Anda di halaman 1dari 14

http://id.scribd.

com/doc/173793898/Nama-Istilah-KewargaNegaraan-Di-Dunia#scribd
hongkong : Burgerkunde
ma NegaraIstilah tentang PendidikanKewarganegaraan
1
Indonesia Pendidikan Kewarganegaraan
2
Irlandia Civic, Social and Political Education (CSPE)
3
PerancisEducation Civique, Juridique et Sociale(ECJS)
4
Malaysia Pendidikan Sivik dan Kewarganegaraan (PSK)
5
Spanyol Educacion ayat La Ciudadania (EPC)
6
Norwegia Primary Mandate of Social Study
7
Korea Simin Gyoyung
8
Finlandia YH, YO YT (Yhteiskuntaoppi)
9
Singapore Civics and Moral Education
10
Amerika Serikat Civics (Civic Education)
11
Mexico Education Civicas
12
Inggris Citizenship Education
13
Jerman Sachunternicht
14
Timur Tengah
Talimatul Muwwatanah, Tarbiyatul Al
Watoniah
15
Australia Civics, Social Studies
16
HungariaPeople and Society
17
Afrika Selatan Life Orientation
18
Selandia Baru Social Studies
19
Rusia Obscesvovedinie
20
JepangSocial Studies, Living Experience and MoralEducation
21
China Daode Jiaoyu (Pendidikan Moral)

Latar Belakang Lahirnya Pedidikan Kewarganegaraan

a.
b.
c.
d.
e.

Latar belakang lahirnya pendidikan Kewarganegaraan berawal dari perjalanan


sejarah panjang bangsa Indonesia yang dimulai sejak dari perebutan dan
mempertahankan kemerdekaan sampai pada pengisian kemerdekaan, bahkan terus
berlangsung hingga zaman reformasi. Kondisi perebutan dan mempertahankan
kemerdekaan itu ditanggapi oleh bangsa indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai
perjuangan bangsa yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Kesamaan nilai-nilai
tersebut dilandasi oleh jiwa, tekad dan semangat kebangsaan. Kesemuanya itu
tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pendidikan kewarganegaraan diselenggarakan untuk membekali para
mahasiswa selaku secalon pemimpian dimasa depan dengan kesadaran bela
negara serta kemampuan berpikir secara komprehensif integral dalam rangka
ketahanan nasional kesadaran bela negara ini berwujud sebagai kerelaan dan
kesadaran melakukan kelangsungan hidup bangsa melalui profesinya kesadaran
bela negara dengan demikian kesadaran bela negara mengandung arti :
Kecintaan kepada tanah air,
Kesadaran berbangsa dan bernegara,
Keyakinan akan pancasila dan UUD 1945,
Kerelaan berkorban bagi bangsa dan negara serta
Sikap dan perilaku awal bela negara.
Negara Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan pada
tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan yang diproklamasikan itu berangkat dari
perjalanan sejarah peperangan yang panjang yang berabad-abad lamanya melawan
penjajahan dalam suasana perpecahan tidak adanya semangat persatuan dan
kesatuan menyebabkan lamanya dibumi nusantara. Penjajahan itu mengakibatkan
kebodohan dan penderitaan yang pada awal abad ke-20 mendorong timbulnya
semangat kebangsaan kebangkitan nasional ini ditandai dengan lahirnya gerakan
Budi Utomo pada tahun 1908 peristiwa sumpah pemuda yang diikrarkan pada
tanggal 28 oktober 1928 merupakan tonggak sejarah yang sangat penting. Sumpah
tersebut merupakan perjuangan sikap dan tekad bangsa Indonesia untuk bersatu
dalam wadah negara bangsa dan bahasa Indonesia. Satu tanah air menunjukkan
serta kesatuan geografis satu bangsa menunjukkan satu kesatuan politikdan satu
bahasa menujukkan satu kesatuan sosial budaya tekad ini mewujudkan perjuagan

