DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................1
1. Pengertian Fiqh...........................................................................................................4
1. Al-quran....................................................................................................................13
3. Ijma’.........................................................................................................................15
4. Qiyas.........................................................................................................................15
1. Istihsan......................................................................................................................16
2. Istihsab......................................................................................................................22
3. Maslahah Mursalah..................................................................................................25
F. Kaidah-kaidah Ushuliyah.............................................................................................28
5. Signifikansi QawaidUshuliyah.................................................................................35
1
6. Hubungan Nash, QawaidUshuliyah, Fiqih dan QawaidFiqhiyyah..........................36
G. Kaidah-kaidah Fiqhiyah...............................................................................................41
1. Pengertian Ijtihad.....................................................................................................47
1. Pengertian Bid’ah.....................................................................................................52
2. Dalil-dalil Bid’ah......................................................................................................54
3. Macam-macam Bid’ah.............................................................................................56
2
2. Hukum dan Syarat Jual Beli.....................................................................................73
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................88
3
A. Pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh
1. Pengertian Fiqh
Di dalam Al-quran tidak kurang dari 19 ayat yang berkaitan dengan kata
fiqh dan semuanya dalam bentuk kata kerja, seperti di dalam surah at-Taubah ayat
122.
َ َو َما َكانَ ْال ُم ْؤ ِمنُوْ نَ لِيَ ْنفِرُوْ ا َك ۤافَّ ۗةً فَلَوْ اَل نَفَ َر ِم ْن ُك ِّل فِرْ قَ ٍة ِّم ْنهُ ْم
فَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْ ا فِى ال ِّدي ِْن َولِيُ ْن ِذرُوْ ا قَوْ َمهُ ْم ِا َذا َر َجع ُْٓواaِط ۤا ِٕٕى
َاِلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّهُ ْم يَحْ َذرُوْ ن
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Dari ayat dapat di tarik kesimpulan bahwa fiqhi itu berarti mengetahui,
memahami dan mendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Jadi pengertian
fiqhi dalam arti yang sangat luas sama dengan pengertian syariah dalam arti yang
sangat luas . inilah pengertian fiqhi pada masa sahabat atau pada abad pertama
islam.
4
diamalkan. Oleh karena itu, ilmu fiqih merupakan ilmu yang mempelajari ajran
islam yang disebut dengan syariat yang bersifat amaliah (praktis) yang diperoleh
dari dalil-dalil yang sistemati. Rasyid Ridha mengatakan pula bahwa dalam Al-
Qur’an banyak ditemukan kata-kata fiqih yang artinya adalah paham yang
mendalam dan amat luas terhadap segala hakikat, yang dengan fiqih itu, seseorang
‘alim menjadi ahli hikmah (filosof), pengamal yang memiliki sikap yang teguh. Kata
fiqih dan tafaqquh berarti “pemahaman yang dalam”, keduanya sering digunakan
dalam Al-Quran dan Hadits. Sebagaimana disebutkan dalam surat At-Taubah: 122.
Rasulullah SAW. telah memerintahkan beberapa di antara para sahabat untuk
memahami secara mendalam (tafaqquh) atau telah memilih mereka sebagai ahli fiqih
atau fuqaha (bentuk jamak dari faqih).
Artinya : “Mereka berkata: “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa
yang kamu katakan itu dan Sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang
yang lemah di antara Kami; kalau tidaklah Karena keluargamu tentulah kami Telah
merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.
(Q.S. Huud: 91)
Dari ayat-ayat diatas, dapat dipahami bahwa arti fiqih secara leksikal adalah
pemahaman, sedangkan objek yang dipahami bersifat umum, bias berupa kalimat
yang digunakan dalam komunikasi atau dialog, berupa ciptaan Allah, berupa tubuh
manusia dan fungsinya, dan sebagainya. Semua diseur oleh Allah untuk dipahami
oleh manusia. Adapun arti fiqih secara terminology ada beberapa pendapat yang
mendefenisikannya :
“fiqih adalah ilmu yang berkaitan dengan hokum-hukum syara’ amaliyah dari dalil-
dalilnya yang terperinci”
5
a. Abdul Hamid Hakim mendefenisikan dengan :
“fiqih adalah ilmu yang menerangkan segala hokum syara’ yang berkaitan
dengan amaliyah orang mukhalaf yang dininstibathkan dari dalil-dalil yang
terperinci.”
Secara etimologi ushul fiqih ( )أصول الفقهtersusun dari dua kata, yaitu ushul (
)أصولdan fiqh ()الفقه. Ushul ( )أصولmerupakan jamak (bentuk plural / majemuk) dari
kata ashl ( )أصلyang berarti dasar, pondasi atau akar.
6
كأصل الجدار أي أساسه األصل اصطالحا يقال على الدليل والقاعدة الكلية، عليه غيره األصل لغة مايبنى
والراجح والمستصحب1
Kata Ushul Fiqh merupakan gabungan dari dua kata, yakni Ushul berarti pokok,
dasar, pondasi. Yang kedua adalah Fiqih yang berarti paham yang mendalam.
Dilihat dari sudut tata bahasa Arab, rangkaian kata ushul dan fiqih tersebut
dinamakan tarkib idhafi, sehingga dua kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqih.
2
أصول الفقه هو أدلة الفقه على سبيل اإلجمال كقولهم األمر للوجوب و النهي للتحريم.3
7
mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau ushul fiq
h adalah:
himpunan kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil dalil hu
kum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terinci.
c. Kaum muslimin harus bertafaqquh baik dalam bidang aqaid dan akhlaq
maupun dalam bidang dan muamalat. Oleh karena demikian sebagian kaum
muslimin harus pergi menuntut ilmu pengetahuan agama Islam guna
disampaikan pula kepada saudara-saudaranya.
8
2. Tujuan Mempelajari Ushul Fiqih
b. Dengan ushul fiqih, kita dapat mengetahui cara berdalil yang benar, dimana
banyak kaum muslimin sekarang yang berdalil namun dengan cara yang salah.
Mereka berdalil namun dalil yang mereka gunakan tidaklah cocok atau sesuai
dengan pembahasan yang dimaksudkan, sehingga pemaknaan salah dan hukum
yang diambil menjadi keliru. Seperti halnya mereka menghalalkan maulid nabi
dengan dalil sunnahnya puasa senin, yang mana ini sesuatu yang tidak
berhubungan sama sekali. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa itu adalah
salah?? Yakni dengan mempelajari ushul fiqih. Ketika pada jaman sekarang
timbul perkara-perkara yang tidak ada dalam masa nabi, terkadang kita bingung,
apa hukum melaksanakan demikian dan demikian, namun ketika kita
mempelajari ushul fiqih,kita akan tahu dan dapat berijtihadterhadap suatu
hukum yang belum disebutkan di dalam al-qur’an dan hadits.Seperti halnya
penggunaan komputer, microphone dll.
9
perbedaan pendapat yang terjadi, bukannya saling mengejek dan menjatuhkan
satu sama lainnya.
e. Ushul fiqih dapat menjauhkan seseorang dari fanatik buta terhadap para kiayi,
ustadz atau guru-gurunya. Begitu pula dengan ushul fiqih seseorang tidak
menjadi taklid dan ikut-ikutan tanpa mengetahui dalil-dalilnya.
g. Ushul fiqih menjaga dari kebekuan agama islam. Karena banyak hal-hal baru
yang belum ada hukumnya pada jaman nabi, dengan ushul fiqih, hukum tersebut
dapat diketahui.
h. Dalam ushul fiqih, diatur mengenai cara berdialog dan berdiskusi yang merujuk
kepada dalil yang benar dan diakui, tidak semata-mata pendapatnya masing-
masing. Sehingga dengan hal ini, debat kusir akan terhindari dan jalannya
diskusi dihiasi oleh ilmu dan manfaat bukannya dengan adu mulut. Dengan ushul
fiqih, kita akan mengetahui kemudahan, kelapangan dan sisi-sisi keindahan dari
agama islam.
10
ibadah mahdah, bagaimana melaksanakan kewajiban-kewajiban rumah tangga, apa
yang harus dilakukian terhadap harta anggota keluarga yang meningggal dunia dan
sebagainya yang ada kaitannya dengan pembahasan tentang hukum keluarga (al-
Ahwal al-Syakhshiyah).
Hal lain yang masuk dalam obyek pembahasan fiqih adalah menyangkut
tentang kelembagaan yang menjadi tempat seorang mukallaf mengadukan
perkaranya apabila ia merasa dirugikan dan atau diperlakukan secara tidak adil, dan
hal lain yang terkait dengan Hukum acara (ahkam al-Murafaat). Selanjutnya, fiqih
juga membahas tentang bagaimana perbuatan mukallaf di dalam melakukan
hubungan hukum dengan masyarakatnya, lembaga-lembaga di dalam
masyarakatnya, dengan pemimpinnya, dan lain-lain yang berhubungan dengan fiqih
siyasah.
Artinya:
Pada dasarnya ibadah itu batal (dilarang) kecuali ada dalil yang
menyelisihinya (membolehkannya).
Prinsip di atas hasil interpretasi deduktif dari al-Qur’an dan al-Hadits yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW, diutus tidak lain adalah untuk
meluruskan cara beribadah dan berakhlak masyarakat jahiliyah yang telah
melenceng dari ketentuan Allah.
Artinya:
Pada dasarnya mu’amalah itu boleh kecuali ada dalil yang menyelisihinnya
(melarangnya).
