ASWAJA
Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.4
B. Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . 4-5
C. Tujuan
Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Aliran
Jabariyah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
4. Tokoh-tokoh Aliran
Jabariyah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10-12
B. Aliran Qadariyah
3. Doktrin-doktrin paham
Qadariyah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16-17
C. Aliran Mu'tadzilah
5. Kelompok-kelompok Mu'tadzilah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . 29-30
D. Aliran Khawarij
1. Pengertian
khawarij . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32
2. Khawarij dan Doktrin-doktrin
pokoknya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32-34
3. Perkembangan Khawarij . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . 34-35
BAB 3
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . 36
B. Saran. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . 37
C. Daftar
Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . 37-38
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang
didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam
tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah
ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at,
sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat
yang menyerukan kepada masalah keimanan.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam
secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam
mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim
yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau
ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan
memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya
perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah
teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan
perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam
bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui
perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat
bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan
keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi
yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan
Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu
kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah
dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Oleh karena itu, perlunya dibahas dan dikaji lebih dalam lagi tentang pemikiran Mu’tazilah,
dengan tujuan agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam
makalah ini kami akan membahas berbagai persoalan-persoalan,ajaran-ajaran, atau aliran-
aliran yang berada pada kaum Mu’tazilah.Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran
Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah,Khawarij.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
A. Aliran Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa, sedangkan
menurut al-Syahrafani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara
hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Oleh karena itu, aliran
Jabariyah ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan
perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa.
Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari
Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah
adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada
Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa
(majbur).
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum
agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir
sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang
disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat
tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang
tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya
musim serta keringnya udara.
a. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik
yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
3
e. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya
f. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya,
karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan
untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan.
Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak
tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri
banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah,
diantaranya:
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
- QS al-Anfal: “ Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi
Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar,
tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan
untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
- QS al-Insan: 30 Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Landasan naqly (alasan yang diambil dari al-Quran dan Hadis) dan aqly (alasan yang bersandar
pada akal atau rasional semata) yang menjadi pegangan sekaligus alasan "ada" nya kedua aliran
teologi ini. Dalil-dalil naqli sebagai dasar aliran Jabariyah yaitu :
-. QS. Ash-Shafaat ayat 96 : Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat itu".
- QS. Al-Anfal ayat 17 : Artinya: “......dan bukan kamu melempar ketika kamu melempar, tetapi
Allah-lah yang melempar.”
4
- QS. al-Hadid ayat 22: Artinya: “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (Tidak
pula) pada dirimu sendiri
melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu
- QS. Al-Insan 30 : Artinya: “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Adapun dalil-dalil aqliy yang dijadikan landasan bagi kaum Jabariyah antara lain sebagai berikut:
a. Makhluk tidak boleh mempunyai sifat sama dengan sifat Tuhan, dan kalau itu terjadi, berarti
menyamakan Tuhan dengan makhluknya.
b. Mereka menolak keadaan Allah Maha Hidup dan Maha Mengetahui, namun ia mengakui
keadaan Allah Yang Maha Kuasa.
c. Allahlah yang berbuat dan menciptakan, oleh karena itu, makhluk tidak mempunyai
kekuasaan.
d. Manusia tidak memiliki kekuasaan sedikit juapun, manusia tidak dapat dikatakan
mempunyai kemampuan (Istitha`ah).
e. Perbuatan yang tampaknya lahir dari manusia bukan dari perbuatan manusia karena manusia
tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai pilihan antara
memperbuat atau tidak memperbuat.
f. Semua perbuatan yang terjadi pada makhluk adalah perbuatan Allah dan perbuatan itu
disandarkan kepada makhluk hanya penyandaran majazi. Sama seperti kata pohon berbuah, air
mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam dan biji-bijian tumbuh dan sebagainya.
Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan
manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia
seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah
kepada takdir.
5
Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa
tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi. Akidah yang
rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk
mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta
terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah
ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya.
Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak
perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan
melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan
berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada
gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak
berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan
hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi.
Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan
yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan
dikehendaki oleh Allah. Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan
orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka.
Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa
manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk
melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun akal.
a. Manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Bahwa segala perbuatan manusia merupakan
paksaan dari Tuhan dan merupakan kehendak-Nya yang tidak bisa ditolak oleh manusia.
Manusia tidak punya kehendak dan pilihan. Ajaran ini dikemukakan oleh jahm bin shofwan.
b. Surga dan neraka tidak kekal, begitu pun dengan yang lainnya, hanya Tuhan yang kekal.
c. Iman adalah ma’rifat dalam hati dengan hanya membenarkan dalam hati. Artinya, bahwa
manusia tetap dikatakan beriman meskipun ia meninggalkan fardhu dan melalkukan dosa
besar, tetap dikatakan beriman walaupun tanpa amal.
d. Kalam Tuhan adalah makhluk, Allah SWT mahasuci dari segala sifat keserupaan dengan
makhluk-Nya, maka Allah tidak dapat dilihat meskipun di akhirat kelak, oleh karena itu Al-
Qur’an sebagai makhluk adalah baru dan terpisah dari Allah, tidak dapat disifatkan kepada Allah
SWT.
e Allah tidak mempunyai sifat serupa makhluk seperti berbicara, melihat, dan mendengar
6
f. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia berperan dalam mewujudkan
perbuatan itu. Teori ini dikemukakan oleh Al-Asy’ari yang disebut teori kasah, sementara An-
najjar mengaplikasikannya dengan ide bahwa manusia tidak lagi seperti wayang yang
digerakkan, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatannya.