yang akhirnya melahirkan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal


17 Agustus 1945.
Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum
dan selama penjajahan kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan
mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era kemerdekaan menimbulkan
kondisi dan menuntut yang berbeda sesuai dengan zamannya. Kondisi dan tuntutan
yang berbeda indones ditanggapi oleh bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan
nilai-nilai perjuangan bangsa yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Kesamaan
nilai-nilai tersebut dilandasi oleh jiwa tekad dan semangat kebangsaan. Kesamaan
itu timbul menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya negara
kesatuan Republik Indonesia dalam wadah nusantara.
Dalam perkembangannya, Pendidikan Kewarganegaraan mengalami perubahanperubahan yang bertujuan untuk memperbaiki isi dan tujuan dari Pendidikan
Kewarganegaraan itu sendiri. Pada awalnya Pendidikan Kewarganegaraan muncul
dengan istilah Pendidikan Kewiraan yang mulai berlaku pada tahun ajaran
1973/1974. Kemudian terus mengalami perubahan hingga berubah menjadi
Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan juga memiliki
keterkaitan kurikulum dengan Pendidikan Pancasila, Pendidikan Moral Pancasila
dan cabang Pendidikan lainnya.
Pendidikan Kewarganegaraan sudah diajarkan pada tingkat sekolah dasar sampai
sekolah menengah atas sejak tahun 1969 dengan sebutan kewargaan
negara. Kemudian pada tahun 1975 sampai 1984 mengalami perubahan dengan
nama Pendidikan Moral Pancasila. Pada tingkat Perguruan Tinggi berganti nama
dengan istilah Pendidikan Kewiraan. Pada tingkat sekolah dasar dan sekolah
menengah bergangi nama dengan nama PPKN. Hingga pada tahun 2003, semua
tingkat pendidikan menggunakan nama dan kurikulum yang baru dengan sebutan
Pendidikan Kewarganegaraan hingga sampai saat ini. ( UU No. 20 tahun 2003
tentang SISDIKNAS ).
Dalam perkembangan Kurikulumnya, Pendidikan Kewarganegaraan beberapa kali
diperbaharui. Tahun 2001, materi disusun oleh Lemhannas dengan materi pengantar
dengan tambahan materi demokrasi, HAM, lingkungan hidup, bela negara, wawasan
nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional

SEJARAH perkembangan : http://hotman2202.blogspot.com/2011/02/sejarahperkembangan-pendidikan.html


http://www.faktakesehatan.com/2012/02/sejarah-pendidikan-kewaganegaraanpkn.html

A.

Latar Belakang dan Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan

Tinggi Indonesia

Tahun 1945 2004 negara Indonesia menuju demokrasi.Pemilu belum luber,


masih menggunakan wakil rakyat ( DPR )
Tahun 1994 oleh AS baru memasukkan Civic Education dalam pendidikan

Dewan erpa merespon dan memprakarsai untuk mengembangkan kurikulum

pendidikan kewarganegaraan
Kecenderungan pembangunan kurikulum pendidikan di Eropa mempengaruhi

sikap Negara Negara di Asia, mislanya jepang, Indonesia.


Era goalisasi di tingkat local maupun regional, pengembangan pendidikan

Kewarganegaraan menjadi tuntutan jaman.


Generasi muda mengatakan Bela Negara hanya menjadi kewajiban para
aparat Negara.

Kemudian muncul penelitian penelitian daei berbagai Negara di Dunia, yaitu :

Perlunya melakukan kajian ulang terhadap prinsip prinsip dan tujuan

pendidikan di Indonesia. UUD 1945 : 27( WNI wajib membela Negara)


Hasil penelitian menunjukkan gambaran yang beragam tentang prakte

operasionalisasi pendidikan di berbagai Negara.


Pendidikan kewarganegaraan di Australia meliputi 3 mapel yaitu Sosiologi,

Geografi, dan Sejarah.


Di hongkong pendidikan kewraganegaraan merupakan mata pelajaran pilihan
melalui pelajaran eksra kurikuler, papan display, dan diskusi diskusi tingkat

sekolahan.
Di Jepang pendidikan Kewarganegaraan diberikan melalui pendidikan moral,

agama, serta ilmu social, ketiga maple tersebut merupakan mapel wajib.
Di Taiwan mapel wajibnya yaitu ; sejarah, politik, bidang studi ekonomi,

sosiologi, kewarganegaraan.
Di Indonesia menggunakan separate approach ( berdiri sendiri ) melalui
mapel khusus yaitu ; Pkn, Mata kuliah dasar khusus untuk Perguruan Tinggi
( Pancasila dan kewiraan, penataran P4 ). Mata kuliah tersebut gagal karena

terlalu normative, materi cenderung militeristik, dan pendidikan tak demokratis.


Beberapa kegagalan di atas memberikan gambaran bahwa perubahan
paradigm dalam civic education yang dikembangkan di lembaga
pendidikanPerubahan dalam paradigm materi diarahkan secara sistematis
pada pengembangan wacana demokrasi yang berkembang, sednagkan
perubahan paradigm metodologis di arahkan untuk mengembangkan daya

nalar anak didik secara kritis dalam kelas kelas yang partisipatif sehingga

mereka benar benar dapat mengalami demokrasi dalam pembelajaran mereka.


Latar belakang di atas member pengertian akan pentingnya civic education di
Indonesia atas pertimbangan lemahnya nilai nilai good citizen pada
masyarakat yang sedang mengalami transformasi dan nilai nilai

otoritarianisme ke nilai nilai demokrasi.


