Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KEPATUHAN TERHADAP ATURAN NEGARA

Disusun Oleh:

Nama : Alya Eka Yatri

Nim : 20700120079

Kelas : C Pendidikan Matematika

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
ini bisa tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang sudah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik berupa pikiran maupun materinya.

Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembacanya. Bahkan tidak hanya itu, kami berharap lebih
jauh lagi agar makalah ini si pembaca mempraktekkannya dalam kehidupan
sehari–hari.

Saya sadar masih banyak kekurangan didalam penyusunan makalah ini,


karena keterbatasan pengetahuan serta pengalaman kami. Untuk itu saya begitu
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Pinrang, 25 Juni 2021

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................1

DAFTAR ISI.........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................3

A. Latar Belakang Masalah...............................................................................3


B. Rumusan Masalah........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................5

A. Pengertian Kepatuhan Hukum.....................................................................4


B. Pandangan Islam terhadap Kepatuhan pada Aturan Negara........................6
C. Kondisi Kepatuhan Hukum Masyarakat......................................................7
D. Faktor-faktor Pendukung Krisis Kepatuhan Hukum...................................9

BAB III PENUTUP...............................................................................................11

A. Kesimpulan..................................................................................................11
B. Saran.............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kepatuhan hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya
hukum, dalam budaya hukum dapat dilihat dari tradisi perilaku kesehariannya
yang sejalan dan mencerminkan kehendak rambu rambu hukum yang berlaku
bagi subyek hukum, timbulnya kepatuhan hukum diawali dari kesadaran
hukum masyarakat. Kesadaran hukum dapat tumbuh karena adanya rasa takut
yang di berikan oleh sanksi hukum.
Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai
yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang
hukum yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai
tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-
kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.1
Kepatuhan hukum dan kesadaran hukum adalah keadaan seseorang
warga negara yang tunduk dan patuh dalam satu aturan yang berlaku.
Kepatuhan hukum ini dasarkan pada kesadran-kesadaran atau nilai-nilai yang
terdapat dalam diri manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kepatuhan hukum?
2. Bagaimana pandangan Islam terhadap kepatuhan pada aturan negara?
3. Bagaimana kondisi kepatuhan hukum masyarakat?
4. Apa saja faktor-faktor pendukung krisis kepatuhan hukum?

1.

1
Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Edisi Pertama, CV.
Rajawali, Jakarta, Hlm, 152

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kepatuhan Hukum


Hukum merupakan salah satu instrumen untuk mengatur tingkah laku
masyarakat dalam mengatur pergaulan hidup. Secara sosiologis hukum
mengandung berbagai unsur antara lain rencana-rencana tindakan atau
perilaku, kondisi dan situasi tertentu. Definisi hukum umumnya telah banyak
dikemukakan oleh para ahli dengan pendapatnya masing-masing, seperti
menurut Abdul Manan:
“Hukum adalah suatu rangkaian peraturan yang menguasai tingkah laku
dan perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat. Hukum itu
sendiri mempunyai ciri yang tetap yakni hukum merupakan suatu organ
peraturan-peraturan abstrak, hukum untuk mengatur kepentingan-kepentingan
manusia, siapa saja yang melanggar hukum akan dikenakan sanksi sesuai
dengan apa yang telah ditentukan”.2
Hukum adalah segala peraturan yang di dalamnya berisi peraturan-
peraturan yang wajib ditaati oleh semua orang dan terdapat sanksi yang tegas
di dalamnya bagi yang melanggar.
Ketaatan adalah sikap patuh pada aturan yang berlaku. Bukan di
sebabkan oleh adanya sanksi yang tegas atau hadirnya aparat negara,
misalnya polisi. Kepatuhan adalah sikap yang muncul dari dorongan
tanggung jawab sebagai warga negara yang baik.
Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang
melahirkan bentuk "kesetiaan" masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang
diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku
yang senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat
dilihat dan dirasakan oleh sesama anggota masyarakat.3
Berdasarkan tingkatannya, Kosasih Djahiri mengemukakan tingkat
kesadaran sebagai berikut:

2
Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum(Kencana: Jakarta, 2006), 2
3
S. Maronie, Kesadaran Kepatuhan Hukum, https://www.zriefmaronie.blospot. com. Diakses pada
tanggal 15 Oktober 2019.

