Anda di halaman 1dari 9

Demokrasi dan Transitional Justice

M. Nauval Alamudin, Nirzam Fahru Irgy A., Rofi’ul Azis


Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Abstrak

Artikel ini menyelidiki hubungan yang kompleks antara demokrasi dan transitional justice
dalam konteks pembangunan masyarakat yang adil dan inklusif. Demokrasi, sebagai bentuk
pemerintahan yang melibatkan partisipasi publik, membentuk landasan bagi prinsip-prinsip
keadilan, kebenaran, dan rekonsiliasi yang terkandung dalam konsep transitional justice.
Tulisan ini mengulas definisi, tujuan, serta instrumen-instrumen yang terlibat dalam
transitional justice, sementara juga menyoroti tantangan dan hambatan yang mungkin
dihadapi dalam implementasi prinsip-prinsip tersebut. Dengan menganalisis studi kasus dari
negara-negara yang telah berhasil menggabungkan demokrasi dan transitional justice,
artikel ini memberikan wawasan tentang bagaimana hubungan ini dapat memperkuat satu
sama lain dalam menciptakan lingkungan yang mendukung hak asasi manusia dan
pembangunan sosial. Melalui pemahaman mendalam tentang keterkaitan ini, artikel ini
memberikan panggilan untuk tindakan kolektif dan kerjasama internasional guna
mendukung negara-negara yang berjuang memperkuat demokrasi dan menjalankan prinsip-
prinsip transitional justice.

Kata kunci: demokrasi, Traditional Justice

Abstract

This article investigates the complex relationship between democracy and transitional justice
in the context of building just and inclusive societies. Democracy, as a form of government
that involves public participation, forms the foundation for the principles of justice, truth and
reconciliation embodied in the concept of transitional justice. This paper reviews the
definition, objectives and instruments involved in transitional justice, while also highlighting
the challenges and obstacles that may be faced in the implementation of these principles. By
analyzing case studies from countries that have successfully combined democracy and
transitional justice, the article provides insight into how these relationships can reinforce
each other in creating an enabling environment for human rights and social development.
Through an in-depth understanding of these linkages, the article provides a call for collective
action and international cooperation to support countries struggling to strengthen
democracy and implement the principles of transitional justice.

Key words: democracy, Traditional Justice

PENDAHULUAN
Demokrasi, sebagai suatu bentuk pemerintahan, mewakili panggilan akan keadilan
dan kebebasan yang diperoleh melalui partisipasi aktif masyarakat. Dalam demokrasi,
keputusan politik tidak hanya ditentukan oleh elit politik, melainkan melibatkan seluruh
warga negara. Partisipasi publik merupakan pondasi utama demokrasi, memungkinkan suara
individu dihargai dan diakui dalam proses pembuatan keputusan pemerintah. Partisipasi ini
mencakup hak untuk memilih para pemimpin, mengkritik kebijakan publik, serta
berpartisipasi dalam proses-proses politik yang merumuskan arah negara.

Pertumbuhan format politik di Indonesia nampaknya telah mengalami transformasi


dari orientasi demokratis menuju format yang lebih sejahtera dan berkeadilan. Namun, para
ahli memperingatkan bahwa demokrasi yang sedang dibangun harus menghindari
keterperangkapan pada aspek-aspek normatif semata, agar tidak menghambat pencapaian
tujuan-tujuan sosial dan politik yang lebih mendasar.

Di Indonesia, penting untuk mencegah agar demokrasi tidak dikuasai oleh segelintir
elite oligarki yang menginginkan kekuasaan melalui manipulasi partai politik untuk
mengakumulasi kekayaan melalui mekanisme pemilu. Partai politik yang tumbuh dan
berkembang setelah era reformasi terlihat lebih bersikap pragmatis dalam membangun
struktur sistem partai, membentuk mesin politik kartelisasi yang menyerap sumber daya
politik dan ekonomi sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku di Indonesia. Faktor-faktor
yang mempengaruhi politik identitas di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perilaku para
pelaku politik dan struktur politik itu sendiri, yang membuka peluang bagi fenomena politik
identitas untuk memainkan peran dalam kerangka prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia.

