Anda di halaman 1dari 114

i

KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Alhamdulillahirabbil‘Alamiin puja dan puji serta syukur selalu kami


haturkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq,
hidayah, serta ‘inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah mata kuliah Ilmu Kalam dalam rangka menuntaskan Tugas Resume
Makalah guna menuntaskan Ujian Akhir Semester 3 kelompok 13 (Tiga
Belas) yang berjudul "PENGANTAR ILMU KALAM" Sholawat berserta
salam kita haturkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad Sholallahu’alaihi
wassallam beserta para shohabat dan kita sebagai ummat-Nya yang semoga
kita semua mendapat syafa’at-Nya di akhirat kelak Aamiin yaa Rabbal
‘Alamin. Seperti yang diharapkan, bagaimanapun kami juga tidak bisa
memendam ucapan terima kasih yang ingin kami sampaikan kepada Bapak
Dosen H. Agus Nur Qowim, SQ, M. Pd. I selaku pembimbing kami dalam
pembelajaran mata kuliah Ilmu Kalam juga kepada kedua orang tua kami yang
tak pernah lelah mendudukung kami atas tercapainya semua cita-cita kami,
serta kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun
materil kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna serta masih banyak terdapat kekurangannya. Oleh karena itu,
kritik serta saran yang bersifat membangun dari pembabaca adalah sangat
berharga bagi kami guna perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan
makalah kami yang lainnya di masa yang akan datang.Besar harapan kami
semoga Buku ini bisa bermanfaat bagi kita semua serta menjadi tambahan
referensi bagi penyusunan makalah dengan tema yang senanda di waktu yang
akan datang. Semoga bermanfaat Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................i


DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGANTAR ILMU KALAM ..................................................... 5
1. Definisi Ilmu Kalam ............................................................ 5
2. Sumber Pembahasan Ilmu Kalam .......................................7
3. Nama Lain Ilmu Kalam ....................................................... 11
4. Objek Kajian Ilmu Kalam .................................................... 14
5. Tujuan dan Manfaat Ilmu Kalam .........................................23
6. Peran dan Fungsi Ilmu Kalam ..............................................26

B. SEJARAH KEMUNCULAN PERSOA LAN KALAM.................. 27


1. Terbunuhnya Khalifah Utsman ...........................................27
2. Bai’at atas Khalifah Ali Karamallahu wajhah ..................... 33
3. Perang Jamal .......................................................................36
4. Perang Shiffin .......................................................................38
5. Peristiwa Tahkim dan Munculnya khawarij......................... 39

C. KHAWARIJ DAN MURJIAH ........................................................ 41


1. Sejarah dan perkembangan Khawarij dan Murji’ah ............41
2. Sejarah Kemunculan Murji’ah ............................................43
3. Latar belakang Murji’ah ....................................................... 44
4. Tokoh-tokoh Khawarij dan Murji’ah ..................................46
5. Ajaran-ajaran pokok Khawarij dan Murji’ah ...................... 47

ii
D. JABARIYAH DAN QADARIYAH ................................................ 52
1. Pengertian Jabariyah Dan Qabariyah .....................................52
2. Latar Belakang Munculnya Jabariyah Dan Qadariyah ..........53
3. Tokoh-Tokoh Dan Doktrin-Doktrin Jabariyah Dan
Qadariyah ..............................................................................54
4. Kelompok-Kelompok Jabariyah Dan Qadariyah .................. 59
5. Dalil-Dalil Jabariyah Dan Qadariyah ....................................61

E. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MU’TAZILAH DAN


SYIAH ............................................................................................ 63
1. Sejarah kemunculan Mu’tazilah ............................................63
2. Sejarah munculnya Syiah ....................................................... 64
3. Tokoh-tokoh Mu’tazilah dan Syiah .......................................67
4. Ajaran-ajaran Pokok Mu’tazilah dan Syiah ........................... 67
5. Dalil Mu’tazilah dan Syiah .................................................... 70

F. ASY’ARIAH DAN MATURIDIYAH ILMU KALAM ................ 74


1. Riwayat hidup singkat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu
Mansur Al-Maturidi ............................................................... 74
2. Latar Kemunculan Asy’ariah dan Maturdiah ......................... 74
3. Doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah ............75
4. Doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah ............76
5. Apa saja sekte-sekte aliran Maturidiyah .................................77
6. Pengaruh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah ......................... 78
G. WAHABI ....................................................................................... 78
1. Latar Belakang Kemunculan Wahabi .....................................78
2. Perkembangan Doktrin-Doktrin Wahabi ............................... 79
3. Tokoh-Tokoh Wahabi ............................................................ 80

iii
H. AKAL & WAHYU .........................................................................82
1. Akal ....................................................................................... 82
2. Wahyu .................................................................................... 82
3. Hubungan Akal Dan Wahyu .................................................. 83
4. Fungsi Akal Dan Wahyu ....................................................... 83
I. PERBEDAAN PENDAPAT ALIRAN PELAKU DOSA
BESAR MENURUT KHAWARIJ, MURJIAH,
MU’TAZILAH, ASYARIYAH, MATURIDIYAH ....................... 84
1. Pelaku Dosa Besar Menurut Khawarij ................................ 85
2. Pelaku Dosa Besar Menurut Murjiah ..................................85
3. Pelaku Dosa Besar Menurut Mu’tazilah ............................. 86
4. Pelaku Dosa Besar Menurut Asy’ariyah ............................. 86
5. Pelaku Dosa Besar Menurut Maturidiyah ........................... 87
J. PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN: IMAN DAN KUFUR ...... 87
1. Iman dan Kufur Menurut Aliran Khawarij .......................... 87
2. Iman dan Kufur Menurut Murji’ah ...................................... 87
3. Iman dan Kufur menurut Mu’tazilah ................................... 88
4. Iman dan Kufur Menurut Asy’ariyah .................................. 88
5. Iman dan Kufur Menurut Maturidiyah ................................ 89
K. PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN TENTANG
PERBUATAN TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA ............89
1. Perbuatan Tuhan .................................................................. 89
2. Perbuatan Manusia .............................................................. 93
L. PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN TENTANG:
KEHENDAK MUTLAK DAN KEADILAH TUHAN .................. 95
1. Perbuatan Tuhan ................................................................. 95
2. Kehendak Mutlak Tuhan Dan Keadilan Tuhan .................. 96

iv
3. Perbandingan Antar Aliran Tentang Kehendak Mutlak
Tuhan dan Keadilan Tuhan ................................................. 98
M. ILMU KALAM MODERN ............................................................ 99
1. Ilmu kalam modern menurut M. Abduh .............................. 99
2. Ilmu kalam modern menurut K.H Ahmad Dahlan ...............102
3. Ilmu kalam modern menurut K.H Hasyim Asy’ari ............. 108
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................vi

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu kalam dalam agama mempunyai kedudukan yang sama
dengan logika dalam filsafat. Dalam mengkaji agama (al-Qur'an), baik
ayat-ayat yang muhkam maupun yang mutasyabihat sebagai otoritas
teks yang bersumber dari Tuhan, diperlukan sebuah metode untuk
menangkap pesan-pesan-Nya. Ulama-ulama klasik menggunakan ilmu
kalam sebagai metode untuk memantapkan hati dan membela
keyakinan-keyakinan agama dengan menghilangkan berbagai macam
keraguan. Ilmu kalam pada akhirnya menjadi sebuah keniscayaan untuk
dipelajari. Filsafat dan logika digunakan oleh sebagian ulama-ulama
Islam klasik sebagai senjata untuk menangkis serangan-serangan
lawannya, yaitu orang-orang Atheis, Yahudi, Maschi dan Majusi, yang
terus menggelitik kepercayaan-kepercayaan orang Islam dengan
menggunakan senjata yang sama. Senjata itulah yang kemudian menjadi
dasar pertama dalam mengkaji ilmu kalam.

Keyakinan yang benar tidak benar tidak bisa tumbuh kecuali dari
pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang benar tidak akan bisa
lahir kecuali dari cara berpikir yang benar, sementara cara berpikir yang
benar hanya bisa terjadi dari metode berpikir yang benar. Artinya,
metodologi adalah sesuatu yang sangat penting. Barangsiapa yang tidak
menguasi metodologi, berarti ia tidak akan mendapatkan sesuatu secara
benar dan tidak akan bisa mengembangkan apa yang dimiliki.1

1
Abrar M. Dawud Faza, Perspektif Sufistik Ali Shariati Dalam Puisi One Followed
by Eternity of Zeros. Penerbit Panji Aswaja Press, h. 57.

1
Ilmu kalam secara etimologi berarti perkataan, ucapan, firman atau
sabda. Adapun secara terminologi ilmu kalam yaitu ilmu tentang
perkataan mengenai akidah (keagamaan) Islam dengan menggunakan
metode jadal (dialektika) dan dipergunakan untuk mempertahankan
akidah Islam dari serangan non-Muslim yang dianggap sesat ataupun
pemahaman yang sesat.

Adapun definisi ilmu kalam menurut Muhammad Abduh adalah


ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti
ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh pada-Nya, sifat-sifat yang tidak
mungkin ada pada-Nya; membicarakan tentang Rasul-rasul, untuk
menetapkan keutusan mereka, sifat-sifat yang boleh dipertautkan
kepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada
mereka.2

Sejarah mencatat bahwa Khawarij adalah kelompok Islam pertama


yang menekan tombol start kalam, yakni perdebatan mengenai iman.
Menurut Khawarij orang yang percaya kepada Tuhan dan Rasul-Nya
tapi tidak menjalankan kewajiban kewajiban agama atau kemudian
mengerjakan dosa besar, maka ia menjadi kafir karena telah merusak
iman dan iman bukan hanya sekedar kepercayaan semata-mata.
Sebaliknya, golongan Murji'ah mengatakan bahwa iman hanyalah
kepercayan hati semata-mata dan amalan dan amalan lahir tidak menjadi
bagian dari iman. Kelanjutannya adalah menjadi bagian dari orang yang
mengerjakan dosa besar tidak akan mengeluarkannya dari lingkaran
iman, sebagimana semboyannya yang terkenal "Maksiat tidak
berbahaya beserta iman sebagaimana ketaatan tidak akan berguna
beserta kekufuran". Di antara kecamuk kedua aliran yang kontradiktif

2
Muhammad Abduh, Ilmu Kalam Modern, Cet Pertama, h. 75.

2
ini lahirlah Mu'tazilah sebagai aliran penengah, tidak terlalu keras
seperti Khawarij juga tidak terlalu lunak seperti Murji'ah. Mereka
mengatakan bahwa seorang mu'min yang berbuat dosa besar tidak akan
dihukum sebagai mu’min juga seorang kafir, tetapi berada di suatu
tempat di antara dua tempat (al-Manzilah Bain al-Manzilatain).

Memang diakui banyak para tokoh yang menganggap Ilmu Kalam


adalah sarat dengan pertentangan dan paling banyak mengandung
perbedaan. Bahkan ada pula yang menyebutkan Ilmu Kalam tidak
memuaskan orang pintar dan tidak memberi manfaat kepada orang
bodoh, karena mereka belum menemukan intinya. Akan tetapi tidak
sedikit pula para tokoh yang menyebutkan bahwa setiap orang yang
ingin menyelami seluk-beluk agama perlu mempelajari teologi (Ilmu
Kalam), karena ilmu ini sangat banyak manfaatnya.3 Oleh karena itu,
dalam tulisan ini, kami menyebutkan beberapa manfaat dalam
mempelajari Ilmu Kalam dan tidak lupa kami kemukakan sumber
pembahasan serta hubungannya dengan ilmu lainnya.

Ilmu kalam memiliki beberapa nama, antara lain Ilmu Usuluddin


(Ilmu yang mempelajari tentang pokok pokok agama), IlmuTauhid
(Ilmu yang mempelajari keesaan Allah), Fiqh Al-akbar (Pemahaman
tentang agama) Ilmu Kalam, dan Teologi Islam. Adapun yang disepakati
bahwa Ilmu Kalam dasarnya adalah al-Qur'an, al-Hadits. Menurut
Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan
politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan. Dari
sanalah cikal bakal lahirnya tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu aliran
Khawarij (aliran yang keluar dari barisan Ali dan memisahkan diri),
aliran Syi'ah (aliran yang tetap mendukung Ali), dan aliran Mu'tazilah.

3
Ahmad Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001), h. 17.

3
Setelah itu bermunculan pula faham Teologi yang lain yang terkenal,
yaitu Jabariyah dan Qadariyah. Karena Mu'tazilah bercorak rasional,
maka aliran ini mendapat tantangan besar dari golongan tradisional
Islam, yaitu aliran Asy'ariyah dan aliran Al-Maturidiyah yang keduanya
disebut ahlussunah wal jama'ah. Ilmu kalam sering menempatkan
dirinya pada dua pendekatan dasar-dasar argumentasi yaitu Aqli dan
Naqli.4 Oleh karena itulah, dari masa kemasa seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, maka pola pikir yang berbeda pun
semakin banyak bermunculan. Demikian juga dengan ilmu kalam,
pemikiran-pemikiran ilmu kalam dari pertama persoalan ilmu kalam itu
muncul, masa modern, bahkan sampai masa kini terdapat perbedaan
dalam doktrin-doktrin pemikirnya."

Buku ini merupakan pengantar bagi mahasiswa teman-teman di


terkhusus kelas Tarbiyah D semester 3 yang ingin mendalami lebih jauh
berkenaan dengan ilmu kalam. Semoga Buku ini dapat memberikan
kemudahan bagi pembaca dan semoga ada berkah dan keridhaan Allah
Swt, sehingga dapat memberikan kemanfaatan khususnya bagi kami
penyusun, Amin ya Rabbal 'aalamiin.

4
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1978), hlm. 78.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGANTAR ILMU KALAM
1. Definisi Ilmu Kalam
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata kalam diartikan dengan
perkataan atau kata yang dikhususkan kepada Allah Swt.5 Sementara
menurut bahasa dalam perspektif tauhid yaitu ilmu yang
membicarakan/membahas tentang masalah ketuhanan/ketauhidan
untuk mengesakan Allah Swt. Ibnu khaldun memberikan pengertian
bahwa Ilmu Kalam ialah ilmu yang berisi alasan untuk
mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan
menggunakan dalildalil aqli (pikiran) dan naqli (al-Qur’an/Hadits) yang
berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari
pemahaman ataupun keimanan Salaf al-Shalah dan Ahli Sunnah yang
diantaranya keimanan kepada Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tentang rasul-
rasul dan sifat-sifatnya dan kebenaran keutusannya, demikian pula
tentang kebenaran kabar yang dibawa Rasul itu, sekitar alam gaib,
seperti akhirat dan seisinya.6

Ilmu kalam adalah nama lain dari sebagian nama lain dari
sebagian ilmu yang menjadi dasar kepercayaan atau keimanan dalam
Islam. Nama yang sering disebut adalah ilmu tauhid, ilmu aqaid, ilmu
ushuluddin, ilmu kalam dan teologi Islam. Semua ilmu itu membahas
tata cara yang dipakai untuk mengesakan Tuhan dan meningkatkan
keyakinan kepada Allah Swt. Namun antara setiap ilmu itu terdapat
perbedaan corak karena perbedaan penekanan objeknya. Ilmu tauhid

5
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
6
Ahmad Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001), h. 3.

5
melihat dari pentingnya keesaan Tuhan, ilmu aqidah melihat dari segi
keesaan Tuhan itu menjadi keyakinan umat Islam, ilmu kalam melihat
dari segi teknis analisisnya yang menggunakan logika atau mantiq.
Adapun teologi Islam pada mulanya diambil dari istilah asing yang
sering dipakai dikalangan Kristen dalam keyakinan mereka, sehingga
istilah itu kurang sesuai untuk dipakai dalam Islam. Tetapi sekarang
istilah teologi banyak dipakai dalam berbagai segi, bukan hanya untuk
ilmu-ilmu ketuhanan tetapi juga untuk ilmu yang berkaitan persoalan
kemasyarakatan sehingga kita hampir sering mendengar istilah teologi
sekuler, teologi pembebasan dan sebagainya. Karena itu sekarang umat
Islam juga suka menggunakan istilah teologi. Untuk membedakan
dengan keyakinan umat Kristen maka dalam Islam dipakai istilah
Teologi Islam.7

Istilah-istilah ini tidak lahir sejalan dengan kedatangan atau


muncul Islam, tetapi lahir setelah berkembangnya ilmu pengetahuan di
dunia Islam, sejalan dengan perkembangan dan kemajuan lain yang
dicapai dunia Islam seperti yang dijumpai dalam sejarah. Pada masa
awal Islam yang penting adalah pengamalan, bukan ilmu atau
pengetahuan sehingga memberikan nama terhadap ilmu atau
pengetahuan tertentu belum menjadi perhatian sama sekali dari para
ilmuan. Untuk mendalami persoalan yang diangkat pemahaman
terhadap setiap istilah itu sangat penting. Oleh sebab itu pembahasan
dimulai dengan mengemukakan akidah.8 Dinamakan Ilmu kalam
disebabkan alasan-alasan berikut:

7
Afrizal M, Pemikiran Kalam Imam al-Syafi’i, (Pekanbaru: Surat Umat, 2013), h.1
8
Afrizal M, Pemikiran Kalam Imam al-Syafi’i, (Pekanbaru: Surat Umat, 2013), h.2
9
Ahmad Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001), h. 4-5.

6
a. Persoalan penting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad
permulaan Hijriah ialah Firman Tuhan (Kalam Allah) apakah azali
qodim atau baharu non azalinya Qur’an (Khalq al-Quran).
b. Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil ini
nampak jelas dalam pembicaraan para mutakalimin. Mereka
jarang kembali kepada dalil naqli (Quran dan Hadis), kecuali
sesudah menetapkan benarnya pokok persoalan lebih dahulu.
c. Karena cara pembuktian kepercayaan-kepercayan agama
menyerupai logika dalam filsafat, maka pembuktian dalam agama
ini dinamakan ilmu kalam untuk membedakannya dengan logika
dalam filsafat.9

2. Sumber Pembahasan Ilmu Kalam


Adapun sumber dalam pembahasan ilmu kalam yaitu:
a. Al-Qur‘an
Al-Qur‘an adalah kalamullah kitab induk/pedoman, rujukan
utama bagi segala rujukan, sumber dari segala sumber, sumber
segala ilmu sains dan ilmu pengetahuan. Sejauh mana keabsahan
ilmu harus diukur, maka pernyataan al-Qur‘an bisa menjadi
standarnya. Menurut Mulyadhi Kartanegara, al-Qur‘an adalah
buku induk ilmu pengetahuan, di mana tidak ada satu perkara
apapun yang terlewatkan. Semuanya telah tercover di dalam al-
Qur‘an, baik yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
(habl min Allah), hubungan manusia dengan sesama manusia
(habl min an-Naas), ataupun hubungan manusia dengan alam dan
lingkungan.9 Dengan demikian, al-Qur‘an dapat menjadi sumber
inspirasi bagi lahirnya beragam ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu

9
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul ihsan,
2006), h. 119.

7
sosial, ilmu-ilmu budaya dan humaniora, ilmu-ilmu alam,
terutama ilmu-ilmu agama, sebagaimana tertera dalam QS. al-
An‘am: 38.10

ٓ َّ ‫ض َو َْل ۤط ِٕى ٍر ي َِّطيْر ِب َجنَا َح ْي ِه ا‬


ْ ‫ِْل ا َم ٌم اَ ْمثَالك ْم ۗ َما فَ َّر‬
‫طنَا‬ ِ ‫َو َما ِم ْن َد ۤا َّب ٍة ِفى ْاْلَ ْر‬
ِ ‫فِى ْال ِكت‬
َ ‫ب ِم ْن‬
َ‫ش ْيءٍ ث َّم اِلى َربِ ِه ْم يحْ شَر ْون‬

“Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada
sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab11, kemudian
kepada Tuhan mereka dikumpulkan.” (QS. Al-An’am Ayat 38).

Achmad Baiquni menegaskan bahwa sebenarnya segala


ilmu yang diperlukan manusia itu tersedia di dalam al-Qur‘an12.
Ayat rujukan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan tidak
dimiliki oleh agama ataupun kebudayaan lain. Hal ini
mengindikasikan betapa penting ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia. Sekaligus juga membuktikan betapa
tingginya kedudukan sains dan ilmu pengetauan dalam al-Qur‘an.
Dalam konteks ini, al-Qur‘an telah memerintahkan kepada
manusia untuk selalu mendayagunakan potensi akal, pengamatan,
pendengaran dengan semaksimal mungkin13, sehingga melahirkan

10
Suparmin dan Toto Suharto, Ayat-ayat aL-Qur’an Tentang Rumpun Ilmu
Agama, Perspektif Epistemologi Integrasi-Interkoneksi(Jakarta: FATABA Press, 2013), h.1.
11
Sebahagian mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul mahfudz dengan
arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul mahfudz. dan
ada pula yang menafsirkannya dengan al-Quran dengan arti: dalam al-Quran itu telah ada
pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pimpinan untuk
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya.
12
Achmad Baiquni, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, (Yogyakarta:
Dana Bakhti Prima Yasa, 1997), h. 17
13
Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan
Zaman (Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 228.

