kesanggupan
peserta didik dalam menggunakan dan mengaplikasikan kemampuan yang baru
didapatkannya. Creating mengacu pada penelitian, teori dan praktek dalam
pembuatan materi belajar, lingkungan pembelajaran dan sistem pembelajaran
dalam beberapa seting yang berbeda, formal atau non formal. Using mengacu
pada teori dan praktek terkait dengan membawa peserta didik berhubungan
dengan kondisi dan sumber belajar. Managing mengacu pada manajemen
perorangan serta manajemen informasi yang mengacu pada masalah
pengorganisasian orang-orang dan perencanaan, pengendalian, penyimpanan dan
pengolahan informasi.

Berdasarkan kawasan teknologi pendidikan menurut Alan Janueszewski dan


Molenda (2008) maka pengembangan model Contextual Learning dengan
Pendekatan Inter-Religius masuk dalam kawasan creating (penciptaan). Dalam
kegiatan ini peneliti mengembangkan model Contextual Learning dengan
Pendekatan Inter-Religius untuk meningkatkan karakter toleransi mahasiswa-
mahasiswi dalam memaksimalkan penyampaian materi dan memberikan interaksi
berkelanjuatan sehingga proses belajar akan lebih mudah dipahami oleh peserta
didik, yang pada akhirnya dapat meningkatkan tujuan pembelajaran.

B. KARAKTER TOLERANSI

1. Karakter

Karakter merupakan sikap yang dimiliki oleh seseorang atau ciri khas
seseorang. Mahasiswa yang memiliki karakter kuat diharapkan mampu
mempertahankan kepribadian dan kemampuan tersebut di lingkungannya,
sehingga mahasiswa dapat berkembang dan memiliki kepribadian yang baik.
Pandangan dari beberapa ahli diantaranya adalah Wibowo (2012:34) mengatakan
bahwa: “suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan. Karakter menurut Licona
(2013:28) yaitu “ukuran utama dari seorang individu dan juga ukuran utama dari
10

sebuah bangsa”. Karakter dengan demikian menggambarkan ciri khas seseorang


atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan
ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Dalam hubungannya
dengan pendidikan karakter dapat dilihat sebagai pendidikan nilai, pendidikan
moral yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara kebaikan, mewujudkan dan
menebar kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Dengan
demikian karakter merupakan kepribadian yang mengandung nilai atau sikap
tertentu.

Pendidikan karakter menjadi hal urgen dewasa ini untuk menumbuhkan


kepribadian seseorang sesuai nilai-nilai yang dianut masyarakat umumnya.
Pendidikan karakter selain memiliki nilai juga memiliki fungsi. Salahudin
(2013:43) mengemukakan fungsi pendidikan karakter yaitu: 1) pengembangan
potensi-potensi dasar, agar “berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik”.
2) perbaikan perilaku atau sikap yang kurang baik dan penguatan perilaku yang
sudah baik. 3) penyaringan budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur
pancasila. Dengan ini, pendidikan karakter memiliki peranan yang cukup penting
yaitu untuk mengembangkan potensi yang dimiliki mahasiswa agar
berkepribadian baik.

2. Toleransi

Secara etimologis, toleransi berasal dari kata benda bahasa Latin yaitu
tolerantia. Tolerantia ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa bahasa
Inggris tolerance yang artinya dengan sabar membiarkan sesuatu. Kata benda
tolerantia ini kemudia diterjemahkan menjadi kelonggaran, kelembutan hati,
keringanan dan kesabaran. Kata Toleransi ini kemudian diperluas maknanya
menjadi sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar
menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah dan berbeda (Fauzi,
2019: 11).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi yang berasal dari kata
“toleran” berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
11

membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan) yang berbeda dan


atau yang bertentangan dengan pendiriannya (Poerwadarminto, 1986: 184).
Toleransi adalah sikap atau sifat menenggang, yaitu menghargai serta
membolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang
lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri (Ismaildan Noorbani, 2020: 11).

Dalam deklarasi prinsip-prinsip toleransi UNESCO dinyatakan bahwa,


toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan atas keragaman budaya
dunia yang kaya, berbagai bentuk ekspresi diri, dan cara-cara menjadi manusia.
Toleransi adalah kerukunan dalam perbedaan (Khalikin dan Fathuri, 2016; 12).
Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility, feacefulnes, unity) merupakan
salah satu pilar karakter mulia yang selayaknya diberikan perhatian khusus dalam
pendidikan karakter di Indonesia (Ali, 2017: 92).

Berikut pengertian toleransi menurut para ahli:

a. Mukti Ali. Toleransi berasal dari bahasa Latin tolerare yang berarti
menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang lain berpendapat
berbeda, berhati lapang dan tenggang rasa terhdap yang berlainan
pandangan, keyakinan dan agama (Ali, 2006: 87).
b. Baidh. Toleransi adalah kesiapan dan kemampuan batin untuk kerasan
(Jawa) bersama orang lain yang berbeda secara hakiki meskipun terdapat
konflik dengan pemahaman anda tentang apa yang baik dan jalan hidup
yang layak (Baidhawi, 2005: 79).
c. Heiler. Toleransi yang diwujudkan dalam kata dan perbuatan harus
dijadikan sikap menghadapi pluralitas agama yang dilandasi dengan
kesadaran ilmiah dan harus dilakukan dalam hubungan kerja sama yang
bersahabat dengan antar pemeluk agama.
d. Djohan Efendi. Toleransi adalah sebagai sikap menghargai terhadap
kemajemukan. Dengan kata lain sikap ini bukan saja untuk mengakui
eksistensi dan hak-hak orang lain, bahkan lebih dari itu, terlibat dalam
usaha mengetahui dan memahami adanya kemajemukan (Dinata, 2012:
88).
12

e. Hasyim. Toleransi adalah pemberian kebebasan kepada sesama manusia


atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya
untuk mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing
selama dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar
dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat asas terciptanya ketertiban
dan kedamaian dalam masyarakat (Warsah, 2018; 11).
f. Abdurrahman Wahid. Toleransi tidak cukup sebatas hidup berdampingan
secara damai (peaceful coexistence). Lebih dari itu, toleransi harus
diwujudkan dalam kesediaan untuk saling belajar, memberi dan menerima
(take and give) di antar umat beragama (Muhaimin, 2010; 9-10).
g. Husein Muhammad. Toleransi (at-tasamuh) mengandung makna suatu
pandangan, sikap mental, dan cara bertindak memudahkan, lapang dada,
lega hati, dan berkenan memberi ruang kepada orang lain. Tidak
mempersulit atau memberatkan, atau memaksakan kehendak kepada
orang lain (Muhammad, 2020; 109-110).

3. Toleransi Beragama

Toleransi beragama sendiri memiliki makna sikap menghargai dan


menghormati masalah-masalah keyakinan yang berhubungan dengan akidah atau
ketuhanan yang diyakini orang lain. Toleransi beragama juga merupakan sikap
dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok atau
golongan yang berbeda agama dan keyakinan dalam suatu masyarakat. Seseorang
harus diberikan kebebasan untuk meyakini dan memeluk agama sesuai dengan
pilihannya masing-masing, serta memberikan kebebasan menjalankan ajaran-
ajaran yang dianut atau diyakini tersebut (Amalia & Nanuru, 2018:155).

Toleransi beragama adalah sikap maupun perilaku terhadap hal-hal yang


bersifat keagamaan meliputi : keyakinan, pemikiran, maupun perilaku keagamaan
umat beragama yang mencerminkan toleransi terhadap umat beragama lain baik
perorangan maupun kelompok (Badan Litbang dan Diklat, 2016: 14). Toleransi
Antar Umat Beragama adalah toleransi yang mencakup masalah- masalah
keyakinan pada diri manusia yang berhubungan dengan akidah atau yang
13

berhubungan dengan ke-Tuhan yang diyakininya. Seseorang harus diberikan


kebebasan untuk meyakini dan memeluk agama (mempunyai akidah) masing-
masing yang dipilih serta memberikan penghormatan atas pelaksanaa ajaran-ajaran
yang dianut atau diyakininya (Majid, 2001: 138). Toleransi dalam beragama
merupakan sikap amat mulia dan patut mendapat dukungan, namun bila penganut
suatu agama tertentu melakukan kejahatan, terorisme atau pelanggaran hak asasi
manusia, maka sikap toleran terhadapnya tidaklah tepat (Mayosarah, 2020; 83).

Adapun manfaat toleransi dalam hidup beragama diantaranya:

a. Menghindari terjadinya perpecahan. Bersikap toleransi merupakan

solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama.

Sikap toleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang

dibiasakan dalam wujud interaksi sosial.

b. Memperkokoh silaturahmi dan menerima perbedaan. Salah satu upaya

untuk mewujudkan toleransi hidup beragama adalah menjalin dan

memperkokoh silaturahmi antar umat beragama dan menjaga

hubungan yang baik dengan manusia lainnya (Hermansyah, 2021;

11-12).

Menurut Jirhanuddin, manfaat toleransi beragama antara lain:

a. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan keberagaman masing-masing

agama. Masing-masing penganut agama dengan adanya kenyataan

agama lain, akan semakin mendorong menghayati dan sekaligus

memperdalam ajaran- ajaran agamanya serta semakin berusaha untuk

mengamalkannya. Maka dengan demikian, keimanan dan

keberagaman masing-masing penganut agama akan dapat lebih

meningkat.
14

b. Menciptakan stabilitas nasional yang mantap. Dengan terwujudnya

kerukunan hidup antar umat beragama, secara praktis ketegangan-

ketegangan yang ditimbulkan akibat perbedaan paham yang

berpangkal pada keyakinan keagamaan dapat dihindari.

c. Menunjang dan mensukseskan pembangunan. Salah satu usaha agar

kemakmuran dan pembangunan di segala bidang selalu berjalan

dengan baik, sukses dan berhasil diperlukan toleransi antar umat

beragama sehingga terciptanya masyarakat yang rukun.

d. Terciptanya suasana yang damai dalam bermasyarakat. Ketika

antarsesama manusia bisa hidup harmonis dalam bingkai kerukunan

tanpa ada pembedaan yang menyakiti atau menindas pihak lain, maka

yang tercipta adalah suasana damai dalam masyarakat .

e. Memelihara dan mempererat rasa persaudaraan dan silaturahmi antar

umat beragama.

f. Memelihara dan mempererat persaudaraan sesama umat manusia

sebagai bangsa yang majemuk.

g. Menciptakan rasa aman bagi agama-agama minoritas dalam

melaksanakan ibadahnya masing-masing. Rasa aman bagi umat

beragama dalam melaksanakan peribadatan dan ritual keyakinan yang

dianutnya merupakan harapan hakiki dari semua pemeluk agama.

h. Meminimalisir konflik yang terjadi yang mengatasnamakan agama.

Konflik merupakan suatu keniscayaan yang mengiringi kehidupan

manusia, selama ada kehidupan potensi konflik akan selalu ada.


15

Konflik disebabkan dari berbagai sumber, termasuk juga dalam hal

keagamaan. Konflik yang mengatasnamakan agama menjadi sangat

sensitif bahkan sangat berbahaya bagi masyarakat, karena melibatkan

sisi terdalam manusia (Jirhanuddin, 2010; 193).