Dalam perjalanan menuju demokrasi, banyak negara mengalami fase transisi yang
kompleks dan sering kali penuh gejolak. Dalam periode transisi ini, seringkali terjadi
pelanggaran hak asasi manusia yang serius, yang mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan,
pemerkosaan, kehilangan nyawa, dan penghilangan paksa. Transitional Justice adalah konsep
yang muncul sebagai respons terhadap pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Ini adalah
pendekatan holistik yang mencakup proses-proses hukum dan non-hukum yang dirancang
untuk menghadapi pelanggaran tersebut, mengembalikan keadilan kepada korban,
memperbaiki sistem hukum, dan membangun fondasi untuk perdamaian berkelanjutan.

Transitional Justice juga melibatkan elemen-elemen seperti kebenaran, dengan


mengungkapkan fakta-fakta yang tersembunyi di balik pelanggaran-pelanggaran tersebut,
serta upaya rekonsiliasi yang bertujuan memperbaiki hubungan antar kelompok dalam
masyarakat yang terpolarisasi. Konsep ini memahami bahwa untuk mencapai demokrasi yang
berkelanjutan, tindakan terhadap masa lalu yang kelam harus diambil, sehingga masyarakat
dapat melanjutkan menuju masa depan yang lebih baik.

Dalam artikel ini, akan dianalisis bagaimana hubungan antara demokrasi dan
transitional justice membentuk kerangka kerja penting untuk memperkuat masyarakat yang
adil, inklusif, dan berkeadilan. Dengan memahami kompleksitas dan keterkaitan antara
konsep-konsep ini, artikel ini bertujuan memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana
implementasi prinsip-prinsip ini dapat membimbing negara-negara dalam proses transisi
mereka menuju demokrasi yang berkelanjutan dan memastikan bahwa keadilan dan hak asasi
manusia menjadi pilar utama dalam pembangunan sosial dan politik.

METODE
Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian yang menggunakan metode penelitian
deskriptif kualitatif yang berfokus pada penggunaan data kualitatif. Metode tersebut
menggunakan langsung dari adanya data kualitatif yang kemudian dipaparkan secara
deskriptif. Sumber data dalam penelitian ini dapat diperoleh dari beberapa referensi seperti,
jurnal, buku, dan sumber tertulis yang lainnya. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik studi literatur yang diaplikasikan langsung oleh peneliti untuk dapat
menggali dan menghimpun berbagai bentuk informasi secara valid, lengkap, dan relevan
dengan objek penelitian.

KAJIAN PUSTAKA

Siklus Polybius adalah teori mengenai perubahan bentuk pemerintahan yang


dikemukakan oleh filsuf bernama Polybius. Konsep ini, sejalan dengan pandangan
Aristoteles, menyatakan bahwa kebanyakan negara memulai perjalanan pemerintahannya
dalam bentuk MONARKI, di mana seorang raja atau ratu memimpin sebagai penguasa
tunggal, bertujuan untuk kesejahteraan rakyatnya. Namun, seiring berjalannya waktu, bentuk
pemerintahan semacam ini cenderung melorot menjadi TIRANI apabila penguasa atau
keturunannya tidak lagi mempertimbangkan kepentingan umum. Dalam kondisi semacam ini,
seringkali muncul kelompok bangsawan yang memimpin perlawanan, dan akhirnya berhasil
merebut kekuasaan. Pada saat ini, pemerintahan disebut ARISTOKRASI. Namun, karena
kekuasaan cenderung dieksploitasi, aristokrasi yang awalnya baik juga akan terjerumus dan
menjadi OLIGARKI, di mana pemerintahan dikuasai oleh segelintir bangsawan yang
mementingkan diri mereka sendiri, menindas rakyat. Akibatnya, rakyat akan memberontak
dan mengambil alih pemerintahan, membentuk DEMOKRASI. Namun, demokrasi pun
akhirnya dapat runtuh karena masalah seperti korupsi. Dalam kekacauan tersebut, Polybius
meramalkan bahwa akan muncul individu yang kuat dan berani yang akan mengambil alih
pemerintahan, menjadikannya seorang raja, dan kembali mengembalikan bentuk
pemerintahan ke MONARKI.1