12
hukumnya wajib, dan melakukan jual beli iut hukum boleh. الةaaوا الصaaأقيم dan لaaأح
بيعaaال هللا disebut dalil tafshil. Artinya, dalil itu menunjuk kepada satu perbuatan
tertentu, yaitu perbuatan shalat dan perbuatan jual beli. Hal inilah yang menjadi
obyek pembahasan ilmu fiqih.
a. Sumber dan dalil hukum. Dalam konstek ini, objek kajian Ushulfiqih tidak
hanya membahas tentang alquran dan Assunnah dari segi kedudukannya dari
sumber hukum, tetapi juga mecakup bentuk lafalnya, tingkat kepastian dan
ketidak pastian tunjukan maknanya dan lain-lain. Disamping itu berkaitan
dengan dalil hukum, ushulfiqih juga membahas dalil-dalil yang telah disepakati
para ulama seperti ijma’ dan qiyas, dan dalil-dalil yang tidak terdapat
kesepakatan diantara mereka seperti : istihsan, masalaah mursalaah, istihsab urf
dan syar’un man qablana.
b. Kaidah kaidah dan cara menetapkan kaidah tersebut pada sumber dan dalili
hukum.
d. Hukum-hukum syara’.
Dari uraian diatas, maka dapat diketahui, jika diibaratkan dalam suatu
proses produksi, maka sumber dan dalil hukum dapat digambarkan lebih kurang
sebagai bahan baku produksi. Sedangkan kaidah-kaidah ushulfiqih dan cara
penerapannya diibaratkan sebagai mesin alat produksi yang mengolah bahan baku
menjadi hasil produksi. Sementara itu, mujtahid adalah para ahli yang sangat
mengerti tentang cara-cara mengolah bahan baku menjadi produksi yang dihasilkan.
13
Adapun hukum-hukum syara’ adalah produk, yaitu hasil akhir dari serangkaian
proses produksi.
1. Al-quran
Alquran adalah sumber hukum yang pertama dan utama dalam Islam,
karena itu setiap muslim harus menerima bahwa asas yang pertama dan terkuat
untuk menentukan hukum Islam adalah Alquran. Allah SWT berfirman dalam Surat
Al An'am ayat 155.
ْ ُك فَٱتَّبِعُوهُ َوٱتَّقٞ َو ٰهَ َذا ِك ٰتَبٌأَنزَ ۡل ٰنَهُ ُمبَا َر
١٥٥ َوالَ َعلَّ ُكمۡ تُ ۡر َح ُمون
Artinya : "Dan Al Quran yang kami turunkan ini penuh berkah, karena itu Ikutilah
(petunjuk Tuhan di dalamnya) Dan bertakwalah supaya kamu mendapat rahmat"
ِ إِنَّٓاأَن َز ۡلنَٓاإِلَ ۡي َك ۡٱل ِك ٰتَبَبِ ۡٱل َحقِّلِت َۡح ُك َمبَ ۡينَٱلنَّا ِسبِ َمٓاأَ َر ٰى َكٱللَّ ۚهُ َواَل تَ ُكنلِّ ۡل َخٓائِنِينَ َخ
١٠٥ ص ٗيما
َّ ٰ اٱلقُ ۡر َءانَيَ ۡه ِديلِلَّتِي ِهيَأ َ ۡق َو ُم َويُبَ ِّشر ُۡٱل ُم ۡؤ ِمنِينَٱلَّ ِذينَيَ ۡع َملُونَٱل
ٗ ِصلِ ٰ َحتِأَنَّلَهُمۡ أ َ ۡج ٗرا َكب
٩ يرا ۡ إِنَّ ٰهَ َذ
Artinya : "Sesungguhnya Alquran ini memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus,
dan membawa berita gembira kepada orang-orang yang beriman yang berbuat
kebajikan, bahwa bagi mereka akan diberi pahala yang besar"
14
Al Hadits atau As-sunnah mempunyai peranan sangat penting dan
merupakan sumber hukum yang kedua setelah Alquran. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT dalam surah Al-Hasyr ayat 7 :
Artinya : “Apa saja diberikan oleh Rasul kepada kalian Terimalah, dan apa saja yang
dilarangnya bagi kalian tinggalkanlah”
Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Hakim, Rasulullah
SAW bersabda :
Artinya : “Aku tinggalkan dua perkara bagimu, yang apabila kamu berpegang
teguh kepada keduanya Kamu tidak akan tersesat, yaitu kitabullah (Alquran) dan
Sunnah Rasul (Hadis)".
3. Ijma’
Ijma’ yaitu kesepakatan para ulama mujtahid mengenai suatu hukum. Ijma’
baru dapat dipergunakan sebagai dalil terhadap suatu masalah apabila ternyata tidak
ditemukan Nas Alquran maupun hadis.
a. Ijma’ Shorih yaitu kesepakatan seluruh ulama mujtahid mengenai suatu hukum
yang dilakukan dengan lisan, tulisan, fatwa, atau qodlo’ (keputusan pengadilan).
Ijma’ Shorih Dinamakan juga ijma’ qouli, ijma’ bayani atau ijma’ qoth’i.
b. Ijma' Sukutitatauijma' dhonni yaitu ijma' yang diproses dengan berdiam diri
maksudnya sebagian ulama mujtahid menetapkan suatu hukum, sedangkan
mujtahid yang lain diam tidak mengeluarkan fatwa baik membenarkan atau
menentangnya. Ijma' sukuti juga bisa disebut ijma' dhonniayaui'tibary yaitu
ijma' berdasarkan anggapan, karena ulama mujtahid yang tidak mengemukakan
pendapat atau fatwa dianggap sependapat tentang hukum yang ditetapkan oleh
mujtahid lain.
15
Di samping kedua macam tersebut, masih ada jenis Ijma' lainnya yaitu Ijma'
shohaby (Ijma' yang terjadi diantara para mujtahid sahabat Nabi), Ijma; khilafah
empat, Ijma' Abu Bakar dan Umar, Ijma' ulama Madinah, Ijma' ulama Kufah dan
Basrah dan Ijma' Ahli bait.
4. Qiyas
a. Asal, yaitu sesuatu yang sudah ada nash hukumnya yang menjadi ukuran
(maqisalaih) atau tempat menyerupakan (almusyabbahbih) seperti dalam contoh
diatas adalah khamr.
b. Far’un yaitu sesuatu yang belum diketahui hukum dan dimaksudkan untuk
diukur (maqis) atau diserupakan (almusyabbah) dengan hukum asal. Dalam
contoh diatas adalah nabiz.
c. Hukum asal yaitu hukum syara' yang terdapat pada asal dan dimaksudkan
menjadi hukum bagi Far'un dalam contoh diatas adalah haram.
d. Illat yaitu sebab yang menggabungkan atau menghubungkan antara asal (pokok)
dengan Far’un (cabang) dengan kata lain, illat merupakan sifat atau keadaan
yang melandasi hukum asal dan karena sifat atau keadaan itu ada pada Far’un,
maka penyebab kesamaan hukumnya. Dalam contoh diatas adalah
memabukkan.
1. Istihsan
16
a. Pengertian Istihsan
“berpindah dari suatu qiyas ke qiyas lain yang lebih kuat, atau dalil yang
bertentangan dengan qiyasJalli.”
4 Darmawati H, Alfikr: Istihsan dan pembaharuan hukum islam, Vol 15 nomor 2 tahun 2011
5 Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fiqih, Terj. Muhammad Misbah (Jakarta: Pustaka Kautsar,
2014) hlm 323
17
lebih kuat darinya. Serta hal tersebut dianggap lebih baik menurut syara’
ataupun menurut adat kebiasaan dan dapat menimbulkan maslahat bagi banyak
orang. 6
b. Macam-macam Istihsan
2. Beralih dari tuntutan nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.
Yakni beralihnya dalil yang umum kepada dalil khusus karena lebih besar
mashlahatnya bagi umat.
6 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hlm 130
7 Amiruddin dan Fathurrihman, pengantar ilmu fiqih (Bandung: PT Refika Aditama, 2016) hlm 59
18
Dalam ayat tersebut diberlakukannya hukum potong tangan bagi
pencuri, tetapi apabila mencuri pada masa paceklil atau kelaparan dari
orang kaya yang tidak mau berbagi kepada orang yang tidak mampu,
karena pada dasarnya mereka mengambil hak yang ada pada orang kaya
tersebut. Maka dalam hal ini hukum potong tangan tidak diberlakukan.
Karena dalam kasus ini diperlalukan hukum yang bersifat khusus. 8
8 Amir syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 , ( Jakarta: Kharisma Putra Utama , 2011) hlm 330
9 Amiruddin dan Fathurrahman, Op;cit , hlm59- 60
10 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hlm 133
19
Contoh : seorang yang tengah menyewa motor pada sebuah rental,
kemudian motor tersebut mengalami kerusakaan saat digunakan, harusnya
penyewa tersebut tidak perlu mengganti kerusakan kecuali karena kelalaian
dari si penyewa. Menurut qiyas si penyewa tidak perlu mengganti, tetapi
hukumnya dipindahkan berdasarkan maslahat, agar terpelihara dan
terjaganya harta seseorang.
Contoh : sedikit dilebihkan suatu takaran dalam suatu ukuran yang banyak.
Tindakan tersebut dibenarkan, meskipun berdasarkan ketentuan yang
berlaku dalam menakar itu harus pas dan sesuai standar yang berlaku.
c. Kehujjahan Istihsan
“ siapa saja yang menetapkan suatu hukum dengan dasar istihsan, berarti dia
telah membuat hukum syariah baru.”
Artinya : “apakah manusia mengira bahwa dia dibiarkan begitu saja (tanpa
ada pertaggung jawaban”
Imam syafi’i berpendapat bahwa dalam ayat itu Allah tidak membiarkan
manusia hidup begitu saja tanpa adanya suatu pertanggung jawaban. Allah telah
memerintahkan dan melarang sesuatu dan telah menunjukkan kedudukan
perintah dan larangan dalam qur’an surat An Nisa ayat 59 :
20
Artinya: ” Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kemalikanlah
kepada Allah (alquran) dan Rasul-Nya (hadis).”