8
beragam ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan manusia
itu sendiri.14 Sebagai sumber ilmu kalam, al-Qur’an juga banyak
menyinggung hal yang berkaitan dengan keimanan kepada Tuhan
semesta alam.
QS. al-Ikhlas ayat 1- 4.
ٌ‫ َولَ ۡم َيك ۡن لَّهٗ كف ًوا اَ َحد‬. ‫ لَ ۡم َيل ِۡد ۙ َولَ ۡم ي ۡولَ ۡد‬. ‫ص َمد‬ ‫ق ۡل ه َو ه‬
‫ َ ه‬. ٌ‫ّٰللا ا َ َحد‬
َّ ‫ّٰللا ال‬

“1. Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa. 2. Allah adalah


Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada
beranak dan tidak pula diperanakkan. 4. dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia.”

b. Hadits
Hadits secara etimologi adalah segala sesuatu yang
diperbincangkan yang disampaikan baik dengan suara maupun
dengan tulisan. Secara terminologi, oleh jumhur ulama dikatakan
bahwasanya Hadits merupakan sinonim dari Sunnah. Namun
sebagian ulama membatasi pengertian Hadits terhadap apa-apa
yang merupakan perkataan beliau semata, dan di dalamnya tidak
tercakup perbuatan maupun takrir (pernyataan) beliau. Tetapi
yang benar bahwasanya sunnah itu secara bahasa hanya mencakup
dua hal yaitu perbuatan dan pernyataan., sedangkan asal dari
Hadits adalah perkataan. Namun mengingat keduanya merupakan
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Swt, maka
kebanyakan ulama hadits lebih condong menjadikan keduanya
sebagai suatu yang memiliki pengertian yang sama tanpa
menghiraukan pengertian keduanya secara bahasa. Mereka lebih
condong untuk mengkhususkan pengertian hadits Marfu' sebagai

Suparmin dan Toto Suharto, Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Rumpun Ilmu Agama
14

Perspektif Epistemologi Integrasi-Interkoneksi, h. 2

9
Hadits yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw dan tidak
menetapkannya terhadap Hadits yang berasal dari selain beliau
kecuali dengan mentaayidnya (seperti dengan mengatakan hadits
ini marfu' kepada sahabat fulan).

Kajian hadis memasuki puncak kepopuleranya ketika


memasuki masa tadwin pada abad ke II hijriah yang dikomandoi
oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz,15 yang mana Khalifah Umar
bin Abdul Aziz memang dikenal berbeda dengan khalifah-
khalifah sebelumnya, karena beliau merupakan pencetus
kodifikasi hadis,16 sehingga ketika itu, hadis menjadi sebuah
bahan kajian yang begitu menggiurkan, bahkan pasca setelah
tadwin muncul berbagai karya kitab yang sangat luar biasa,
sebagaimana munculnya ragam literatur hadits.17

c. Hasil Pemikiran yang Mendalam


Hasil pemikiran manusia khususnya dari orang-orang
memiliki keilmuan yang mendalam memberikan warna terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini sumber
pembahasan dalam ilmu kalam juga dipengaruhi dari hasil
pemikiran berkenaan dengan ketuhanan. Dalam kamus bahasa
Idonesia, kata pemikiran diartikan dengan sesuatu yang diterima
oleh seseorang dan dipakai sebagai pedoman, sebagaimana
diterimanya dari masyarakat sekelilingnya.18 Sementara dalam

15
Miftakhul Asror dan Imam Musbikhin, Membedah Hadits Nabi Muhammad Saw
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 56
16
Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis,
Esensia, XIV (2013): h. 258.
17
Miftakhul Asror dan Imam Musbikhin, Membedah Hadits Nabi Muhammad Saw,
h. 56.
18
Kamus Besar Bahasa Indonesia

10
bahasa Inggris dikenal dengan istilah Inference, yang berarti
mengeluarkan suatu hasil berupa kesimpulan. Ditinjau dari segi
terminologi pemikiran adalah kegiatan manusia mencermati suatu
pengetahuan yang telah ada dengan menggunakan akalnya untuk
mendapatkan atau mengeluarkan pengetahuan yang baru atau
yang lain.

2. Nama Lain Ilmu Kalam19


a. Ilmu kalam
Dinamakan ilmu kalam karena membahas tentang ketuhanan
yang logika maksudnya dalil-dalil Aqliyah dari permasalahan sifat
kalam bagi Allah seperti persoalan. Apakah alQur’an itu Qodim
(azali) atau Hadits (baharu). Persoalan Qodimiyah Kalamullah.
Penggunaan dalil aqli yang sebegitu rupa hingga sedikit
penggunaan dalil naqli. Penggunaan metode argumentasi yang
menyerupai mantiq.

b. Ilmu Ushuluddin

Ilmu Kalam disebut juga sebagai Ushuluddin atau Ilmu Aqaid.


Hal ini disebabkan Ilmu Kalam membahas ajaran dasar agama
Islam, yaitu keimanan atau keyakinan yang menjadi pokok dari
ajaran agama. Ajaran dasar ini dapat disebut juga Aqaid (jamak dari
aqidah).

c. Ilmu Tauhid

Sebab penamaan Ilmu Tauhid adalah karena ilmu ini


membahas masalah keesaan Allah SWT yang beri’tiqat “I’tiqodun

19
https://www.synaoo.com/ilmu-kalam/ akses tanggal 12 September 2022.

11
biannallahata’ala waahidada laasyariikalah”, mengiqtiqatkan
bahwa Allah Swt Maha Esa tidak sekutu baginya.

d. Teologi Islam

Disebutkan teologi islam karena membicarakan zat Tuhan dari


segalah aspeknya. Dan perhatian Tuhan dengan Alam semeseta
karena teologi sangat luas sifatnyat. Teologi setiap agama bersifat
luas maka bila di pautkan dengan islam (teologi islam)
pengertiannya sama dengan ilmu kalam disebut pula ilmu jaddal
(debat) ilmu alqoid dll.

Berkenaan dengan pengertian ilmu kalam, banyak ahli yang


telah memberikan penjelasan. Musthafa Abd ar-Raziq menyebut
ilmu kalam dengan beberapa nama, antara lain: ilmu ushuluddin,
ilmu tauhid, fiqh al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut ilmu
ushuluddin karena ilmu ini membahas tentang pokok-pokok agama.
Sementara itu, ilmu tauhid adalah suatu ilmu yang di dalamnya
dikaji tentang asma' (nama-nama) dan sifat yang wajib, mustahil
dan ja'iz bagi Allah, juga sifat yang wajib, mustahil dan ja'iz bagi
Rasul-Nya. Ilmu tauhid juga membahas tentang keesaan Allah Swt,
dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya. Sementara fiqhul akbar
adalah ilmu yang membahas tentang keyakinan. Kondisi seperti ini
menunujukkan bahwa ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, hanya
saja argumentasi ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada
penguasaan logika. Oleh sebab itu, sebagian teolog membedakan
antara ilmu kalam dan ilmu tauhid.20

20
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007,
h. 3.
22
Ahmad Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001), h. 3

12
Ahmad Hanafi menyatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang
membicarakan tentang wujudnya Tuhan (Allah Swt), sifat-sifat
yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan
sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang
Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan
mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak
mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat
padanya.22 Ada pula yang mengatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu
yang membicarakan bagaimana menetapkan keimanan agama Islam
dengan bukti-bukti yang yakin. Menurut Harun Nasution, teologi
dalam Islam disebut `ilm al-Tauhid. Kata tauhid mengandung arti
satu atau Esa dan keEsaan dalam pandangan Islam, sebagai agama
monotheisme merupakan sifat yang terpenting di antara segala sifat-
sifat Tuhan. Teologi Islam disebut pula `ilm al-Kalam.

Kalam adalah kata-kata, sehingga dengan pengertian kalam ini


muncul dua pemahaman. Pertama, kalam ialah firman Tuhan.
Karena soal kalam sebagai firman Tuhan atau al-Quran di kalangan
umat Islam pada abad ke sembilan dan ke sepuluh Masehi pernah
menimbulkan pertentangan-pertentangan keras sehingga timbul
penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama
muslim pada masa itu. Kedua, yang dimaksud kalam adalah kata-
kata manusia, karena kaum teolog Islam bersilat lidah dengan kata-
kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-
masing. Teolog dalam Islam dinamai dengan mutakallimun yaitu
ahli debat yang pandai memakai kata-kata.21 Ilmu tauhid dengan
ilmu kalam sebenarnya dimaksudkan untuk membedakan antara

21
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1978), h. ix.

13
mutakallimun dengan filosof muslim. Mutakallimun dan filosof
muslim mempertahankan atau memperkuat keyakinan mereka
dengan menggunakan metode filsafat tetapi mereka berbeda dalam
landasan awal berpijak. Mutakalimun lebih dahulu bertolak dari al-
Quran dan Hadis (wahyu) yang diyakininya (diimani), kemudian
disertakan pembuktian dalil-dalil rasional. Sementara filosof
berpijak kepada logika. Artinya, mereka melakukan sebuah
pembuktian secara rasional, kemudian meyakininya. Meskipun
demikian, tujuan yang ingin dicapai adalah satu yaitu ke-Esaan
Allah dan ke-Mahakuasaan Allah Swt.22
Menurut Nurcholish Madjid, ilmu kalam sering diterjemahkan
sebagai teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama
dengan pengertian teologia dalam agama Kristen. Misalnya dalam
pengertian teologi Kristen, ilmu fiqih dalam Islam termasuk teologi.
Karena itu sebagian di kalangan ahli ada yang menghendaki
pengertian yang lebih praktis untuk menerjemahkan ilmu kalam
sebagai teologis dialektis atau teologi rasional, dan mereka
melihatnya sebagai suatu disiplin ilmu yang sangat khas dalam
Islam.23
3. Objek Kajian Ilmu Kalam
Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh obyeknya. Ada dua
macam obyek ilmu pengetahuan yaitu obyek materia dan obyek forma.
Obyek materia ialah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan obyek
penyelidikan suatu ilmu. Obyek forma ialah obyek materia yang disoroti

22
Rohanda WS, Ilmu Kalam dari Klasik sampai Kontemporer, (Bandung: Najwa
Press, 2006), h. 3.
23
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 201-
202.

14
oleh suatu ilmu, sehingga membedakan ilmu yang satu dengan ilmu
lainnya.24

Ilmu Kalam merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang


ditentukan oleh obyeknya juga, yaitu obyek materia dan obyek forma.
Obyek materia ilmu Kalam adalah seluruh lapangan atau bahan yang
dijadikan obyek penyelidikannya, yaitu seperti yang disampaikan oleh
Ahmad Bahjat bahwa ilmu Kalam adalah ilmu yang mengkaji tentang
keyakinan kepada Allah, asma’ Allah, dan sifat­sifatNya, para nabi, para
rasul dan risalahnya, qada’ dan qadar, serta hisab di hari akhir. Fokus
kajian ilmu ini ialah al-’Aqa’id dan Usul al-Din dengan tujuan
memelihara akidah Islam dari pemikiran syirik. Adapun obyek
formanya adalah obyek materia yang disoroti oleh Ilmu Kalam atau
oleh para Mutakallimun, yaitu berupa pembelaan-pembelaan,
argumentasi, dan rasionalisasi yang mereka yakini kebenarannya
dengan uraian sebagai berikut:

a. Keyakinan akan Kalam Allah (al­Qur’an)


Berbagai macam problem teologis berkembang di dalam konsep
Arab Muslim, namun problem-problem itu tidak sepenuhnya dapat
terselesaikan dengan peristilahan konsep-konsep Arab Muslim.

Para pemikir Muslim menemukan bahwa para filosuf Yunani


dan teolog Kristen telah merumuskan sebuah tradisi argumentasi
yang dengannya para pemikir Muslim dapat menggunakan konsep-
konsep mereka. Tradisi kuno ini diperkenalkan oleh kalangan non
Arab Muslim lewat perdebatan antara Muslim dan Kristen di
Damaskus, di tengah Istana Khilafah Umayyah yang toleran dan

24
Endang Saipuddin Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1979), h. 50.

15
penuh keragaman agama, dan penerjemahan literatur Syria dan
Yunani ke dalam bahasa Arab. Hal ini mendorong pemikir-pemikir
Muslim untuk mengadopsi peristilahan Hellinistik dan bentuk-
bentuk argumentasi rasional umat Kristen Yunani.

Jadi, teologi sebagian merupakan produk milik Muslim


perkotaan dan sebagian merupakan produk interes terhadap filsafat
dan keagamaan kalangan istana kekhilafahan. Di kalangan teologi
Muslim, kelompok yang terpengaruh oleh dialektika Yunani adalah
Mu`tazilah. Mereka berpendirian teguh terhadap keesaan dan
transendensi Tuhan dengan menegaskan bahwasanya hanya terdapat
satu Tuhan, sebagai Zat yang Maha Suci, Tuhan tidak menyerupai
segala bentuk ciptaan-Nya, tidak seperti pribadi manusia, dan tidak
terbagi-bagi dalam bagian yang manapun. Menurut istilah
Aristotelian yang diadopsi oleh Mu`tazilah, esensi Tuhan adalah
eksistensi-Nya sendiri.27 Di antara doktrin Mu`tazilah yang
merupakan akibat logis dari konsep mereka mengenai transendensi
dan keesaan Tuhan adalah doktrin al­Qur’an sebagai sesuatu yang
diciptakan makhluk dan bukan bagian dari esensi Tuhan, sebagai
bantahan terhadap pandangan Kristen ortodoks bahwasanya Yesus,
Logos Firman Tuhan, telah mendahului Tuhan sebagai bagian dari
esensi-Nya sehingga semua itu sama kekalnya dengan Tuhan.27

Kelompok Mu`tazilah menolak logos Muslim, yakni al­Qur’an,


sebagai bagian dari Tuhan atau ia sendiri adalah Tuhan, sebaliknya
aliran ini menegaskan bahwa al­Qur’an merupakan makhluk yang
berupa pesan-pesan yang diwahyukan oleh Tuhan ke dalam diri
Muhammad. Kelompok Muslim lainnya menolak konsep ini, dan
permasalahan ini menjadi topik utama dalam teologi Muslim dan

16
pada akhirnya menjadi isu terpenting dalam politik keagamaan
Khilafah Abasiyah.25

b. Keyakinan Akan Makna Iman


Keyakinan akan makna iman Abu Hanifah dalam risalahnya al-
Fiqh al-Akbar menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan iman ialah
al-Iqrar dan al-Tasdiq, pernyataan dan pembenaran. Sedangkan
Islam ialah al-Taslim dan al-Inqiyad, penyerahan diri dan tunduk
terhadap perintah-perintah Allah Swt. Ia lebih lanjut menjelaskan
bahwa dari sisi etimologi keduanya terpisah, akan tetapi seseorang
tidak bisa disebut beriman kalau tidak disertai dengan Islam dan
sebaliknya, tidak ada Islam kalau tidak ada iman. Ia mengibaratkan
bahwa keduanya bagaikan dhahir dan batin. Agama merupakan
rangkaian dari tiga unsur, yaitu iman, Islam dan syari`at.26

Adapun amal perbuatan menurut Abu Hanifah tidak termasuk


bagian dari iman, hal itu berbeda dengan pandangan Mu`tazilah dan
Khawarij yang menyatakan bahwa amal perbuatan merupakan bagian
dari iman. Dengan demikian, menurut dua kelompok terakhir itu,
seseorang tidak dianggap mukmin jika tidak beramal. Sedangkan
menurut Fuqaha dan Muhadditshin bahwa amal terkait dengan
kesempurnaan iman. Oleh karena itu, orang yang tidak melaksanakan
syari`at tetap disebut mukmin, akan tetapi imannya dianggap tidak
sempurna. Kedua pandangan tersebut berbeda dengan pandangan
Abu Hanifah yang menyatakan bahwa iman tidak bertambah dan
tidak berkurang. Pandangan inilah yang membedakan antara Abu

25
Lapidus, A History of Islamic Societies (New York: Cambridge University Press,
1988), h. 106.
26
Abu Hanifah al-Nu`man, al-Fiqh al-Akbar (Mesir: al-Matba`ah al-`Amirah,
1324), h. 6.

17
Hanifah dan Ahmad bin Hanbal yang menyatakan bahwa iman itu
bertambah dan berkurang.27

Abu Hanifah tidak sepaham dengan pandangan yang


menyatakan bahwa iman bertambah dan berkurang, karena
bertambahnya iman akan terlihat dengan berkurangnya kufur dan
sebaliknya berkurangnya iman terlihat dengan bertambahnya kufur.

Bagaimana mungkin seseorang dalam satu waktu disebut


sebagai mukmin dan kafir. Lebih lanjut ia menjelaskan tentang ayat
al­Qur’an dan Hadits yang mengisyaratkan bertambahnya iman,
bahwa konteks ayat al­Qur’an dan Hadits tersebut untuk para sahabat,
karena al­Qur’an diturunkan setiap saat maka mereka beriman dan
iman mereka bertambah dari sebelumnya, yang bertambah adalah
eksistensi iman bukan esensi iman.28

c. Keyakinan Akan Qada’ dan Qadar


Selama periode pemerintahan Bani Umayyah, muncul diskursus
di kalangan umat Islam mengenai apa yang disebut oleh kalangan
Modern Barat sebagai permasalahan tentang kehendak bebas (free
will) dan taqdir (predestination). Konsepsi utamanya adalah bahwa
qadar Tuhan atau kekuasaan Tuhan untuk menentukan semua
kejadian itu terkait dengan perbuatan manusia.

Doktrin Sunni standar menyebutkan bahwa Tuhan dengan qadar-


Nya menentukan semua kejadian dan perbuatan manusia.

27
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology Edinburgh: The
University Press, 1985), h. 58.
28
Mulla Husayn, Kitab fi Sharh Wahsiyyat al-Imam al-A`dam Abi Hanifah
(Haidarabad: Da’irat al-Ma`arif al-Nidamiyah, 1321), hlm. 4-5, dan Akmal al-Din, Sharh
Washiyyat al-Imam al-A`dam (Leiden: Universities Bibliotheek, t.th), h. 12-14.

18
Tampaknya janggal ketika nama Qadariyah dalam penggunaan yang
standar diaplikasikan ternyata bukan untuk orang-orang yang
meyakini atau yang menentang doktrin ini, tetapi justru dipakai untuk
orang-orang yang menolaknya. Kemudian Qadariyah diartikan
sebagai kelompok yang mengimani terhadap kehendak bebas
manusia. Namun, seperti kajian-kajian teologi Islam awal, diskursus
ini bukan merupakan pembahasan secara akademik murni, akan
tetapi terkait dengan kepentingan-kepentingan politik, sebagai
contoh justifikasi Umayyah terhadap jabatan kekuasaannya dan
alasan-alasan yang ditujukan terhadap lawan-lawannya.29 Problem
kebebasan kehendak dan paham Qadariyah dimunculkan oleh
kelompok Khawarij, pendirinya adalah Ma`bad al-Juhani dari suku
Juhaya. Ia mendasarkan pandangannya dari seorang Kristen Iraq
yang bernama Susan yang memeluk agama Islam namun ia kembali
memeluk Kristen. Tidak dapat diketahui secara pasti bagaimana ia
memformulasikan doktrin Qodariyyah, namun paling tidak ia
berpandangan bahwa manusia bebas untuk berbuat, khususnya bagi
orang yang melakukan kesalahan dan keraguan.

Oleh karena itu, ia menolak pandangan yang menyatakan


bahwa perbuatan salah yang dilakukan oleh Bani Umayyah
merupakan ketentuan Tuhan.30 Permasalahan ini menghadirkan isu
tentang seorang anak kecil, apakah ia secara otomatis sebagai
muslim atau ia harus memilih sendiri suatu keanggotaan di tengah
komunitas Khawarij, dalam masalah ini, berpendapat bahwa seorang
anak mempunyai kewenangan dalam memilih, hal itu sesuai dengan
pandangan mereka bahwa orang yang dikatakan muslim sejati

29
Watt, Islamic Philosophy, h. 82.
30
Watt, Islamic Philosophy, h. 85.

19
adalah orang yang tidak berbuat dosa, ini mengisyaratkan bahwa
setiap orang mempunyai pilihan dan ia harus bertanggung jawab
atas pilihannya sendiri. Oleh karena itu, Murji’ah dan Mu`tazilah
sepakat dan meyakini bahwa manusia mempunyai kebebasan
kehendak (free will).

Kelompok Mu`tazilah mempunyai konsep keesaan dan


transendensi Tuhan, konsekuensi logis dari konsep ini adalah sebuah
doktrin kebebasan moral dan pertanggungjawaban manusia: bahwa
manusia mempunyai kebebasan untuk memilih sikap dan perbuatan
mereka sendiri. Sikap dan perbuatan tersebut tidak diciptakan atau
ditentukan oleh Tuhan. Dalam mempertahankan pandangannya ini,
Mu`tazilah berdalih pada keadilan Tuhan, karena Tuhan secara pasti
akan mengadili, menghukum dan memberi pahala kepada manusia
lantaran perbuatan mereka. Dan mereka juga berdalih pada kebajikan
Tuhan, pencipta perbuatan jahat adalah manusia sendiri, dan sama
sekali bukan ciptaan Tuhan. Mereka beragumentasi, jika manusia
secara moral tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat, niscaya hal
itu mengisyaratkan bahwa Tuhan menjadi penyebab kejahatan.31

d. Keyakinan Akan Keadilan Tuhan


Keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai
kekuatan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak
hati-Nya dalam kerajaannya. Tuhan dalam faham kaum Ash`ariyah
dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya hal
sedemikian itu, menurut pandangan manusia, adalah tidak adil. al-
Ash`ari berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau

31
Lapidus, A History of Islamic Societies (New York: Cambridge University Press,
1988), h. 105

20
memasukkan seluruh manusia ke dalam surga dan tidaklah bersifat
zalim jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka.

Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar


hukum, dan karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau
hukum, perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.
Keadilan dalam faham Ash`ariyah ialah keadilan Raja Absolut, yang
memberi hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada
suatu kekuasaan, kecuali kekuasaannya sendiri. Hal itu berbeda
dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa keadilan Tuhan bersifat
keadilan Raja Konstitusional, yang kekuasaannya dibatasi oleh
hukum, sungguhpun hukum itu adalah buatannya sendiri.32

e. Keyakinan Akan Perbuatan-Perbuatan Tuhan


Berangkat dari uraian tentang kekuatan mutlak dan keadilan
Tuhan, kaum Mu`tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat
disimpulkan dalam suatu kewajiban,yaitu kewajiban berbuat baik
dan terbaik bagi manusia, tidak membebani manusia di luar
kemampuannya, mengirim para Rasul, dan memberi janji dan
ancaman. Bagi kaum Ash`ariyah, faham Tuhan mempunyai
kewajiban tidak dapat diterima, karena hal itu bertentangan dengan
faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka anut.
Mereka berpendapat bahwa Tuhan dapat berbuat apa saja sekehendak
hati-Nya terhadap makhluk mengandung arti bahwa Tuhan tidak
mempunyai kewajiban apa-apa.33

32
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1978), h. 124-127.
33
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
hlm. 128.

21
f. Keyakinan Akan Sifat-Sifat Tuhan
Ada permasalahan berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan
mempunyai sifat atau tidak. Mu`tazilah berpendapat, jika Tuhan
mempunyai sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan Zat Tuhan.
Selanjutnya jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal
bukanlah satu, tetapi banyak. Mu’tazilah mengatakan, kekalnya sifat-
sifat akan membawa kepada faham banyak yang kekal (ta`addud
al­qudama’).

Hal ini selanjutnya membawa faham syirik atau polytheisme.


Suatu kenyataan yang tidak dapat diterima dalam ilmu Kalam. Kaum
Ash`ariyah menyatakan dengan tegas bahwa Tuhan mempunyai sifat,
karena perbuatan-perbuatannya, di samping menyatakan bahwa
Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya juga
menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya.

Kaum Asy`ariyah juga tidak menerima anthropomorphisme


dalam arti Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan
sifat-sifat jasmani manusia. Walapun demikian, mereka mengakui
bahwa Tuhan sebagai disebut dalam al­Qur’an, mempunyai mata,
muka, tangan dan sebagainya, tetapi mata, muka, tangan dan
sebagainya itu tidak sama dengan yang ada pada manusia. Mu’tazilah
berpendapat bahwa kata-kata tersebut tidak boleh diberi interpretasi
lain dan tidak boleh digambarkan bagaimana bentuknya atau
definisinya. Berbeda dengan kaum Ash`ariyah, logika Mu`tazilah
menyatakan bahwa Tuhan, karena bersifat immateri, tidak
mengambil tempat, maka tidak dapat dilihat dengan mata kepala.

22
Oleh karena itu, ayat-ayat yang menggambarkan bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi interpretasi lain.34

4. Tujuan dan Manfaat Ilmu Kalam35


a. Menguatkan keimanan
Mempelajari ilmu kalam yang didalamnya dibahas mengenai
masalah ketuhanan (Allah Swt), rosul, alam ghaib dan segala sesuatu
yang berkaitan dengan rukun iman dalam islam, sehingga dapat
menguatkan keimanan seseorang. Hal ini orang yang mempelajari ilmu
kalam akan disuguhkan dalil-dalil dan yang menguatkan argumen
tentang akidah islam sehingga nantinya akan timbul cara berpikir
rasional atau logis yang menghubungkan keyaninan dalam beragama
islam ditambah dengan penguatan argumen yang didapat saat belajar
ilmu kalam. Argumen yang dimaksud adalah alasan pembelaan atau
alasan dasar untuk mengimani semua yang ada dalam “Rukun Iman”.

b. Memberikan jawaban atas penyimpangan ajaran.


Pada saat ini tidak sedikit masalah yang ada terkait penyimpangan
ajaran agama islam. Penyimpangan ajaran yang ada biasanya disertai
dengan ideologi ekstrim maupun mengandung kesalahan yang
membelokkan kebenaran, maka dari itu mempelajari ilmu kalam akan
memberikan jawaban kebenaran ketika terdapat fenomena
penyimpangan ajaran agama di masyarakat yang bisa diakibatkan oleh
banyak faktor terutama faktor lingkungan. Manfaat ini sangat penting
sebagai pondasi keimanan seseorang agar tidak mudah terpengaruh

34
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1978), h. 136-137.
35
https://manfaat.co.id/manfaat-mempelajari-ilmu-kalam diakses malam Selasa
tanggal 13 September 2022.

23
dengan paham paham yang beraliran islam tetapi nyatanya berbeda
sekali dengan islam yang sebenarnya.

c. Menguatkan pondasi keimanan


Pondasi adalah dasar untuk menguatkan. Pada masalah keimanan
dalam kehidupan beragama perlu memiliki penguatan yang tetap hal
ini dimaksudkan untuk menghindarkan seseorang dari bahaya ideologi
agama yang serupa tapi tak sama secara kasarnya bisa disebut aliran
sesat. Ilmu kalam akan memberikan pondasi atau dasar keimanan pada
seseorang yang mempelajarinya karena dalam ilmu kalam pada agama
islam akan dibahas mengenai masalah ketuhanan (Allah Swt) beserta
sifat-nya, nabi dan rosul, hal hal ghaib, alam akhirat yang disertai
penjelasam menggunakan sumber dari dalil-dalil yang benar. Pondasi
keimanan selain dibangun dari dalam diri sendiri dengan mempercayai
adanya tuhan (Allah Swt), rosul, kitabkitab Allah, malaikat, takdir, dan
hari akhir juga dibangun dari pembiasaan dalam mempelajari lebih
detail mengenai agama yang dipeluknya.

d. Mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan benar


Manfaat selanjutnya yaitu seseorang yang memepelajari ilmu
kalam dengan baik diharapkan mendapatkan manfaat untuk bisa terus
mengamalkan ajaran agama islam dengan sebaik-baiknya. Selain itu
diharapkan bisa terus istiqamah dijalan Allah setelah memperoleh
penguatan pondasi keimanan pada saat belajar ilmu kalam
dibandingkan hanya mempercayai sesuatu tanpa dasar ilmu
pengetahuan yang jelas. Hal ini akan menambah nilai positif dan
membuat seseorang selalu dekat dengan Allah melalui ilmunya serta
menjadi jalan pemberi ilmu bagi orang lain yang masih belum
mengerti.

24
e. Memberikan arahan dan petunjuk kepada orang-orang yang
membutuhkan nasihat
Manfaat selanjutnya yaitu berkenaan dengan orang lain.
Mempelajari ilmu kalam akan membuat seseorang memiliki landasan
pengetahuan yang baik sehingga dari pengetahuan yang didapatkan
setelah mempelajari ilmu kalam dapat diamalkan kepada orang lain
bisa dalam bentuk ceramah atau memberikan nasihat pada yang
membutuhkan. Terkadang ada orang lain disekitar yang menginginkan
penjelasan tentang masalah tertentu yang berhubungan dengan ilmu
kalam sehingga sebagai seseorang yang mengetahui serta telah
mempelajari ilmu kalam kita bisa memberikan penjelasan kepada
orang tersebut.

f. Mengarahkan ke jalan yang benar


Manfaat selanjutnya yaitu mengarahkan ke jalan yang benar
maksudnya yaitu ilmu kalam yang mengandung kebenenaran tentang
ajaran islam yang bersumber dari al-Qur’an, Hadist, dan pemikiran
manusia bisa mengarahkan seseorang yang kurang paham dengan
akidah Islam yang sebenarnya menjadi paham dan memperkuat
keimanannya serta berada di dalam jalan allah yang benar.

Dari manfaat yang beragam diatas seseorang yang mempelajari


ilmu kalam bisa mendapatkan banyak manfaat yang sangat penting
bagi kehidupan beragama Islam. Salah satu manfaat terbesar yaitu
dapat memperkuat keimanan dan menambah pengetahuan sebagai
orang yang berilmu. Tak lupa bahwa setelah mempelajari ilmu kalam,
ilmu tersebut bisa diamalkan kepada orang lain.

25
5. Peran dan Fungsi Ilmu Kalam36
a. Memberikan penjelasan landasan keimanan umat islam melalui
pendekatan filsafat dan logis, sehingga kebenaran-kebenaran Islam
tidak saja dipahami secara dogmatis (diterima apa adanya) tetapi bisa
juga dipaparkan.
b. Menopang dan menguatkan sistem nilai ajaran islam yang terdiri atas
3 pokok, yaitu: Iman sebagai landasan akidah, Islam sebagai
manifestasi syariat, ibadah, dan muamalah, Ihsan sebagai aktualisasi
akhlak.
c. Turut menjawab penyimpangan teologi agama lain yang dapat
merusak akidah umat Islam khususnya ketika Islam bersinggung
dengan teologi agama lain dalam masyarakat yang heterogen
(berbeda-beda).
d. Berfungsi sebagai ilmu yang dapat mengajak orang yang baru untuk
mengenal rasio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional.
e. Berfungsi menolak akidah yang sesat dengan berusaha menghindari
tantangantantangan dengan cara memberikan penjelasan duduk
perkaranya. Kemudian membuat suatu garis kritik sehat berdasarkan
logika.
f. Untuk memperkuat, membela dan menjelaskan akidah Islam. Dengan
adanya ilmu kalam bisa menjelaskan, memperkuat dan membelanya
dari berbagai penyimpangan yang tidak sesuai dengan ajaran islam.
g. Untuk menolak akidah yang sesat denga berusaha menghindari
tantangan-tantangan dengan cara memberikan penjelasan yang logis,
selanjutnya membuat suatu garis kritik sehat berdasarkan logika.

36
https://www.synaoo.com/ilmu-kalam/ akses tanggal 13 September 2022.

26
Dengan ilmu kalam bisa memulihkan kembali ke jalan yang murni,
pembaharuan dan perbaikan terhadap ajaran-ajaran yang sesat.

h. Ilmu kalam berfungsi sebagai ilmu yang dapat mengokohkan dan


menyelamatkan keimanan pada diri seseorang dari ketersesatan.
Karena dasar argumentasi ilmu kalam adalah rasio yang didukung
dengan al-Qur’an dan Hadits. Sekuat apapun kebenaran rasional akan
dibatalkan jika memang berlawanan dengan al-Qur’an dan Hadits.

B. SEJARAH KEMUNCULAN PERSOALAN KALAM


1. Terbunuhnya Khalifah Utsman
Utsman bin Affan dilantik menjadi pemimpin negara tiga hari
setelah jenazah Umar bin Khattab disemayamkan. Pengangkatannya
sebagai khalifah berdasarkan suara mayoritas, meski awalnya
Utsman keberatan dan menyarankan agar Ali bin Abi Thalib saja
yang menjadi khalifah. Berdasarkan laporan Az-Zuhri, Imam As-
Suyuti dalam Tarikh Khulafa menjelaskan, Utsman bin Affan
menjabat sebagai pemimpin negara selama dua belas tahun. Enam
tahun pertama atau separuh dari masa kepemimpinannya, Utsman
tampak cakap menjalankan roda pemerintahan. Bisa dipastikan
samua rakyat merasa puas terhadap kebijakannya. Belum lagi
sikapnya yang lemah lembut menjadi daya tarik tersendiri, karena
sebelumnya rakyat dipimpin oleh Umar yang berperangai lebih tegas.
Kondisi yang berbeda terjadi pada separuh terakhir dari masa
pemerintahannya. Karakter Utsman yang lembut ternyata
membuatnya kurang tegas dalam mengambil keputusan, termasuk
dalam menurunkan aparatur-aparatur pemerintah yang kurang
berkompeten. Ditambah lagi praktik nepotisme yang ia lakukan.
Konon, ia banyak mengangkat pejabat dari kalangan keluarga sendiri

27
dan Bani Umayah (kaum sendiri) yang tidak hidup semasa
Rasulullah.

Salah satu saudara yang Utsman angkat sebagai pejabat adalah


Abdullah bin Sarah sebagai Gubernur Mesir. Ini merupakan salah
satu praktik nepotisme Utsman yang akan menjadi penyebab
kematiannya.

Imam Adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ mencatat,


Abdullah merupakan saudara sesusu Utsman. Sedikit laporan
tentang Abdullah bin Sarah. Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidâyah
wan Nihâyah mengisahkan, Abdullah bin Sarah merupakan salah
satu sahabat Nabi yang ditugasi sebagai pencatat wahyu. Hanya saja
ia berkhianat dan murtad. Pada saat penaklukan kota Makkah, ada
beberapa orang yang tidak Nabi ampuni, salah satunya adalah
Abdullah. Nabi pun memerintahkan sahabat untuk membunuhnya.
Hanya saja Utsman merasa iba dan membebaskannya.

Berdasarkan catatan Adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin


Nubalâ, Abdullah kemudian kembali memeluk Islam. Dari laporan di
tersebut, jelas bahwa Abdullah bin Sarah memiliki catatan hitam pada
masa Rasulullah saw masih hidup. Ternyata wataknya ini belum
sepenuhnya hilang, hingga saat menjadi gubernur di Mesir pun ia
banyak mendapat protes dari rakyatnya karena kerap kali bertindak
lalim. Tidak tahan dengan sikapnya, orang-orang Mesir pun
melaporkan kondisi tersebut kepada Utsman bin Affan. Merespons
laporan tersebut, segera Utsman menyurati Abdullah dan
memperingatinya dengan tegas. Bukannya takut, Abdullah malah
tidak bergeming sama sekali, bahkan ia memukul dan membunuh
orang-orang Mesir yang diutus Utsman untuk menemuinya. Sejak

28
kejadian itu, sebanyak 700 masyarakat Mesir beramai-ramai ke
Madinah untuk unjuk rasa kepada Utsman dan menuntut agar Sang
Khalifah mengambil sikap tegas mencopot Abdullah. Setelah
beberapa upaya yang juga melibatkan Sayyidah Aisyah dan Ali bin
Abi Thalib, Utsman pun mantap untuk mencopot Abdullah dan
menggantikannya dengan Muhammad bin Abu Bakar atas usulan
warga Mesir sendiri. Surat perintah palsu: Setelah membuahkan
hasil, orang-orang Mesir pun kembali ke negaranya dengan
membawa keputusan tertulis Utsman yang berisi tentang penggantian
gubernur Mesir. Tepat hari ketiga dari perjalanan, mereka dikejutkan
oleh seseorang berkulit hitam legam yang menunggang unta dengan
terburuburu. Mencurigai orang itu, mereka pun memberhentikan dan
menginterogasinya. Selang beberapa waktu, diketahuilah status
orang itu. Ia mengaku sedang melakukan perjalanan ke Mesir untuk
mengantarkan surat khalifah ke gubernur. Orang-orang semakin
curiga ketika yang dimaksud gubernur itu adalah Abdullah bin Sarah,
bukan Muhammad bin Abu Bakar yang baru saja disahkan sebagai
penggantinya. Setelah ditelusuri, orang itu juga mengaku sebagai
pelayan Utsman bin Affan. Namun di sisi lain, ia mengaku sebagai
pelayan Marwan bin Hakam. Orang-orang kemudian
menggeledahnya dan menemukan sebuah surat. Curiga isi surat itu,
Muhammad bin Abu Bakar segera mengumpulkan orang-orang
Anshar, Muhajirin dan beberapa lainnya untuk bersama menyaksikan
isi surat tersebut.

Ketika Muhamad membukanya, tertulis pesan di dalamnya:


“Jika datang Muhammad bin Abu Bakar dan fulan, juga fulan, maka
bunuhlah mereka, dan batalkan isi surat (keputusan penggantian
gubernur) yang dia bawa. Sementara jabatanmu tetap seperti semula

29
sampai datang perintahku. Penjarakanlah orang-orang yang mengadu
kepadaku dan mengatakan bahwa ia telah dizalimi olehmu, sampai
aku memerintahkan hal lain untukmu, insya Allah.” Selesai membaca
surat itu, praktis mereka bingung dan memutuskan untuk kembali ke
Madinah menemui Utsman. Muhammad bin Abu Bakar
membeberkan isi surat itu kepada penduduk Madinah, termasuk
beberapa sahabat Nabi seperti Thalhah, Zubair, Ali, Sa’ad, dan lain
sebagainya. Penduduk Madinah yang membaca surat itu merasa
jengkel dengan Utsman. Orang-orang Madinah yang dulu sempat
konflik dengan Utsman pun semakin menunjukkan kebencian.
Orang-orang menemui Utsman untuk memberi penjelasan atas isi
surat tersebut. Utsman sendiri terkejut begitu melihat isi surat dan
bersumpah demi Allah bahwa bukan ia yang menulisnya. Belum lagi
ada stempel pemerintah di surat itu. Dengan sumpah ini, masyarakat
percaya bahwa Utsman jujur atas pengakuannya. Setelah ditelusuri,
mereka akhirnya berkesimpulan bahwa yang menulis surat itu adalah
Marwan bin Hakam, sekretaris Utsman. Muhammad bin Abu Bakar
beserta rombongan pun memutuskan untuk mencari Marwan sampai
ketemu guna dimintai keterangan. Hanya saja Utsman merahasiakan
keberadaannya karena khawatir akan dibunuh.

Di tengah kegaduhan, ada pihak yang memprovokasi agar


mengepung Utsman sampai ia mau menyerahkan Marwan. Walhasil,
Muhammad bin Abu Bakar beserta rombongan mengepung Utsman,
bahkan menghalangi akses air masuk ke dalam rumahnya. Di dalam
rumah ada Utsman dan istrinya. Atas perintah Ali, Hasan dan Husein
berjaga di pintu luar bersama beberapa orang agar tidak ada yang
masuk. Sampai pada puncak kemarahannya, Muhammad bin Abu
Bakar bertekad untuk membunuh Utsman. Karena pintu rumah

30
dijaga, Muhammad bin Abu Bakar masuk dari atap dan
mencengkeram jenggot Utsman. Sebelum masuk, Muhammad bin
Abu Bakar sudah berpesan kepada dua laki-laki yang ada di
sampingnya, “Jika aku sudah meringkusnya, masuklah kalian berdua
dan pukullah Utsman sampai kalian membunuhnya.” Niatnya untuk
membunuh ia urungkan begitu Utsman mengingatkan bahwa andai
Abu Bakar (ayah Muhammad) melihat ini, pasti tidak senang. Begitu
Muhammad bin Abu Bakar melepaskan Utsman, masuk dua orang
lakilaki tadi dan memukul Utsman sampai terbunuh. Inna lillahi wa
inna ilaihi rajiun. Berdasarkan salah satu riwayat, As-Suyuti
mencatat, pembunuh itu adalah pria dari penduduk Mesir dengan
warna kulit sawo matang dan dijuluki dengan nama Himar.
Sementara Ibnu Katsir menjelaskan, menurut Ibu Umar, nama
pembunuh itu adalah Aswad bin Himran.37

Beberapa waktu lamanya kehidupan kaum muslimin tanpa


pimpinan tertinggi dan situasi pemerintahan menjadi kosong. Orang
bertanyatanya: Mengapa Bani Umayyah yang berkuasa di Mesir dan
di Syam tidak segera memberi pertolongan kepada Khalifah Utsman?
Kemudian setelah Khalifah Utsman terbunuh, mengapa mereka tak
segera mengirimkan pasukan untuk bertindak tegas terhadap kaum
pemberontak dan menangkap oknum-oknum yang merencanakan
dan melaksanakan pembunSuhan atas diri Khalifah itu? Kenapa
mereka berpangku tangan, padahal mereka mempunyai kekuatan
cukup untuk melakukan tindakan hukum, sebelum Khalifah yang
baru di angkat? Pertanyaan-pertanyaan serupa itu adalah wajar.
Sebab, para penguasa Bani Umayyah dan tokoh-tokohnya bukan

37
Di akses dari https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/surat-perintah-palsu-
penyebabkematian-utsman-bin-affan-nxPGw selasa,20september2022

31
orang-orang yang baru dilahirkan kemarin. Mereka cukup makan
garam politik, terutama pada waktu mereka dulu mengorganisasi dan
memimpin orang-orang kafir Quraiys melancarkan perlawanan
bersenjata terhadap Rasulullah s.a.w. dan kaum muslimin.
Nampaknya mereka bukan tidak bertindak, tetapi ada perhitungan
lain.

Pada masa itu tokoh Bani Umayyah yang paling terkemuka ialah
Muawiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi sejarah keislamannya tidak
memungkinkan dirinya dapat dipilih sebagai Khalifah pengganti
Khalifah Utsman bin Affan r.a. Ia memeluk Islam setelah tidak ada
jalan lain untuk menyelamatkan diri dengan jatuhnya kota Makkah
ke tangan kaum muslimin. Ia masuk Islam kurang lebih dua tahun
sebelum wafatnya Rasulullah s.a.w. Sebelum itu ia sangat gencar
memerangi kaum muslimin dalam usaha memukul Islam. Dengan
kata lain, selama masih ada sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. yang
sejak dulu sampai sekarang masih gigih membela kebenaran agama
Allah, seperti Ali bin Abi Thalib r.a. dan lain-lain, harapan bagi
Muawiyah untuk dapat dibai'at sebagai Khalifah penerus Utsman r.a.
tidak mungkin dapat terlaksana. Al Hamid Al Husaini menyebut
usaha merebut atau mewarisi kekhalifahan Utsman lebih dipersulit
lagi oleh dua kenyataan:Pertama, Khalifah Utsman r.a. wafat akibat
terjadinya konflik politik yang gawat dengan rakyatnya sendiri.
Kedua, ia wafat meninggalkan warisan situasi pemerintahan yang
sudah tidak disukai oleh kaum muslimin. Konflik politik dan warisan
situasi yang tidak menguntungkan orang-orang Bani Umayyah itu
perlu "dibenahi" lebih dulu untuk dapat meraih kedudukan sebagai
pengganti Khalifah Utsman. Muawiyah harus dapat menciptakan
situasi baru, di mana konflik politik yang sedang panas itu bisa

32
dialihkan kepada sasaran baru. Untuk ini harus pula dicari "kambing
hitam" yang "tepat".