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurusan,
bertempat tinggal di Khufah, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia menjabat sebagai
sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah di
Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama.
Sebagai seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukanJahm
yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Pendapat Jahm yang berkaitan
dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut :
1) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih
terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan,
meniadakan sifat Tuhan (nahyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
2) Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3) Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama
dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4) Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan
manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat
dengan indera mata di akhirat kelak.
7
Dengan demikian, dalam beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah,
Mu’tazillah, dan Asy’ariyah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebutnya
dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan Al-Asy’ari.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm, Al-Ghuraby menjelaskan sebagai
berikut
1) Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru.sesuatu yang baru itu tidak dapat
disifatkan kepada Allah.
2) Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan
mendengar.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia
mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang
dimaksud dengan kasab (acquisitin). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa
oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi
pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatanyang diciptakan Tuhan.
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Safwan. Ia berasal dari Khurasan,
bertempat tinggal di Khufah; ia seorang da’i yang fasih dan lincah (otrator); ia menjabat sebagai
sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di
Khurasan.
8
Adapun doktrin Jahm tentang hal-hal yang berkaitan dengan teologi adalah;
1) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang
keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka,
konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akhirat.
2) Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama
dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah
3) Kalam Tuhan adalah Makhluk. Al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang
baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan
sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak.
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam
lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk
mengajar dilingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang
controversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’ad lari ke Kufah dan di sana ia
bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan
disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan pikiran Jahm, yaitu:
1) Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat
disifatkan kepada Allah.
2) Allah tidak memiliki sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan
mengengar.
Kedu tokoh di atas termasuk pada golongan Jabariyah ekstrem, dan adapun perbedaan yang
paling signifikan dari kedua golongan tersebut terletak pada pendapat tentang perbuatan
manusia itu. Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-
perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya
9
Sedangkan menurut kaum moderat, tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik
perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
a) An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya
disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah;
1) Tidak semua perbuatan manusia bergantung kepada Tuhan secara mutlak” artinya
Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan itu positif maupun negative.
Tetapi dalam melakukan perbuatan itu, manusia mempunyai andil. Daya yang diciptakan dalam
diri manusia oleh Tuhan mempunyai aspek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatan
itu. Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang disebut dengan
kasb/acquisition
2) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa tuhan
dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat
Tuhan.
b) Adh- Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama
dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang
digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak
semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa
satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan
manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia
turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
a. Jahmiyah
Jahmiyah adalah sekte para pengikut Jahm bin Sofwan, salah seotrang yang paling berjasa
besar dalam
10
mengembangkan aliran Jabariyah. Ajaran Jahmiyah yang terpenting adalah al Bari Ta’ala
(Allah SWT Tuhan Maha Pencipta lagi Maha Tinggi) Allah SWT tidak boleh disifatkan dengan
sifat yang dimiliki makhluk-Nya, seperti sifat hidup (hay) dan mengetahui (‘alim), karena
penyifatan seperti itu mengandung pengertian penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya,
padahal penyerupaan seperti itu tidak mungkin terjadi.
b. Najjariyah
Sekte ini dipimpin oleh Al Husain bin Muhammad an Najjar (w. 230 H / 845 M). Ajaran
yang dikemukakan bahwa Allah memiliki kehendak terhadap diri-Nya sendiri, sebagaimana
Allah mengetahui diri-Nya. Tuhan menghendaki kebaikan dan kejelekan, sebagaimana ia
menghendaki manfaat dan mudzarat.
c. Dirariyah
Sekte ini dipimpin oleh Dirar bin Amr dan Hafs al Fard. Kedua pemimpin tersebut sepakat
meniadakan sifat – sifat Tuhan dan keduanya juga berpendirian bahwa Allah SWT itu Maha
Mengetahui dan Maha Kuasa, dalam pengertian bahwa Allah itu tidak jahil (bodoh) dan tidak
pula ‘ajiz (lemah).
Dari ketiga golongan ini, syahrastani mengklarifikasikan menjadi dua bagian besar. Pertama,
Jabariyah murni yang berpendapat bahwa baik tindakan maupun kemampuan manusia
melakukan seutu kemauan atau perbuatannya tidak efektif sama sekali. Kedua Jabariyah
moderat yang berpandangan bahwa manusia mempunyai sedikit kemampuan untuk
mewujudkan kehendak dan perbuatannya.
Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir
hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa
manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan
kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan
segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada
perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat
apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang
bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka
berhujjah bahwa takdir telah terjadi.
Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan
manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa
nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua
11
itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela
terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan
menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak
mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan
melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan
berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada
gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha
tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan
penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi. Sehingga
mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan
oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.
B. ALIRAN QADARIYAH
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang
bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara terminology atau istilah adalah suatu
aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan
atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun
Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Sebab itulah faham seperti ini dinisbatkan dengan istilah
Qadariyah.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang
berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu
melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, ketika faham Qadariyah dibawa kedalam kalangan mereka
oleh orang-orang Islam yang bukan berasal dari Arab padang pasir, hal itu menimbulkan
kegoncangan dalam pemikiran mereka. Paham Qadariyah itu mereka anggap bertentangan
dengan ajaran Islam. Adanya sikap menentang faham Qadariyah ini dapat dilihat dalam
ungkapan lain bahwa:“kaum Qadariyah adalah kaum majusinya umat Islam”, dalam pengertian
sebagai golongan yang tersesat.