Dalam ayat tersebut imam syafi’i berpendapat bahwa anjuran untuk selalu
mengembalikan segala penyelesaian dengan Alqur’an dan hadist. Dan tidak
adanya anjuran untuk menyelesaikan persoalan dengan istihsan, sehingga
istihsan tidak dianggap sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syara’11. Selain
itu menurut Imam Syafi’iberhujjah dengan istihsan bukanlah termasuk dalam
dalil syara’ melainkan hukum buatan (wadh’iy) yakni atas dasar mencari yang
enak saja serta lebih cenderung menurui hawa nafsu dan akal si mujtahid saja. 12
11 M.Mas’um Zein, menguasai ilmu ushul fiqih, (Yoygakarta: Pustaka Pesantren, 2016), hlm 149
12 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hlm 138
13 Amir syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 , ( Jakarta: Kharisma Putra Utama , 2011) hlm 336
14 Amiruddin dan Fathurrihman, pengantar ilmu fiqih (Bandung: PT Refika Aditama, 2016) hlm 60
21
Artinya : “orang orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang
paling baik diantaranya..”
Artinya: “ Dan ikutilah sebaik baik apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu”
Maksud dari ayat ini adalah kita dianjurkan untuk mengikuti yang terbaik
dari apa yang diturunkan Allah. Dalam hal ini istihsan merupakan upaya untuk
berbuat yang terbaik dalam rangka mewujudkan maslahah dan mengindarkan
dari segala kesukaran.Pada hakikatnya istihsan bukanlah dalil atau sumber
hukum yang berdiri sendiri karena hukum istihsan adalah qiyas yang nyata yang
disebabkan hal hal tertentu yang oleh mujtahid dianggap lebih unggul. 15
2. Istihsab
a. Pengertian Istishab
“ Apa yang pernah berlaku secara tetap dimasa lalu, pada prinsipnya akan
tetap berlaku pada masa yang akan datang.”
22
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa secara istilah istishab adalah
suatu pemberlakuan hukum yang sudah ada dimasa lalu dan tidak ada yang
merubahnya yang akan tetap berlaku dimasa mendatang sampai ada dalil yang
merubahnya, atau menghukumi sesuatu berdasarkan hukum akal. 17
b. Macam-Macam Istishab
17 Syekh Adul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, ( Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2005) hlm 107
18 Amir syarifuddin,Op;cit , hlm 371
19 Amiruddin dan Fathurrihman, pengantar ilmu fiqih (Bandung: PT Refika Aditama, 2016) hlm 71
23
karena kuda tidak memiliki sifat sebagai hewan yag diharamkan oleh
syara’. 20
4) Istishab Al-wasfy
c. Kehujjahan Istishab
24
Dalam syarat sah istishab, sebagian ulama menegaskan kebolehannya
dalam hukum asal secara yakin. Karena hukum asal sesuatu adalah tidak ada,
sampai ada nya hal yang membuktikan keberadaannya. Hukum asal dari lafadz
yang mempunyai makna hakiki adalah perintah, perintah adalah menunjukkan
kewajiban dan larangan menunjukkan keharaman. Hukum asal adalah tetapnya
hukum nash sampai ada yang menasakhnya. Karena kaidah tersebut istishab
dijadikan sebagai hujjah. 23
3. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah.
Kata Maslahah berasal dari bahasa Arab, Maslahah merupakan bentuk masdar
dari kata sholah )( الحaaص yang berarti “manfaat”. Secara umum maslahah
memiliki arti segala sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi manusia dan
menjauhkannya dari segala kemudlaratan. Sedangkan Mursalah secara bahasa
berarti “terlepas” atau “bebas”. Secara istilah maslahahmursalah merupakan
bentuk penetapan hukum mengenai suatu masalah tertentu agar tercapainya
suatu kemaslahatan umat dimana permasalahan tersebut tidak diatur atau
disebutkan secara jelas dalam Al-Quran dan hadis diharapkan penetapan hukum
ini bisa mendatangkan kebaikan dan menolak kerusakan bagi manusia sesuai
dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
23 Saeed Ismail Sieny, Ushul Fiqh Aplikatif, terj.Kaserun AS. Rahman dan Bobi Setiawan,( Malang: Darul
Ukhuwah Publisher, 2017), hlm 100
24 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih terj. Faiz el Muttaqin (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm.110
25
Dalam ushulfiqh maslahat dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1) Maslahah Dhoruriyah
2) Maslahah Hajiyah
3) Maslahah Tahsiniyah
25 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: prenadamedia group, 2008), hlm 371
26
c. Kehujjahan Maslahah Mursalah
27
memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. (2) jika diteliti lebih lanjut,
sahabat Nabi, tabiin dan iman-imam mujtahid terdahulu dalam menetapkan
suatu hukum untuk kemaslahatan umat manusia bukan karena adanya saksi
dianggap oleh syari’. Contohnya, Abu bakar mengumpulkan tulisan-tulisan Al-
Quran dari kayu, batu, daun dll yang tercecer dan menjadikannya menjadi satu
tulisan Al-Quran agar tidak hilang ditelan masa, dan bisa sampai ke umat Nabi
hingga saat ini. Umar bin Khattab yang membuat penjara untuk siapapun yang
berbuat kejahatan dll. (3) menerapkan kemaslahatan sama halnya dengan
merealisasikan tujuan syariat begitupun sebaliknya, mengesampingkannya
berarti mengesampingkan tujuan syariat.
F. Kaidah-kaidah Ushuliyah
Kata ushul berasal dari kata اصلyang artinya: “Sesuatu yang menjadi dasar
bagi yang lain ”Selain itu juga ushul diartikan sebagai sumber atau
26 Noorwahidah, Esensi Al-mashlahah Al-Mursalah dalam Teori Istinbat Hukum Imam Syafi'i, Fakultas
Syariah IAIN Antasari Banjarmasin, hlm. 4
28
dasar. Asal adalah sesuata yang menjadi dasar (sendi) oleh sesuatu yang lain,
sedangkan furu’ adalah sesuatu yang diletakkan di atas asal tadi. . Seperti sebuah
rumah yang terletak di atas sendi atau fondasi, maka sendi dinamakan asal, dan
rumah yang terletak di atasnya dinamakan furu’.
27 Ade Dedi Rohayana,IlmuUshul Fiqih, (Pekalongan: STAIN Press, cet.2, 2006), h.206-207.
29
2. Macam-macam Kaidah Ushuliyah
Arti global dari kaidah ini adalah bahwa nashsyara’ atau undang-undang
kadang-kadang mempunyai pengertian yang berbeda-beda, karena cara
pengambilan makna yang berbeda.
b. Ungkapan nash
Yang dimaksud ungkapan nash adalah bentuk kalimat yang tersusun dari
kosa kata dan susunan kalimat. Yang dimaksud dengan pemahaman dari
ungkapan nash adalah arti yang langsung dapat dipahami dari bentuknnya, dan
itulah yang dimaksud dari redaksi nash. Jika makna itu jelas dapat dipahami dari
nash, sedangkan nash itu disusun untuk menjelaskan dan menetapkannya, maka
makna itu adalah madlul (yang ditunjukkan) oleh ungkapan nash, dan disebut
juga makna harfiyah (menurut kata-kata) nash. Jadi petunjuk ungkapan adalah
petunjuk dari bentuk kata yang langsung dapat dipahami makna yang dimaksud
dari redaksi itu, baik maksud redaksi itu nenurut aslinya maupun
konsekuensinya.
30
ك بِاَنَّهُ ْم قَالُ ْٓوا اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ۗ اَلَّ ِذ ْينَ يَأْ ُكلُوْ نَ ال ِّر ٰبوا اَل يَقُوْ ُموْ نَ ِااَّل َكما يَقُوْ ُم الَّ ِذيْ يَتَ َخبَّطُهُ ال َّشي ْٰطنُ ِمنَ ْالم
َ ِسِّ ٰذل َ َ
هّٰللا
فَ َواَ ْمر ٗ ُٓه اِلَى ِ ۗ َو َم ْن عَا َد ۗ َوا فَ َم ْن َج ۤا َء ٗه َموْ ِعظَةٌ ِّم ْن َّرب ِّٖه فَا ْنتَ ٰهى فَلَهٗ َما َسل ۗ وا َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّر ٰب
ۘ الرِّب
ٰ
ٰۤ
َار ۚ هُ ْم فِ ْيهَا ٰخلِ ُدوْ نِ َّكَ اَصْ ٰحبُ النaِفَاُول ِٕٕى
Bentuk nash ini menunjukkan dalalah yang jelas kepada dua makna yang
masing-masing merupakan maksud dari redaksinya, pertama, bahwa jual beli
tidak seperti riba, kedua, hukum jual beli adalah halal sedangkan riba adalah
haram. Keduanya merupakan makna yang dipaham dari ungkapan nash dan
tujuan dari redaksi nash. Hanya saja makna yang pertama adalah maksud asli
dari redaksi, karena ayat tersebut disusun untuk membantah orang-orang yang
mengatakan: sesungguhnya jual beli adalah seperti riba. Sedangkan makna
kedua adalah maksud konsekuensi dari redaksi, karena menghilangkan
kesamaan adalah menjelaskan kedua hukum jual beli dan riba sampai ditemukan
perbedaan hukum bahwa keduanya tidak sama. Seandainya orang meringkas arti
yang dimaksud dari redaksi asal nash itu, dia akan berkata, “ tidaklah jual beli
itu seperti riba.”
c. Isyarat nash
Yang dimaksud pemahaman dari isyarat nash adalah makna yang tidak
secara langsung dipahami dari kata-kata dan bukan maksud dari susunan
katanya, melainkan makna lazim (biasa) yang sejalan dengan makna yang
langsung dari kata-katanya. Itulah makna kata dengan jalan ketetapan. Karena ia
merupakan makna ketetapan dan bukan makna yang dimaksud dari susunan
kata, maka petunjuk nashnya dengan isyarat bukan ungkapan. Jadi petunjuk
isyarat adalah petunjuk nash tentang makna lazim bagi sesuatu yang dipaham
dari ungkapan nash yang bukan dimaksud dari susunan katanya, yang
31
memerlukan pemikiran mendalam atau sekedarnya tergantung bentuk ketetapan
itu nyata atau samar.
