Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

َّ ‫إ َذا بَطَ َِم ان‬


ًِ‫ش ْٕئِ بَطَ َِم َمبفٓ ضِ ْمى‬
(Apabila Seuatu Itu Batal Maka Batal Pula Yang Ada Didalamnya)

Dan

‫ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع ٍَب‬


(Akad Dalam Suatu Barang Sama Seperti Akad Terhadap Manfaatnya)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyyah

Dosen Pengampu : Dr. M. Amar Adly, MA

Disusun Oleh:

Kelompok 12

Ummu Aulia Nur Sitorus (0204211011)

Rizka Putri Agustina Siregar (0204213057)

Al Anshori Akbar Sigalingging (0204211007)

MUAMALAH 4A
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKUTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya yang tak
terhitung, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan harapan dapat bermanfaat untuk
menambah ilmu dan wawasan terhadap ilmu pengetahuan. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan pada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang
mukmin yang senantiasa mengikutinya dengan baik.

Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah. Jadi
makalah ini telah kami susun dengan maksimal sesuai referensi yang kami dapatkan sehingga
dapat membantu kita untuk memahami isi dari makalah ini dengan sebaik-baiknya. Kami
juga ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu Dr. M. Amar Adly, MA yang telah
memberikan tugas ini sehingga kami lebih banyak belajar.

Oleh karena itu, kami berharap akan adanya masukan yang membangun sehingga
makalah ini dapat bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Semoga dengan
makalah ini kita semua dapat meningkatkan lagi semangat belajar kita, dan menambah ilmu
pengetahuan kita semuanya, Aamiin.

Medan, 16 Juni 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
1.3 Tujuan ........................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3

َّ ‫ إ َذاِبَطَ َِمِان‬............................................................................ 3
َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬
2.1 Kaidah ًِ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬

َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬
a. Makna Kaidah ًِ ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬ َّ ‫ إ َذاِبَطَ َِمِان‬.......................................................... 3
b. Cabang Kaidah ًِ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬ َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬َّ ‫ إ َذاِبَطَ َِمِان‬......................................................... 4
َّ ‫ إ َذاِبَطَ َِمِان‬............................................................. 5
َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬
c. Dalil Kaidah ًِ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬
َّ ‫ إ َذاِبَطَ َِمِان‬......................................................... 5
َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬
d. Contoh Kaidah ًِ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬
َّ ‫إ َذاِبَطَ َِمِان‬................................................ 5
َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬
e. Pengecualian Kaidah ًِ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬

َ ‫ ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَعْ َٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع‬................................................................... 6


2.2 Kaidah ‫ٍب‬

َ ‫ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع‬................................................. 6


a. Makna Kaidah ‫ٍب‬
َ ‫ ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع‬............................................... 6
b. Cabang Kaidah ‫ٍب‬
َ ‫ ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع‬.................................................... 8
c. Dalil Kaidah ‫ٍب‬
َ ‫ ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع‬............................................... 8
d. Contoh Kaidah ‫ٍب‬
َ ‫ ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع‬...................................... 8
e. Pengecualian Kaidah ‫ٍب‬