Jadi istilah Qadariyah dinisbatkan kepada faham ini, bukan berarti faham ini mengajarkan
percaya pada taqdir, justru
sebaliknya faham Qadariyah adalah faham pengingkaran taqdir. Penyebab lebih dikenalkanya
penisbatan dan sebutan Qadariyah para pengingkar takdir ialah:
b. Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama majusi,
sebab yang diketahui bahwa kaum majusi membatasi takdir ilahi hanya pada apa yang mereka
namakan kebaikan saja, sedangkan kejahatan berada diluar takdir ilahi
Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah
sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat Nabi ahli
tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat:
Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka
berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
Menurut Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada
orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan
Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah.
13
Jadi istilah Qadariyah dinisbatkan kepada faham ini, bukan berarti faham ini mengajarkan
percaya pada taqdir, justru sebaliknya faham Qadariyah adalah faham pengingkaran taqdir.
Penyebab lebih dikenalkanya penisbatan dan sebutan Qadariyah para pengingkar takdir ialah:
b. Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama majusi,
sebab yang diketahui bahwa kaum majusi membatasi takdir ilahi hanya pada apa yang mereka
namakan kebaikan saja, sedangkan kejahatan berada diluar takdir ilahi.
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan
sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang
mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan
ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad
Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama
Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan,
demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery
Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat
dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun
700M.
Iftiraq (perpecahan) itu sendiri mulai terjadi setelah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu
terbunuh. Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun
ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi’ah. Sementara pada masa kekhalifahan
Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dan Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahkan pada masa kekhalifahan
Utsman Radhiyallahu ‘anhu, belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya.
14
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik
Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat
tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan
lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran
Qadariyah itu tertampung dalam faham Mu’tazilah.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan
bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala
perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.
Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh
karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga
berhak pula memperoleh hukuman
atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan
surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu
didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas,
orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum
yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut
nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah
15
ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu
hukum yang dalam istilah al-Quran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam.
Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu
berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang
mampu membawa barang dua ratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada
Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat al-Quran yang berbicara
dan mendukung paham itu, seperti berikut:
Fush-Shilat : 40
Artinya: “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu
perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
Artinya: “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal
kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan)
dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
c. Ar-Ra’d :11
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan [Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah
sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-Ra’d :11)
16
menganggap bahawa Allah tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia
terjadi.
Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada
makhluknya. Karena ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu mereka
menafikan sifat-sifat Ma’ani dari Allah Taala.
Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk, Ini disebabkan pengingkaran
mereka terhadap sifat Allah.
Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah. Jadi menurut
faham Qadariyah, Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak
mempengaruhi iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak mempengaruhi keimanannya.
Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada
penyerupaan (tasybih).
Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana’),
selepas ahli syurga mengecap nikmat dan ahli neraka menerima azab siksa.
Perpecahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan aliran Qadariyah, karena aliran
tersebut dapat dikatakan dari perpecahan itu sendiri, berikut ini adalah tokoh-tokoh yang
termasuk didalamnya tokoh pencetus aliran Qadariyah :
Dia adalah seorang Yahudi yang mengaku-ngaku beragama Islam 34 H. Ibnu Sauda’ ini
memadukan antara faham Khawarij dan Syi’ah.
Dia meluncurkan pemikiran seputar masalah takdir sekitar tahun 64 H. Ia menggugat ilmu
Allah dan takdirNya. Ia mempromosikan pemikiran sesaat itu terang-terangan sehingga banyak
meninggalkan ekses. Disamping orang-orang yang
mengikutinya juga banyak. Namun bid’ahnya ini mendapat penentangan yang sangat keras dari
kaum Salaf, termasuk di dalamnya para sahabat yang masih hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘anhuma.
Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam
Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia
memberikan contoh yang tidak baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh al-
17
Hajjaj karena ia memberontak bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal
politik, meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-
Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk Basrah yang mengikuti
alirannya .
c. Ghailan Ad-Dimasyqi
Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu
Marwan. Menurut Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan
adalah seorang penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id
yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya
dihadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan
mazhabnya.
Dialah yang mengibarkan pengaruh cukup besar seputar masalah-masalah takdir sekitar
tahun 98 H. Dan juga dalam masalah ta’wil, ta’thil (mengingkari sebagian sifat-sifat Allah) dan
masalah irja. Para salaf pun menentang pemikirannya itu. Termasuk diantara yang
menentangnya adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menegakkan hujjah atasnya,
sehingga Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar bin Abdul Aziz wafat. Namun
setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri yang sangat dominan bagi
ahli bid’ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari bid’ah. Sekalipun hujjahnya telah
dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan kembali kepada bid’ahnya. Ghailan ini
akhirnya dihukum mati setelah dimintai taubat namun menolak bertaubat pada tahun 105 H.
Dia mati dihukum oleh Hisyam Abdul al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman mati
diadakan perdebatan antara Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
para ulama memutuskan hukuman mati atasnya demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia
pun dibunuh oleh Khalid bin Abullah Al-Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja’d ini sangat mashur,
Khalid berpidato seusai menunaikan shalat ‘Idul Adha : “Sembelihlah hewan kurban kalian,
semoga Allah menerima sembelihan kalian, sementara aku akan menyembelih Al-Ja’d bin
18
Dirham, karena telah mendakwahkan bahwa Allah Subhanahuwa Ta’ala tidak menjadikan
Ibrahim sebagai khalilNya
dan Allah tidak mengajak Nabi Musa berbicara dan seterusnya”. Kemudian beliau turun dari
mimbar dam menyembelihnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 124 H.
Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga kemudian
marak kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi bid’ah dan kesesatan
generasi pendahulunya serta menambah bid’ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid’ah
Jahmiyah serta kesesatan dan penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin
Shafwan ini banyak mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja’d, bahkan ia menambah lagi
dengan bid’ah ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah), bid’ah ta’wil, bid’ah irja’, bid’ah Jabariyah,
bid’ah Kalam, dan sebagainya. Al-Jahm akhirnya dihukum mati pada tahun 128 H
Orang ini muncul bersamaan di masa Al-Jahm bin Shafwan. Mereka berdua meletakkan
dasar-dasar pemikiran Mu’tazilah Qadariyah.
Seperti faham dalam ilmu kalam lainnya, faham Qadariyah pun terpecah menjadi
beberapa kelompok. Banyak pendapat tentang perpecahan Qadariyah ini, diantaranya
dikatakan bahwa faham Qadariyah terpecah menjadi dua puluh kelompok besar, yang setiap
kelompok dari mereka mengkafirkan kelompok yang lainnya. Dua puluh aliran dari Qadariyah
itu adalah Washiliyah, ‘Amruwiyah, Hudzaliyah, Nazhamiyah, Murdariyah, Ma‘mariyah,
Tsamamiyah, Jahizhiyah, Khabithiyah, Himariyah, Khiyathiyah, Syahamiyah, Ashhab Shalih
Qubbah, Marisiyah, Ka‘biyah, Jubbaiyah, Bahsyamiyah, Murjiah Qadariyah. Dari Bahsyamiyah
lahir pula aliran besar, yakni Khabithiyah dan Himariyah.
Dan sesungguhnya Qadariyah terpecah-pecah menjadi golongan yang banyak, tidak ada
yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah, setiap golongan membuat madzhab (ajaran)
tersendiri dan kemudian memisahkan diri dari golongan yang sebelumnya. Inilah keadaan ahlul
bid’ah yang mana mereka selalu dalam perpecahan dan selalu menciptakan pemikiran-
pemikiran dan penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan saling berlawanan. Namun
berapa banyak pun jumlah golongan dari hasil perpecahan penganut faham Qadariyah, tetap
saja hal ini berujung dan bersumber pada tiga pemahaman.
19
a. Golongan Qadariyah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan qadar
serta mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka berkata jika Allah
berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya, dan kami tidak
mengharamkan apapun.
dosa yangterjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak Allah, kadang kala
merekaberkata Allah juga tidak mengetahuinya.
Kita tahu ketika faham qadariyah ketika di bawa ke dalam kalangan mereka orang-orang
islam yang bukan berasal dari orang Arab padang pasir, hal itu memunculkan kegoncangan
dalam pemikiran mereka. Faham qadariyah ini mereka anggap bertentangan dengan ajaran
islam. Adanya kegoncangan dan sifat menentang faham qadariyah ini dapat kita lihat dalam
hadits-hadits mengenai qadariyah umpamanya:
Artinya:
“Kaum qadariyah merupakan majusi umat Islam”, dalam arti golongan yang tersesat.
Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana soal qadariyah atau freewill dalam AlQur’an
sebagia sumber utama dan pertama mengenai ajaran islam? Kalau kita kembali kepada Al-
Qur’an akan kita jumpai di dalamnya ayat-ayat yang boleh membawa kepada faham qadariyah
dan sebaliknya pula kan kita jumpai yang boleh membawa kepada faham jabariyah.
C. ALIRAN MU’TAZILAH
20
1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah
a. Pengertian
Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزلyang aslinya adalah kata عزلyang
berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala
mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid,
meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir.
Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk menunjukkan
hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan muthawa’ah, yang berarti
terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang
terpisah, tersingkir atau terusir.
Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil” bukan dengan “in’azala anna
Washil”, ini karena konotasi
yang kedua menunjukakkan perpisahan secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya
terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga
gurunya wafat.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan
diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk
ada dua golongan. Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan
mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi
dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki
kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan
dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum Khawarij
dan Murji’ah, dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal, sehingga mereka
mendapat nama “ kaum rasionalis islam”
21
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah
tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya
pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang
bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya,
amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif
mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. suatu hari, salah
seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang
berbuat dosa besar (murtakib al-kabair).
Mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan
mukmin. Ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat
itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara
posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-
hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. Atas peristiwa ini
al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah
dikenakan kepada mereka.
ِ َو ْلتَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ُأ َّمةٌ يَ ْد ُعونَ ِإلَى ْال َخي ِْر َو يَْأ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعرl
َ ُوف َو يَ ْنهَوْ نَ ع َِن ْال ُم ْن َك ِر َو ُأولِئ
r َك هُ ُم ْال ُم ْفلِحُون
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan,
menyuruh kepada yang
makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Qs Ali
imran:104)
َ ِّنات َو ُأولِئ
rك لَهُ ْم عَذابٌ عَظي ٌم ُ د ما جا َءهُ ُم ْالبَي4ِ اختَلَفُوا ِم ْن بَ ْع
ْ وال تَ ُكونُوا َكالَّذينَ تَفَ َّرقُوا َوl
َ
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah
datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa
yang berat, (Qs Ali imran:105)
Ada beberapa versi atau pendapat yang berbeda dalam menerangkan sebab-sebab
munculnya kaum Mu’tazilah ini, yaitu :
1) Ada seorang guru besar di Baghdad, namanya Syeikh Hasan Bashri (meninggal tahun
110 H). Di antara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin Atha’ (meninggal pada tahun
22
131 H). Wasil bin Atha’ tidak sesuai dengan pendapat gurunya yang mengatakan bahwa “orang
Islam yang telah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia kebetulan mengerjakan dosa besar,
maka orang itu tetap muslim tetapi muslim durhaka”. lantas ia membentak, lalu keluar dari
majelis gurunya dan kemudian mengadakan majelis lain di suatu pojok dari Masjid Basrah itu.