ضا َعةَ ۗ َو َعلَى ْال َموْ لُوْ ِد لَهٗ ِر ْزقُه َُّن َو ِك ْس َوتُه َُّن َ ض ْعنَ اَوْ اَل َده َُّن َحوْ لَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن لِ َم ْن اَ َرا َد اَ ْن يُّتِ َّم ال َّر ِ ْت يُر ُ َو ْال َوالِ ٰد
ۚ َث ِم ْث ُل ٰذلِك ۤ َ ُف اَل تُ َكلَّفُ نَ ْفسٌ اِاَّل ُو ْس َعهَا ۚ اَل ت
ِ ارِ ضا َّر َوالِ َدةٌ ۢبِ َولَ ِدهَا َواَل َموْ لُوْ ٌد لَّهٗ بِ َولَ ِد ٖه َو َعلَى ْال َو ِ ۗ ْبِ ْال َم ْعرُو
ضع ُْٓوا اَوْ اَل َد ُك ْم فَاَل ُجنَا َح َ اض ِّم ْنهُ َما َوتَ َشا ُو ٍر فَاَل ُجن
ِ َْاح َعلَ ْي ِه َما ۗ َواِ ْن اَ َر ْدتُّ ْم اَ ْن تَ ْستَر ٍ صااًل ع َْن ت ََر َ ِفَا ِ ْن اَ َرادَا ف
هّٰللا هّٰللا
ِ َف َواتَّقُوا َ َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَ َّن َ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ ب
ص ْي ٌر ِ ۗ َْعلَ ْي ُك ْم اِ َذا َسلَّ ْمتُ ْم َّمٓا ٰاتَ ْيتُ ْم بِ ْال َم ْعرُو
Dari nash ini dapat dipaham bahwa nafkah yang berupa makanan dan
pakaian para ibu adalah kewajiban para bapak. Karena makna inilah yang dapat
dipaham secara langsung dari nash dan yang dimaksud dengan kata-katanya.
Dari isyarat nash dapat dipaham bahwa para bapak tidak bersama dengan yang
lain dalam kewajiban memberi nafkah kepada anaknya, karena anak itu adalah
miliknya bukan milik orang lain. Seorang ayah ketika membutuhkan sesuatu
milik anaknya berhak mengambil barang itu tanpa pengganti sekadar menutupi
kebutuhannya. Karena anaknya adalah miliknya dan harta anaknya adalah
miliknya juga.
d. Petunjuk nash
Yang dimaksud dengan sesuatu yang dipaham dari petunjuk nash adalah
makna yang dipaham dari jiwa dan rasionalitas nash. Apabila ada nash yang
ungkapannya menunjukkan suatu hukum atas kejadian dengan suatu illat, maka
32
hukum ditetapkan berdasarkan illat tersebut. Kemudian ditemukan kejadian lain
yang sama dalam illat hukumnya atau lebih utama dari illat itu.
َ ك اَاَّل تَ ْعبُد ُْٓوا آِاَّل اِيَّاهُ َوبِ ْال َوالِ َدي ِْن اِحْ ٰسنً ۗا اِ َّما يَ ْبلُغ ََّن ِع ْن َد
ٍّك ْال ِكبَ َر اَ َح ُدهُ َمٓا اَوْ ِك ٰلهُ َما فَاَل تَقُلْ لَّهُ َمٓا اُف َ ُّضى َرب ٰ ََوق
َّواَل تَ ْنهَرْ هُ َما َوقُلْ لَّهُ َما قَوْ اًل َك ِر ْي ًما
e. Kehendak nash
33
ngirakan makan itu. Sedangkan bentuk nash tidak ada kata yang menunjukkan
makna tersebut, tetapi kebenaran arti menghendaki makna itu atau
membenarkan dan menyesuaikan dengan kenyataan.
“dihapus dari umatku (dosa) keliru, lupa dan sesuatu yang dipaksakan
kepadanya.”
1) Dari petunjuk nash, dan nash itu menjadi dalil atas makna itu. Karena
makna yang diambil dari ungkapan nash adalah makna yang langsung
dipaham dan yang dimaksud dari susunan katanya.
2) Makna yang diambil dari nash adalah makna yang sepadan dengan makna
ungkapannya secara tidak terpisah. Jadi makna itu adalah petunjuk nash
secara lazim (logis).
3) Makna yang diambil dari petunjuk nash yaitu makna yang ditunjukkan oleh
jiwa dan rasionalitas nash.
4) Pengertian menurut kehendak adalah makna yang pasti yang menuntut
suatu makna tersembunyi untuk membenarkan nash atau menegakkan
pengertiannya.28
34
d. Menarik suatu kemudahan.
e. Apabila berkumpul antara halal dan haram maka yang haram mengalahkan yang
halal.
f. Apabila ada dua mafsadat berkumpul, maka kita memilih yang lebih kecil
mafsadatnya.
g. Penetapan hukum itu berdasarkan maslahat.
h. Kemudahan itu tidak bisa digugurkan dengan kesulitan.
35
5. Signifikansi QawaidUshuliyah
Berdasarkan definisi ini, kata Abu Zahrah, ijtihad terbagi atas dua bagian, yaitu:
36
Ijtihad model pertama adalah ijtihad yang menggunakan pendekatan kaidah-
kaidah ushuliyah, karena tugasnya adalah mengeluarkan hukum dari sumber-
sumbernya. Masalah penerapannya dilapangan adalah tugasnya kaidah-kaidah fiqih.
Ijtihad Bayani
Ijtihad Qiyasi
Ijtihad Istishlahi
37
karena beristidlal dengan naql memerlukan nadhr (pemikiran), dan begitu juga
sebaliknya, ra’yu tidak dianggap sebagai dalil syara’ apabila tidak berdasarkan
kepada naql.
38
7. Contoh Kaidah-kaidah Ushuliyah Serta Dasar-dasar Pengambilannya
Contoh: kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat,
kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah
sholat.begitu juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti
bertemu dengan yang namnya niat.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
َو َم ْني ُِر ْدثَ َوابَال ُّد ْنيَانُ ْؤتِ ِه ِم ْنهَا َو َم ْني ُِر ْدثَ َوابَاآل ِخ َر ِة
Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang banyak yang
mana buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang lewat
dibawahnya hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan
beracuan pada kaidah ini pohon tersebut harus di tebang.
Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56:
َض بَ ْع َد اِصْ اَل ِحهَا َوا ْد ُعوْ هُ خَ وْ فًا َّوطَ َمع ًۗا اِ َّن َرحْ َمتَ هّٰللا ِ قَ ِريْبٌ ِّمنَ ْال ُمحْ ِسنِ ْين
ِ َْواَل تُ ْف ِس ُدوْ ا فِى ااْل َر
39
masyarakat pesisir yang tidak melakukan petik laut tersebut, maka dia akan
dikucilkan oleh masyarakat setempat.
Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 199:
Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih ragu
apakah kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’
kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita masih punya wudhu’, kita langsung
sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya wudhu’ kita telah batal.
Qaidah ini berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 185:
40
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.”
G. Kaidah-kaidah Fiqhiyah
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan
yaâ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara
etimologi makna fiqh lebih dekat kepada ilmu sebagaimana yang banya dipahami
oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah :
Artinya : Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan
kepadanya kepahaman agama.
Dan masih banyak lagi definisi lain yang dikemukan oleh para ulama
tentang definisi daripada fiqh. Dari definisi-definisi tersebut, secara umum dapat
disimpulkan bahwa makna fiqh itu adalah berkisar pada rumusan sebagai berikut :
41
Fiqh merupakan bahagian dari syari’ah.
Sumber hukum berdasarkan al-Qur’an atau As-Sunnah atau dalil lain yang
bersumber pada kedua sumber utama tersebut.
Dari ulasan di atas, baik pengertian kaidah maupun pengertian fiqh, maka
yang dimaksud dengan Kaidah Fiqhiyah adalah.
42
Kaidah ini bersumber dari firman Allah dalam Q.s. al-Hajj [22]: 78 dan Q.s.
al-Baqarah [2]: 185:
Dan (Dia) sekali-kali tidak menjadi- kan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (al-Hajj [22]: 78)
Bila dipahami dari kedua makna ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa sesungguhnya Allah ketika mensyariatkan Islam kepada umat Nabi
Muhammad bersifat mudah dan fleksibel, dan tidak akan membebani mereka di
luar potensi kemampuan yang dimiliki.
Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. (al-An’am [6]: 119)
32 ‘Abd. al-‘Azîz Muhammad ‘Azzâm, al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 2005), h. 60-61.
Bandingkan dengan Ibn Nujaim, al-Asybâh wa al-Nazhâir, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1983), h. 85.
43
Kaidah tersebut di atas adalah bersumber dari beberapa sunnah berikut ini:
33 Ibn Hajar al-‘Asqalâni, Fath al-Barî, Juz XII, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 2006), h. 262.
34 Imâm al-Tirmizhî, Sunân al-Tirmizhî , Jilid IV, No. Hadis: 1424, (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 2000), h. 33.