Dengan demikian perlu civic education sebagai salah satu jalan terbaik
mengubah mentalitas masyarakat Indonesia agar menjadi warga Negara yang

partisipatif di negerinya sendiri.


Sala satu peluang dalam mengembangkan civic education di Indonesia
adalah melalui lembaga perguruan tinggi,Perguruan tinggi memiliki akses yang
kuat dengan masyarakat, akrena kepercayaan masyarakat bahwa perguruan
tinggi merupakan wadah bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang di
aplikasikan melalui Tri Dharama Perguruan Tinggi, yaitu pengajaran,
penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.Di samping itu perguruan tinggi
juga memiliki aksesa yang kuat untuk melibatkan elemen elemen bangsa

yang lain, seperti LSM.


Semangat dan jiwa yang tertuang dalam pembukaan dan batang tubuh UUD
1945 (antara lain pasal 30), serta pengalaman perjuangan bangsa Indonesia
untuk menjamin tetap tegaknya NKRI selama lebih dari setengah abad telah
menumbuhkan tekad dan keyakinan bangsa Indonesia serta merupakan suatu
hal yang tak terelakan, bahwa kelangsungan hidup bangsa dan Negara
Indonesia.
Semangat demikian inilah yang tersirat dalam pasal 30 UUD 1945 yang
menegaskan bahwa Tiap-tiap warganegara Indonesia berhak dan wajib ikut
serta dalam usaha pembelaan Negara. Rumusan pasal 30 UUD 1945 ini
mengandung makna adanya semangat semangat demakratisasi dalam
penyelenggaraan pembelaan Negara. Dekratisasi dalam bidang aspek-aspek
kehidupan bangsa, mempersyaratkan tiap-tiap warganegara memiliki
kesadaran akan hak dan kewajibannya itu. Namun demikian disadari bahwa
kesadaran warganegara terhadap hak dan kewajibannya itu tidak dibawa sejak
lahir, tetapi harus ditanamkan, ditumbuhkan serta dikembangkan yaitu melalui
upaya sosialisasi.
Sosialisasi adalah upaya memberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada
seseorang agar ia dapat melaksanakan peranannya dalam kehidupan social
tertentu. Upaya sosialisasi yang terbaik adalah melalui pendidikan.
Berdasarkan pada pemikiran demikian itu, pendidikan kewiraan sebagai upaya

untuk menumbuh kembangkan kesadaran hak dan kewajiban warganegara

dalam bela Negara dimasukan dalam kurikulum pendidikan tinggi.


Dalam era reformasi, berturut-turut dengan keputusan
MendiknasNo.232/U/2000, Kep Dirjen Dikti No.38/Dikti/Kep/2002, ditentukan
bahwa nama mata kuliah Pendidikan kewiraan secara formal tidak lagi
digunakan, istilah yang digunakan Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam
komponen kurikulum Pendidikan tinggi. Pendidikan kewarganegaraan
bersama-sama pendidikan pancasila dan pendidikan Agama merupakan Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK).

Pola-pola Sejarah Kewarganegaraan di Dunia


Tingkat-tingkat generalisasi yang tinggi ini tidak memungkinkan untuk memberi
kesan bahwa semuanya bersifat sesederhana itu. Kewarganegaraan tentu saja tidak
sesederhana dalam teori dan prakteknya. Tentu saja, usahausaha untuk
menerangkan bentuk identitas ini telah menghasilkan banyak pola yang berbeda,
baik dalam isinya maupun perkembangan sejarahnya. Satu survei singkat dari
beberapa interpretasi sejarah ini akan menunjukkan bagaimana tiap interpretasi
yang ada menjelaskan apa yang menjadi pokok persoalan kita. Beberapa sarjana
telah membedakan pola-pola sejarah kewarganegaraan tersebut dengan
berkonsentrasi pada pemilihan bahan yang terbatas. Yang paling terkenal dan
berpengaruh dari bahan-bahan ini adalah karya T.H. Marshall & T. Bottomore yang
berjudul Citizenship and Social Class (1992). Dalam ceramah-ceramahnya yang
disampaikan pada tahun 1941, T.H. Marshall & T. Bottomore mengenalkan tiga
bentuk hak kewarganegaraan, yaitu hak sipil (misalnya persamaan di mata hukum);
hak DASIM BUDIMANSYAH, Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dan
Sejarahnya di Indonesia 112 politik (misalnya hak suara); dan hak sosial (misalnya
keadaan sejahtera), yang dinyatakan berkembang secara historis pada urutan itu.
Rincian dari analisis itu telah menjadi sasaran kritikan, terutama karena mengambil
data hanya dari pengalaman tokoh-tokoh kebangsaan Inggris. Meskipun
menggunakan syarat-syarat tertentu sesudahnya untuk meninjau maksud ceramahceramah T.H. Marshal & T. Bottomore yang terbatas dengan cara yang lebih luas,
gagasan utama dari isi hak-hak kewarganegaraan tripartit tetaplah dapat digunakan
(Marshall & Bottomore, 1992). Beberapa dekade yang lalu, J.G.A. Pocock (1995)
mengajukan hipotesis tentang dwikarya dalam sejarah kewarganegaraan di zaman
Yunani dan Romawi. Bagi orang-orang Yunani, Aristoteles yang terkenal itu
menganggap warga negara bersifat alamiah. Maksudnya, manusia adalah zoon