Dalam hal ini ialah orang yang mempunyai kemungkinan paling


besar akan dibai'at oleh kaum muslimin sebagai Khalifah. Ali bin Abi
Thalib r.a. merupakan seorang tokoh yang paling banyak mempunyai
syarat untuk dibai'at. Ia bukan hanya anggota Ahlu-Bait Rasulullah
s.a.w., melainkan juga ia seorang genial, ilmuwan dan pahlawan
perang. Sudah sejak dulu, tokoh-tokoh Bani Umayyah selain Utsman
r.a. memandang Ali bin Abi Thalib r.a. dengan perasaan benci dan
murka. Mereka tidak bisa melupakan betapa banyaknya korban kafir
Quraiys, termasuk sanak famili mereka, yang mati di ujung pedang
Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pertempuran-pertempuran antara kaum
musyrikin dan kaum muslimin di masa lalu.38

2. Bai’at atas Khalifah Ali Karamallahu wajhah


Pada masa kekhalifahan Sayyidina Utsman bin Affan R.A,
pemerintahannya sarat dengan kemakmuran dan keberkahan.
Khalifah Utsman adalah khalifah yang sangat lama masanya
dibandingkan khalifah yang lainnya yaitu selama 12 tahun. Dalam
pemerintahan Utsman telah terjadi fitnah yang mengakibatkan
Utsman terbunuh. Utsman selalu berusaha memadamka fitnah
tersebut, namun tidak berhasil. Pada saat Utsman meninggal dunia,
Sadzali menerangkan bahwa Madinah saat itu sedang kosong, para
sahabat banyak yang berkunjung ke wilayah-wilayah yang baru
ditaklukkan. Para sahabat hanya sedikit yang berada di Madinah,

38
Diakses melalui https://kalam.sindonews.com/read/300710/70/pasca-
terbunuhnyautsman-bin-affan-delapan-hari-tanpa-khalifah-1610586093
selasa,20september2022

33
antara lain Thalhah bin ‘Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Kedua
sahabat itu menemui Ali dan berkata, “Umat ini harus mempunyai
imam” Ali menjawab, “Aku tidak perlu dalam urusan kalian ini,
siapapun yang akan dipilih aku akan menerimanya. Mereka berkata
lagi, ‘Kami tidak memilih siapapun selain engkau” mereka berulang-
ulang mendesak kepada Ali agar bersedia menjadi imam, hingga
akhirnya mereka mengatakan, “sesungguhnya kami tidak mengetahui
apakah ada seseorang yang berhak daripada engkau yang lebih
dahulu masuk Islam dan lebih dekat kekerabatannya dengan Rasul
Saw.” Ali saja menjawab, “Menjadi wazir itu lebih baik daripada
menjadi amir.” Mereka menjawab, “Demi Allah kami tidak
melakukan apapun hingga kami membai’at engkau.” Ali berkata,
“Jika demikian maka bai’atku di masjid, tidak secara rahasia
melainkan secara terbuka di masjid Saat kaum muslimin telah
berkumpul dan berdatangan ke masjid.

Ali datang dan naik ke mimbar dan berpidato, “Hai sekalian


manusia, sesungguhnya ini urusan kalian yang tidak seorangpun
mempunyai hak di dalamnya selain orang yang kalian angkat. Kami
kemarin telah berbeda dalam suatu masalah dan aku tidak suka pada
urusan kalian ini kecuali aku diberi amanat atas kalian. Ketahuilah
bahwa aku hanya membawa kunci-kunci harta kalian. Aku tidak
berhak mengambil satu dirhampun milik kalian itu. Jika kalian mau,
aku berikan kepada kalian. Jika tidak, maka aku tidak menjanjikan
kepada siapapun.” Mereka berkata: “Kami menyepakati atas apa
yang kalian persilihkan kemarin.

“Allahumma saksikanlah! Zubair dan Thalhah membai’atnya.


Ali berkata: “Jika kalian ingin membai’atku dan jika tidak aku akan

34
membai’at kalian.” Mereka menjawab. “Tidak, melainkan kami
membai’at engkau.” Keduanya membai’at Ali, yang kemudian
diikuti oleh kaum muslimin. Dalam proses pembai’atan Ali sedang
terlaksana, api fitnah tetap berkorbar, bahkan bertambah parah
dengan jatuhnya korban dari orang-orang yang tidak bersalah oleh
pedang saudaranya sendiri di wilayah kaum muslimin.68 Pada masa
khulafa al-rasyidin, bahwa yang membai’at itu adalah ahl al-hall wa
al-aqd (orang-orang yang mendapat kepercayaan umat) dan
kemudian dapat diikuti oleh rakyat pada umumnya seperti pada kasus
pembai’atan Utsman. Akan tetapi, pada umumnya anggota-anggota
ahl al-hall wa al-aqd sebagai wakil rakyat, sebagaimana terjadi pada
kasus Abu Bakar. Di samping itu, katakata (lafadz) bai’at pun
ternyata tidak semuanya sama. Oleh karena itu, lafadz dibuat sesuai
dengan kebutuhan dan sesuai lingkungannya asal tidak bertentangan
dengan semangat dan prinsip-prinsip al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah.39

Selain bai’at terhadap pemimpin, Ibnu Taimiyyah menjelaskan


bahwa bai’at dibolehkan dalam perkara-perkara parsial dari syariat
yang dilakukan tanpa paksaan dan juga dilakukan dengan syarat tidak
ada pengaruh dan konsekuensi terhadap bai’at kepada pemimpin.
Baik perjanjian itu dengan diri sendiri untuk selalu taatdengan
perbuatan tertentu yang disyari’atkan atau berjanji melakukan
perbuatan tertentu dengan orang lain tanpa ada hal yang terlarang
oleh syari’at

39
A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam
RambuRambu Syari’ah, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hal. 103

35
3. Perang Jamal
Pemerintah khalifah ali dapat di katakan sebagai pemerintahan
yang tidak stabil karena adanya pemberontakan dari sekelompok
kaum muslimin sendiri. Pemberontakan pertama dateng dari Thalhah
dan Zubair di ikuti oleh Siti Aisyah yang kemudian terjadi perang
jamal dikatakan demikian karena Siti Aisyah pada waktu itu
menggunakan unta dalam perang melawan Ali. Di antara fitnah yang
terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman Radhiyallahu anhu adalah
perang Jamal yang terjadi antara ‘Ali Radhiyallahu anhu di satu pihak
dengan ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair Radhiyallahu anhum di pihak
lain. Lalu mereka terus mendesak ‘Ali radhiyallahu anhu agar
menerima bai’at mereka, akhirnya mereka membai’atnya. Di antara
orang yang membai’at beliau adalah Thalhah, dan Zubair
Radhiyallahu anhuma. Kemudian keduanya pergi ke Makkah untuk
melakukan umrah.

Di sana mereka ditemui oleh ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.


Setelah berbincang-bincang tentang peristiwa terbunuhnya ‘Utsman,
maka mereka pergi ke Bashrah dan meminta kepada ‘Ali agar
menyerahkan orang-orang yang telah membunuh ‘Utsman, namun
‘Ali tidak menjawab permohonan mereka karena beliau menunggu
keluarga ‘Utsman agar mereka meminta putusan hukum darinya. Jika
terbukti bahwa seseorang adalah di antara pembunuh ‘Utsman, maka
dia akan mengqishasnya. Setelah itu mereka berbeda pendapat
tentangnya, dan orang-orang tertuduh sebagai pelaku pembunuhan -
yaitu orang-orang yang memberontak kepada ‘Utsman- merasa takut
jika mereka bersepakat untuk memerangi mereka, akhirnya mereka
mengobarkan api peperangan di antara dua kelompok ter-sebut
(kelompok ‘Ali dan ‘Aisyah). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

36
telah mengabarkan kepada ‘Ali bahwasanya akan terjadi perkara
antara dia dengan ‘Aisyah. 40
Pada peristiwa perang Jamal sama
sekali tidak ada niat dari mereka untuk melakukan peperangan, akan
tetapi terjadinya peperangan bukan atas pilihan mereka. Karena
ketika ‘Ali, Thalhah dan az-Zubair saling berkirim surat, mereka
bermaksud untuk mengadakan kesepakatan damai.

Jika mungkin, mereka akan meminta kepada para penebar fitnah


untuk menyerahkan orang-orang yang telah membunuh ‘Utsman.
‘Ali sama sekali tidak ridha terhadap orang yang telah membunuh
‘Utsman, dia juga bukan orang yang membantu pembunuhan
tersebut, sebagaimana ia bersumpah, “Demi Allah aku tidak
membunuh ‘Utsman dan tidak mendukung pembunuhannya.”
Sedangkan dia adalah orang yang berkata benar lagi jujur dalam
sumpahnya. Kemudian para pembunuh takut jika ‘Ali bersepakat
dengan mereka untuk menahan orang-orang yang telah membunuh
‘Utsman, lalu mereka membawa pasukan untuk menyerang Thalhah
dan az-Zubair, sehingga Thalhah dan az-Zubair menyangka bahwa
‘Ali telah menyerangnya. Kemudian mereka membawa pasukan
untuk melakukan pertahanan sehingga ‘Ali menyangka bahwa
mereka telah menyerangnya, sehingga beliau pun melakukan
pertahanan. Akhirnya terjadilah fitnah (peperangan) bukan atas
keinginan mereka. Sedangkan ‘Aisyah hanya menunggangi unta dan
tidak ikut dalam peperangan, juga tidak memerintah untuk

40
Asy-syalab. At-Thariku Al-Islami Wa-Alhamdi-atu Al-Islamiyah,
Terj.Prof.DR.Mukhtar yahya.

37
melakukan peperangan. Demikianlah yang diungkapkan oleh lebih
dari satu orang ulama dan ahli khabar.41

4. Perang Shiffin
Merupakan bagian dari Fitna Pertama (Perang Saudara Islam)
yang berlangsung dari tahun 656–661. Fitna Pertama adalah perang
saudara di awal Negara Islam yang disebabkan oleh pembunuhan
Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 656 oleh pemberontak Mesir.
Perang Shiffin dimulai pada tanggal 26 Juli 657, Pertempuran Siffin
berlangsung selama tiga hari, berakhir pada tanggal 28. Pembunuhan
Utsman bin Affan merupakan tragedi dalam sejarah Islam.
Pembunuhan-pembunuhan yang diakibatkan oleh ketidakpuasan
sebagian umat Islam sekaligus menandai pecahnya persatuan di
antara umat Islam yang telah dirintis oleh Nabi. Hal ini dibuktikan
dengan tidak adanya stabilisasi politik pasca wafatnya Utsman. Pasca
terbunuhnya Utsman, muncul konflik baru antara dua tokoh Muslim
yang kuat yaitu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu
SufyanKonflik dimulai dengan ketidakmauan Muawiyah untuk
berjanji setia kepada Khalifah Ali dan akhirnya menyebabkan
pecahnya Perang Shiffin.42
Selama tiga hari telah menelan korban sekitar 45.000 orang dari
pasukan Muawiyah hingga 25.000 untuk Ali bin Abi Thalib. Di
medan perang, para arbiter memutuskan bahwa kedua pemimpin itu
setara dan kedua belah pihak mundur ke Damaskus dan Kufah.

41
Di akses dari https://www.anekamakalah sejarah.com/2012/10/makalah-
perangjamal.html pada pukul 15.40
42
Sulistyowati, 2010. Pengaruh Perang Shiffin tahun 658 M terhadap Eksitensi
Kekhalifaha Ali bin Abi Thalib. Skripsi, hlm. 19-20.
http://repositori.uinalauddin.ac.id/2705/1/Risnawati.pdf diakses pada
selasa,20September2022

38
Ketika para arbiter bertemu lagi pada Februari 658, tidak ada resolusi
yang dicapai. Pada 661, setelah pembunuhan Ali, Muawiyah naik ke
kekhalifahan, menyatukan kembali Kekaisaran Muslim. Dimahkotai
di Yerusalem, Muawiyah mendirikan kekhalifahan Umayyah.
Namun, kajian kritis yang dilakukan sejarawan-sejarawan modern,
memperlihatkan bahwa riwayat itu mencerminkan pandangan
kelompok Irak (kebanyakan riwayatnya menjadi rujukan) yang
berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah, musuh Dinasti Umayyah.
Kemungkinan yang telah terjadi adalah bahwa kedua juru runding
memecat kedua pemimpin mereka, sehingga Ali menjadi pihak yang
kalah, karena Muawiyah tidak memiliki jabatan kekhalifahan yang
harus diletakkan. Ia tidak lain hanyalah seorang gubernur sebuah
provinsi.
Hasil arbitrase itu telah menempatkan dirinya setara dengan Ali,
yang posisinya menjadi tidak lebih dari pemimpin yang diragukan
otoritasnya. Berdasarkan keputusan para arbitor, Ali dilengserkan
dari jabatan kekhalifahan yang sebenarnya, sementara Muawiyah
dilengserkan dari jabatan kekhalifahan fiktif yang ia klaim dan belum
berani ia kemukakan di depan publik. Terdapat kerugian lain yang
diderita Ali karena menerima tawaran arbitrase, yaitu turunnya
simpati sejumlah besar pendukungnya. Pendukung yang membelot
itu akhirnya membentuk sebuah sekte baru, bernama Khawarij.
Kelompok ini pada perkembangannya akan memusuhi Ali dan
akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh dalam perjalanannya ke
Masjid Kufah, pada 24 Januari 661 M.
5. Peristiwa Tahkim dan Munculnya khawarij
Konflik politik antara Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah Ibn
Abi Sufyan diakhiri dengan tahkim. Dari pihak Ali Ibn Abi Thalib

39
diutus seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan tidak "cerdik"
dalam politik yaitu Abu Musa Al-Asy'ari. Sebaliknya, dari pihak
Muawiyah Ibn Abi Sufyan diutus seorang yang terkenal sangat
"cerdik" dalam berpolitik, yaitu Amr ibn Ash.43

Dalam tahkim tersebut, pihak Ali Ibn Abi Thalib dirugikan oleh
pihak Muawiyah Ibn Abu Sufyan karena kecerdikan Amr Ibn Ash
yang dapar mengalahkan Abu Musa Al-Asy'ari. Pendukung Ali Ibn
Abi Thalib, kemudian terpecah menjadi dua, yaitu kelompok pertama
adalah mereka yang secara terpaksa menghadapi hasil tahkim dan
mereka tetap setia kepada Ali Ibn Abi Thalib, sedangkan kelompok
yang kedua adalah kelompok yang menolak hasil tahkim dan kecewa
terhadap kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib. Mereka menyatakan diri
keluar dari pendukung Ali Ibn Abi Thalib yang kemudian melakukan
gerakan perlawanan terhadap semu pihak yang terlibat dalam tahkim,
termasuk Ali Ibn Abi Thalib).44 Sebagai oposisi terhadap kekuasaan
yang ada, Khawarij mengeluarkan beberapa statemen yang menuduh
orang-orang yang terlibat tahkim sebaga orang-orang kafir. Khawarij
berpendapat bahwa Utsman Ibn Affan telah menyeleweng dari ajaran
Islam.

Dengan demikian, tanpa ada pembicaraan tentang Alquran dan


Sunah Nabi saw, kejadian perundingan damai pun menjadi sumber
perpecahan lain antara masyarakat Syam dan Irak.45 Hasil terpenting
dari Arbitrasi ini bagi masyarakat Syam di kemudian hari adalah

43
Lihat Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbugal Aspek Jilid II. Ul-Press,
1986
3 Lihat pula Norcholish Madjid, h. 269.
44
M. Ali As-Sayis, op. cit., h. 95-99.
45
Ibnu Muzahim, Waqi'ah al-Shiffin, h. 545;

40
masyarakat Syam menganggap Muawiyah sebagai Amirul
Mukminin.

Sekelompok dari pengikut Imam Ali as sejak dari awal


menentang perundingan damai tersebut dan menganggap bahwa hal
itu adalah langkah mundur dari agama dan keraguan dalam iman. 46
Sebagian juga dengan alasan dua ayat Alquran (Al-Maidah: 44 dan
Hujurat: 9) menginginkan berlanjutnya perang dengan Muawiyah
dan menganggap kafir bagi siapa saja yang menerima perundingan
damai serta hendak segera bertaubat. Mereka menginginkan dari
Imam Ali as untuk bertobat dari kekufuran ini dan membatalkan
semua syarat yang diajukan oleh Muawiyah. Akan tetapi Imam Ali
as tidak menerima untuk menolak perundingan damai. Setelah
berakhirnya perang dan kembalinya Imam Ali as ke Kufah dan
Muawiyah ke Syam, para penentang perundingan damai berpisah
dari Imam Ali as dan pergi ke kawasan Harura' dekat dengan kota
Kufah.

C. KHAWARIJ DAN MURJIAH


1. Sejarah dan perkembangan Khawarij dan Murji’ah
a. Sejarah kemunculan Khawarij
Secara etimologis kata al-khawarij berasal dari bahasa Arab,
yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau
memberontak. Sebagian sejarawan berpendapat bahwa setiap orang
yang memisahkan diri dari pimpinannya disebut Khawarij.

46
Ibnu Muzahim, Waqi'ah al-Shiffin, h. 484; Baladzuri, Jumalun min Ansab
AlAsyraf, jld 3, h. 111-112.

41
Berdasarkan pengertian etimologi ini, khawarij berarti setiap
muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.47

Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam


adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib
yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan
terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim).

b. Latar belakang kemunculan Khawarij


Khawarij ini adalah suatu kelompok/aliran pengikut Ali Bin
Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena
ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase
(Tahkim), dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan
kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal
persengketaan khilafah2. Kelompok Khawarij pada mulanya
memandang Ali dan pasukannya berada dipihak yang benar karena
Ali merupakah khalifah sah yang telah dibai’at mayoritas umat
Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena
membentuk khalifah yang tidak sah. Lagi pula berdasarkan estimasi
Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada
peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan
damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.

Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai


kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud menolak permintaan
itu. Namun, karena desakan pengikutnya seperti Al-Asy’ats bin
Qais, Mas’ud bin Fudaki AtTamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i

47
1 Novan Ardy Wiyani, Ilmu Kalam, Bumiayu: Teras, 2013, h. 38

42
dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan
pasukanya) untuk menghentikan peperangan.48

Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan


Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, tetapi orang-
orang khawarij menolaknya. Mereka beranggapan bahwa Abdullah
bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka
mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan
harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.utusan
tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh
utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti
Ali sangat mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka
membelot dan mengatakan “Mengapa kalian berhukum kepada
manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada disisi
Allah”. Imam Ali menjawab, “Itu adalah ungkapan yang benar,
tetapi mereka artikan keliru”. Pada saat itu juga orang-orang
khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura.
Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka sampai di Harura. Di
Harura, kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada
Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin
bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.

2. Sejarah Kemunculan Murji’ah


Kata Murjiah diambil dari kata arja’a yang berarti menunda,
melambatkan, dan mengemudiankan. Menurut Al-Syahrastani, kata
arja’a juga berarti mengharapkan. Jadi Murji’ah bisa berarti aliran
yang mengemudiankan amal dari pada iman dan ada juga yang
menunda persoalan dosa itu sampai hari kiamat. Bisa pula Murji’ah

48
3 Novan Ardy Wijaya, op.cit, hlm. 24-28

43
berarti suatu mazhab kalam yang mengharapkan agar dosa-dosa itu
diampuni dan ditukar oleh Allah SWT dengan kebaikan.

3. Latar belakang Murji’ah


Seperti Khawarij, Murjiah juga muncul karena persoalan
politik. Setelah peristiwa tahkim, pengikut ‘Ali terpecah menjadi
dua golongan, yaitu golongan khawarij yang berbalik menentang
‘Ali dan golongan syi’ah yang kuat mendukung ‘Ali. Meski
bermusuhan, kedua golongan ini sama-sama menentang kekuasaan
Bani Umayyah. Namun, jika Khawrij menentang Mu’awiyah
karena dia dan pengikutnya telah menyimpang dari hukum Allah,
Syi’ah menentang Mu’awiyah karena dia telah merampas
kekuasaan ‘Ali.49

Dalam suasana pertentangan itu, lahirlah Murjiah sebagai


golongan yang ingin bersikap netral dan tidak mau ikut dalam kafir-
mengkafirkan seperti yang dilakukan kelompok yang bertentangan
itu. Bagi Murjiah, kelompok ‘Ali dan Mu’awiyah masih dapat
dipercaya. Oleh sebab itu, golongan ini tidak mau mengeluarkan
pendapat tentang siapa yang salah atau yang benar dan menunda
penyelesaiannya pada hari kiamat.