Oleh karena ini, maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan atau
memisahkan diri dari gurunya.
3) Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya,
Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian
diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan
diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan
tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
4) Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin
Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid
yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut
bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum
Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang pun yang
berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah
(lima dasar) yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Amar Ma`ruf Nahi Munkar, dan Al-
Manzilah Baina Manzilatain, jika telah menganut semua nya, maka ia penganut paham
Mu`tazilah
23
a. Tauhid
Memiliki arti “Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk” sebab jika Al-Quran bukan
makhluk, berarti terjadi sejumlah zat qadiim (menurut mereka Allah adalah Qadiim, dan jika Al-
Quran adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak bertauhid).
Abu Al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang di maksud dengan nafs al sifat atau
peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut paham Wasil kepada Tuhan diberikan sifat yang
mempunyi wujud tersendiri dan kemudin melekat pada diri tuhan. Karena dzat tuhan bersifat
qadim maka apa yang melekat pada dzat itu bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat adalah
bersifat qadim. Ini, menurut Wasil akan membawa pada adanya dua Tuhan. Karena yang boleh
bersifat qadim hanyalah Tuhan, dengan kata lain , kalau ada sesuatu yang bersifat qadim maka
mestilah itu tuhan. Oleh karena itu, untuk memelihara kemurnian tauhid atau keesaaan tuhan,
tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti diatas.
Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan Tuhan dengan makhluk. Namun
demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan dengan wajah, tangan Tuhan dan sebagainya.
Pendapat tradisional cenderung menerima ayat-ayat tersebut itu untuk penilaian tentang wajah
mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk menerangkan apa yang diebut dengan wajah dan
sebagainya.
Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa tuhan dapat dilihat di
akhirat nanti (dengan mata kepala). Satu-satunya sifat tuhan yang betul-betul tidak mungkin
ada pada makhluknya adalah sifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan
sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar dzat tuhan. Mu’tazilah menolak paham
ini karena tuhan bersifat immateri, sedangkan mata kepala bersifat materi , yang immateri
hanya dapat diterima oleh yang immateri pula. Oleh karena itu, mu’tazilah berpendapat tuhan
memang dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala melainkan dengan mata
hati.
Selanjutnya, mu’tazilah berpendapat bahwa hanya dzat tuhan yang bersifat qadim. Paham
ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud tersendiri
24
terpisah dari dzatnya. Apa yang oleh golongan lain disebut sifat tuhan, seperti maha
mengetahui, maha kuasa, oleh mu’tazilah sifat tersebut disebut esensi tuhan.
Paham keesaan tuhan mu’tazilah ini bermaksud untuk memurnikan dzat tuhan dari
persaman dengan makhluknya. Dalam paham ini tampak betapa kuat pengaruh akal dalam
pemikiran yang di bangun kaum mu’tazilah itu dan ini menjadi salah satu indikasi bahwa
mu’tazilah layak memandang sebutan kaum rasional.
b. Al-Adl
Memiliki Arti “Pengingkaran terhadap taqdir” sebab seperti kata mereka bahwa Allah tidak
menciptakan keburukan dan tidak mentaqdirkan nya, apabila Allah menciptakan keburukan,
kemudian Dia menyiksa manusia karena keburukan yang diciptakannya, berarti Dia berbuat
zalim, sedang Allah adil dan tidak berbuat zalim.
Keadilan versi mereka adalah menolak takdir karena menetapkannya berarti Allah
menzholimi hambanya. Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafy berkata: ” mengenahi Al `Adl mereka
menutupi dibaliknya pengingkaran takdir. Mereka mengatakan Allah tidak menciptakan
keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan jahat, karena jika Allah
menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas kejahatan mereka, itu artinya Allah
zholim, padahal Allah adil dan tidak zholim. Sebagai konsekuensinya mereka menyatakan dalam
(kekuasaan) kerajaan Allah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Allah. Allah menginginkan
sesuatu tetapi hal itu tidak terjadi. Sebab kesesatan mereka ini adalah karena ketidak mampuan
mereka membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah syar`iyah.
Maksudnya adalah apabila Allah mengancam sebagian hamba-Nya dengan siksaan, maka
tidak boleh bagi Allah untuk tidak menyiksa-Nya dan menyelisih ancaman-Nya, sebab Allah
tidak menginginkan janji, artinya- menurut mereka Allah tidak memaafkan orang-orang yang
dikehendaki-Nya dan tidak mengampuni dosa-dosa (selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya.
Hal ini jelas bertentangan dengan Ahlus Sunnah Waljama`ah.
Artinya orang yang berbuat dosa besar berarti keluar dari iman tetapi tidak masuk
kedalam kekufuran, akan tetapi ia berada dalam satu posisi antara dua keadaan (tidak mukmin
dan tidak juga kafir).
25
Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagaimana disebutkan oleh
kaum Khawarij, dan bukan pula mu’min sebagaimana di katakan kaum Murji`ah, tetapi fasik
yang menduduki posisi antara mu’min dan kafir. Kata mukmin, dalam pendapat Wasil,
merupkan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada orang fasik, dengan dosa
besarnya. Tetapi predikat kafir juga tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena di balik dosa
besar ia masih
mengucapkan shahadat dan mengerjakan perbuatan baik. Orang serupa ini jika mati belum
bertaubat, akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang di terima lebih ringan dari siksaan yang
diterima kafir.
yaitu bahwa mereka wajib memerintahkan golongan selain mereka untuk melakukan apa
yang mereka lakukan dan melarang golongan selain mereka apa yang dilarang bagi mereka.