politicon atau makhluk politik. Bagi orang-orang Romawi, sebaliknya, manusia


adalah entitas hukum. Maksudnya, sebagai warga negara dia memiliki kaitan hukum
dengan negara. Seperti yang dijabarkan oleh J.G.A. Pocock berikut ini: Kemajuan
yurisprudensi mengubah konsep warga negara dari zoon politicon menjadi legalis
homo, dan dari civis atau polites [masing-masing dalam bahasa Latin dan Yunani
untuk sebutan warga negara] menjadi bourgeois atau burger. Lebih lanjut muncul
semacam penyamaan istilah citizen dengan subject (yang keduanya memiliki arti
warga negara), karena dalam menetapkannya sebagai anggota masyarakat yang
sama di mata hukum, penyamaan itu menegaskan bahwa dia adalah, dalam artian
yang lebih dari satu, subjek dari undang-undang yang menegaskan persamaannya
dan dari para penguasa dan hakim yang diberi wewenang untuk menegakkan
undang-undang tersebut (Pocock, 1995:38). Peter Riesenberg, dalam karyanya
yang berjudul Citizenship in the Western Tradition: Plato to Rousseau (1992),
memberikan dua pola untuk kepentingan pembaca, yang sangat berbeda dari karya
J.G.A. Pocock. Teori utamanya adalah bahwa ada dua fase dalam sejarah
kewarganegaraan, dengan satu periode transisi kira-kira seratus tahun di akhir abad
ke-18. Menurut Peter Riesenberg, kewarganegaraan pertama bercirikan kepada:
[...] dunia yang mendalam (masyarakat skala kecil) dan kekuatan-kekuatan yang
menjaga kesatuannya [] jika sebagian besar orang sadar secara historis dan moral
tinggal dalam komunitas-komunitas seperti itu dan memiliki gagasan-gagasan yang
sangat serupa tentang apa yang harus dilakukan warga negara yang baik dan
bagaimana mengembangkannya, dari generasi ke generasi (Reisenberg, 1992:xv).
Poros yang membawa dunia Barat menuju kewarganegaraan kedua, menurut
Peter Riesenberg, adalah masa akhir revolusi abad ke-18. Kewarganegaraan yang
bijak dan paling lama dipakai secara perlahan digantikan oleh kewarganegaraan
yang lebih inklusif, demokratis, nasional dan terpusat pada pentingnya kesetiaan.
Pandangan Peter Riesenberg yang lain adalah sifat dasar yang berubah-ubah dari
kewarganegaraan pertama HISTORIA: Journal of Historical Studies, IX, 1 (June
2008) 113 sebagai komitmen terhadap cita-cita yang berkembang atau menyusut,
atau, seperti yang dia menyatakannya, sebagai: [...] rangkaian momen-momen
penting yang diikuti oleh kemunduran: masa pemerintahan Solon, awal
terbentuknya Republik Romawi, masa-masa awal komunal abad pertengahan,
mungkin bahkan masa-masa kelahiran Republik Amerika. Pada masa-masa seperti
itu, kewarganegaraan benar-benar dapat berjalan (Reisenberg, 1992:xxiii). Meskipun
Peter Reisenberg mengusahakan pola kewarganegaraan pertama dan
kewarganegaraan yang kedua, sebagian besar peneliti lainnya yang mengamati
pokok persoalan tersebut memperlihatkan dualitas yang agak berbeda, yaitu
perbedaan antara apa yang diistilahkan dengan civic republican (istilah untuk