44
Pahalamu/upahmu sesuai dengan kadar kepenatanmu. (H.r. Bukhari).35
Manusia yang memperoleh pahala salat paling besar adalah mereka yang paling
jauh jarak perjalanannya (dari tempat salat mereka).36
15
Selain dikenal adanya istilah Kaidah Fiqh, dikenal juga istilah Kaidah
Ushul Fiqh. Para ulama membedakan pengertian dari kedua istilah ini, sebab
Kaidah Fiqh adalah satu ilmu yang berdiri sendiri pada satu pihak dan Kaidah
Ushul Fiqh juga adalah merupakan satu ilmu yang berdiri sendiri di lain pihak.
Ibnu Taimiyah membedakan di antara kedua ilmu ini yaitu, Kaidah Ushul Fiqh
35 Imâm al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Jilid II, No. Hadis: 1695, bab: Pahala seseorang berdasarkan besarnya
lelah usahanya, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1994), h. 74.
36 Imam al-Bukharî, Shahîh al-Bukharî, Jilid I, No. Hadis: 1695, bab: Salat Subuh berjamaah, h. 233.
45
adalah dalil-dalil yang umum (ad-Dilalatu al-Ammah), sedangkan Kaidah Fiqh
adalah patokan hukum secara umum (Ibaratu’an ahkam al-ammah).
a. Dasar formal
Kaidah fiqihiyyah adalah hukum-hukum furu’ yang dikumpulkan
dalam satu kalimat yang sempurna dan pengertiannya dapat mencakup banyak
satuan hukum furu’ yang sejenis, misalnya soal niat. Dalam ibadah niat
menjadi kriteria sah tidaknya suatu perbuatan. Jadi yang dimaksud dasar
formal yaitu hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu kaidah yang
memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari Al-Quran
maupun as- Sunnah. Dasar formal penyusunan kaidah fikih ialah dasar-dasar
ulama yang digunakan dalam melakukan istinbath dan ijtihad.Misalnya dalam
surat Al-Bayyinah: 5 dan Hadis nabi Riwayat Bukhari dan Muslim dari
sahabat Umar bin Khatob: “Innamal a’malu biniat”, diistinbathkan untuk
berniat dalam melakukan setiap perbuatan ibadah.
b. Dasar material
Adapun dasar material yaitu bahan-bahan yang dijadikan kata-kata
kaidah, terkadang dari nash hadis. Kaidah dari hadis berlaku untuk semua
lapangan hukum baik ibadah, muamalah, munakahat, jinayah. Disamping
kaidah fiqiyyah yang dirumuskan dari lafadh hadis, maka dapat dipastikan
bahwa kaidah fikih itu hasil rumusan ulama yang kebanyakan sulit ditemukan
siapa perumusnya
46
5. Manfaat Kaidah Fikih
1. Pengertian Ijtihad
47
masyaqah (kesulitan,kesukaran). 37 Dari pengertian diatas bisa kita simpulkan bahwa
ijtihad secara bahasa adalah pengarahan semua kemampuan untuk suatu aktivitas
yang berat atau sukar. Dalam pengertian secara bahasa diatas dapat kita ketahui ada
dua unsur pokok yaitu pertama kemampuan dan yang kedua obyek yang berat atau
sulit.
Ijtihad menurut ulama ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang
menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah
(praktisi) dari dalil-dalil yang bersifat terperinci.38
“Mengerahkan potensi dalam mencari dhann (dugaan kuat) tentang suatu hukum
syara’ sampai merasakan kesulitan dalam melakukannya.”
48
dalil yang bersifat umum tidak pasti maknanya. Syahnya hasil ijtihad yang di
keluarkan mujtahid harus memenuhi beberapa syarat. Tidak sembarangan orang bisa
melakukan ijtihad, syarat-syaratnya yaitu:
a. Mengetahui bahasa Arab dengan segala seginya sehingga memungkinkan dia
untuk menguasai pengertian susunan kata-katanya karena obyek pertama bagi
mujtahid ialah pemahaman terhadap nash-nasah Al-Quran dan hadis yang
berbahasa Arab.
b. Mengetahui Al-Quran dan hadis terlebih yang berkaitan dengan hukum-hukum
syara’.
c. Mengetahui segi-segi pemakaina qiyas, seperti illat dan hikmah penetapan
hukum, di samping fakta-fakta yang ada nashnya dan yang tidak ada nashnya.
d. Pandai menghadapi nash-nash yang berlawanan.
e. Mengetahui ilmu ushul fikih.
Dari syarat-syarat ini dapat kita ketahuai bahwa ijtihad adalah hal serius yang
tidak bisa diwakilkan atau dilakukan sembarang orang. Dan bila mana ada orang
yang melakukan ijtihad tapi tidak memenihi syarat di atas, maka hasil ijtihadnya
tidak kuat.
49
shohih, hasan, maupun dho’if. Konsekuensinya, kehujjahannya pun akan
berbeda satu sama lainnya.
c. Berbeda tanggapan tentang ta’arudl (pertentangan antara dalil)
dan tarjih (menguatkan satu dalil atas dalil lainnya) seperti: Tentang nasakh dan
mansukh, tentang pentakwilan, dan lain sebagainya.39
d. Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum. Perselisihan para mujtahid mengenai
ilat (`illah=sebab) dari suatu hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya
perbedaan hasil ijtihad
Dan sebab kedua adalah metode yang disebabkan sosio-kultural dan
geografis mujtahid, disini hanya akan mengambil dari empat mujtahid yang
mempengaruhi cukup luas dalam islam . Yaitu:
Sejarah singkat mengenai empat imam mengenai hasil metodenya yang
disebabkan sosio-kultural dan geografis. Pada masa sahabat ada dua kelompok
(pandangan hukum) yaitu kelompok pertama Ali bin Abi Thalib bersama Bilal
kelompok pertama lebih menekankan ke nash secara ketat dan kelompok kedua
lebih kerasio yang lebih luas tokoh kelompok ini diantaranya Umar bin Khatab dan
Ibnu Mas’ud. Dan selanjutnya kelompok ini berkembang menyebar dan memeliki
pengaruh. Kelompok pertama berkumpul disekitar hijaz sedangkan kelompok yang
kedua berkumpul disekitar kufah. Sejarah kemudian menceritakan kepada kita
bahwa Imam Malik tinggal di makkah (termasuk daerah hijaz) dan Imam Abu
Hanifah tinggal di Kuffah. Imam Malik hidup didalam yang masih banyak
menjumpai sahabat Nabi sehingga dalam berijtihad lebih kenash secara ketat,
sedangkan Imam Abu Hanifah tinggal dimana sedikit sekali dijumpai sahabat Nabi.
Fakta geografis ini menimbulkan perbedaan dalam pemecahan kasus.
Berikutnya sejarah singkat mengenai Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hambal. Kedua Imam ini adalah murid dari Imam Malik sehingga mereka berdua
mengikuti dari gurunya yaitu lebih cenderung ke kelompok Hijaz.
Metode-metode ijtihad iamam empat:
a. Imam Abu Hanifah
1) Berpegang pada dalalatul Qur'an
a) Menolak mafhum mukhalafah
39 Prof.H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: PT. Prenada
Meia 2005 hal117-118
50
b) Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum ditakshiskan
c) Qiraat Syazzah (bacaan Qur'an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan
dalil
2) Berpegang pada hadis Nabi
a) Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad
kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh)
b) Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-
nya
3) Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
4) Berpegang pada Qiyas
a) Mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
5) Berpegang pada istihsan
51
4) Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i mendahulukan hadis
ahad daripada Qiyas)
5) Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk
Madinah sebagai dasar ijtihadnya
1. Pengertian Bid’ah
Definisi bid'ah menurut etimologi diambil dari asal perkataan aدعaa البyang
artinya "Mencipta atau mengada-adakan sesuatu pekerjaan, amalan, benda atau
40
perkara yang sama sekali tiada contoh atau misal sebelumnya". Ibnu manzur
berkata bid’ah adalah:
40 Ishak Ibrahim Bin Musa Bin Muhammad al-Lakhmi asy-Syatibi, I‟tisham, Jilid I, (Terj. Shalahuddin Sabki,
Bangun Sarwo Aji Wibowo), (Jakarta: Buku Islam Rahmatan, 2006), hlm. 3
52
Artinya: Telah membuat sesuatu bid’ah (past tense), sedang membuatnya (present
tense) dan bad„an (masdar/ kata terbitan) berarti mengadakan dan memulaikan.41
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa
ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.
Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan
risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak
sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.
41 Jamaluddin Muhammad Bin Mukram Bin Ibnu Manzur, Lisan al-„Arabi, Jilid VI, (Beirut: Dar alsadir, t.t),
hlm. 6
42 Ali Bin Muhammad Sayyid as-Syarif aj-Jurjani, Mu‟jam at-Ta‟rifat, (Kaerah: Dar al-Fadhilah, t.t), hlm. 40.
53
a. Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-
penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-
penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah
(diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.
b. Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada
dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru
(berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut,
maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)“. Dan di dalam riwayat lain
disebutkan : “Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan
urusan kami, maka perbuatannya di tolak“.
2. Dalil-dalil Bid’ah
أما بعد فإن خير الحديث كتاب هللا وخير الهدي هدي محمد وشر األمور:عن جابر بن عبد هللا أن رسول هللا قال
محدثاتها وكل بدعة ضاللة
صلى بنا رسول هللا ذات يوم ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة ذرفت منها العيون:عن العرباض بن سارية قال
أوصيكم بتقوى هللا: فماذا تعهد إلينا؟ فقال، يا رسول هللا كأن هذه موعظة مودع: فقال قائل،ووجلت منها القلوب
فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء،والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا؛ فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختالفا كثيرا
54
وإياكم ومحدثات األمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ،المهديين الراشدين
ضاللة
Pada kedua hadits ini dan juga hadits-hadits lain yang serupa, ada dalil nyata
dan jelas nan tegas bahwa setiap urusan yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap
bid’ah ialah sesat. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dalam hadits ini bersabda:
كل بدعة ضاللةsetiap bid’ah ialah sesat, dalam ilmu ushul fiqih, metode ungkapan ini
dikatagorikan kedalam metode-metode yang menunjukkan akan keumuman, bahkan
sebagian ulama’ menyatakan bahwa metode ini adalah metode paling kuat guna
menunjukkan akan keumuman, dan tidak ada kata lain yang lebih kuat dalam
menunjukkan akan keumuman dibanding kata ini كل. [Baca Al Mustasyfa oleh Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali 3/220, dan Irsyadul Fuhul oleh
Muhammad Ali As Syaukani 1/430-432].