Istilah demokrasi sering digunakan dalam sistem pemerintahan. Negara yang


demokrasi merupakan negara yang meletakan kekuasaan tertinggi di tangan rakyatnya.
Rakyat dilibatkan dalam menentukan setiap kebijakan dalam pemerintahan. Seperti yang
dikemukakan oleh Abd. Rahman Assegaf yang mendefinisikan demokrasi dari asal usul kata
yaitu berasal dari kata demos yang artinya rakyat, dan kratos yang artinya kekuasaan. Hal
serupa juga diungkapkan oleh Harris Soche, demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat,
karena kekuasaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat. Oleh karena itu, rakyat berhak
untuk mengatur, mempertahankan, dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan
orang lain. Terdapat pengertian mengenai demokrasi yang dianggap paling popular, yaitu
pengertian demokrasi dari Abraham Liconln yang menyatakan bahwa demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of people, by the people,
and for the people).2

Demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana keputusan politik dibuat oleh rakyat
melalui partisipasi aktif dan melibatkan prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan, dan keadilan.

1
Adi Suryadi Culla, “DEMOKRASI DAN BUDAYA POLITIK INDONESIA,” Sociae Polites 5, no. 23 (2005):
68–79.
2
Nur Hidayat Sardini, “DEMOKRASI DAN DEMOKRASI DIGITAL DI INDONESIA : PELUANG DAN
TANTANGAN,” PROSIDING SENASPOLHI 1, no. 1 (September 30, 2018), accessed October 25, 2023,
https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/SENASPOLHI/article/view/2436.
Dalam demokrasi, setiap warga negara memiliki hak untuk ikut serta dalam proses
pengambilan keputusan, baik melalui pemilihan umum maupun partisipasi dalam proses-
proses politik yang lebih luas. Prinsip-prinsip demokrasi meliputi hak untuk bersuara, hak
untuk membentuk dan bergabung dengan organisasi politik, hak untuk mendapatkan
informasi, serta hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan setara di mata hukum.

Demokrasi yang berkembang di Indonesia adalah demokrasi pancasila. Winarno


mengungkapkan bahwa pancasila adalah ideologi nasional, yaitu seperangkat nilai yang
dianggap baik, sesuai, adil, dan menguntungkan bangsa. Pancasila menjadi cita-cita
masyarakat, sehingga dijadikan pedoman dalam membuat keputusan. Selain itu, pancasila
menjadi alat pemersatu yang mampu menjadi sumber nilai bagi penyelesaian konflik yang
dihadapi masyarakat. Nilai-nilai dalam setiap sila pada pancasila memuat nilai demokrasi,
sehingga dijadikan sumber untuk menjalankan demokrasi di Indonesia.3

Traditional justice adalah sistem peradilan yang didasarkan pada nilai-nilai dan
norma-norma tradisional suatu masyarakat. Sistem ini biasanya dikelola oleh masyarakat itu
sendiri, tanpa melibatkan pemerintah atau lembaga-lembaga formal lainnya. Di Indonesia,
traditional justice masih memiliki peran penting dalam penyelesaian konflik. Sistem ini masih
digunakan oleh masyarakat tradisional, terutama di daerah-daerah yang terpencil. Selain itu,
traditional justice juga digunakan oleh masyarakat modern untuk menyelesaikan konflik-
konflik kecil, seperti konflik antar tetangga atau konflik keluarga.

Dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer, traditional justice dapat berperan


sebagai alternatif sistem peradilan formal. Sistem ini dapat digunakan untuk menyelesaikan
konflik-konflik yang tidak dapat diselesaikan oleh sistem peradilan formal. Selain itu,
traditional justice juga dapat berperan sebagai sarana untuk mempromosikan nilai-nilai dan
norma-norma tradisional dalam masyarakat.4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam artikel penulis mengutip beberapa sumber mengenai makna demokrasi dan traditional
justice menurut para ahli. Penjelasan tersebut berupa poin poin berikut:

A. Demokrasi

Berdasarkan KBBI, demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh
rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat.
Kemudian, demokrasi juga diartikan KBBI sebagai gagasan atau pandangan hidup yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga
negara.5