Persoalan politik yang terjadi kemudian menjalar kepada


persoalan agama. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan Khawarij
juga mendapat perhatian mereka. Bila khawarij menghukum kafir
setiap orang yang berdosa besar, murji’ah menganggapnya tetap
mukmin dan pembalasan dosa mereka ditunda dan diserahkan
kepada Allah SWT pada hari kiamat kelak6. Argumen yang mereka

49
Harun Nasution, op.cit., hlm. 25

44
kemukakan adalah oang yang berbuat dosa besar masih tetap
mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasul-Nya. Orang seperti ini tetap mengucapkan syahadat sebagai
dasar keimanan.

Golongan murji’ah dibagi kedalam dua kelompok besar yaitu


golongan moderat dan ekstrim. Golongan moderat mengatakan
orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi mukmin dan tidak kekal
dalam neraka. Mereka akan dihukum dalam neraka sesuai dengan
besarnya dosa yang mereka lakukan dan kemudian masuk surga.
Namun ada pula kemungkinan Tuhan mengampuni mereka
sehingga mereka tidak masuk neraka sama sekali.50

Golongan yang ekstrim dipelopori oleh Jahm ibn Shafwan.


Menurut Jahm orang islam yang percaya pada tuhan, kemudian
mengatakan kafir secara lisan, belum lah menjadi kafir karena iman
dan kufur terletak di dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh
manusia. Bahkan orang itu juga tidak menjadi kafir walaupun ia
menyembah berhala, menjalankan ajaran agama lain, menyembah
salib, dan kemudian meninggal, orang-orang itu bagi Allah tetap
menjadi mukmin yang sempurna.

Karena iman bagi golongan Murji’ah terletak dalam hati,


bahwa hanya Tuhan yang mengetahui, timbullah dalam pendapat
mereka bahwa melakukan maksiat, atau pekerjaan jahat tidak
merusak iman. Jika seorang mati dalam keadaan beriman, dosa-

50
Novan Ardy Wiyani, M.Pd.I., op.cit., hlm. 64.

45
dosa dan pekerjaan jahat yang dilakukannya tidak merugikan orang
itu.51

Pemikiran-pemikiran diatas menimbulkan pengertian bahwa


amal tidak sepenting iman. Iman terletak dalam hati dan tidak ada
orang lain yang mengetahuinya. Perbuatan-perbuatan manusia tidak
selalu menggambarkan apa yang ada di dalam hatinya. Oleh sebab
itu, yang penting adalah iman dan perbuatan yang tidak merusak
iman.

2. Tokoh-tokoh Khawarij dan Murji’ah


a. Tokoh-tokoh Khawarij diantaranya adalah:
i ). Abdullah bin Wahhab Ar-Rasyidi
ii ). Urwah bin Hudair
iii ). Mustarid bin Sa’ad
iv ). Hausarah Al-Asadi
v ). Quraib bin Maruah
vi ). Nafi bin Al-Azraq
vii ). Abdullah bin Basyir
viii ). Najdah bin Amir Al-Hanaf
b. Tokoh-tokoh Murji’ah diantaranya adalah:
i ). Abu Hasan ash-Shalihi
ii ). Yunus bin an-Namiri
iii ). Ubaid al-Muktaib
iv ). Ghailan ad-Dimasyq
v ). Bisyar al-Marisi
vi ). Muhammad bin Karram

51
Harun Nasution, op.cit., h. 29.

46
3. Ajaran-ajaran pokok Khawarij dan Murji’ah
Ajaran pokok Khawarij terbagi menjadi 2 diantaranya ialah:
a. Doktrin aqidah
i ). Setiap umat Muhammad Saw. yang terus menerus
melakukan dosa besarhingga matinya belum melakukan
taubat, maka dihukumkan kafi serta kekal dalam neraka.
ii ). Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala
negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim.
iii ). Amal soleh merupakan bagian esensial dari iman. Oleh
karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut
muslim, tetapi kafi. Dengan latar belakang watak dan
karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad
(perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan
masyarakat pada umumnya.
iv ). Kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk
berpegang kepada keimanan, apakah dalam berpikir,
maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala
tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka
konsekwensinya dihukumkan kafir.
v ). Adanya wa’addan wa’īd(orang yang baik harus masuk
kedalam surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk
neraka).
vi ). Amar ma’ruf nahi munkar.
vii ). Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari
Tuhan
viii ). Qur’an adalah makhluk.
ix ). Memalingkan ayat-ayat al-Quran yang bersifat
mutasyābihāt (samar).

47
b. Doktrin Politik
i ). Mengakui kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dan
Umar bin Khattab r.a., sedangkan Usman bin Affan r.a. dan
Ali bin Abi Thalib r.a., juga orangorang yang ikut dalam
perang Jamal, dipandang telah berdosa.
ii ). Dosa dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran.
Mereka mengkafikan setiap pelaku dosa besar apabila ia
tidak bertobat. Dari sinilah muncul istilah kafir dalam
faham kaum Khawarij.
iii ). Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas
diantara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak
pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
iv ). Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada
jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib
diperangi dan bahkan dibunuhnya.
v ). Mereka menerima al-Quran sebagai salah satu sumber di
antara sumbersumber hukum Islam.
vi ). Khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib r.a. adalah sah, tetapi
setelah terjadi peristiwa taḥkīm tahun ke-7 dan
kekhalifahannya Usman bin Affan r.a. dianggap telah
vii ). Menyeleweng. Mu’awiyah dan Amr bin Ash dan Abu
Musa al Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah
menjadi kafir.
c. Ajaran pokok dari Murji’ah ada 4 yaitu:

i ). Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib r.a., Mu’awiyah


bin Abu Sufyan, Amr bin Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari
yang terlibat taḥkīm dan menyerahkannya kepada Allah di
hari kiamat kelak.

48
ii ). Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim
yang berdosa besar.
iii ). Meletakkan (pentingnya) iman dari amal.
iv ). Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa
besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

d. Dalil-dalil yang mengawasi Khawarij dan Murji’ah


i ). Dalil dalil yang mengawasi Khawarij
Suatu ketika setelah peristiwa pemilihan wakil ini,
seorang utusan Imam Ali, al-Asy‘ats bin Qais, mendatangi
satu kelompok dari Bani Tamim yang berada dalam
prajurit Sayyidina Ali untuk membacakan sebuah surat.
Lalu berdiri dari kelompok ini Urwah bin Udzainah yang
berkata:

“Apakah engkau akan mewakilkan keputusan menyangkut


agama Allah kepada manusia?”.

Lalu dari ucapan orang tersebut, sebagian para


penghapal Alquran yang ikut Imam Ali terpengaruh dan
berbalik menentang beliau karena menurut mereka
“tahkim” bertentangan dengan potongan surah al-Ma’idah
ayat 44:

Artinya: “Barangsiapa tidak memutuskan (perkara)


menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
orang-orang kafir.”

Dan penggalan dari surah Yusuf ayat 40:

Artinya: “Keputusan (hukum) hanyalah milik Allah


semata.”

49
Mereka seakan berkata bahwa memutuskan dengan
cara menunjuk juru runding (ḥakam) tidak sesuai dengan
apa yang diturunkan oleh Allah, yaitu al-Qur’an. Mereka
juga meyakini bahwa ayat 40 surah Yusuf di atas seakan
berarti bahwa pemahaman al-Qur’an merekalah yang
sesuai dengan keputusan Allah.

ii ). Dalil-dalil yang melandasi Murji’ah


Pengikut Murji’ah berusaha mencari dalil-dalil yang
yang dapat membantu dalam membenarkan pemikiran
mereka dengan menggunakan nash-nash yang syubhat dan
telah keluar dari tujuan nash sebenarnya, mereka
menggunakan Al qur’an dan As sunnah An nabawiyah
serta berdalih bahwa dari sekian banyak dalildalil yang di
gunakan, semuanya berkaitan serta membenarkan
pemikiranpemikiran mereka, yang hakekatnya penuh
dengan kesesatan.
Dalil pertama Al qur’anul Karim, mereka berdalil
melalui perkataan Allah: Qs. An Nisa’: 48

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni


dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya”. (QS.
Az Zumar: 53)
Artinya:” Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang
melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

50
Berdasarkan yang dikemukakan oleh Al jahmiyah
didalam berbagai nash yang menjadikan keimanan atau
kekafiran bertempat pada hati sebagaimana firman Allah
dalam Qs. Al Mujadilah: 22
Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang Allah telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang
daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam
surga” (Qs. An Nahl: 106 )
Artinya: “kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)”

Dalil Kedua, Dari As sunnah An nabawiyah, mereka


berdalil:
Artinya: Sabda Rasul SAW “Barang siapa yang mati
dalam keadaan menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu
maka ia masuk neraka” Berkata Ibnu Mas’ud ra “Barang
siapa yang mati tidak menyekutukan Allah SWT dengan
sesuatu apapun maka ia masuk jannah”
Artinya: Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman ” Wahai anak
Adam, sesungguhnya jika engkau datang membawa
kesalahan sebesar dunia, kemudian engkau datang
kepada-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu
apapun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan
ampunan sebesar itu pula.”
Artinya: Sabdanya Rasulullah SAW ”Ya Allah tetapkanlah
hatiku atas dien-Mu”

51
D. JABARIYAH DAN QADARIYAH
1. Pengertian Jabariyah Dan Qabariyah
Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti “memaksa”.52
bahwa manusia itu tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan
perbuatannya sendiri. Semua kehendak dan perbuatan manusia sudah
ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhanlah yang mempunyai kekuasaan
dan kehendak yang mutlak. Dalam teologi modern, paham Jabariyah
ini dikenal dengan nama fatalisme atau predestination, yaitu bahwa
perbuatan-perbuatan manusia itu telah ditentukan dari sejak azali oleh
qadha dan qadar Tuhan.
Qadariyah berasal dari bahasa Arab qadara, yang berarti
kemampuan dan kekuatan atau kekuasaan. Menurut pengertian
terminologi, Qadariyah adalah aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak diintervensi dengan tangan Tuhan. Kaum
Qadariyah berpendapat, bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan
kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham
Qadariyah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya.53 Dalam teologi modern,
paham Qadariyah ini dikenal dengan nama free will, freedom of
willingness atau freedom of action, yaitu kebebasan untuk
berkehendak atau kebebasan untuk berbuat. 54 Jadi, Qadariyah adalah
paham yang menisbatkan kekuasaan kepada manusia.55

52
Adul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi, (Bandung : CV.
PUSTAKA SETIA, 2012), hlm. 81.
53
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 2018),
h. 33.
54
Hasan Basri, dkk, Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran,
(Bandung : Azkia Pustaka Umum), h. 33.
55
Dr. Suryan A. Jamrah, op. cit., h. 124.

52
2. Latar Belakang Munculnya Jabariyah Dan Qadariyah
Dalam sejarah teologi Islam, paham Jabariyah pertama kali
ditonjolkan oleh Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah
Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Jahm yang terdapat dalam aliran
jabariah ini samadengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah
dalam kalangan Murji‟ah sebagai Sekretaris dari Syuraih Ibn al-
Harris, ia turut dalam gerakkan melawan kekuasaan Bani Umayyah,
dalam peperangan itu ia tertangkap dan dihukum mati pada tahun 131
H.56
Paham yang dibawa oleh Jahm adalah lawan ekstrim dari paham
yang dianjurkan oleh Ma‟bad dan Ghailan. Manusia, menurut Jahm,
tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa; manusia tidak
mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak
mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah
dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. 57
ada teori yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh
pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermadzhab
Qurra dan agama Kristen bermadzhab Yacobit.58
Paham Qadariyah pertama kali ditimbulkan oleh Ma‟bad al-
Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi. Keduanya mengambil paham ini dari
seorang kristen yang telah masuk Islam di Irak. Pada waktu Ma‟bad
mati terbunuh dalam pertempuran melawan al-Hallaj, maka Ghailan
terus menyebarkan paham Qadariyah tersebut di Damaskus. Tetapi
mendapat tantangan dari khalifah Umar Ibn al-Aziz. Akhirnya di
zaman Hisyam „Abd al-Malik, ia harus mengalami hukuman mati.

56
Lihat Fajr al-Islam,255
57
Harun Nasution, op.cit., hlm. 35.
58
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 84.

53
3. Tokoh-Tokoh Dan Doktrin-Doktrin Jabariyah Dan Qadariyah
Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
doktrin Jabariyah ekstrim, dan doktrin jabariyah moderat. Para
pemuka Jabariyah ekstrim diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Jahm bin Shofwan


Nama lengkap nya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan.
Ia berasal dari khurasan, bertempat tinggal di Kuffah. Ia berjasa
menyebarkan faham Jabariyah ke berbagai tempat, seperti
Tirmidz dan Balk. Pendapat Jahm yang berkaitan dengan
persoalan Teologi sebagai berikut :
i ). Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak
mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai
pilihan.

ii ). Surga dan neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selain
Tuhan.

iii ). Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam


hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang
dimajukan kaum Murji‟ah.

iv ). Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha suci dari segala


sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara,
mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat
dilihat dengan indera mata diakhirat kelak.

Dengan demikian, pendapat Jahm hampir sama dengan


Murji‟ah, Mu‟tazilah, dan Asy‟ariyah. Itulah sebabnya pengkritik
dan sejarawan menyebutnya dengan al-Mu‟tazili, al-Murji‟i dan
Al-asy‟ari‟i.

54
b. Ja’ad bin Dirham
Al-Ja’ad adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di
Damaskus. Ia dibesarkan didalam lingkungan orang Kristen yang
membicarakan teologi. Doktrin pokok al-Ja‟d secara umum sama
dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskan sebagai berikut :
i ). Al-Qur‟an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru.
Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifakan kepada Allah.

ii ). Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk


seperti berbicara, melihat dan mendengar.

iii ). Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.

Kelompok yang kedua yaitu Jabariyah moderat. Tokoh yang


termasuk Jabariyah moderat adalah sebagai berikut :

c. An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad an-Najjar
(wafat 230 H). para pengikutnya disebut an-Najjariyah atau al-
Husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya adalah :

i ). Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi


manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam
teori Al-Asy‟ary. Dengan demikian, manusia dalam
pandangan An-Najjar tidak lagi seperti wayang yang
gerakannya bergantung pada dalang, sebab tenaga yang
diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
ii ). Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat. Akan tetapi an-Najjar
menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi

55
hati (makrifat) pada mata hati sehingga manusia dapat
melihat Tuhan.

d. Adh-Dhirrrar
Nama lengkapmya Dhirrar bin Amr. Pendapatnya tentang
perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa
manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang.
Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya.
Secara tegas, Dhirrar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat
ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan
manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh
manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirrar mengatakan
bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui indera keenam. Ia
juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi
adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam
menetapkan hukum.59
Doktrin paham qadariyah berdasarkan pada pendapat Ghailan
bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia
sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula
yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas
kemauan mereka dan dayanya sendiri. Dalam hal ini manusia
merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik adalah atas
kemauan dan kehendaknya sendiri. Begitu pula, ia berbuat jahat
atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Oleh karena itu, ia berhak

59
Ratu Sunti’ah dan Maslani, Ilmu Kalam, (Bandung: Interes Media Foundation,
2014),

56
mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga
berhak memperoleh hukuman atas kejahatannya.
Salah seorang pemuka qadariyah lainnya, yakni, An-Nazam,
mengemukakan bahwa manusia mempunyai daya, ia berkuasa
atas segala perbuatannya. pada hakikatnya, faham qadariyah
merupakan sebagian dari faham Mu‟tazilah karena imam-
imamnya terdiri dari orang-orang Mu‟tazilah. Pengertian
qadariyah menurut faham Mu‟tazilah bahwa semua perbuatan
manusia diciptakan oleh manusia sendiri, bukan oleh Allah SWT.
Allah SWT tidak mempunayi hubungan dengan perbuatan dan
pekerjaan manusia dana pa yang dilakukan manusia tidak
diketahui oleh Allah SWT sebelumnya, tetapi setelah dilakukan
atau diperbuat manusia baru Allah SWT mengetahuinya. Jadi
Allah pada saat sekarang tidak bekerja lagi karena kodratnya telah
diberikan-Nya kepada manusia dan Ia hanya melihat serta
memperhatikan saja apa yang diperbuat oleh manusia. Jika
manusia mengerjakan amal baik maka ia akan diberi pahala
sebagai imbalan yang diberikan oleh Allah SWT dengan sebaik-
baiknya. Akan tetapi jika kodrat yang diberikan kepadanya tidak
dijalankan sebaik-baiknya maka ia akan dihukum menurut
semestinya. Namun, tidak semua golongan Qadariyah mempunyai
faham demikian. Ada sebagian dari mereka yang memiliki faham
bahwa semua perbuatan yang baik adalah ciptaan Allah Swt
sedangkan perbuatan manusia yang buruk dan maksiat adalah
ciptaan manusia sendiri dan tidak ada hubungannya dengan Allah
Swt.

57
Dalam memperkuat keyakinan dan fahamnya,
kaum Qadariyah menggunakan dalil-dalil Aqli (akal) dan dalil-
dalil Naqli (Al-Qur‟an dan Hadits).
Mereka mengajukan dalil, jika perbuatan manusia
diciptakan atau dijadkan oleh Allah Swt, mengapa manusia diber
pahala jika berbuat baik dan disiksa jika berbuat maksiat atau
dosa, bukan kah yang membuat atau menciptakan perbuatan itu
adalah Allah Swt sendiri? Jika demikian halnya, berarti Allah
tidak bersikap adil terhadap manusia, sedangkan manusia iyu
sendiri adalah ciptaan-Nya. Dalil akal ini diperkuat oleh kaum
Qadariyah dengna dalil Naqli, yang salah satu diantaranya adalah
surat al-Ra‟d (13) ayat 11 :
“Dia-lah yang Memperlihatkan kilat kepadamu, yang
Menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia Menjadikan
mendung.”
Dalil-dalil yang diungkapkan oleh kaum Qadariyah, baik
yang bersifat aqli maupun naqli menunjukkan kebebasan manusia
dalam menentukan sikap dan perbuatannya sesuai dengan kodrat
yang ia miliki. Faham ini sama dengan faham Mu‟tazilah. Yang
membedakan anatara keduanya adalah kaum Mu‟tazilah
menyatakan bahwa perbuatan manusia yang baik diciptakan oleh
Allah Swt, sedangkan yang buruk diciptakan oleh manusia sendiri.
Sementara itu, kaum Qadariyah menyatakan bahwa perbatan itu
baik atau buruk tidak dijadikan Allah Swt, tetapi semua itu adalah
perbuatan manusia itu sendiri.

58
4. Kelompok-Kelompok Jabariyah Dan Qadariyah
Jabariyah terbagi menjadi beberapa sekte yakni :
a Jahmiyah
Jahmiyah adalah pengikut Jahm bin Shafwan dan mereka
adalah penganut determinisme murni. Jahm sekata dengan
Mu‟tazilah dalam menolak sifat-sifat Allah yang dikatakan
eksternal, tetapi dia juga menambah doktrin-doktrin lainnya.
Diantaranya adalah :
i ). Haram hukumnya menerapkan suatu sifat kepada Allah
yang diterapkan kepada makhluk-makhluknya. Dengan
demikian Jahm menolak bahwa Allah bersifat hidup dan
mengetahui, tetapi ia berpendirian bahwa Allah berkuasa,
pelaku perbuatan, pencipta, sebab kekuasaan, perbuatan,
dan pencipta tidak akan dipertalikan dengan makhluk
manapun.
ii ). Allah mempunyai ilmu dan ilmu-Nya ini tidak kekal dan
tidak bertempat.
iii ). Jika seorang (mengatakan bahwa dia) telah mengetahui
tentang Allah.
Tetapi pada lahiriyahnya dia menolak-Nya, maka
penolakannya ini tidaklah membuatnya kafir sebab penolakannya
itu meghilangkan pengetahuannya itu.
b. Najjariyah
Najjariyah adalah pengikut Husain bin Muhammad al-
Najjar, yang pandangan-pandangannya kebanyakan diadopsi oleh
para penganut Mu‟tazilah di daerah Rayy. Mereka ini terpecah
kedalam berbagai sub kelompok, seperti Barghutsiyah,
Za‟faraniyah dan Mustadrikah, tetapi mereka sependapat dengan

59
kelompok asalnya dalam perkara-perkara yang fundamental.
Mereka sepakat dengan Mu‟tazilah dalam menolak sifat-sifat
Allah, yakni mengetahui, berkuasa, berkehendak, hidup,
mendengar dan melihat. Akan tetapi, mereka sekata dengan
dengan Shifatiyah tentang Allah menciptakan perbuatan-
perbuatan (manusia).
c. Dhirariyah
Dhirariyah adalah pengikut Dhirar bin Amr dan Hafsh al-
Fard. Keduanya sepakat dalam menolak sifat-sifat Allah yang
positif, dan menyatakan bahwa Allah mengetahui dan berkuasa
dalam pengertian bahwa dia tidak bodoh dan tidak pula impontent.
Keduanya berpendirian bahwa Allah memiliki sesuatu “quiditas”
yang hanya diketahui oleh Dia sendiri.12
Qadariyah terbagi menjadi tiga golongan (sekte), yaitu
Qadariyah Musyrikah, Qadariyah Majusiyah, dan Qadariyah
Iblisiyah.
d. Qadariyah Musyrikah
Qadariyah Musyrikah adalah mereka yang mengetahui
qadha dan qadar serta mengakui bahwa hal itu selaras dengan
perintah dan larangan.
e. Qadariyah Majusiyah
Qadariyah Majusiyah adalah mereka yang menjadikan Allah
berserikat dalam penciptaan-penciptaan-Nya sebagaimana
Qadariyah Musyrikah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah dalam
beribadah kepada-Nya.