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 10

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 10

3.2 Saran ............................................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kaidah fikih menjadi sesuatu yang begitu penting untuk dikenali dan pahami sebagai
modal dalam menelaah peristiwa pada masa kekinian yang berbeda dengan era klasik.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui benang merah yang terdapat
di berjuta masalah fikih, karena kaidah fikih itu memang menjadi titik temu dari masalah-
masalah fikih. Penguasaan terhadapnya juga menjadikan kita lebih arif didalam
menerapkan fikih dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan,
keadaan yang berlainan.
Kaidah fikih tidak hanya berkutat pada permasalahan ibadah saja tetapi menyangkut
kepada bidang-bidang lainnya. Diantara ruang lingkup yang masuk di dalam pembahasan
kaidah-kaidah fikih adalah pada masalah muamalah, bahkan beberapa literatur ditemukan
secara khusus membahas tentang hal tersebut. Demikian halnya pada kitab kaidah fikih
yang memuat sub bab khusus yang menguraikan pembahasan mengenai persoalan-
persoalan muamalah. Semakin tinggi tingkat penguasaan akan kaidah-kaidah fikih, maka
semakin luas dan mendalam serta semakin tinggi pula tingkat produk hukum yang
dihasilkan.
Terkait dengan persoalan-persoalan dalam bidang muamalah baik muamalah yang
bersifat kebendaan yakni benda yang halal, haram dan syubhat untuk dimiliki
diperjualbelikan atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemudharatan dan
mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan lain sebagainya atau terkait keridhaan
kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul, tidak ada keterpaksaan, kejujuran,
penipuan dan lain sebagainya, maka hadirlah apa yang dinamakan qawaid fiqhiyyah
muamalah yang merupakan kaidah fikih yang dabit fikihnya berkaitan dengan bab fikih
muamalah. Kepentingan qawaid fiqhiyyah dari segi penggalian dan penetapan hukum
Islam mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu,
qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan
hukum yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalahnya, yaitu:
َّ ‫ إ َذا ِبَطَ َِم ِان‬dan ِ َّ‫ان َع ْقدِ ِ َعهَّ ِاألَ ْعَٕبنِ ِ َكبن َع ْقدِ ِ َعه‬
َِ َ‫ش ْٕئِ ِبَط‬
a. Apa makna kaidah ًِ‫م ِ َمبفٓ ِضِ ْمى‬
‫َمىَبفع ٍَب‬
َّ ‫ إ َذاِبَطَ َِمِان‬dan َِّ‫ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعه‬
َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬
b. Apa saja cabang kaidah ًِ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬
‫َمىَبفع ٍَب‬
َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬
c. Apa dalil kaidah ًِ ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬ َّ ‫ إ َذاِبَطَ َِمِان‬dan ‫ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع ٍَب‬
d. Apa contoh kaidah ًِ‫م ِ َمبفٓ ِضِ ْمى‬ َِ َ‫ش ْٕئِ ِبَط‬َّ ‫ إ َذا ِبَطَ َِم ِان‬dan ِ َّ‫ان َع ْقدِ ِ َعهَّ ِاألَ ْعَٕبنِ ِ َكبن َع ْقدِ ِ َعه‬
‫َمىَبفع ٍَب‬
َّ ‫ إ َذا ِبَطَ َِم ِان‬dan ِ ِ‫ان َع ْقدِ ِ َعهَّ ِاألَ ْعَٕبنِ ِ َكبن َع ْقد‬
َِ َ‫ش ْٕئِ ِبَط‬
e. Apa pengecualian kaidah ًِ ‫م ِ َمبفٓ ِضِ ْمى‬
‫َعهَِّ َمىَبفع ٍَب‬

1
‫‪1.3 Tujuan‬‬
‫ان َع ْقدِ ِ َعهَّ ِاألَ ْعَٕبنِ ِ َكبن َع ْقدِ ِ ‪ dan‬إ َذا ِبَطَ َِم ِان َّ‬
‫ش ْٕئِ ِبَطَ َِ‬
‫م ِ َمبفٓ ِضِ ْمىًِ ‪a. Mengetahui makna kaidah‬‬
‫َعهَِّ َمىَبفع ٍَب‬
‫ان َع ْقدِ ِ َعهَّ ِاألَ ْعَٕبنِ ِ َكبن َع ْقدِ ِ ‪ dan‬إ َذا ِبَطَ َِم ِان َّ‬
‫ش ْٕئِ ِبَطَ َِ‬
‫م ِ َمبفٓ ِضِ ْمى ًِ ‪b. Mengetahui cabang kaidah‬‬
‫َعهَِّ َمىَبفع ٍَب‬
‫ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ ‪ dan‬إ َذاِبَطَ َِمِان َّ‬
‫ش ْٕئِِبَطَ َِ‬
‫مِ َمبفِٓضِ ْمىًِ ‪c. Mengetahui dalil kaidah‬‬
‫َمىَبفع ٍَب‬
‫ان َع ْقدِ ِ َعهَّ ِاألَ ْعَٕبنِ ِ َكبن َع ْقدِ ِ ‪ dan‬إ َذا ِبَطَ َِم ِان َّ‬
‫ش ْٕئِ ِبَطَ َِ‬
‫م ِ َمبفٓ ِضِ ْمى ًِ ‪d. Mengetahui contoh kaidah‬‬
‫َعهَِّ َمىَبفع ٍَب‬
‫ان َع ْقدِ ِ َعهَّ ِاألَ ْعَٕبنِ ِ ‪ dan‬إ َذا ِبَطَ َِم ِان َّ‬
‫ش ْٕئِ ِبَطَ َِ‬
‫م ِ َمبفٓ ِضِ ْمىًِ ‪e. Mengetahui pengecualian kaidah‬‬
‫َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع ٍَب‬