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah


yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kehendak mayoritas
rakyat. Para ahli dan ilmuwan memiliki definisi pengertian demokrasi yang berbeda-beda.
Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
3
Intan Rachmina Koho, “Oligarki Dalam Demokrasi Indonesia,” Lensa 15, no. 1 (March 21, 2021): 60–73.
4
M. Dian Hikmawan, “PLURALISME DEMOKRASI POLITIK DI INDONESIA,” Journal of Governance 2,
no. 2 (December 28, 2017), accessed October 25, 2023,
https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jog/article/view/2678.
5
Khaidir Anwar, “PENDIDIKAN HUKUM DI ERA TRANSISI DALAM NEGARA DEMOKRASI MENUJU
INDONESIA BARU,” Masalah-Masalah Hukum 40, no. 2 (April 19, 2011): 236–245.
untuk rakyat. Sedangkan menurut Menurut Aristoteles, demokrasi adalah "bentuk
pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan orang banyak, baik secara langsung
maupun melalui perwakilan".

Berbeda dengan pendapat Aristoteles, Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn
Karl, demokrasi dibagi menjadi dua aspek yaitu demokrasi formal dan materil. Demokrasi
formal adalah demokrasi sebagai teori, sedangkan demokrasi materil adalah demokrasi yang
dalam praktiknya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kemerdekaan dan persamaan dan juga
sosial dan ekonomi.6

Demokrasi memiliki beberapa prinsip, yaitu:


1. Kedaulatan rakyat: kekuasaan dalam negara berada di tangan rakyat.
2. Keterbukaan: proses pengambilan keputusan harus terbuka dan transparan.
3. Partisipasi politik: rakyat harus memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan.
4. Keadilan: keputusan yang diambil harus adil dan merata bagi seluruh rakyat.
Perlindungan hak asasi manusia: hak asasi manusia harus dilindungi dan dihormati
dalam setiap keputusan yang diambil.
5. Pluralisme: kebebasan untuk berpendapat dan beragama harus dihormati dan diakui.
6. Akuntabilitas: pemerintah harus bertanggung jawab atas keputusan yang diambil dan
harus dapat dipertanggungjawabkan oleh rakyat.

Demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) memiliki hubungan erat. Demokrasi tidak
hanya melibatkan pemilihan umum, tetapi juga melibatkan perlindungan hak-hak dasar
individu. Dalam sistem demokratis, kebebasan berpendapat, berkumpul, dan beragama
merupakan hak yang dijamin, serta perlindungan terhadap hak-hak seperti kebebasan dari
penyiksaan, diskriminasi, dan penindasan politik. Demokrasi yang sehat memastikan
perlindungan HAM bagi semua warga negara, menciptakan masyarakat yang inklusif dan
menghormati keberagaman.

Sejarah tentang demokrasi dimulai dari peradaban Yunani. Pada masa tersebut,
konsep dan praktik demokrasi berasal dari masyarakat Yunani klasik dan bertahan hingga
akhir periode arkaik. Munculnya demokrasi pada masa tersebut dapat ditelusuri kembali ke
ketidakpuasan rakyat terhadap sistem yang sering kali berubah-ubah sesuai keinginan para
raja pada saat itu. Awalnya, gerakan sosial yang melibatkan partisipasi rakyat dalam
menentukan kebijakan pemerintahan memicu perkembangan konsep demokrasi.7

Inovasi sosial yang sangat berpengaruh dari masyarakat Yunani klasik adalah konsep
polis atau Negara kota. Polis pada dasarnya adalah pusat perkotaan yang menguasai wilayah
sekitarnya. Karena wilayahnya yang terbatas, polis memberikan kesempatan untuk
eksperimen politik yang dinamis. Ketika polis-polis ini mulai berkembang, masyarakat
Yunani mencoba berbagai model politik, termasuk monarki yang awalnya diadopsi oleh
sebagian besar polis. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka merasa kecewa dengan
kepemimpinan monarki, sehingga mencoba berbagai struktur pemerintahan baru seperti
oligarki (pemerintahan oleh segelintir orang), timokrasi (pemerintahan oleh orang kaya),

6
Yus Hermansyah, “POLITIK IDENTITAS LOKAL DALAM PROSES DEMOKRASI INDONESIA,”
Madani Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan 14, no. 02 (August 10, 2022): 139–158.
7
M. Dian Hikmawan, “Politik Perbedaan: Demokrasi Dalam Paradoks” (Universitas Gadjah Mada, 2015),
accessed October 25, 2023, https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/83730.
aristokrasi (pemerintahan oleh yang terbaik), tirani (pemerintahan oleh seorang tiran), dan
pada akhirnya demokrasi (pemerintahan oleh demos atau rakyat).