60
f. Qadariyah Iblisiyah
Qadariyah Iblisiyah adalah mereka yang membenarkan
bahwa Allah merupakan sumber terjadinya dua perkara, akan
tetapi menurut mereka hal ini saling berlawanan.
5. Dalil-Dalil Jabariyah Dan Qadariyah
a. Dalil- dalil Jabariyah
Dalil-dalil naqli sebagai dasar fatwa Jabariyah ialah :
i ). QS. Ash-Shafaat ayat 96 : Artinya: “Padahal Allah-lah
yang membuat kau dan apa yang kau perbuat itu”.
ii ). QS. Al-Anfal ayat 17 : Artinya: “……dan bukan kau
melempar ketika kau melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar.”
iii ). QS. al-Hadid ayat 22: Artinya: “Tiada sebuah tragedi pun
yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul
Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu yaitu gampang bagi Allah.”
Adapaun dalil aqliy yang dijadikan landasan, berikut :
i ). Makhluk dihentikan memiliki sifat sama dengan sifat
Tuhan, dan jika itu terjadi, memiliki arti menyamakan
Tuhan dengan makhluknya.
ii ). Mereka menolak kondisi Allah Maha Hidup dan Maha
Mengetahui, tetapi dia mengakui keadaan Allah Yang
Maha Kuasa.
iii ). Allahlah yang berbuat dan menciptakan, oleh alasannya itu,
makhluk tidak memiliki kekuasaan.
iv ). Manusia tidak memiliki kekuasaan sedikit juapun, insan
tidak dapat dibilang memiliki kesanggupan (Istitha`ah).

61
v ). Perbuatan yang sepertinya lahir dari insan bukan dari
perbuatan insan sebab manusia tidak memiliki kekuasaan,
tidak memiliki harapan dan tidak mempunyai pilihan antara
memperbuat atau tidak memperbuat.
vi ). Semua perbuatan yang terjadi pada makhluk yaitu
perbuatan Allah dan tindakan itu disandarkan terhadap
makhluk cuma penyandaran majazi. Sama mirip kata
pohon berbuah, air mengalir, kerikil bergerak, matahari
terbit dan karam dan biji-bijian tumbuh dan sebagainya.
b. Dalil-dalil qadariyah
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada argumentasi untuk
menyandarkan perbuatan terhadap Allah. Di antara dalil yang
mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat al-Alquran yang berbicara
dan mendukung paham itu, mirip berikut:
i ). Fush-Shilat : 40 Artinya: “Kerjakanlah apa yang kamu
inginkan sebenarnya Ia melihat apa yang kau perbuat”.
(QS. Fush-Shilat : 40).
ii ). Ali Imran :165 Artinya: “dan mengapa dikala kau ditimpa
musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu sudah
menimpakan kekalahan dua kali lipat terhadap lawan-
musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata:
“Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu
dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
iii ). Ar-Ra’d :11 Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merobah
Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah kondisi
[Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama
mereka tidak merobah karena-alasannya kemunduran

62
mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-Ra’d
:11)
E. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MU’TAZILAH DAN
SYIAH
1. Sejarah kemunculan Mu’tazilah
Mu’tazilah muncul di Kota Basrah (Irak) pada asbad ke-2
H (antara tahun 105-110 H), pada masa Khalifah Abdul Malik
bin Marwan dan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Awal
pemberian nama Mu’tazilah menurut sebagian pendapat
diberikan oleh orang di luar Mu’tazilah. Berdasarkan ucapan
Hasan Al-Bashri, setelah melihat Washil bin Atha’
memisahkan diri dari halaqah yang diselenggarakan olehnya.
Hasan Al-Bashri, dalam sebuah riwayat memberi
komentar “i’tazala ‘anna” (dia mengasingkan diri dari kami).
Akhirnya orang-orang yang mengasingkan diri tersebut disebut
dengan “Mu’tazilah” yang berarti orang yang mengasingkan
diri dari majelis Hasan Al-Bashri.60
Ada yang berpendapat bahwa kelompok Mu’tazilah telah
muncul pada pertengahan abad pertama Hijriah, yakni
diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau
bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik, seperti
peristiwa meletusnya Perang Jamal dan Siffin, yang kemudian
mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam
konflik tersebut memilih jalan tengah. Pada abad ke-2 H,
Mu’tazilah muncul karena dorongan persoalan akidah.
Pendapat lain juga mengatakan bahwa penyebutan Mu’tazilah

60
Nok Aenul Latifah, dkk., Paham Ilmu Kalam, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri,2014) h.166

63
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Murji’ah
dan Khawarij tentang tahkim atau pemberian status bagi orang
yang melakukan dosa besar.
2. Sejarah munculnya Syiah
Mengenai kemunculannya, terdapat beberapa pendapat.
Menurut Abu Zahrah Syi’ah muncul pada akhir masa Khalifah
ketiga, yaitu Utsman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang
pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.61 Sementara menurut
kalangan Syi’ah sendiri, kemunculannya berkaitan dengan
pemilihan khalifah, pengganti Nabi Muhammad. Mereka menolak
pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan.
Menurut pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak
menggantikan beliau. Menurut Watt, Syi’ah baru benar-benar
muncul ketika terjadi peperangan antara Ali dan Mu’awiyyah
yangdikenal dengan perang Shiffin. Di dalam peperangan ini, Ali
menerima arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyyah. Pasukan Ali
kemudian terpecah menjadi dua. Satu kelompok mendukung Ali,
yang kemudian dikenal dengan Syi’ah, dan satu kelompok yang
tidak mendukung Ali dikenal dengan Khawarij.
Pada masa pemerintahan Mu’awiyah terjadi ketidak
kondusifan dalam pemerintahannya. Mu’awiyah menciptakan
tradisi buruk pada masanya yang berlanjut pada masa anaknya,
Yazid dan para penggantinya sampai masa khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Tradisi buruk itu adalah mengutuk Imam Al-Huda,
yaitu Ali bin Abi Thalib pada setiap penutup khutbah

61
Nok Aenul Latifah, dkk., Paham Ilmu Kalam, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri,2014) h.145

64
jum’at.62 Para sahabat telah melarang Mu’awiyah dan pejabat-
pejabatnya melakukan hal itu. Bahkan Ummu Salamah, istri Nabi
menulis surat kepada Mu’awiyah, “Sesungguhnya Anda telah
mengutuk Allah dan Rasul-Nya karena karena Anda mengutuk Ali
bin Abi Thalib dan orang-orang yang dicintainya. Saya bersaksi
bahwa Rasulullah mencintainya.”
Pada masa Yazid, Husain bin Ali dibunuh secara kejam, dan
darahnya mengalir secara keji, tanpa mengindahkan kehormatan
agama. Anak-anak perempuan Husain dan Ali pun ditawan oleh
Yazid bin Mu’awiyah, sedangkan mereka adalah anak cucu Nabi.
Rakyat menyaksikan hal itu tanpa bisa mencegah dan
mengubahnya. Mereka hanya dapat menahan kemarahan, menekan
perasaan dan menaggung penderitaan yang sangat berat. Karena
itu, mereka terdorong untuk memberikan penghargaan yang
berlebihan terhadap orang-orang yang dianiaya secara kejam oleh
Bani Umayyah. Perlakuan pemerintah itu telah menciptakan
tekanan mental dan jiwa pada diri para pendukung Ali, dan hal itu
mendorong mereka memberikan penghargaan yang berlebihan
terhadapnya, karena rasa kasih sayanag dapat mendorong
timbulnya sikap membesar-besarkan dan melebih-lebihkan.
Irak merupakan tempat munculnya Syi’ah, hal ini
dikarenakan beberapa sebab yang saling mendukung. Ali bin Abi
Thalib menjadikan Irak sebagai kediamannya pada masa
kekhalifahannya. Disana ia bertemu dengan rakyat yang
memandangnya memiliki banyak kelebihan yang membuat mereka
menghargainya. Sementara itu, mereka tidak pernah menunjukkan

62
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta:
Logos Publishing House,1996) h. 36

65
rasa patuh terhadap para penguasa Umawi. Pada masa
kekhalifahannya, Mu’awiyah mengangkat Ziyad bin Abih untuk
memimpin penumpasan kelompok pembangkang itu. Misi Ziyad
belum berhasil mencabut akar-akar kebencian dari dalam jiwa
mereka. Ketika Ziyad wafat, putranya menggantikan posisinya
pada masa kekhalifahan Yazid bin Mu’awiyah. Namun, ketika itu
penduduk Irak telah menjadi kelompok pertama yang
memberontak terhadap para penguasa Umawi sampai kekuasaan
dipegang oleh putra-putra Marwan. Khalifah Abdul Malik bin
Marwan mengangkat Al-Hajjaj untuk memimpin penumpasan
mereka, sehingga api pemberontakan menjadi panas. Namun,
semakin panas api itu, semakin lekat madzhab Syi’ah dalam jiwa
para penganutnya.63
Di samping itu, Irak merupakan tempat pertemuan
peradaban-peradaban kuno. Di sana terdapat berbagai pengetahuan
Persia serta sisa-sisa peradabannya. Filsafat Yunani juga masuk ke
Irak. Berbagai peradaban dan pemikiran itu bercampur di Irak,
sehingga Irak menjadi tempat tumbuhnya berbagai golongan
dalam Islam, khususnya yang berhubungan dengan filsafat. Itulah
sebabnya Syi’ah banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosofis yang
telah beradaptasi dengan pemikiran di Irak. Hal ini
memperlihatkan bahwa sejak dahulu Irak penuh dengan berbagai
pemikiran dan akidah sehingga melahirkan madzhab-madzhab
politik dan akidah. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa
dalam kondisi lingkungan seperti itu pemikiran Syi’ah dapat
berkembang.

63
Ibid, hlm.37

66
3. Tokoh-tokoh Mu’tazilah dan Syiah
a. Tokoh-tokoh Syiah
i ). Abdullah bin Saba’
ii ). Zaid bin Ali Zainul Abidin
iii ). Abu Dzar bin Jundab al Ghiffari
iv ). Salman al Farisi
v ). Abdullah bin Khatab bin Arat
b. Tokoh-tokoh Mu’tazilah
i ). Wasil bin Atha
ii ). Abu Huzail al-Allaf
iii ). Ibrahim bin Sayyar an-Nasam
iv ). Al –Jubba’i

4. Ajaran-ajaran Pokok Mu’tazilah dan Syiah


a. Doktrin Aliran Muktazilah
Mu’tazilah memiliki asas dan landasan tersendiri. Doktrin
yang terkenal adalah lima landasan pokok Mu’tazilah atau yang
dikenal dengan usulul khamsah.
b. At-Tauhid (Keesaan Tuhan)
Tuhan adalah dzat yang tunggal. Tuhan mendengar dengan
dzat-Nya, melihat dengan dzat-Nya dan berkata dengan dzat-
Nya. Atas prinsip tersebut kaum Mu’tazilah menetapkan bahwa
Allah mustahil dapat dilihat pada hari kiamat, jika dapat dilihat
berarti bahwa Allah berjasad. Kaum Mu’tazilah juga menetapkan
bahwa sifat-sifat Allah bukanlah sesuatu yang lain dari dzat-Nya
sendiri. Jika tidak demikian, maka menurut pendapat mereka
akan terjadi ta’addud al-qudama’ (yang qadim menjadi
berbilang). Dengan dasar tauhid ini mereka menetapkan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk (diciptakan) Allah. Penetapan ini
dimaksudkan untuk mencegah berbilangnya yang qadim.
c. Al- ‘Adl (Keadilan Tuhan)
Kaum Mu’tazilah ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari
persamaan dengan perbuatan makhluk. Mereka sangat yakin jika

67
Tuhan maha adil. Manusia dihukum Tuhan karena mengerjakan
dosa dan mendapat pahala karena melakukan amal ibadah yang
baik. Oleh karena itu, menurut kaum Mu’tazilah semua
perbuatan manusia dibuat dan diciptakan oleh manusia sendiri,
baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Semua perbuatan
manusia tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan.64
d. Al-Wa’du wal Wa’id (Janji dan Ancaman)
Kaum Mu’tazilah yakin bahwa janji dan ancaman pasti
terjadi, yaitu janji Tuhan yang berupa pahala (surga) bagi orang
yang berbuat baik dan ancaman berupa siksa (neraka) bagi yang
berbuat durhaka. Begitu pula janji Tuhan untuk memberikan
pengampunan bagi orang-orang yang bertaubat.65
e. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua
Tempat)
Pokok ajaran Al-Manzilah baina Al-Manzilatain adalah
orang Islam yang melakukan dosa besar (maksiat) selain syirik
dan belum bertaubat tidak dikatkan kafir atau mukmin, tetapi
disebut dengan fasik. Keimanan menuntut adanya kepatuhan
kepada Tuhan dan tidak cukup hanya dengan pengakuan dan
pembenaran.66
f. Al-Amru bil Ma’ruf wa An-Nahy ‘An Al-Munkar (Menyuruh
Berbuat Baik dan Melarang Kemungkaran)
Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa akal manusia
sanggup membedakan antara yang baik dan buruk. Kaum
Mu’tazilah menetapkan bahwa semua Muslim wajib melakukan
upaya menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran untuk

64
Mulyono, dkk., Studi Ilmu Tauhid/Kalam, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010)
hlm. 169.
65
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
(Jakarta: Logos Publishing House,1996) hlm.153
66
Nok Aenul Latifah, dkk., Paham Ilmu Kalam, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri,2014) hlm. 169

68
menyiarkan dakwah Islam dan mengetahui orang yang sesat serta
mencegah serangan orang yang mencampur adukkan kebenaran
dan kebatilan sehingga mereka tidak dapat menghancurkan
Islam.67
g. Doktrin Aliran Syiah
i ). Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa
ii ). Al- Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adi
iii ). An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi’ah pada
keberadaan para nabi sama seperti muslimin yang lain.
Kepercayaan Syi’ah tentang kenabian adalah:
1) Jumlah Nabi dan Rasul Allah ada 124.000
2) Nabi dan Rasul terakhir adalah Nabi Muhammad
SAW.
3) Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan
tidak ada cacat apapun. Beliaulah Nabi paling
utama dari seluruh Nabi yang ada.
4) Ahlul Bait (keluarga dekat) Nabi Muhammad
adalah Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan
keturunannya adalah manusia-manusia suci.
5) Al-Qur’an adalah mukjizat kekal Nabi Muhammad
SAW.
iv ). Al-Imamah, bahwa bagi Syi’ah berarti pemimpin urusan
agama dan dunia, yaitu seseorang yang bisa menggantikan
peran Nabi Muhammad SAW sebagai pemelihara syari’at
Islam, mewujudkan kebaikan dan ketenteraman umat.

67
mam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta:
Logos Publishing House,1996) hlm.154

69
v ). Al-Ma’ad, bahwa Syi’ah mempercayai kehidupan
akhirat.68
5. Dalil Mu’tazilah dan Syiah
a. Dalil Al-qur’an ajaran Mu’tazilah
Allah berfirman di dalam al-Qur’an surah al-Anam; 103,
berbunyi:

‫ف ۡال َخ ِب ۡي ُر‬
ُ ‫ارۚ َوه َُو اللَّ ِط ۡي‬
َ ‫ص‬َ ‫ار َوه َُو يُ ۡد ِركُ ۡالَ ۡب‬
ُ ‫ص‬َ ‫َل ت ُ ۡد ِر ُكهُ ۡالَ ۡب‬
Terjemah:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia
dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha
Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS.Al-Anam : 103 )
Menurut Zamakhsyari ayat ini sebagai penjelasan bahwa
Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala kapan pun. Lafad
nafi (la) yang terdapat pada ayat tersebut berlaku umum, tidak
terkait waktu dan tempat tertentu, baik di dunia maupun di
akhirat.
a. Allah berfirman di dalam al-Qur’an surah al-Qiyamah 22-23,
berbunyi:

ِ َّ‫ُو ُج ۡوهٌ ي َّۡو َم ِٕٮ ٍذ ن‬


ٌ ‫اض َرة‬
ِ ‫إِلَ ٰى َربِ َها ن‬
ٌ ‫َاظ َرة‬
Terjemah:
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
Kepada Tuhannyalah mereka melihat”.
Zamakhsyari berpendapat bahwa karena Tuhan bersifat
immateri, maka tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Kata

68
Mulyono, dkk., Studi Ilmu Tauhid/Kalam, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010)
hlm.112

70
nadhirah diartikan oleh Zamakhsyari dengan arti al-tawaqqu wa
al-raja’ (penantian dan pengharapan). Allah adalah esa, dan
tidak ada sesuatu apa pun yang menyerupainya. Dia
bukan jisim (materi), tidak bertubuh, tidak berbentuk, tidak
berdaging, tidak berdarah, tidak adanya warna, rasa, panas,
dingin, basah, dan lain-lain yang merupakan sifat makhluk.
b. Allah berfirman di dalam al-Qur’an surah al-Baqarah 30,
berbunyi:
‫إِ ْذ قَا َل َربُّكَ ِل ْل َم ََلئِ َك ِة‬
Terjemah:
“Ketika Tuhanmu bersabda kepada Malaikat”
Maka pengertian ‘idz’ (ketika) di dalam firman itu
menunjukkan suatu tempo, yaitu tempo masa silam. Maka sabda
Allah yang dinyatakan itu telah terjadi pada suatu tempo tertentu.
Setiap sesuatu yang terikat kepada tempo adalah suatu
‘kebaruan’. Nyatalah sabda Allah yang dinyatakan itu bukanlah
dimaksudkan atribut azali dari Allah, yakni al-Kalam, tetapi
mestilah diartikan dengan suatu pengertian yang lain.69

c. Dalil Al-qur’an ajaran Syiah


i ). QS. Al-Israa: 71

ٰٰۤ ُ
َ‫ولٮِٕكَ يَ ْق َر ُء ْون‬ ‫ي ِك ٰتبَه بِيَ ِم ْينِه فَا‬
َ ِ‫ام ِه ۚ ْم فَ َم ْن ا ُ ْوت‬ ٍ ‫ع ْوا ُك َّل اُن‬
ِ ‫َاس بِ ِا َم‬ ُ ‫يَ ْو َم نَ ْد‬
ْ ‫ِك ٰت َب ُه ْم َو َل ي‬
‫ُظلَ ُم ْونَ فَتِي ًَْل‬

Terjemah:
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap
umat dengan imamnya; dan barang siapa yang diberikan
kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini
akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya
sedikit pun”

69
https://ahamughny.wordpress.com/2009/08/06/al-quran-danmuktazilah/ diakses
pada tanggal 10 Oktober 2022

71
Pada hari pengadilan akhirat, takdir dari setiap orang
yang mengikuti para imamnya yang dipercayainya akan
tergantung dari imam-imam yang dipercayainya itu apabila
ia memang benar-benar mengikuti para imam yang ia
percayai itu. Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa
ada dua jenis imam yang diikuti dan diyakini oleh para
pengikutnya. Ada imam yang mengajak manusia untuk
masuk ke dalam api neraka. Untuk kategori ini adalah para
pemimpin yang dzalim di masanya seperti Fir’aun.
ii ). QS. Al-Qashash: 41-42
َ‫ص ُرون‬َ ‫ار ۖ َويَ ْو َم ْٱل ِق ٰيَ َم ِة َل يُن‬ ِ َّ‫َو َجعَ ْل ٰنَ ُه ْم أَئِ َّمةً يَ ْدعُونَ إِلَى ٱلن‬
ِ ‫َوأَتْبَ ْع ٰنَ ُه ْم فِى ٰ َه ِذ ِه ٱلدُّ ْنيَا لَ ْعنَةً ۖ َويَ ْو َم ْٱل ِق ٰيَ َم ِة هُم ِمنَ ْٱل َم ْقب‬
َ‫ُوحين‬
Terjemah:
“Dan Kami jadikan mereka para imam yang menyeru
(manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak
akan ditolong. Dan Kami ikutkanlah laknat kepada mereka
di dunia ini; dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-
orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah)” (QS. Al-
Qashash: 41—42).
Al-Qur’an sudah memberikan peringatan kepada
orang-orang yang mengikuti para imam yang dzalim dan
para pengikut imam seperti itu akan mendapatkan takdir
buruknya kelak di akhir zaman. Mereka akan digabungkan
dengan para imamnya itu dalam jahanam.
iii ). QS. As-Sajdah: 24

َ ‫َو َجعَ ْلنَا ِم ْن ُه ْم أَئِ َّمةً يَ ْهدُونَ بِأ َ ْم ِرنَا لَ َّما‬


‫صبَ ُروا ۖ َوكَانُوا‬
َ‫بِـَٔا ٰيَتِنَا يُوقِنُون‬
Terjemah:
“Dan Kami JADIKAN di antara mereka itu IMAM-IMAM
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika
mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat
Kami.”