‫‪2‬‬
BAB II

PEMBAHASAN

َّ ‫إ َذا بَطَ َِم ان‬


َِ َ‫ش ْٕئِ بَط‬
2.1 Kaidah ًِ‫م َمبفٓ ضِ ْمى‬

“Apabila Seuatu Itu Batal Maka Batal Pula Yang Ada Didalamnya”

a. Makna Kaidah ًِ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬ َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬ َّ ‫إ َذاِبَطَ َِمِان‬


Maksud dari kaidah fikih muamalah di atas, bahwa apabila dalam bertransaksi
salah seorang membatalkan akadnya, maka batal pula apa yang di dalamnya.
Kaidah ini bisa pula dengan rumusan sebagai berikut “Apabila sesuatu yang
memuatnya batal, maka muatannya juga batal”. Abdul Karim Zaidan mengatakan
“adalah apabila dalam suatu kepemilikan (tasharuf) terdapat beberapa langkah-langkah,
maka hukumnya tetap dengan tetapnya hukum tasharuf yang mencakupnya. Hukum
langkah-langkah itu batal jika hukum tasharuf yang mencakupnya batal” Misalnya,
apabila dalam jual beli, sipembeli membatalkan harga yang telah diberikan, maka batal
pula hak terhadap barang yang telah diterimanya. Begitu pula apabila dua orang yang
mengadakan akad jual beli, kemudian kedua belah pihak membatalkannya, maka batal
pula kewajiban dan hak yang harus di lakukan dan diperoleh oleh pihak yang berakad jual
beli tersebut.1
َّ ‫ إ َذا ِبَطَ َِم ِان‬memiki makna yang sama dengan khiyar. Arti
َِ َ‫ش ْٕئِ ِبَط‬
Kaidah ًِ‫م ِ َمبفٓ ِضِ ْمى‬
khiyar yaitu pilihan. Pada kaidah ini seseorang yang bertransaksi mempunyai pilihan
ingin meneruskan atau membatalkan akad jual beli yang dilakukannya. Khiyar ialah
mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau membatalkan (jual beli). 2 Khiyar
(pilihan) oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan
masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan dikemudian hari karena
merasa tertipu.3
M. Abdul Mujieb mendefinisikan khiyar merupakan hak memilih atau menentukan
pilihan antara dua hal bagi pembeli dan penjual, apakah akad jual beli akan diteruskan
atau dibatalkan.4
Sedangkan menurut Wahbah al- Zuhaily mendefinisikan khiyar yaitu hak pilih bagi
salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan
atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai kondisi masing-masing pihak yang
melakukan transaksi.5
Jadi, hak khiyar ini ditetapkan dalam Islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan
timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual beli. Dari satu segi memang khiyar ini

1
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat
(LPKU), 2015), hlm. 200-201
2
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1983), jilid III, Cet. Ke-4, hlm. 164
3
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013), hlm. 286
4
M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994) hlm. 162
5
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fiqr al-Mu’ashir, 2005), jilid V, hlm.
3516

3
tidak praktis karena mengandung arti ketidakpastian suatu transaksi, namun dari segi
kepuasan pihak yang melakukan transaksi, khiyar merupakan jalan terbaik.6
َّ ‫إ َذاِبَطَ َِمِان‬:
َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬
Penerapan kaidah fikih muamalah ًِ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬
1) Apabila si pembeli membatalkan harga yang telah diberikan, batal pula hak terhadap
barang yang telah diterimanya.
2) Apabila si penyewa barang membatalkan harga sewanya, batal pula hak pemanfaatan
barang yang telah ia terima.
3) Apabila dua orang yang mengadakan akad jual beli, kemudian kedua belah pihak
membatalkannya, batal pula kewajiban dan hak yang harus dilakukan dan diperoleh
oleh pihak yang berakad jual beli tersebut.
4) Akad jual beli dapat dibatalkan oleh si pembeli dalam masa khiyar, baik khiyar
majelis, khiyar syarat dan khiyar ‘aib.