kewarganegaraan berdasarkan pemerintahan republik) dan tradisi liberal. Jenis


pemikiran civic republican (penganut faham humanis zaman Yunani dan Romawi)
tentang kewarganegaraan telah menguraikan bahwa bentuk paling baik untuk satu
negara adalah berdasarkan dua faham. Pertama, penduduk yang terdiri atas orangorang yang berakhlak secara politik dan cara pemerintahan yang adil dalam hal
ini negara harus berbentuk republik dalam hal jalannya pemerintahan secara
konstitusional, bukan jalannya pemerintahan secara sewenangwenang, dan bukan
pula pemerintahan yang dijalankan secara tirani. Kedua, elemen perilaku
kewarganegaraan yang baik dan bentuk negara republik sangat diperlukan sehingga
muncul istilah civic republican. Sekumpulan masyarakat terbuka tidak mungkin
berada dibawah pemerintahan tirani; pemerintahan republik tidaklah mungkin
tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari warga negaranya. Maka dari itu,
kewarganegaraan melibatkan terutama tugas dan nilai kewarganegaraan (Heater,
2004:5). Sebagai alternatif, yakni pandangan liberal, berkembang di abad ke-17
hingga abad ke-18, dan menjadi benar-benar semakin kuat di abad ke-19 hingga
abad ke-20. Jenis pemikiran ini menyatakan bahwa negara ada untuk kepentingan
warga negaranya, dan memang memiliki kewajiban untuk menjamin agar mereka
memiliki dan memperoleh hak-hak khusus. Apabila kita menggunakan tritunggal
bentuk kewarganegaraan yang diusung oleh T.H. Marshall & T. Bottomore (1992),
harus kita perhatikan bahwa jika yang dimaksudkan oleh para penulis dan politikus
abad ke-18 dan ke-19 adalah hak-hak, maka yang mereka maksud adalah hak-hak
sipil dan politik, meskipun hak-hak sosial muncul pertama secara tentatif dalam
Revolusi Prancis.

https://id.scribd.com/doc/173793898/Nama-Istilah-KewargaNegaraan-DiDunia#scribd

masyarakat skala kecil) dan kekuatan-kekuatan yang


menjaga kesatuannya [] jika sebagian besar orang sadar secara historis dan moral
tinggal dalam komunitas-komunitas seperti itu dan memiliki gagasan-gagasan yang
sangat serupa tentang apa yang harus dilakukan warga negara yang baik dan
bagaimana mengembangkannya, dari generasi ke generasi (Reisenberg, 1992:xv).
Poros yang membawa dunia Barat menuju kewarganegaraan kedua,
menurut Peter Riesenberg, adalah masa akhir revolusi abad ke-18.
Kewarganegaraan yang bijak dan paling lama dipakai secara perlahan

digantikan oleh kewarganegaraan yang lebih inklusif, demokratis, nasional


dan terpusat pada pentingnya kesetiaan. Pandangan Peter Riesenberg yang
lain adalah sifat dasar yang berubah-ubah dari kewarganegaraan pertama
HISTORIA:
Journal of Historical Studies, IX, 1 (June 2008)
113
sebagai komitmen terhadap cita-cita yang berkembang atau menyusut, atau,
seperti yang dia menyatakannya, sebagai:
[...] rangkaian momen-momen penting yang diikuti oleh kemunduran: masa
pemerintahan Solon, awal terbentuknya Republik Romawi, masa-masa awal
komunal
abad pertengahan, mungkin bahkan masa-masa kelahiran Republik Amerika. Pada
masa-masa seperti itu, kewarganegaraan benar-benar dapat berjalan (Reisenberg,
1992:xxiii).
Meskipun Peter Reisenberg mengusahakan pola kewarganegaraan
pertama dan kewarganegaraan yang kedua, sebagian besar peneliti lainnya
yang mengamati pokok persoalan tersebut memperlihatkan dualitas yang
agak berbeda, yaitu perbedaan antara apa yang diistilahkan dengan civic
republican (istilah untuk kewarganegaraan berdasarkan pemerintahan
republik) dan tradisi liberal. Jenis pemikiran civic republican (penganut
faham humanis zaman Yunani dan Romawi) tentang kewarganegaraan telah
menguraikan bahwa bentuk paling baik untuk satu negara adalah
berdasarkan dua faham. Pertama, penduduk yang terdiri atas orang-orang
yang berakhlak secara politik dan cara pemerintahan yang adil dalam hal
ini negara harus berbentuk republik dalam hal jalannya pemerintahan
secara konstitusional, bukan jalannya pemerintahan secara sewenangwenang,
dan bukan pula pemerintahan yang dijalankan secara tirani. Kedua,
elemen perilaku kewarganegaraan yang baik dan bentuk negara republik
sangat diperlukan sehingga muncul istilah civic republican. Sekumpulan
masyarakat terbuka tidak mungkin berada dibawah pemerintahan tirani;
pemerintahan republik tidaklah mungkin tanpa dukungan dan partisipasi
aktif dari warga negaranya. Maka dari itu, kewarganegaraan melibatkan
terutama tugas dan nilai kewarganegaraan (Heater, 2004:5).
Sebagai alternatif, yakni pandangan liberal, berkembang di abad ke-17
hingga abad ke-18, dan menjadi benar-benar semakin kuat di abad ke-19
hingga abad ke-20. Jenis pemikiran ini menyatakan bahwa negara ada untuk
kepentingan warga negaranya, dan memang memiliki kewajiban untuk
menjamin agar mereka memiliki dan memperoleh hak-hak khusus. Apabila
kita menggunakan tritunggal bentuk kewarganegaraan yang diusung oleh
T.H. Marshall & T. Bottomore (1992), harus kita perhatikan bahwa jika yang
dimaksudkan oleh para penulis dan politikus abad ke-18 dan ke-19 adalah
hak-hak, maka yang mereka maksud adalah hak-hak sipil dan politik,
meskipun hak-hak sosial muncul pertama secara tentatif dalam Revolusi
Prancis.
Pendidikan Kewarganegaraan: Konteks Amerika Serikat
Setiap masyarakat di belahan bumi manapun sangat mendambakan
generasi mudanya dipersiapkan untuk menjadi warga negara yang baik dan
dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan negaranya. Keinginan
tersebut lebih tepat disebut sebagai perhatian yang terus tumbuh, terutama
DASIM BUDIMANSYAH,

Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarahnya di Indonesia


114
dalam masyarakat demokratis. Banyak sekali bukti yang menunjukkan
bahwa tak satupun negara, termasuk Indonesia, telah mencapai tingkat
pemahaman dan penerimaan terhadap hak-hak dan tanggung jawab di
antara keseluruhan warga negara untuk menyokong kehidupan demokrasi
konstitusional. Untuk maksud itu dikembangkanlah citizenship education
atau pendidikan kewarganegaraan.
Secara historis-epistemologis, Amerika Serikat dapat dicatat sebagai
negara perintis kegiatan akademis dan kurikuler dalam pengembangan
konsep dan paradigma citizenship education. Untuk pertama kalinya,
yakni pada pertengahan tahun 1880-an, di Amerika Serikat mulai
diperkenalkan mata pelajaran Civics sebagai mata pelajaran di sekolah yang
berisikan materi mengenai pemerintahan (Kerr, 1999b). Seorang ahli bernama
Chresore (1886), pada waktu itu mengartikan Civics sebagai the science of
citizenship atau ilmu kewarganegaraan, yang isinya mempelajari hubungan
antar individu dan antara individu dengan negara. Selanjutnya pada tahun
1900-an, berkembang mata pelajaran Civics yang diisi dengan materi
mengenai struktur pemerintahan negara bagian dan federal.
Berikutnya, Dunn (1915) mengembangkan gagasan New Civics yang
menitikberatkan pada community living atau kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, sampai tahun 1920-an istilah Civics telah digunakan
untuk menunjukkan bidang pengajaran yang lebih khusus, yakni
vocational civics, community civics dan economic civics atau
kewarganegaraan yang berkenaan dengan mata pencaharian,
kemasyarakatan dan perkenomian. Di antara tujuan dari mata pelajaran
Civics pada tahun 1900-an itu adalah pengembangan social skills and
civic competence atau keterampilan sosial dan kompetensi
waganegara, serta ideas of good character atau ide-ide tentang karakter
atau watak yang baik (Hahn, 1998; Bahmueller & Patrick, 1999; dan Kerr,
1999a).
Selain istilah Civics, pada tahun 1900-an juga mulai diperkenalkan
istilah Citizenship Education, yang digunakan untuk menunjukkan
suatu bentuk character education (pendidikan watak atau karakter), serta
teaching personal ethics and virtues (pendidikan etika dan kebajikan).
Lebih jauh S.E. Dimond (1953) mengelaborasi pandangannya mengenai
citizenship, yang menurut pendapatnya konsep itu merupakan suatu
pengertian yang mempunyai dua makna. Di satu pihak ide itu berkenaan
dengan peran dan fungsi warga negara dalam kegiatan politik; dan di
lain pihak hal itu berkenaan dengan apa yang disebut dengan
desirable personal qualities atau kualitas pribadi yang didambakan
dari warga negara, sebagaimana dicerminkan dalam kegiatannya seharihari.
Selanjutnya R.E. Gross & J.E. Zeleny (1958) mengaitkan
penggunaan istilah Civics dan Citizenship Education itu sebagai berikut:
Civics pada dasarnya berkenaan dengan pembahasan mengenai pemerintahan
demokrasi dalam teori dan praktek, sedangkan Citizenship Education
HISTORIA:
Journal of Historical Studies, IX, 1 (June 2008)
115
berkenaan dengan keterlibatan dan partisipasi warga negara dalam masyarakat.