Mu’adz bin Jabal ataupun Ayyub tidak membedakan antara bid’ah hasanah
dengan bid’ah dhalalah, semuanya dikecam dan dikatakan sesat dan menjauhkan
55
pelakunya dari Allah. Imam Malik bin Anas menjelaskan, alasan mengapa setiap
bid’ah itu adalah sesat, beliau berkata:
) :من أحدث في هذه األمة اليوم شيئا لم يكن عليه سلفها فقد زعم أن رسول هللا خان الرسالة ألن هللا تعالى يقول
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير هلل به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل
السبع إال ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا باألزالم ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فال
تخشوهم وخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم اإلسالم دينا فمن اضطر في
) فما لم يكن يومئذ دينا ال يكون اليوم دينا3 مخمصة غير متجانف إلثم فإن هللا غفور رحيم( (المائدة
“Barang siapa pada zaman sekarang mengada-adakan pada ummat ini sesuatu
yang tidak diajarkan oleh pendahulunya (Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan
sahabatnya), berarti ia telah beranggapan bahwa Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam telah mengkhianati kerasulannya, karena Allah Ta’ala
berfirman: “Diharamkan bagimu bangkai, darah ………pada hari ini telah Ku-
sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agamamu. Maka barang siapa yang terpaksa
karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha penyayang” (Al Maidah: 3) sehingga segala yang tidak
menjadi ajaran agama kala itu (zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan
sahabatnya) maka hari ini juga tidak akan menjadi ajaran agama”. (Riwayat Ibnu
Hazem dalam kitabnya Al Ihkam 6/225).
3. Macam-macam Bid’ah
56
1) Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan
suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti
mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak
disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan
seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.
2) Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang
disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau
shalat Ashar.
3) Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan
ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang
disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti
membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-
batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
4) Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi
tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan
malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan
qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di
syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu
memerlukan suatu dalil.
Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ٌضالَلَة
َ ور فَإ ِ َّن ُك َّل ُمحْ َدثَ ٍة بِ ْد َعةٌ َو ُك َّل بِ ْد َع ٍة ُ ِ َو ُمحْ َدثَا
ِ ت األ ُم
57
“Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka
perbuatannya tertolak“.
“Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka
amalannya tertolak“.
Artinya bahwa bid’ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.
Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantaranya
yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk
mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-
nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta
pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya
perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan
Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti
membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo’a disisinya. Ada juga bid’ah yang
merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan
Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang
beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat
sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).
Catatan :
Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah
syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam : “Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat“.
58
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukumi semua
bentuk bid’ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan
tidak setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !
Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa
bid’ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu pada
shalat Tarawih : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, juga mereka berkata :
“Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh
ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan
hadits dan penyusunannya”. Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa
sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari’at, jadi bukan diada-
adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”,
maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa dan bukan bid’ah menurut syariat. Apa
saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah”
maksudnya adalah bid’ah menurut arti bahasa bukan menurut syari’at, karena bid’ah
menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya.
Dan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat
karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-
Qur’an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para
sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk
menjaga keutuhannya.
59
Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat
secara berjama’ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak
bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para
sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat
Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan mereka satu jama’ah di belakang satu imam.
Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan
merupakan bid’ah dalam Ad-Dien.
Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis
sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau
dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur’an.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran
tersebut ; sebab Al-Qur’an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin
mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai usaha
untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Allah Ta’ala memberi balasan
yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan
Sunnah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak
rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.
60
2. Qashar, yaitu sholat yang semestinya empat rakaat diringkas atau dipendekkan
menjadi dua roka’at.
3. Jama’, yaitu mengumpulkan dua sholat, Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan
Isya’, dalam salah satu waktunya.
a. Shalat Jama’
Pada prinsipnya dalam situasi dan kondisi yang normal, shalat wajib
harus dikerjakan sesuai dengan waktunya yang sudah ditentukan. Akan tetapi
apabila dalam keadaan bepergian (musafir) yang jauhnya antara kurang lebih 81
Km, atau dalam keadaan masyaqqat, boleh dilakukan dengan cara jama’.44
1) Jama’ Taqdim
43 Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), hal. 166.
44 Rustam Dyah, Fikih Ibadah Kontemporer, (Semarang: CV. Karya Abadi, 2015), hal. 46.
45 Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), hal. 166.
46 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 328.
61
2) Jama’ Takhir
Shalat jamak yang dilaksanakan pada waktu shalat yang terakhir, misalnya
shalat Dzuhur dengan shalat Ashar dilaksanakan pada saat waktu shalat
Ashar.
b. Shalat Qashar
Para Imam telah sepakat bahwa musafir boleh meng-qashar shalat yang
empat rakaat menjadi dua rakaat. Namun, mereka berbeda pendapat tentang
apakah qashar shalat itu merupakan rukhsah (keringanan) atau ‘azimah
(ketetapan mutlak). 48Selain itu, ulama’ berbeda pendapat dalam beberapa hal
yaitu: Mengqashar shalat dan hukumnya, Jarak tempuh perjalanan yang
membolehkan qashar, Jenis perjalanan yang membolehkan qashar, Tempat
dibolehkannya qashar, Batas perjalanan dan kebolehan qashar.49
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qashar itu wajib ‘ain atas tiap-tiap
musafir. Maka fardhunya hanya 2 rakaat saja, sehingga apabila ia berniat 4
rakaat dan tidak duduk sesudah 2 rakaat pertama, batallah shalatnya, karena ia
meninggalkan fardhu duduk terakhir. Dan apabila ia duduk sesudah dua rakaat
pertama, shalat fardlunya dan dua rakaat yang akhir dihitung sunat. Dan itu juga
madzhab Hadawiyyah. Berkata al-Khaththaby dalam: ma’alimu ‘s-Sunan:
Tiga Imam (Malik, Syafi’i, dan Ahmad Ibnu Hanbal) berpendapat bahwa
qashar bukan wajib ‘ain, melainkan hanya rukhsah (dispensasi), maka si
47 Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), hal. 164.
48 Syaikh al-Alamah Muhammad bin ‘Abdurrahman da-Dimasyiqi, Fikih Empat Madzhab, (Bandung: Hasyimi,
2015) hal. 85.
49 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Juz.I ( Terj. MA Abdurahman & A.Haris Abdullah ), (Semarang: CV as
Syifa’, , 1990), hal. 350.
62
mukallaf dapat memilih tentang menggugurkan fardhu itu antara ‘azimah
menyempurnakan 4 rakaat dan rukhshah qashar. Tetapi mereka berbeda
pendapat mengenai hukum rukhshah ini:
Berkata ulama Hanabilah, bahwa qashar itu lebih utama dan tidak
makruh dengan ‘azimah. Dan itulah yang masyhur dari mazhab Syafi’i apabila
perjalanan itu 3 hari. Jika perjalanan kurang dari 3 hari, maka menyempurnakan
adalah lebih utama . kata mereka: itu untuk keluar dari ikhtilaf Abu Hanifah dan
orang-orang yang sependapat dengannya.50
َصرُوْ ا ِمنَ الص َّٰلو ِة ۖ اِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَ ْن يَّ ْفتِنَ ُك ُم الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ۗا اِ َّن ْال ٰكفِ ِر ْين
ُ ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح اَ ْن تَ ْق ِ ْض َر ْبتُ ْم فِى ااْل َر
َ ض فَلَي َ َواِ َذا
َكانُوْ ا لَ ُك ْم َع ُد ًّوا ُّمبِ ْينًا
Artinya : “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu
meng-qasar salat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir
itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. An-Nisa’ : 101)
50 Syaikh Muhammad Syaltout, Muqaranatul Madzahib Fii Fiqhi,alih bahasa: Ismuha, Perbandingan Madzhab
dalam Masalah Fiqh, (Jakarta: Bintang Buan, 1973), hal. 63-64.
51 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah Juz I, (Beirut: Darul Kutub al’ arobi, tt), hal 287.
52 Teungku Muhammad Hasbi sah-Shiddiqie, Hukum-hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Madzhab.(Semarang:
Pustaka Rizki Putera, 2001), Hal. 87.
63
ِ ت يَا أَبَا ْال َعب
:َّاس ُ قُ ْل: قَا َل،ف
ٍ ْالظه ِْر َو ْال َعصْ ِر بِ ْال َم ِدينَ ِة فِي َغي ِْر َسفَ ٍر َوال خَ و
ُّ َصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بَ ْين
َ َج َم َع النَّبِ ُّي
] [رواه أحمد. أَ َرا َد أَ ْن الَ يُحْ ِر َج أَ َحدًا ِم ْن أُ َّمتِ ِه:ك؟ قَا َل َ َِولِ َم فَ َع َل َذل
ت ْال َعصْ ِر ثُ َّم نَ َز َل فَ َج َم َع ُّ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا ارْ تَ َح َل قَب َْل أَ ْن ت َِزي َغ ال َّش ْمسُ أَ َّخ َر
ِ الظ ْه َر إِلَى َو ْق َ َِكانَ َرسُو ُل هللا
] [متّفق عليه.ب ُّ صلَّى
َ الظ ْه َر ثُ َّم َر ِك َ َت ال َّش ْمسُ قَ ْب َل أَ ْن يَرْ تَ ِح َل ْ بَ ْينَهُ َما فَإ ِ ْن َزاغ
[رواه مسلم.صلَّى ْال َعصْ َر بِ ِذي ْال ُحلَ ْيفَ ِة َر ْك َعتَ ْي ِن
َ ة أَرْ بَعًا َوaِ َالظ ْه َر بِ ْال َم ِدين
ُّ صلَّى َ ِأَ َّن َرسُو َل هللا
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
64
Artinya : “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dzuhur di
Madinah empat rakaat dan shalat Ashar di Dzul–Hulaifah dua rakaat.” [HR.