Banyak definisi tentang demokrasi yang telah diformulasikan oleh ilmuwan dan
teoretikus. Meskipun ada perbedaan nuansa konseptual di antara definisi-definisi tersebut,
terutama ketika melihat kriteria normatif yang ditetapkan oleh masing-masing teoretikus,
namun pada dasarnya ada persamaan-persamaan penting yang menunjukkan universalitas
konsep demokrasi berdasarkan kriteria-kriteria yang mencerminkan esensi konsep tersebut.

Contohnya, Herry B. Mayo menuliskan delapan karakteristik utama yang penting


untuk menilai apakah suatu masyarakat dapat dianggap demokratis atau tidak. Karakteristik-
karakteristik tersebut termasuk: (1) penyelesaian konflik secara damai dan sukarela; (2)
kemampuan menghadapi perubahan yang damai dalam masyarakat yang sedang berkembang;
(3) pergantian penguasa yang teratur; (4) pembatasan penggunaan kekerasan dalam jumlah
minimum; (5) pengakuan dan penghormatan terhadap keberagaman; (6) penegakan keadilan;
(7) upaya untuk memajukan pengetahuan; (8) pengakuan dan penghormatan terhadap
kebebasan.

William Ebenstein juga menyebutkan delapan ciri utama yang dapat digunakan
sebagai pedoman untuk memahami dan mengukur tingkat demokrasi dalam kehidupan politik
suatu masyarakat. Ciri-ciri ini mencakup: (1) penggunaan metode ilmiah dan rasional; (2)
penekanan pada hak individu; (3) melihat negara sebagai alat; (4) kesukarelaan dalam
partisipasi; (5) prinsip hukum yang mengatur semua orang tanpa memandang status politik;
(6) penekanan pada proses; (7) musyawarah dan mufakat sebagai dasar hubungan antar
individu; dan (8) prinsip kesetaraan semua manusia. Semua ciri ini ditempatkan dalam
konteks penghargaan terhadap hak setiap individu untuk mengemukakan pendapat dan
kepentingannya.

Sementara itu, Carter dan Hertz mengkonseptualisasikan tujuh ciri demokrasi,


termasuk: (1) pembatasan terhadap tindakan pemerintah melalui mekanisme pergantian
pemimpin yang berkala, teratur, dan damai melalui representasi rakyat yang efektif; (2)
menghargai toleransi terhadap perbedaan pendapat yang berlawanan; (3) menjamin
kesetaraan di hadapan hukum dengan tunduk pada prinsip rule of law tanpa memandang
status politik; (4) memberikan kebebasan berpartisipasi dan berpendapat bagi partai politik,
organisasi sosial, masyarakat, dan individu, termasuk pers dan media massa; (5) menghormati
hak rakyat untuk menyatakan pendapatnya meskipun kontroversial dan tidak populer; (6)
menghargai hak-hak minoritas dan individu; (7) menggunakan pendekatan persuasif dan
diskursif daripada metode koersif dan represif.8

B. Traditional Justice

Transitional justice adalah serangkaian proses dan mekanisme yang digunakan oleh
masyarakat yang baru saja mengalami konflik atau represi sistemik untuk menghadapi masa
lalu yang kelam dan membangun masa depan yang lebih baik. Traditional justice adalah
sistem peradilan yang didasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma tradisional suatu
masyarakat. Sistem ini biasanya dikelola oleh masyarakat itu sendiri, tanpa melibatkan
pemerintah atau lembaga-lembaga formal lainnya. Tujuan utamanya adalah mencapai
keadilan, kebenaran, rekonsiliasi, dan pembangunan sosial.