Kedua aspek ini biasanya diajarkan dalam satu mata pelajaran. Di situ kita
melihat penggunaan istilah Civics dan Citizenship Education secara bertukarpakai
(interchangeably), untuk menunjukkan suatu studi mengenai
pemerintahan yang diberikan di sekolah (Gross & Zeleny, 1958).
Masih pada tahun 1900-an, muncul istilah civic education sebagai
istilah baru, yang juga digunakan secara bertukar-pakai dengan istilah
citizenship education. Menurut Mahoney (dalam Somantri, 1972:8)
bahwa civic education itu merupakan suatu proses pendidikan yang
mencakup proses pembelajaran semua mata pelajaran, kegiatan siswa,
proses administrasi, dan pembinaan dalam upaya mengembangkan
perilaku warga negara yang baik. Di lain pihak, J. Allen (1960:11) melihat
citizenship education itu lebih luas lagi, yakni sebagai produk dari
keseluruhan program pendidikan persekolahan, dimana mata
pelajaran civics merupakan unsur yang paling utama dalam upaya
mengembangkan warga negara yang baik. Sejalan dengan pendapat tersebut
The National Council for the Social Studies (NCSS) menekankan bahwa
citizenship education sesungguhnya mencakup all positive influence
coming from formal and informal education atau segala macam dampak yang
datang baik dari pendidikan formal maupun informal (NCSS, 1972:9).
Dari uraian tersebut tampak bahwa istilah civics dan civic education
ternyata lebih cenderung digunakan dalam makna yang serupa untuk mata
pelajaran di sekolah yang memiliki tujuan utama mengembangkan siswa
sebagai warga negara yang cerdas dan baik (Chreshore, 1886; Allen, 1960; dan
Somantri, 1972). Adapun citizenship education lebih cenderung digunakan
dalam visi yang lebih luas untuk menunjukkan instructional effects
dan nurturant effects dari keseluruhan proses pendidikan
terhadap pembentukan karakter individu sebagai warga negara
yang cerdas dan baik (Dimon, 1953; Gross & Zeleny, 1958; Al len,
1960;NCSS, 1972; Somantri, 1972; Cogan & Derricott, 1998).
Sementara itu menurut J.J. Cogan (1999:3) bahwa perkembangan
pemikiran lebih maju mengenai civic education dapat ditelusur balik ke
perkembangannya di Amerika Serikat pada tahun 1916, pada saat mana The
National Education Association membentuk The Commission on the
Reorganization of Secondary Education yang mendapat tugas untuk
mengkaji secara komprehensif kurikulum sekolah lanjutan dan memberikan
rekomendasi untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu
kelompok kajian yang dibentuk, yakni The Civics Study Group, mengkaji
bagaimana kekuatan dan kelemahan civics yang sebelum tahun 1916 diajarkan
melalui kurikulum sejarah, yang pada era itu memang disiplin sejarah
menjadi komponen utama social studies.
Kelompok kajian tersebut mengemukakan dua rekomendasi perubahan yang
oleh J.J. Cogan (1999:3) dikemukakan pokok-pokoknya sebagai berikut.
Pertama, mengusulkan pengembangan Community Civics sebagai mata
DASIM BUDIMANSYAH,
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarahnya di Indonesia
116
pelajaran baru untuk kelas sembilan, yang berfungsi sebagai bekal bagi
siswa yang memasuki dunia kerja setelah kelas sembilan (sama dengan
Kelas III SMP di Indonesia). Kedua, di kelas 12, sebagai kelas akhir di
High School, diusulkan adanya mata pelajaran mengenai Problems of