4
1. Patuh atau sadar karena takut pada orang atau kekuasaan/paksaan
2. Patuh karena ingin dipuji
3. Patuh karena kiprah umum/masyarakat
4. Taat atas dasar adanya aturan dan hukum serta untuk ketertiban
5. Taat atas dasar keuntungan atau kepentingan
6. Taat karena hal tersebut memuaskan baginya
7. Patuh karena prinsip dasar ang etis dan layak dan universal
Dari pendapat tersebut diatas, maka dapat diketahui berbagai macam
alasan mengapa seseorang patuh terhadap aturan. Sejalan dengan kesadaran
hukum, ada tiga pokok kepatuhan yang sesuai di antaranya: Pertama,
berdasarkan tingkatannya, kesadaran yang paling baik adalah yang bersifat
autonomous, karena kesadaran atau ke patuhan tersebut didasarkan oleh
motivasi atau landasan yang ber asal dari diri sendiri. Kedua, taat atas dasar
adanya aturan dan hukum serta untuk ketertiban. Ketiga, patuh karena dasar
prinsip etis yang layak dan universal, sebab walaupun tidak tertulis apabila
secara etis dianggap layak maka masyarakat akan mematuhinya.
Jika kepatuhan hukum sudah tidak ada lagi, maka akan terjadi:4
1. Ketidakadilan dalam hukum
2. Para politikus yang kurang memahami dan menghormati “etika politik”
3. Terjadi peradilan sesat
Di samping itu, pesatnya perkembangan masyarakat, teknologi dan
informasi pada abad kedua puluh dan umumnya sulit di ikuti sektor hukum
telah menyebabkan orang berpikir ulang tentang hukum dengan mulai
memusatkan perhatianya terhadap inter reaksi antara sektor hukum dan
masyarakat dimana hukum tersebut diterap kan. Namun masalah kesadaran
hukum masyarakat masih menjadi salah satu faktor terpenting yang
merupakan efektivitas suatu hukum yang diperlakukan dalam suatu negara.
Sering disebutkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan kesadaran
hukum masyarakat. Artinya hukum tersebut harus lah mengikuti kehendak
dari masyarakat. Disamping itu hukum yang baik adalah hukum sesuai
dengan perasaan hukum manusia. Maksud nya sebenarnya sama, hanya jika
4
Fahranirawaty Warandy, Kondisi Hukum di Indonesia, frwarandy..com/2012/03/ kondisihukum-
diindonesia_03.html.

5
kesadaran hukum dikait kan dengan masyarakat, sementara perasaan hukum
dikaitkan dengan manusia perorangan. Dapatlah disebutkan bahwa kesadaran
hukum sebenarnya tidak lain merupakan generalisasi dari perasaan hukum.

B. Pandangan Islam Terhadap Kepatuhan pada Aturan Negara


Keberhasilan suatu kaum atau golongan dalam suatu negeri dikarenakan
kepatuhan mereka kepada pemimpin (umaro) dan ulamanya. Pada masa
Rasulullah SAW, ketika perang badar terjadi pada 17 Ramadan 2 H (13 Maret
624) pasukan kecil kaum muslimin yang berjumlah 313 orang bertempur
menghadapi pasukan Quraisy dari Makkah yang berjumlajh 1.000 orang.
Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua jam, pasukan muslimin
menghancurkan barisan pertahanan pasukan Quraisy yang kemudian dalam
kekalahan.  Apa sesungguhnya faktor-faktor kemenangan kaum muslimin
pada Perang Badar?
Pertama, kepatuhan terhadap pusat komando yaitu Rasulullah SAW.
Kedua, adanya pasukan cadangan dengan pola shufuf (berbaris berlapislapis).
Adapun  musuh menerapkan pola Alkar dan Alfar (maju–mundur). Ketiga,
aqidah dan keyakinan, terutama kekuatan kaum muslimin sangat tak
seimbang menghadapi musuh.  Keempat, moral/mental pasukan yang sangat
tinggi.  
Kalau kita lihat salah satu faktor kemenangan kaum muslimin pada
Perang Badar, yaitu kepatuhan kepada pemimpin yakni Rasulullah S.A.W. Ini
menunjukkan kepatuhan/ketaatan kepada pemimpin adalah suatu kewajiban
sebagaimana disebutkan dalam Alquran dan Hadits, di antaranya adalah
Firman Allah SWT di dalam surah An-Nisa’ (4) ayat 59,