8
Zulfikri Suleman, Demokrasi untuk Indonesia: pemikiran politik Bung Hatta (Penerbit Buku Kompas, 2010).
Para ahli telah memberikan definisi dan ruang lingkup yang berbeda untuk
transitional justice. Menurut United Nations Development Programme (UNDP), transitional
justice adalah "serangkaian pendekatan dan mekanisme yang digunakan untuk menghadapi
pelanggaran hak asasi manusia yang serius yang terjadi dalam konteks transisi politik atau
sosial yang luas, dengan tujuan mencapai keadilan, memperkuat negara hukum, dan
membangun masyarakat yang demokratis".9

Menurut International Center for Transitional Justice (ICTJ), transitional justice


mencakup "serangkaian tindakan yang diambil oleh masyarakat yang baru saja mengalami
kejahatan sistemik yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, untuk
menghadapi masa lalu yang kelam, membangun masa depan yang lebih baik, dan mencegah
terulangnya kejahatan tersebut". Sedangkan Menurut Human Rights Watch, transitional
justice adalah "upaya untuk menghadapi pelanggaran hak asasi manusia yang serius yang
terjadi dalam konteks transisi politik atau sosial yang luas, melalui pengadilan, kebenaran,
reparasi, dan reformasi institusi".

Tujuan utama dari Transitional Justice adalah mencapai keadilan bagi para korban
pelanggaran hak asasi manusia, memastikan pengungkapan kebenaran tentang kejadian yang
terjadi, memfasilitasi rekonsiliasi antar kelompok yang bersengketa, dan membangun
masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Keadilan berarti bahwa pelaku pelanggaran hak asasi
manusia harus diadili dan dihukum sesuai dengan hukum. Kebenaran melibatkan
pengungkapan fakta-fakta yang tersembunyi selama konflik atau masa otoriter. Rekonsiliasi
mencakup upaya memperbaiki hubungan antar kelompok masyarakat yang terpecah belah
akibat konflik atau penindasan. Pembangunan sosial yang inklusif bertujuan memperbaiki
kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, khususnya mereka yang terdampak konflik atau
pelanggaran hak asasi manusia.10

Traditional justice memiliki berbagai bentuk, tergantung pada budaya dan tradisi
masing-masing masyarakat. Beberapa contoh traditional justice antara lain:

1. Sistem peradilan adat yang digunakan oleh masyarakat tradisional di Indonesia.


Sistem ini didasarkan pada hukum adat yang mengatur berbagai aspek kehidupan
masyarakat, termasuk penyelesaian konflik.
2. Sistem peradilan agama yang digunakan oleh masyarakat beragama. Sistem ini
didasarkan pada ajaran agama yang mengatur berbagai aspek kehidupan umat
beragama, termasuk penyelesaian konflik.
3. Sistem peradilan tradisional lainnya, seperti sistem peradilan suku atau sistem
peradilan berbasis desa.

Instrumen-instrumen Transitional Justice terdiri dari Pengadilan, Kebenaran,


Reparasi, dan Reformasi Institusi yang dalam penjelasanya sebagai berikut:

1. Pengadilan: Pengadilan kejahatan perang adalah instrumen utama Transitional Justice


yang memungkinkan para pelaku kejahatan dihukum secara hukum. Ini mencakup
pengadilan di tingkat nasional maupun internasional, seperti Pengadilan Pidana
Internasional.

9
Tim Allen, “The International Criminal Court and the invention of traditional justice in Northern Uganda,”
Politique africaine 107, no. 3 (2007): 147–166.
10
Boyane Tshehla, Traditional Justice in Practice: A Limpopo Case Study (Institute for Security Studies, 2005).
2. Kebenaran: Komisi kebenaran adalah lembaga yang menyelidiki dan
mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia, memberikan pengungkapan
kebenaran kepada publik, serta memberikan kesempatan bagi pelaku untuk mengakui
kesalahan mereka dalam pertukaran pengampunan atau pengurangan hukuman.
3. Reparasi: Program reparasi mengidentifikasi dan memberikan kompensasi kepada
korban pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kompensasi finansial, bantuan
medis, rehabilitasi, dan dukungan psikologis.
4. Reformasi Institusi: Ini mencakup reformasi sistem keadilan dan keamanan, termasuk
perubahan dalam hukum, kebijakan, dan praktik-praktik yang mendukung hak asasi
manusia. Reformasi ini bertujuan untuk mencegah terulangnya pelanggaran hak asasi
manusia di masa depan.

Dengan menggabungkan instrumen-instrumen ini, Transitional Justice bertujuan


menciptakan masyarakat yang berbasis pada keadilan, kebenaran, dan perdamaian,
memberikan pengakuan kepada korban, serta mendorong proses rekonsiliasi yang mendalam
dalam masyarakat yang tengah bertransisi menuju demokrasi dan stabilitas.