72
Al-Qur’an juga memberikan informasi tentang adanya
Imam-Imam yang memang ditunjuk oleh Allah untuk
membimbing manusia ke jalan yang benar. Dalam ayat
tersebut terdapat kalimat ‫ جعلنا‬yang berarti “JADIKAN”
dan yang berarti ‫“ أئمة‬IMAM-IMAM” yang menjelaskan
secara tegas tentang jabatan Imam yang ditunjuk oleh Allah
dan bukan oleh manusia. Dan mereka memiliki fungsi yang
kurang lebih sama dengan nabi walaupun tidak membawa
kitab suci yang baru.
F. ASY’ARIAH DAN MATURIDIAH ILMU KALAM
1. Riwayat hidup singkat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi
a. Riwayat singkat hidup Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin
Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa
bin Bilal bin Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Beliau lahir
di Basrah tahun 260 H/ 875 M dan wafat di Baghdad tahun 324
H/ 935 M. Sahabat Rosulullah nasab Asy’ari berakhir pada
sahabat yang mulia, Abu Musa Al-Asy’ari yang nama beliau
adalah Abdullah bin Qais bin Hudhar Al-Asy’ari Al-Yamani.70
b. Riwayat singkat hidup Maturidi
Nama adalah Abu Mansur Muhammad bin Mahmud Al-
Maturidi , dilahirkan di Mutarid, sebuah kota kecil di daerah
Samarkand wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah yang sekarang
disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara
pasti, hanya dipastikan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia

70
Abdul Rozaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam edisi Revisi, Cet. III (Bandung :
CV Pustaka Setia,2014), hlm. 146

73
wafat pada tahun 333 H/ 944 M. Gurunya dalam bidang fiqh dan
teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Maturidi hidup
pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah pada tahun
232-274 H/ 847-861 M.71

2. Latar Kemunculan Asy’ariah dan Maturdiah


a Sejarah munculnya Asy’ariyah
Ajaran Asy’ariyah muncul setelah umat Islam terbebas dari
belenggu ajaran Mu’tazilah pada abad ke-3 H. Ajaran ini
dinisbatkan kepada Abu Hasan Al-Asy’ari yang muncul di negeri
Basrah. Pada awalnya beliau mengikuti Madzhab Mu’tazilah, tetapi
kemudian meninggalkan dan menjauh darinya. Penisbatan
Asy’ariyah kepada kepada Abu Hasan Al-Asy’ari terjadi setelah
beliau meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan mengikuti Ibnu Kilab
yang merupakan perjalanan keyakinannya yang kedua.72
b Sejarah munculnya Maturidiyah
Maturidiyah merupakan pengikut Abu Mansur Muhammad
ibn Mahmud Al-Maturidiyah, ia adalah pengikut Abu Hanifah dan
paham-paham teologinya banyak bersamaan dengan paham-paham
yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang
ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli
Sunnah hanya ada beberapa beberapa ajarannya yang menyimpang
dari Aqidah Ahli Sunnah. Disebut Maturidiyah karena dinisbatkan

71
Abdul Rozaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam edisi Revisi, Cet. III (Bandung :
CV Pustaka Setia,2014), hlm. 151
72
Abdul Rozaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam edisi Revisi, Cet. III (Bandung :
CV Pustaka Setia,2014), hlm. 145

74
kepada negerinya “Maturi” dan pengikut pahamnya ini disebut
Maturidiyah.73

3. Doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah


a. Tokoh-tokoh Asy’ariyah
i ). Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324 H/ 875-935 M)
ii ). Muhammad Ibn Al-Thayib Ibn Muhammad Abu Bakr Al-
Baqilani (W.1013M)
iii ). Abd Al-Malik Al-Juwaini (419-478 H)

b. Tokoh-tokoh Maturidiyah

i ). Abu Manshur Al-Mathuridiyah (w.944M)


ii ). Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi (421-493H)
iii ). Abu Ma’in An-Nasafi (508 H)

4. Doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah

a. Doktrin-doktrin Teologi As-Asy’ariyah.


i ). Tentang Sifat Allah
ii ). Tentang Kedudukan Al-Qur’an
iii ). Tentang melihat Allah Di Akhirat
iv ). Tentang kebebasan manusia dalam berkehendak
v ). Tentang Akal, wahyu dan kriteria baik dan buruk
vi ). Tentang dosa Besar
vii ). Tentang Keadilan Allah

b. Doktrin-doktrin Teologi Maturidiyah.


i ). Akal dan wahyu
ii ). Perbuatan manusia

73
Abdul Rozaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam edisi Revisi, Cet. III (Bandung :
CV Pustaka Setia,2014), hlm. 163

75
iii ). Kekuasaan dan Kehendak mutlak Tuhan
iv ). Sifat Tuhan
v ). Melihat Tuhan
vi ). Kalam Tuhan
vii ). Perbuatan manusia
viii ). Pengutusan Rosul
ix ). Pelaku dosa Besar

c. Persamaan doktrin

i ). Akal dan wahyu


ii ). Sifat Tuhan
iii ). Kalam Tuhan

d. Perbedaan Doktrin

Untuk perbdaan itu seperti yang sudah kita uraikan diatas


dalam doktrin-doktrin dari kedua aliran yang dibahas pada
kesempatan ini.

5. Apa saja sekte-sekte aliran Maturidiyah

a. Golongan Samarkand
Yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri.74 Pahamnya lebih
dekat kepada Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-
sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, al-Maturidi sepakat
dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya
mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi dan al-Asy’ari memiliki
persamaan pandangan, menurut al-Maturidi, Tuhan mempunyai

74
Harun Nasution, Teologi Islam, Cet. 5 ( Jakarta: Universitas Indonesia press,
1986), hlm. 78

76
sifat-sifat, Tuhan megetahui bukan dengan dzatnya, melainkan
dengan pengetahuannya.
b. Golongan Bukhara
Yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Dia merupakan
pengikut al-Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam
pemikirannya. Yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah
pengikut-pengikut al-Bazdawi dalam aliran Maturidiahnya.
Walaupun sebagai pengikut aliran Maturidiyah, al-Bazdawi selalu
sepaham dengan al-Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut
oleh umat Islam yang bermadzhab Hanafi.

6. Pengaruh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah75

a. Pengaruh ajaran Aliran Asy’ariyah


Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan
keahliannya dalam perdebatan dengan basis keilmuan yang dalam.
Di samping itu, ia adalah seorang yang shaleh dan taqwa sehingga
ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh
kepercayaan dari mereka.
b. Tokoh-tokoh Asy’ariyah tidak hanya ahli dalam bidang
memberikan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan dalam
mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal jama’ah melalui
perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiyah yang
menjadi referensi hingga saat ini.
c. Pengaruh ajaran Aliran Maturidiyah
Terhadap perkembangan dunia Islam, aliran Maturidiyah ini
telah meninggalkan pengaruh yang sangat besar. Hal ini dapat kita

75
Harun Nasution, Teologi Islam, Cet. 5 ( Jakarta: Universitas Indonesia press,
1986), hlm. 78

77
pahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil jalan
tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli.

G. WAHABI
1. Latar Belakang Kemunculan Wahabi

Wahabi adalah gerakan pembaharuan dan pemurnian islam yang


di pelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab bin Dulaiman At-
Tamimi (1115-1206 H / 1703-1792 M) dari Najd, Semenanjung
Arabia. Istilah wahabi telah di kenal semasa Ibn Abdul Wahhab Hidup,
tapi bukan atas inisiatif dirinya melainkan berasal dari lawan-
lawannya, Ini berarti Istilah wahabi merupakan bagian dari rangkaian
stigma terhadap gerakannya.

Wahabisme atau ajaran Wahabi muncul pada pertengahan abad


18 di Dir’iyyah sebuah dusun terpencil di jazirah arab, daerah Najd.
Kata wahabi sendiri di ambil dari nama pendirinya, Muhammad Ibn
Abdul Wahhab (1703 -1789 M). Laki-laki ini lahir di najd, di sebuah
dusun kecil Uyayna. Ibn Abdul Wahhab adalah seorang mubaligh yang
fanatik, dan telah menikahi lebih dari 20 wanita (tidak lebih dari 4 pada
waktu bersamaan) dan mempunyai 18 orang anak.

2. Perkembangan Doktrin-Doktrin Wahabi

Secara umum tujuan gerakaran Wahabi adalah mengikis habis


segala bentuk takhayul, bid’ah, khurafat dan bentuk-bentuk
penyimpangan pemikiran dan praktik keagamaan umat islam yang
nilainya telah keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya. Ada beberapa
yang di doktrinkan atau di ajarkan dalam praktik gerakan ini, yaitu
sebagai berikut:

78
Menurut penuturan al-Maghfurah KH. Siradjuddin Abbas,
praktik dan ajaran wahabi di Makkah dan Madinah, antara lain:

a. Semua objek peribadatan selain Allah adalah palsu dan siapa saja
yang melakukan lurus menerima hukuman mati atau di bunuh.
b. Orang yang berusaha memperoleh kasih Tuhannya dengan cara
mengunjungi kuburan orang-orang suci bukanlah orang-orang
yang bertauhid, tetapi termasuk orang musyrik.
c. Tidak boleh membunyikan radio.

Sejak kemunculannya, kelompok ini memiliki doktrin yang


berbahaya, yang menjadi karakteristik dasar gerakannya, yaitu:

a. Suka mengafirkan setiap orang yang secara akidah & madzhab


berbeda dengan mereka.
b. Aqidah mereka ini pada dasarnya akidah yang berasal dari
pemikiran Ibnu Taimiyah, yaitu memtajsimkan/menjisimkan san
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
c. Pembagian tauhid ini berasal dari Ibnu Taimiyah dan dielaborasi
& dikuatkan oleh Abdul Wahab dalam kitabnya yang bernama
“At-tauhid”.

3. Tokoh-Tokoh Wahabi

a. Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H – 1206 H/1701 – 1793


M)
Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi:
− Pendiri dan pelopor gerakan Wahabi
− Mufti Kerajaan Arab Saudi.
b. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (1330 H – 1420 H / 1910 M
1999 M)

79
Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi:
− Qadhi (Hakim) di daerah al-Kharaj semenjak tahun
1357-1371 H,
− Tahun 1390 H – 1395 H Rektor Universitas Islam
Madinah.
− Tahun 1414 H Mufti Umum Kerajaan.
c. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (1347 H – 1421 H)
Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi:
− Imam masjid jami’ al Kabir Unaizaih
− Mengajar di perpustakaan nasional Unaizah
− Dosen fakultas syariah dan fakultas ushuluddin cabang
Universitas Islam Imam Muhammad bin saud di Qasim.
d. Muhammad Nashiruddin Al-Albani (1333 H – 1420 H/1914 M
– 1999 M)
Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi:
− 1381 sampai 1383 H: Dosen Hadits Universitas Islam
Madinah
e. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan (1345 H )
Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi:
− Dosen Institut Pendidikan Riyad Fakultas Syari’ah,
Fakultas Ushulud Dien, Mahkamah Syariah
− Anggota Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta’ (Komite
Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa).
− Anggota Haiah Kibaril Ulama’ dan Komite Fiqh
Rabithah Alam Islamiy di Mekkah
− Anggota Komite Pengawas Du’at Haji
− Ketua Lajnah Daimah lil buhuts wal ifta’.

80
− Imam, Khatib dan Pengajar di Masjid Pangeran Mut’ib
bin Abdil Aziz di Al Malzar.
f. Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin (‫عبد للا بن عبد الرحمن بن‬
2009- 1933) ‫ جبرين‬M / 1353 – 1430 H,
Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi
− Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
− Anggota tetap majlis riset dan fatwa Arab Saudi
− Dosen syariah dan ushuluddin di Arab Saudi

H. AKAL & WAHYU


1. Akal
Alqur’an adalah wahyu Allah yang tertulis, yang di dalamnya
terdapat berbagai macam pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dari
akal, dan di dalam Alqur’an sendiri akal diberikan penghargaan yang
tinggi. Bukan hanya merupakan ajaran dalam teori, tetapi ajaran yang
telah pernah diamalkan oleh cendikiawan dan ulama Islam, Tidak
sedikit ayat-ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya
banyak berfikir dan mempergunakan akalnya. Kata-kata yang dipakai
dalam Alqur‟an untuk menggambarkan perbuatan berfikir, bukan
hanya ‘aqala saja tetapi juga ya’qilun dan ta’qilun76

2. Wahyu

Wahyu berasal dari kata al-wahy dan al-wahy adalah berarti


suara, api dan kecepatan. Di samping itu diartikan juga mengandung
arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-Wahy selanjutnya
mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat.
Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti ‟ apa yang disampaikan Tuhan

76
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam,(Jakarta: UI Press, 1986), hlm.
52.

81
kepada nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung
arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar
diteruskan kepada umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di
dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam Islam wahyu atau sabda
Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul
semuanya dalam Alqur‟an77

3. Hubungan Akal Dan Wahyu

Menurut Harun Nasution adalah Hubungan Antara Akal dan


Wahyu dalam Islam. Harun Nasution menjelaskan bahwa hubungan
antara akal dan wahyu sering menimbulkan pertanyaan, tetapi
keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi
dalam Al-Qur‟an. Dalam pemikiran Islam, baik dibidang filsafat, ilmu
kalam apalagi ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal
tetap tunduk pada wahyu. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu
dan tidak untuk menentang wahyu. Yang bertentangan adalah
pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.78

Akal dan wahyu merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan


satu sama yang lainnya. Sekalipun tinggi rasio (pemikiran) seseorang
tetapi di samping itu ada suatu yang tidak terjangkau oleh akalnya,
melainkan melalui wahyu Ilahi, tetapi di dalam kehidupan sekarang ini
yang mengukir kesuksesan secara materi dan kaya akan ilmu
pengetahuan serta teknologi. Dan tidak terlepas dari wahyu yang
diberikan oleh Allah SWT supaya manusia tersebut tidak hilang
kendali pada zaman sekarang ini.

77
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, Cet II, 198),
hlm. 15.
78
Harun Nasution , Teologi Islam. (Jakarta : UI Press, 1986), h. 80.

82
4. Fungsi Akal Dan Wahyu

Akal bersifat teoritis dan praktis. Akal praktis lazim dimiliki


semua orang. Unsur ini merupakan asal daya cipta manusia, hal-hal
yang dapat di akalli secara praktis, yang dihasilkan lewat pengalaman
yang didasarkan pada perasaan dan imajinasi. Dan lewat akal
praktislah manusia mencintai dan membenci.79

Wahyu diperlukan untuk memberi tahu manusia, bagaimana


cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang
mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan
hukuman yang akan di terima manusia di akhirat. Sementara itu, bagi
bagi aliran kalam tradisional karena memberikan daya yang lemah
pada akal fungsi wahyu pada aliran ini adalah sangat besar. Tanpa
diberi tahu oleh wahyu manusia tidak mengetahui mana yang baik dan
yang buruk, dan tidak mengetahui apa saja yang menjadi
kewajibannya.

Ringkasnya bahwa filsafat yang berpangkal pada akal dan


wahyu yang berpangkal pada agama adalah saudara kembar. Disinilah
jelas fungsi akal dan wahyu dalam ajaran agama Islam tidak begitu saja
membiarkan akal berlari dengan bebasnya sesuai dengan hasrat dan
emosional manusia, akan tetapi agama berfungsi disini untuk
membimbing akal terhadap keberadaan akal itu sendiri berfungsi untuk
memberi metodelogi berpikir yang benar dalam setiap menghadapi
hal-hal yang ada diluar jangkauan dan kapasitasnya, fungsi lain dari

79
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001),
hlm.125.

83
wahyu adalah menguatkan pendapat akal melalui sifat sacral dan
absolute yang yang terdapat dalam wahyu.

I. PERBEDAAN PENDAPAT ALIRAN PELAKU DOSA BESAR


MENURUT KHAWARIJ, MURJIAH, MU’TAZILAH,
ASYARIYAH, MATURIDIYAH
1. Pelaku Dosa Besar Menurut Khawarij

Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua


sub sekte khawarij, kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa
dineraka selamanya. Sub sekte yang sangat ekstrim, azariqah,
menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik.
Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau
bergabung dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam
pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi
kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka
kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.

2. Pelaku Dosa Besar Menurut Murjiah

Pandangan aliran Murji’ah tentang status pelaku dosa besar


dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka.
Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan sub sekte Khawarij
dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat. Harun
nasution berpendapat bahwa sub sekte Murji’ah yang ekstrim dan
mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.
Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi
dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan
perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti
telah menggeser atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya
masih sempurna dimata Tuhan. Adapun Murji’ah moderat ialah
84
mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi
kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya,
bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia
bebas dari siksa neraka.

3. Pelaku Dosa Besar Menurut Mu’tazilah

Dibandingkan dengan aliran khawarij yang mengkafirkan


pelaku dosa besar dan murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa
besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi
pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan
sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah baial manzilataini.
Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada diposisi tengah
diantara posisi mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan
belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-
lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan
dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya,
beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti Wastul bin Atha’ dan Amr bin
Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan
mukmin atau kafir.

4. Pelaku Dosa Besar Menurut Asy’ariyah

Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari, sebagai


wakil Ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke
baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti
berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang
yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat
dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan

85
anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini
keharamannya, ia dipandang telah kafir.

Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar,


apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut Al-
Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa
berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa
Asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan
Murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para
pelaku dosa besar.

5. Pelaku Dosa Besar Menurut Maturidiyah

Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat


menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena
adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya
kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika
ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan
sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku
dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraka, tetapi tidak kekal
didalamnya.

J. PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN: IMAN DAN KUFUR


1. Iman dan Kufur Menurut Aliran Khawarij
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya
kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga
merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau
religious, termasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari
keimanan (al-‘amal juz’un minal iman). Menurut Khawarij, orang

86
yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lainnya maka
orang itu kafir.80

2. Iman dan Kufur Menurut Murji’ah


Aliran Murji’ah berpendapat bahwa orang yang melakukan
dosa besar tetap mukmin. Adapun soal dosa besar yang mereka
lakukan ditunda penyelesaianya di hari kiamat. Mereka berpendapat
bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak
menjadi kafir karena melakukan dosa besar.81

3. Iman dan Kufur menurut Mu’tazilah


Menurut Mu’tazilah, iman adalah pelaksanaan kewajiban-
kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq)
tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya, tetapi jika
tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu maka ia tidak dikatakan
mukmin. Tegasnya iman adalah amal, iman tidak bearti pasif,
menerima apa yang dikatakan orang lain, tetapi iman mesti aktif
karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.82

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang


mengerjakan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka ia tidak lagi
mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi orang fasiq. Di akhirat
ia dimasukkan kedalam neraka untuk selama-lamanya, meskipun
neraka orang mukmin tidak sama dengan neraka orang kafir.

80
Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, (dalam buku DR. Abdul Rozak,
M. Ag. hlm:143)
81
Nasution (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 144)
82
Ibn Hazm (dalam buku DR. Abdul Rozak, M.Ag. hlm: 148)

87
4. Iman dan Kufur Menurut Asy’ariyah
Agak pelik untuk memahami makna iman yang diberikan oleh
Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, sebab didalam karya-karyanya seperti
Maqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma, ia mendefinisikan iman secara
berbeda-beda. Dalam Maqalat dan Al-Ibanah disebutkan bahwa, iman
adalah qawl dan amal dan dapat bertambah dan berkurang.83

Di antara definisi iman yang diinginkan Al-Asy’ari dijelaskan


oleh Asy-Syahrastani, salah seorang teolog Asy’ariyah. Asy-
Syahrastani menulis:“ Al-Asy’ari berkata....Iman (secara esensial)
adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan
‘mengatakan’(qawl) dengan lisan dan melakukan berbagaikewajiban
utama (amal bil arkan) hanyalah merupakan furu’ (cabang-cabang)
iman. Oleh sebab itu, siapapun yang membenarkan keesaan Tuhan
dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta
apa yang mereka bawa darinya, iman orang semacam itu merupakan
iman yang shahih... dan keimanan seorang tidak akan hilang
kecualijika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut”.84

5. Iman dan Kufur Menurut Maturidiyah


Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand
bependapat bahwa iman adalah tashdiq bil qalb, bukan semata-mata
iqrar bil lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai
bantahan terhadap Al-Karamiyah, salah satu sebsekte Murji’ah. Ia
beragumentasi dengan ayat Al-Qur’an surat Al-Hujurat : 14

83
Al-Asy’ari (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 148
84
Asy Syahrastani (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 149)

88
K. PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN TENTANG PERBUATAN
TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA
1. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam suatu pemikiran kalam berpendapat
bahwasannya tuhan sebagai pencipta, melaksanakan kehendaknya,
Tuhan pasti melakukan berbagai perbuatan. Perbuatan disini
dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki
kemampuan untuk melakukannya. Diantara perbuatan tuhan menurut
aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagai berikut:
a. Aliran Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah merupakan aliran kalam yang bercorak


rasional. Aliran Mu’tazilah ini berpendapat bahwa perbuatan
tuhan yaitu:

i ). Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia.


