Nama :
NIM :
SARJANA ....
UNIVERSITAS TERBUKA
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai suatu sistem filsafat didasarkan pada sistem filosofis utama yang dikenal
sebagai Pancasila. Pancasila menopang dan menjiwai semua proses penyelenggaraan negara
di berbagai bidang sedemikian rupa, di mana ia menjadi contoh bagi seluruh rakyat Indonesia
tentang bagaimana berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Tingkah laku dan tingkah laku
setiap penduduk Indonesia jelas bercirikan Pancasila tentang apakah ia pantas bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Komponen kehidupan politik tidak dapat dipisahkan dari jalannya
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bagaimanapun, kehidupan politik di setiap negara
jelas baru. Salah satu penyebabnya adalah pengaruh perbedaan ideologi. Kehadiran politik
masyarakat yang tinggal di negara yang menganut radikalisme jelas tidak persis sama dengan
masyarakat yang tinggal di negara sosialis atau komunis. Demikian pula kehidupan politik
bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa-bangsa lain.
Kehidupan politik bangsa Indonesia selalu didasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Pancasila berfungsi sebagai tujuan dan dasar kehidupan politik bangsa kita. Dengan
demikian, tatanan pembangunan politik yang berkesinambungan di negara kita harus
difokuskan pada pendekatan yang paling dikenal luas untuk melaksanakan sistem politik
pemerintahan sebagian besar Pancasila yang dapat dipercaya, khususnya struktur politik yang
tidak kokoh di bidang keadilan, demikian juga. memiliki peluang kelas satu yang
melisensikannya untuk membuat atau mendorong dirinya sendiri. tanpa lelah sesuai dengan
ajakan keinginan orang dan kemajuan zaman. Oleh karena itu, sistem politik demokrasi
Pancasila akan terus berkembang seiring dengan identitasnya, sehingga tidak akan pernah
kehilangan signifikansi politiknya. Sifat-sifatnya diserap, dikembangkan, dan juga
dipraktikkan dalam kehidupan politik bangsa dan negara kita yang terus berkembang.
Akibatnya, Pancasila dengan cepat menjadi moral politik seluruh bangsa dan wilayah
Indonesia.
Proses reformasi yang sedang berlangsung di Indonesia menunjukkan sifat kehidupan
politik yang cair dalam masyarakat Indonesia. Bagaimanapun, dinamisme ini tidak boleh
meninggalkan potensi perolehan Pancasila. Kehidupan politik yang ditandai dengan
terbukanya saluran aspirasi politik rakyat, seperti kebebasan membentuk partai politik,
kebebasan berpendapat, dan pemilihan langsung presiden, wakil presiden, anggota legislatif,
dan kepala daerah, harus senantiasa dilandasi nilai-nilai Pancasila.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan Politik
1. Pengertian Pendidikan Politik
Pancasila, falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan landasan
pendidikan, yang merupakan upaya untuk menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Demikian pula kemampuan persekolahan di Indonesia adalah
menumbuhkembangkan kemampuan dan membentuk manusia dan peradaban yang
bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan harapan dapat menumbuhkan
kemampuan peserta didik menjadi manusia yang bertakwa dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, berakhlak mulia. , berpendidikan, terampil, imajinatif, bebas, dan
menjadi penduduk berbasis popularitas dan perhatian. Dalam rumusan alinea pertama UU
No. Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan didefinisikan sebagai berikut dalam
UU No.20 Tahun 2003:
upaya sengaja dan terencana untuk mewujudkan lingkungan dan proses belajar yang
mendorong peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya dalam kekuatan
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan negara. Oleh karena itu, upaya pendidikan politik
merupakan sarana yang sangat penting dalam perkembangan warga atau masyarakat untuk
mendapatkan informasi, pengalaman dan pemahaman kerangka politik yang memiliki saran
untuk penegasan tentang masalah-masalah pemerintahan dan peka terhadap kekhasan politik
yang terjadi di sekitarnya. Selain itu, warga negara diharapkan memiliki keterampilan politik
untuk mampu berpikir kritis dan memunculkan pendekatan alternatif terhadap isu-isu politik
yang dihadapinya. Akibatnya, proses demokratisasi didukung oleh politik pendidikan.
“Pendidikan politik adalah cara untuk mempertahankan kondisi yang stabil pada saat tertentu,
dan diharapkan dapat memberikan landasan bagi proses demokrasi yang lebih maju,” bantah
Brownhill dan Smart (1989:9) dalam hal ini. Oleh karena itu, masalah pemerintahan yang
instruktif terkait erat dengan menjaga kondisi agar tetap stabil selama masa kekuatan tertentu.
Hasrat kuat akan kekuasaan melalui pendidikan politik tampak jelas di sini.