َّ ‫إ َذاِبَطَ َِمِان‬
َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬
b. Cabang Kaidah ًِ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬

1.
َ ِِ‫انبَبطمِِ ََلَٔ ْقبَم‬
َ‫اإلجبشَ ِة‬

“Transaksi yang batal (karena tidak memenuhi unsur syarat ataupun rukun) tidak berubah
menjadi sah karena dibolehkan)”.7
Contohnya seseorang muslim yang berkomitmen dalam berperilaku ekonomi secara
syariah melakukan transaksi keuangan dengan jasa keuangan yang menggunakan sistem
bunga. Meskipun pihak jasa keuangan membolehkan dan menerima transaksi tersebut,
tetapi transaksinya batal.

2.
‫ا ْنبَِّٕ َعبنِِبب ْنخَٕبزِِ َمبِنَ ِْمَِٔتَفَ َّسقَب‬

“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyār (memilih) untuk melanjutkan akad atau
membatalkan akad sebelum berpisah”.
Penerapan kaidah ini dapat dilihat pada penjual dan pembeli yang masih berada di
dalam toko setelah terjadi akad jual beli. Misalnya penjual dan pembeli telah serah
terima uang dan barang dan keduanya sepakat dan rida akan hal tersebut, tiba-tiba
pembeli berniat membatalkan transaksi tadi dengan suatu alasan tertentu, maka itu boleh
selama keduanya belum berpisah atau masih berada di dalam toko.8

6
Amir Syarifuddin, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Pranada Media, 2003), hlm. 213
7
Syamsul Hilal, Al-‘Adalah: Qawâ‘Id Fiqhiyyah Furû‘Iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam, (Bandar Lampung:
Iain Raden Intan Lampung, 2013), Vol. XI, No. 2, Hlm. 149
8
Awal Rifai, Jurnal Bidang Muamalah dan Ekonomi Islam: Implementasi Qawā`id Fiqhiyyah dalam Ekonomi
Syariah, (Makasar: Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA), 2022, 2(1), hlm. 109-110

4
َّ ‫إ َذاِبَطَ َِمِان‬
َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬
c. Dalil Kaidah ًِ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬
Dalil kaidahnya yaitu:
1. Al-Qur’an

ِ‫بزةِِعَه ت ََساضِِ ِّم ۡىكمِِِِۡۚ ََ َ َِل‬ ِۡ َ‫ٰۤٔـب َ ُّٔ ٍَبِانَّر ۡٔهَِِا َمى ُۡاِ َ َِلِت َۡبكه ُٰۡۤاِاَمۡ َُانَـكمِِۡبَ ٕۡىَكمِِۡب ۡبنبَبطمِِا َّ َِٰۤلِا‬
َ ‫نِتَك ُۡنَِِت َج‬

َ ‫ت َۡقته ُٰۡۤاِاَ ۡوـف‬


ِّ َِِّ‫سكمِِِۡؕان‬
‫للاَِ َكبنَِِبكمِِۡ َزح ٕۡمب‬
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu”. (Q.S an-Nisa: 29)9

2. Hadis

ْ‫ِإ َّ َِلِبَ ْٕ َِعِانخَٕبزِزَايِانبخبز‬،‫صبحبًِِ َمبِنَ ِْمَِٔتَفَ َّسقَب‬


َ َِّ‫انمتَبَبٔ َعبنِِك ُِّمِ ََاحدِِم ْىٍ َمبِبهخَٕبزِِ َعه‬
“Dua orang yang bertransaksi, maka masing-masing dari keduanya memiliki hak khiyar
(memilih lanjut atau membatalkan) atas pihak lainnya selama keduanya belum berpisah,
kecuali jual beli khiyar (yaitu, pelaku transaksi menetapkan khiyar dalam waktu yang
diketahui). (HR. Bukhari).10

َّ ‫إ َذاِبَطَ َِمِان‬
َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬
d. Contoh Kaidah ًِ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬
1) Penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima
barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak
membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak
penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus
mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.
2) Jika barang rusak sebelum serah terima maka akad menjadi fasakh (batal), maka
barang yang menjadi tanggungannya pun harus dikembalikan dan uangnya diambil
kembali atau uangnya tidak diambil tapi barangnya ditukar dengan yang baik. Itu
sesuai dengan konsep fikih muamalah yang tertuang dalam kaidah ِ‫م‬ َّ ‫إِ َذا ِبَطَ َِم ِان‬
َِ َ‫ش ْٕئِ ِبَط‬
ًِ‫ َمبفٓ ضِ ْمى‬. Disinilah pentingnya penjual mengetahui cacat atau rusaknya barang
karena ketika menjual, hukumnya wajib untuk memberitahunya kepada pembeli
sehingga pembeli tidak merasa dibohongi. Kalau tidak ada dusta diantara penjual dan
pembeli maka Allah Swt menurunkan keberkahan dalam akad jual beli tersebut.