Imam Ibnu Abil ‘Izz berkata: ” adapun amar makruf nahi mungkar, mereka berkata: ” kita
wajib menyuruh orang selain kita untuk melaksanakan hal yang di perintahkan kepada kita dan
mewajibkn mereka dengan apa yang wajib kita kerjakan. Di antara kandungnnya adalah boleh
memberontak dengan senjata melawan penguasa yang dholim.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian mengenai kedudukan akal
dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran kalam yaitu
1Mengenai tentang mengetahui Tuhan.2 Kewajiban mengetahui Tuhan. 3. Mengetahui baik
dan jahat. 4.Kewajiban mengatahui baik dan jahat.
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri.
Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan
pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah
konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang
mengingkari takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan
metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran Mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai
kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
26
a. Pemukiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang
mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
b. Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang
kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min dan kafir-
(manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan
pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte
pemikiran.
Sejalan dengan keberagamaan akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang
dihasilkan oleh sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi
melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak
pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
a. Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah tidak
memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
b. Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan
mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat
“diri”-Nya.
d. Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta
prilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan
(Qudrah) atas perbuatanya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh
27
perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut qodariyah oleh
sebagaian kaum muslimin.
e. Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara dua
manzilah -mu’min dan kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah alasan mereka disebut
Mu’tazilah.
f. Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintatahkan oleh
Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.
Sepanjang sejarah membuktikan bahwa salah satu keistimewaan bagi kaum Mu’tazilah
adalah mereka membentuk mazhabnya banyak menggunakan akal. dan mereka menempatkan
akal di atas wahyu, apabila sesuatu tersebut dapat di terima oleh akal berarti hal tersebut
sesuai dengan sunnah, tetapi apabila tidak sesuai dengan akal mereka menolak, kendalipun hal
itu terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Sebagai Contoh, kaum Mu’tazilah tidak menerima isro’ dan mi’raj walaupun ada ayat Al-
Qur’an dan hadis Nabi yang sahih menyatakan hal tersebut, karena hal tersebut menurut
mereka adalah bertentangan dengan akal sehat manusia. Kaum Mu’tazilah juga menolak
adanya kebangkitan dari kubur, dan siksa kubur, karena mustahil mereka mandapatkan azab
dalam kubur yang sempit itu, hal itu tidak sesuai dengan akal
b. Sifat Tuhan
Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan mendengar
dengan zat, Tuhan melihat dengan zatNya dan Tuhan berkata dengan zatNya. Menurut meraka
dasar faham ini adalah tauhid , kalau Tuhan pakai sifat berarti Tuhan itu dua yaitu zat dan sifat.
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa Tuhan
tidak mempunyai sifat. Defenisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana yang telah disampaikan
oleh As’yari adalah bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat
dan sebagainya ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa,
tidak hidup, Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkusa tetapi bukan dengan sifat dalam arti
kata yang sebenarnya. Artinya Tuhan mengetahui dengan pengetahun, dan pengetahuan itu
adalah pengetahuan sendiri, dengan demikian pengetahuan Tuhan sebagaimana dijelaskan
oleh Abu Al-Khuzail adalah Tuhan Sendiri, yaitu zat atau esensi Tuhan
28
Arti Tuhan mengetahui dengan esensinya kata Al-Juba’i adalah, bahwa untuk
mengetahui sesuatu Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau
keadaan mengetahui .
Menurut Mu’tazilah Iman dan kufur adalah dua hal yang tidak dapat disatukan, karena itu
mereka mengatakan bahwa orang mukmin yang kufur yang melakukan dosa besar pada
hakikatnya dia bukan mukmin lagi, dan apabila dia meninggal dalam keadaan tidak bertobat
maka di akhirat nanti dia dimasukkan kedalam neraka, mereka ini adalah orang yang fasik yang
bukan mukmin dan bukan pula kapir
d. Perbuatan manusia
Mu’tazilah mengitikadkan bahwa pekerjaan manusia dibuat oleh manusia itu sendiri
bukan oleh Tuhan. Tuhan sama sekali tidak tahu apa yang sedang dan akan dibuat oleh
manusia, bagi mereka Khalik itu dua, yang pertama Tuhan yang menjadikan langit dan bumi,
dan yang lain manusia yang menjadikan perbuatannya sendiri
kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan kejahatan akan dibalas dengan keburukan, karena
ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa. Adapun dalil yang
mereka pergunakan adalah Qur’an surat Ali Imran ayat 165
165. Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu
telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar),
kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri." Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Aliran Mu’tazilkah berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang
dikatakan baik. Namun ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan-
perbuatan yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan yang buruk karena Ia mengetahui
keburukan dari perbuatan buruk itu. Dalam Al-Qur’an jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah
29
berbuat zhalim. Diantara ayat Al-Qur’an yang dijadikan Mu’tazilah untuk mendukung
pendapatnya adalah surat al-Anbiya ayat 23 dan surat ar-Rum ayat 8.
23. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.
8. Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan)
yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia
benar-benar ingkar akan pertemuan,denganTuhannya.
Qodi Abd Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut
memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan maha suci dari perbuatan yang
buruk. Dengan demikian Tuhan tidak perlu ditanya tentang apa yang Ia lakukan. Adapun ayat
kedua menurut al-Jabar mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan
melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk
Argumentasi mereka adalah bahwa kondisi akal manusia yang tidak dapat mengetahui
setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib, oleh karena itu Tuhan
berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik
bagi manusia dengan cara mengirimkan rasul, tampa rasul manusia tidak akan dapat
memperoleh hidup baik dan terbaik dunia dan akhirat.