Toleransi beragama merupakan sikap dasar yang perlu dimiliki bangsa ini

untuk menjadi bangsa yang maju dan beradab. Perbedaan agama bukanlah

alasan untuk berkonflik tetapi menjadi kekayaan bangsa yang mempersatukan.

Mahasiswa-mahasiswi sebagai kaum intelektual bangsa perlu memiliki karakter

toleransi sebagai ujung tombak perubahan di tengah masyarakat.

4. Indikator Karakter Toleransi

Indikator karakter toleransi menurut Stevenson dalam Yaumi (2014:92)


yaitu:

Kriteria yang digunakan untuk mengukur dan menilai sikap toleran, seperti
terbuka dalam mempelajari tentang keyakinan dan pandangan orang lain,
menunjukkan sikap positif untuk menerima sesuatu yang baru,
mengakomodasinya adanya keberagaman suku, ras, agama, budaya,
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan dan mendengarkan pandangan orang
lain dengan penuh hormat, dan menunjukkan keinginan kuat untuk
mempelajari sesuatu dari orang lain.
Sesuai dengan maksud penelitian ini, indikator toleransi dapat berupa:

a. Menjaga hak orang lain yang berbeda agama untuk melaksanakan


ajaran agamanya.
b. Menghargai pendapat orang lain yang berbeda sebagai suatu yang alami
dan insani.
c. Bekerjasama dengan teman yang berbeda agama, suku, ras, etnis dalam
kegiatan bermasyarakat.
d. Bersahabat dengan teman yang berbeda pendapat.
16

C. Model Contextual Learning dengan Pendekatan Inter-Religius

1. Model Contextual Learning (CL)

Contextual Learning terdiri dari dua kata yaitu: context artinya

berhubungan dengan suasana atau keadaan dan Learning artinya pembelajaran.

Menurut bahasanya kata contextual berasal dari bahasa latin yang artinya

mengikuti keadaan, situasi dan kejadian (Echols & Shadily, 1997:143). Adapun

pengertian Contextual Learning menurut Depdiknas adalah konsep belajar yang

membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia

nyata dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan perencanaan dalam kehidupan mereka sehari-hari

(Depdiknas, 2007:246). Dengan demikian Contextual Learning adalah system

belajar dan mengajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang

diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong peserta didik membuat

hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam

kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerjaan

(Komalasari, 2010:6). CL adalah mengajar dan belajar yang menghubungkan isi

pelajaran dengan lingkungan (Kesuma, 2010:5). Pembelajaran kontekstual

adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik melihat

makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara

menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari- hari, yaitu

dengan kontexs lingkungan pribadinya, sosial dan budaya. Pembelajaran

konteks terjadi ketika peserta didik menerapkan dan mengalami apa yang

diajarkan dengan mengacu pada masalah riil yang berasosiasi dengan peranan
17

dan tanggung jawab sebagai anggota keluarga, masyarakat, siswa, dan selaku

pekerja.

Dalam dunia perguruan tinggi, CL adalah konsep belajar yang membantu


dosen mengaitkan isi mata kuliah dengan situasi nyata dalam kehidupan sehari-
hari dan memotivasi mahasiswa untuk membuat keterhubungan antara
pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota
masyarakat, pelaku kerja profesional atau manajerial, entrepreneur, maupun
investor. Sebagai contoh, apabila kompetensi yang dituntut matakuliah adalah
mahasiswa dapat menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses transaksi
jual beli, maka dalam pembelajarannya, selain konsep transaksi ini dibahas dalam
kelas, juga diberikan contoh, dan mendiskusikannya. Mahasiswa juga diberi tugas
dan kesempatan untuk terjun langsung di pusat- pusat perdagangan untuk
mengamati secara langsung proses transaksi jual beli tersebut, atau bahkan terlibat
langsung sebagai salah satu pelakunya, sebagai pembeli, misalnya. Pada saat itu,
mahasiswa dapat melakukan pengamatan langsung, mengkajinya dengan berbagai
teori yang ada, sampai ia dapat menganalis faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi terjadinya proses transaksi jual beli. Hasil keterlibatan,
pengamatan dan kajiannya ini selanjutnya dipresentasikan di dalam kelas, untuk
dibahas dan menampung saran dan masukan lain dari seluruh anggota kelas.

Pada intinya dengan CI, dosen dan mahasiswa memanfaatkan pengetahuan


secara bersama-sama, untuk mencapai kompetensi yang dituntut oleh matakuliah,
serta memberikan kesempatan pada semua orang yang terlibat dalam
pembelajaran untuk belajar satu sama lain. Dari konsep tersebut, minimal tiga hal
yang terkandung didalamnya:

a. CL menekankan kepada proses keterlibatan mahasiswa untuk


menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses
pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CL tidak
mengharapkan mahasiswa hanya dapat menerima materi kuliah saja
18

secara pasif, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi
kuliah.

b. CL mendorong mahasiswa agar dapat menemukan hubungan antara


materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya
mahasiswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara belajar di
ruang kuliah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab
dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan
nyata, bukan saja bagi mahasiswa materi itu akan bermakna secara
fungsional akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat
dalam memori mahasiswa, sehingga tidak mudah dilupakan.

c. CL mendorong mahasiswa untuk dapat menerapkannya dalam


kehidupan, artinya CL bukan hanya mengharapkan mahasiswa dapat
memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi
kuliah itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari- hari.

Gambaran metode Cl dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel. 01 Model Contextual Learning

Metode Aktivitas Belajar Mahasiswa Aktivitas Dosen


Pembelajaran

Contextual • Membahas konsep (teori) • Menjelaskan bahan kajian


Learning kaitannya dengan situasi yang bersifat teori dan
nyata mengkaitkannya dengan
• Melakukan studi lapangan/ situasi nyata dalam kehi-
terjun di dunia nyata untuk dupan sehari-hari, atau kerja
mempelajari kesesuaian profesional, atau manajerial,
teori. atau entrepreneurial.
• Menyusun tugas untuk studi
mahasiswa terjun ke lapa-
ngan

Teori lain yang mendukung pembelajaran kontekstual (Trianto, 2008:40-41)


adalah:
19

a. Teori Perkembangan dari Piaget. Menurut Piaget: bagaimana seseorang


memperoleh kecakapan intelektual, pada umumnya akan berhubungan
dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang ia rasakan dan ia
ketahui pada satu sisi dengan apa yang ia lihat sebagai suatu fenomena
baru sebagai pengalaman.
b. Teori Belajar Vygotsky. Vygotsky mengatakan bahwa jalan pikiran
seseorang harus dimengerti dari latar sosial budaya dan sejarahnya.
Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang sesuai
dengan teori sosiogenesis. Artinya pengetahuan dan perkembangan
kognitif individu berasal dari sumber- sumber sosial di luar dirinya.
c. Teori Belajar Konstruktivisme. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa
siswa harus menemukan sendiri dan mentranformasikan informasi
kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan lama dan merevisinya
apabila aturan- aturan itu tidak lagi sesuai. Menurut teori ini, satu prinsip
yang paling penting dalam pisokologi pendidikan adalah bahwa guru
tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Yaitu siswa diberi
kesempatan yang seluas- luasnya untuk mengembangkan ide- ide yang ia
miliki, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan
strategi mereka sendiri untuk belajar.
d. John Dewey Metode Pengajaran. Menurut John Dewey metode reflektif
di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-
hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan- kesimpulan yang
definitif melalui lima langkah, yaitu:
1) Siswa mengenali masalah- masalah itu datang dari luar diri siswa
itu sendiri.
2) Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya
dan menentukan masalah yang di hadapinya.
3) Lalu dia menghubungkan uraian- uraian hasil analisisnya itu atau
satu sama lain, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna
20

memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh


pengalamannya sendiri.
4) Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis
dengan akibatnya masing- masing.
5) Selanjutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan
pemecahan yang dipandangnya terbaik .Hasilnya akasn
membuktikan betul- tidaknya pemecahan masalah itu. Bilamana
pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan
dicobanya kemungkinan yang lain sampai ditemukan pemecahan
masalah yang tepat. Pemecahan masalah itulah yang benar, yaitu
yang berguna untuk hidup.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan pembelajaran CL adalah


mahasiswa diharapkan mampu memperoleh kecakapan intelektual dan dapat
membangun sendiri pengetahuan dalam dirinya serta mampu memecahkan atau
menyelesaikan permasalah yang ada, karna dosen berfungsi sebagai fasilitator
dalam proses pembelajaran. Dengan begitu mahasiswa akan terbiasa mandiri dan
menjadi lebih kreatif dan inovatif di dalam pembelajaran.

Untuk memahami secara lebih mendalam konsep pembelajaran kontekstual,


COR (Center For Occupational Research) di Amerika menjabarkannya menjadi
lima konsep bawahan yang disingkat REACT (Muslich, 2009:41) yaitu:

a. Relating adalah bentuk belajar dalam kontek kehidupan nyata atau


pengalaman nyata, pembelajaran harus digunakan untuk menghubungkan
situasi sehari- hari dengan informasi baru untuk dipahami atau dengan
problema untuk dipecahkan.
b. Experincing adalah belajar dalam kontexs ekplorasi, penemuan, dan
penciptaan. Ini berarti bahwa pengetahuan yang diperoleh siswa melalui
pembelajaran yang mengedepankan proses berpikir kritis lewat siklus
inguary.
c. Applying adalah belajar dalam bentuk penerapan hasil belajar ke dalam
penggunaan dan kebutuhan praktis. Dalam praktiknya, siswa menerapkan
21

konsep dan informasi ke dalam kebutuhan kehidupan mendatang yang


dibayangkan.
d. Coorperating adalah belajar dalam bentuk berbagi informasi dan
pengalaman, saling merespon, dan saling berkomunikasi. Bentuk ini
tidak hanya membantu siswa belajar materi, tetapi juga konsisten dengan
penekanan belajar kontekstual dalam kehidupan nyata. Dalam kehidupan
nyata siswa akan menjadi warga yang hidup berdampingan dan
berkomunikasi dengan warga lain.
e. Transfering adalah kegiatanbelajar dalam bentuk memampaatkan
pengetahuan pengalaman berdasarkan kontexs baru untuk mendapatkan
pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru.15

Pendekatan CL diharapkan lebih bermakna bagi mahasiswa. Proses


pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan mahasiswa bekerja dan
mengalaminya. Dalam konteks ini, mahasiswa perlu mengerti apa makna belajar,
apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Mereka
sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi kehidupannya nanti. Dalam ruang
kuliah kontekstual, dosen berusaha membantu mahasiswa mencapai tujuan, yakni
dosen lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas
dosen adalah mengelola ruan kuliah sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk
menemukan pengetahuan dan keterampilan yang baru bagi mahasiswa.
Pengetahuan dan keterampilan diperoleh dengan menemukan sendiri bukan hanya
didapat dari dosen.

2. Pendekatan Inter-Religius

a. Pentingnya Pendekatan Inter-religius

Pendidikan sebagai proses timbal balik dari setiap pribadi manusia dalam
penyesuaian dirinya dengan masyarakat, dengan teman, dan dengan alam semesta
(Suripto, 2017). Berdasarkan aspek-aspek kognitif, afektif, dan sikap (attitude)
dalam pendidikan keagamaan, Mohamad Yusuf dan Carl Sterkens membedakan
22

pendidikan agama ke dalam mono-religius, multi-religius dan inter-religius


(Yusuf, 2015). Pendidikan agama model monoreligius merupakan model studi
agama yang hanya mempelajari agama yang dianut. Pendidikan agama model
multireligius adalah model studi agama yang tak hanya mempelajari agama yang
dianut, tetapi juga agama lain. sedangkan pendidikan agama model inter-religius
merupakan model studi agama yang menekankan pada aspek dialog antara umat
beragama (Munjid, 2016).

