Anda di halaman 1dari 17

COVER MAKALAH

CRYPTOCURRENCY DALAM PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH:


TINJAUAN TERHADAP AL BAQARAH AYAT 279 DAN AN NISA’ 160

Dosen Pengampu:

Nama Dosen

Disusun Oleh:

Nama Penyusun (Nim)

PROGRAM STUDI (nama prodi)

FAKULTAS (Nama Fakultas)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Segala puji bagi Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa, pada akhirnya makalah yang
penulis susun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah (Nama Mata Kuliah) yang
berjudul: “Cryptocurrency dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah: Tinjauan
Terhadap Al Baqarah Ayat 279 dan AN NISA’ AYAT 160":, telah dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun dengan mengacu pada beberapa sumber bacaan dan akses internet.

Tulisan yang amat sederhana ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya peran dan bantuan
serta masukan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, sudah semestinya penulis mengucapkan
terimakasih yang tidak terhingga kepada Bapak/Ibu pengampu mata kuliah

Serta pada orang tua dan teman-teman penulis, yang selalu memberikan motivasi dan
beberapa masukan-masukan dalam penyusunan makalah ini. Saya menyadari bahwa
penulisan makalah ini jauh dari sempurna. Namun, harapan penulis semoga karya yang
sederhana ini ada setitik manfaatnya, terutama untuk penulis pribadi dan teman-teman yang
telah membaca makalah ini. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Surabaya, 08 Desember 2023

Penulis
DAFTAR ISI

COVER MAKALAH....................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................7
A. Latar Belakang............................................................................................................................7
B. Batasan Masalah........................................................................................................................7
C. Rumusan Masalah......................................................................................................................8
D. Tujuan Kepenulisan....................................................................................................................8
BAB II LANDASAN TEORI........................................................................................................................9
A. Al Baqarah Ayat 279 dan An-Nisa’ ayat 160...............................................................................9
B. Asbabun Nuzul dan Munasabat Ayat.........................................................................................9
C. Mutasyabih Ayat......................................................................................................................10
D. Hukum yang dimuat oleh ayat.................................................................................................11
BAB III DESKRIPSI KASUS......................................................................................................................12
BAB IV ANALISIS KASUS........................................................................................................................14
BAB V PENUTUP...................................................................................................................................18
A. Kesimpulan...............................................................................................................................18
B. Rekomendasi............................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................20
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi finansial, cryptocurrency telah


menjadi salah satu fenomena yang mendominasi panggung ekonomi dunia. Di tengah
dinamika tersebut, Hukum Ekonomi Syariah menjadi landasan kritis untuk menilai
keabsahan dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah dalam keberlangsungan
mata uang digital. Cryptocurrency, sebagai instrumen finansial baru, menghadirkan
sejumlah tantangan dan pertanyaan yang kompleks dalam perspektif ekonomi syariah.
Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap ajaran Al-Qur'an sebagai sumber
hukum utama bagi umat Islam, khususnya melalui Ayat Al Baqarah Ayat 279 dan An
Nisa’ 160 menjadi penting untuk mengarahkan pandangan terhadap kelayakan
penggunaan cryptocurrency dalam sistem ekonomi syariah.

B. Batasan Masalah

Dalam konteks penelitian ini, terdapat beberapa identifikasi masalah yang menjadi
fokus kajian:

1. Tantangan Regulasi Cryptocurrency dalam Hukum Ekonomi Syariah:


Cryptocurrency, sebagai instrumen finansial baru, tidak selalu terakomodasi
dengan baik dalam kerangka regulasi hukum ekonomi syariah. Identifikasi
masalah mencakup sejauh mana regulasi yang ada mampu mengakomodasi
keberadaan cryptocurrency dan sejauh mana kepatuhan terhadap prinsip-
prinsip ekonomi syariah di dalamnya.
2. Interpretasi Al-Qur'an terhadap Cryptocurrency: Ayat Al Baqarah Ayat 279
dan An Nisa ayat 160 menjadi landasan utama dalam mengevaluasi
keberadaan cryptocurrency dalam konteks ekonomi syariah. Identifikasi
masalah mencakup sejauh mana interpretasi ayat-ayat tersebut dapat
diterapkan pada fenomena cryptocurrency yang bersifat digital dan global.
3. Dampak Ekonomi dan Keuangan Syariah dari Penggunaan Cryptocurrency:
Identifikasi masalah juga mencakup analisis dampak ekonomi dan keuangan
yang mungkin timbul dari penggunaan cryptocurrency dalam sistem ekonomi
syariah. Hal ini melibatkan penelitian terhadap transparansi, keadilan, dan
akuntabilitas dalam transaksi menggunakan cryptocurrency.
C. Rumusan Masalah

Dalam konteks tersebut, beberapa pertanyaan muncul sebagai landasan penelitian:

1. Bagaimana relevansi dan interpretasi Ayat Al Baqarah Ayat 279 dan An Nisa’
ayat 160 dalam konteks cryptocurrency?
2. Sejauh mana implementasi cryptocurrency bertentangan atau sejalan dengan
prinsip-prinsip hukum ekonomi syariah yang tercakup dalam ayat tersebut?
3. Apa saja dampak hukum yang mungkin muncul dalam penggunaan
cryptocurrency dari sudut pandang ekonomi syariah?

D. Tujuan Kepenulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk:

1. Menyelidiki keterkaitan antara cryptocurrency dan ajaran Al-Qur'an,


khususnya melalui Al Baqarah Ayat 279 dan An Nisa’ ayat 160.
2. Menganalisis implikasi hukum dan dampak ekonomi dari penggunaan
cryptocurrency dalam perspektif hukum ekonomi syariah.
3. Menyajikan kesimpulan yang komprehensif berdasarkan pemahaman terhadap
landasan teori serta memberikan rekomendasi yang relevan untuk
pengembangan dan regulasi cryptocurrency yang sesuai dengan prinsip-
prinsip ekonomi syariah.
BAB II LANDASAN TEORI

A. Al Baqarah Ayat 279 dan An-Nisa’ ayat 160

‫َفِإن َّلْم َتْفَع ُلو۟ا َفْأَذُنو۟ا ِبَح ْر ٍب ِّم َن ٱِهَّلل َو َر ُسوِلِهۦۖ َو ِإن ُتْبُتْم َفَلُك ْم ُر ُء وُس َأْم َٰو ِلُك ْم اَل َتْظِلُم وَن َو اَل‬
‫ُتْظَلُم وَن‬

Artinya: Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.

‫َفِبُظْلٍم ِّم َن ٱَّلِذ يَن َهاُد و۟ا َح َّر ْم َنا َع َلْيِهْم َطِّيَٰب ٍت ُأِح َّلْت َلُهْم َو ِبَص ِّد ِهْم َعن َس ِبيِل ٱِهَّلل َك ِثيًرا‬

Artinya: Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas


(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,

B. Asbabun Nuzul dan Munasabat Ayat

a) Al-Baqarah Ayat 279

Dikemukakan oleh Abu Ya’la di dalam Musnadnya dan Ibnu Mundzir yang
bersumber dari al-Kalbi dari Abi Shalih dari Ibni ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas berkata: “bahwa ayat
ini diturunkan mengenai Bani ‘Amer bin ‘Auf dari Saqif dan Banul Mughirah. Banul
Mughirah kepada Gubernur Makkah sesudah Fathul Makkah, yaitu: ‘Attab bin Usaid
mengenai hutang-hutang yang ber-riba sebelum ada penghapusan hukum riba, kepada Bani
‘Amer bin ‘Auf itu. Setelah kedua suku itu datang menghadap ‘Attab bin Usaid, berkatalah
Banul Mughirah: “di antara kami ada manusia yang paling celaka dengan terhapusnya hukum
riba. Kami dituntut membayar riba oleh orang lain, sedang kami tidak mau menerima riba
sebab mentaati hukum penghapusan riba”. Lalu berkatalah Banu ‘Amer: “kami minta
penyelesaian atas tuntutan(tagihan) riba kami”. Maka ‘Attab menulis surat kepada Rasulullah
SAW mengenai hal itu, maka turunlah ayat ini.1