‫ٰيٓاَيُّها الَّذ ْينَ ٰامنُ ْٓوا اَط ْيعُوا هّٰللا واَط ْيعُوا ال َّرسُوْ ل واُولى ااْل َمر م ْن ُك ۚم فَا ْن تَنَا َز ْعتُم في َشي ٍء فَ ُر ُّدوْ ه الَى هّٰللا‬
ِ ِ ُ ْ ْ ِ ْ ِ ْ ِ ِ ْ ِ َ َ ِ َ َ ِ َ ِ َ
‫ك خَ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَأْ ِو ْياًل‬َ ِ‫َوال َّرسُوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل‬

Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah


Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah

6
kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.”.  
Dalam ayat di atas Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada
urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian di dalam
sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda, artinya : “Seorang muslim wajib
mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak
diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat,
maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat” (HR. Bukhari No. 7144).  
Imam al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi al-izzi ad-
Dimasgy (terkenal dengan Ibnu Abil 122 wafat th. 792 H) rahimahullah
berkata: ”Hukum mentaati Ulil Amri adalah wajib (selama tidak dalam
kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zalim, karena jika keluar dari
ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda
dibandingkan dengan kezhaliman penguasa itu sendiri, bahkan bersabar
terhadap kezaliman mereka dapat meleburkan dosa-dosa dan dapat melipat
gandakan pahala, karena Allah Azza Wa Jalla tak akan menguasakan mereka
atas diri kita  melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga.
Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan, maka hendaklah kita
bersungguh-sungguh memohon ampunan, bertaubat dan memperbaiki amal
perbuatan.   

C. Kondisi Kepatuhan Hukum Masyarakat


Di dalam masyarakat banyak kita dapatkan bahwa masyarakat tidak
patuh pada hukum hal ini dikarenakan individu dan masyarakat di hadapkan
pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara tuntutan ke setiaan yang satu
bertentangan dengan tuntutan kesetiaan lainnya. Misalnya masyarakat
tersebut dihadapkan pada pilihan setia terhadap hukum atau setia terhadap
“kepentingan pribadinya”, setia dan patuh pada atasan yang memerintahkan
berperang dan mem bunuh atau setia kepada hati nuraninya yang mengatakan
bahwa mem bunuh itu tidak baik, atau yang lebih umum seperti yang sering
terjadi masyarakat tidak patuh pada aturan lalulintas, perbuatan korupsi,

7
perbuatan anarkisme dan main hakim sendiri karena mereka lebih
mendahulukan setia kepada kepentingan pribadinya atau kelompoknya.
Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk men jadikan
masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau
harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang
membuat masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat
dirasakan jika kita punya komitmen kuat, konsisten dan kontinyu
menegakkan hukum tanpa diskriminatif, siapapun harus tunduk kepada
hukum, penegakan hukum tidak boleh memihak kepada siapapun dan dengan
alasan apa pun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah
letak wibawa hukum dan keadilan hukum.
Oleh karenanya hukum harus memiliki kewibawaannya dalam
menegakkan supremasi hukum agar masyarakat dapat meng hormatinya
dalam wujud kepatuhannya terhadap hukum itu sendiri. Dengan demikian
perlunya membangun budaya hukum merupakan suatu hal yang hakiki dalam
negara hukum, dimana hukum harus dapat merubah masyarakat untuk
menjadi lebih baik, lebih teratur, lebih bisa dipercaya untuk memperjuangkan
hak dan keadilan, lebih bisa menciptakan rasa aman.
Indonesia sebagai Negara hukum yang keberadaannya merupakan
produk dari “keputusan politik” dari politik hukum sebuah rezim yang sedang
berkuasa, sehingga tidak bisa dihindarkan bahwa dalam proses penegakan
hukum secara implisit “campur tangan rezim yang ber kuasa” pasti ada.
Apalagi sistem pemerintahan Indonesia dalam konteks Trias Politica,
penerapannya tidaklah murni, dimana antara Legislatif, Eksekutif dan
Yudikatif keberadaanya tidak berdiri sendiri. Indonesia menjalankan Trias
Politica dalam bentuk Separation of Power (Pemisahan Kekuasaan), bukan
Division of Power (Pembagian Kekuasaan). Hal ini tampak bahwa dalam
proses pembuatan undangundang peran pemerintah begitu dominan dalam
menentukan diberlakukannya hukum dan undangundang di negeri ini.5
Kenyataan ini sebenarnya dapat menimbulkan ketidakpuas an rakyat
dalam proses penegakan hukum di Indonesia, apa lagi disisi lain para