Ketiga model diatas bukanlah merupakan tingkatan dimana satu dengan


sendirinya lebih unggul. Masing masing dapat menjadi dapat menjadi model yang
efektif pada kondisi dan konteksnya masing-masing (Iqbal, 2014). Model
pendidikan mono-religius secara kognitif menitikberatkan pada cara memberikan
pengetahuan dan pemahaman atas suatu agama tertentu kepada seseorang. Model
ini biasanya hanya terfokus pada satu agama saja, namun demikian tidak berarti
model ini mengabaikan pengetahuan tentang agama lain. Agama lain akan
didiskusikan dalam perspektif satu orang, yang tujuannya tidak lain untuk
menegaskan kebenaran tradisi agamanya sendiri. Secara afektif, model mono-
religius ditujukan untuk meningkatkan minat dan melibatkan siswa pada suatu
agama tertentu. Dalam hal sikap (attitude), model ini dimaksudkan untuk
mendorong keterlibatan siswa dalam aktivitas keagamaan tertentu serta
membentuk sikap dan perilaku siswa sesuai dengan norma dan ajaran agama
tertentu (Yusuf, 2013). Model ini diajarkan lewat pembatinan pelbagai
kepercayaan, nilai dan ritual dari tradisi religius yang bersangkutan minus
(metode) berpikir kritis (Yusuf, 2013).

Model pendekatan multi-religius memandang adanya kebutuhan untuk


memahami kemajemukan agama dalam pandangan yang positif, yaitu dengan
memperkenalkan siswa kepada banyak agama (Saihu, 2019b). Model ini
menitikberatkan pada pemberian informasi atas keterkaitan agama dengan mata
pelajaran lain di sekolah, misalnya pelajaran sejarah, geografi, bahasa dan lain-
lain. Model multi-religius ini menekankan verifikasi terhadap tradisi berbagai
agama dalam dan keyakinan agama direpresentasikan dengan cara mereka sendiri.
23

Secara afektif, model multi-religius bertujuan untuk menumbuhkan ketertarikan


siswa dalam mempelajari berbagai agama. Dalam hal sikap, model ini berusaha
untuk menumbuhkan sikap saling menghormati terhadap pemeluk agama yang
berbeda (Yusuf, 2013).

Sedangkan model pendidikan inter-religius terfokus pada komunikasi antar


penganut agama yang berbeda. Model ini berusaha untuk mengungkapkan
keunikan setiap tradisi keagamaan, dan pada saat yang sama juga untuk
mengevaluasi kemajemukan agama dalam konteks positif. Secara afektif, tujuan
model inter-religius adalah membangun komunikasi yang efektif antara suatu
tradisi agama dengan tradisi agama lainnya. Komunikasi adalah unsur terpenting
dalam model inter-religius. Dalam hal sikap, model ini bertujuan untuk
menumbuhkan sikap yang terbuka dalam menerima dan berdialog dengan agama
lain. Dalam dialog, setiap peserta didik belajar untuk mengadopsi perspektif
tradisi keagamaan masing-masing. Dalam dialog-dialog yang dibangun, siswa
mendiskusikan agamanya sendiri dan agama-agama lain melalui berbagai
perspektif (Sterkens, 2013).

Listia mendefinisikan pendidikan inter-religius sebagai proses pendidikan


yang berlangsung bersumber dari nilai-nilai kebaikan yang ada dalam berbagai
ajaran dan pengalaman beragama. Perbedaan dogmatis dalam ajaran-ajaran agama
tidak dipandang sebagai halangan, tetapi justru memberi ruang pada peserta didik
untuk dikenali oleh semua pihak dengan saling menghormati. Nilai-nilai yang
sama yang diajarkan dalam agama-agama, saling menjadi peneguh dan penguat
satu sama lain. Sehingga perbedaan dapat dilihat oleh peserta didik sebagai
rahmat, berkat atau kebaikan yang dapat dirayakan dan disyukuri bersama (Listia,
2016).

Ada beberapa manfaat mengkaji agama-agama melalui pendekatan inter-


religius ini yaitu membantu seseorang untuk mengenalkan diri kepada orang yang
berbeda agama dan budaya, membangun prinsip bersama dalam menciptakan
keamanan dan kedamaian masyarakat. Demikian pula dapat membantu orang-
orang bekerja sama dalam menyebarkan nilai kebaikan, perdamaian, hegemoni
24

dan menentang tindakan eksploitasi, kehancuran dan kejahatan yang mengancam


masyarakat (Ibrahim, 2012).

Pendidikan inter-religius adalah bagian dari pendidikan antarbudaya yang


bertujuan untuk membangun pemahaman, toleransi dan keterikatan sosial untuk
“secara aktif membentuk hubungan orang-orang dari berbagai agama.”
Pendidikan antarbudaya, seperti yang didefinisikan oleh Milton Bennett sebagai
proses “memperoleh kesadaran yang meningkat akan konteks budaya subyektif
(pandangan dunia), termasuk milik sendiri, dan mengembangkan kemampuan
yang lebih besar untuk berinteraksi secara sensitif dan kompeten di seluruh
konteks budaya baik sebagai jangka pendek maupun jangka panjang.” (UNISCO,
2006)

Di Indonesia, gagasan model pendidikan semacam ini muncul pada tahun


2014-2015. Kemudian mulai dirumuskan pada tahun 2015-2016, untuk menutup
kekuarangan dalam pendidikan agama-agama yang umumnya masih tertutup
dengan ragam keyakinan yang ada dalam masyarakat. Melalui pendidikan ini,
peserta belajar dapat memasuki perjumpaan untuk belajar mengenali perbedaan
pengalaman iman, mengambil pelajaran dari nilai-nilai yang sama yang ada dalam
semua ajaran agama untuk kehidupan bersama yang damai. Diantara penggagas
awalnya adalah Adhi D. Nugroho, Alamsyah M. Dja’far, Edy Najmuddin
Aqdhiwijaya, Farid Wajdi, Mariatul Asiyah, Jacky Manuputty, Linda Bustan,
Listia, Nia Sjarifudin, Purwono Nugroho Adhi, Sartana, Subkhi Ridho, Suhadi,
Wiwin Siti Aminah, Yayah Khisbiyah, Anis Farikhatin, Herlina Ratu Kenya, dll.

Pendidikan inter-religius sejatinya menawarkan solusi mengenai


kesepahaman antara agama, karena dengan begitu yang terjadi adalah pemahaman
bersama terhadap nilai, amalan atau tindakan sesuatu penganut agama antara para
penganut agama yang berbeda, sehingga memiliki perspektif yang sama dalam
konsep hubungan dengan Tuhan, manusia atau alam semesta. Kesepahaman
antara agama diketengahkan untuk mencari titik persamaan dalam nilai-nilai
kebaikan, di samping menghormati perbedaan antara agama. Kesepahaman antara
penganut agama wajar dilaksanakan dalam mencapai perpaduan, keharmonian dan
25

keamanan, terutama di negara yang masyarakatnya majemuk. Kajian ini tentunya


akan membawa ke arah moralitas dalam pendidikan dan aspek-aspek
kesepahaman antara penganut agama, terutama dalam diri para pelajar itu sendiri
(Khabar, 2016).

Jadi, pendidikan inter-religius menawarkan perubahan paradigma dari


pendidikan agama ke pendidikan keagamaan yang nantinya akan berdampak
positif, karena tidak hanya mempererat persaudaran toleransi antar umat beragama
dan mengeliminasi gerakan fanatik pada sekte tertentu yang cenderung radikal,
tetapi juga membangun dan mengembangkan negara demi mewujudkan keadilan
bersama-sama. Hal tersebut akan berdampak berkurangnya stereotype pada suku
maupun agama tertentu, sehingga mereka bisa bersama-sama bergerak untuk
mewujudkan kepentingan yang sama membangun kehidupan yang harmoni,
saling menghormati dalam bingkai keragaman negara.

b. Faktor-faktor penting dalam pendidikan inter-religius

Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam mengimplementaskan


pendidikan interreligius pada pendidikan:

1) Mencari format pendekatan dan teknik pembelajaran yang relevan.


Pendidikan Inter-Religius adalah pendidikan yang menekankan pada
aspek dialog antara umat beragama dengan bersumber dari nilai-nilai
kebaikan yang ada dalam berbagai ajaran dan pengalaman beragama.
Pendidikan ini juga berorientasi pada kemanusiaan dan kebersamaan
untuk mengembangkan prinsip demokrasi, kesetaraan dan keadilan
dalam kehidupan bermasyrakat, terutama di masyarakat yang
heterogen, diperlukan orientasi hidup yang universal yaitu,
kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian. Manusia dengan fungsinya
sebagai mahluk sosial harus mampu mengembangkan nilai-nilai insani
dalam kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai itu meliputi sikap toleransi,
mendahulukan berdialog, semangat kerjasama dan menjalin
persaudaraan. Jika konsepsi tersebut dilakukan dengan baik, niscaya
manusia yang notabene diciptakan berbeda-beda itu akan dapat hidup
26

dalam kebersamaan dan kesederajatan. Oleh sebab itu, dalam


mengembangkan sikap diatas, pendidik harus memperbesar pelibatan
peserta didik dalam mencari dan menggali informasi, membahas
berbagai persoalan yang terkait informasi-informasi tersebut, serta
merefleksi nilai-nilai yang diperoleh dalam proses pembelajaran.
Metode pembelajaran student centered instruction, small group
discucion gam, collaborative learning tersebut harus dikembangkan
secara dinamis dan kombinatif sehingga sikap afeksi peserta didik dapat
tumbuh dan berkembang sesuai yang diharapkan. Media pembelajaran
bisa menggunakan alat bantu video, film atau yang lainnya.
2) Mempertimbangkan kurikulum. Studi pengajaran inter-religius
merupakan suatu metode yang efektif membantu pembentukan norma
bersama, artinya ketika dibentuk suatu aturan, nilai-nilai masing-masing
agama bisa ditarik menjadi satu kesatuan yang telah disepakati dan
masyarakat sudah tahu bagaimana cara melaksanakannya tanpa
melanggar nilai dan norma orang lain. Perjumpaan antar agama yang
rutin bisa pula menjadi kesempatan saling memperkaya dan bekerja
sama mengoptimalkan potensi pribadi setiap pemeluknya dalam
pergaulan di lingkungan masyarakat yang beranekaragam. Dengan
penambahan dan perluasan kompetensi hasil belajar dalam konteks
pembentukan norma bersama dengan memebrikan penekanan pada
kompetensi dasar sebagaimana telah diuraikan di atas.
3) Pendidik. Peran pendidik dalam pendidikan interreligius sangat penting.
Pendidik harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun
perkataannya tidak diskriminatif. Disamping itu juga, pendidik
seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-
kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Pendidikan
interreligius membutuhkan wawasan yang luas dari para guru,
dibutuhkan juga ketrampilan yang memadai dalam komunikasi dan
mengelola forum, sehingga memicu partisipasi peserta didik. Meski
demikian tuntutan kompetensi ini tidak akan menjadi masalah bila guru
27

dan dosen yang bersangkutan bersungguh-sungguh membangun relasi


yang setara dengan peserta didik mereka, sehingga tidak membebani
diri dengan memposisikan diri sebagai sumber utama pengetahuan,
melainkan sebagai mitra belajar. Untuk mewujudkan relasi setara antara
pendidik dan peserta didik barangkali membutuhkan proses tersendiri,
karena membutuhkan kritik diri menyangkut kultur masyarakat yang
umumnya masih hierarkis.

c. Keutamaan Pendekatan Inter-Religius

Pengajaran agama yang menggunakan model monoreligius harus diubah


menjadi multireligius dan interreligius. Selain telah membuat orang ”buta”
tentang agama lain, model pengajaran monoreligius yang hanya mengajarkan
agama sendiri cenderung membuat orang bersikap pasif terhadap keragaman, jika
bukan malah menarik diri. Pendidikan yang bersifat agama monoreligius identik
dengan pendidikan yang monokultural. Monokultur (budaya tunggal) adalah
bentuk kehidupan yang tunggal dan seragam. Alam tak suka akan budaya-budaya
seragam (Pattrick J Deneen) karena budaya seperti ini sangat rentan terhadap virus
atau hama. Kerusakan yang akan terjadi bersifat total dan serempak.