Democracy. Kedua mata pelajaran itu dirancang untuk menyiapkan para


pemuda melalui pengembangan keterampilan yang sungguh diperlukan
untuk mengkaji civic problems atau masalah-masalah kewarganegaraan
dan isu-isu yang berkembang, sebagai upaya untuk memenuhi
pelaksanaan peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara yang
hidup dalam masyarakat yang demokratis. Tujuan utama dari mata
pelajaran tersebut adalah to develop participatory citizenship
(mengembangkan warga negara yang partisipatif), sekalipun dalam
prakteknya tujuan tersebut ternyata tidak dapat dicapai sepenuhnya.
Yang tampak hanyalah pengetahuan tentang isi yang masih tetap
bersifat problematik (Cogan, 1999).
Menyimak perkembangan pemikiran tentang civics dan civics education
itu, Udin S. Winataputra atas dasar kajiannya secara teoritik merumuskan
pengertian civics dan civics/citizenship education sebagai berikut:
a. Civics is the study of government taught in the schools. It is an area of learning
dealing with how democratic government has been and should be carried out, and
how the citizen should carry out his-duties and rights purposefully with full
responsibility.
b. Civic/Citizenship education can be defined in two ways. Firstly, in the first sense,
Civic Education is an area of learning, primarily intended to develop knowledge,
attitudes, and skills so the students become good citizens, with learning
experiences carefully selected and organised around the basic concepts of political
science. Secondly, in another sense, Civic Education is a by-product of variety of
areas of learning undertaken in and out-of formal school settings as well as a
by-product of a complex network of human interactions in daily activities
concerned with the development of civic responsibility (Winataputra,
1978).
Dalam hal ini Udin S. Winataputra melihat civics atau kewarganegaraan
sebagai suatu studi tentang pemerintahan yang dilaksanakan di sekolah,
yang merupakan mata pelajaran tentang bagaimana pemerintahan demokrasi
dilaksanakan dan dikembangkan, serta bagaimana warga negara seyogyanya
melaksanakan hak dan kewajibannya secara sadar dan penuh rasa tanggung
jawab. Adapun civic education/citizenship education merupakan program
pembelajaran yang memiliki tujuan utama mengembangkan pengetahuan,
sikap dan keterampilan sehingga siswa menjadi warga negara yang baik,
melalui pengalaman belajar yang dipilih dan diorganisasikan atas dasar
konsepkonsep
ilmu politik. Dalam pengertian lain, civic education juga dinilai sebagai
nurturant effects (dampak pengiring) dari berbagai mata pelajaran, baik di dalam
maupun di luar sekolah, dan sebagai dampak pengiring dari interaksi antar
manusia dalam kehidupan sehari-hari yang berkenaan dengan
pengembangan tanggung jawab warga negara. Di situ civics dilihat
HISTORIA:
Journal of Historical Studies, IX, 1 (June 2008)
117
sebagai kajian akademis yang bersifat impersonal; sedangkan civic
education/citizendhip education dilihat sebagai program
pendidikan yang bersifat personal-pedagogis. Di dalam praktek, civics
jelas merupakan konten utama dari civic education. Atau secara
metaporis, civics dapat dianggap sebagai muatannya; sedangkan civic

education sebagai wahana atau kendaraannya.


Sementara itu J.J. Cogan (1999) mencoba menjernihkan dan sekaligus
mempertegas pengertian civic education versus citizenship education
yang sebelumnya, baik oleh Muhammad Numan Somantri (1972)
maupun Udin S. Winataputra (1978), dianggap sama. Civic Education,
bagi J.J. Cogan (1999:4) adalah reffers generally to the kinds of course
work taking place within the context of the formalized schooling
structure, seperti mata pelajaran Civics di kelas 9 dan Problems of
Democracy di kelas 12. Dalam posisi ini, civic education diperlakukan
sebagai the foundational course work in school designed to prepare
young citizens for an active role in their communities in their adult
lives. Maksudnya adalah bahwa civic education ini merupakan mata
pelajaran dasar yang dirancang untuk mempersiapkan para pemuda
warga negara untuk dapat melakukan peran aktif dalam masyarakat
kelak setelah mereka dewasa. Adapun citizenship education atau education
for citizenship dipandang sebagai istilah generik yang mencakup pengalaman
belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan
keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan
dalam media. Oleh karena itu J.J. Cogan (1999:5) berkesimpulan bahwa
education for citizenship is the larger overarching concept here while civic
education is but one part, albeit a very important part, of one's development as
citizen. Dengan kata lain, citizenship education atau education for
citizenship itu merupakan suatu konsep yang lebih luas dimana civic
education termasuk bagian penting di dalamnya.

Pendidikan Kewarganegaraan pada awalnya diperkenalkan di Amerika Serikat pada


tahun 1790 dengan tujuan untuk meng-Amerika-kan bangsa Amerika dengan nama Civics.
Henry Randall Waite yang pada saat itu merumuskan pengertian Civics dengan The science
of citizenship, the relation of man, the individual, to man in organized collection, the
individual in his relation to the state. Pengertian tersebut menyatakan bahwa ilmu
Kewarganegaraan membicarakan hubungan antara manusia dengan manusia dalam
perkumpulan perkumpulan yang terorganisasi (organisasi social ekonomi, politik) dengan
individu-individu dan dengan negara.
Sedangkan di Indonesia, istilah civics dan civics education telah muncul pada tahun
1957, dengan istilah Kewarganegaraan, Civics pada tahun 1961 dan pendidikan Kewargaan
negara pada tahun 1968. (Bunyamin dan Sapriya dalam Civicus, 2005:320). Mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan masuk dalam kurikulum sekolah pada tahun 1968, namun pada
tahun 1975 nama pendidikan kewarganegaraan berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila

(PMP). Pada tahun 1994, PMP berubah kembali menjadi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn).

Anda mungkin juga menyukai