2. Bentuk-bentuk Pendidikan Politik
Pengalaman politik setiap warga negara selalu berubah. Sebaiknya, perubahan
tersebut harus berupa perbedaan nilai yang pasti. Untuk bertindak dan berperilaku politik
secara cerdas, kritis, dan bertanggung jawab, setiap warga negara harus mendapatkan
pembinaan. Pendidikan politik yang dilakukan dengan pelajaran yang mengacu pada mata
pelajaran pendidikan dapat memberikan arah tersebut. Menurut Stradling (Brownhill dan
Savvy, 1989:104), informasi pendidikan politik dalam kesempatan ini terdiri dari informasi
ahli, informasi pragmatis, dan kesadaran. Kedua, kapasitas komunikasi interpersonal,
intelektual, dan praktis. Ketiga, mentalitas dan pedoman perilaku. Menurut kajian yang telah
dilakukan sebelumnya, rencana pendidikan politik pada umumnya memperhatikan aspek
mental, emosional, dan psikomotorik. Dari perspektif mental, pelatihan politik memberikan
pengetahuan dan pemahaman politik kepada setiap individu. Sementara itu, komponen
psikomotor dari kurikulum pendidikan politik harus membekali siswa dengan kemampuan
intelektual yang diperlukan untuk terlibat secara efektif dalam aksi dan komunikasi politik.
Pendidikan politik emosional harus mendorong siswa untuk memperluas wawasan politik
mereka sesuai dengan standar pemenang arena publik.
B. Pengertian Pancasila
Kata Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta, menurut etimologinya. Pak Muhammad
Yamin mengklaim bahwa kata "Pancasila" memiliki dua arti berbeda dalam bahasa
Sansekerta.
A. Panca menyiratkan lima, dan "sendi batu" atau "pendirian" berasal dari vokal pendek
syila;
B. Kata “aturan tingkah laku yang baik, penting, atau tidak senonoh” adalah syiila, yang
memiliki vokal panjang i. Oleh karena itu, nama Pancasila yang relevan secara etimologis
adalah Panca Syila, yang berasal dari vokal pendek i dan berarti "dasar yang berunsur lima"
atau "batu bersusun lima". Panca Syiila mengacu pada lima pedoman perilaku penting dengan
vokal i panjang. Pancasila yang sedang berlangsung adalah Panca Syila, yang memiliki vokal
I pendek dan premis lima bagian. Sebutan “Pancasila” telah digunakan oleh nenek moyang
Indonesia sejak peninggalan. Padahal, tulisan Budha dan India adalah sumber pertama dari
kata Pancasila. Umat Buddha diharapkan menjunjung tinggi prinsip-prinsip moral tertentu
untuk mencapai kesempurnaan hidup. Kewajiban moral berbeda di antara pertemuan. Ajaran
moral adalah Dasasyiila, Saptasyiila, dan Pancasila. Ajaran agama Buddha pancasila
merupakan pedoman yang harus dipatuhi oleh semua umat, termasuk umat awam. Lima
batasan atau larangan dalam Pancasila adalah sebagai berikut:
A. Larangan membunuh makhluk hidup disebut sebagai panatipada veramani sikhapadam
samadiyani.
B. Dinna dana veramani skhapadam samadiyani menyinggung penolakan terhadap
pengambilan atau tidak diberikan untuk mengambil apa.
C. Kameshu micchacara veramani skhapadam samadiyani, artinya jangan ikut serta dalam
hubungan seksual, atau melakukan perselingkuhan adalah melanggar hukum.
D. Musawada veramani skhapadam samadiyani, dan itu menyiratkan bahwa Anda dilarang
berbohong atau berbicara tidak jujur.
e. Ungkapan "jangan minum minuman keras" atau "jangan minum minuman yang
menghilangkan pikiran" diterjemahkan menjadi "sura meraya masjja pamada tikana
veramani".
C. Makna Etika Politik
Moral politik adalah cara berpikir yang layak yang merupakan bagian dari moralitas.
Sederhananya, etika politik adalah subbidang etika yang menyelidiki tanggung jawab dan
kewajiban sehari-hari individu. Moralitas politik tidak hanya mengkaji tanggung jawab dan
komitmen warga sebagai warga, tetapi juga seluruh aktivitas kesehariannya. Hal ini
disebabkan karena kehidupan politik mencakup bidang-bidang kehidupan lainnya. Dengan
kata lain, etika politik berfokus pada aspek politik keberadaan manusia (Magnis-Suseno,
2001: 17).
Secara definisi, etika politik tidak dapat dibedakan dari subyek etika—manusia. Moral politik
dan diskusi tentang moralitas dengan demikian terhubung. Ini tergantung pada bagaimana
pandangan etis biasanya mengacu pada individu sebagai subjek moral. Etika politik tetap
memberikan landasan fundamental bagi manusia sebagai individu bukan sebagai warga
negara atau warga negara, meskipun hakikat dan kedudukan manusia tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat, bangsa, dan negara. Hal ini semakin menunjukkan, menurut Magnis-Suseno
(2001:19), bahwa etika politik didasarkan pada kodrat manusia sebagai makhluk terpelajar
dan beradab.
Alasan moral politik di mata publik dibatasi untuk memberikan perangkat hipotetis yang
secara sadar menantang dan memahami keaslian politik. Moral politik bergantung pada
kehati-hatian, objektivitas, dan argumentasi sebagai lawan dari perasaan, bias, dan deduksi.