Pendidikan agama monoreligius akan rentan pula terhadap ideologi radikal.


Biasanya pendidikan macam ini tak memiliki banyak variasi dalam memberikan
ilustrasi yang lengkap dan holistik. Sebab, yang diutamakan adalah metode
pembelajaran dan tes yang terstandardisasi: tidak membuat peserta didik menjadi
manusia yang utuh, dengan pemahaman akan dunia secara holistik. Yang
diberikan gambaran-gambaran sempit, cenderung hanya memuji diri sendiri, dan
sebaliknya buta terhadap budaya pihak lain.

Akibatnya, metode pembelajaran macam ini hanya memproduksi alumni


yang tidak adaptif terhadap dunia yang berubah, bahkan berpotensi (menurut
Deneen) menjadi suatu gerombolan terideologi tunggal yang mudah dimobilisasi.
Padahal, pembentukan masyarakat yang plural adalah kebutuhan sosial mendasar.
Sebab, dimana dan kapan pun akan terjadi petaka ketika sekumpulan orang yang
besar bergerak ke arah yang sama, secara serempak, memperebutkan ruang,
28

kesempatan, dan materi yang terbatas. Dalam keadaan seperti ini yang terjadi
hanya desak-desakan, saling dorong, bahkan injak-injakan yang fatal. Malapraktik
yang kuat yang menang akan berulang dengan sendirinya dalam situasi serba
seragam dan serentak.

Alam dan manusia memang memerlukan kebinekaan nyata. Keberagaman


ritual, tradisi, dan budaya dalam menghadirkan religiusitas perlu dilihat sebagai
potensi, hikmah, atau subjek pembelajaran agama. Namun, untuk merealisasikan
keinginan itu diperlukan komitmen bersama para pelaku dunia pendidikan yang
sesungguhnya telah diatur dalam UUD 1945. Pendidikan multireligius dan
interreligius itu bukan hanya penting dan lebih mencerahkan, melainkan juga
esensial dan fundamental bagi kesinambungan pergaulan sosio-kultural atau
interaksi kemanusiaan. Daya hidup kesinambungan sosio-kultural hanya dapat
berjalan secara baik, aman, indah, dan kreatif apabila masyarakat pendukungnya
memberikan ruang dan toleransi bagi kemajemukan.

Model-model monoreligius, multireligius, dan interreligius bukanlah


kategori tingkatan di mana yang satu dengan sendirinya lebih unggul ketimbang
yang lain. Masing-masing bisa menjadi model yang efektif menurut konteks yang
berbeda. Model monoreligius, misalnya, adalah metode yang efektif untuk tujuan
internalisasi dalam rangka meningkatkan kualitas iman, seperti yang dilakukan di
pesantren atau seminari, di mana peserta didik memang mempunyai latar
belakang agama yang seragam. Untuk menghindari kekhawatiran yang
berlebihan, model monoreligius ini masih bisa diterapkan untuk sekolah umum,
tetapi hanya di tingkat sekolah dasar.

Untuk sekolah menengah, model multireligiuslah yang semestinya


digunakan. Melalui model ini, siswa berkesempatan mendapatkan pemahaman
yang informatifdeskriptif tentang beberapa agama di sekitarnya. Dengan
demikian, sejak dini siswa belajar mengapresiasi dan bersikap toleran terhadap
para penganut dan warisan tradisi berbagai agama. Norma bersama dan sikap
yang positif terhadap pluralitas hanya bisa dibentuk melalui proses yang panjang,
antara lain melalui model pengajaran semacam ini.
29

Di perguruan tinggi umum model yang paling efektif adalah interreligius.


Jika model multireligius menekankan pengajaran agamaagama yang bersifat
deskriptif, informatif dan objektif tentang doktrin, ritual, dan sejarah agama
tertentu, model interreligius bergerak lebih jauh dengan menekankan aspek
dialog. Meskipun telah berusaha seobyektif mungkin, seorang Muslim yang
mempelajari agama Kristen, misalnya, mustahil bisa memahami agama itu
sebagaimana yang dilakukan penganut Kristen. Memang bukan itu tujuannya.
Oleh karena itu, selain kemampuan memperoleh informasi dan melakukan
deskripsi berbagai agama secara memadai, dengan mempelajari agama-agama
tersebut, yang lebih penting mahasiswa belajar melatih kemampuan melakukan
dialog melalui proses dialektis berbicara dan mendengar, melihat dan dilihat,
dengan menggunakan berbagai perspektif secara kritis. Banyak orang terampil
memilih yang nyata dalam agama lain untuk dikontraskan dengan yang ideal
dalam agama sendiri. Namun, apa hasilnya selain saling curiga, salah paham, dan
kian berkobarnya rasa saling permusuhan? Melalui proses dialog, seseorang bisa
mendapat pemahaman kritis yang lebih baik serta sikap dan tindakan yang lebih
tepat dan saling memperkaya dalam perjumpaan agama-agama.

Dialog, sebagaimana dikemukakan Leonard Swidler, tentu akan


”mengubah” pelakunya. Artinya, seseorang yang mempelajari agama lain—
sebetulnya apa saja—akan mendapat pengaruh yang kemudian mengubah
persepsi, sikap, dan tindakannya. Namun, jika dilihat secara positif, mengikuti
John Cobb, perubahan itu justru mencerminkan pemahaman yang lebih diperkaya
dan tercerahkan, baik tentang agama sendiri maupun agama orang lain sebab,
sembari mempelajari ”yang lain”, melalui dialog itu seseorang sebetulnya terus-
menerus diajak merefl eksi dan mengenali kembali ”diri sendiri” lebih intensif
dari sejumlah perspektif. Ini sekaligus menegaskan bahwa studi dan pengajaran
agama model interreligius, dan juga multireligius, tak perlu menyeret orang
kepada pendangkalan akidah atau relativisme agama, sebagaimana kadang
dikhawatirkan. Sebaliknya, studi dan pengajaran agama model multireligius dan
interreligius merupakan suatu metode yang efektif membentuk norma bersama
dan sikap yang positif terhadap pluralitas agama sehingga perjumpaan agama bisa
30

menjadi kesempatan saling memperkaya dan bekerja sama, guna mengoptimalkan


potensi pribadi setiap pemeluk agama dalam pergaulan kemanusiaan.

d. Tujuan Pendekatan Inter-religius

Joung Chul Lee dalam artikelnya menjelaskan bahwa pendidikan inter-


religius adalah: (a) belajar bersama ; (b) untuk hidup bersama ; dan (c) dengan
bertukar perspektif agama satu sama lain (Lee, 2019).

1) Pertama, inti dari pendidikan inter-religius adalah belajar bersama.


Maksud dari pendidikan semacam itu bukanlah belajar tentang, tetapi
belajar dari dan dengan yang lain melalui pertemuan dan keterlibatan
langsung.
2) Kedua, pendidikan inter-religius umumnya dikenal sebagai cara yang
efektif untuk mengajarkan keterampilan, pengetahuan, dan sikap,
dimana hal tersebut dapat membantu mereka hidup berdampingan
dengan umat beragama lain.
3) Ketiga, salah satu karakteristik penting dari pendidikan inter-religius ini
adalah bahwa ia mengajak peserta untuk datang dan belajar dengan
saling berbagi perspektif agama antar satu sama yang lain. Singkatnya,
pendidikan inter-religius mengacu pada kegiatan pendidikan yang
mengundang orang-orang dari berbagai latar belakang agama untuk
belajar bersama, yang mendorong mereka untuk berbagi pandangan
agama, identitas, dan pengalaman satu sama lain, dan karenanya,
membantu mereka belajar bagaimana hidup dengan satu sama lain.

Pendekatan interreligius tidak dilakukan dengan menyembunyikan identitas


setiap pihak; atau tidak mempertimbangkan keunikan masing-masing, maka itu
bukan dialog interreligius, tidak ada bedanya dengan dialog umum (Lie, 1998: 8).
Interreligius (interiman) merupakan percakapan antara individu-individu dan
melalui mereka, dua atau lebih komunitas atau kelompok—dengan perbedaan
pemahaman kepercayaan—dapat belajar dari yang lain sehingga ia diubah dan
tumbuh. Pendekatan interreligius adalah untuk mendapatkan manfaat dari
pemahaman yang lebih baik tentang tradisi, ajaran, dan pandangan lain tentang
31

realita dan pemahaman akan kebenaran. Pertanyaan dan jawaban umum di antara
agama-agama tertentu diyakini dapat memperkaya masing-masing tradisi.

Meskipun ada kontradiksi, perbedaan dan pengecualian, mereka terlibat


dalam pencarian bersama, saling melengkapi dan inklusif di antara mereka.
Tujuan umum ini untuk menjawab kondisi yang diperlukan bagi keberagaman.
Tujuan utamanya adalah mengenali yang lain sebagai “yang lain”, yang berbeda
sebagai yang berbeda dan untuk mengakui “bahwa makna dari dunia yang lain,
dalam beberapa hal, adalah opsi yang mungkin untuk saya”. Gagasan pendekatan
interreligius adalah seperti sebuah kendaraan untuk menciptakan “opsi yang
memungkinkan” bagi para mitra dialog dengan respek pada pergeseran makna,
interpretasi, dan pada akhirnya kesadaran religius. Sesama yang beragama lain
dipandang sebagai agen yang diperlukan untuk membawa perubahan dalam
pertumbuhan agama sendiri atau transformasi tradisi agama sendiri (Tracy, 1990:
41).

D. Meningkatkan Karakter Toleransi Menggunakan Model Contextual


Learning Dengan pendekatan Inter-Religius

Model Contextual Learning dengan pendekatan Interreligius adalah proses


pembelajaran pada peserta didik dengan pendekatan untuk mengembangkan
kemampuan berpikir pluralisme dan meningkatkan karakter toleransi sesuai dengan
kebutuhan yang ada di masyarakat. Dalam dengan pendekatan Inter-religius,
peserta didik juga harus dapat memahami perbedaan agama dan membuka diri
terhadap perbedaan tersebut. Evaluasi pembelajaran yang dinilai adalah proses
yang mencakup kebenaran pemahaman, keterbukaan, dan sebagainya.