َّ ‫إ َذاِبَطَ َِمِان‬
َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬
e. Pengecualian Kaidah ًِ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬
1. Jika barang rusak oleh pembeli maka hak khiyarnya batal, maka tidak boleh meminta
uang kembali dan barang yang menjadi tanggungannya tidak bisa dikembalikan
kepada penjualnya.

9
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm.
83
10
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, jil. 3, hlm. 64

5
2. Apabila dalam hal transaksi dan transaksi itu dibatalkan maka secara otomatis batal
pula segala sesuatu yang ada dalam tanggungannya, tapi ini berlaku ketika kedua
belah pihak menyetujui nya, dan tidak berlaku ketika salah satu pihak tidak
menyetujui pembatalan. Dan sama halnya dengan membeli barang yang dengan jelas
disebutkan bahwa "apabila sudah dibayar maka barang tidak boleh dikembalikan".
Dan tiba-tiba si pembeli membatalkan transaksi ketika barang itu sudah ditangannya
dan sudah dibayar, maka pembatalan ini tidak berlaku lagi.

َ ‫ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَعْ َٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع‬


2.2 Kaidah ‫ٍب‬

(Akad Dalam Suatu Barang Sama Seperti Akad Terhadap Manfaatnya)

a. Makna Kaidah ‫ٍب‬ َ ‫ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع‬
Pada kaidah ini membahas tentang objek akad, yaitu barang dan manfaat. Akad
transaksi yang objeknya berbentuk barang termasuk kepada transaksi jual beli. Akad yang
objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut,
merupakan termasuk pada akad muamalah pada pembagian ijarah. Menurut Sayyid
Sabiq, ijarah merupakan suatu akad atau transaksi untuk mengambil manfaat dengan
jalan memberi pergantian.11
Menurut ulama Syafi’iyah ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi terhadap suatu
manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan, dengan cara
memberi imbalan tertentu.12
Ijarah dalam bentuk sewa menyewa maupun upah mengupah merupakan muamalah
yang telah disyariatkan dalam Islam. Hukum asalnya menurut jumhur ulama adalah
mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’
berdasarkan Al-Qur’an, hadis-hadis nabi, dan ketetapan ijma’ ulama.13
Jadi kaidah ini merupakan suatu perjanjian yang bertujuan memindahkan manfaat
atau hak guna suatu barang selama masa berlaku akad tersebut.

َ ‫ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع‬


b. Cabang Kaidah ‫ٍب‬

1.
ْ َ‫ْاأل‬
َ ‫صمِِفِّا ْن َمىَبفعِِا ْنح ُِّمِ ََفِّا ْن َم‬
ِ‫ضبزِِانتَّ ْحس ْٔم‬

“Pada dasarnya semua yang bermanfaat boleh dilaksanakan dan semua yang
mendatangkan bahaya haram dilaksanakan”.14
Contoh produk perasuransian adalah suatu bentuk pendelegasian suatu urusan kepada
seseorang atau badan usaha atau lembaga keuangan untuk berbuat sesuai yang diinginkan

11
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm. 177
12
Asy-Syarbaini al-Khatib, Mughni al-Mukhtaz, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), jilid II, hlm. 223
13
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hlm. 3802
14
Ali Ahmad al Nadawy, Mausu’ah al Qawa’id wa al Dhawabith al Fiqhiyyah, Jilid I, hlm. 391

6
orang yang menyerahkan urusan tersebut, di mana orang, badan usaha atau lembaga
keuangan yang mengelola urusan tersebut mendapatkan upah (manfaat).