5
Warandy, Kondisi Hukum.

8
politikus di negeri ini kurang memahami dan meng hormati etika politik saat
mereka menjalankan proses demokrasi yang selalu cenderung melanggar
hukum dan aturan main yang mereka sepakati sendiri, sehingga tidak
berlebihan banyak yang mempertanya kan moral politik dari para politikus
bangsa ini. Ekses dari ketidakpuas an rakyat dalam praktik demokrasi dan
penegakan hukum yang terjadi selama ini telah memunculkan fenomena
distrust dan disintegrasi bangsa yang meng ancam keutuhan NKRI.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia
sangat memprihatinkan, disamping itu anehnya masyarakatpun seakan tidak
pernah jera untuk terus melanggar hukum, sehingga masyarakat sudah sangat
terlatih bagaimana meng atasinya sehingga jika terjadi pelanggaran-
pelanggaran hukum yang dilakukan nya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu
lintas, atau melakukan delikdelik umum, atau melakukan tindak pidana
korupsi tidak lagi menjadi masalah. Sebagian besar masyarakat sudah terlatih
benar bagai mana mem pengaruhi proses hukum yang sedang berjalan agar
mereka terlepas dari jerat hukum yang mengancam. Kenyataan ini merupakan
indikator buruknya penegakan hukum di negeri ini sehingga berdampak pada
terjadinya krisis kepatuhan hukum.

D. Faktor- Faktor Pendukung Krisis Kepatuhan Hukum


Banyak faktor yang bisa mendukung terjadinya krisis kepatuh an
hukum. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa faktor utama dan paling
berpengaruh terhadap kondisi tersebut adalah proses penegakan hukum yang
masih sangat lemah. Ketika hukum masih sangat lemah, maka akan
memberikan peluang dan menjadi celah bagi masyarakat untuk melakukan
pelanggaran hukum. Faktor kesetiaan juga merupakan pendukung yang cukup
besar ketika masyarakat dihadapkan kepada pilihan apakah akan setia pada
hukum atau setia pada kepentingan pribadi.
Selanjutnya ada beberapa faktor pendorong yang menjadi kan norma
hukum agar lebih dipatuhi oleh masyarakat, antara lain:
1. Dorongan yang bersifat psikologis/kejiwaan

9
2. Dorongan untuk memelihara nilainilai moral yang luhur di dalam
masyarakat
3. Dorongan dalam upaya untuk memperoleh perlindungan hukum
4. Dorongan untuk menghindar dari sanksi hukum6

6
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 6669.

10
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Kewajiban moral masyarakat secara individu untuk mematuhi hukum, tidak
ada yang mengatakan bahwa kewajiban merupakan sesuatu yang absolut, sehingga
terkadang secara moral, kita dapat melanggar hukum, namun tidak ada pakar
hukum, yang secara terbuka atau terang-terangan melanggar hukum. Kita memiliki
alasan moral yang kuat untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh hukum,
seperti, tidak melakukan penghinaan, penipuan, atau mencuri dari orang
lain. Kita harus mentaati hukum, jika telah ada aturan hukum yang disertai dengan
ancaman hukuman. Mereka yangyakin akan hukum, harus melakukan dengan
bantuan pemerintah, dan mereka yakin, akan mendapat dukungan dai warga
masyarakat.

B. Saran
Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan
sebagaimana yang kita harapkan. Maka dari itu, kami butuh kritikan dan
saran dari ibu dosen pembimbing dan teman-teman yang sifatnya
membangun, demi kesempurnaannya kedepan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono . 1982. Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Edisi


Pertama. Jakarta: CV. Rajawali
Manan, Abdul, 2006. Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana
Sudarsono, 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rineka Cipta,

12

Anda mungkin juga menyukai