Argumentasi Mu’tazilah dalam hal ini adalah Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak
menepati janjinya untuk memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan menjalankan
hukuman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak
menjalankan ancaman bagi yang berbuat baik dan buruk tersebut bertentangan dengan
maslahah dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan
ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
30
5. Kelompok – kelompok Mu’tazilah
a. Mu’tazilah Ekstrim
Yaitu, mu’tazilah yang memeaksakan faham mereka kepada orang lain. Meskipun
mayoritas kaum mu’tazilah bersikap moderat tapi ada juga yang ekstrim. Golongan ini lahir
pada masa keemasan mu’tazilah, yaitu mereka menyalahgunakan kekuasaan Al-Ma’mun.
Golongan ini adalah yang menjunjung tinggi dasar kelima. Golongan ini dikenal dengan
nama Waidiyah (pengancam). Dalam melaksanakan dasar yang kelima ini mereka tidak segan-
segan untuk melakukan kekerasan.
b. Mu’tazilah Moderat
Mayoritas kaum mu’tazilah adalah moderat, hal inilah salah satu yang membedakannya
dengan Syi’ah maupun khawarij. Sikap moderat ini pulalah yang menjadi salah satu kunci
kelanggengan aliran ini selama kurang lebih tiga abad lamanya.
6. Perkembangan Mu’tazilah
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat Islam,
khususnya dikalangan masyarakat awam, karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran
Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain adalah kaum muktazilah dinilai tidak
teguh berpegang pada sunah Rasulullah dan para sahabat.
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan Intelektual,
yaitu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/813-
833M). kedudukan Mu’tazilah semakin kuat setelah al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab
resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang
gemar akan Ilmu pengetahuan dan filsafat.
Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan
penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam
sejarah dengan peristiwa mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalq
Al-Quran. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun
dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena
diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika Al-quran itu dikatakan kadim,
maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah SWT dan hukumnya Musyrik.
Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi semakin tidak
simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan
pemakaian mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dan menggantinya dengan aliran
Asy’ariyah.
Selama berabad-abad, kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh
aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini ialah buku-buku
mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai
karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam seperti
universitas al-Azhar.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah.
Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham
Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham
peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran
Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah
Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan
dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran
tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah
berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi
madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi
32
mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme
dalam Islam ini.
Adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu
memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara
lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha
Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-
Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan
seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim
selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat
Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang
lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk
membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan
menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada
pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan.
Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
d. Al-Jubba’i
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang
masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal.
Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau
dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak,
dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia,
ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia
melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran
yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
e. An-Nazzam
D Aliran Khawarij
1. PENGERTIAN KHAWARIJ
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Ini yang mendasari Syahrastani untuk menyebut
khawarij tehadap orang yang memberontak imam yang sah. Berdasarkan pengertian
etimonologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat
100 dari Surat Al-Nisa’,yang didalamnya disebutkan:”keluar dari rumah lari kepada Allah dan
Rasul-Nya’’.Dengan demikian kaum khawarij memandang diri mereka sebagaiorang yang
meniggalkan rumah dari kampong halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah Dan Rasul
–Nya.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena
ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim). Dalam perang
Siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi
Sufyan perihal persengkataan khalifah. Kelompok khawarij pada mulanya memandang Ali dan
pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibai’at
mayoritas umat islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak
khalifah yang sah. Lagi pula berdasarkan estimasi khawarij, pihak Ali hampir memperoleh
kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai
Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.
a. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam,
b. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim
berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat,
c. Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan
menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman,
d. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun
ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng,
34
e. Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah
menyeleweng,
f. Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng
dan telah menjadi kafir,
h. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang
sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir
apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia
menanggung beban harus dilenyapkan pula,
i. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau
bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (negara musuh), sedang
golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (negara islam),
k. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang
jahat harus masuk ke dalam neraka),
Bila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan kaum khawarij dapat
dikategorikan dalam tiga kategori: politik, teologi dan sosial. Dari poin a sampai dengan poin g
dikategorikan sebagai doktrin politik sebab membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan
masalah kenegaraan, khususnya tentang kepala Negara (Khilafah).
35
mereka lari kocar-kacir, bertebaran di pinggir-pinggir negeri Islam. Namun begitu, mereka tidak
jera-jeranya menimbulkan huru-hara. Sisa-sisa mereka hingga sekarang masih terdapat di tepi-
tepi negeri Afrika dan di pinggir-pinggir jazirah Arab.[4]
Doktrin teologi Khawarij yang radikal pada dasarnya merupakan imbas langsung dari
doktrin sentralnya, yakni doktrin politik. Radikalitas itu sangat dipengaruhi oleh sisi budaya
mereka yang juga radikal serta asal-usul mereka yang berasal dari masyarakat badawi dan
pengembara padang pasir tandus. Hal itu menyebabkan watak watak dan pola
pikirnya menjadi keras, berani, tidak bergantung pada orang lain, dan bebas. Namun, mereka
fanatik dalam menjalankan agama. Sifat fanatic itu biasanya mendorong seseorang berpikir
simplisitis; berpengetahuan sederhana; melihat pesan berdasar motivasi pribadi, dan bukan
berdasarkan pada data dan konsistensi logis; bersabdar lebih banyak pada sumber pesan
(wadah) daripada isi pesan; mencari informasi tentang kepercayaannya; dan menolak,
mengabaikan, dan mendistorsi pesan yang tidak konsisten dengan system kepercayaannya.