1
Samsul Basri, Bunasor Samin, and Irfan Syauqi Beik, “Metode Pengajaran Ekonomi Syariah Berdasarkan
Kandungan Surat Al-Baqarah Ayat 275-280,” Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Islam 7, no. 2 (October 31, 2018):
173–93, https://doi.org/10.32832/tadibuna.v7i2.1367.
Munasabat Ayat merujuk pada hubungan ayat dengan konteks yang lebih luas dalam
Al-Qur'an. Al Baqarah Ayat 279 memasukkan konsep riba dan transaksi ekonomi,
menunjukkan keterkaitannya dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah yang ditemukan dalam
teks Al-Qur'an secara keseluruhan. Ayat ini mengaitkan peristiwa ekonomi khusus dengan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang lebih umum dalam Al-Qur'an.

b) An-Nisa Ayat 160

Asbabun Nuzul dari ayat Al-Nisa (4:160) berkaitan dengan konteks sejarah dan
peristiwa pada masa Rasulullah SAW di Madinah. Ayat ini turun sebagai tanggapan terhadap
perbuatan sebagian orang Yahudi yang merubah dan menyembunyikan sebagian ajaran
Taurat, serta melanggar janji-janji yang mereka buat dengan Allah. Ayat ini menyampaikan
teguran dan peringatan kepada mereka.2

Munasabat Ayat Al-Nisa (4:160) berkaitan dengan tema kesetiaan terhadap janji dan
pelanggaran terhadap perintah Allah. Konteks ini terkait dengan tema-tema kesetiaan dan
kepatuhan yang lebih luas yang dapat ditemukan dalam berbagai ayat Al-Qur'an,
menggarisbawahi pentingnya mematuhi janji dan perintah Allah dalam konteks hidup
bermasyarakat.

C. Mutasyabih Ayat

Ayat Al-Baqarah 279 dianggap sebagai ayat "muhkamat", artinya jelas dan tidak
ambigu maknanya. Ayat ini dengan jelas melarang riba tanpa menyisakan ruang untuk
interpretasi. Hal ini berbeda dengan ayat-ayat "mutasyabih", yang memiliki makna yang lebih
dalam yang membutuhkan interpretasi dan kontekstualisasi ulama.

Mutasyabih Ayat adalah ayat yang memiliki kedalaman makna dan tafsir yang lebih
kompleks. Al Baqarah Ayat 279 termasuk dalam kategori ini karena melibatkan ketentuan
hukum yang memerlukan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip ekonomi syariah.
Mengidentifikasi apakah suatu transaksi termasuk riba atau tidak, dan merinci hukumnya,
memerlukan pemahaman yang cermat terhadap ayat ini.

Al-Nisa Ayat 160 termasuk dalam Mutasyabih Ayat karena melibatkan aspek hukum
dan moral yang memerlukan pemahaman mendalam. Ayat ini memerintahkan untuk

2
Cece Nurhikmah, “Riba Menurut Al-Quran Dan Hadits Dalam Perspektif Ekonomi Islam,” Mufham: Jurnal Ilmu
Al-Qur’an Dan Tafsir 1, no. 1 (November 10, 2021): 57–66.
menjalani janji dan perintah Allah tanpa pelanggaran, dan memahaminya memerlukan
penggalian makna yang mendalam.

