Di Perancis, Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship Education) secara tradisional telah menjadi salah
satu agenda politik yang penting, disebabkan oleh kebutuhan untuk mengkonsolidasikan dukungan
nasional bagi Republik Ketiga (Third Republic) ketika demokrasi dikembalikan pada tahun 1871.
Pendidikan kewarganegaraan Indonesia zaman Orde Baru (1966-1998) kurang, bahkan tidak
merefleksikan cita sipil yang demokratis. Anggapan selama ini adalah bahwa kekeliruan itu bersumber
pada otoritas negara (state agents) melalui indoktrinisasi politik yang berlebihan, misalnya melalui
Penataran P4 yang banyak dilakukan untuk memaksakan visi dan misi pemerintah kepada rakyat, juga
pada pembungkaman masyarakat demi kesejahteraan semu akan dukungan terhadap keputusan
pemerintah. Setelah pelengseran rezim otoriter, yakni ketika indoktrinisasi sudah tidak terdengar lagi,
timbul harapan besar bahwa kehidupan berbangsa akan semakin demokratis. Di era ‘reformasi’, wacana
kewarganegaraan baru meletakkan pengakuan atas hak-hak warganegara sebagai isu sentral dalam
masyarakat pluralis yang demokratis. Atau dengan kata lain, perjuangan dan pemerolehan hak sipil, hak
asasi manusia dan keadilan sosial dan politik diyakini akan lebih mudah dicapai. Upaya itu diwujudkan,
misalnya, melalui amendemen Undang Undang Dasar 1945 dan keinginan untuk merevitalisasi
Pancasila. Di era ‘transisi demokrasi’ bangsa Indonesia dihadapkan pada pelbagai fenomena yang
mempengaruhi kewarganegaraannya, seperti rasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh globalisasi
dan kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua
masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitaslisasi cita sipil, khususnya
melalui pendidikan kewarganegaraan.
Berakhirnya Perang Dunia Kedua berpengaruh besar terhadap perjalanan bangsa dan negara Jepang,
terlebih pada aspek pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas yang diperlukan bagi
pembangunan kembali Jepang yang porak poranda akibat perang. Perhatian besar Jepang terutama
difokuskan pada aspek pendidikan. Periode setelah kekalahan jepang dalam perang, menjadi titik balik
yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang.
Pendidikan kewarganegaraan di Jepang yang dikenal dalam terminologi social studies, living experience
and moral education (Kerr, 1999), berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan warga
negara berkaitan dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang. Dalam tulisan ini, kajian pendidikan
kewarganegaraan di Jepang akan memfokuskan diri kepada kajian tentang konteks kelahiran, landasan
pengembangan, kerangka sistemik, dan kurikulum dan bahan ajar pendidikan kewarganegaraan di
Jepang.
Konteks Kelahiran
Konteks kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang dapat ditelusuri, terutama setelah Perang
Dunia kedua (1945). Pada masa itu, perhatian pemerintah Jepang terhadap pendidikan mulai
menunjukkan peningkatan. Pendidikan menjadi pusat perhatian pemerintah sebagaimana direncanakan
sejak periode Meiji (abad ke-19) (Otsu, 1998:51; Ikeno, 2005:93). Periode setelah kekalahan Jepang ini,
merupakan titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang. Pendidikan Jepang mengubah
orientasinya dari yang bersifat militer ke arah pendekatan yang lebih demokratis. Demikian pula
perubahan dirasakan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, mata pelajaran ini telah bergeser
penekanannya dari pendidikan untuk para warganegara dan pengajaran disiplin ilmu-ilmu sosial yang
terkait dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang, ke arah Pendidikan Kewarganegaraan untuk
semua warganegara (Ikeno, 2005:93).
Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia II dapat digambarkan dalam tiga periode
(Ikeno, 2005:93) sebagai berikut: “Pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada
pengalaman. Kedua, periode tahun 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan, dan ketiga, periode
tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan”.
Landasan Pengembangan
kewajiban)