Muslim]
a. Shalat Jama’
b. Shalat Qashar
1) Jauh perjalanan dengan dua marhalah atau lebih (80,640 km atau perjalanan
sehari semalam).
2) Perjalanan yang di lakukan adalah safar mubah (bukan perlayaran yang
didasari niat mengerja maksiat ).
3) Mengetahui hukum kebolehan qasar.
4) Niat qasar ketika takbiratulihram.
5) Sholat yang diqasar adalah shalat rubaiyah (tidak kurang dari empat rakaat).
6) Perjalanan terus menerus sampai selesai sholat tersebut.
7) Tidak mengikuti dengan orang yang itmam (sholat yang tidak diqasar)
dalam sebagian sholat nya.
65
a. Shalat Jama’
Ada dua kategori shalat jamak, yaitu jamak taqdim dan jamak takhir.
Jamak taqdim dilakukan di waktu awal shalat fardhu, sedangkan jamak takhir
dilakukan di waktu shalat yang terakhir.
Kedua shalat jamak tersebut memiliki tata cara pelaksanaan shalat yang
sama, yang membedakan hanya waktunya saja. Untuk lebih memahaminya,
simak penjelasan tata cara shalat jamak berikut ini.
Diawali dengan membaca niat jamak taqdim Dzuhur dan Ashar, yaitu:
Ushollii fardlozh dzuhri arbaa rakaaatin majmuuan maal ashri
adaa-an lillaahi taaalaa.
Diawali dengan membaca niat jamak taqdim Maghrib dan Isya, yaitu:
66
Artinya: Aku sengaja sholat fardu Maghrib 3 rakaat yang dijamak
dengan Isya, dengan jamak taqdim fardu karena Allah Taaala.
Artinya: Aku berniat sholat Isya empat rakaat dijamak dengan Magrib,
dengan jama taqdim fardu karena Allah Taaala
Setelah selesai sholat Dzuhur dilanjut sholat Ashar dengan bacaan niat:
67
Ushollii fardlozh maghribi thalaatha raka’aatin majmuu’an ma’al
‘isyaa’i Jam’a ta-khiirinin adaa-an lillaahi ta’aalaa.
Artinya: Aku sengaja sholat fardu Maghrib tiga rakaat yang dijamak
dengan Isya, dengan jamak takhir fardu karena Allah Ta’aala.
Setelah selesai sholat Maghrib dilanjut sholat Isya dengan bacaan niat:
Artinya: Aku berniat sholat Isya empat rakaat yang dijamak dengan
Magrib, dengan jamak takhir fardu karena Allah Ta’aala.
b. Shalat Qashar
68
69
K. Pemilihan Pemimpin Negara/Wilayah
Di dalam sistem politik umat Islam di masa klasik, sirkulasi kekuasaan tidak
ditentukan oleh Pemilu dengan prosedur-prosedur yang ketat. Prinsip yang
disediakan dalam doktrin Islam adalah syura (musyawarah).
ۡ استَ َجابُوا لِ َربِّ ِهمۡ َواَقَا ُم ۡوا الص َّٰلو ۖةَ َواَمۡ ُرهُمۡ ُش ۡو ٰرى بَ ۡينَهُمۡۖ َو ِم َّما َر
َزَق ٰنهُمۡ ي ُۡنفِقُ ۡو ۚن ۡ ََوالَّ ِذ ۡين
هّٰللا
ِ ك ۖ فَاعْفُ َع ْنهُ ْم َوا ْستَ ْغفِرْ لَهُ ْم َو َش
اورْ هُ ْم فِى ِ فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِّمنَ ِ لِ ْنتَ لَهُ ْم ۚ َولَوْ ُك ْنتَ فَظًّا َغلِ ْيظَ ْالقَ ْل
َ ِب اَل ْنفَضُّ وْ ا ِم ْن َحوْ ل
َااْل َ ْم ۚ ِر فَا ِ َذا َعزَ ْمتَ فَتَ َو َّكلْ َعلَى هّٰللا ِ ۗ اِ َّن هّٰللا َ يُ ِحبُّ ْال ُمتَ َو ِّكلِ ْين
Artinya : “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu ma'afkanlah mereka dan
mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang
bertawakkal.”54
70
pengambilan keputusan, cara pelaksanaan putusan musyawarah, dan aspek-aspek
tata laksana lainnya diserahkan kepada kelompok manusia bersangkutan untuk
mengaturnya. Jadi sebagai prinsip, musyawarah adalah syariat. Pemahamannya
termasuk bidang fiqh dan pengaturannya termasuk siyasah syar‟iyyah.55
55 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2012), cet.1, hlm. 158
56 bid, hlm. 158-159.
71
jadwal ketatanegaraan yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan Sesuai
dengan prinsip kedaulatan rakyat dimana rakyatlah yang berdaulat, maka semua
aspek penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri pun harus juga dikembalikan
pada rakyat untuk menentukannya (Jimly Asshiddiqqie, 2006 : 172).
Berkenaan dengan sistem pemilu, dalam Fiqh Siyasah, sistem Pemilu mana
yang dipilih dan diterapkan di suatu negara sangatlah terbuka karena masalah ini
termasuk ijtihad politik. Fiqh Siyasah tidak menetapkan secara baku sistem Pemilu
yang diselenggarakan oleh suatu negara. Fiqh Siyasah memberikan kelonggaran
kepada suatu negara untuk menerapkan system Pemilu yang dipandang bermaslahat
bagi masyarakat dengan membawa asas- asas keadilan dalam berpolitik.58
72
L. Transaksi Muamalah Modern
Arti jual beli secara bahasa adalah menukar sesuatu dengan sesuatu. Jual beli
menurut syara’ adalah akad tukar menukar harta dengan harta yang lain melalui tata
cara yang telah ditentukan oleh hukum islam. Yang dimaksud kata “harta” adalah
terdiri dari dua macam. Pertama; harta yang berupa barang, misalnya buku, rumah,
mobil dll. Kedua; harta yang berupa manfaat (jasa), misalnya pulsa telephone, pulsa
listrik, dan lain-lain.
a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan
melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan;
b. Menurut Syekh Muhammad ibn Qasim Al-Ghazzi : Pengertian jual beli yang
tepat ialah, memiliki suatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar
izin syara, sekedar memiliki izin manfaatnya saja yang diperbolehkan syara
untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui pembayaran yang
berupa uang;
c. Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul al-Akhyar : Pengertian jual
beli adalah, saling tukar harta, saling menerima, dapat
dikelola (tasharruf) dengan ijab qobul, dengan apa yang sesuai dengan syara;
d. Menurut Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitabnya, Fath al-Wahab: Pengertian
jual beli adalah, Tukar menukar benda lain dengan cara yang khusus
(dibolehkan);
e. Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah : Pengertian jual beli
adalah, penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling atau
memindahkan hak milik dengan ada penggantinya melalui jalan (cara) yang
diperbolehkan;
f. Menurut Ibn Qudamah : Pengertian jual beli adalah saling menukar harta
dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan59
59 Abdul Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Prenada Media Group,
2010), hlm.67-68.
73
g. Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang julan beli (ba’i)
diantaranya; Ulama Hanafiyah “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta
(benda) berdasarkan cara khusus (yang diperbolehkan) syara’ yang disepakati”.
Menurut Imam Nawawi dalam al-majmu’ mengatakan “Jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar barang dengan
barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik atas dasar
saling merelakan.
a. Dasar Al-Qur’an
اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن َ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَأْ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َج
ٍ ارةً ع َْن ت ََر
هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما
ك بِاَنَّهُ ْم قَالُ ْٓوا اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ۗ اَلَّ ِذ ْينَ يَأْ ُكلُوْ نَ ال ِّر ٰبوا اَل يَقُوْ ُموْ نَ اِاَّل َكما يَقُوْ ُم الَّ ِذيْ يَتَ َخبَّطُهُ ال َّشي ْٰطنُ ِمنَ ْالم
َ ِسِّ ٰذل َ َ
هّٰللا ۗ
وا فَ َم ْن َجا َء ٗه َموْ ِعظَةٌ ِّم ْن َّرب ِّٖه فَا ْنتَ ٰهى فَلَهٗ َما َسلَفَ َواَ ْمر ٗ ُٓه اِلَى ِ ۗ َو َم ْن عَا َدۤ ۗ وا َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّر ٰب
ۘ الرِّب
ٰ
ٰۤ
َار ۚ هُ ْم فِ ْيهَا ٰخلِ ُدوْ نِ َّكَ اَصْ ٰحبُ النaِفَاُول ِٕٕى
74
ٓ
ُٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُوْ ۗه
b. Al-Hadits :
“Dari Rifa’ah ibn Rafi’ RA. Nabi Muhammad SAW., Ditanya tentang
mata pencaharian yang paling baik, beliau menjawab, ‘Seseorang yang bekerja
dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur’.” (HR. Bazzar, hakim
menyahihkannya dari Rifa’ah ibn Rafi’)
Maksud Mabrur dalam hadits diatas adalah jual beli yang terhindar dari
usaha tipu-menipu, dan merugikan orang lain. Berdasarkan dalil-dalil tersebut
diatas maka hukum dari jual beli adalah halal atau boleh.
c. Ijma’
60 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2004), hlm, 74-75.