D. Hukum yang dimuat oleh ayat

a) Al Baqarah Ayat 279

Ayat ini menyatakan larangan terhadap riba (transaksi bunga) dan menetapkan
konsekuensi hukumnya. Ayat ini menekankan pentingnya menghindari riba dan
menggantinya dengan transaksi yang sesuai dengan prinsip ekonomi syariah. Hukum yang
dimuat oleh ayat ini adalah haramnya riba dan dorongan untuk terlibat dalam transaksi yang
adil dan berkeadilan dalam konteks ekonomi Islam.

Keputusan hukum utama yang disimpulkan dari ayat Al-Baqarah 279 adalah larangan
mutlak riba dalam segala bentuknya. Ini termasuk setiap transaksi yang melibatkan
peningkatan pokok yang tidak adil atau berlebihan tanpa pembenaran yang sah. Ayat ini
berfungsi sebagai prinsip dasar keuangan Islam, menekankan pentingnya transaksi yang adil
dan adil.3

Namun, penerapan keputusan hukum ini terhadap instrumen keuangan kontemporer


seperti cryptocurrency membutuhkan analisis yang lebih mendalam dan konsensus ulama.
Sementara beberapa ulama berpendapat bahwa prinsip-prinsip dasar riba berlaku untuk
instrumen ini karena sifatnya yang volatile dan tidak memiliki nilai intrinsik, yang lain
percaya bahwa eksplorasi dan klarifikasi lebih lanjut diperlukan sebelum mengeluarkan
putusan definitif. Oleh karena itu, memahami konteks, konteks historis, dan berbagai
interpretasi ayat Al-Baqarah 279 sangat penting untuk menavigasi kompleksitas masalah
keuangan kontemporer dalam kerangka hukum Islam.4

b) Surat An-Nisa’ Ayat 160

Hukum yang terkandung dalam ayat ini menekankan pentingnya menjalani janji dan
perintah Allah. Ayat ini juga menggarisbawahi bahwa melanggar janji dan perintah Allah
dapat mengakibatkan sanksi dan hukuman dari-Nya. Oleh karena itu, ayat ini mengandung
hukum tentang kewajiban untuk mematuhi perintah dan janji Allah, serta konsekuensinya jika
melanggarnya. Hukum yang muncul dari ayat ini adalah pentingnya menjaga integritas,
kesetiaan, dan kepatuhan terhadap janji dan perintah Allah dalam kehidupan sehari-hari.
3
Nurhikmah.
4
Jl Sultan Alauddin, “ANALISIS TRANSAKSI GLOBAL CRYPTOCURRENCY SEBAGAI INVESTASI GLOBAL DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM,” n.d., 1–117.
BAB III DESKRIPSI KASUS

Di era digital yang berkembang pesat ini, perkembangan teknologi keuangan


menghadirkan inovasi signifikan, salah satunya adalah cryptocurrency. Dengan pertumbuhan
cepat mata uang digital seperti Bitcoin, Ethereum, dan lain-lain, masyarakat global
menghadapi perubahan paradigma terkait bentuk dan fungsi uang. Namun, di tengah
kemajuan ini, muncul pertanyaan mendalam tentang bagaimana cryptocurrency dapat
bersinergi dengan prinsip-prinsip hukum ekonomi syariah. Di dunia Muslim, dimana hukum
Islam memainkan peran penting dalam pandangan dan praktek keuangan, masuknya mata
uang digital ini menimbulkan sejumlah pertanyaan etis dan hukum.

Uang dianggap berfungsi apabila memenuhi beberapa aspek sebagai alat tukar: harus
diterima secara luas, mempunyai nilai sebagai alat pembayaran, dan diakui berharga atau
disahkan oleh pemerintah. Dalam perekonomian modern, peran uang meningkat seiring
dengan meningkatnya fungsinya. Uang tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat tukar, tetapi
juga sebagai standar pengukuran nilai (satuan hitung), penyimpan nilai, dan standar
pembayaran untuk pembayaran yang ditangguhkan (standar pembayaran). Padahal, di zaman
sekarang, uang juga bisa berfungsi sebagai komoditas.5