Masalah legislatif praktis tidak hanya diperlambat oleh moralitas politik. Di sisi lain, etika
politik memudahkan untuk membicarakan masalah ideologis secara objektif. Orientasi dan
pedoman normatif etika politik bermanfaat bagi siapa saja yang ingin menilai kualitas tatanan
dan kehidupan politik dengan mengukur martabat manusia atau dengan mempertanyakan
legitimasi moral suatu keputusan politik. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dibahas
aspek etika politik yang terkait langsung dengan kekuasaan dan hukum. Kekuasaan sebagai
pembentuk administrasi sosial yang sukses dan regulasi sebagai organisasi administrasi sosial
yang mengatur pada dasarnya sejalan dengan naluri manusia sebagai makhluk sosial dan
individual. Kekuasaan dan regulasi tidak bisa eksis secara bebas. Regulasi tanpa otoritas
negara mungkin tidak lebih dari aturan regularisasi kosong yang tidak memiliki kekuatan
untuk bertindak atau tidak melakukan apa pun. Sedangkan negara tanpa regulasi akan
membentuk kekuasaan negara tipe flat out, yang akan menimbulkan penganiayaan manusia.
Akibatnya, hukum dan kekuasaan harus dianggap sah atau bermoral oleh masyarakat.
Dengan kata lain, hukum perlu menunjukkan bahwa ia tidak hanya didasarkan pada
kekuasaan tetapi juga pada prinsip-prinsip moral yang muncul dari masyarakat. Sejalan
dengan ini, aktivitas kekuatan negara harus diarahkan oleh permintaan yang mengatur -
kehendak agregat penduduknya.
BAB III
PEMBAHASAN
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai moral politik dalam kajian pendidikan politik, muatan Pancasila meliputi: 1)
gagasan Pancasila, 2) standarnya, dan 3) sifat-sifatnya. Konsep-konsep dalam Pancasila
adalah sebagai berikut: Kemungkinan adanya manusia, pemikiran pluralistik, kemungkinan
keselarasan atau keselarasan, kepentingan bersama dan asosiasi, pemikiran integralistik,
kemungkinan kerangka mengatur bagian yang lebih besar, kemungkinan kebangsaan. .
Konsep-konsep ini dikembangkan dari konsep dasar agama, kemanusiaan, kebangsaan,
kedaulatan, dan sosialitas. Untuk sementara, asas-asas pancasila meliputi Tuhan Yang Maha
Esa yang Maha Esa, umat manusia yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
demokrasi yang dipandu oleh hikmat. musyawarah/potret, serta hak-hak sipil bagi setiap
orang Indonesia. Sementara itu, keutamaan, ketaqwaan, pemerataan, kesempatan,
keseimbangan, keteguhan, ketangguhan, kekompakan, kebersamaan, dan keberhasilan yang
sesungguhnya terkandung dalam Pancasila.
B. Saran
Penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai etika politik harus selalu diutamakan dalam
setiap mata pelajaran pendidikan politik, termasuk lembaga pendidikan, pemerintah, dan
partai politik. Setiap warga perlu mendapatkan pendidikan politik yang berpandangan pada
nilai-nilai Pancasila agar dapat sepenuhnya berkiprah dalam kehidupan politik dengan penuh
kesadaran dan kewajiban.
Daftar Pustaka
Affandi, Idrus. (1996). Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan
Politik. Disertasi PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
Brownhill, Robert and Patricia Smart. (1989). Political Education. London: Routledge.
Kaelan.(2004). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma
Kansil, C.S.T. (1986). Aku Pemuda Indonesia: Pendidikan Politik Generasi Muda. Jakarta:
Balai Pustaka.
Kantaprawira, Rusadi. (1987). Aplikasi Pendekatan Sistem dalam Ilmu-ilmu Sosial.
Jakarta: Bunda Karya.
Budiawan P. (2019). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Magnis-Suseno, Franz. (2001). Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Pratama
Mas’oed, Mochtar dan Colin Mac Andrews. (1997). Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pranarka, A.M.W. (1985). Sejarah Pemikiran tentang Pancasila. Jakarta: Centre For Strategic
and International Studies
Ridha, Abu. (2002). Pengantar Pendidikan Politik Dalam Islam. Bandung: Syaamil Cipta
Media.
Ruslan Somantri, Gumilar. (2006). Pancasila dalam Perubahan Sosial Politik Indonesia
Modern. Dalam Irfan Nasution dan Ronny Agustinus (eds). Restorasi
Pancasila:Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Jakarta: Perhimpunan
Pendidikan Demokrasi (PPD).
Soeprapto. (2006). “Implementasi Pancasila Dasar Negara dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara”. Makalah disampaikan dalam Semiloka Pengembangan Buku
Pembudayaan Nilai Dasar Pancasila – UUD 1945. Ditjen Dikdasmen di Cisarua
Bogor.
Surbakti, Ramlan. (1999). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945.Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wahab, Abdul Azis. (1996). “Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik: Model Pendidikan
Kewarganegaraan Indonesia menuju Warga Negara Global”. Orasi Ilmiah
Pengukuhan Jabatan Guru Besar IKIP Bandung: tidak diterbitkan.