Model Contextual Learning dapat diterapkan secara efektif dalam kelas


yang besar maupun kecil. Metode ini merupakan cara yang paling efektif untuk
mengajarkan konsep toleransi dan sikap-sikap yang dibutuhkan dalam menyikapi
perbedaan. Model Contextual Learning dapat membawa mahasiswa kesadaran
penuh akan integritas, sebuah integritas yang terbuka akan kenyataan perbedaan di
32

tengah masyarakat. Integritas terbuka/open integrity yang bertujuan mendidik diri


dalam memahami satu sama lain sehingga dapat menggambarkan dirinya sendiri.
Dalam integritas ini tidak berarti sebuah agama harus menyetujui atau bahkan
menyukai ideologi dan doktrin agama lain. Namun, memberi satu sama lain
kesempatan untuk menggambarkan diri dengan istilahnya sendiri dan diharapkan
dengan hal ini dapat mengenali diri dan apa yang dianutnya.

Open atau terbuka artinya pengakuan akan keunikan dan kebebasan


beragama dalam dialog antara agama sendiri dan agama rekan. Menyumbangkan
kekayaan keyakinan seseorang dan juga diperkaya. Pemahaman tentang klaim
kebenaran agama sendiri dapat menginterpretasikannya, dan keterbukaan untuk
rekan dialog menginterpretasikan agama mereka (Philips, 2013: 8). Integritas
artinya, bahwa mereka yang telah dalam dialog yakin bahwa kepercayaan pada
agama mereka sendiri adalah yang paling tepat bagi mereka dan itulah sebabnya
mereka mengakuinya dengan sepenuh hati, berakar pada agama sendiri, dan
masuk ke jantung agama sendiri, sementara juga dapat masuk ke jantung agama
lain. Tidak ada cara untuk menolak kebenaran agama sendiri untuk mengerti
kebenaran dari agama lain dalam sebuah dialog yang dilakukan.

E. Kelayakan Model Pembelajaran

Kelayakan menyatakan layak sebagai hal patut, wajar atau sudah pantas.
Kelayakan suatu obyek akan terbentuk jika telah memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan. Kriteria tersebut digunakan sebegai pembanding. Kelayakan adalah
hal yang pantas dan patut untuk digunakan setelah dilakukan perbandingan
sebelumnya dengan kriteria yang telah ditentukan.

Untuk menguji kelayakan model pembelajaran langsung dengan pendekatan


inter-religius peneliti menggunakan expert judgment atau validasi dari ahli desain
pembelajaran, ahli materi dan peserta didik sebagai user dan subjek penelitian.
Validitas mengacu pada tingkat desain intervensi yang didasarkan pada
pengetahuan dan berbagai komponen dari intervensi yang berkaitan satu dengan
33

lainnya (Van den Akker, 1999). Nieven 1999 menjelaskan 2 jenis validitas produk
yang dikembangkan yaitu validitas isi dan validitas konstruk. Validitas isi
menunjukkan bahwa produk yang dikembangkan hendaknya didasari oleh
kurikulum yang relevan dengan teori- teori yang mengandung kebaruan.
Sedangkan validitas konstruk yaitu dapat menunjukkan tahapan-tahapan yang
relevan dan saling terkait.

F. Kerangka Berpikir

Toleransi dan kerukunan umat beragama merupakan sikap yang harus


dipunyai oleh bangsa Indonesia yang sarat dengan kemajemukan budaya, etnis,
agama, suku, dan golongan.Untuk itu, setiap warga Indonesia mempunyai
kewajiban untuk menanamkan sikap toleransi dan kerukunan umat beragama di
dalam jiwa sanubarinya dan mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, untuk mengembangkan sikap toleran terhadap golongan


lain dan kerukunan hidup beragama, maka perlu dikembangkan model
pembelajaran alternatif. Para pendidik sebagai seorang fasilitator sekaligus
sebagai pengarah untuk dapat mengarahkan peserta didiknya untuk menjadi
seorang yang mempunyai sikap toleransi dan kerukunan yang tinggi sehingga
dapat memahami dan menilai kehidupan yang beragam ini dengan bijaksana.
Maka dari itu, salah satu model alternatif untuk mencapai hal itu, yaitu model
pembelajaran pendidikan agama berbasis pendekatan inter-religius yang dianggap
sesuai untuk kondisi praktis di masyarakat.

Berdasarkan analisis teoritis dari kajian pustaka dan ditunjang dengan


analisis empiris yang diperoleh dilapangan, maka peneliti mengharapkan bahwa
dengan penggunaan pengembangan Model Contextual Learning dengan
pendekatan Interreligius dapat meningkatkan karakter toleransi mahasiswa/I
Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende.
34

G. Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, maka dapat dirumuskan


hipotesis sebagai berikut.

Rumusan Masalah 1:

Ha: Model Contextual Learning dengan Pendekatan Inter-Religius dapat


digunakan untuk meningkatkan Karakter Toleransi Mahasiswa di Prodi
Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar Ende.

Ho: Model Contextual Learning dengan Pendekatan Inter-Religius tidak


dapat digunakan untuk meningkatkan Karakter Toleransi Mahasiswa di
Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar Ende.

Rumusan Masalah 2:

Ha: Ada peningkatan karakter toleransi pada mahasiswa Stipar Ende yang
menggunakan Model Contextual Learning dengan Pendekatan Inter-
Religius

Ho: Tidak ada peningkatan karakter toleransi pada mahasiswa Stipar Ende
yang menggunakan Model Contextual Learning dengan Pendekatan
Inter-Religius

Rumusan Masalah 3:

Ha: Ada pengaruh interaksi penggunaan Model Contextual Learning dengan


Pendekatan Inter-Religius dalam meningkatkan karakter toleransi
mahasiswa di Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar Ende

Ho: Tidak ada pengaruh interaksi penggunaan Model Contextual Learning


dengan Pendekatan Inter-Religius dalam meningkatkan karakter
toleransi mahasiswa di Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar
Ende
35

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan model pengembangan Dick dan Carey (2009).


Menurut Dick dan Carey dimana skemas langkah-langkah pengembangan model
pembelajaran dalam penelitian ini mengacu pada langkah-langkah model
pendekatan sistem dengan memahami karakter peserta didik yang akan
menjalankan pembelajaran Dick dan Carey, Masing-masing langkah tersebut
terdiri dari:

1) Menganalisis kebutuhan instruksional untuk mengidentifikasi tujuan.

2) Melakukan analisis instruksional.

3) Melakukan analisis karakteristik siswa dan konteks.

4) Merumuskan tujuan instruksional.

5) Mengembangkaninstrumen penilaian.

6) Mengembangkan strategi instruksional.

7) Mengembangkan dan memilih bahan instruksional.

8) Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif.

9) Melakukan revisi.

10) Mendesain dan melaksanakan evaluasi sumatif.

Adapun tahapan dalam penelitian dan pengembangan model ini sebagai


berikut.
36

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

a. Model Contextual Learning

b. Pendekatan Inter-religius

c. Karakter Toleransi

2. Definisi operasional variabel

a. Contextual Learning dengan pendekatan Inter-religius adalah sistem


belajar dan mengajar yang membantu dosen mengaitkan antara materi
yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong peserta
didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga
negara, dan pekerjaan. Hasil produk pengembangan berupa (1) Buku
Model yang berisi rasional pengembangan model, landasan teori hingga
syntax dan panduan implementasinya. (2) Perangkat pembelajaran yang
meliputi bahan ajar berbasis RPS serta instrumen penilaian karakter
toleransi. Data kelayakan model Contextual Learning dengan
pendekatan Inter-religius diperoleh dari instrumen uji kelayakan model
melalui wawancara ahli dan pengisian angket oleh pengguna/user.
Penilaian menggunakan skala lingkert dengan rentang 1 – 4 . Semakin
tinggi skor yang diperoleh menunjukkan kelayakan model Contextual
Learning dengan pendekatan inter-religius sebagai hasil produk
pengembangan.

b. Karakter Toleransi adalah sikap menghargai dan menghormati masalah-


masalah keyakinan yang berhubungan dengan akidah atau ketuhanan
yang diyakini orang lain. Toleransi beragama juga merupakan sikap dan
perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok atau
golongan yang berbeda agama dan keyakinan dalam suatu masyarakat.
Sesuai dengan maksud penelitian ini, indikator toleransi dapat berupa:
37

1) Menjaga hak orang lain yang berbeda agama untuk melaksanakan


ajaran agamanya.

2) Menghargai pendapat orang lain yang berbeda sebagai suatu yang


alami dan insani.

3) Bekerjasama dengan teman yang berbeda agama, suku, ras, etnis


dalam kegiatan bermasyarakat.

4) Bersahabat dengan teman yang berbeda pendapat.

C. Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini, prosedur pengembangan yang dilakukan sebagai


berikut.

1. Tahap Pendahuluan;

a. Menganalisis kebutuhan instruksional untuk mengidentifikasi tujuan.

b. Melakukan analisis instruksional.

c. Melakukan analisis karakteristik siswa dan konteks.

d. Merumuskan tujuan instruksional.

2. Tahap Pengembangan;

a. Mengembangkan instrument penilaian.

b. Mengembangkan strategi instruksional.

c. Mengembangkan dan memilih bahan instruksional.

3. Tahap uji coba dan evaluasi

a. Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif

b. Merevisi bahan instruksional

c. Mendesain dan melaksanakan evaluasi sumatif.


38

Berikut adalah uraian prosedur penelitian yang akan dilakukan dalam


penelitian dan pengembangan model Contextual Learning dengan pendekatan
inter-religius.

1) Tahap pendahuluan

a) Menganalisis kebutuhan instruksional untuk mengidentifikasi


tujuan. Dalam penelitian ini, perumusan tujuan pembelajaran
dilakukan bersama dengan dosen Hubungan Antariman.
Dilakukan wawancara dan observasi untuk memperoleh data.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap ini didasarkan pada
pendapat Hijriyah (2012) sebagai berikut:

(1) Melakukan analisis kebutuhan pembelajaran.

(2) Mengidentifikasi kondisi nyata (real) mengacu pada sikap,


pengetahuan dan ketrampilan prasyarat yang dibutuhkan
dalam tujuan umum pembelajaran

(3) Mengidentifikasi kebutuhan siswa dalam memenuhi


kompetensi prasyarat yang dibutuhkan dalam pembelajaran.

(4) Merumuskan kondisi ideal yang diharapkan agar sesuai


dengan tujuan umum pembelajaran ini.

(5) Keempat langkah diatas datanya dituliskan kedalam tabel


identifikasi tujuan umum pembelajaran.

b) Melakukan analisis Instruksional. Dalam penelitian ini, dilakukan


wawancara terhadap dosen Hubungan Antar-iman pada Prodi
Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar Ende. Wawancara
dilakukan untuk memperoleh data secara langsung tentang desain
pembelajaran, sumber belajar, dan informasi penting tentang
pembelajaran Hubungan Antariman yang selama ini digunakan.
Selanjutnya mahasiswa diminta untuk mengisi kuesioner atau
angket untuk mengetahui desain pembelajaran seperti apa yang
diminati mahasiswa dalam memahami materi dan meningkatkan
39

toleransi pada kuliah Hubungan Antariman. Berikut langkah-


langkah yang dilakukan dalam menganalisis pembelajaran.