75
3. Rukun dan Syarat Jual Beli
Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:
Syarat adalah hal-hal yang harus ada atau dipenuhi sebelum transaksi jual beli
76
2) Ada manfaatnya, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada
manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu
termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang
terlarang.
3) Barang itu dapat diserahkan, tidak sah menjual suatu barang yang tidak
dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut,
barang rampasan yang masih berada di tangan yang merampasnya,
barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu
daya (kecohan).
4) Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang
diwakilinya, atau yang mengusahakan.
5) Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli, zat, bentuk,
kada (ukuran) dan sifat-sifatnya jelas, sehingga antara keduanya tidak
akan terjadi kecoh-mengecoh.
Sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas
kecuali dengan perkataan, karena perasaan suka itu bergantung pada hati
masing-masing. Ini pendapat kebanyakan para ulama. Tetapi Imam
Nawawi, Mutawali, Bagawi dan beberapa ulama yang berpendapat bahwa
lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila
menurut telah berlaku bahwa hal yang seperti itu sudah dipandang sebagai
jual beli, maka itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang jelas
untuk mewajibkan lafaz.
77
Menurut ulama yang mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan memenuhi
beberapa syarat :
1) Keadaan ijab dan kabul berhubungan. Artinya salah satu dari keduanya
pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
2) Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walau lafaz keduanya
berlainan.
3) Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya
“Kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian.”
4) Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun,
tidak sah.
Jual beli ini hukumnya sah, tetapi dilarang oleh agama karena adanya suatu
sebab atau akibat dari perbuatan tersebut, yaitu :
Larangan melakukan kegiatan jual beli pada saat khutbah dan shalat
jum’at ini tentu bagi laki-laki muslim, karena pada waktu itu setiap muslim laki-
laki wajib melaksanakan shalat jum’at, Allah swt, berfirman:
ي لِلص َّٰلو ِة ِم ْن يَّوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َعوْ ا اِ ٰلى ِذ ْك ِر هّٰللا ِ َو َذرُوا ْالبَ ْي ۗ َع ٰذلِ ُك ْم خَ ْي ٌر لَّ ُك ْم اِ ْن ُك ْنتُ ْم
َ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا نُوْ ِد
َتَ ْعلَ ُموْ ن
78
Jual beli seperti ini, penjual tidak mengetahui harga pasar yang
sebenarnya, dengan tujuan barang akan dibeli dengan harga yang serendah-
rendahnya, selanjutnya akan dijual di pasar dengan harga setinggi-tingginya.
Rasulullah saw, bersabda : “janganlah kamu menghambat orang-orang yang
akan pasar” (H.R Bukhori dan Muslim).
Jual beli ini tidak terpuji, oleh karena itu dilarang, karena pada saat
orang banyak membutuhkan justru ia menimbun dan akan dijual dengan harga
setinggi-tingginya pada saat barang-barang yang ia timbun langka.
79
M. Kepatuhan terhadap Aturan Negara
“Hukum adalah suatu rangkaian peraturan yang menguasai tingkah laku dan
perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat. Hukum itu sendiri
mempunyai ciri yang tetap yakni hukum merupakan suatu organ peraturan-peraturan
abstrak, hukum untuk mengatur kepentingan-kepentingan manusia, siapa saja yang
melanggar hukum akan dikenakan sanksi sesuai dengan apa yang telah
ditentukan”.62
Ketaatan adalah sikap patuh pada aturan yang berlaku. Bukan di sebabkan
oleh adanya sanksi yang tegas atau hadirnya aparat negara, misalnya polisi.
Kepatuhan adalah sikap yang muncul dari dorongan tanggung jawab sebagai warga
negara yang baik.
80
Berdasarkan tingkatannya, Kosasih Djahiri mengemukakan tingkat kesadaran
sebagai berikut:
Dari pendapat tersebut diatas, maka dapat diketahui berbagai macam alasan
mengapa seseorang patuh terhadap aturan. Sejalan dengan kesadaran hukum, ada
tiga pokok kepatuhan yang sesuai di antaranya: Pertama, berdasarkan tingkatannya,
kesadaran yang paling baik adalah yang bersifat autonomous, karena kesadaran atau
ke patuhan tersebut didasarkan oleh motivasi atau landasan yang ber asal dari diri
sendiri. Kedua, taat atas dasar adanya aturan dan hukum serta untuk ketertiban.
Ketiga, patuh karena dasar prinsip etis yang layak dan universal, sebab walaupun
tidak tertulis apabila secara etis dianggap layak maka masyarakat akan
mematuhinya.
Jika kepatuhan hukum sudah tidak ada lagi, maka akan terjadi:64
81
inter reaksi antara sektor hukum dan masyarakat dimana hukum tersebut diterap kan.
Namun masalah kesadaran hukum masyarakat masih menjadi salah satu faktor
terpenting yang merupakan efektivitas suatu hukum yang diperlakukan dalam suatu
negara.
Kalau kita lihat salah satu faktor kemenangan kaum muslimin pada Perang
Badar, yaitu kepatuhan kepada pemimpin yakni Rasulullah S.A.W. Ini menunjukkan
82
kepatuhan/ketaatan kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana
disebutkan dalam Alquran dan Hadits, di antaranya adalah Firman Allah SWT di
dalam surah An-Nisa’ (4) ayat 59,
ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا هّٰللا َ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرسُوْ َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَا ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِ ْي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوْ هُ اِلَى هّٰللا ِ َوال َّرسُوْ ِل
َ ِاِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل
ك خَ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَأْ ِو ْياًل
Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”.
Dalam ayat di atas Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan
ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian di dalam sebuah
Hadits Rasulullah SAW bersabda, artinya : “Seorang muslim wajib mendengar dan
taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk
bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban
mendengar dan taat” (HR. Bukhari No. 7144).
Imam al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi al-izzi ad-Dimasgy
(terkenal dengan Ibnu Abil 122 wafat th. 792 H) rahimahullah berkata: ”Hukum
mentaati Ulil Amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun
mereka berbuat zalim, karena jika keluar dari ketaatan kepada mereka akan
menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibandingkan dengan kezhaliman
penguasa itu sendiri, bahkan bersabar terhadap kezaliman mereka dapat meleburkan
dosa-dosa dan dapat melipat gandakan pahala, karena Allah Azza Wa Jalla tak akan
menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan
kita juga. Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan, maka hendaklah kita
bersungguh-sungguh memohon ampunan, bertaubat dan memperbaiki amal
perbuatan.
83
3. Kondisi Kepatuhan Hukum Masyarakat
Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk men jadikan
masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus
membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang membuat
masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat dirasakan jika kita punya
komitmen kuat, konsisten dan kontinyu menegakkan hukum tanpa diskriminatif,
siapapun harus tunduk kepada hukum, penegakan hukum tidak boleh memihak
kepada siapapun dan dengan alasan apa pun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan
itu sendiri. Disitulah letak wibawa hukum dan keadilan hukum.
84
implisit “campur tangan rezim yang ber kuasa” pasti ada. Apalagi sistem
pemerintahan Indonesia dalam konteks Trias Politica, penerapannya tidaklah murni,
dimana antara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif keberadaanya tidak berdiri sendiri.
Indonesia menjalankan Trias Politica dalam bentuk Separation of Power (Pemisahan
Kekuasaan), bukan Division of Power (Pembagian Kekuasaan). Hal ini tampak
bahwa dalam proses pembuatan undangundang peran pemerintah begitu dominan
dalam menentukan diberlakukannya hukum dan undangundang di negeri ini.65
85
terhadap kondisi tersebut adalah proses penegakan hukum yang masih sangat lemah.
Ketika hukum masih sangat lemah, maka akan memberikan peluang dan menjadi
celah bagi masyarakat untuk melakukan pelanggaran hukum. Faktor kesetiaan juga
merupakan pendukung yang cukup besar ketika masyarakat dihadapkan kepada
pilihan apakah akan setia pada hukum atau setia pada kepentingan pribadi.
Selanjutnya ada beberapa faktor pendorong yang menjadi kan norma hukum
agar lebih dipatuhi oleh masyarakat, antara lain:
86
DAFTAR PUSTAKA
Abdul WahhabKhallaf, 2003, Ilmu Ushul Fikih terj. Faiz el Muttaqin Jakarta: Pustaka
Amani
Amiruddin dan Fathurrahman, 2016, pengantar ilmu fiqih Bandung: PT Refika Aditama
Maskur Rosyid, Syariah: Jurnal hukum dan Pemikiran , Vol. 16 nomor 1 , juni 2018
Saeed Ismail Sieny, 2017, Ushul Fiqh Aplikatif, terj.Kaserun AS. Rahman dan Bobi
Setiawan, Malang: Darul Ukhuwah Publisher
Noorwahidah, Esensi Al-mashlahah Al-Mursalah dalam Teori Istinbat Hukum Imam Syafi'i,
Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin
Darmawati H, Alfikr: Istihsan dan pembaharuan hukum islam, Vol 15 nomor 2 tahun 2011
Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Press.
Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan
Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011
87
Amin,A.ziz. filafat hukum islam fakultas syari’ah semester V, Jakarta.
Abu zahrah Muhammad, ushul fiqih, Jakarta : PT. Pustaka Firadaus (cetakan kesepuluh)
2007
Djazuli H.A., Ilmu Fiqih Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta:
Teungku Muhammad Hasbi sah-Shiddiqie. 2001. Hukum-hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar
Madzhab. Semarang: Pustaka Rizki Putera
Ahmad Sukardja. 2012. Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara Dalam
88