Yaitu kewajiban berbuat baik. Namun, tidak
berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan
buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena
ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu.85
ii ). Berbuat baik dan terbaik
Adanya konsep tentang keadilan tuhan,
mendorong kelompok mu’tazilah untuk berpendapat
bahwa tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik dan
terbaik terhadap manusia.
iii ). Beban di luar kemampuan manusia
Memberi beban di luar kemampuan manusia
(Taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham

85
Anwar Rosihon, Ilmu Kalam, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), h. 154.

89
berbuat baik dan terbaik. Oleh karena itu kaum
Mu’tazilah tidak dapat menerima faham bahwa tuhan
dapat memberikan manusia beban yang tak dapat
dipikul.
iv ). Pengiriman rasul-rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan
mereka bahwasannya akal dapat mengetahui hal-hal
gaib, sehingga menurutnya pengiriman rasul-rasul
tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan
pengiriman rasul-rasul kepada umat manusia menjadi
salah satu kewajiban tuhan.
v ). Janji dan ancaman
Dalam pebuatan-perbuatan tuhan termasuk
perbuatan menepati janji dan menjalankan ancaman
(Alwa’d wa al-waid). Janji dan ancaman merupakan
salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran
Mu’tazilah, hal ini erathubungannya dengan dasar
kedua, yaitu keadilan. Tuhan tidak akan bersifat tidak
adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala
kepada orang yang berbuat baik, dan menjalankan
ancaman terhadap orang yang berbuat jahat.
b. Aliran Asy’ariyah
i ). Kewajiban-Kewajiban Tuhan Terhadap Manusia
Menurur aliran Asy’ariyah, faham kewajiban tuhan
yang dikatakan oleh aliran Mu’tazilah, tidak dapat
diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan
dan kehendak mutlak tuhan yang mereka anut. Faham
yang mengatakan bahwa tuhan dapat berbuat

90
sekehendak hatinya terhadap makhluk mengandung arti
bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa.
ii ). Berbuat Baik dan Terbaik
Hal ini ditegaskan oleh Al-Gazali, ketika
mengatakan bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat
baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran
Asy’ariyah tidak menerima faham tuhan mempunyai
kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hatinya
terhadap makhluknya.86
iii ). Beban di Luar Kemampuan Manusia
Aliran Asy’ariyah, karena percaya pada kekuasaan
mutlak tuhan dan berpendapat bahwa tuhan tidak
mempunyai kewajiban apa-apa. Aliran Asy’ariyah
menerima faham pemberian beban di luar kemampuan
manusia. Asy’ariyah sendiri dengan tegas mengatakan
dalam al-Luma’, bahwa tuhan dapat meletakkan pada
manusia beban yang tidak dapat dipikul. Al-Gazali juga
mengatakan demikian dalam al-Iqtisad.
iv ). Pengiriman Rasul-rasul
Walaupun pengiriman rasul memiliki arti penting
dalam teologi. Namun Aliran Asy’ariyah menolak
sebagai kewajiban tuhan. Karena hal itu bertentangan
dengan keyakinan mereka bahwa tuhan tidak
mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia.
Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik.
Sekiranya tuhan tidak mengutus rasul kepada umat
manusia, hidup manusia akan mengalami kekacauan.

86
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta:UI-Press, 1986), h. 129.

91
v ). Janji dan Ancaman
Bagi kaum Asy’ariyah faham ini tidak dapat
berjalan sejajar dengan keyakinan mereka tentang
kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, dan tentang
tidak adanya kewajibankewajiban bagi tuhan. Tuhan
tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan
menjalankan ancaman yang tersebut dalam al-Qur’an
dan Hadits.

2. Perbuatan Manusia
Berikut ini merupakan perbuatan-perbuatan manusia menurut
aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
a. Aliran Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempnyai


daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, mu’tazilah
menganut faham Qadariyah atau free will. Menurut al-juba’i
dan abd al-jubraa, manusialah yang menciptakan perbuatan-
perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan
buruk. Kepatuhan terhadap Tuhan dan ketaatan seseorang
kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri.
Daya (alsititha’ah) untuk mewujudkan kehendak terdapat
dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.

Disamping argumentasi anqilah di atas, aliran Mu’tazilah


mengemukakan argumentasi rasional berikut ini.:

i ). Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan


manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, batAllah
taklif syar’i.

92
ii ). Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan
perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan hukuman yang
muncul dari konsep faham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan
ancaman).
iii ). Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan,
pengutusan para nabi tidak ada gunanya sama sekali.
Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan
dakwah harus dibarengi kebebasan pilihan?

b. Aliran Asy’ariyah

Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa manusia berada


dalam posisi yang lemah. Ia diibaratkan seperti anak kecil yang
tidak punya pilihan dalam hidupnya.

Menurut faham Asy’ariyah, perbuatan manusia pada


hakikatnya adalah perbuatan tuhan dan diwujudkan dengan
daya tuhan dan bukan daya manusia. Dengan demikian,
manusia dapat melaksanakan beban yang tidak dapat dipikul,
karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya
manusia yang terbatas, tetapi daya tuhan yang tidak terbatas.

c. Aliran Maturidiyah

Menurut Al Maturidi ada perdebatan antara maturidiyah


Samarkand dan maturidiyah bukhara mengenai perbuatan
manusia. Kelompok samarkand lebih dekat dengan faham
Mu’tazilah, sedangkan kelompok bukhara lebih dekat dengan
faham asy’ariyah. Kehedak dan daya berbuat pada diri manusia
menurut maturidiyah samarkand adalah kehendak dan daya

93
manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti
kiasan.87

Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan


maturidiyah samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan
tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan
perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya
untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat
melakukan perbuatan yang telah diciptakan tuhan baginya.

L. PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN TENTANG: KEHENDAK


MUTLAK DAN KEADILAH TUHAN
1. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa
Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan di sini di pandang sebagai
konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk
melakukannya.

a. Kaum Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah sebagai aliran kalam yang bercorak
rasional, pendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada
hal-hal yang di katakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa
Tuhan tidak mampu melakukan perbutan buruk. Tuhan tidak
melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan
dari perbuatan buruk itu. Di dalam Al-Qur’an pun jelas
dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim.88

87
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung:Setia Pustaka, 1998), h, 112
88
M.yunan yusuf, alam pikiran islam : pemikiran kalam, perkasa. Jakarta, 1990,
hlm.89

94
b. Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran Asy’ariyah, paham kewajiban Tuhan
berbuat baik dan terbaik bagi manusia ash-shalah wa al-ashlah,
sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah, tidak dapat di terima
karena bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, hal ini di tegaskan Al-ghazali ketika
mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan
terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran Asy’ariyah
tidak menerima paham Tuhan mempunyai kewajiban.89 Tuhan
dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap makhluk
sebagaimana di katakan Al-ghazali, perbuatan-perbuatan
Tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak satupun darinya
yang mempunyai sifat wajib.
c. Aliran maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan
pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiah
Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga
memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah
menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, juga
pemikiran rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai
kewajiban Tuhan.

2. Kehendak Mutlak Tuhan Dan Keadilan Tuhan


a. Pengertian Kehendak Mutlak Tuhan Dan Keadilan Tuhan
Menurut kamus bahasa Indonesia karangan Desy Anwar
kehendak adalah kemauan, keinginan. Sedangkan Mutlak

89
Yusuf,op.cit,hlm 82

95
adalah umum mengenai segenapnya, tidak terkecuali, tiada
bersyarat lagi tidak terbatas. Jadi pengertian dari kehendak
mutlak Tuhan adalah kemauan atau keinginan Tuhan mengenai
semuanya (alam semesta) tidak terkecuali.
Sedangkan keadilan adalah awalan ke ditambah an, adil
yang berarti sifat yag tidak memihak, sifat berpihak pada yang
benar. Jadi keadilan Tuhan adalah sifat tidak memihak suatu
apapun.

b. Sebab Munculnya Perdebatan Tentang Kehendak Mutlak


Tuhan dan Keadilan Tuhan
Adanya perbedaan pendapat dalam aliran-aliran Ilmu
Kalam mengenai kekuatan akal fungsi Wahyu dan kebebasan
atau kehendak dan perbuatan manusia telah memunculkan
kehendak dan perbuatan manusia telah memunculkan pula
perbedaan pendapat tentang kehendak mutlak dan keadilan
Tuhan.
Perbedaan aliran-aliran kalam dalam persoalan kehendak
mutlak dari keadilan Tuhan ini didasari pula oleh perbedaan
pemahaman terhadap kekuatan akal dan fungsi Wahyu. Bagi
aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang
besar kekuasaan Tuhan pada hahikatnya tidak lagi bersifat
mutlak semutlak-mutlaknya. Adapun aliran yang berpendapat
sebaliknya berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan
bersifat mutlak.

96
3. Perbandingan Antar Aliran Tentang Kehendak Mutlak Tuhan
dan Keadilan Tuhan
a. Aliran Mu`tazilah
Aliran ini berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa
Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zhalim dengan
memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian
mengharuskan hamba-Nya menanggung akibat perbuatannya
karena manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan
perbuatannya tanpa ada paksaan sedikit pun dari Tuhan.
Dengan kebebasan itulah, manusia dapat bertanggung jawab
atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan
memberikan pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa
mengiringinya dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu.
b. Aliran Asy`ariyah

Aliran ini berbeda pendapat dengan Mu`tazilah yang


berpendapat manusia diberi kebebasan untuk berbuat dan
berkehendak kaum Asy`ariyah percaya pada kemutlakan
kekuasaan Tuhan berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak
mempunyai tujuan yang mendorong Tuhan untuk berbuat
sesuatu, semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-
Nya, dan bukan karena kepentingan manusia untuk tujuan yang
lain, pengertian keadilan menurut Asy`ariyah adalah dengan
menempatkan sesuatu pada tempatnya yang sebenarnya yaitu
mempunyai kekuasaan mutlak terdapat harta yang dimiliki
serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya.
Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa
Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya
dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Tuhan dapat memberi

97
pahala kepada hamba-Nya atau sebaliknya memberi siksa
dengan sekehendak hati-Nya dan itu semua adil bagi Tuhan
karena Dia penguasa Mutlak.

c. Aliran Maturidiyah

Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan


Aliran ini terpisah menjadi dua yaitu Maturidiyah Samarkand
dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan
perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal
dan pemberian batas terdapat kekuasaan mutlak Tuhan.
Kehendak mutlak Tuhan menurut Maturidiyah Samarkand,
dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti
bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu
untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan
kewajibankewajiban-Nya terhadap manusia.

M. ILMU KALAM MODERN


1. Ilmu kalam modern menurut M. Abduh
a Kedudukan akal dan fungsi wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama
pemikiran Abduh, sebagai mana diakuinya sendiri, yaitu:
i ). Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu
taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan
agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulama
sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya
perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber
pokoknya, AlQuran.

98
ii ). Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan
dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah
maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
2. Kebebasan manusia dan fatalism
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya piker,
manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan
sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar
ini di hilangkan dari dirinya, ia bukan manusia lagi, tetapi
makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu
mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya,
kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri,
dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya
yang ada dalam dirinya.
a. Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan.
Adapun mengenai masalah apakah sifat itu termasuk
esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal
itu terletak diluar kemampuan manusia. Dengan
demikian Nasution melihat bahwa Abduh cenderung
kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan
walaupun tidak secara tegas mengatakannya.

b. Kehendak mutlak Tuhan


Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan
manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat
mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlah-Nya
dengan member kebebasan dan kesanggupan kepada
manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatanya.

99
c. Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada akal dan
kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan
untuk memahami dan meninjau ala mini bukan hanya
dari segi kehendak mutlat Tuhan, tetapi juga dari segi
pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat
bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia
dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa
mamfaat bagi manusia.
d. Antromorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio
tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar
pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan
sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh
makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan
sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian
yang diberikan orang Arab kepadanya.
e. Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya
apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh
manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan
kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang pecaya
pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari
makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat menyatakan
bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan
dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan

100
dianugerahkan hanya kepada orang orang tertentu di
akhirat.
f. Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan
yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam
mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa
yang terbaik bagi manusia.90

2. Ilmu kalam modern menurut K.H Ahmad Dahlan


Kiyai Ahmad Dahlan merupakan salah satu tokoh gerakan
yang menyalakan api pembaharuan di Nusantara, dengan mendirikan
Muhammadiyah. Ide-ide pembaharuan beliau dipengaruhi oleh
pendidikan agama dan realitas sosial-keagamaan selama di nusantara
dan di Saudi Arabia.

Tambah lagi oleh bahan bacaan yang sering beliau gali dari
Majalah Al-Manar dan bahkan beliau pernah berjumpa langsung
dengan Muhammad Rasyid. Sebagai gerakan social-keagamaan,
Muhammadiyah merumuskan identitas dan aspek gerakannya.
Idetitas Muhammadiyah adalah sebagai gerakan islam, dakwah amar
ma’ruf nahi mungkar dan tajdid. Bergerak dalam tiga hal atau bidang
yaitu, bidang sosial, bidang keagamaan, dan bidang sosial pendidikan
atau sosial kemasyarakatan. Melalui identitas dan bidang gerakan
inilah, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi modern yang
terbesar di Nusantara bahkan dunia.

Gagasan pembaharuan ini kemudian melahirkan sebuah


pandangan teologi social yang berbasis pada prinsip tauhid dan amal.

90
Gibb, H.A.R. 1995 Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein,
Jakarta: Rajawali press.

101
Karena itu Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharuan
social-religius, reformis-religius dan agent of social change. Beliau
menanamkan ideologi yang berupaya menerapkan norma-norma
agama atas realitas sosial untuk memenuhi kebutuhan dan
perkembangan zaman yang berpegang teguh pada dasar-dasar yang
sudah diletakkan oleh agama, yaitu Al-Qur’an dan sunah. Tulisan ini
berupaya untuk menjelaskan tentang pemikiran Ahmad Dahlan yang
berkaitan dengan teologi sosial.91

3. Ilmu kalam modern menurut K.H Hasyim Asy’ari


Teologi Aswaja ditandai dengan ciri di antaranya, dalam
bidang akidah berpegang pada Asy’ariyah dan Maturidiyah, bidang
fikih berpegang pada salah satu empat mazhab, yaitu Imam Idris asy-
Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Ahmad bin Hambal.
Selain itu, di bidang tasawuf akhlak berpegang pada Imam al-Ghazali
dan Imam Junaid al-Baghdadi (Ali Khaidar, 1995: 69-70). Dalam
pandangan teologi K.H. Hasyim Asy’ari, ada tiga tingkat ketauhidan
atau Keesaan Allah yang harus dipahami oleh seorang Muslim.

Pertama, adalah tingkat pujian terhadap Keesaan Tuhan.


Kedua, adalah pengetahuan dan pengertian mengenai Keesaan
Tuhan. Ketiga, adalah kesadaran dari dzawq tentang Hakim Agung
(al-Haqq). Lebih jauh, K.H. Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa
tingkat pertama adalah tauhidnya orang awam, tingkat kedua adalah
tauhidnya para ulama zhahir, dan tingkat ketiga adalah tauhidnya
para sufi.

91
https://madrasahdigital.co/opini/teologi-sosial-membaca-pemikiran-ahmad-
dahlan/ di unduh pada hari rabu 07/12/2022

102
Para sufi adalah orang-orang yang telah sampai kepada
pengetahuan terhadap Tuhan (ma’rifah) dan esensi (haqiqah) Tuhan
(Muhaemin, 2013: 320). Seterusnya, K.H. Hasyim Asy’ari
memaparkan bahwa percaya kepada Keesaan Tuhan membutuhkan
iman. Dan barangsiapa yang tidak beriman tidak akan percaya kepada
Keesaan Tuhan. Maka dari itu, beliau termasuk orang yang
mengecam paham komunisme pada masa hidupnya.

Hal itu ditandai dalam sebuah pidatonya pada Muktamar NU


ke-17 yang diselenggarakan di Madiun pada 24 Mei tahun 1947 (13
Rajab 1366 H.) dengan mengatakan: “Materialisme Historis
mengembangkan paham bahwa kebahagiaan tidak dapat dicapai,
kecuali dengan materi. Pemikiran ini menegasikan adanya dimensi
roh (jiwa yang dibimbing Tuhan), dan tidak percaya pada alam gaib
(seperti Tuhan, malaikat dan jin serta hari kemudian.

Kepercayaan ini berbahaya jika tertanam dalam diri anak-anak


kita karena dapat merusak kepercayaan mereka terhadap Islam”
(Latiful Khuluq, 2000: 44). Bagi beliau, Islam tidak hanya berbicara
tentang ketuhanan, tetapi Islam juga berbicara tentang berbagai
aspek, seperti sosial, politik, dan ekonomi masyarakakat. Pemikiran
teologi K.H. Hasyim Asy’ari sejalan dengan formulasi Asy’ariyah
dan al-Maturidiyah.

Formulasi ini berusaha menjembatani antara kelompok yang


meyakini atas kebebasan berkehendak (Qadariyah) dan golongan
yang menyerahkan dirinya pada Tuhan (Jabariyah atau fatalism)92

92
Mengenal Pemikiran Teologi Ahlu Sunnah wal Jamaah K.H. Hasyim Asy’ari

103
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Baiquni, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, (Yogyakarta:
Dana Bakhti Prima Yasa, 1997)
Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan
Zaman (Jakarta: Lantabora Press, 2005)
Suparmin dan Toto Suharto, Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Rumpun Ilmu
Agama Perspektif Epistemologi Integrasi-Interkoneksi
Miftakhul Asror dan Imam Musbikhin, Membedah Hadits Nabi Muhammad
Saw (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)
Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis,
Esensia, XIV (2013)
Miftakhul Asror dan Imam Musbikhin, Membedah Hadits Nabi Muhammad
SAW Kamus Besar Bahasa Indonesia.
https://www.synaoo.com/ilmu-kalam/ akses tanggal 12 September 2022.
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia,
2007
Ahmad Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001)
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1978)
Rohanda WS, Ilmu Kalam dari Klasik sampai Kontemporer, (Bandung:
Najwa Press, 2006)
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan,
(Jakarta: Paramadina, 1992).
Endang Saipuddin Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1979)
Lapidus, A History of Islamic Societies (New York: Cambridge University
Press, 1988)

vi
Abrar M. Dawud Faza, Perspektif Sufistik Ali Shariati Dalam Puisi One
Followed by Eternity of Zeros. Penerbit Panji Aswaja Press
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1978)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Afrizal M, Pemikiran Kalam Imam al-Syafi’i, (Pekanbaru: Surat Umat, 2013)
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul
ihsan, 2006)
Suparmin dan Toto Suharto, Ayat-ayat aL-Qur’an Tentang Rumpun Ilmu
Agama, Perspektif Epistemologi Integrasi-Interkoneksi(Jakarta:
FATABA Press, 2013)
Abu Hanifah al-Nu`man, al-Fiqh al-Akbar (Mesir: al-Matba`ah al-`Amirah,
1324)
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology Edinburgh: The
University Press, 1985)
Mulla Husayn, Kitab fi Sharh Wahsiyyat al-Imam al-A`dam Abi Hanifah
(Haidarabad: Da’irat al-Ma`arif al-Nidamiyah, 1321), hlm. 4-5, dan
Akmal al-Din, Sharh Washiyyat al-Imam al-A`dam (Leiden:
Universities Bibliotheek, t.th)
Lapidus, A History of Islamic Societies (New York: Cambridge University
Press, 1988)
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1978)
https://manfaat.co.id/manfaat-mempelajari-ilmu-kalam diakses malam Selasa
tanggal 13 September 2022.
https://www.synaoo.com/ilmu-kalam/ akses tanggal 13 September 2022.

vii
Diakses melalui https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/surat-perintah-palsu-
penyebabkematian-utsman-bin-affan-nxPGw
selasa,20september2022
Diakses melalui https://kalam.sindonews.com/read/300710/70/pasca-
terbunuhnyautsman-bin-affan-delapan-hari-tanpa-khalifah-
1610586093 selasa, 20september2022
Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam
RambuRambu Syari’ah, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003)
Asy-syalab. At-Thariku Al-Islami Wa-Alhamdi-atu Al-Islamiyah, Terj.Prof.
DR. Mukhtar yahya.
Di akses dari https://www.anekamakalah sejarah.com/2012/10/makalah-
perangjamal.html pada pukul 15.40
Sulistyowati, 2010. Pengaruh Perang Shiffin tahun 658 M terhadap Eksitensi
Kekhalifaha Ali bin Abi Thalib. Skripsi, hlm. 19-20.
http://repositori.uinalauddin.ac.id/2705/1/Risnawati.pdf diakses
pada selasa,20September2022
Ibnu Muzahim, Waqi'ah al-Shiffin, h. 484; Baladzuri, Jumalun min Ansab
AlAsyraf
Novan Ardy Wiyani, Ilmu Kalam, Bumiayu: Teras, 2013
Adul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi, (Bandung : CV.
PUSTAKA SETIA, 2012)
Ratu Sunti’ah dan Maslani, Ilmu Kalam, (Bandung: Interes Media Foundation,
2014),
Nok Aenul Latifah, dkk., Paham Ilmu Kalam, (Solo: PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri,2014)
Nok Aenul Latifah, dkk., Paham Ilmu Kalam, (Solo: PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri,2014)

viii
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
(Jakarta: Logos Publishing House,1996)
Mulyono, dkk., Studi Ilmu Tauhid/Kalam, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010)
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
(Jakarta: Logos Publishing House,1996)
Nok Aenul Latifah, dkk., Paham Ilmu Kalam, (Solo: PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri,2014)
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
(Jakarta: Logos Publishing House,1996)
Mulyono, dkk., Studi Ilmu Tauhid/Kalam, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010)
https://ahamughny.wordpress.com/2009/08/06/al-quran-
danmuktazilah/ diakses pada tanggal 10 Oktober 2022

Abdul Rozaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam edisi Revisi, Cet. III (Bandung
: CV Pustaka Setia,2014)
Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, (dalam buku DR. Abdul Rozak,
M. Ag. hlm:143)
Asy Syahrastani (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 149)
Anwar Rosihon, Ilmu Kalam, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2009)
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung:Setia Pustaka, 1998)
M.yunan yusuf, alam pikiran islam : pemikiran kalam, perkasa. Jakarta, 1990
Gibb, H.A.R. 1995 Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein,
Jakarta: Rajawali press.
https://madrasahdigital.co/opini/teologi-sosial-membaca-pemikiran-ahmad-
dahlan/ di unduh pada hari rabu 07/12/2022
Mengenal Pemikiran Teologi Ahlu Sunnah wal Jamaah K.H. Hasyim Asy’ari.

ix
x

Anda mungkin juga menyukai