(1) Menentukan kompetensi prasyarat yang terdapat dalam


tujuan umum pembelajaran.

(2) Menjabarkan kompetensi prasyarat kedalam beberapa


kompetensi khusus mata kuliah.

(3) Menyusun kompetensi khusus mata kuliah kedalam tabel


yang disediakan.

(4). Memasukkan masing-masing kompetensi khusus mata kuliah


kedalam kotak berdasarkan dimensi pengetahuan dan proses
kognitif.

(5). Menuliskan dari urutan yang lebih mudah sampai kepada


yang lebih sulit.

(6). Memberi nomor urut sesuai urutan tersebut.

c) Menganalisis karakteristik mahasiswa dan konteks pembelajaran.


Dalam penelitian ini, salah satu metode dalam menganalisis
karakteristik mahasiswa dan konteks pembelajaran, dilakukan
dengan pengumpulan data yang dilakukan melalui observasi dan
wawancara kepada dosen dan kepada mahasiswa. Berikut
langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis karakteristik
mahasiswa.

(1) Melaksanakan wawancara dengan dosen mata kuliah


Hubungan Antariman tentang gambaran mahasiswa (entry
skillt), pengetahuan awal, sikap mahasiswa, motivasi, tingkat
pendidikan, dan karakteristik kelompok umum. Tujuan
wawancara ini untuk mengetahui kondisi awal sikap dan
pengetahuan mahasiswa terhadap toleransi antarumat
beragama.
40

(2) Menganalisis karakter toleransi awal berdasarkan hasil


wawancara ke dalam tabel.

(3) Memberi tanda √ pada kolom yang disediakan ( Amat Baik


(AB), Baik (B), Cukup (C), dan Kurang (K) sesuai rentangan
nilai yang ditentukan.

(4). Menganalisis konteks pembelajaran.

(5). Menyimpulkan hasil analisis.

d) Merumuskan tujuan instruksional. Tahapan yang dilakukan dalam


kegiatan ini yaitu;

(1). Merumuskan capaian pembelajaran mata kuliah (CPMK)


yang harus dimiliki mahasiswa.

(2). Menyusun CPMK kedalam pernyataan khusus tentang apa


yang dilakukan mahasiswa setelah menyelesaikan
pembelajaran kedalam ABCD.

(3). Menuliskan pernyataan tersebut menjadi tujuan pembelajaran


khusus (TIK).

(4). Menuliskan tujuan pembelajaran khusus kedalam silabus dan


Rencana Pembelajaran Semester (RPS).

2) Tahap pengembangan

a) Mengembangkan instumen penilaian. Selanjutnya


pengembangan instrument penilaian atau tes. Penyusunan tes
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.

(1) Menentukan tujuan pengembangan tes. Adapun tujuan dari


pengembangan tes ini antara lain.

• Untuk mengetahui umpan balik hasil belajar mahasiswa


setelah melalui tahapan setiap pembelajaran. Tes ini
difungsikan sebagai tes formatif yang dijadikan sebagai
41

petunjuk tentang kesulitan mahasiswa dalam


mempelajari bahan instruksional yang digunakan.

• Menilai efektifitas sistem instruksional secara


keseluruhan

• Ditujukan sebagai tes awal (pretest) dan tes akhir


(posttest) dalam mencapai tujuan pembelajaran.

(2) Membuat kisi-kisi soal yang terdiri dari indikator, materi,


bentuk soal, kunci jawaban.

(3) Menyusun butir soal. Setiap butir tes harus mengacu pada
tujuan pembelajaran yang dikembangkan. Hal ini penting
dilakukan agar dapat memenuhi unsur validitas isi dari setiap
butir soal yang dikembangkan.

(4). Merakit butir soal. Butir soal yang sudah selesai kemudian
dikelompokkan lalu diberi nomor urut pada setiap soal.
Penomoran dimulai dari nomor 1 sampai selesai.

(5). Menulis petunjuk. Penulisan petunjuk dalam mengejakan soal


harius berdasarkan jenis soal yang dikembangkan. Dalam
penelitian ini disusun soal essai atau uraian, maka pada setiap
kelompok soal diberi petunjuk untuk mahasiswa bagaimana
cara menuliskan jawabannya dan berapa lama waktu yang
diberikan. Petunjuk yang ditulis harus mudah dipahami
mahasiswa dan ditulis secara singkat.

(6). Menulis kunci jawaban.

(7). Melakukan uji validasi kepada ahli materi pembelajaran.

(8). Hasil validasi dari ahli kemudian dilakukan revisi pada setiap
butir tes sesuai saran dan masukan ahli.

(9). Melakukan uji coba soal kepada kelompok diluar sampel


penelitian.
42

(10) Melakukan analisis butir soal untuk melihat tingkat


kesukaran, daya pembeda, validitas dan reliabilitas soal yang
disusun.

(11). Langkah terakhir yaitu merevisi butir soal.

b) Mengembangkan strategi pembelajaran. Prosedur uji coba ahli


dilakukan dengan tahapan sebagai berikut.

(1). Menyampaikan produk model yang dikembangkan.

(2). Menyampaikan perangkat pendukung (silabus, RPS dan


RTT/Rincian Tugas Terstruktur).

(3). Menjelaskan tujuan uji coba.

(4). Meminta ahli untuk memberi penilaian dengan cara mengisi


angket yang disediakan dengan memberi komentar berupa
saran dan rekomendasi.

(5). Melakukan revisi terhadap produk model pembelajaran dan


perangkat pendukun berdasarkan penilaian dan masukan dari
ahli.

c) Mengembangkan dan memilih bahan pembelajaran.


Pengembangan modul merupakan proses pemilihan, adaptasi, dan
pembuatan bahan ajar berdasarkan kerangka acuan tertentu
(Nunan, 1991). Komponen produk ini berupa bahan ajar
berbentuk buku cetak, buku modul pembelajaran yang terdiri dari
halaman sampul, sampul dalam, kata pengantar, daftar isi, bahan
ajar, dan daftar pustaka. Berikut adalah langkah yang dilakukan
dalam pengembangan bahan pembelajara secara lengkap.

(1). Menetapkan capaian pembelajaran (LO)

(2). Menetapkan Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK)

(3). Memilih jenis materi sesuai dalam silabus.


43

(4). Menuangkan kedalam matrik.

(5). Menyusun draft bahan ajar (Judul, CP, CPMK dan bahan
ajar).

(6). Melakukan uji validasi ahli teknolog pembelajaran dan ahli


materi pembelajaran.

(7). Melakukan uji coba individu sebanyak 3 orang mahasiswa.

(8). Melakukan uji coba kelompok kecil minimal 10 orang


mahasiswa.

(9). Melakukakan uji coba kelompok besar minimal 30 orang


mahasiswa.

3) Tahap uji coba

a). Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif (Dick et al.,


2015) menggolongkan beberapa fase dalam evaluasi formatif.
Ada tiga fase evaluasi formative. Pertama, evaluasi satu-satu
(one-to-one evaluation), desainer bekerja dengan mahasiswa
individu untuk mendapatkan data dalam merevisi bahan
pembelajaran. Fase kedua adalah evaluasi kelompok kecil (small-
group evaluation), dilakukan pada 8-20 mahasiswa yang
mewakili populasi sasaran mempelajari bahan dan diuji untuk
mengumpulkan data yang diperlukan. Fase ketiga evaluasi
formatif dilakukan uji coba lapangan. Jumlah mahasiswa yang
diperlukan yaitu 30 siswa/mahasiswa sudah cukup. Namun, dari
ketiga fase tersebut biasanya didahului oleh uji ahli yang terlibat
dalam pengembangan instruksional ini.

(1) Melakukan evaluasi individu/satu-satu (one-to-one


evaluation). Yang dimaksud melakukan evaluasi satu-satu
dengan siswa/mahasiswa adalah tahapan uji coba individu
44

yang dilakukan oleh 2 atau 3 orang mahasiswa secara


individual (Mustaji, 2017) (Mustaji, 2017). Tujuan
dilakukannya evaluasi satu-satu yaitu untuk mengidentifikasi
dan menghilangkan kesalahan fatal dalam pembelajaran dan
mendapatkan indikasi awal performansi dan reaksi terhadap
bahan ajar oleh mahasiswa (Dick et al., 2015). Dalam hal ini
evaluasi individu yang dilakukan untuk mendapatkan
masukan agar terhindar dari kesalahan isi materi atau bahan
ajar dari aspek tampilan gambar, pilihan kata, instruksi, dan
urutan tingkat kesulitan masing-masing materi yang
disajikan.

Adapun data yang dikumpulkan dalam tahap ini yaitu


kejelasan tentang bahan pembelajaran, dampak pembelajaran
terhadap kemajuan mahasiswa, tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai, dan kelayakan model pembelajaran yang
dikembangkan. Langkah yang dilakukan dalam coba ini
sebagai berikut.

• Memilih 3 mahasiswa secara representatif dari


perwakilan dari populasi (A, B, C, D).

• Menyampaikan produk model Contextual Learning


dengan pendekatan inter-religius; modul mata kuliah,
RPS, dan RTT.

• Menjelaskan maksud dilakukannya evaluasi individu/uji


coba.

• Memberi kesempatan mahasiswa untuk membaca isi


modul, RPS dan RTT.

• Meminta mahasiswa menilai dengan mengisi angket


serta memberi komentar.

• Melakukan diskusi dengan mahasiswa.


45

• Melakukan revisi.

(2) Evaluasi kelompok kecil (small group evaluation). Ada


empat tujuan dari small-group evaluation. Mustaji (2017)
menjabarkan keempat tujuan dalam tahap ini, yaitu, a)
menentukan apakah isi bidang studi menarik, b) apakah tugas
yang diberikan membangun pengetahuan yang bermakna, c)
apakah jumlah latihan-latihan mencukupi, d) seberapa banyak
tujuan pembelajaran yang dapat dicapai. Kelompok dalam
small group evaluation ini terdiri dari 8 hingga 20 mahasiswa
(Dick et al., 2015). Langkah-langkah yang dilakukan pada
tahapan ini adalah sebagai berikut:

• Menentukan 10 mahasiswa (tidak termasuk 3 mahasiswa


yang telah ikut evaluasi satu-satu) sebagai representasi
dari populasi penelitian yang dilakukan.

• Menyampaikan produk model yaitu Modul, RPS, dan


RTT.

• Menjelaskan maksud uji coba dan tahapan pengisian


angket.

• Mahasiswa diminta mengisi angket serta memberikan


komentar atau masukan untuk perbaikan Modul, RPS,
dan RTT.

• Melakukan diskusi setelah penilaian dan masukan


dilakukan.

• Melakukan kajian hasil uji coba serta merevisi Modul,


RPS, dan RTT.