2.
‫ِنَ ِْمَِٔ ْمىَعِِ ْان َع ْقدِِ َعهَِّ َم ْىفَ َعت ٍَب‬،‫ك ُِّمِ َمبنَ ِْمَِٔ ْمىَ َِعِ ْان َع ْقدِِ َعهَِّ ْانع ْٕه‬
“Segala hal yang tidak melarang, tidak menutupi kemungkinan bertransaksi dengan
objek barang tersebut maka tidak dapat pula menutup kemungkinan bertransaksi dengan
manfaatnya”

3.
ًِ‫ستَأْ َجسب‬ َِ ْ‫لِبَأ‬
ْ ِِْٔ‫ضِأَن‬ ِ َ َ‫َٓءِِ َجبشَِِبَ ْٕعًِِف‬
ْ ‫ك ُِّمِش‬
“Semua hal yang boleh diperjualbelikan maka tidak apa-apa disewakan”

Syarat suatu objek akad ini adalah sebagai berikut:


1. Barangnya suci
2. Bermanfaat atau dapat dimanfaatkan
Barang-barang yang tidak bermanfaat tidak boleh diperjualbelikan, contohnya
menjual semut yang tidak ada manfaatnya, akan tetapi jika yang dijual semut tertentu
seperti semut merah yang biasanya digunakan sebagai pakan burung diperbolehkan
untuk dijual karena ada manfaatnya.
3. Kepemilikan penuh oleh penjual
Barang yang dijual harus barang yang sudah dimiliki secara penuh oleh orang
yang menjual. Jika barang tersebut belum dimiliki secara penuh maka hal tersebut
dilarang, karena ia menjual barang yang bukan dimiliki olehnya.
4. Dapat diserahkan
Maksudnya adalah barang tersebut selain dapat dimiliki juga dapat diserahkan.
Contohnya seperti nelayan yang menjual ikan, maka ikannya harus dimiliki atau harus
ditangkap terlebih dahulu. Tidak bisa seorang nelayan menjual kepada tengkulak
sebelum ada ikannya. Hal seperti itu tidak boleh karena barangnya belum dimiliki
atau belum didapat oleh nelayan.
5. Barangnya jelas
Barangnya harus diketahui jenis, jumlah, kualitas atau waktu penyerahannya
secara pasti. Jika barang tidak jelas maka akan ada unsur gharar didalamnya, yaitu
sesuatu yang dapat merugikan baik bagi pihak pembeli maupun penjual.
6. Objeknya telah dimiliki
Objek tersebut sudah berada digenggaman. Misalnya sebuah rumah yang
disewakan, kunci rumah tersebut akan berpindah kepada si penyewa. Sebelum rumah
tersebut disewakan, kunci rumahnya berada digenggaman si pemilik penuh rumah
tersebut. Ketika berpindah tangan, si penyewa tidak lagi dapat mengambil manfaat
dari rumah tersebut.

7
َ ‫ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع‬
c. Dalil Kaidah ‫ٍب‬

1. Al-Qur’an
َ ‫فَإنِِْأَ ْز‬
َ ‫ض ْعهَِِنَك ِْمِفَئبَت ٌُْهَِِّأج‬
َِّ‫ُزٌه‬
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah
kepada mereka upahnya”. (QS. At-Thalaq: 6).15

2. Hadis

ِ‫كىبِوكسِِاألزضِبمبِعهِّانسُاقِٓمهِانصزعِفىٍِّزسُلِللاِصهِّللاِعهًَِٕسهمِعه ذانك‬
‫َامسوبِانِوكسِبٍبِبرٌبِاَِفض‬

“Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dengan hasil tanaman yang
tumbuh disana. Rasulullah lalu melarang cara yang demikian dan memerintahkan
kami agar membayarnya dengan uang emas atau perak”.16

َ ‫ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع‬


d. Contoh Kaidah ‫ٍب‬

1) Si A mengontrak rumah si B, yang mana si A hanya membayar masa sewa selama 1


tahun, maka dari itu si A hanya mengambil manfaat untuk tinggal atau huniannya
saja.
2) Sewa-menyewa dalam bisnis rental mobil. Penyewa mendapatkan kemudahan dari
mobil tersebut, sedangkan pemberi sewa mendapatkan bayaran atas layanan yang
diberikan. Penyewa memiliki hak penggunaan barang berupa mobil, bukan hak milik.
3) Sewa (ongkos) kendaraan angkutan kota, bus, atau becak, yang sudah lazim berlaku,
meskipun tanpa menyebutkannya, hukumnya sah.

َ ‫ان َع ْقدِِ َعهَِّاألَ ْعَٕبنِِ َكبن َع ْقدِِ َعهَِّ َمىَبفع‬


e. Pengecualian Kaidah ‫ٍب‬

1. Seseorang yang menjual barang orang lain tanpa sepengetahuan orang lain. Ada
seseorang yang menjualkan barang temannya tanpa sepengetahuan teman yang
mempunyai barang tersebut. Hukumnya jika barang tersebut diridai oleh pemilik
barang atau disetujui oleh pemiliknya, maka akadnya itu sah. Akan tetapi jika tidak
disetujui maka hukumnya adalah batal, karena barang tersebut tidak mendapatkan rida
dari orang yang memiliki barang tersebut.