Penting untuk mencatat bahwa prinsip-prinsip ekonomi syariah bersumber dari nilai-
nilai Islam yang menekankan pada keadilan, keseimbangan, dan etika dalam seluruh aktivitas
keuangan. Cryptocurrency menimbulkan tantangan karena volatilitasnya yang tinggi dan
ketidakpastian hukum yang mengitarinya. Keberadaan cryptocurrency membawa pertanyaan
tentang apakah transaksi-transaksi ini dianggap sah (halal) atau tidak sah (haram) dalam
Islam. Penggunaan teknologi blockchain yang mendasarinya juga memunculkan pertanyaan
etis seputar privasi, transparansi, dan keamanan, yang menjadi dasar bagi prinsip-prinsip
hukum ekonomi syariah.

Cryptocurrency juga melibatkan konsep riba (bunga), yang secara tegas dilarang
dalam Islam. Dalam transaksi cryptocurrency, di mana keuntungan didapat melalui fluktuasi
nilai pasar, bagaimana menghindari riba dalam situasi semacam ini menjadi pertanyaan
sentral. Selain itu, cryptocurrency sering kali tidak memiliki bentuk fisik yang dapat dicatat,
menghasilkan pertanyaan serius seputar implementasi hukum waris dalam kepemilikan
cryptocurrency. Ini adalah tantangan praktis yang memerlukan penanganan serius dalam
kerangka hukum ekonomi syariah.
5
Luqman Nurhisam, “BITCOIN DALAM KACAMATA HUKUM ISLAM,” Ar-Raniry, International Journal of Islamic
Studies 4, no. 1 (June 30, 2017): 165–86, https://doi.org/10.20859/jar.v4i1.131.
Kementrian agama pemerintahan turki mengeluarkan sebuah larangan terhadap
transaksi dan penggunaan mata uang kripto seperti bitcoin. Hal tersebut dikarenkan bitcoin
menimbulkan spekulasi berlebihan terdapat gharar dan maysir didalamnya. Sejalan dengan
pemerintahan turki, lembaga fatwa di palestian juga mengeluarkan aturan bahwa haramnya
bitcoin dan mata uang kripto karena termasuk dalam kategori perjudian. Seorang
cendekiawan Muslim yang berbasis di Inggris, Shaykh Haitam, mengulas dalam makalahnya
dalam bahasa Arab bahwa bitcoin dan cryptocurrency lainnya adalah haram dan tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah.

BAB IV ANALISIS KASUS


Dalam perspektif hukum ekonomi islam yang sering menjadi perdebatan dikalangan
para ulama adalah adanya unsur gharar dan unsur maysir dalam Cryptocurrency. Adapun
penjelasanya ialah sebagai berikut:

a. Unsur Gharar

Saat menggunakan cryptocurrency, pengguna sering menggunakannya untuk tujuan


perdagangan atau dengan tujuan mencari keuntungan melalui pertukaran mata uang
spekulatif. Aktivitas spekulatif ini seringkali dianggap sebagai pengambilan risiko, seperti
yang sering dilakukan oleh pengusaha atau investor. Perbedaan utama antara spekulan dan
pengusaha (investor) adalah tingkat ketidakpastian yang dihadapi. Spekulan cenderung berani
menghadapi situasi yang memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi tanpa
mempertimbangkan risiko secara mendalam, sementara pelaku bisnis atau investor senantiasa
mempertimbangkan risiko dengan menghitung potensi keuntungan yang dapat mereka
peroleh. Dalam hal ini, spekulasi dianggap sebagai permainan peluang, sedangkan bisnis
merupakan keterampilan yang memerlukan pemahaman mendalam dan perencanaan.6