(3) Uji coba lapangan (field trial). Ini merupakan tahap akhir
dalam uji produk model yang dikembangkan. Tahap ini
bertujuan untuk mengetahui efektif tidaknya produk yang
46

dikembangkan setelah melalui tahapan uji kelompok kecil


(small group evaluation). Dalam tahap ini semua perangkat
pendukung dan lembar penilaian / tes yang dikembangkang
sudah direvisi dan siap digunakan. Desainer tidak boleh
terlibat dalam tahapan ini, jika dosen berperan dalam
implementasi produk ini. Kelompok mahasiswa yang
digunakan sejumlah 30 mahasiswa yang berada didalam satu
kelas yang sama atau di kelas yang terpisah-pisah (Dick et
al., 2015). Langkah yang dilakukan dalam uji lapangan
sebagai berikut.

a) Melaksanakan pretest kepada 31 mahasiswa dalam satu


populasi.

b) Melaksanakan pembelajaran kepada 31 mahasiswa dalam


satu kelas.

c) Meminta 2 orang praktisi (dosen pendamping) untuk


mengamati keterlaksanaan pembelajaran model
Contextual Learning dan mengisi lembar observasi
aktifitas mahasiswa selama pembelajaran.

d) Berdiskusi dengan mahasiswa untuk memberi masukan


tentang bagaimana meningkatkan produk tersebut.

e) Mahasiswa mengisi angket respon mahasiswa..

f) Melaksanakan posttest.

g) Melakukan analisis data dan membuat simpulan sebagai


berikut;

• Melakukan analisis data pretest dan posttest.

• Melakukan analisis data observasi keterlaksanaan


pembelajaran.
47

• Melakukan analisis data observasi sikap mahasiswa


selama mengikuti pembelajaran.

• Melakukan analisis data angket respon mahasiswa


terhadap pembelajaran

• Mengevaluasi waktu yang dibutuhkan mahasiswa


dalam menyelesaikan setiap tes.

• Mengevaluasi waktu yang dibutuhkan mahasiswa


dalam menyelesaikan pembelajaran.

• Menyampaikan hasil pengembangan dan membuat


simpulan.

4) Melakukan revisi. Melakukan revisi merupakan tahap


penyempurnaan produk berupa tindak lanjut dari hasil uji
ahli, praktisi, dan mahasiswa. Tahap ini dilakukan dengan
memperhatikan beberapa masukan dari hasil uji coba yang
sudah dilakukan. Oleh karena itu, sebaiknya revisi dilakukan
pada akhir setiap tahapan selesai sebelum melanjutkan ke
tahapan berikutnya. Setelah dilakukan uji coba, model ini
direvisi sesuai saran yang diberikan oleh ahli teknologi
pembelajaran, ahli materi pembelajaran Agama Katolik,
praktisi (dosen), dan mahasiswa. Saran yang dirujuk untuk
proses revisi adalah saran yang dapat dilakukan dan sesuai
dengan prinsip model Contextual Learningi.

5) Merancang dan melaksanakan evaluasi sumatif. Langkah


ini sengaja tidak dilakukan dalam penelitian ini karena
langkah terakhir disain instuksional ini tidak dianggap
sebagai bagian integral dari proses instruksional. Biasanya
langkah ini tidak melibatkan desainer pembelajaran, namun
melibatkan penilai independen (independent evaluator) (Gall
et al., 2003).
48

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah 31 mahasiswa semester 6 Program Studi


Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar Ende. Desain yang digunakan untuk
menentukan efektifitas variabel diatas dilakukan dengan menggunakan one group
pre-test and post-test design (Creswell, 2009). Berikut adalah desain penelitian
untuk menguji keefektifan model pembelajaran Contextual Learning dengan
pendekatan inter-religius.

Pre-test Treatment Post-test

O1 X O2

Keterangan:

O1 = tes awal (Pre-test) karakter toleransi sebelum perlakuan/penggunaan model


pembelajaran Contextual Learning dengan pendekatan interreligius.
O2 = tes akhir (Post-test) karakter toleransi setelah perlakuan/penggunaan model
Contextual Learning dengan pendekatan interreligius.
X= perlakuan/penggunaan model Contextual Learning dengan pendekatan
interreligius.

Pada desain ini O1 (pre-test) diakukan sebelum adanya perlakuan/penggunaan


model Contextual Learning dengan pendekatan interreligius, kemudian diikuti O2
(post-test) setelah adanya perlakuan. Apabila skor O2 lebih tinggi daripada O1,
maka penerapan model Contextual Learning dengan pendekatan interreligius
dapat dikatakan efektif.

E. Tempat dan Waktu Penelitian

Tahap uji coba model Contextual Learning dengan pendekatan interreligius


dilakukan di Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik, Sekolah Tinggi Pastoral Atma
Reksa Ende pada semester genap tahun akademik 2021/2022 dibulan Mei 2022.

F. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

1. Metode pengumpulan data. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini


adalah;
49

a. Wawancara (Interview). Wawancara (interview) adalah suatu cara


pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi
langsung dari sumbernya (Sudaryono, margono, & Rahayu, 2013).
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi
berupa data secara langsung dari ketua sekolah, dosen, dan mahasiswa
tentang kondisi di lapangan, kurikulum perguruan tinggi, desain
pembelajaran, karakteristik peserta didik, dan karakteristik mata kuliah.

b. Angket. Angket merupakan teknik pengumpulan data dimana


partisipan/responden mengisi pertanyaan dan mengembalikan kepada
peneliti (Creswell, 2009). Dalam penelitian ini, angket digunakan pada
tahap validasi oleh ahli dan praktisi pada saat uji coba. Uji kelayakan
dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui pendapat dan masukan
dari para ahli, praktisi, dan bahkan mahasiswa untuk perbaikan model
dan perangkat pendukung sehingga menghasilkan model dan perangkat
pembelajaran yang layak. Validator terdiri dari ahli teknologi pendidikan
dan ahli materi bidang studi yang sudah bergelar doktor. Pengumpulan
data validasi dilakukan dengan cara mengumpulkan skor penilaian ahli
dengan memperhatikan butir item validasi model Contextual Learning
dengan pendekatan interreligius dan perangkat pendukungnya. Uji ahli
dilakukan di Universitas Negeri Surabaya dan Dinas Pendidikan
Kabupaten Ende. Sementara itu, uji individu (one to one evaluation) oleh
3 orang mahasiswa, uji lapangan kelompok kecil (10 mahasiswa) dan
kelompok besar dilakukan terhadap 31 mahasiswa Semester 6 Prodi
Pendidikan Keagamaan Katolik Stipar Ende.

c. Pengamatan. Observasi merupakan proses untuk memperoleh data dari


tangan pertama dengan mengamati orang, atau proses kerja suatu produk
ditempat pada saat dilakukan penelitian (Creswell, 2009). Metode
pengamatan atau observasi dilakukan untuk mengamati keterlaksanaan
model Contextual Learning dengan pendekatan interreligius selama
pembelajaran berlangsung. Pengamatan dilakukan oleh dua orang
50

praktisi Keagamaan Katolik di Stipar Ende. Pengumpulan data dilakukan


dengan merekap hasil pengamatan pada lembar pengamatan yang telah
disediakan. Data yang terkumpul dari hasil pengamatan digunakan untuk
mengukur tingkat kepraktisan model Contextual Learning dengan
pendekatan interreligius.

d. Tes. Dalam penelitian dan pengembangan, pengumpulan data dengan tes


dapat dilakukan untuk mengetahui kondisi awal mahasiswa sebelum
diberi perlakuan dengan menggunakan produk baru (pre-test) dan setelah
menggunakan produk baru (post-test) (Sugiono, 2016)). Metode tes
digunakan untuk mengukur karakter toleransi mahasiswa. Tes karakter
toleransi dikembangkan berdasarkan indikator karakter toleransi.

Tes karakter toleransi dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum


(pre-test) dan sesudah (post-test) pembelajaran dengan mengacu pada
rubrik penilaian masing-masing. Tes berisi 5 soal uraian sesuai dengan
indikator karakter toleransi. Pengumpulan data dilakukan dengan
memasukkan skor perolehan mahasiswa pada saat pre-test dan post-test
ke dalam tabel karakter toleransi. Data yang diperoleh dapt digunakan
untuk mengukur tingkat keefektifan model Contextual Learning dengan
pendekatan interreligius.

2. Instrumen Penelitian

Terdapat dua macam instrument dalam penelitian dan pengembangan,


pertama adalah instrument yang digunakan untuk mengukur validitas produk yang
berupa barang, dan kedua adalah instrument yang digunakan untuk mengukur
validitas produk yang bukan barang (Sugiono, 2016). Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah instrument untuk mengukur validitas produk yang
bukan barang, yaitu model dan perangkat pembelajaran. Istilah validitas dalam
penelitian dan pengembangan ini untuk selanjutnya digunakan istilah kelayakan.

a. Kelayakan model dan perangkat pembelajaran Contextual Learning


dengan pendekatan interreligius.
51

1) Lembar validasi model Contextual Learning dengan pendekatan


interreligius. Lembar validasi ini digunakan untuk memperoleh data
validitas model Contextual Learning dengan pendekatan interreligius.
Lembar validitas ini diisi oleh ahli dan melakukan penilaian terhadap
model Contextual Learning dengan pendekatan interreligius. Lembar
validasi yang digunakan terdiri dari (1) tujuan, (2) teori pendukung,
dan (3) sintak pembelajaran.

2) Lembar validasi sillabus. Lembar validasi sillabus digunakan untuk


memperoleh data kelayakan silabus pada model Contextual Learning
dengan pendekatan interreligius. Lembar validasi ini diisi oleh pakar
untuk memberi penilaian terhadap sillabus model Contextual Learning
dengan pendekatan interreligius. Validitas silabus diukur
menggunakan instrumen lembar validasi silabus dengan indikator
validitas silabus yang mencakup: (1) identitas; (2) capaian
pembelajaran; (3) capaian pembelajara mata kuliah; (4) indikator; (5)
kegiatan pembelajaran; (6) penilaian: (7) alokasi waktu dan (8)
sumber belajar.

3) Lembar validasi rencana pembelajaran semester (RPS). Validitas RPS


diukur menggunakan instrumen lembar validasi RPS dengan indikator
validitas RPS yang mencakup: (1) Nama program studi, nama dan
kode mata kuliah, semester, sks, nama dosen pengampu; (2) Capaian
pembelajaran lulusan yang dibebankan pada mata kuliah; (3)
Kemampuan akhir yang direncanakan pada tiap tahap pembelajaran
untuk memenuhi capaian pembelajaran lulusan; (4) Bahan kajian yang
terkait dengan kemampuan yang akan dicapai; (5) Metode
pembelajaran; (6) Waktu yang disediakan untuk mencapai
kemampuan pada tiap tahap pembelajaran; (7) Pengalaman belajar
mahasiswa yang diwujudkan dalam deskripsi tugas yang harus
dikerjakan oleh mahasiswa selama satu semester; (8) Kriteria,
indikator, dan bobot penilaian; dan (9) Daftar referensi yang
52

digunakan. Lembar validasi ini diisi oleh pakar untuk memberi


penilaian terhadap sillabus model Contextual Learning dengan
pendekatan interreligius.

4) Lembar validasi Modul Mahasiswa. Lembar validasi ini digunakan


untuk mengukur validitas Modul dengan model Contextual Learning
dengan pendekatan interreligius. Validitas modul diukur
menggunakan instrumen lembar validasi dengan komponen modul
antara lain : (1) sistematika; (2) format; (3) materi; (4) kebahasaan;
dan (5) penyajian.