2. Seseorang pembeli yang memesan sayuran kepada seorang pedagang sayur keliling.
Pada saat itu sipembeli membutuhkan sayuran tersebut untuk diolah saat acara
syukuran pada dua hari yang akan datang. Si pembeli memesan sayuran kepada si
pedagang pada saat sayuran tersebut belum ada ataupun belum dimilikinya. Tetapi,

15
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, hlm. 559
16
Imam Muslim, Shahih Muslim, Bab Akad, Juz V, hal. 530

8
karena si pembeli membutuhkan sayuran tersebut dan si penjual menyanggupi untuk
menyediakan sayuran tersebut dihari yang diminta oleh si pembeli, maka akad
tersebut diperbolehkan atau sah-sah saja.

3. Pengecualian terjadi jika mengambil manfaat dari suatu objek yang hukumnya haram.
Seperti ketika seseorang menyewa jasa body (tubuh) yang mana jasa itu dipergunakan
untuk menghibur si penyewa baik itu dengan berlenggak lenggok menggoyangkan
tubuhnya atau dengan kata lain body order.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Makna Kaidah ًِ‫مِ َمبفِٓضِ ْمى‬ َِ َ‫ش ْٕئِِبَط‬ َّ ‫ إ َذاِبَطَ َِمِان‬memiki makna yang sama dengan khiyar.
Arti khiyar yaitu pilihan. Pada kaidah ini seseorang yang bertransaksi mempunyai pilihan
ingin meneruskan atau membatalkan akad jual beli yang dilakukannya. Khiyar ialah
mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau membatalkan (jual beli). Khiyar
(pilihan) oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan
masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan dikemudian hari karena
merasa tertipu.
Pada kaidah ‫ٍب‬ َ ‫ ان َع ْقدِ ِ َعهَّ ِاألَ ْعَٕبنِ ِ َكبن َع ْقدِ ِ َعهَّ ِ َمىَبفع‬ini membahas tentang objek akad,
yaitu barang dan manfaat. Akad transaksi yang objeknya berbentuk barang termasuk
kepada transaksi jual beli. Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad
terhadap manfaat benda tersebut, merupakan termasuk pada akad muamalah pada
pembagian ijarah. Menurut Sayyid Sabiq, ijarah merupakan suatu akad atau transaksi
untuk mengambil manfaat dengan jalan memberi pergantian.

3.2 Saran
Terima kasih telah membaca dan memahami makalah kami, jika ada penulisan kata
yang kurang tepat dan menyinggung perasaan, kami mohon maaf karena manusia tidak
jauh dari kesalahan. Dan kami menerima kritik dan sarannya agar kedepannya kami dapat
memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik.

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari. jil. 3

Al-Khatib, Asy-Syarbaini. 1978. Mughni al-Mukhtaz. Beirut: Dar al-Fikr. jilid II

Al Nadawy, Ali Ahmad. Mausu’ah al Qawa’id wa al Dhawabith al Fiqhiyyah, Jilid I

Al-Zuhaily, Wahbah. 2005. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fiqr al-Mu’ashir.
jilid V

Azhari, Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin: Lembaga


Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU)

Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur’an dan Terjemahan. Bandung: PT Sygma Examedia
Arkanleema

Hilal, Syamsul. 2013. Al-‘Adalah: Qawâ‘Id Fiqhiyyah Furû‘Iyyah Sebagai Sumber Hukum
Islam. Bandar Lampung: Iain Raden Intan Lampung. Vol. XI. No. 2

Mujieb, M. Abdul. 1994. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus

Muslim, Imam. Shahih Muslim. Bab Akad. Juz V

Rasyid, Sulaiman.2013. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo

Rifai, Awal. 2022. Jurnal Bidang Muamalah dan Ekonomi Islam: Implementasi Qawā`id
Fiqhiyyah dalam Ekonomi Syariah. Makasar: Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa
Arab (STIBA). 2(1)

Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqh Sunah. Beirut: Daar al-Fikr. jilid III. Cet. Ke-4

Syarifuddin, Amir. 2003. Fiqh Muamalah. Jakarta: Pranada Media

11

Anda mungkin juga menyukai