Seorang dianggap spekulatif ketika mereka mencoba memanfaatkan ketidakpastian


tersebut untuk meraih keuntungan dalam jangka pendek. Sebagai contoh, investor yang
terlibat di pasar perdana dengan tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan ketika saham
tersebut dijual di pasar sekunder dapat dianggap sebagai spekulan. Di sisi lain, investor di
pasar modal adalah individu yang menggunakan pasar modal sebagai sarana untuk
berinvestasi di perusahaan-perusahaan terbuka yang dianggap baik dan menguntungkan.
Keputusan investasi mereka didasarkan pada informasi yang akurat mengenai faktor-faktor
ekonomi dan fundamental perusahaan melalui analisis yang teliti. Tindakan investor semacam
ini disebut sebagai spekulasi rasional, yang sebenarnya mendorong pertumbuhan akumulasi
modal dan memberikan dampak positif pada perekonomian secara keseluruhan. Oleh karena
itu, perusahaan yang terbuka di pasar modal dituntut untuk menjadi efisien, menghasilkan
keuntungan, dan memiliki prospek yang cerah agar dapat menarik minat investor.

Dalam konteks hukum Islam, konsep Gharar (ketidakpastian) diartikan sebagai sifat
dalam transaksi yang menyebabkan sebagian dari elemen-elemen transaksi tersebut menjadi
tidak pasti atau tidak jelas. Secara spesifik, hal tersebut adalah aspek kualitas, kuantitas, harga
dan waktu pengiriman barang yang jika tidak jelas atau tidak pasti dapat merugikan salah satu
6
Andi Siti Nur Azizah and Irfan Irfan, “FENOMENA CRYPTOCURRENCY DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM,”
Shautuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum, January 4, 2020, 62–80,
https://doi.org/10.24252/shautuna.v1i1.12424.
pihak yang bertransaksi. Gharar ini terjadi ketika sesuatu yang seharusnya pasti menjadi tidak
pasti. Dalam syariat Islam, transaksi atau syarat akad yang mengandung unsur gharar
dilarang, sehingga melakukan transaksi yang mengandung unsur gharar dianggap dilarang
secara hukum.

Penjual dan pembeli melarang praktik jual beli ijon karena terdapat Gharar
(ketidakpastian) yang tinggi dalam transaksi tersebut. Meskipun penjual dan pembeli
mungkin melakukan transaksi ijon atas dasar kesepakatan dan saling ridha, namun
keberadaan kesepakatan tersebut tidak mencukupi. Masalahnya tidak terletak pada paksaan
terhadap pihak yang terlibat dalam kontrak, tetapi pada objek transaksi yang tidak jelas.
Dalam transaksi ijon, keberhasilan bergantung pada nasib ketika panen tiba. Demikian pula,
investasi dalam Bitcoin sangat tergantung pada tren yang berlaku dalam komunitasnya.
Selama komunitas tersebut tertarik, harga Bitcoin dapat dipertahankan. Namun, jika minat
mereka merosot, nilai Bitcoin juga akan segera menghilang.

b. Unsur Maysir

Maysir, dari segi etimologi, berasal dari kata yang berarti "mudah." Maysir digunakan
untuk merujuk pada objek atau tempat yang diciptakan untuk mempermudah sesuatu. Istilah
ini mengacu pada praktik di mana seseorang yang seharusnya melewati usaha yang sulit
mencari jalan pintas dengan harapan mencapai tujuan, meskipun melanggar nilai dan asas
hukum islam. Terkait dengan permainan (Maysir), orang-orang Arab yang bodoh biasa
menyimpan di dalam Ka'bah tiga anak panah yang dibungkus kertas atau kain yang di
atasnya tertulis instruksi seperti "lakukan", "jangan lakukan" dan "kosongkan". Sebelum
berangkat melakukan perjalanan jauh, mereka akan meminta wasit Ka'bah untuk memilih
salah satu anak panah. Jika panah yang dipilih bertuliskan “lakukan”, mereka akan
melakukan perjalanan dengan keyakinan bahwa mereka akan selamat.Ini merupakan bentuk
perjudian yang dilakukan tanpa usaha atau strategi.7