Orang-orang yang mempunyai prinsip Khawarij ini sering menggunakan cara kekerasan
dalam menyalurkan aspirasinya. Sejarah mencatat bahwa kekerasan pernah memegang
peranan penting.
3. PERKEMBANGAN KHAWARIJ
Terlepas dari berapa banyak subsekte pecahan Khawarij, tokoh-tokoh yang disebutkan di
atas sepakat bahwa subsekte Khawarij yang besar terdiri dari delapan macam, yaitu:
1. Al-Muhakkimah
2. AL-Azriqah
3. An-Nadjat
4. Al-Baihasiyah
5. Al- Ajaridah
6. As-Saalabiyah
7. Al-Abadiyah
8. As-Sufriyah
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar,
apakah ia masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya, doktrin teologi ini
tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin lain hanya
pelengkap saja. Sayangnya, pemikiran subsekte ini lebih bersifat praktis daripada teoretis,
sehingga criteria mukmin atau kafirnya seseorang menjadi tidak jelas. Hal ini menyebabkan-
dalam kondisi tertentu-seseorang dapat disebut mukmin dan pada waktu yang bersamaan
disebut sebagai kafir.
Semua aliran yang bersifat radikal. Pada perkembangan lebih lanjut, dikategorikan
sebagai aliran khawarij, selama didalamnya terdapat indikasi doktin yang indentik dengan
aliran ini I Berkenaan dengan persoalan ini harun nasution mengidentifikasi beberapa
indikasi aliran yang dapat dikategrikan sebagai aliran khawarij, yaitu sebagai berikut ;
b. Islam yang benar adalah islam yang mereka fahami dan amalkan, sedangkan islam
sebagaimana yang difahami dan diamalkan golongan lain tidak benar,
c. Orang-orang islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali ke islam yang
sebenarnya, yaitu islam seperti yang mereka pahami dan amalkan,
37
d. Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sefaham dengan mereka adalah sesat, maka
mereka memilih iman dari golongan mereka sendiri, yakni imam dalam arti pemuka agama dan
pemuka pemerintahan,
e. Mereka bersifat fanatik dalam faham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan
dan membunuh unuk mencapai tujuan mereka.
b. Buruk sangka
c. Sedikit pengalamannya
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang-orang yang khawarij umurnya masih muda-
muda yang hanya mempunyanyi bekal semangat.
BAB3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Paham Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya.
Manusia tidak sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan
pilihan bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada
manusia. Pa-ham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat. Ja'ad ibn
Dirham dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim. Sedang Husain al-Najjar dan Dirar
ibn 'Amr mewakii kelompok moderat.
38
teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama free will, freedom of willingness
atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat.
Mu`tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah bernuat baik dan larangan berbuat
jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu`tazilah saja, tetapi oleh golongan-
golongan umat Islam lainnya. Aliran kaum Mu`tazilah dipandang sebagai aliran yang
menyimpang dari ajaran Islam, dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam,
terutama di Indonesia. Pandangan demikian timbul karena kaum Mu`tazilah dianggap tidak
percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh rasio. Sebagai diketahui
kaum Mu`tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat Al-
Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka.
Khawarij adalah aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena
ketidaksepakatan terhadap Ali yang meneriam paham tahkim. Khawarij terdiri dari delapan
golongan, yaitu:
a. Al-Muhakkimah
b. Al-azariqah
c. Al-nadjat
d, Al-Baihasiyah
e. Al-Ajaridah
f. As-Saalabiyah
g. Al-ibadiyah
h. Al-sufriyah
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
39
Edinburg University, 1992.Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah analisis
perbandingan, UI http:// blogspot.co.id/2017/04/ aliran-jabariyah.html.
http://ashabulcoffee.blogspot.co.id/2017/01ilmu-kalam-aliran-jabariyah.html.D
http://cakrowi.blogspot.com/.../kajian-ilmu-kalam-qadariah-dan-jabariah.
http://mihwanuddin.wordpress.com/2011/03/10/asal-usul-pandangan-dan-pendapat-
aliran-jabariyah/
http://bara-aliranjabariyah.blogspot.com/
http://gusriwandi.blogspot.com/2012/03/aliran-dalam-ilmu-kalam-qadariyah-dan.html
http://fahimganteng.blogspot.co.id/2012/10/aliran-jabariyah.html
Sufyan Raji Abdullah. Mengenal aliran-aliran dalam islam dan cirri-ciri ajaranya. Jakarta:
Pustaka Riyadl. 2007
Abu Bakar Jabir El-Jazairi. Pola Hidup Muslim Aqidah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
1990.
https://ibnuramadan.wordpress.com/2008/11/01/firqah-qadariyah-gen-firqoh-dan-
akar-bidah/.
https://shafavolefel.wordpress.com/2015/12/16/contoh-makalah-qadariyah/
http://karyacombirayang.blogspot.co.id/2015/10/aliran-qadariyah.html
http://kapanpunbisa.blogspot.co.id/2011/10/aliran-qadariyah.html
Rozak Abdul, Anwar Rosihon. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Supiana dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
40
http://sumber-ilmu-islam.blogspot.co.id/2014/01/makalah-mutazilah-pengertian-asal-
usul.html
http://www.fauzulmustaqim.com/2015/11/makalah-ilmu-kalam-tentang-aliran.html
http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/10/mutazilah.html
Dr. Abdul Rozak,.. M.Ag, Drs Rosihon Anwar, M.Ag, ilmu kalam, Pustaka setia.
Bandung,,2007
[1]. Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal 49
[3] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal 49-56
[4]. Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Bulan Bintang, 1963 hal. 9
[5] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal. 53-56
41