5) Lembar validasi lembar Rincian Tugas Terstruktur (RTT). Lembar


validasi ini digunakan untuk mengukur validitas RTT model
Contextual Learning dengan pendekatan interreligius. Validitas RTT
diukur menggunakan instrumen lembar validasi RTT.

6) Lembar validasi tes karakter toleransi. Tes karakter toleransi yang


disusun oleh peneliti. Tes ini digunakan untuk mengukur karakter
toleransi mahasiswa dalam model Contextual Learning dengan
pendekatan interreligius. Validitas isi dan konstruk tes diukur
menggunakan instrumen lembar validasi tes dengan indikator validitas
yang mencakup: (1) prosedur; (2) instrumen; (3) rubrik; (4) cara
mengolah skor; (5) tata tulis.

b. Kepraktisan model pembelajaran

Lembar observasi digunakan pada tahap uji lapangan saat model


diterapkan oleh dosen. Lembar observasi ini bertujuan untuk memperoleh
informasi mengenai respon peserta didik terhadap penerapan model
dalam pembelajaran serta gambaran pelaksanaan penerapan model oleh
dosen Selanjutnya, lembar observasi dalam penelitian ini diistilahkan
lember pengamatan keterlaksanaan model Contextual Learning dengan
pendekatan interreligius. Lembar pengamatan keterlaksanaan model
model Contextual Learning dengan pendekatan interreligius dalam
53

penelitian ini digunakan untuk mengamati langkang-langkah pada


perangkat pembelajaran selama proses pembelajaran berlangsung.
Keterlaksanaan model model Contextual Learning dengan pendekatan
interreligius diamati oleh 2 orang dosen (praktisi) dengan mengisi lembar
pengamatan keterlaksanaan model Contextual Learning dengan
pendekatan interreligius dengan memberikan centang (v) pada masing
masing kolom sesuai hasil pengamatan. Pada penilaian proses
pengamatan kegiatan pembelajaran, terdapat skor 1 – 4 Angka 1 untuk
respon sangat tidak setuju, Angka 2 untuk respon tidak setuju, Angka 3
untuk respon setuju, Angka 4 untuk respon sangat setuju. Pengumpulan
data dilakukan dengan merekapitulasi hasil pengamatan sesuai dengan
langkah-langkah dalam pembelajaran.

c. Keefektifan model pembelajaran

Lembar tes ini berisi soal uraian yang tujuannya adalah untuk
mengetahui karakter toleransi mahasiswa pada saat pretest dan posttest.
Lembar tes karakter toleransi berisi soal uraian yang didalamnya terdapat
permasalahan, kemudian mahasiswa mengidentifikasi masalah sampai
memecahkannya. Lembar tes ini diberikan sebelum dan sesudah
perlakuan menggunakan model Contextual Learning dengan pendekatan
interreligius.

G. Teknik Analisis Data

1. Validitas (kelayakan) model dan perangkat pendukung. Teknik analisis data


dalam penelitian ini disesuaikan dengan masing-masing data yang diperoleh
selama tahapan penelitian. Data hasil penilaian uji ahli desain pembelajaran dan
uji ahli materi dihitung persentase tingkat pencapaiannya dengan menggunakan
rumus:

P= f x 100%
N
54

Keterangan:
f = frekuensi yang sedang dicari persentasenya
N =Jumlah frekuensi/banyaknya individu
p = angka persentase
(Sugiono, 2008)

Data tersebut digunakan untuk menilai kelayakan model dan perangkat


pendukung yang dikembangkan. Kemudian, perolehan skor diinterpetasi kedalam
table berikut.

Tabel Kriteria Kelayakan Produk


Tingkat Pencapaian Kualifikasi Keterangan
81% - 100% Sangat Baik Dapat digunakan tanpa revisi
66% - 80% Baik Dapat digunakan dengan revisi sedikit
56% - 65% Cukup Dapat digunakan dengan banyak revisi
0% - 55% Kurang Belum dapat digunakan dan
memerlukan konsultasi

2. Kepraktisan model Contextual Learning dengan pendekatan interreligius.

Analisis data kelayakan model Contextual Learning dengan pendekatan


interreligius dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data yang
diperoleh dari instrument pengamatan/observasi model. Kepraktisan model
pembelajaran dan perangkatnya dilihat dari keterlaksanaan model pembelajaran.
Instrumen yang digunakan yaitu lembar pengamatan keterlaksanaan model.
Keterlaksanaan model Contextual Learning dengan pendekatan interreligius
diamati dengan menggunakan lembar pengamatan/observasi keterlaksanaan oleh
dua pengamat (dosen mitra) dalam kegiatan pembelajaran. Data keterlaksanaan
pembelajaran menggunakan lembar pengamatan/observasi keterlaksanaan model
Contextual Learning dengan pendekatan interreligius pada saat proses
pembelajaran menggunakan skala likert skor 1 – 4. Keterangan skor penilaian
tersebut dapat diketahui sebagai berikut.

1: Sangat tidak setuju

2: Tidak setuju

3: Setuju
55

4: Sangat setuju

Selanjutnya, skor yang diberikan oleh pengamat kemudian dihitung


kesepakatan penskoran dengan menggunakan rumus:

Percentage of agreement = 1- A–B x 100%


A+B

(Borich, 1994)
Keterangan:

A: Skor tertingi yang diberikan pengamat

B: Skor terendah yang diberikan pengamat

Model pembelajaran dan perangkat Contextual Learning dengan pendekatan


interreligius dikatakan praktis apabila kriteria kualitas keterlaksanaan
pembelajaran yang dikembangkan memiliki nilai percentage of agreement ≥ 75%
(Borich, 1994).

3. Keefektifan model Contextual Learning dengan pendekatan interreligius

Dalam penelitian ini, keefektifan model Contextual Learning dengan


pendekatan interreligius dilihat dari hasil tes karakter toleransi. Skor penilaian
yang digunakan untuk menilai perolehan karakter toleransi mahasiswa yaitu
menggunakan rubrik dengan skala 1 – 3. Rubrik digunakan dalam menentukan
skor tersebut yaitu, 1 berarti ‘kurang’ dalam menunjukkan indikator karakter
toleransi, 2 berarti ‘cukup’ dalam menunjukkan indikator karakter toleransi, 3
berarti ‘baik’ dalam menunjukkan indikator karakter toleransi. Penilaian karakter
toleransi mahasiswa dilakukan pada setiap butir soal. Data skor karakter toleransi
mahasiswa dianalisis dengan menggunakan rumus:

Skor karakter toleransi= skor yang diperoleh x 100


Total skor maksimum
56

Dari hasil penghitungan skor karakter toleransi, kemudian menentukan


kategori karakter toleransi dengan menggunakan rumus berikut:

Skor karakter toleransi= skor yang diperoleh x 5


Total skor maksimum

Dari hasil penghitungan skor karakter toleransi ini, kemudian


diinterpretasikan kedalam tabel berikut.

Kategori karakter Toleransi

Skor Kategori

4,1 – 5,0 Sangat Bertoleransi

3,1 – 4,0 Bertoleransi

2,1 – 3,0 Cukup Bertoleransi

1,1 – 2,0 Kurang Bertoleransi

0,0 – 1,0 Tidak Bertoleransi

Untuk mengetahui adanya peningkatan karakter toleransi mahasiswa


sebelum dan sesudah menggunakan pembelajaran model Contextual Learning
dengan pendekatan interreligius, pada materi descriptive text, selanjutnya
dianalisis dengan menghitung selisih rata-rata skor pretest dan posttest dengan
menggunakan rumus n-gain score sebagai berikut.

n – gain = (Spost – Spre)


(Smaks – Spre)

Keterangan
n-gain = gain ternormalisasi
Smaks = skor maksimum dari tes awal dan tes akhir
Spre = Skor pretest
Spost = Skor posttest
57

Kriteria Peningkatan Karakter Toleransi


Gain ternormalisasi Kriteria
<g> > 0,7 Tinggi
0,3 < <g> < 0,7 Sedang
<g> < 0,3 Rendah

Diadopsi dari (Hake, 1998)


58

DAFTAR PUSTAKA

UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN

1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN


2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI

2. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN


2005 TENTANG GURU DAN DOSEN.

3. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8


TAHUN 2012 TENTANG KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL
INDONESIA.

4. PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN


PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44
TAHUN 2015 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
TINGGI.

5. PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN


PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19
TAHUN 2015 TENTANG PROGRAM PEMBINAAN PERGURUAN
TINGGI SWASTA TAHUN 2015.
6. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2020 TENTANG
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN TINGGI

BUKU-BUKU

Arikunto, Suharsini. (2013). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan


Praktik. Edisi Revisi 2010. Jakarta PT Rineka Cipta.

Asroi & Syarif Hidayat. (2016). Memahami Variable dan Instrument


Penelitian.Tangerang:Pustaka Mandiri.

Bria, Benyamin Yosef (Ed.). (2007) Melintasi Sekat-sekat Perbedaan Menuju


Indonesia Baru yang Pluralis dan Inklusif. Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Nusatama.

Dahar, Ratna Wilis.(1989). Teori-teori Belajar, Jakarta : Depdikbud


59

Debra M Kamps, Howard P, and Wills. (2004). Curriculum Influences on


Growth in Early Reading Fluency for Students With Academic and
Behavior Risk. A Descriptive Studywar. Jurnal of Direct Instruction
Vol 4, No. 2,pp. 189-210.

Dick, W., Carey, L., & Carey,J.O. (2009). The Systematic Design of
Instruction. New Jersey: Pearson.

Fatih, Moh. Khoirul. (2016). Ilmu Perbandingan Agama. Yogyakarta: Titah


Surga, 2016.

Fraenkel J. R., Wallen N.E.,(2003). How to Design and Evaluate


Research in Education, Fith Edition New York : Mc Graw- Hill
Higher Education.

Irwantoro, Nur & Yusuf Suryana. (2016). Kompetensi Pedagogik. Sidoarjo:


Genta Group Production.

Jebadu, Alexander. (2016). Memeluk Mawar, Dialog Antaragama dari


Perspektif Ajaran Iman Katolik. Ende: Nusa Indah.

Koesoema, Doni. (2016). Strategi Pendidikan Karakter. Revolusi Mental


dalam Lembaga Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Morin, Edgar. (2012). Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan.


Yogyakarta: Kanisius.

Mustaji (2013) Jika Aku Menjadi Pendesain Pembelajaran


Kontruktivistik. (Pidato Pengukuan Pendidik Besar) Unesa.

Riyanto, E. Armada. (2014). Dialog Inter-Religius, Historisitas, Tesis,


Pergumulan, Wajah. Yogyakarta: Kanisius

Slavin, R. (1997). Educational Psychology Theory and Practice.


Fourth Edition Boston: Allyn and Bacon Publisher.

Soedijarto. (2008). Landasan dan Roh Pendidikan Kita. Jakarta: Kompas


Media Nusantara.
60

Sudaryono. (2018). Metodologi Penelitian. Depok: Rajawali Press.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.


Bandung:Alfabeta.

Sutrisno, H. (2016). Desain Kurikulum Perguruan Tinggi. Mengacu


Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Widyawati, Nina. (2014). Etnisitas dan Agama Sebagai Isu Politik. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Woolfolk, Anita E, (2004), Educational Pyschology, Sixth Edition,


Needham Heights Allyn and Bacon Publishers Vol. 16, No. 2.

Anda mungkin juga menyukai