Dalam islam unsur maysir ini tertuang dalam Qs. Al-maidah ayat 90 yang didalamnya
menjelaskan larangan berjudi, minum khamr, mengundi Nasib dengan anak panah dan
berkorban untuk berhala. Imam Bukhari menjelaskan bahwa larangan-larangan tersebut
disusun berdasarkan tingkat kerusakan yang diakibatkan. Minuman keras dianggap sebagai
salah satu cara yang paling merugikan harta, oleh karena itu, larangan mengonsumsi
minuman keras ditempatkan sebelum larangan perjudian. Kedua larangan tersebut bersumber
7
Aisyah Ayu Musyafah, “TRANSAKSI BITCOIN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
INDONESIA,” Diponegoro Private Law Review 7, no. 1 (June 16, 2020): 60–72.
dari kemampuan mereka merusak harta. Kemudian, larangan terhadap pengagungan berhala
diatur karena ini mencerminkan penghancuran agama, terutama jika berhala itu disembah
sebagai dewa. Syirik, atau mempersekutukan Allah, menjadi nyata jika berhala disembah.
Bahkan jika penyembelihan dilakukan atas namanya tanpa disembah, ini masih dianggap
sebagai syirik tersembunyi. Oleh karena itu, larangan terhadap pengagungan berhala
dihubungkan dengan praktik syirik tersembunyi, seperti mengundi dengan anak panah. Imam
Bukhari menyatukan semua larangan ini di bawah konsep "rijs" atau perbuatan keji, yang
diungkapkan dengan alasan-alasan ini, sebagaimana yang disitir oleh al-Biqa'i.

Sebagaimana terdapat pada ayat lainnya, Allah SWT sering menyebut Maysir dengan
Khamar. Hal ini menunjukkan bahwa status hukum Maysir sama dengan Khamar, yaitu
keduanya dilarang dan harus dihindari. Dengan demikian, segala bentuk permainan yang
menghasilkan keuntungan bagi satu pihak dan merugikan pihak lain, seperti lotere, meramal,
atau bahkan permainan yang bertujuan baik seperti undian dan menyumbang dana hadiah
sosial (SDSB), semuanya merupakan permainan yang dilarang. . Apalagi jika tujuannya
hanya mencari keuntungan. Niat untuk mengambil keuntungan dari spekulasi harga Bitcoin
dan mata uang kripto lainnya yang sangat fluktuatif, serta aktivitas perjudian, membuat mata
uang kripto dipenuhi dengan unsur Gharar dan Maysir.

Penerapan Al Baqarah Ayat 279

Ayat ini melarang riba, yaitu transaksi jual beli yang melibatkan tambahan yang tidak
sah. Riba merupakan salah satu dosa besar dalam Islam. Berdasarkan ayat ini, beberapa
ulama berpendapat bahwa cryptocurrency mengandung unsur riba karena nilainya yang
fluktuatif dan tidak memiliki nilai intrinsik. Hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan bagi
salah satu pihak dalam transaksi.

Penerapan An Nisa' Ayat 160

Ayat ini menegaskan bahwa jual beli adalah hal yang halal, sedangkan riba adalah
haram. Berdasarkan ayat ini, beberapa ulama berpendapat bahwa cryptocurrency dapat
digunakan sebagai alat transaksi yang sah, asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti:

 Nilainya stabil
 Tidak mengandung unsur riba
 Tidak digunakan untuk hal-hal yang dilarang oleh Islam
BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam menghadapi fenomena cryptocurrency dalam konteks hukum ekonomi syariah,
terdapat sejumlah tantangan dan pertanyaan yang kompleks. Ayat Al Baqarah Ayat 279 dan
An Nisa’ 160 menjadi landasan utama dalam menilai kelayakan penggunaan cryptocurrency
dalam sistem ekonomi syariah. Tantangan regulasi, interpretasi Al-Qur'an, serta dampak
ekonomi dan keuangan menjadi fokus kajian.