KESIMPULAN

Demokrasi, yang diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat,
memegang prinsip-prinsip seperti kedaulatan rakyat, partisipasi politik, pluralisme, dan
perlindungan hak asasi manusia. Sejarah demokrasi dimulai dari peradaban Yunani kuno, di
mana gerakan sosial dan konsep polis memberikan dasar bagi perkembangan ideologi ini. Di
Indonesia, demokrasi diimplementasikan melalui demokrasi Pancasila, yang mencakup nilai-
nilai dasar seperti keadilan, kebenaran, dan kesetaraan. Demokrasi ini mencerminkan aspirasi
masyarakat dan diarahkan pada mencapai kesejahteraan bersama. Sementara itu, Transitional
Justice adalah pendekatan untuk menghadapi pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks
transisi politik atau sosial. Pendekatan ini mencakup berbagai instrumen seperti pengadilan,
kebenaran, reparasi, dan reformasi institusi. Tujuan utamanya adalah mencapai keadilan,
kebenaran, rekonsiliasi, dan pembangunan sosial. Traditional Justice, yang didasarkan pada
nilai-nilai dan norma-norma tradisional suatu masyarakat, juga memainkan peran penting,
terutama di Indonesia di mana sistem ini digunakan untuk menyelesaikan konflik-konflik
kecil dan sebagai alternatif untuk sistem peradilan formal.

Dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer, integrasi antara prinsip-prinsip


demokrasi, demokrasi Pancasila, dan konsep Traditional Justice merupakan langkah yang
penting menuju masyarakat yang adil dan inklusif. Menerapkan prinsip-prinsip demokrasi,
melibatkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan, dan memastikan perlindungan hak
asasi manusia adalah bagian integral dari membangun masyarakat yang demokratis dan
beradab. Dalam menghadapi masa lalu yang kelam, penerapan pendekatan Transitional
Justice dan memperkuat sistem Traditional Justice juga memainkan peran kunci dalam
memperbaiki keretakan sosial dan membangun rekonsiliasi yang berkelanjutan. Semua
elemen ini bersatu untuk membentuk fondasi masyarakat yang berkeadilan, inklusif, dan
demokratis di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Allen, Tim. “The International Criminal Court and the invention of traditional justice in
Northern Uganda.” Politique africaine 107, no. 3 (2007): 147–166.

Anwar, Khaidir. “PENDIDIKAN HUKUM DI ERA TRANSISI DALAM NEGARA


DEMOKRASI MENUJU INDONESIA BARU.” Masalah-Masalah Hukum 40, no. 2
(April 19, 2011): 236–245.

Culla, Adi Suryadi. “DEMOKRASI DAN BUDAYA POLITIK INDONESIA.” Sociae


Polites 5, no. 23 (2005): 68–79.

Hermansyah, Yus. “POLITIK IDENTITAS LOKAL DALAM PROSES DEMOKRASI


INDONESIA.” Madani Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan 14, no. 02 (August
10, 2022): 139–158.

Hikmawan, M. Dian. “PLURALISME DEMOKRASI POLITIK DI INDONESIA.” Journal


of Governance 2, no. 2 (December 28, 2017). Accessed October 25, 2023.
https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jog/article/view/2678.

———. “Politik Perbedaan: Demokrasi Dalam Paradoks.” Universitas Gadjah Mada, 2015.
Accessed October 25, 2023. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/83730.

Koho, Intan Rachmina. “Oligarki Dalam Demokrasi Indonesia.” Lensa 15, no. 1 (March 21,
2021): 60–73.

Sardini, Nur Hidayat. “DEMOKRASI DAN DEMOKRASI DIGITAL DI INDONESIA :


PELUANG DAN TANTANGAN.” PROSIDING SENASPOLHI 1, no. 1 (September
30, 2018). Accessed October 25, 2023.
https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/SENASPOLHI/article/view/2436.

Suleman, Zulfikri. Demokrasi untuk Indonesia: pemikiran politik Bung Hatta. Penerbit Buku
Kompas, 2010.

Tshehla, Boyane. Traditional Justice in Practice: A Limpopo Case Study. Institute for
Security Studies, 2005.

Anda mungkin juga menyukai