Melalui analisis ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa cryptocurrency


menghadapi ketidakpastian hukum, terutama terkait dengan unsur riba, gharar, dan maysir.
Ayat Al Baqarah Ayat 279 melarang riba, dan beberapa ulama berpendapat bahwa
cryptocurrency, dengan sifat fluktuatifnya, dapat mengandung unsur riba. Di sisi lain, An
Nisa’ Ayat 160 menekankan bahwa jual beli adalah halal, memberikan ruang untuk
penggunaan cryptocurrency jika memenuhi syarat-syarat tertentu.

B. Rekomendasi

1. Penelitian dan Konsensus Ulama: Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan
mencapai konsensus ulama untuk memahami lebih dalam kelayakan penggunaan
cryptocurrency dalam hukum ekonomi syariah. Keterlibatan ulama dan pakar
ekonomi syariah sangat diperlukan untuk mencapai pemahaman yang
komprehensif.

2. Regulasi yang Sesuai: Pemerintah perlu mengembangkan regulasi yang sesuai


dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah untuk mengakomodasi penggunaan
cryptocurrency. Hal ini mencakup pembentukan kerangka hukum yang jelas dan
sesuai dengan ajaran Al-Qur'an untuk mengatasi tantangan regulasi.

3. Edukasi Masyarakat: Penting untuk memberikan edukasi kepada masyarakat


mengenai prinsip-prinsip ekonomi syariah dan potensi risiko serta manfaat
penggunaan cryptocurrency. Hal ini dapat membantu masyarakat dalam membuat
keputusan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.

4. Pengembangan Cryptocurrency Syariah: Mendorong pengembangan


cryptocurrency yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah, seperti nilai
yang stabil, transparansi, dan ketidakbergantungan pada spekulasi nilai pasar.

5. Transparansi dan Akuntabilitas: Dalam setiap transaksi menggunakan


cryptocurrency, penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas agar
tidak melibatkan unsur gharar dan maysir. Ini dapat dilakukan melalui regulasi
yang ketat dan sistem pelaporan yang transparan.

Melalui langkah-langkah ini, diharapkan dapat membuka pintu bagi perkembangan


cryptocurrency yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah dan memberikan
kontribusi positif pada perekonomian umat Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Alauddin, Jl Sultan. “ANALISIS TRANSAKSI GLOBAL CRYPTOCURRENCY SEBAGAI
INVESTASI GLOBAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM,” n.d., 1–117.
Azizah, Andi Siti Nur, and Irfan Irfan. “FENOMENA CRYPTOCURRENCY DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.” Shautuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Perbandingan Mazhab dan Hukum, January 4, 2020, 62–80.
https://doi.org/10.24252/shautuna.v1i1.12424.
Basri, Samsul, Bunasor Samin, and Irfan Syauqi Beik. “Metode Pengajaran Ekonomi Syariah
Berdasarkan Kandungan Surat Al-Baqarah Ayat 275-280.” Ta’dibuna: Jurnal
Pendidikan Islam 7, no. 2 (October 31, 2018): 173–93.
https://doi.org/10.32832/tadibuna.v7i2.1367.
Musyafah, Aisyah Ayu. “TRANSAKSI BITCOIN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF INDONESIA.” Diponegoro Private Law Review 7, no. 1
(June 16, 2020): 60–72.
Nurhikmah, Cece. “Riba Menurut Al-Quran Dan Hadits Dalam Perspektif Ekonomi Islam.”
Mufham: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 1, no. 1 (November 10, 2021): 57–66.
Nurhisam, Luqman. “BITCOIN DALAM KACAMATA HUKUM ISLAM.” Ar-Raniry,
International Journal of Islamic Studies 4, no. 1 (June 30, 2017): 165–86.
https://doi.org/10.20859/jar.v4i1.131.

Anda mungkin juga menyukai